proposalaldo

ASOSIASI DAN DISTRIBUSI SPASIAL JENIS LAMUN DI
PERAIRAN TANJUNG TIRAM PANTAI POKA TELUK AMBON
BAGIAN DALAM

PROPOSAL PENELITIAN

OLEH

ALDONAL LETERULU
2013-64-049

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JURUSAN MANAGEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2017

1

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang seluruh
proses kehidupan berlangsung di lingkungan perairan laut dangkal (Susetiono, 2004).
Semua lamun adalah tumbuhan berbiji satu (monokotil) yang mempunyai akar, rimpang
(rhizoma), daun, bunga dan buah (Tomlinson, 1974). Menurut Den Hartog (1977),
tumbuhan ini mempunyai beberapa sifat yang memungkinkan berhasil hidup di laut,
yaitu mampu hidup di media air asin, beradaptasi terhadap kondisi bergaram dapat
bertahan terhadap hempasan arus dan gelombang dan mampu bereproduksi dalam
kondisi terbenam di laut.
Lamun memiliki peran penting dalam ekologi kawasan pesisir, karena menjadi
habitat berbagai biota laut termasuk menjadi tempat mencari makan (feeding ground)
bagi penyu hijau, dugong, ikan, echinodermata dan gastropoda (Bortone, 2000). Peran
lain dari lamun adalah menjadi barrier (penghalang) bagi ekosistem terumbu karang
dari ancaman sedimentasi yang berasal dari daratan.
Perairan Tanjung Tiram terletak pada perairan Teluk Ambon Dalam (TAD).
Memiliki karekeristik substrat

berlumpur dan berpasir. Kondisi fisik perairan ini


memungkinkan untuk ditumbuhi oleh beberapa spesies lamun. memiliki areal padang
lamun multispesifik yang tersusun dari 4 spesies vegetasi lamun yaitu : Enhalus
acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis dan Halodule uninervis (Latuconsina,
2012). Letak perairan Tanjung Tiram yang berada pada Teluk Ambon Dalam yang

2

merupakan perairan semi tertutup sehingga proses pasang surut mempengaruhi fluktuasi
variabel fisik-kimiawi perairan. Tanjung Tiram dijadikan sebagai lokasi penelitian
karena kawasan ini merupakan perairan dengan hamparan lamun yang cukup luas.

1.2. Tujuan Peneltian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
Untuk mengidentifikasi pola sebaran spasial lamun di Perairan Tanjung

Tiram Pantai Poka Teluk Ambon Bagian Dalam.
1.3. Manfaat PKL
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang
distribusi spasial serta diharapkan hasil penelitian ini sebagai perbandingan dari datadata sebelumnya yang pernah diteliti dilokasi Tanjung Tiram.


3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Morfologi dan Klasifikasi Lamun
Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang tumbuh dan
berkembang dengan baik di lingkungan laut dangkal hingga sampai kedalaman 40
meter, membentuk kelompok-kelompok kecil hingga padang yang luas dan dapat
membentuk vegetasi tunggal yang terdiri satu jenis lamun atau vegetasi campuran yang
terdiri dua sampai 12 jenis lamun yang tumbuh bersama-sama pada satu substrat (Den
Hartog, 1977).
Tumbuhan lamun terdiri dari rhizoma (rimpang), daun, dan akar. Rhizoma
merupakan batang yang terbenam dan merayap secara mendatar dan berbuku-buku.
Pada buku-buku tersebut tumbuh batang pendek yang tegak ke atas, berdaun dan
berbunga, serta tumbuh akar. Dengan rhizoma inilah tumbuhan tersebut mampu
menahan hempasan ombak dan arus. Rhizoma tumbuh terbenam dan menjalar dalam
substrat pasir, lumpur, dan pecahan karang (Azkab, 2006, h. 46). Akar pada tumbuhan
lamun mempunyai fungsi sebagai jangkar dan penyerap nutrien dari substrat. Semua
lamun memproduksi rambut akar, kelimpahan rambut akar ini bervariasi pada setiap

spesies (Philips dan Menez, 1988).
Akar dan rhizomanya yang melekat kuat pada sedimen dapat menstabilkan dan
mengikat sedimen, daun-daunnya dapat menghambat gerakan arus dan ombak yang
dapat mempengaruhi terjadinya sedimentasi.

