Domestifikasi Etnisitas: Pemekaran Wilayah dan Rutinisasi Kekerasan Antar Etnis di Maluku Utara | Aini | Jurnal Pemikiran Sosiologi 23434 45949 2 PB
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No.1 , Mei 2012
Domestifikasi Etnisitas:
Pemekaran Wilayah dan Rutinisasi Kekerasan antar Etnis di Maluku Utara1
Oleh:
Nurul Aini
Abstrak
Tulisan ini melakukan analisis tentang sejauh mana pemekaran wilayah memiliki dampak pada
terjadinya proses rutinisasi kekerasan, khususnya kekerasan yang berbasis pada etnik atau identitas
tertentu. Pemekaran wilayah, juga menjadi arena konflik baru, dimana tujuan awal dari ide desentralisasi
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal menjadi diabaikan. Justru pemekaran wilayah telah
menyulut adanya konflik di berbagai daerah, khususnya karena etnik, identitas, agama, dan solidaritas
primordial, lebih banyak digunakan sebagai pertimbangan bagi sebuah daerah yang hendak dimekarkan,
dibanding dengan berdasarkan pertimbangan penguatan masyarakat sipil.
Kata kunci: Etnisitas, rutinisasi kekerasan, konflik, pemekaran
Abstract
This paper is aimed at elaborating how splitting area (pemekaran wilayah) policy which put into effect
in several areas of Indonesia has grown the process of routinization of violence which mainly based on
ethnic and identity groups or sub-groups. To some extent, splitting areas has became the new conflict
arena, and it has made the aim of the notion of decentralization to strengthen people’s welfare is left
behind. On contrary, there is the fact that splitting area has ignited conflict in local area, since splitting
area is mainly based on ethnic, identity, religon and other primordial solidarity considerations rather to
the need to strengthen civil society.
Keywords: Ethnicity, routinization of violence, conflict, splitting area
Tulisan ini adalah hasil dari riset Building Peace within Community: developing Social Cohesion in (almahera , Pusat Studi
Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada dan Serasi USAID, 2010.
1
103
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 1, 2012
Nurul Aini
Domestifikasi Etnisitas:
Pemekaran Wilayah dan Rutinisasi Kekerasan antar Etnis di Maluku Utara
Dinamika politik di Maluku Utara, khususnya di
A. Pendahuluan
Halmahera, lebih spesifik di 6 desa yang hingga
Wilayah Kepulauan Maluku Utara mencatat sejarah
sekarang masih bersengketa soal batas wilayah, bisa
kelam pada periode tahun 1999-2000, seiring
dengan
pembentukan
dikatakan sangat tinggi. Sejarah persengketaan
Maluku Utara menjadi
berkait dengan penentuan batas wilayah, mulai
propinsi baru, yang saat itu masih menginduk pada
mengemuka
propinsi Maluku yang beribukotakan Ambon. Pasca
sejak
pelaksanaan
Program
Transmigrasi Lokal (Translok) pada tahun 1975.
pemekaran propinsi baru Maluku Utara, dinamika
Pada saat itu, terjadi gelombang migrasi masyarakat
politik lokal terus menerus berubah. Perubahan
di Pulau Makian ke Pulau Halmahera terjadi karena
dinamika politik lokal inilah yang kemudian
faktor bencana alam. Proses migrasi besar-besaran
melahirkan berbagai macam isu konflik, mulai dari
komunitas etnis Makian yang sering disebut sebagai
isu perebutan wilayah, isu agama, isu identitas,
bedol pulau yang diregulasikan melalui peraturan
hingga isu-isu konflik yang berakar dari konflik yang
Pemerintah Kabupaten Dati II Maluku Utara ini,
sebelumnya belum sepenuhnya selesai.
secara langsung maupun tidak langsung turut
Keenam desa yang yang diteliti dalam tulisan ini,
berkontribusi pada formasi relasi antar etnis di
yakni desa Bobaneigo, Akelamo, Pasir Putih, Dum-
pulau Halmahera pada saat ini.
dum, Tetewang dan Akesahu, adalah desa-desa yang
Dalam era pasca otonomi daerah, relasi antar etnis
menjadi medan dan arena konflik yang berkait
di propinsi Maluku Utara, ikut dipengaruhi oleh
dengan sengketa batas wilayah antara kabupaten
konflik berkait penentuan batas wilayah yang
Halmahera Barat, dan kabupaten hasil pemekaran,
hingga kini masih bersengketa,terutama dalam
Halmahera Utrara. Ketika mencoba menelusur
penentuan wilayah kabupaten Halmahera Utara
kepada akar persoalan ini, kita akan menemukan
(Halut) dan Halmahera Barat (Halbar). Peraturan
kompleksitas persoalan, yang didalamnya analisis
Pemerintah
yang determinan ekonomi, atau determinan politik
tentang
Tahun 2003 tentang pembentukan Pembentukan
menerus dikontestasikan. Apalagi jika kita melihat
Kab. Halut, Kab Halsel, Kab. Kep. Sula, Kab. Haltim,
bahwa persoalan identitas adalah persoalan yang
Kab. Kota Tidore Kepulauan (selanjutnya disebut UU
secara aktif selalu dimunculkan dan dinegosiasikan.
seringkali
1999
Utara (PP 42 tahun 1999) dan Undang-undang No 1
identitas yang sebagian diantaranya masih terus
ini
tahun
Wilayah II Kabupaten Daerah tingkat II Maluku
dalamnya termasuk pula ada problem perebutan
identitas
42
Pembentukan dan Penataan beberapa Kecamatan di
belum tentu bisa mengurai akar konflik, karena di
Persoalan
No.
Nomor 1/2003), dinilai sebagai dua peraturan
justru
pemerintah yang hingga kini masih menjadi pemicu
menimbulkan polarisasi yang jauh lebih tajam,
konflik di wilayah tersebut. UU ini menyebutkan
apalagi jika ditambah dengan isu perebutan
bahwa status wilayah 6 (enam) desa ini adalah
kekuasaan politik di tingkat lokal.
bagian
104
dari
wilayah
administrasi
Kabupaten
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 1, 2012
Nurul Aini
Domestifikasi Etnisitas:
Pemekaran Wilayah dan Rutinisasi Kekerasan antar Etnis di Maluku Utara
Halmahera Utara. Konflik terjadi ketika warga di
menyebut bahwa momentum munculnya konflik ini
enam desa tersebut menolak masuk ke wilayah
menghasilkan dinamika polarisasi, yang mana ini
Halmahera Utara dan tetap ingin masuk ke
menjadi dynamic of contention—kondisi dimana
kabupaten sebelumnya yakni kabupaten Halmahera
ruang politik mengalami pelebaran isu dan aktor
Barat.
yang sebelumnya tidak terlibat menjadi terlibat.
aparat
Konflik di Maluku Utara jika dirunut lebih jauh,
pemerintah Desa dan Kecamatan, serta sebagian
sebenarnya lebih kompleks dari sekadar penetapan
warga di enam desa untuk bergabung dalam wilayah
batas wilayah. Gerry Van Klinken (2007) menyebut
Halmahera Utara. Sebagian dari warga memilih
bahwa sejak masa Orde Baru, koalisi politik telah
menjadi bagian dari wilayah Halmahera Barat. Dari
memunculkan konflik diantara Kao dan Makian.
sisi kontestasi identitas, pemihakan kepada satu
Karena Kao terdiri dari Kristen-Muslim dan Makian
wilayah
tentu
hampir keseluruhan adalah Muslim, maka ketika
kemudian
ditemukan kesempatan untuk terjadi konflik, isu
penolakan bergabung dihubungkan dengan faktor
konflik antara orang Kao dan Makian bisa berubah
perbedaan
dan
menjadi konflik antara orang Muslim dan Kristen.
Halmahera Barat. Dari sisi administratif, tentu
Pertikaian antara Kao dan Makian dibawah isu
apabila dibiarkan berlarut-larut, konflik identitas
konflik agama sempat muncul pada tahun 1999.
antara warga Halmahera Utara dan Halmahera Barat
Empat tahap sebagaimana dituliskan oleh Klinken
akan menyebabkan sulitnya peraturan perundang-
(2007: 181) terjadi disepanjang tahun 1999. Bulan
undangan diimplementasikan secara efektif.
Agustus 1999, konflik terjadi di pusat kota
Terjadi
gelombang
administrasi
menimbulkan
penolakan
tertentu
ketegangan
identitas
yang
Halmahera
dari
ini
Utara
Halmahera dengan isu konflik antara Kao (yang
Konsekuensi dari adanya sengketa mengenai
wilayah
administratif
adalah
munculnya
terdiri dari Kristen dan Muslim) dan Makian
dua
(Muslim). Pada bulan Oktober 1999, simpatisan
pemerintahan desa di dua kecamatan, yakni
Muslim yang simpati terhadap pengungsi Muslim
Kecamatan Kao (Kabupaten Halmahera Utara) dan
Makian di Ternate menyerang orang-orang Kristen
Kecamatan Jailolo Timur (Kabupaten Halmahera
di Ternate, sebagai bentuk solidaritas sesama
Barat). Polarisasi ini semakin kuat karena warga di
Muslim. Selanjutnya ini juga mendorong terjadinya
kedua desa juga terseret dalam arus konflik. Konflik
konflik antara Islam dan Kristen di wilayah yang
yang melibatkan warga ini menemukan momentum
mayoritas Kristen seperti di Tobelo, dan di tahap
melalui sengketa batas wilayah administratif akibat
terakhir konflik terjadi di akhir tahun 1999, ketika
pemekaran kabupaten ini. Ini membangkitkan
konflik meletus di kota Ternate.
kembali konflik di Maluku Utara yang sebelumnya
telah memiliki sejarah yang panjang. Proses
Konflik antara Kao dan Makian, semakin diperparah
polarisasi melalui isu sengketa wilayah administratif
dengan adanya kebijakan lebih banyak bersifat top
ini
munculnya
down dibanding bottom up. PP no 42 tahun 1999,
konflik-konflik yang lain. Klinken (2007: 180),
sebagaimana yang telah disebutkan di awal tulisan
menjadi
momentum
bagi
105
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 1, 2012
Nurul Aini
Domestifikasi Etnisitas:
Pemekaran Wilayah dan Rutinisasi Kekerasan antar Etnis di Maluku Utara
ini, direspon dengan kerusuhan. PP ini membentuk
Halmahera. Proses pemindahan yang dipaksakan
kecamatan Makian Malifut, dan mencaplok 5 desa di
oleh negara membuat orang Kao merasa hak-
wilayah kecamatan Kao ( Desa Tobobo, Balisosang,
haknya terampas oleh etnis Makian.
