PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD), DANA ALOKASI UMUM (DAU), LUAS WILAYAH DAN SISA LEBIH PERHITUNGAN ANGGARAN (SiLPA) TERHADAP PENGALOKASIAN BELANJA MODAL - UMBY repository

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS A. Landasan Teori 1. Keuangan Daerah Berdasarkan PP Nomor 58 tahun 2008 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah menyatakan : “Keuangan Daerah adalah semua hak dan

  kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak kewajiban daerah tersebut.

  Ruang lingkup Keuangan Daerah meliputi :

  a) Hak daerah untuk memungut pajak daerah atau retribusi daerah serta melakukan pinjaman.

  b) Kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dan membayar tagihan pihak ketiga.

  c) Penerimaan daerah.

  d) Pengeluaran daerah.

  e) Kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah. f) Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dan atau kepentingan umum.

2. APBD a. Pengertian APBD

  Berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 17 Ayat 1 APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) merupakan wujud pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap tahun dengan Peraturan Daerah. APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan.

  APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah. Penyusunan rancangan APBD sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah Daerah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan negara. Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD. Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, ditetapkan penggunaan surplus tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD.

  Menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 15 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah bahwa APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Selanjutnya dijelaskan dalam pasal 16 Permendagri Nomor

  13 Tahun 2006 tersebut : 1)

  Fungsi otorisasi berati bahwa anggaran daerah menjadi dasar dalam melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan. 2)

  Fungsi perencanaan berati bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. 3)

  Fungsi pengawasan berati bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. 4)

  Fungsi alokasi berati bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja/pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.

  5) Fungsi distribusi berati bahwa kebijakan anggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

  6) Fungsi stabilisasi berati bahwa anggaran pemerintah daerah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah.

b. Struktur APBD

  Struktur APBD yang terbaru adalah berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah. Struktur APBD yang didasarkan Permenagri 13/2006 Pasal 22 dan 23 atas bagian 3 yaitu : 1)

  Pendapatan daerah, yaitu semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah yang menambah ekuitas dana, merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah.

  2) Belanja daerah, yaitu meliputi semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana, merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah.

  3) Pembiayaan daerah, yaitu meliputi semua transaksi keuangan untuk menutup defisit atau untuk memanfaatkan surplus.

3. Belanja Modal a. Pengertian Belanja Modal

  Menurut PP Nomor 71 Tahun 2010, belanja modal merupakan belanja Pemerintah Daerah yang manfaatnya melebihi 1 (satu) tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada kelompok belanja administrasi umum. Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap berwujud yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Nilai aset tetap dalam belanja modal yaitu sebesar harga beli/ bangun aset ditambah seluruh belanja yang terkait dengan pengadaan/pembangunan aset sampai aset tersebut siap digunakan.

  Belanja Modal termasuk jenis Belanja Langsung dan digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya (Permendagri No. 13 Tahun 2006). Suatu belanja dikategorikan sebagai belanja modal apabila : 1)

  Pengeluaran tersebut mengakibatkan adanya perolehan aset tetap atau aset lainnya yang menambah masa umur, manfaat, dan kapasitas. 2)

  Pengeluaran tersebut melebihi batasan minimum kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang telah ditetapkan oleh pemerintah, perolehan aset tetap tersebut diniatkan bukan untuk dijual atau dibagikan.

  3) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

  b. Peran Belanja Modal

  Belanja modal dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap atau aset lainnya yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di dalamnya adalah pengeluaran biaya untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aset. Sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 53 menyatakan bahwa belanja modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya. Nilai pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang dianggarakan dalam belanja modal hanya sebesar harga beli/bangun aset.

  c. Jenis-jenis Belanja Modal

  Mengenai jenis-jenis belanja modal dikategorikan menjadi 5 bagian, menurut Syaiful (2006) : 1)

  Belanja Modal Tanah Belanja modal tanah adalah pengeluaran/biaya yang digunakan dan sewa tanah, pengosongan, pengurugan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat, dan pengeluaran lainnya sehubungan dengan pemerolehan hak atas tanah, sampai tanah yang dimaksud dalam kondisi siap pakai.