4

Gambar 2. Morfologi tumbuhan lamun (Azkab, 2006)

Di Indonesia terdapat 13 jenis spesies lamun (Tabel 1) yang terdiri dari tujuh marga
(Phillips dan Menez, 1988 dalam Kuriandewa, 2004).
Tabel 1. Komposisi jenis lamun yang ditemukan di perairan Indonesia
Devisi
Anthophyta

Kelas
Angiospermae

Ordo
Helobiae


Famili
Hydrocharitaceae

Cymodoceaceae

Genus
Enhalus
Halophilla

Thalassia
Cymodocea

Halodule
Syringodium
Thalassodendron

Spesies
Enhalus accoroides
Halophila decipiens

Halophila ovalis
Halophila minor
Halophila spinulosa
Halophila sulawesii
Thalassia hemprichii
Cymodocea
rotundata
Cymodocea
serrulata
Halodule pinifolia
Halodule universis
Syringodium
isoetifolium
Thalassodendron
ciliatum

5

2.2. Asosiasi Jenis Lamun
Asosiasi jenis merupakan ukuran kemampuan bergabung atau keeratan antara

spesies. Hal yang di jumpai di alam adalah campuran dari berbagai spesies. Walaupun
ada spesies yang tidak terpengaruh oleh hadirnya spesies lain, tetapi pada umumnya
terdapat dua atau lebih spesies berinteraksi sehingga keadaan populasi suatu spesies
akan berbeda tanpa kehadiran dari spesies-spesies lain yang berinteraksi dengannya
(Tarumingken, 1994). Adanya interaksi antar spesies akan menghasilkan suatu asosiasi
yang polanya sangat ditentukan oleh apakah dua spesies (sama atau berbeda) memilih
untuk berada pada habitat yang sama, mempunyai daya penolakan atau daya tarik, atau
bahkan tidak berinteraksi sama sekali (Khouw, 2008).
Asosiasi interspesifik merupakan ukuran kemampuan bergabung atau keeratan
antara spesies (species affinity). Asosiasi didasarkan pada data ada atau tidak ada suatu
spesies dalam suatu luas areal. Studi asosiasi spesies ada tiga komponen : (1) Menguji
apakah ada kecenderungan asosiasi atau tidak berdasarkan peluan yang telah ditentukan
sebelumnya dalam menguji hipotesis dengan uji statistik, (2) Mendeteksi tipe asosiasi
apakah positif atau negatif. Dan (3) Pengukuran tingkat kekuatan asosiasi berdasarkan
indeks asosiasi.
Umumnya asosiasi antar dua spesies terjadi karena paling sedikit tiga hal yaitu :
1. Kedua spesies memilih atau menghindar habitat yang sama atau faktor
habitat yang sama.
2. kedua speies mempunyai kebutuhan lingkungan abiotik dan biotik yang
umunya sama.


6

3. satu atau kedua spesies mempunyai afinitas terhadap lainnya, apakah atraksi
mutual atau repulse (Ludwig dan Reinolds, 1988).

2.3. Pola Distribusi Lamun
Ekosistem lamun di Indonesia di jumpai pada daerah pasang
surut (inner intertidal ) dan dibawahnya (upper subtidal). Dilihat dari pola
zonasi lamun secara horizontal, ekosistem lamun terletak diantara
dua

ekosistem

penting

yaitu

ekosistem


terumbu

karang

dan

mangrove. Ekosistem lamun berhubungan erat dan berinteraksi
dengan mangrove dan terumbu karang serta sebagai mata rantai dan
penyangga (buffer) bagi kedua ekosistem tersebut. Interaksi ketiga
kelompok ini yaitu, interaksi fisik, nutrien dan zat organik melayang,
ruaya hewan dan dampak kegiatan manusia (Bengen, 2001) .
Zonasi sebaran lamun dari pantai kearah tubir secara umum
berkesinambungan, namun bisa terdapat perbedaan pada komposisi
jenis maupun luas penutupannya. Ekosistem lamun dapat berupa
vegetasi tunggal berupa vegetasi tunggal yang tersusun atas satu
jenis lamun dengan membentuk padang lebat. Vegetasi campuran
terdiri dua sampai 12 jenis lamun yang tumbuh bersama-sama pada
satu substrat. Spesies lamun yang biasanya tumbuh dengan vegetasi
tunggal adalah Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophilla ovalis,
Holodule uninervis, Cymodocea serrulata, dan Thalassodendron ciliatum (Dahuri,