Sosol, Wangeotak, dan Gayok) dan 6 desa di
Cerita ini sebenarnya bermula dari pemindahan
Kecamatan Jailolo (Desa Bobaneigo, Pasir Putih,
besar-besaran etnis Makian dari pulau Makian ke
Tatewang, Akesahu, Akelamo Kao, dan Dum Dum).
pulau Halmahera karena meletusnya gunung Kie
Penamaan Kecamatan Makian Malifut juga dianggap
Besi pada tahun 1975. Pemindahan karena proses
lebih mewakili kepentingan orang-orang Makian.
transmigrasi
Padahal desa-desa dibawah nama kecamatan
bencana
alam
yang dipaksakan) yang dilakukan oleh negara
Makian, tetapi juga Kao, Jailolo, dan kelompok etnis
terhadap orang-orang dari etnis Makian di Pulau
lain yang lebih heterogen. Di dalam 5 desa di
Makian. Pemindahan ini memindahkan orang-orang
kecamatan Kao dan 6 desa di kecamatan Jailolo
Makian ke Halmahera. Proses kontestasi etnis
terdapat berbagai etnis, seperti Ternate, Tidore,
dimulai ketika orang Makian yang pendatang mulai
Tobaru, Tobelo, Galela, Ibu, Sangir, Sahu, Jailolo,
membangun hidup mereka, dan berjuang untuk
mendapatkan penghidupan yang lebih baik di
Buton, dan Makian.
tempat mereka yang baru yakni Pulau Halmahera. Di
Penamaan Makian Malifut pada PP 42 tahun 1999
tempat baru orang Makian mulai menduduki jabatan
dianggap problematik, karena PP ini dianggap
condong
adanya
mendorong terjadinya forced migration (migrasi
Makian Malifut, terdiri tidak hanya dari orang-orang
terlalu
karena
kepada
etnis
Makian,
di bidang birokrasi, berhasil dalam perdagangan,
dan
dan pendidikan—yang mana ini menimbulkan
mengesampingkan adanya kenyataan bahwa ada
kesenjangan dengan orang Kao—yang notabene
kelompok etnis lain yang juga tumbuh dan berdiam
merasa tanahnya digunakan oleh orang Makian.
disana. PP yang dikeluarkan pemerintah ini
dianggap terlalu pro terhadap orang Makian. PP ini
Teori-teori tentang migrasi dan identitas telah
dianggap lebih menjelaskan status wilayah orang
banyak dibahas oleh ilmuwan sosial. Migrasi dalam
Makian, yang selama beberapa puluh tahun
level yang lebih global sering diistilahkan sebagai
terkatung-katung pasca relokasi terkait dengan
diaspora. Konsepsi diaspora tidak hanya merujuk
letusan gunung Kie Besi di Pulau Makian pada tahun
pada perpindahan orang secara fisik, tetapi juga
1975. Respon terbesar terhadap pengeluaran PP ini
mencakup aspek kultural, gaya hidup, memori
berasal dari etnis Kao. Beberapa alternatif jawaban
kolektif tentang masa lalu, termasuk diantaranya
menunjukkan bahwa PP ini menjadi salah satu
ketahanan mental mereka yang lebih baik, karena
momentum yang memunculkan kembali ketegangan
kaum migran ini adalah orang-orang yang harus
antara etnis Makian dan Kao, yang sebenarnya telah
mengatasi
lama memiliki potensi konflik. Etnis Kao adalah
displacement
kelompok etnis yang wilayah adatnya didiami oleh
pemindahan kelompok etnis tertentu memberi
etnis Makian, ketika etnis Makian bedol pulau ke
konsekuensi yang lebih berat daripada migrasi antar
106
problem
di
disilusi
wilayah
(dissilution)
yang
baru.
dan
Proses
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 1, 2012
Nurul Aini
Domestifikasi Etnisitas:
Pemekaran Wilayah dan Rutinisasi Kekerasan antar Etnis di Maluku Utara
kategori ras. Proses pembentukan identitas etnis
Menonjolnya kelompok etnis Makian di pulau
lebih dipahami sebagai identitas yang diwariskan
Halmahera telah menjadi pemicu bagi munculnya
(inherited) dan tidak bisa dipindahkan. Konsep etnis
ketegangan antar etnis disana. Proses pembentukan
juga membawa konsekuensi pada praktek sosiologis
ketegangan dalam hubungan antar etnis di Pulau
yang lebih kental (Jenkins, 1997, dalam Isin dan
Halmahera,
Wood, 1999).
differance
kategori
melakukan
yang
pembedaan
lebih
atau
mudah
untuk
distingsi
pada
terkait
dengan
politics
of
yang diberlakukan oleh pihak yang
berkuasa. Terlibatnya etnis Makian dalam struktur
Dalam relasi dengan negara, kategori etnis juga
menjadi
juga
birokrasi diindikasi menjadi faktor yang membuat
PP ini pada akhirnya ditetapkan. Peraturan
pemerintah ini justru dianggap mempertegas
kelompok yang lain. Kategori etnis di dalam negara
politics of difference , yang tentu saja semakin
seringkali menjadikan politic of difference dengan
meningkatkan ketegangan dalam relasi etnis.
representasi penguasa kemudian menjalankan
Peraturan
praktek pembeda kepada kelompok etnis yang lain.
memperhatikan
Demikian halnya dengan kelompok etnis yang
khususnya masyarakat yang heterogen dalam level
memiliki kekuasaan di tingkat lokal berpotensi
sub-etnis, sebagaimana yang bisa ditemui di
menjadi kelompok yang mendomominasi kelompok
propinsi Maluku Utara. Pemekaran wilayah pasca
yang lain.
desentralisasi tahun 1999 dituding menjadi faktor
mudah diberlakukan. Kelompok etnis yang menjadi
pemerintah
aspek
dianggap
kultural
kurang
masyarakat,
yang mendorong terjadinya artikulasi terhadap
Dalam kasus ini, kelompok Makian merupakan
identitas etnis—yang dalam banyak kasus, justru
kelompok etnis yang menarik untuk dilihat, karena
mendorong terjadinya konflik etnis yang lebih kuat.
Makian sebagai kelompok etnis yang bermigrasi
karena dipaksa oleh negara karena kekhawatiran
Tulisan
meletusnya gunung Kie Besi, menjadi kelompok
persoalan
etnis yang cukup dominan di tempat yang baru.
kontestasi antar kelompok. Kontestasi antar etnis di
Kelompok Makian sebagai pendatang, seringkali
Ternate mengalami penguatan karena banyak
membawa sifat alami yang dibawa oleh para
faktor. Tulisan ini akan mencoba melihat bagaimana
pendatang, seperti ulet, tekun, dan berjuang di
masing-masing aktor dalam kontestasi politik
tempat mereka yang baru (Klinken, 2007). Keuletan
mengkonstruksikan persoalan yang ada, khususnya
dan ketahanan etnis pendatang di tempat baru,
aktor yang terlibat dalam pembentukan politics of
ini
menyadari
yang
terkait
adanya
kompleksitas
dengan
konflik
dan
problem disilusi dan displacement. Di pulau
difference —dalam hal ini relasi mayoritas dan
Halmahera, Makian kemudian menjadi etnis yang
Teori tentang rutinisasi kekerasan ini digunakan
menonjol, tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga
untuk
secara politik.
kekerasan ini dilembagakan sehingga kekerasan
sangat berkait dengan upaya mereka mengatasi
minoritas yang melahirkan rutinisasi kekerasan.
menganalisis
bagaimana
konflik
dan
seringkali tidak disadari dan berada dalam tataran
107
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 1, 2012
Nurul Aini
Domestifikasi Etnisitas:
Pemekaran Wilayah dan Rutinisasi Kekerasan antar Etnis di Maluku Utara
simbolik karena telah mengalami proses rutinisasi.
alasan
Konteks pemekaran wilayah, menjadi konteks yang
peningkat
penting
tatakelola pemerintahan menjadi semakin efektif
untuk
melihat
bagaimana
legitimasi
utama
kebijakan
kesejahteraan
pemekaran
karena
sebagai
asumsinya
terhadap identitas etnis sebagai penanda identitas
(Juanda,
yang tunggal, semakin mendapat tempat.
semakin kontra produktif karena tidak adanya
2008).
Pemekaran
wilayah
terbukti
pertimbangan terhadap aspek sosial, ekonomi, serta
keuangan (Hasyim, Dharmawan, Juanda, 2010).
B. Pemekaran Wilayah sebagai Pemantik Konflik
Kontra
Etnis
produktifnya
pemekaran
ini
juga
ditunjukkan dengan justru semakin menguatnya
kontestasi
antar
etnis
pasca
pemekaran.
Walaupun bingkai kekerasan yang terjadi di pulau
Pertimbangan satu wilayah untuk dimekarkan
Halmahera selama beberapa tahun terakhir ini
seringkali lebih berdasar pada pertimbangan
adalah kekerasan yang berlatar belakang politik,
terhadap
tetapi narasi kekerasan juga melibatkan hal yang
primordial, seperti identitas etnis, suku, agama.
lain, seperti ekonomi dan relasi antar etnis yang
Disini,
lebih kompleks. Otonomi daerah yang diberlakukan
memperkuat primordialisme dan esensialisme etnis.
sejak tahun 1999 membawa dampak besar bagi
Fenomena pemekaran wilayah sebagai fenomena
daerah-daerah di Indonesia.
konflik, dapat ditemui dengan mudah di propinsi
Secara sederhana, otonomi atau desentralisasi
Maluku Utara. Isu pemekaran dan perebutan batas
bermakna pengurangan kekuasaan pemerintah
wilayah menjadi isu yang menggerakkan konflik-
pusat untuk mengatur tata kelola pemerintahan di
konflik yang ada pada saat ini. Perebutan enam desa
tingkat daerah. Bagi daerah, otonomi daerah
masuk ke dalam wilayah Halmahera Barat atau
dimaknai sebagai otonomi untuk menerjemahkan
Halmahera
daerahnya sendiri, termasuk mempertanyakan
pertanyaan bahwa penolakan mereka untuk masuk
kembali apakah sistem administrasi di daerah
ke dalam wilayah kecamatan Malifut (yang banyak
mereka telah final. Hasil yang paling terlihat adalah
terdapat kelompok etnis Makian) berkait erat
meningkatnya angka daerah yang ingin dimekarkan
dengan tidak adanya kesamaan historis, ikatan
di Indonesia. Kebijakan pemekaran wilayah di
emosional, dan persamaan identitas. Bagi keenam
Indonesia pada saat ini kembali ditilik ulang
desa tersebut, secara identitas, mereka merasa lebih
efektivitas dan keberhasilannya. Salah satunya
dekat dengan kultur Jailolo dan Kao daripada
adalah
alih-alih
dengan kultur Makian Malifut sehingga mereka
menyejahterakan, justru membuat konflik di tingkat
menolak untuk masuk dalam daerah pemekaran
daerah semakin tersulut.
baru, yakni kabupaten Halmahera Utara (Hasyim,
karena
pemekaran
wilayah,
identitas-identitas
pemekaran
Utara
wilayah
untuk konflik. Ini justru semakin menyingkirkan
108
justru
diantaranya
Dharmawan, Juanda, 2010).
Pemekaran wilayah lantas menjadi arena baru
yang
sifatnya
semakin
menyisakan
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 1, 2012
Nurul Aini
Domestifikasi Etnisitas:
Pemekaran Wilayah dan Rutinisasi Kekerasan antar Etnis di Maluku Utara
Kesamaan identitas menjadi faktor yang sangat
sendiri (inside) dan sense bagi kelompok yang lain
menentukan pembagian batas wilayah. Konflik yang
(outside), karena itu identitas ada karena adanya
bermula dengan isu pembagian batas wilayah
berkait dengan pemekaran Halmahera Barat ke
entitas yang lain
dalam Halmahera Utara merembetkan isu konflik
menandari diri kita, dan tanda tentang diri kita
menjadi isu konflik antara etnis Kao dan Makian,
dibangun
dimana ketika ada momentum, isu konflik antara
kelompok yang lain.
sedangkan
adanya
penandaan
terhadap
secara mendalam dalam berbagai macam studi-
populasi Muslim—terlebih karena memang semua
Muslim,
dari
Penanda identitas kultural, etnis, atau ras dibahas
antar agama. Makian dianggap merepresentasi
adalah
. Karena itu,
identitas menjadi sesuatu yang penting karena dia
Kao dan Makian ini berubah isu menjadi konflik
Makian
Barker,
studi di negara-negara pascakolonial, dimana relasi
Kao
antara penjajah dan yang dijajah menghadirkan
direpresentasikan sebagai bagian dari komunitas
identitas
Kristen, karena Kao memang terdiri dari Kristen,
sementara
meskipun ada juga yang Muslim. Konflik dengan isu
bahwa
yang
Kolonialisme
agama mengalami puncaknya di tahun 1999. Konflik
terjajah
adalah
menggunakan
kekerasan—dalam
ini berulang lagi pada tahun 2003 dan berlangsung
penjajah
adalah
moderen
primitif .
kekuatan
warfare
atau
(dan
tradisi
peperangan) untuk meneguhkan penanda terhadap
hingga kini, dimana 6 desa diperebutkan oleh dua
perbedaan etnis atau kelompok.
kabupaten yakni Kabupeten Halmahera Barat dan
Kekerasan memiliki dimensi yang kompleks. Selama
Halmahera Utara. Warga enam desa merasa lebih
ini, kekerasan mengambil peran yang penting dalam
memiliki kedekatan kultural dengan kabupaten
relasi sosial. Kekerasan menghasilkan kompleksitas
Halmahera Barat dibanding dengan kabupaten baru
yang melahirkan perbedaan identitas. Sebagaimana
hasil pemekaran yakni Halmahera Utara.
teori identitas mengatakan bahwa identitas menjadi
ada ketika ada entitas satu yang berbeda dengan
C. Merutinisasi Kekerasan: Kekerasan sebagai
entitas yang lain. Dalam hal ini satu identitas
Media bagi Penanda Identitas Etnis
membutuhkan penanda untuk membedakan mana
yang in group dan mana yang outgroup, dan
kekerasan
Konflik yang berkait dengan perebutan batas
berujung
pada
kekerasan.