  2) Belanja Modal Peralatan dan Mesin

  Belanja modal peralatan dan mesin adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/pertambahan/penggantian dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin serta inventaris kantor yang memberikan manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan dan sampai peralatan dan mesin dimaksud dalam kondisi siap pakai. 3)

  Belanja Modal Gedung dan Bangunan Belanja modal gedung dan bangunan adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan pembangunan gedung dan bangunan yang menambah kapasitas, sampai gedung dan bangunan dimaksud dalam kondisi siap pakai.

  4) Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan

  Belanja modal jalan, irigasi dan jaringan adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian atau peningkatan pembangunan/pembuatan, serta perawatan, dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan jalan irigasi jaringan yang menambah kapasitas sampai jalan, irigasi dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap pakai.

  5) Belanja Modal Fisik Lainnya

  Belanja modal fisik lainnya adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian atau peningkatan pembangunan/pembuatan serta perawatan terhadap fisik lainnya yang tidak dapat dikategorikan kedalam kriteria belanja modal tanah, peralatan dan mesin gedung dan bangunan, jalan irigasi dan jaringan termasuk dalam belanja ini adalah belanja modal kontrak sewa beli, pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang untuk museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku dan jurnal ilmiah.

d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belanja Modal

  1) Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang berasal dari

  Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran daerah masing-masing dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (PP Nomor 55 Tahun 2005).

  2) Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu yang mempunyai kebutuhan khusus dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah sesuai dengan prioritas nasional (PP Nomor 55 Tahun 2005). DAK dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan masyarakat seperti pelayanan pendidikan, kesehatan dan infrastruktur masyarakat dalam rangka mendorong percepatan pembangunan daerah dan pencapaian sasaran prioritas nasional. 3)

  UU RI Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain Pendapatan Asli daerah yang sah. Hal ini yang menjadi pendorong utama agar pemerintah lebih optimal dalam menggali sumber kekayaan yang ada di daerah tersebut dengan sebaik-baiknya untuk tujuan peningkatan Pendapatan Asli daerah untuk melengkapi sarana prasarana pembangunan daerah guna pelayanan publik yang menjadi kewajiban pemerintah. 4)

  UU Nomor 33 Tahun 2004, Luas wilayah merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan atas penyediaan sarana dan prasarana per satuan wilayah. Maksudnya semakin besar luas wilayah suatu daerah pemerintahan maka semakin banyak juga sarana dan prasarana yang harus disediakan Pemerintah Daerah agar tersedia pelayanan publik yang baik.

  5) Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan

  APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi UU Nomor 33 Tahun 2004. Dana Bagi Hasil merupakan penerimaan daerah diuntungkan karena dapat mengelola kekayaan daerah dan memberikan penerimaan daerah dan juga pembangunan infrastruktur.

  6) SiLPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 Ayat (1) huruf a mencakup pelampauan penerimaan Pendapatan Asli Daerah,

  Pelampuan penerimaan dana perimbangan, pelampuan penrimaan lain-lain pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada pihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan. Dana sisa lebih perhitungan anggaran dapat digunakan oleh pemerinatah untuk pembangunan infrastuktur dalam bentuk belanja modal.

4. Pendapatan Asli Daerah a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD)

  Menurut Darise (2006:145) menyatakan PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pendapatan Asli Daerah sebagai sumber penerimaan daerah sendiri perlu ditingkatkan agar dapat menanggung sebagian beban belanja yang diperlukan untuk penyelenggaraan pemerintahan dan kegiatan pembangunan yang setiap tahun meningkat sehingga kemandirian otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab dapat dilaksanakan.

  Dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 1 Ayat 18 menyebutkan Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah Pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

  Menur ut Abdul Halim (2007:96) “Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah”.

  Menurut Mardiasmo (2002:132) “PAD adalah penerimaan daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain- lain Pendapatan Asli Daerah yang sah”.

b. Sumber Pendapatan Asli Daerah

  Pada Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Pasal 6 disebutkan mengenai sumber Pendapatan Asli Daerah sebagai berikut: 1)

  Pajak Daerah Menurut Undang-undang Nomor 34 tahun 2000 Pasal 1 Ayat 6 tentang Pajak dan Retribusi Daerah disebutkan bahwa Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasar peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.

  Pajak daerah mempunyai peranan ganda, seperti halnya pajak pada umumnya yaitu : a) Sebagai sumber pendapatan daerah (budgetary).

  b) Sebagai alat pengukur (regulatory).

  Jenis pajak daerah dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak daerah, sebagai berikut :

  1) Pajak Provinsi

  a) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas air.

  b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas air.

  c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.

  d) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Pemukaan.

  2) Pajak Kota/Kabupaten

  a) Pajak Hotel

  b) Pajak Restoran d) Pajak Reklame

  e) Pajak Penerangan Jalan

  f) Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C

  g) Pajak Parkir

  Sistem pengenaan pajak :

  a) Pajak progesif, yaitu sistem pengenaan pajak dimana semakin tingginya dasar pajak (tax base), seperti tingkat penghasilan pajak, harga barang mewah dan sebagainya, akan dikenakan pungutan pajak yang semakin tinggi persentasenya.

  b) Pajak proporsional, yaitu sistem pengenaan pajak dimana tarif pajak (%) yang dikenakan akan tetap sama besarnya walaupun nilai objeknya berbeda-beda.

  c) Pajak degresif, yaitu sistem pengenaan pajak dimana walau nilai atau objek pajak meningkat dan jumlah pajak yang dibayar itu semakin kecil.

  2) Retribusi daerah

  Tidak hanya pajak daerah, retribusi daerah mempunyai peranan yang cukup besar dalam sumbangsih terhadap Pendapatan Asli Daerah. Retribusi daerah, yang selanjutnya disebut retribusi, adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan

  Daerah Pasal 1 Ayat 64). Selanjutnya dalam hal pemungutan iuran retribusi ini menganut asas manfaat (benefit principles), dengan maksud besarnya pungutan ditentukan berdasar manfaat yang diterima pengguna yang membayar retribusi dan mendapat manfaat pelayanan dari pemerintah daerah, yang mana semakin efisien pemerintah daerah dalam pengelolaan pelayanan publik disuatu daerah maka semakin rendah biaya retribusi yang dibebankan.

  Menurut UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah disebutkan jenis-jenis retribusi yang ada di daerah dibagi atas 3 golongan yaitu : a)

  Retribusi Jasa Umum Adapun yang termasuk dalam jenis Retribusi Jasa Umum yaitu : 1.

  Retribusi pelayanan kesehatan 2. Pelayanan kebersihan dan persampahan 3. Penggantian biaya cetak Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan

  AKTA catatan sipil 4. Pengujian kapal perikanan

  b) Retribusi Jasa Usaha 1.

  Pemakaian kekayaan daerah 2. Pelayanan terminal 3. Pelayanan tempat khusus parker 4. Tempat rekreasi dan olahraga

  c) Retribusi Perizinan Tertentu

  Perizinan tertentu yang retribusinya dipungut antara lain : 1.