2003). Pada substart berlumpur di daerah mangrove kearah laut

7

sering di jumpai padang lamun dari spesies tunggal yang berasosiasi
tinggi. Sementara padang lamun vegetasi campuran terbentuk
didaerah daerah yang berada didekat pantai yang lebih rendah dan
subtidal yang dangkal. Padang lamun tumbuh dengan baik di daerah
perlindungan serta substrat berpasir dan stabil (Hutomo et al. 1988 in
Dahuri 2003).
Untuk perairan tropis seperti Indonesia padang lamun lebih
dominan tumbuh dengan koloni yang terdiri dari beberapa jenis (mix
species) pada suatu kawasan tertentu. Berbeda dengan kawasan
temperate atau daerah dingin yang kebanyakan di dominasi satu jenis
lamun (single species). Penyebaran lamun memang sangat bervariasi
tergantung pada topografi pantai dan pola pasang surut (Azkab,
2006).
Berdasarkan genangan air dan kedalaman, sebaran lamun
secara vertikal dapat dikelompokan menjadi tiga kategori, yaitu
(Kiswara, 1997).

1. Jenis lamun yang tumbuh di daerah dangkal dan selalu terbuka
saat air surut yang mencapai kedalaman kurang dari 1 m saat
surut terendah. Contoh: Holodule pinifola, Holodule uninervis, Halophila
minor, Halophilla ovalis, Thalassia hemprichii, Cymodoceae rodunata,
Cymodoceae serrulata, Syringodinium isotifolium dan Enhalus acoroides.
2. Jenis lamun yang tumbuh di daerah dengan kedalaman sedang
atau daerah pasang surut dengan kedalaman perairan berkisar

8

1-5 m. Contoh: Holodule uninervis, Halophilla ovalis, Thalassia hemprichii,
Cymodoceae rodunata, Cymodoceae serrulata, Syringodinium isotifolium,
Enhalus acoroides dan Thalassodendron ciliatum.
3. Jenis

lamun yang tumbuh

pada

perairan dalam dengan

kedalaman mulai dari 5-35 m. Contoh: Halophila ovalis, Halophila
decipiens,

Halophila

spinulosa,

Thalassia

hemprichii,

Syringodinium

isotifolium dan Thalassodendron ciliatum.

Sedangkan berdasarkan keadaan pasang surut membagi lamun
yang tumbuh menjadi dua zona, yaitu zona intertidal dan daerah
yang berada jauh pantai . Zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan
pionir yang didominasi oleh Halophila ovalis,Cymodocea rotundata dan
Holodule pinifolia, Sedangkan Thalassodendron ciliatum mendominasi zona
daerah yang berada jauh pantai (Hutomo, 1997).

2.4. Distribusi Spasial Lamun Dengan Menggunakan (surfer 10) Penginderaan
Jauh
Informasi yang akurat mengenai distribusi lamun merupakan hal penting untuk
mengelola sumber daya lamun. Pemetaan sumber daya lamun dapat dilakukan dengan
menggunakan teknik observasi data insitu hingga penginderaan jauh (Short et al., 2001).
Penginderaan jauh untuk lamun berhubungan dengan habitat dasar laut dimana lamun
tertutupi oleh kolom perairan sehingga tingkat intensitas cahaya yang masuk ke dalam

9

air menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman. Prinsip kerja pendeteksian
padang lamun menggunakan citra satelit adalah dengan memanfaatkan nilai reklektansi
langsung yang khas dari tiap objek di dasar perairan yang kemudian direkam oleh
sensor. Mount (2006) menjelaskan bahwa sinar biru dan hijau adalah sinar dengan
energi terbesar yang dapat direkam oleh satelit untuk penginderaan jauh di laut yang
menggunakan spektrum cahaya tampak (400-650 nm). Sebelum melakukan analisis
survei, citra satelit diklasifikasi dengan menggunakan klasifikasi unsupervised untuk
menghasilkan petunjuk dasar dalam menentukan titik observasi lapang. Data lapang
yang akan diambil diantaranya jenis lamun, kepadatan / kerapatan, persen penutupan,
biomasa, substrat dasar dan posisi geografi. Hasil survei lapang akan dicocokkan
dengan tampilan citra yang sudah diklasifikasikan dengan menggunakan klasifikasi
Unsuprevised yang selanjutnya diolah kembali dengan menggunakan program Surfer
10.