Beberapa
pengertian
dalam
(Barth, 1972, Broch-Due, 2000).
Telah lama kekerasan menjadi salah satu cara bagi
sebuah kelompok untuk menaklukkan kelompok
penanda bagi diciptakannya batas bagi kelompok
lain.
batas
Dalam
perspektif identitas, kekerasan seringkali menjadi
yang
memberi
menjelaskan proses in group dan out group ini
wilayah yang notabene adalah konflik politik
seringkali
membantu
lain. Kelompok etnis yang melihat kekerasan sebagai
identitas
cara untuk meneguhkan kembali identitas mereka,
menyebutkan definisi identitas sebagai konstruksi
memiliki kecenderungan melihat etnis dengan cara
kultural yang membangun sense terhadap diri
pandang essensialisme. Berbagai macam teori
109
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 1, 2012
Nurul Aini
Domestifikasi Etnisitas:
Pemekaran Wilayah dan Rutinisasi Kekerasan antar Etnis di Maluku Utara
tentang etnis telah lama melihat cara pandang etnis
Teori tentang rutinisasi kekerasan ini relevan dalam
dalam kecenderungan yang esensialis. Esensialisme
melihat bagaimana konflik di enam desa yang
etnis melihat bahwa etnis (juga ras, suku, agama,
menjadi
arena
kontestasi
antara
propinsi
gender) adalah kategori biologis yang fixed, tidak
Halmahera Utara dan Halmahera Barat. Bahwa isu
dapat dipertukarkan, dan membawa konsekuensi
yang ada, sebenarnya tidak semata-mata isu adanya
bagi relasi sosial secara natural. Pandangan
Peraturan Pemerintah yang kontroversial, tetapi
esensialis etnis melihat bahwa penerjemahan
juga ada kaitan bagaimana konflik yang terjadi
terhadap identitas etnis melekat pada kategori
sebenarnya muncul sebagai bagian dari adanya
biologisnya (Hall, 1996).
proses
rutinisasi
kekerasan,
dimana
proses
rutinisasi kekerasan ini menjadi basis hegemonik
Pandangan esensialisme etnis ini melihat bahwa
bagi kelompok etnis yang kuat.
pembedaan terhadap kelompok yang lain bagi
kelompok yang berkuasa memberi efek yakni
Membincangkan proses rutinisasi kekerasan tidak
kepastian bagi tetap diteruskannya kekuasaan.
bisa lepas dari relasi kesejahteraan dan kewargaan
Mengutip Broch Due (200:23 ) Violence is often
(citizenship) (Broch-due, 2000). Proses rutinisasi
deployed as part of futile quest to produce
kekerasan
certainty…a means to reinforce essensialised idea
bagaimana rutinisasi kekerasan juga merutinisasi
sebagai
semakin radikal ketika satu kelompok merasakan
yang
identitas—dimana
memproduksi
kepastian
kepastian
identitas
boundaries.
Karena
ekslusi karena ketidakterlibatan satu kelompok
sosial dalam penguasaan basis material seringkali
dalam kehidupan sosial. Narasi sejarah adalah faktor
sangat
penting
bagi
proses
dengan
Isu kesejahteraan menjadi sangat penting dalam isu
itu,
kekerasan menjadi proses yang dirutinisasi ke
yang
berkait
menjadi kelompok yang dominan dan hegemonik.
terus menerus diproduksi dan direproduksi untuk
ethnic
juga
adanya sense of exclusion dan kelompok lain
sangat
dibutuhkan sebagai basis dari solidaritas. Kekerasan
menciptakan
itu
eksklusi atau ketidakterlibatan. Konflik menjadi
about identity and belonging. Kekerasan dianggap
arena
karena
menjadi
rutinisasi
penyebab
bagi
munculnya
angka
kemiskinan. Kemiskinan secara ekonomi semakin
kekerasan. Sejarah, baik secara individual atau
memperkuat perasaan tereksklusi atau tidak
kolektif, menjadi cerita atau narasi yang terus
terlibat
menerus digunakan untuk merawat memori kolektif
dari
kelompok-kelompok
yang
terpinggirkan atau minoritas. Isu kemiskinan secara
tentang satu peristiwa, termasuk memori kolektif
ekonomi menjadi isu konflik yang kuat ketika isu ini
tentang peristiwa kekerasan. Rutinisasi kekerasan
bergabung dengan isu etnis, karena etnis adalah
ini masuk ke dalam memori setiap kelompok,
kompleks persoalan yang berkait dengan adanya
dimana area jangkauan dari proses rutinisasi
konsep identitas dan pembeda .
kekerasan ini tidak hanya di level publik atau
Relevansi terhadap pandangan teoretis ini sangat
komunitas, tetapi juga di level politik dan ruang-
terkait dengan persoalan yang terjadi pada
ruang yang bersifat personal.
perebutan keenam desa tersebut. Sejarah konflik di
110
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 1, 2012
Nurul Aini
Domestifikasi Etnisitas:
Pemekaran Wilayah dan Rutinisasi Kekerasan antar Etnis di Maluku Utara
keenam
desa
tersebut
menunjukkan
bahwa
memindahkan orang-orangnya saja, tetapi juga
transmigrasi lokal etnis Makian dari Pulau Makian
perangkat desanya, pemerintahan lokalnya, dan
ke Halmahera karena letusan gunung Kie Besi di
pemerintahan adatnya. Di tempat yang baru mereka
tahun 1975 adalah titik yang paling penting dan
mendiami wilayah yang menjadi wilayah adat etnik
menentukan bagi relasi antar etnis khususnya
Kao.
dengan etnis yang dianggap sebagai salah satu etnis
Etnis Makian lantas berdiam dan membangun
penduduk asli Halmahera, yakni etnis Kao.
kehidupan baru mereka di pulau Halmahera. Di
program
tempat yang baru, etnis Makian, sebagaimana
transmigrasi dianggap sebagai program yang hingga
menjadi karakter pada migran, menjadi kelompok
saat ini masih cukup kontroversial. Masih segar
etnis yang menunjukkan kepiawaian mereka dalam
dalam ingatan kita bahwa konflik komunal yang
berwiraswasta,
terjadi di beberapa kota di Indonesia dalam 10 tahun
jabatan sebagai birokrat, sehingga beberapa bupati
pertama
dan pejabat di propinsi Maluku Utara adalah orang
Pemindahan
oleh
reformasi
negara
melalui
menghasilkan
gelombang
berpendidikan
dan
mengejar
Makian (Klinken, 2007).
eksodus besar-besaran dari kelompok transmigran
yang ternyata tidak bisa sepenuhnya diterima oleh
Keterwakilan orang Makian di dalam struktur
penduduk lokal. Misalnya transmigran di Aceh yang
birokrasi menjadi kuat karena Makian secara aktif
terpaksa harus mengungsi pasca konflik antara GAM
merepresentasikan diri mereka sebagai bagian dari
dan pemerintah Indonesia. Juga eksodus besar-
struktur kekuasaan negara. Kedekatan sebagai
besaran transmigran dari Madura yang harus pulang
bagian dari struktur kekuasaan ini berpadu dengan
ke tempas asal mereka pasca konflik komunal yang
kepiawaian mereka dalam berwiraswasta ditambah
melibatkan etnis Madura dan Dayak di beberapa
dengan pendidikan yang tinggi menjadikan etnis
tempat di Kalimantan.
Makian dianggap lebih sukses dan sejahtera di
wilayah yang dianggap bukan wilayah asli mereka.
Termasuk diantaranya pemindahan etnis Makian ke
pulau Halmahera, dinilai berbagai macam kalangan
Keberhasilan orang Makian berbanding terbalik
sebagai pemindahan yang menimbulkan masalah
dengan orang Kao, yang tanahnya didiami oleh
dan kontroversi di kemudian hari. Transmigrasi ini
orang-orang etnis Makian pindahan dari pulau
dianggap sebagai program wajib pemerintah guna
Makian. Walaupun dalam kehidupan sosial etnis
menyelamatkan mereka dari ancaman letusan
Makian dan etnis Kao sebenarnya terintegrasi
gunung berapi—yang ternyata di kemudian hari
dengan baik, tetapi kesenjangan ini bagaimanapun
diketahui tidak jadi meletus dengan dahsyat. Tetapi
menjadi bibit bagi konflik yang terjadi di kemudian
gelombang migrasi tetap akhirnya terjadi. Etnis
hari.
Makian, mendiami 16 desa di kecamatan Kao,
Konflik
Halmahera Utara. Perpindahan etnis Makian di
wilayah
kecamatan
Kao
ini
bersifat
antara
Makian
dan
Kao
mengalami
momentum eskalasi ketika pada tanggal 24 Juni, atas
bedol
permintaan Bupati Maluku Utara, pemerintah Pusat
kecamatan, dimana perpindahan ini tidak hanya
111
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 1, 2012
Nurul Aini
Domestifikasi Etnisitas:
Pemekaran Wilayah dan Rutinisasi Kekerasan antar Etnis di Maluku Utara
di
Jakarta
42/99
yang
yang
baru,
yakni
teresensialisasi (Appadurai, 1998) dan bukan lagi,
kecamatan Makian-Malifut (atau kecamatan Malifut)
meminjam istilah Benedict Anderson, sebagai
(Klinken, 2007). Pembentukan kecamatan baru ini
komunitas
tidak hanya terdiri dari 16 desa yang menjadi desa-
community). Hal ini menyisakan pertanyaan besar:
desa yang selama ini ditinggali etnis Makian
Apakah batas wilayah adalah juga sekaligus batas
pindahan Pulau Makian, tetapi juga mecaplok 6 desa
etnis?
menetapkan
mengeluarkan
adanya
PP
kecamatan
lainnya di wilayah Kecamatan Kao dan Kecamatan
bersifat
Pertanyaan
Jailolo yang notabene menjadi wilayah orang-orang
fisik,
yang
ini
yang
terukur,
dibayangkan
sesungguhnya
yang
(imagined
memundurkan
langkah kita. Selama ini, kita menyadari betul bahwa
etnis Kao dan Jailolo, penduduk asli disana (Hasyim,
Indonesia adalah negeri yang wilayahnya terdiri
Dharmawan, Juanda, 2010). Penetapan PP 42/99
dari berbagai etnis, suku, bahasa, dan agama yang
menjadi genderang yang kemudian menjadikan
heterogen. Basis integrasi bangsa kita adalah
konflik menjadi konflik dan kekerasan terbuka.
komunitas yang terbayangkan, dimana Indonesia,
Dari perspektif identitas etnis, persoalan geografis
sejatinya terdiri dari berbagai bentuk formasi sosial
adalah persoalan yang sangat rentan memunculkan
yang kita sadari tetapi kita imajinasikan sebagai
konsepsi primordialisme. Wilayah geografis, yang
bagian yang satu. Menurut Benedict Anderson
berkoinsidensi dengan aspek etnis dan bahasa akan
(1983) dalam bukunya Imagined Community,
mengunifikasi gerakan-gerakan yang berbasis pada
komunitas terbayangkan dari sebuah ide nations
keturunan (darah), bahasa, tradisi, dan etnisitas
menggantikan basis komunitas yang berdasarkan
(Broch-due,
basis
pada religi/ agama dan kedinastian (kingship). Dari
esensialisme menjadikan kekerasan sebagai momen
sini, sebenarnya komunitas terbayangkan merujuk
penting untuk membangun solidaritas. Dalam
pada tatanan masyarakat yang kosmopolitan—
konflik ini, Makian dengan berbagai perangkat yang
dimana basis pengikat salah satunya adalah adanya
menandai
pendatang,
simultanitas yang dibangun secara kalendrikal
pengusaha, birokrat, orang berpendidikan, dan
melalui kapitalisme cetak, seperti novel atau surat
Muslim, berhadapan dengan etnis Kao (dan Jaiololo)
kabar.
2000).
Komunitas
identitasnya—sebagai
dalam
yang direpresentasi sebagai penduduk asli, taat
Kemunculan batas geografis sebagai batas etnis
pada adat, tetapi miskin dan terbelakang. Penetapan
mengingatkan kita pada pembentukan identitas
PP 42/99 yang menyinggung wilayah geografis
struktur
orang Kao, dianggap sebagai hal yang berlebihan,
tantangan
dari
pihak
lawan
kolonial.