  Izin peruntukkan pengunaan tanah 2. Izin mendirikan bangunan 3. Izin trayek 4. Izin pengambilan hasil hutan

  3) Laba Badan Usaha Milik Daerah

  Perusahaan daerah adalah perusahaan yang sebagian atau seluruh modalnya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan kecuali jika ditentukan yang lain atau berdasarkan UU. Sebagian laba perusahaan daerah merupakan salah satu sumber PAD yang disebut bagian laba BUMD, BUMD dibentuk oleh pemerintah daerah, terdiri dari perusahaan yang bergerak dibidang jasa keuangan dan perbankan (bank pembangunan daerah dan bank pasar) dan dibidang lain, seperti jasa air bersih, jasa di sektor industry, pertanian, perkebunan dan lain-lain. BUMD merupakan cara yang lebih efisien dalam melayani masyarakat, dan merupakan salah atu sumber pendapatan daerah. Jenis pendapatan yang termasuk hasil- hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan antara lain laba, deviden, dan penjualan saham milik daerah. 4)

  Penerimaan lain-lain Pengertian penerimaan lain-lain daerah kabupaten atau kota adalah penerimaan yang diperoleh daerah kabupaten/kota di luar pajak, retribusi, dan laba BUMD. Berikut beberapa contoh penerimaan yang termasuk ke dalam kategori penerimaan lain-lain. Misalnya penerimaan dan hasil penjualan aset milik pemerintah daerah dan jasa giro rekening pemerintah daerah kabupaten dan kota.

5. Dana Perimbangan

  Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah dalam program otonomi daerah ini tentunya meningkatkan tanggung jawab pengelolaan program pada pemerintah daerah. Program pekerjaan sebelumnya ada pada pemerintah pusat, kini didelegasikan secara langsung kepada pemerintah daerah. Hal ini tentunya berimplikasi kepada peningkatan kebutuhan anggaran pemerintah daerah dalam membiayai program kerja yang meningkat tersebut. Maka untuk menciptakan satu sistem yang adil dan proporsional diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.

  Merujuk pada pengertian Dana Perimbangan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 1 Ayat 18 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, Dana Perimbangan diartikan sebagai dana yang bersumber dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

  Perincian pendapatan yang termasuk kedalam Dana Perimbangan terdapat dalam Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Dana Perimbangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yaitu Dana Perimbangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) itu terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK).

a. Dana Bagi Hasil

  Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 1 Ayat 20, Dana Bagi Hasil merupakan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam ranagka pelaksanaan desentralisasi. Pembagian Dana Bagi Hasil ini ditinjau dari kemampuan daerah dalam menghasilkan sumber daya. Daerah yang memiliki potensi sumber daya alam yang banyak, akan mendapatkan porsi yang lebih besar sesuai dari kejayaan alam yang telah ddigali. Selain dari sumber alam, sumber Dana Bagi Hasil juga didapat dari hasil bagi pajak. 1)

  Sumber Daya Alam DBH yang berasal dari sumber daya alam tediri dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi.

  2) Pajak Penetapan alokasi DBH pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

  DBH pajak sendiri disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah.

  a)

DBH PBB

  Penerimaan Negara dari PBB dibagi dengan imbangan 10% (sepuluh persen) untuk pemerintah dan 90% (sembilan puluh persen) untuk daerah . DBH PBB untuk daerah sebesar 90% (sembilan puluh persen) dibagi dengan rincian sebagai berikut: 16,2% (enam belas dua persepuluh persen) untuk provinsi yang bersangkutan, 64,8% (enam puluh empat delapan persepuluh persen) untuk kabupaten/kota yang bersangkutan, dan 9% (sembilan persen) untuk biaya pemungutan. Bagian pemerintah sebesar 10% (sepuluh persen) dialokasikan kepada seluruh kabupaten dan kota. Alokasi untuk kabupaten dan kota sebagaimana dimaksud dibagi dengan rincian sebagai berikut: 6,5% (enam lima persepuluh persen) dibagikan secara merata keseluruh kabupaten dan kota, dan 3,5 (tiga lima persepuluh persen) dibagikan sebagai insentif kepada kabupaten dan kota yang realisasi penerimaan PBB sektor pedesaan dan perkotaan pada tahun anggaran sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan yang ditetapkan. b)