2.4. Biomassa Lamun
Biomassa adalah bahan organik yang dihasilkan melalui proses fotosintesis atau
jumlah keseluruhan benda hidup dalam suatu wilayah. Satuan biomassa dinyatakan
dalam gram berat kering/m2 dan gram berat basah/m2. Menurut Fortes (1990) in
Kopalit (2010), biomassa lamun merupakan fungsi dari ukuran tumbuhan dan
kerapatan.

2.5. Habitat Lamun

10

Habitat lamun adalah perairan dangkal agak berpasir dan juga dijumpai di
terumbu karang. Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat
berlumpur sampai berbatu. Namun, padang lamun yang luas lebih sering ditemukan di
substrat berlumpur-berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove dan terumbu karang
(Bengen, 2002).
Padang lamun vegetasi campuran terbentuk di daerah intertidal yang lebih
rendah dan subtidal yang dangkal. Padang lamun tumbuh dengan baik di daerah yang
terlindung

dan bersubstrat pasir, stabil dan dekat sedimen yang bergerak secara

horizontal (Dahuri, 2003). Sebagai tumbuhan yang hidupnya tertancap pada substrat,
sedimen merupakan bagian dari lingkungan fisik yang berpengaruh terhadap
penyebaran jenis. Lamun hidup dalam berbagai tipe substrat, mulai dari lumpur sampai
sedimen dasar terdiri dari endapan lumpur halus (Dahuri, 2003). Kedalaman sedimen
yang cukup merupakan kebutuhan untuk pertumbuhan dan perkembangan lamun.
Lamun tumbuh subur terutama di daerah pasang surut terbuka serta perairan
pantai yang dasarnya berupa lumpur, pasir, kerikil, dan patahan karang mati dengan
kedalaman 4 m. Di perairan yang sangat jernih, beberapa jenis lamun bahkan ditemukan
sampai kedalaman 8-15 m dan 40 m. Bila dibandingkan dengan padang lamun yang
tumbuh di sedimen karbonat yang berasal dari patahan terumbu karang, maka padang
lamun yang tumbuh di sedimen yang berasal dari daratan lebih dipengaruhi oleh faktor
run off daratan yang berkaitan dengan kekeruhan, supai nutrient pada musim hujan,
serta fluktuasi salinitas (Erftemeijer, 1993 dalam Dahuri,2003).

2.6. Substrat

11

Menurut Dahuri et.al. (2001), tumbuhan lamun mampu hidup pada berbagai macam tipe
substrat mulai dari lumpur hingga karang. Kebutuhan substrat yang paling utama adalah
kedalaman substrat yang cukup. Peranan kedalaman pada substrat dalam stabilitas
sedimen, yaitu sebagai pelindung tanaman dari arus laut dan sebagai tempat pengolahan
serta pemasok nutrien. Hampir semua tipe substrat lumpur berpasir yang tebal antara
hutan rawa mangrove dan terumbu karang (Begen, 2001). Berdasarkan karakteristik dan
tipe substratnya, padang lamun di Indonesia dapat di kelompokan menjadi 6 kategori
yaitu lumpur, lumpur pasiaran, pasir, pasir lumpuran, puing karang, dan
batu karang. Pengelompokan ini berdasarkan ukuran partikel dari
substrat tersebut (Dahuri, 2003).

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1.

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2017, pada lokasi perairan
Tanjung Tiram Teluk Ambon Bagian Dalam (Gambar 2).

12

Gambar 2. Peta lokasi penelitian

3.2.

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam Penelitian ini dapat disajikan pada tabel 2.
Tabel 2. Alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan penelitian.

Alat dan Bahan
GPS
Meter rol
Transek Kuadrat

Kegunaan
Menentukan posisi lokasi Penelitian
Untuk mengukur panjang surut pada lokasi Penelitian
Mengamati jenis, tutupan dan tegakan lamun (1x1m)

13

Kantong Plastik
Termometer
Rektometer
Spidol
Kertas & Alat tulis
Kamera
Buku identifikasi
Karet gelang
Pipa paralon
sieve seaker machine

Meletakan sampel lamun untuk keperluan identifikasi
Untuk mengukur suhu perairan
Untuk mengukur salinitas
Memberi label pada plastik sampel
Mencatat jenis dan jumlah lamun yang ditemukan di
lokasi Penelitian
Untuk keperluan dokumentasi
mengidentifikasi sampel yang ditemukan
Pengikat kantong plastic
Untuk mengambil sampel sedimen
Untuk mengayak sampel sedimen