Kolonialisme
memberi batas yang jelas pada kategori etnis.
yang melangkahi orang Kao, dan menjadikan ini
sebagai
masyarakat
Negara kolonial secara tegas membedakan antara
untuk
diri/ self
berperang.
dengan
liyan/ the other . Proses
identifikasi terhadap pembeda etnis ini tidak hanya
Batas geografis pada titik ini jelas menjadi batas
sebatas pada identifikasi biologis tetapi juga
etnis. Batas terhadap komunitas etnis menjadi batas
menyangkut hal yang lain seperti birokrasi,
112
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 1, 2012
Nurul Aini
Domestifikasi Etnisitas:
Pemekaran Wilayah dan Rutinisasi Kekerasan antar Etnis di Maluku Utara
pemerintahan, struktur sosial dan yang lebih
kemampuan untuk mendeterminasi norma-norma
penting adalah struktur ekonomi.
sosial yang khusus (ibid: 127).
Oleh karena itu, politik identitas etnis dalam konteks
Arena politik inilah yang menjadikan etnis sebagai
ini, tidak hanya ingin memunculkan keunggulan
arena pertarungan yang selalu dirutinisasi untuk
salah satu etnis sebagai kategori biologis semata-
memberikan legitimasi terhadap kekuasaan satu
mata, tetapi juga karena keunggulan etnis memiliki
kelompok etnik. Di Maluku Utara, kelompok etnis
kaitan dengan keunggulan sosial, ekonomi, dan
Makian muncul sebagai kelompok etnis yang
politik. Hal inilah yang membuat kontestasi etnis
dianggap mewakili citra sebagai kelompok kuat, dan
selalu membutuhkan arena, yakni kekerasan.
etnis Kao dan Jailolo sebagai kelompok asli yang
Dengan kekerasan jugalah, sebuah keputusan yang
dilemahkan oleh sistem kekuasaan. Meskipun ada
sepihak dipaksakan kepada pihak lain. Karena itu
berbagai macam faktor yang melatari, konsepsi etnis
kekerasan yang dipaksakan kepada pihak yang lain
yang demikian semakin melegitimasi perbedaan-
akan menghasilkan pemberontakan (insurrection)
perbedaan etnis yang sengaja dilembagakan melalui
(Turner, 1974). Lebih jauh menurut Turner,
kekerasan untuk terus menerus memberi batas
pembeda bagi etnis.
kekerasan selalu membutuhkan arena, dimana
arena dimaknai sebagai: An arena is a framework—
whether institutionalized or not—which manifestly
D. Domestifikasi
Etnisitas
dan
Paradoks Desentralisasi: Sebuah Catatan
Penutup
functions as a setting for antagonistic interaction
aimed at arriving ar a publicly recognized decision
(ibid: 133).
Keputusan yang besifat publik ini sangat berkait
Menerjemahkan batas etnis semata-mata ke dalam
dengan adanya political field atau ruang politik
batas geografis adalah kemunduran bagi proses
dikontestasikan, atau bahkan dimanifestasikan
diterjemahkan ke dalam wilayah geografis semakin
melalui kekerasan. Dalam konflik antara etnis
menyuburkan pandangan-pandangan esensialisme
Makian dan Kao di Maluku Utara, terlihat bagaimana
dalam melihat identitas, bahwa identitas adalah
arena politik ini terus menerus mereproduksi
sesuatu yang fixed, tidak dapat diperdebatkan, dan
perbedaan etnis dan narasi-narasi tentang konflik
merupakan kategori-katogori biologis dan fisik yang
diantara mereka. Masih mengutip Turner, persoalan
baku.
yang
terus
menerus
integrasi
diperdebatkan,
political field ini memiliki beberapa tujuan, yakni;
bangsa
Indonesia.
Batas
etnis
Sayangnya, negara semakin ikut memperkuat
(1) Berkompetisi untuk memperebutkan hadiah
penerjemahan identitas sebagai semata-mata batas
atau sumberdaya yang langka, (2) Berkompetisi
geografis budaya dengan memberi peluang bagi
untuk mendapatkan hak pengawalan terhadap
tidak terkendalinya pemekaran wilayah. Sengketa
distribusi
batas
sumberdaya,
(3)
Mendapatkan
wilayah
antara Halmahera Utara
dan
Halmahera Barat semakin menunjukkan bahwa
113
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 1, 2012
Nurul Aini
Domestifikasi Etnisitas:
Pemekaran Wilayah dan Rutinisasi Kekerasan antar Etnis di Maluku Utara
pemekaran wilayah menjadi sebuah arena dimana
yang besar bagi pemerintah daerah, sehingga
political field menjadi diperebutkan oleh kelompok-
pelayanan publik yang diberikan kepada warga
kelompok etnis.
negara menjadi lebih dekat. Tetapi pada prakteknya
Konsekuensi
dari
logic
desentralisasi
pemekaran wilayah menjadi alat bagi kelompok
ini
etnis yang berkuasa untuk terus melanggengkan
mengingatkan kita pada pengalaman Afrika yang
kekuasaan etnis dan ini dilegitimasi oleh negara.
dilanda konflik etnis berlarut-larut sebagai akibat
Desentralisasi dalam konteks ini mirip seperti yang
dari warisan politik administrasi kolonial. Mamdani
dicontohkan oleh Mamdani sebagai perubahan dari
(1996) misalnya berargumen bahwa cara negara
proses
kolonial mengontrol dan menundukkan populasi
de-kolonialisme
menjadi
de-rasialisasi.
Dalam konteks ini, desentralisasi justru menguatkan
adalah dengan membentuk warga negara sebagai
etnisasi warga negara.
subyek kultural yang diberi ruang adminstrasi
ini
Akibat dari adanya kekuasaan kelompok yang kuat,
mengabaikan keragaman etnis dalam sebuah
sementara kelompok yang lain berusaha menolak
teritori,
wilayah
legitimasi yang terlalu besar dari kelompok tertentu
administratif baru justru memfasilitasi dominasi
adalah tidak terelakkannya problem horisontal.
kelompok etnis mayoritas kepada kelompok etnis
Problem horisontal yang terjadi antar identitas
minoritas.
yang
semakin diteguhkan dengan adanya campur tangan
dicontohkan Mamdani adalah bahwa negara-negara
negara yang terlampau besar. Representasi negara
Afrika pascakolonialisme, bukanlah pengalaman
melalui peran pemerintah pusat dan dalam konteks
dekolonisasi, melainkan de-rasialisasi. Transfer
di Maluku Utara adalah keberadaan PP yakni PP No
kekuasaan berlangsung dari mayoritas penjajah
42/ 1999 dan UU No. 1/2003 menunjukkan negara
yang rasnya kulit putih ke tangan pribumi yang
dalam hal ini membatasi kelompok tertentu untuk
mereduplikasi perilaku kolonial. Maka proses yang
terlibat aktif sebagai warga negara. Relasi antara
terjadi
negara dan warga negara telah cukup banyak
politik.
Praktek
penundukan
sehingga
Argumen
adalah
semacam
pembentukan
tentang
perebutan
Afrika
akses
terhadap
atas
dibahas oleh ilmuwan sosial. Kekerasan yang
wilayah administratif warisan kolonial. Disanalah
dirutisasi seringkali berganti pada isu negara dan
subyek kultural mayoritas minoritas menjadi
warga negara. Negara sebenarnya adalah entitas
kategori politik.
yang tunggal, tetapi penerjemahan terhadap entitas
sumberdaya
politik melalui
penguasaan
yang tunggal seringkali tidak bisa dilepaskan dari
Kembali ke pokok bahasan kita, menurut PP 125
berbagai macam faktor seperti gender, etnisitas,
tahun 2000 tujuan pemekaran wilayah adalah
kelas, agama, dan pendidikan. Negara sebagai
memaksimalkan pelayanan publik, meningkatkan
kesejahteraan
demokratisasi,
memiliki
masyarakat,
efiensi
tujuan
awal
entitas tunggal sebenarnya bisa muncul sebagai unit
meningkatkan
ekonomi.
Desentralisasi
untuk
meminimalkan
yang merepresentasi banyak kelompok, tetapi
proses kekuasaan menjadikan negara pada akhirnya
dominasi pemerintah pusat, dan memberi peluang
114
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 1, 2012
Nurul Aini
Domestifikasi Etnisitas:
Pemekaran Wilayah dan Rutinisasi Kekerasan antar Etnis di Maluku Utara
mewakili kelompok gender, etnisitas, kelas, agama,
Maluku Utara, menjadi jelas bahwa terdapat
atau tingkat pendidikan tertentu (Broch-due: 2000).
hubungan antara desentralisasi dan reproduksi
kekerasan. Desentralisasi (dalam hal ini kebijakan
Sebagai sebuah unit yang tunggal, hubungan antara
pemekaran)
negara dan warga negara dibingkai dalam upaya
pemenuhan kebutuhan pokok basicneeds
tidak
saja
gagal
menghadirkan
kesejahteraan, tetapi juga menghadirkan drama
yang
kekerasan berbasis etnis dalam rangka perebutan
mana hal ini sangat terkait dengan bagaimana
sumber daya negara. Membayangkan terputusnya
negara memenuhi kesejahteraan warga negaranya,
rantai kekerasan tersebut sama artinya memikirkan
tidak peduli apa latar belakangnya. Hal ini menjadi
kembali relevansi desentralisasi yang terbukti
kondisi basis bagi bekerjanya hubungan yang baik
justru semakin memperkuat ethnic boundaries dan
antara negara dan warga negaranya. Karena itu
rutinisasi kekerasan didalamnya.
negara bertugas menginklusi semua warga negara di
dalam program kesejahteraan yang dijalankan oleh
negara. Kesejahteraan adalah isu semua orang,
Daftar Pustaka
dimana pemenuhan terhadap kebutuhan dasar
Anderson, Benedict R.O’G,
communities. London: Verso
(kesehatan, pendidikan, dan rasa aman) adalah hak
semua orang. Dengan adanya jaminan kesejahteraan
oleh negara,
.
Imagined
Appadurai, Arjun, 1998. Dead certainty: Ethnic
violence in the era of globalisation . Public
culture 10 (2): 225-47
political field , kontestasi, atau
rutinisasi kekerasan yang dilakukan oleh warga
negara bisa dicegah oleh negara, untuk tidak
Barker, Chris, 2004. The SAGE Dictionary of cultural
studies. London, Thousand Oaks, New Delhi:
Sage Publication
menjadi esensialis.
Tetapi, yang menjadi akar persoalan adalah, negara
Barth, Fredik, 1988. Kelompok etnik dan batasannya.
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
didalam dirinya juga tengah mengalami proses
rutinisasi kekerasan itu sendiri. Negara yang
Due, Vigdis Broch dan Schroeder, Richard A (ed.),
2000. Producing nature and poverty in Africa,
Stockholm: Nordiska Afrikainstitute
seharusnya bekerja sebagai unit yang tunggal (dan
netral), ternyata juga menjadi arena bagi kontestasi
political field. Artinya di dalam negara sendiri
Hall, Stuart, 1996. Modernity, London: Routledge
tengah berlangsung proses produksi dan reproduksi
kekuasaan.
Alih-alih
mensejahterakan
berpikir
warga,
negara
Hasyim, Aziz, Dharmawan, Arya Hadi, dan Juanda,
Bambang, 2010. Analisis konflik perebutan
wilayah di propinsi Maluku Utara: studi
kasus konflik perebutan wilayah antara
Halmahera Utara dan Halmahera Barat
tentang enam desa . Sodality: Jurnal
Transdisiplin sosiologi, komunikasi, dan
ekologi lingkungan, vol April 2010, hal 293308
untuk
justru
mereproduksi dan meradikalkan kekerasan dengan
melakukan politics of exclusion atau politics of
difference, karena negara lebih merepresentasikan
kelompok etnis yang kuat.
Bertolak
dari
kasus
konflik
komunal
pasca
desentralisasi dan kasus sengketa enam desa di
115
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 1, 2012
Nurul Aini
Domestifikasi Etnisitas:
Pemekaran Wilayah dan Rutinisasi Kekerasan antar Etnis di Maluku Utara
Isin, F. Engin dan Wood, Patricia, K, 1999. Citizenship
and identity, London, Thousand Oaks, New
Delhi: Sage Publication
Klinken, Gerry van, 2007. Perang kota kecil.
Kekerasan komunal dan demokratisasi di
Indonesia. Jakarta: Buku Obor dan KITLV
Jakarta
Mamdani, Mahmood, 1996. Citizen and subject:
contemporary africa and the legacy of late
colonialism.