DBH BPHTB

  Penerimaan Negara dari BPHTB dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk pemerintah pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk daerah. DBH BPHTB untuk daerah sebesar 80% (delapan puluh persen) dibagi dengan rincian sebagai berikut: 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan, dan 64% (enam puluh empat persen) untuk kabupaten/kota yang bersangkutan. Bagian Pemerintah sebesar 20% (dua puluh persen) dialokasikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten dan kota. Penyaluran DBH BPHTB dilaksanakan berdasarkan realisasi penerimaan BPHTB tahun anggaran berjalan. Penyaluran DBH BPHTB dilaksanakan secara mingguan. Penyaluran DBH BPHTB dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 205/PMK.07/2009.

  c) DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21

  Penerimaan Negara dari PPh WPOPDN dan PPh pasal 21 dibagikan kepada daerah sebesar 20% (dua puluh persen). DBH PPh WPOPDN dan PPH Pasal 21 dibagi dengan rincian sebagai berikut: 8% (delapan persen) untuk Provinsi yang bersangkutan, dan 12% (dua belas persen ) untuk Kabupaten/Kota dalam Provinsi yang bersangkutan. DBH PPh WPOPDN dan PPh

  Pasal 21 dibagi dengan rincian berikut: 8,4% (delapan empat persepuluh persen) untuk Kabupaten/Kota tempat wajib pajak terdaftar, dan 3,6% (tiga enam persepuluh persen) untuk seluruh Kabupaten/Kota dengan Provinsi yang bersangkutan dengan bagian yang sama besar.

b. Dana Alokasi Umum 1) Pengertian Dana Alokasi Umum

  Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari pendapatan dalan negeri neto dan ditetapkan dalam APBN. Proporsi DAU antara provinsi dan kabupaten/kota dihitung dari perbandingan antara bobot urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota.

  Menurut Bastian (2003:84), Dana Alokasi Umum adalah dana perimbangan dalam rangka untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah. Sedangkan menurut Halim (2002:160), Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

  Dana Alokasi Umum bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan daerah (Djaenuri, 2012:103). Termasuk di dalam pengertian tersebut adalah jaminan kesinambungan penyelenggaraan pemerintahan di seluruh daerah dalam rangka penyediaan pelayanan dasar kepada masyarakat, dan merupakan satu kesatuan dengan penerimaan umum anggaran pendapatan dan belanja daerah. Dengan kata lain, tujuan penting alokasi DAU adalah dalam kerangka pemerataan kemampuan penyediaan pelayanan publik antar pemerintah daerah di Indonesia.

  Dana Alokasi Umum diberikan pemerintah pusat untuk membiayai kekurangan dari pemerintah daerah dalam memanfaatkan pendapatan asli daerahnya. Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan untuk Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (Nurlan, 2006:75). Dalam penelitian Rahmawati (2010) adapun cara menghitung DAU menurut ketentuan adalah sebagai berikut a)

  Dana Alokasi Umum (DAU) ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN. b) Dana Alokasi Umum (DAU) untuk daerah provinsi dan untuk

  Kabupaten/Kota ditetapkan masing-masing 10% dan 90% dari Dana Alokasi Umum sebagaimana ditetapkan di atas.

  c) Dana Alokasi Umum (DAU) untuk suatu Kabupaten/Kota tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah Dana Alokasi

  Untuk Kabupaten/Kota yang ditetapkan APBN dengan porsi Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

  d) Porsi Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud di atas merupakan proporsi bobot Kabupaten/Kota di seluruh

  Indonesia. DAU untuk satu daerah dihitung dengan menggunakan formula : DAU = CF (Celah Fiskal) + AD (Alokasi Dasar)

  Celah fiskal merupakan selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal. Kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum, antara lain penyediaan layanan kesehatan dan pendidikan, penyediaan infrastruktur, dan pengentasan masyarakat dari kemiskinan.