3.3. Metode Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel lamun dilakukan dengan menggunakan metode transek
linier (krebs,1999), yaitu tali transek ditarikk tegak lurus dari garis pantai dengan jarak
antar transek 30 m dan antara kuadran 5 m. pada setiap kuadran dicatat tiap spesies
lamun yang ditemukan pada setiap unit pengamatan dan diambil salah satu tegakan
sebagai contoh, dimasukan kedalam kantong plastik untuk keperluan identifikasi.
Pengambilan substrat menggunakan pipa paralon yang tingginya 15 cm dengan
diameter 10 cm (r = 5 cm) dan tinggi besi 10 cm yang diletakkan pada atas penambat
sedimen agar mudah ditancap di dasar perairan dan tidak mudah untuk terbawa arus.
Substrat diambil pada kedalaman 15 sampai 20 cm, Untuk analisa butiran, sampel
tersebut kemudian dikeringkan dan diayak dengan menggunakan sieve seaker machine
dan dianalisis butiran sedimenny, Selain parameter fisik diukur secara insitu.

3.4 Metode Analisa Data

14

1. Kerapatan Lamun
Rumus yang digunakan untuk menghitung kerapatan lamun adalah dengan
persamaan (Khouw, 2009):
C=

∑ nᵢ
Aᵢ

Di = kerapatan lamun jenis-i (tunas/m2)
Σni = jumlah tunas lamun jenis-i (tunas)
Ai = jumlah luas transek dimana lamun jenis-i ditemukan (m2)
2. Persentase Penutupan Lamun
Nilai persentase penutupan jenis pada setiap kuadrat pengamatan mengunakan
kriteria menurut Saito & Atobe (1970) dalam Khouw (2008):
C=

∑ ( Mi × f i )
∑f

dimana :

C = Persentase penutupan jenis lamun
Mi = Persentase titik tengah dari kelas ke-i
f = Frekuensi (jumlah sektor pada kelas yang sama)
fi = Frekuensi dari kelas ke-i
Persen penutupan relatif jenis lamun dihitung menggunakan formula
Persen Penutupan Jenis Relatif =

Persen penutupan suatu jenis
×100
Persen penutupan semua jenis

Kriteria penentuan kelas dilakukan berdasarkan tabel 3
Atobe (1970) dalam Khouw (2008)

menurut Satio dan

15

Tabel 3. Standar Persentase penutupan lamun
Kelas
5
4
3
2
1
0

Luas area penutupan
Lamun
½ - penuh
¼-½
1
/8 - ¼
1
/16 - 1/8
˂1/16
Tidak ada

Persen lamun yang
tertutup
50-100
25-50
12,5-25
6,25-12,5
˂6,25
0

Nilai Tengah (M)
75
37,5
18,75
9,38
3,13
0

3. Biomassa Lamum
Rumus yang digunakan untuk menghitung Biomassa

lamun adalah dengan

persamaan (Brower dan Zar (1989), yaitu :
B=

W
A

Dimana :
B = biomassa lamun spesies ke-i (gram kering/m2)
W = jumlah total berat spesies ke-i (gram kering)
A = total area studi (m²)

4. Asosiasi Lamun
Koefisien korelasi titik digunakan untuk menentukan asosiasi jenis organisme
(krebs, 1999). Prosedur yang digunakan yaitu dengan menyusun frekuensi
ditemukannya satu jenis lamun dalam setiap satuan contoh tabel kontingensi
2 x 2.
Untuk menghitung koefisien korelasi titik berdasarkan tabel kontingensi 2 x 2
dirumsukan :

V=

a−b
[(a+b)( a+c)(b+d )(c +d )]½

16

Tabel 4. Tabel Kontigensi 2 x 2

Dimana :
a : jumlah unit sampling yang terdapat kedua spesies
b : jumlah unit sampling yang terdapat spesies A, tetapi spesies B tidak
c : jumlah unit sampling yang terdapat spesies B, tetapi spesies A tidak
d : jumlah unit sampling yang kedua spesies tidak terdapat
N : jumlah total unit sampling
5. Substrart

Untuk mengetahui dominasi dari tiap ukuran butiran sedimen
dilakukan dengan rumus Wenworth (1922) :

Dominasi butiran sedimen=

Berat tiap segmenukuran butiran sedimen
×100
Total berat sedimen

17

Untuk menggolongkan sedimen berdasarkan partikel /butiran dapat dilihat pada tabel
2.3
Tabel 2.3. ukuran butiran sedimen menurut skala Wenworth (1922)

DAFTAR PUSTAKA

18

Agandi, Ganesya. 2003. Struktur Komunitas Lamun di
Pagerungan jawa Timur. Skripsi Institut Pertanian Bogor.