Princenton:
Princenton
University Press
Turner, Victor, 1974. Hidalgo: History as social
drama . In Turner, Dramas, fields, and
metaphors, Cornwell: Cornwell University
Press
116
Domestifikasi Etnisitas:
Pemekaran Wilayah dan Rutinisasi Kekerasan antar Etnis di Maluku Utara1
Oleh:
Nurul Aini
Abstrak
Tulisan ini melakukan analisis tentang sejauh mana pemekaran wilayah memiliki dampak pada
terjadinya proses rutinisasi kekerasan, khususnya kekerasan yang berbasis pada etnik atau identitas
tertentu. Pemekaran wilayah, juga menjadi arena konflik baru, dimana tujuan awal dari ide desentralisasi
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal menjadi diabaikan. Justru pemekaran wilayah telah
menyulut adanya konflik di berbagai daerah, khususnya karena etnik, identitas, agama, dan solidaritas
primordial, lebih banyak digunakan sebagai pertimbangan bagi sebuah daerah yang hendak dimekarkan,
dibanding dengan berdasarkan pertimbangan penguatan masyarakat sipil.
Kata kunci: Etnisitas, rutinisasi kekerasan, konflik, pemekaran
Abstract
This paper is aimed at elaborating how splitting area (pemekaran wilayah) policy which put into effect
in several areas of Indonesia has grown the process of routinization of violence which mainly based on
ethnic and identity groups or sub-groups. To some extent, splitting areas has became the new conflict
arena, and it has made the aim of the notion of decentralization to strengthen people’s welfare is left
behind. On contrary, there is the fact that splitting area has ignited conflict in local area, since splitting
area is mainly based on ethnic, identity, religon and other primordial solidarity considerations rather to
the need to strengthen civil society.
Keywords: Ethnicity, routinization of violence, conflict, splitting area
Tulisan ini adalah hasil dari riset Building Peace within Community: developing Social Cohesion in (almahera , Pusat Studi
Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada dan Serasi USAID, 2010.
1
103
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 1, 2012
Nurul Aini
Domestifikasi Etnisitas:
Pemekaran Wilayah dan Rutinisasi Kekerasan antar Etnis di Maluku Utara
Dinamika politik di Maluku Utara, khususnya di
A. Pendahuluan
Halmahera, lebih spesifik di 6 desa yang hingga
Wilayah Kepulauan Maluku Utara mencatat sejarah
sekarang masih bersengketa soal batas wilayah, bisa
kelam pada periode tahun 1999-2000, seiring
dengan
pembentukan
dikatakan sangat tinggi. Sejarah persengketaan
Maluku Utara menjadi
berkait dengan penentuan batas wilayah, mulai
propinsi baru, yang saat itu masih menginduk pada
mengemuka
propinsi Maluku yang beribukotakan Ambon. Pasca
sejak
pelaksanaan
Program
Transmigrasi Lokal (Translok) pada tahun 1975.
pemekaran propinsi baru Maluku Utara, dinamika
Pada saat itu, terjadi gelombang migrasi masyarakat
politik lokal terus menerus berubah. Perubahan
di Pulau Makian ke Pulau Halmahera terjadi karena
dinamika politik lokal inilah yang kemudian
faktor bencana alam. Proses migrasi besar-besaran
melahirkan berbagai macam isu konflik, mulai dari
komunitas etnis Makian yang sering disebut sebagai
isu perebutan wilayah, isu agama, isu identitas,
bedol pulau yang diregulasikan melalui peraturan
hingga isu-isu konflik yang berakar dari konflik yang
Pemerintah Kabupaten Dati II Maluku Utara ini,
sebelumnya belum sepenuhnya selesai.
secara langsung maupun tidak langsung turut
Keenam desa yang yang diteliti dalam tulisan ini,
berkontribusi pada formasi relasi antar etnis di
yakni desa Bobaneigo, Akelamo, Pasir Putih, Dum-
pulau Halmahera pada saat ini.
dum, Tetewang dan Akesahu, adalah desa-desa yang
Dalam era pasca otonomi daerah, relasi antar etnis
menjadi medan dan arena konflik yang berkait
di propinsi Maluku Utara, ikut dipengaruhi oleh
dengan sengketa batas wilayah antara kabupaten
konflik berkait penentuan batas wilayah yang
Halmahera Barat, dan kabupaten hasil pemekaran,
hingga kini masih bersengketa,terutama dalam
Halmahera Utrara. Ketika mencoba menelusur
penentuan wilayah kabupaten Halmahera Utara
kepada akar persoalan ini, kita akan menemukan
(Halut) dan Halmahera Barat (Halbar). Peraturan
kompleksitas persoalan, yang didalamnya analisis
Pemerintah
yang determinan ekonomi, atau determinan politik
tentang
Tahun 2003 tentang pembentukan Pembentukan
menerus dikontestasikan. Apalagi jika kita melihat
Kab. Halut, Kab Halsel, Kab. Kep. Sula, Kab. Haltim,
bahwa persoalan identitas adalah persoalan yang
Kab. Kota Tidore Kepulauan (selanjutnya disebut UU
secara aktif selalu dimunculkan dan dinegosiasikan.
seringkali
1999
Utara (PP 42 tahun 1999) dan Undang-undang No 1
identitas yang sebagian diantaranya masih terus
ini
tahun
Wilayah II Kabupaten Daerah tingkat II Maluku
dalamnya termasuk pula ada problem perebutan
identitas
42
Pembentukan dan Penataan beberapa Kecamatan di
belum tentu bisa mengurai akar konflik, karena di
Persoalan
No.
Nomor 1/2003), dinilai sebagai dua peraturan
justru
pemerintah yang hingga kini masih menjadi pemicu
menimbulkan polarisasi yang jauh lebih tajam,
konflik di wilayah tersebut. UU ini menyebutkan
apalagi jika ditambah dengan isu perebutan
bahwa status wilayah 6 (enam) desa ini adalah
kekuasaan politik di tingkat lokal.
bagian
104
dari
wilayah
administrasi
Kabupaten
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 1, 2012
Nurul Aini
Domestifikasi Etnisitas:
Pemekaran Wilayah dan Rutinisasi Kekerasan antar Etnis di Maluku Utara
Halmahera Utara. Konflik terjadi ketika warga di
menyebut bahwa momentum munculnya konflik ini
enam desa tersebut menolak masuk ke wilayah
menghasilkan dinamika polarisasi, yang mana ini
Halmahera Utara dan tetap ingin masuk ke
menjadi dynamic of contention—kondisi dimana
kabupaten sebelumnya yakni kabupaten Halmahera
ruang politik mengalami pelebaran isu dan aktor
Barat.
yang sebelumnya tidak terlibat menjadi terlibat.
aparat
Konflik di Maluku Utara jika dirunut lebih jauh,
pemerintah Desa dan Kecamatan, serta sebagian
sebenarnya lebih kompleks dari sekadar penetapan
warga di enam desa untuk bergabung dalam wilayah
batas wilayah. Gerry Van Klinken (2007) menyebut
Halmahera Utara. Sebagian dari warga memilih
bahwa sejak masa Orde Baru, koalisi politik telah
menjadi bagian dari wilayah Halmahera Barat. Dari
memunculkan konflik diantara Kao dan Makian.
sisi kontestasi identitas, pemihakan kepada satu
Karena Kao terdiri dari Kristen-Muslim dan Makian
wilayah
tentu
hampir keseluruhan adalah Muslim, maka ketika
kemudian
ditemukan kesempatan untuk terjadi konflik, isu
penolakan bergabung dihubungkan dengan faktor
konflik antara orang Kao dan Makian bisa berubah
perbedaan
dan
menjadi konflik antara orang Muslim dan Kristen.
Halmahera Barat. Dari sisi administratif, tentu
Pertikaian antara Kao dan Makian dibawah isu
apabila dibiarkan berlarut-larut, konflik identitas
konflik agama sempat muncul pada tahun 1999.
antara warga Halmahera Utara dan Halmahera Barat
Empat tahap sebagaimana dituliskan oleh Klinken
akan menyebabkan sulitnya peraturan perundang-
(2007: 181) terjadi disepanjang tahun 1999. Bulan
undangan diimplementasikan secara efektif.
Agustus 1999, konflik terjadi di pusat kota
Terjadi
gelombang
administrasi
menimbulkan
penolakan
tertentu
ketegangan
identitas
yang
Halmahera
dari
ini
Utara
Halmahera dengan isu konflik antara Kao (yang
Konsekuensi dari adanya sengketa mengenai
wilayah
administratif
adalah
munculnya
terdiri dari Kristen dan Muslim) dan Makian
dua
(Muslim). Pada bulan Oktober 1999, simpatisan
pemerintahan desa di dua kecamatan, yakni
Muslim yang simpati terhadap pengungsi Muslim
Kecamatan Kao (Kabupaten Halmahera Utara) dan
Makian di Ternate menyerang orang-orang Kristen
Kecamatan Jailolo Timur (Kabupaten Halmahera
di Ternate, sebagai bentuk solidaritas sesama
Barat). Polarisasi ini semakin kuat karena warga di
Muslim. Selanjutnya ini juga mendorong terjadinya
kedua desa juga terseret dalam arus konflik. Konflik
konflik antara Islam dan Kristen di wilayah yang
yang melibatkan warga ini menemukan momentum
mayoritas Kristen seperti di Tobelo, dan di tahap
melalui sengketa batas wilayah administratif akibat
terakhir konflik terjadi di akhir tahun 1999, ketika
pemekaran kabupaten ini. Ini membangkitkan
konflik meletus di kota Ternate.
kembali konflik di Maluku Utara yang sebelumnya
telah memiliki sejarah yang panjang. Proses
Konflik antara Kao dan Makian, semakin diperparah
polarisasi melalui isu sengketa wilayah administratif
dengan adanya kebijakan lebih banyak bersifat top
ini
munculnya
down dibanding bottom up. PP no 42 tahun 1999,
konflik-konflik yang lain. Klinken (2007: 180),
sebagaimana yang telah disebutkan di awal tulisan
menjadi
momentum
bagi
105
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 1, 2012
Nurul Aini
Domestifikasi Etnisitas:
Pemekaran Wilayah dan Rutinisasi Kekerasan antar Etnis di Maluku Utara
ini, direspon dengan kerusuhan. PP ini membentuk
Halmahera. Proses pemindahan yang dipaksakan
kecamatan Makian Malifut, dan mencaplok 5 desa di
oleh negara membuat orang Kao merasa hak-
wilayah kecamatan Kao ( Desa Tobobo, Balisosang,
haknya terampas oleh etnis Makian.
Sosol, Wangeotak, dan Gayok) dan 6 desa di
Cerita ini sebenarnya bermula dari pemindahan
Kecamatan Jailolo (Desa Bobaneigo, Pasir Putih,
besar-besaran etnis Makian dari pulau Makian ke
Tatewang, Akesahu, Akelamo Kao, dan Dum Dum).
pulau Halmahera karena meletusnya gunung Kie
Penamaan Kecamatan Makian Malifut juga dianggap
Besi pada tahun 1975. Pemindahan karena proses
lebih mewakili kepentingan orang-orang Makian.
transmigrasi
Padahal desa-desa dibawah nama kecamatan
bencana
alam
yang dipaksakan) yang dilakukan oleh negara
Makian, tetapi juga Kao, Jailolo, dan kelompok etnis
terhadap orang-orang dari etnis Makian di Pulau
lain yang lebih heterogen. Di dalam 5 desa di
Makian. Pemindahan ini memindahkan orang-orang
kecamatan Kao dan 6 desa di kecamatan Jailolo
Makian ke Halmahera. Proses kontestasi etnis
terdapat berbagai etnis, seperti Ternate, Tidore,
dimulai ketika orang Makian yang pendatang mulai
Tobaru, Tobelo, Galela, Ibu, Sangir, Sahu, Jailolo,
membangun hidup mereka, dan berjuang untuk
mendapatkan penghidupan yang lebih baik di
Buton, dan Makian.
tempat mereka yang baru yakni Pulau Halmahera. Di
Penamaan Makian Malifut pada PP 42 tahun 1999
tempat baru orang Makian mulai menduduki jabatan
dianggap problematik, karena PP ini dianggap
condong
adanya
mendorong terjadinya forced migration (migrasi
Makian Malifut, terdiri tidak hanya dari orang-orang
terlalu
karena
kepada
etnis
Makian,
di bidang birokrasi, berhasil dalam perdagangan,
dan
dan pendidikan—yang mana ini menimbulkan
mengesampingkan adanya kenyataan bahwa ada
kesenjangan dengan orang Kao—yang notabene
kelompok etnis lain yang juga tumbuh dan berdiam
merasa tanahnya digunakan oleh orang Makian.