  Kapasitas fiskal diukur berdasarkan Pendapatan Asli Daerah dan Dana Bagi Hasil. Alokasi Dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah meliputi gaji pokok, tunjangan keluarga, dan tunjangan jabatan sesuai dengan tunjangan beras dan tunjangan Pajak Penghasilan. DAU diperoleh dari lembaga statistik pemerintah dan/atau lembaga pemerintah yang berwenang menerbitkan data yang dapat dipertanggungjawabkan.

2) Tahapan Perhitungan Dana Alokasi Umum

  Menurut Kementrian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan, berikut adalah tahapan-tahapan perhitungan DAU : a)

  Tahapan Akademis Konsep awal penyusunan kebijakan atas implementasi formula DAU dilakukan oleh Tim Independen dari berbagai Universitas dengan tujuan memperoleh kebijakan perhitungan DAU yang sesuai dengan ketentuan UU dan karakteristik Otonomi Daerah di Indonesia.

  b) Tahapan Administratif.

  Dalam tahapan ini Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk penyiapan data dasar perhitungan DAU termasuk di dalamnya kegiatan konsolidasi dan verifikasi data untuk mendapatkan validitas dan kemuktakhiran data yang akan digunakan.

  c) Tahapan Teknis.

  Merupakan tahapan pembuatan simulasi penghitungan DAU dilakukan berdasarkan formula DAU sebagaimana diamanatkan UU dengan menggunakan data tersedia serta memperhatikan hasil rekomendasi pihak akademis.

d) Tahapan Politis.

  Merupakan tahap akhir, pembahasan penghitungan dan alokasi DAU antara pemerintah dengan Belanja Daerah Panitia Anggaran DPR RI untuk konsultasi dan mendapatkan persetujuan hasil perhitungan DAU.

3) Ketentuan Perhitungan DAU

  a) DAU dialokasikan untuk: 1.

  Provinsi, dan 2. Kabupaten/Kota

  b) Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto.

  c) Proporsi DAU antara Provinsi dan Kabupaten/Kota dihitung dari perbandingan antara bobot urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Provinsi dan Kabupaten/Kota.

  d) Dalam hal penentuan proporsi sebagaimana dimaksud pada ayat 3 belum dapat dihitung secara kuantitatif, proporsi DAU antara Provinsi, Kabupaten/Kota ditetapkan dengan imbangan 10% (sepuluh persen) dan 90% (Sembilan puluh persen).

  e) Jumlah keseluruhan DAU sebagaimana dimaksud pada ayat 2 ditetapkan dalam APBN (PP Nomor 55 Tahun 2005 Pasal 37).

  Menurut Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan bahwa dasar hukum Dana Alokasi Umum yaitu UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. DAU dialokasikan untuk daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Besaran DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri (PDN) Netto yang ditetapkan dalam APBN. Proporsi DAU untuk daerah Provinsi dan untuk daerah Kabupaten/Kota ditetapkan sesuai dengan perimbangan kewenangan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota.

4) Prinsip Dasar Dana Alokasi Umum (DAU)

  (Ririn 2011 dalam Wandira 2013) menyatakan bahwa prinsip dasar untuk Dana Alokasi Umum adalah sebagai berikut : a)

  Kecukupan Prinsip mendasar yang pertama adalah prinsip kecukupan.

  Sebagai suatu bentuk penerimaan, sistem Dana Alokasi Umum harus memberikan sejumlah dana yang cukup kepada daerah.

  Hal ini berarti, perkataan cukup harus diartikan dalam kaitannya dengan beban fungsi sebagaimana diketahui, beban finansial dalam menjalankan fungsi tidaklah statis, melainkan cenderung meningkat karena satu atau berbagai faktor. Oleh pemerintah daerah mampu membiayai beban anggarannya. Bila Dana Alokasi Umum mampu merespon terhadap kenaikan beban anggaran yang relevan, maka sistem Dana Alokasi Umum dikatakan memenuhi prinsip kecukupan.

  b) Netralitas dan Efisiensi

  Desain dari sistem alokasi harus netral dan efisien. Netral artinya suatu sistem alokasi harus diupayakan sedemikian rupa sehingga efeknya justru memperbaiki (bukan menimbulkan) distorsi dalam harga relative dalam perekonomian daerah.