Perairan

Azkab MH. 2006. Ada apa dengan lamun. Majalah Semi Polpuler Oseana
31(3):
45-55.

Bengen, G. D., 2001. Ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan
laut. Synopsis.
Pusat Kajian SUmberdaya Pesisir dan Lautan, Intitut Pertanian
Bogor. Bogor. iii+ 62 hml.
Bengen , G.D., 2002. Ekosistem Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip
Pengelolaan. Sinopsis. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut. IPB. Bogor.
Bortone, S.A. 2000. Seagrasses: monitoring, ecology, physiology and management.
CRC Press. Boca Raton, Florida. 318p. Dahuri, R. 2001. Pengelolaan sumber
daya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
64hlm.
Brower, J. E., J. H. Zar dan C. N. von Ende. 1990. Field and laboratory Methods for
general Ecology. Wm. C. Brown Publishers. Boulevard. USA.
Dahuri. R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan berkelanjutan
Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Den Hartog, C. 1970. The Seagrass of the World. North-Holland Publishing Company.
Amsterdam. 297p
Fachrul MF (2007) Metode sampling bioekologi. Edisi ke-2. Bumi Aksara, Jakarta.
Hutomo, H. 1997. Padang Lamun Indonesia : Salah Satu Ekosistem Laut Dangkal yang
belum banyak dikenal. Jurnal Puslitbang Oseanologi – LIPI. Jakarta, Indonesia.
Krebs, C.J . 1972. Ecology : The Experimenthal Analysis of Distribution acd
Abundance Harper and Row Publication. New York, 654 p.
Khouw, A. S, 2008. Metode dan Analisa Kuantitatif Dalam Bioekologi Laut. 346 hal.
Khouw, A.S. 2009. Metode dan Analisa Kuantitatif dalam Bioekologi Laut. Jakarta:
Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut.
Kiswara W. 1997. Struktur komunitas padang lamun perairan
Indonesia.p. 54-61. In: Inventarisasi dan evaluasi potensi lautpesisir, geologi, kimia, biologi, dan ekologi. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

19

Lanuru, M. dan Fitri, R. 2005. Sediment Deposition in A South Sulawesi Seagrass Bed.
Universitas Hasanudin, Makasar.
Latucosina H, Nessa MN, Ambo-Rappe R. 2012. Komposisi spesies dan srutktur
komunitas ikan padang lamun perairan Tanjung Tiram-Teluk Ambon Dalam. Ilmu
dan Teknologi Kelautan Tropis, 4(1): 35-46.
Marsh J. A, Dennison, W. C. dan Alberte, R. C. 1986. Effects of Temperature on
Photosynthesis and Respiration in Eelgrass (Zostera marina L.) Journal Exp Mar
Biol Ecol. 101: 257–267.
McKenzie, L. 2008. Seagrass Watch. Prosiding of Workshop for Mapping Seagrass
Habitats in North East Arnhem Land, Northern Territory. 18 - 20 Oktober. Cairns,
Australia. Hal : 9 – 16.
Nienhuis, D.H., H. C. Mathieson.1991. ecosystem of The world : Intertidal and Litoral
Ecosystem. Elseiver. Amsterdam.
Nontji. A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta
Nybakken, J. W., 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia.
Jakarta.
Philips CR, EG Menez (1988) Seagrass. Smith Sonian Institutions Press, Washington
DC.
Sangadji, S. N., 2013. Komunitas lamun di perairan pantai Negeri Suli. Laporan PKL.
Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Pattimura, Ambon.
Susetiono, 2004. Fauna Padang Lamun Tanjung Merah Selat Lembah. Edisi ke-1 Pusat
Penelitian Oseanografi-Lipi, Jakarta.
Tomlinson, P. B., 1974. Vegetative Morphology and Meristem Dependence – the
Foundation of Productivity in Seagrass. Aquaculture 4 : 107-130.
Waycott, M., McMahon K, J. Mellors, A. Calladine, and D. Kleine. 2004. A Guide to
Tropical Seagrasses of the Indo-West Pacific. James Cook University, TownsvilleQueensland-Australia.

20

Dokumen yang terkait

proposalaldo

0 0 21