disana. PP yang dikeluarkan pemerintah ini
dianggap terlalu pro terhadap orang Makian. PP ini
Teori-teori tentang migrasi dan identitas telah
dianggap lebih menjelaskan status wilayah orang
banyak dibahas oleh ilmuwan sosial. Migrasi dalam
Makian, yang selama beberapa puluh tahun
level yang lebih global sering diistilahkan sebagai
terkatung-katung pasca relokasi terkait dengan
diaspora. Konsepsi diaspora tidak hanya merujuk
letusan gunung Kie Besi di Pulau Makian pada tahun
pada perpindahan orang secara fisik, tetapi juga
1975. Respon terbesar terhadap pengeluaran PP ini
mencakup aspek kultural, gaya hidup, memori
berasal dari etnis Kao. Beberapa alternatif jawaban
kolektif tentang masa lalu, termasuk diantaranya
menunjukkan bahwa PP ini menjadi salah satu
ketahanan mental mereka yang lebih baik, karena
momentum yang memunculkan kembali ketegangan
kaum migran ini adalah orang-orang yang harus
antara etnis Makian dan Kao, yang sebenarnya telah
mengatasi
lama memiliki potensi konflik. Etnis Kao adalah
displacement
kelompok etnis yang wilayah adatnya didiami oleh
pemindahan kelompok etnis tertentu memberi
etnis Makian, ketika etnis Makian bedol pulau ke
konsekuensi yang lebih berat daripada migrasi antar
106
problem
di
disilusi
wilayah
(dissilution)
yang
baru.
dan
Proses
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 1, 2012
Nurul Aini
Domestifikasi Etnisitas:
Pemekaran Wilayah dan Rutinisasi Kekerasan antar Etnis di Maluku Utara
kategori ras. Proses pembentukan identitas etnis
Menonjolnya kelompok etnis Makian di pulau
lebih dipahami sebagai identitas yang diwariskan
Halmahera telah menjadi pemicu bagi munculnya
(inherited) dan tidak bisa dipindahkan. Konsep etnis
ketegangan antar etnis disana. Proses pembentukan
juga membawa konsekuensi pada praktek sosiologis
ketegangan dalam hubungan antar etnis di Pulau
yang lebih kental (Jenkins, 1997, dalam Isin dan
Halmahera,
Wood, 1999).
differance
kategori
melakukan
yang
pembedaan
lebih
atau
mudah
untuk
distingsi
pada
terkait
dengan
politics
of
yang diberlakukan oleh pihak yang
berkuasa. Terlibatnya etnis Makian dalam struktur
Dalam relasi dengan negara, kategori etnis juga
menjadi
juga
birokrasi diindikasi menjadi faktor yang membuat
PP ini pada akhirnya ditetapkan. Peraturan
pemerintah ini justru dianggap mempertegas
kelompok yang lain. Kategori etnis di dalam negara
politics of difference , yang tentu saja semakin
seringkali menjadikan politic of difference dengan
meningkatkan ketegangan dalam relasi etnis.
representasi penguasa kemudian menjalankan
Peraturan
praktek pembeda kepada kelompok etnis yang lain.
memperhatikan
Demikian halnya dengan kelompok etnis yang
khususnya masyarakat yang heterogen dalam level
memiliki kekuasaan di tingkat lokal berpotensi
sub-etnis, sebagaimana yang bisa ditemui di
menjadi kelompok yang mendomominasi kelompok
propinsi Maluku Utara. Pemekaran wilayah pasca
yang lain.
desentralisasi tahun 1999 dituding menjadi faktor
mudah diberlakukan. Kelompok etnis yang menjadi
pemerintah
aspek
dianggap
kultural
kurang
masyarakat,
yang mendorong terjadinya artikulasi terhadap
Dalam kasus ini, kelompok Makian merupakan
identitas etnis—yang dalam banyak kasus, justru
kelompok etnis yang menarik untuk dilihat, karena
mendorong terjadinya konflik etnis yang lebih kuat.
Makian sebagai kelompok etnis yang bermigrasi
karena dipaksa oleh negara karena kekhawatiran
Tulisan
meletusnya gunung Kie Besi, menjadi kelompok
persoalan
etnis yang cukup dominan di tempat yang baru.
kontestasi antar kelompok. Kontestasi antar etnis di
Kelompok Makian sebagai pendatang, seringkali
Ternate mengalami penguatan karena banyak
membawa sifat alami yang dibawa oleh para
faktor. Tulisan ini akan mencoba melihat bagaimana
pendatang, seperti ulet, tekun, dan berjuang di
masing-masing aktor dalam kontestasi politik
tempat mereka yang baru (Klinken, 2007). Keuletan
mengkonstruksikan persoalan yang ada, khususnya
dan ketahanan etnis pendatang di tempat baru,
aktor yang terlibat dalam pembentukan politics of
ini
menyadari
yang
terkait
adanya
kompleksitas
dengan
konflik
dan
problem disilusi dan displacement. Di pulau
difference —dalam hal ini relasi mayoritas dan
Halmahera, Makian kemudian menjadi etnis yang
Teori tentang rutinisasi kekerasan ini digunakan
menonjol, tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga
untuk
secara politik.
kekerasan ini dilembagakan sehingga kekerasan
sangat berkait dengan upaya mereka mengatasi
minoritas yang melahirkan rutinisasi kekerasan.
menganalisis
bagaimana
konflik
dan
seringkali tidak disadari dan berada dalam tataran
107
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 1, 2012
Nurul Aini
Domestifikasi Etnisitas:
Pemekaran Wilayah dan Rutinisasi Kekerasan antar Etnis di Maluku Utara
simbolik karena telah mengalami proses rutinisasi.
alasan
Konteks pemekaran wilayah, menjadi konteks yang
peningkat
penting
tatakelola pemerintahan menjadi semakin efektif
untuk
melihat
bagaimana
legitimasi
utama
kebijakan
kesejahteraan
pemekaran
karena
sebagai
asumsinya
terhadap identitas etnis sebagai penanda identitas
(Juanda,
yang tunggal, semakin mendapat tempat.
semakin kontra produktif karena tidak adanya
2008).
Pemekaran
wilayah
terbukti
pertimbangan terhadap aspek sosial, ekonomi, serta
keuangan (Hasyim, Dharmawan, Juanda, 2010).
B. Pemekaran Wilayah sebagai Pemantik Konflik
Kontra
Etnis
produktifnya
pemekaran
ini
juga
ditunjukkan dengan justru semakin menguatnya
kontestasi
antar
etnis
pasca
pemekaran.
Walaupun bingkai kekerasan yang terjadi di pulau
Pertimbangan satu wilayah untuk dimekarkan
Halmahera selama beberapa tahun terakhir ini
seringkali lebih berdasar pada pertimbangan
adalah kekerasan yang berlatar belakang politik,
terhadap
tetapi narasi kekerasan juga melibatkan hal yang
primordial, seperti identitas etnis, suku, agama.
lain, seperti ekonomi dan relasi antar etnis yang
Disini,
lebih kompleks. Otonomi daerah yang diberlakukan
memperkuat primordialisme dan esensialisme etnis.
sejak tahun 1999 membawa dampak besar bagi
Fenomena pemekaran wilayah sebagai fenomena
daerah-daerah di Indonesia.
konflik, dapat ditemui dengan mudah di propinsi
Secara sederhana, otonomi atau desentralisasi
Maluku Utara. Isu pemekaran dan perebutan batas
bermakna pengurangan kekuasaan pemerintah
wilayah menjadi isu yang menggerakkan konflik-
pusat untuk mengatur tata kelola pemerintahan di
konflik yang ada pada saat ini. Perebutan enam desa
tingkat daerah. Bagi daerah, otonomi daerah
masuk ke dalam wilayah Halmahera Barat atau
dimaknai sebagai otonomi untuk menerjemahkan
Halmahera
daerahnya sendiri, termasuk mempertanyakan
pertanyaan bahwa penolakan mereka untuk masuk
kembali apakah sistem administrasi di daerah
ke dalam wilayah kecamatan Malifut (yang banyak
mereka telah final. Hasil yang paling terlihat adalah
terdapat kelompok etnis Makian) berkait erat
meningkatnya angka daerah yang ingin dimekarkan
dengan tidak adanya kesamaan historis, ikatan
di Indonesia. Kebijakan pemekaran wilayah di
emosional, dan persamaan identitas. Bagi keenam
Indonesia pada saat ini kembali ditilik ulang
desa tersebut, secara identitas, mereka merasa lebih
efektivitas dan keberhasilannya. Salah satunya
dekat dengan kultur Jailolo dan Kao daripada
adalah
alih-alih
dengan kultur Makian Malifut sehingga mereka
menyejahterakan, justru membuat konflik di tingkat
menolak untuk masuk dalam daerah pemekaran
daerah semakin tersulut.
baru, yakni kabupaten Halmahera Utara (Hasyim,
karena
pemekaran
wilayah,
identitas-identitas
pemekaran
Utara
wilayah
untuk konflik. Ini justru semakin menyingkirkan
108
justru
diantaranya
Dharmawan, Juanda, 2010).
Pemekaran wilayah lantas menjadi arena baru
yang
sifatnya
semakin
menyisakan
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 1, 2012
Nurul Aini
Domestifikasi Etnisitas:
Pemekaran Wilayah dan Rutinisasi Kekerasan antar Etnis di Maluku Utara
Kesamaan identitas menjadi faktor yang sangat
sendiri (inside) dan sense bagi kelompok yang lain
menentukan pembagian batas wilayah. Konflik yang
(outside), karena itu identitas ada karena adanya
bermula dengan isu pembagian batas wilayah
berkait dengan pemekaran Halmahera Barat ke
entitas yang lain
dalam Halmahera Utara merembetkan isu konflik
menandari diri kita, dan tanda tentang diri kita
menjadi isu konflik antara etnis Kao dan Makian,
dibangun
dimana ketika ada momentum, isu konflik antara
kelompok yang lain.
sedangkan
adanya
penandaan
terhadap
secara mendalam dalam berbagai macam studi-
populasi Muslim—terlebih karena memang semua
Muslim,
dari
Penanda identitas kultural, etnis, atau ras dibahas
antar agama. Makian dianggap merepresentasi
adalah
. Karena itu,
identitas menjadi sesuatu yang penting karena dia
Kao dan Makian ini berubah isu menjadi konflik
Makian
Barker,
studi di negara-negara pascakolonial, dimana relasi
Kao
antara penjajah dan yang dijajah menghadirkan
direpresentasikan sebagai bagian dari komunitas
identitas
Kristen, karena Kao memang terdiri dari Kristen,
sementara
meskipun ada juga yang Muslim. Konflik dengan isu
bahwa
yang
Kolonialisme
agama mengalami puncaknya di tahun 1999. Konflik
terjajah
adalah
menggunakan
kekerasan—dalam
ini berulang lagi pada tahun 2003 dan berlangsung
penjajah
adalah
moderen
primitif .
kekuatan
warfare
atau
(dan
tradisi
peperangan) untuk meneguhkan penanda terhadap
hingga kini, dimana 6 desa diperebutkan oleh dua
perbedaan etnis atau kelompok.
kabupaten yakni Kabupeten Halmahera Barat dan
Kekerasan memiliki dimensi yang kompleks. Selama
Halmahera Utara. Warga enam desa merasa lebih
ini, kekerasan mengambil peran yang penting dalam
memiliki kedekatan kultural dengan kabupaten
relasi sosial. Kekerasan menghasilkan kompleksitas
Halmahera Barat dibanding dengan kabupaten baru
yang melahirkan perbedaan identitas. Sebagaimana
hasil pemekaran yakni Halmahera Utara.
teori identitas mengatakan bahwa identitas menjadi
ada ketika ada entitas satu yang berbeda dengan
C. Merutinisasi Kekerasan: Kekerasan sebagai
entitas yang lain. Dalam hal ini satu identitas
Media bagi Penanda Identitas Etnis
membutuhkan penanda untuk membedakan mana
yang in group dan mana yang outgroup, dan
kekerasan
Konflik yang berkait dengan perebutan batas
berujung
pada
kekerasan.
Beberapa
pengertian
dalam
(Barth, 1972, Broch-Due, 2000).
Telah lama kekerasan menjadi salah satu cara bagi
sebuah kelompok untuk menaklukkan kelompok
penanda bagi diciptakannya batas bagi kelompok
lain.
batas
Dalam
perspektif identitas, kekerasan seringkali menjadi
yang
memberi
menjelaskan proses in group dan out group ini
wilayah yang notabene adalah konflik politik
seringkali
membantu
lain. Kelompok etnis yang melihat kekerasan sebagai
identitas
cara untuk meneguhkan kembali identitas mereka,
menyebutkan definisi identitas sebagai konstruksi
memiliki kecenderungan melihat etnis dengan cara
kultural yang membangun sense terhadap diri
pandang essensialisme. Berbagai macam teori
109
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 1, 2012
Nurul Aini
Domestifikasi Etnisitas:
Pemekaran Wilayah dan Rutinisasi Kekerasan antar Etnis di Maluku Utara
tentang etnis telah lama melihat cara pandang etnis
Teori tentang rutinisasi kekerasan ini relevan dalam
dalam kecenderungan yang esensialis. Esensialisme
melihat bagaimana konflik di enam desa yang
etnis melihat bahwa etnis (juga ras, suku, agama,
menjadi
arena
kontestasi
antara
propinsi
gender) adalah kategori biologis yang fixed, tidak
Halmahera Utara dan Halmahera Barat. Bahwa isu
dapat dipertukarkan, dan membawa konsekuensi
yang ada, sebenarnya tidak semata-mata isu adanya
bagi relasi sosial secara natural. Pandangan
Peraturan Pemerintah yang kontroversial, tetapi
esensialis etnis melihat bahwa penerjemahan
juga ada kaitan bagaimana konflik yang terjadi
terhadap identitas etnis melekat pada kategori
sebenarnya muncul sebagai bagian dari adanya
biologisnya (Hall, 1996).
proses
rutinisasi
kekerasan,
dimana
proses
rutinisasi kekerasan ini menjadi basis hegemonik
Pandangan esensialisme etnis ini melihat bahwa
bagi kelompok etnis yang kuat.
pembedaan terhadap kelompok yang lain bagi
kelompok yang berkuasa memberi efek yakni
Membincangkan proses rutinisasi kekerasan tidak
kepastian bagi tetap diteruskannya kekuasaan.
bisa lepas dari relasi kesejahteraan dan kewargaan
Mengutip Broch Due (200:23 ) Violence is often
(citizenship) (Broch-due, 2000). Proses rutinisasi
deployed as part of futile quest to produce
kekerasan
certainty…a means to reinforce essensialised idea
bagaimana rutinisasi kekerasan juga merutinisasi
sebagai
semakin radikal ketika satu kelompok merasakan
yang
identitas—dimana
memproduksi
kepastian
kepastian
identitas
boundaries.
Karena
ekslusi karena ketidakterlibatan satu kelompok
sosial dalam penguasaan basis material seringkali
dalam kehidupan sosial. Narasi sejarah adalah faktor
sangat
penting
bagi
proses
dengan
Isu kesejahteraan menjadi sangat penting dalam isu
itu,
kekerasan menjadi proses yang dirutinisasi ke
yang
berkait
menjadi kelompok yang dominan dan hegemonik.
terus menerus diproduksi dan direproduksi untuk
ethnic
juga
adanya sense of exclusion dan kelompok lain
sangat
dibutuhkan sebagai basis dari solidaritas. Kekerasan
menciptakan
itu
eksklusi atau ketidakterlibatan. Konflik menjadi
about identity and belonging. Kekerasan dianggap
arena
karena
menjadi
rutinisasi
penyebab
bagi
munculnya
angka
kemiskinan. Kemiskinan secara ekonomi semakin
kekerasan. Sejarah, baik secara individual atau
memperkuat perasaan tereksklusi atau tidak
kolektif, menjadi cerita atau narasi yang terus
terlibat
menerus digunakan untuk merawat memori kolektif
dari
kelompok-kelompok
yang
terpinggirkan atau minoritas. Isu kemiskinan secara
tentang satu peristiwa, termasuk memori kolektif
ekonomi menjadi isu konflik yang kuat ketika isu ini
tentang peristiwa kekerasan. Rutinisasi kekerasan
bergabung dengan isu etnis, karena etnis adalah
ini masuk ke dalam memori setiap kelompok,
kompleks persoalan yang berkait dengan adanya
dimana area jangkauan dari proses rutinisasi
konsep identitas dan pembeda .
kekerasan ini tidak hanya di level publik atau
Relevansi terhadap pandangan teoretis ini sangat
komunitas, tetapi juga di level politik dan ruang-
terkait dengan persoalan yang terjadi pada
ruang yang bersifat personal.
perebutan keenam desa tersebut. Sejarah konflik di
110
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 1, 2012
Nurul Aini
Domestifikasi Etnisitas:
Pemekaran Wilayah dan Rutinisasi Kekerasan antar Etnis di Maluku Utara
keenam
desa
tersebut
menunjukkan
bahwa
memindahkan orang-orangnya saja, tetapi juga
transmigrasi lokal etnis Makian dari Pulau Makian
perangkat desanya, pemerintahan lokalnya, dan
ke Halmahera karena letusan gunung Kie Besi di
pemerintahan adatnya. Di tempat yang baru mereka
tahun 1975 adalah titik yang paling penting dan
mendiami wilayah yang menjadi wilayah adat etnik
menentukan bagi relasi antar etnis khususnya
Kao.
dengan etnis yang dianggap sebagai salah satu etnis
Etnis Makian lantas berdiam dan membangun
penduduk asli Halmahera, yakni etnis Kao.
kehidupan baru mereka di pulau Halmahera. Di
program
tempat yang baru, etnis Makian, sebagaimana
transmigrasi dianggap sebagai program yang hingga
menjadi karakter pada migran, menjadi kelompok
saat ini masih cukup kontroversial. Masih segar
etnis yang menunjukkan kepiawaian mereka dalam
dalam ingatan kita bahwa konflik komunal yang
berwiraswasta,
terjadi di beberapa kota di Indonesia dalam 10 tahun
jabatan sebagai birokrat, sehingga beberapa bupati
pertama
dan pejabat di propinsi Maluku Utara adalah orang
Pemindahan
oleh
reformasi
negara
melalui
menghasilkan
gelombang
berpendidikan
dan
mengejar
Makian (Klinken, 2007).
eksodus besar-besaran dari kelompok transmigran
yang ternyata tidak bisa sepenuhnya diterima oleh
Keterwakilan orang Makian di dalam struktur
penduduk lokal. Misalnya transmigran di Aceh yang
birokrasi menjadi kuat karena Makian secara aktif
terpaksa harus mengungsi pasca konflik antara GAM
merepresentasikan diri mereka sebagai bagian dari
dan pemerintah Indonesia. Juga eksodus besar-
struktur kekuasaan negara. Kedekatan sebagai
besaran transmigran dari Madura yang harus pulang
bagian dari struktur kekuasaan ini berpadu dengan
ke tempas asal mereka pasca konflik komunal yang
kepiawaian mereka dalam berwiraswasta ditambah
melibatkan etnis Madura dan Dayak di beberapa
dengan pendidikan yang tinggi menjadikan etnis
tempat di Kalimantan.
Makian dianggap lebih sukses dan sejahtera di
wilayah yang dianggap bukan wilayah asli mereka.
Termasuk diantaranya pemindahan etnis Makian ke
pulau Halmahera, dinilai berbagai macam kalangan
Keberhasilan orang Makian berbanding terbalik
sebagai pemindahan yang menimbulkan masalah
dengan orang Kao, yang tanahnya didiami oleh
dan kontroversi di kemudian hari. Transmigrasi ini
orang-orang etnis Makian pindahan dari pulau
dianggap sebagai program wajib pemerintah guna
Makian. Walaupun dalam kehidupan sosial etnis
menyelamatkan mereka dari ancaman letusan
Makian dan etnis Kao sebenarnya terintegrasi
gunung berapi—yang ternyata di kemudian hari
dengan baik, tetapi kesenjangan ini bagaimanapun
diketahui tidak jadi meletus dengan dahsyat. Tetapi
menjadi bibit bagi konflik yang terjadi di kemudian
gelombang migrasi tetap akhirnya terjadi. Etnis
hari.
Makian, mendiami 16 desa di kecamatan Kao,
Konflik
Halmahera Utara. Perpindahan etnis Makian di
wilayah
kecamatan
Kao
ini
bersifat
antara
Makian
dan
Kao
mengalami
momentum eskalasi ketika pada tanggal 24 Juni, atas
bedol
permintaan Bupati Maluku Utara, pemerintah Pusat
kecamatan, dimana perpindahan ini tidak hanya
111
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 1, 2012
Nurul Aini
Domestifikasi Etnisitas:
Pemekaran Wilayah dan Rutinisasi Kekerasan antar Etnis di Maluku Utara
di
Jakarta
42/99
yang
yang
baru,
yakni
teresensialisasi (Appadurai, 1998) dan bukan lagi,
kecamatan Makian-Malifut (atau kecamatan Malifut)
meminjam istilah Benedict Anderson, sebagai
(Klinken, 2007). Pembentukan kecamatan baru ini
komunitas
tidak hanya terdiri dari 16 desa yang menjadi desa-
community). Hal ini menyisakan pertanyaan besar:
desa yang selama ini ditinggali etnis Makian
Apakah batas wilayah adalah juga sekaligus batas
pindahan Pulau Makian, tetapi juga mecaplok 6 desa
etnis?
menetapkan
mengeluarkan
adanya
PP
kecamatan
lainnya di wilayah Kecamatan Kao dan Kecamatan
bersifat
Pertanyaan
Jailolo yang notabene menjadi wilayah orang-orang
fisik,
yang
ini
yang
terukur,
dibayangkan
sesungguhnya
yang
(imagined
memundurkan
langkah kita. Selama ini, kita menyadari betul bahwa
etnis Kao dan Jailolo, penduduk asli disana (Hasyim,
Indonesia adalah negeri yang wilayahnya terdiri
Dharmawan, Juanda, 2010). Penetapan PP 42/99
dari berbagai etnis, suku, bahasa, dan agama yang
menjadi genderang yang kemudian menjadikan
heterogen. Basis integrasi bangsa kita adalah
konflik menjadi konflik dan kekerasan terbuka.
komunitas yang terbayangkan, dimana Indonesia,
Dari perspektif identitas etnis, persoalan geografis
sejatinya terdiri dari berbagai bentuk formasi sosial
adalah persoalan yang sangat rentan memunculkan
yang kita sadari tetapi kita imajinasikan sebagai
konsepsi primordialisme. Wilayah geografis, yang
bagian yang satu. Menurut Benedict Anderson
berkoinsidensi dengan aspek etnis dan bahasa akan
(1983) dalam bukunya Imagined Community,
mengunifikasi gerakan-gerakan yang berbasis pada
komunitas terbayangkan dari sebuah ide nations
keturunan (darah), bahasa, tradisi, dan etnisitas
menggantikan basis komunitas yang berdasarkan
(Broch-due,
basis
pada religi/ agama dan kedinastian (kingship). Dari
esensialisme menjadikan kekerasan sebagai momen
sini, sebenarnya komunitas terbayangkan merujuk
penting untuk membangun solidaritas. Dalam
pada tatanan masyarakat yang kosmopolitan—
konflik ini, Makian dengan berbagai perangkat yang
dimana basis pengikat salah satunya adalah adanya
menandai
pendatang,
simultanitas yang dibangun secara kalendrikal
pengusaha, birokrat, orang berpendidikan, dan
melalui kapitalisme cetak, seperti novel atau surat
Muslim, berhadapan dengan etnis Kao (dan Jaiololo)
kabar.
2000).
Komunitas
identitasnya—sebagai
dalam
yang direpresentasi sebagai penduduk asli, taat
Kemunculan batas geografis sebagai batas etnis
pada adat, tetapi miskin dan terbelakang. Penetapan
mengingatkan kita pada pembentukan identitas
PP 42/99 yang menyinggung wilayah geografis
struktur
orang Kao, dianggap sebagai hal yang berlebihan,
tantangan
dari
pihak
lawan
kolonial.
Kolonialisme
memberi batas yang jelas pada kategori etnis.
yang melangkahi orang Kao, dan menjadikan ini
sebagai
masyarakat
Negara kolonial secara tegas membedakan antara
untuk
diri/ self
berperang.
dengan
liyan/ the other . Proses
identifikasi terhadap pembeda etnis ini tidak hanya
Batas geografis pada titik ini jelas menjadi batas
sebatas pada identifikasi biologis tetapi juga
etnis. Batas terhadap komunitas etnis menjadi batas
menyangkut hal yang lain seperti birokrasi,
112
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 1, 2012
Nurul Aini
Domestifikasi Etnisitas:
Pemekaran Wilayah dan Rutinisasi Kekerasan antar Etnis di Maluku Utara
pemerintahan, struktur sosial dan yang lebih
kemampuan untuk mendeterminasi norma-norma
penting adalah struktur ekonomi.
sosial yang khusus (ibid: 127).
Oleh karena itu, politik identitas etnis dalam konteks
Arena politik inilah yang menjadikan etnis sebagai
ini, tidak hanya ingin memunculkan keunggulan
arena pertarungan yang selalu dirutinisasi untuk
salah satu etnis sebagai kategori biologis semata-
memberikan legitimasi terhadap kekuasaan satu
mata, tetapi juga karena keunggulan etnis memiliki
kelompok etnik. Di Maluku Utara, kelompok etnis
kaitan dengan keunggulan sosial, ekonomi, dan
Makian muncul sebagai kelompok etnis yang
politik. Hal inilah yang membuat kontestasi etnis
dianggap mewakili citra sebagai kelompok kuat, dan
selalu membutuhkan arena, yakni kekerasan.
etnis Kao dan Jailolo sebagai kelompok asli yang
Dengan kekerasan jugalah, sebuah keputusan yang
dilemahkan oleh sistem kekuasaan. Meskipun ada
sepihak dipaksakan kepada pihak lain. Karena itu
berbagai macam faktor yang melatari, konsepsi etnis
kekerasan yang dipaksakan kepada pihak yang lain
yang demikian semakin melegitimasi perbedaan-
akan menghasilkan pemberontakan (insurrection)
perbedaan etnis yang sengaja dilembagakan melalui
(Turner, 1974). Lebih jauh menurut Turner,
kekerasan untuk terus menerus memberi batas
pembeda bagi etnis.
kekerasan selalu membutuhkan arena, dimana
arena dimaknai sebagai: An arena is a framework—
whether institutionalized or not—which manifestly
D. Domestifikasi
Etnisitas
dan
Paradoks Desentralisasi: Sebuah Catatan
Penutup
functions as a setting for antagonistic interaction
aimed at arriving ar a publicly recognized decision
(ibid: 133).
Keputusan yang besifat publik ini sangat berkait
Menerjemahkan batas etnis semata-mata ke dalam
dengan adanya political field atau ruang politik
batas geografis adalah kemunduran bagi proses
dikontestasikan, atau bahkan dimanifestasikan
diterjemahkan ke dalam wilayah geografis semakin
melalui kekerasan. Dalam konflik antara etnis
menyuburkan pandangan-pandangan esensialisme
Makian dan Kao di Maluku Utara, terlihat bagaimana
dalam melihat identitas, bahwa identitas adalah
arena politik ini terus menerus mereproduksi
sesuatu yang fixed, tidak dapat diperdebatkan, dan
perbedaan etnis dan narasi-narasi tentang konflik
merupakan kategori-katogori biologis dan fisik yang
diantara mereka. Masih mengutip Turner, persoalan
baku.
yang
terus
menerus
integrasi
diperdebatkan,
political field ini memiliki beberapa tujuan, yakni;
bangsa
Indonesia.
Batas
etnis
Sayangnya, negara semakin ikut memperkuat
(1) Berkompetisi untuk memperebutkan hadiah
penerjemahan identitas sebagai semata-mata batas
atau sumberdaya yang langka, (2) Berkompetisi
geografis budaya dengan memberi peluang bagi
untuk mendapatkan hak pengawalan terhadap
tidak terkendalinya pemekaran wilayah. Sengketa
distribusi
batas
sumberdaya,
(3)
Mendapatkan
wilayah
antara Halmahera Utara
dan
Halmahera Barat semakin menunjukkan bahwa
113
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 1, 2012
Nurul Aini
Domestifikasi Etnisitas:
Pemekaran Wilayah dan Rutinisasi Kekerasan antar Etnis di Maluku Utara
pemekaran wilayah menjadi sebuah arena dimana
yang besar bagi pemerintah daerah, sehingga
political field menjadi diperebutkan oleh kelompok-
pelayanan publik yang diberikan kepada warga
kelompok etnis.
negara menjadi lebih dekat. Tetapi pada prakteknya
Konsekuensi
dari
logic
desentralisasi
pemekaran wilayah menjadi alat bagi kelompok
ini
etnis yang berkuasa untuk terus melanggengkan
mengingatkan kita pada pengalaman Afrika yang
kekuasaan etnis dan ini dilegitimasi oleh negara.
dilanda konflik etnis berlarut-larut sebagai akibat
Desentralisasi dalam konteks ini mirip seperti yang
dari warisan politik administrasi kolonial. Mamdani
dicontohkan oleh Mamdani sebagai perubahan dari
(1996) misalnya berargumen bahwa cara negara
proses
kolonial mengontrol dan menundukkan populasi
de-kolonialisme
menjadi
de-rasialisasi.
Dalam konteks ini, desentralisasi justru menguatkan
adalah dengan membentuk warga negara sebagai
etnisasi warga negara.
subyek kultural yang diberi ruang adminstrasi
ini
Akibat dari adanya kekuasaan kelompok yang kuat,
mengabaikan keragaman etnis dalam sebuah
sementara kelompok yang lain berusaha menolak
teritori,
wilayah
legitimasi yang terlalu besar dari kelompok tertentu
administratif baru justru memfasilitasi dominasi
adalah tidak terelakkannya problem horisontal.
kelompok etnis mayoritas kepada kelompok etnis
Problem horisontal yang terjadi antar identitas
minoritas.
yang
semakin diteguhkan dengan adanya campur tangan
dicontohkan Mamdani adalah bahwa negara-negara
negara yang terlampau besar. Representasi negara
Afrika pascakolonialisme, bukanlah pengalaman
melalui peran pemerintah pusat dan dalam konteks
dekolonisasi, melainkan de-rasialisasi. Transfer
di Maluku Utara adalah keberadaan PP yakni PP No
kekuasaan berlangsung dari mayoritas penjajah
42/ 1999 dan UU No. 1/2003 menunjukkan negara
yang rasnya kulit putih ke tangan pribumi yang
dalam hal ini membatasi kelompok tertentu untuk
mereduplikasi perilaku kolonial. Maka proses yang
terlibat aktif sebagai warga negara. Relasi antara
terjadi
negara dan warga negara telah cukup banyak
politik.
Praktek
penundukan
sehingga
Argumen
adalah
semacam
pembentukan
tentang
perebutan
Afrika
akses
terhadap
atas
dibahas oleh ilmuwan sosial. Kekerasan yang
wilayah administratif warisan kolonial. Disanalah
dirutisasi seringkali berganti pada isu negara dan
subyek kultural mayoritas minoritas menjadi
warga negara. Negara sebenarnya adalah entitas
kategori politik.
yang tunggal, tetapi penerjemahan terhadap entitas
sumberdaya
politik melalui
penguasaan
yang tunggal seringkali tidak bisa dilepaskan dari
Kembali ke pokok bahasan kita, menurut PP 125
berbagai macam faktor seperti gender, etnisitas,
tahun 2000 tujuan pemekaran wilayah adalah
kelas, agama, dan pendidikan. Negara sebagai
memaksimalkan pelayanan publik, meningkatkan
kesejahteraan
demokratisasi,
memiliki
masyarakat,
efiensi
tujuan
awal
entitas tunggal sebenarnya bisa muncul sebagai unit
meningkatkan
ekonomi.
Desentralisasi
untuk
meminimalkan
yang merepresentasi banyak kelompok, tetapi
proses kekuasaan menjadikan negara pada akhirnya
dominasi pemerintah pusat, dan memberi peluang
114
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 1, 2012
Nurul Aini
Domestifikasi Etnisitas:
Pemekaran Wilayah dan Rutinisasi Kekerasan antar Etnis di Maluku Utara
mewakili kelompok gender, etnisitas, kelas, agama,
Maluku Utara, menjadi jelas bahwa terdapat
atau tingkat pendidikan tertentu (Broch-due: 2000).
hubungan antara desentralisasi dan reproduksi
kekerasan. Desentralisasi (dalam hal ini kebijakan
Sebagai sebuah unit yang tunggal, hubungan antara
pemekaran)
negara dan warga negara dibingkai dalam upaya
pemenuhan kebutuhan pokok basicneeds
tidak
saja
gagal
menghadirkan
kesejahteraan, tetapi juga menghadirkan drama
yang
kekerasan berbasis etnis dalam rangka perebutan
mana hal ini sangat terkait dengan bagaimana
sumber daya negara. Membayangkan terputusnya
negara memenuhi kesejahteraan warga negaranya,
rantai kekerasan tersebut sama artinya memikirkan
tidak peduli apa latar belakangnya. Hal ini menjadi
kembali relevansi desentralisasi yang terbukti
kondisi basis bagi bekerjanya hubungan yang baik
justru semakin memperkuat ethnic boundaries dan
antara negara dan warga negaranya. Karena itu
rutinisasi kekerasan didalamnya.
negara bertugas menginklusi semua warga negara di
dalam program kesejahteraan yang dijalankan oleh
negara. Kesejahteraan adalah isu semua orang,
Daftar Pustaka
dimana pemenuhan terhadap kebutuhan dasar
Anderson, Benedict R.O’G,
communities. London: Verso
(kesehatan, pendidikan, dan rasa aman) adalah hak
semua orang. Dengan adanya jaminan kesejahteraan
oleh negara,
.
Imagined
Appadurai, Arjun, 1998. Dead certainty: Ethnic
violence in the era of globalisation . Public
culture 10 (2): 225-47
political field , kontestasi, atau
rutinisasi kekerasan yang dilakukan oleh warga
negara bisa dicegah oleh negara, untuk tidak
Barker, Chris, 2004. The SAGE Dictionary of cultural
studies. London, Thousand Oaks, New Delhi:
Sage Publication
menjadi esensialis.
Tetapi, yang menjadi akar persoalan adalah, negara
Barth, Fredik, 1988. Kelompok etnik dan batasannya.
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
didalam dirinya juga tengah mengalami proses
rutinisasi kekerasan itu sendiri. Negara yang
Due, Vigdis Broch dan Schroeder, Richard A (ed.),
2000. Producing nature and poverty in Africa,
Stockholm: Nordiska Afrikainstitute
seharusnya bekerja sebagai unit yang tunggal (dan
netral), ternyata juga menjadi arena bagi kontestasi
political field. Artinya di dalam negara sendiri
Hall, Stuart, 1996. Modernity, London: Routledge
tengah berlangsung proses produksi dan reproduksi
kekuasaan.
Alih-alih
mensejahterakan
berpikir
warga,
negara
Hasyim, Aziz, Dharmawan, Arya Hadi, dan Juanda,
Bambang, 2010. Analisis konflik perebutan
wilayah di propinsi Maluku Utara: studi
kasus konflik perebutan wilayah antara
Halmahera Utara dan Halmahera Barat
tentang enam desa . Sodality: Jurnal
Transdisiplin sosiologi, komunikasi, dan
ekologi lingkungan, vol April 2010, hal 293308
untuk
justru
mereproduksi dan meradikalkan kekerasan dengan
melakukan politics of exclusion atau politics of
difference, karena negara lebih merepresentasikan
kelompok etnis yang kuat.
Bertolak
dari
kasus
konflik
komunal
pasca
desentralisasi dan kasus sengketa enam desa di
115
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 1 No. 1, 2012
Nurul Aini
Domestifikasi Etnisitas:
Pemekaran Wilayah dan Rutinisasi Kekerasan antar Etnis di Maluku Utara
Isin, F. Engin dan Wood, Patricia, K, 1999. Citizenship
and identity, London, Thousand Oaks, New
Delhi: Sage Publication
Klinken, Gerry van, 2007. Perang kota kecil.
Kekerasan komunal dan demokratisasi di
Indonesia. Jakarta: Buku Obor dan KITLV
Jakarta
Mamdani, Mahmood, 1996. Citizen and subject:
contemporary africa and the legacy of late
colonialism.
Princenton:
Princenton
University Press
Turner, Victor, 1974. Hidalgo: History as social
drama . In Turner, Dramas, fields, and
metaphors, Cornwell: Cornwell University
Press
116