  Efisien artinya sistem alokasi Dana Alokasi Umum tidak boleh menciptakan distorsi dalam strktur harga input, untuk itu sistem alokasi harus memanfaatkan bergbagai jenis instrument finansial alternative relevan yang tersedia.

  c) Akuntabilitas

  Sesuai dengan namanya yaitu Dana Alokasi Umum (DAU), maka penggunaan terhadap dana fiskal ini sebaiknya dilepaskan ke daerah.

  d) Relevansi dengan tujuan c.

   Dana Alokasi Khusus

  Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan dana perimbangan yang bersumber dari APBN yang diberikan kepada provinsi/kabupaten/kota tertentu dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan pemerintahan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Besaran Dana Alokasi Khusus (DAK) ditetapkan setiap tahun dalam APBN.

  Dana Alokasi Khusus (DAK) sebagai bagian dari pendapatan daerah merupakan suatu bentuk transfer pusat guna mendanai kewenangan yang telah didesentralisasi, yang juga sekaligus mengemban tugas untuk mendukung prioritas nasional (lubis 2010: 28). Secara lebih rinci Yani (2008:172) menyatakan, bahwa Dana Alokas Khusus (DAK) dapat dipergnakan oleh pemerintah daerah untuk mendanai kebutuhan fisik sarana dan prasrana yang menjadi

  Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004 persyaratan untuk memperoleh DAK adalah sebagai berikut: 1)

  Daerah perlu membuktikan bahwa daerah kurang mampu membiayai seluruh pengeluaran usulan kegiatan tersebut dari PAD, Bagi Hasil Pajak dan SDA, DAU, Pinjaman Daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah.

  2) Daerah menyediakan dana pendamping sekurang-kurangnya 10% dari kegiatan yang diajukan (dikecualikan untuk DAK dari Dana

  Reboisasi). 3)

  Kegiatan tersebut memenuhi kriteria teknis sektor/kegiatan ditetapkan oleh menteri /instansi terkait. Adapun kriteria pengalokasian DAK meliputi: 1)

  Kriteria Umum Sesuai dengan pasal 40 UU Nomor 33 Tahun 2004 dinyatakan bahwa alokasi DAK mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dalam APBD. Kriteria umum dihitung untuk melihat kemampuan APBD untuk membiayai kebutuhankebutuhan dalam rangka pembangunan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD dikurangi belanja pegawai.

  2) Kriteria Khusus

  Ditetapkan dengan memperhatikan Peraturan Perundang-undangan dan karakteristik daerah. Karakteristik daerah yang meliputi: untuk Provinsi (terdiri dari: daerah tertinggal, daerah pesisir atau kepulauan, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah rawan bencana, daerah ketahanan pangan, dan daerah pariwisata), untuk Kabupaten/Kota (terdiri dari: daerah tertinggal, daerah pesisir atau kepulauan, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah rawan bencana, daerah ketahanan pangan, dan daerah pariwisata. 3)

  Kriteria Teknis Kriteria teknis dirumuskan oleh kementrian negara atau departemen teknis terkait. Kriteria teknis tersebut dicerminkan dengan indikator

  • –indikator yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi saran prasarana pada masing –masing
berdasarkan lingkup kegiatan yaitu, Pendidikan, kesehatan, infrastruktur, kelautan&perikanan, pertanian, lingkungan hidup, prasarana pemerintahan, keluarga berencana, kehutanan, perdagangan, perumahan dan pemukiman, listrik pedesaan, sarana kawasan, transportasi pedesaan, keselamatan transportasi, dan sarana prasarana.

6. Luas Wilayah

  Wilayah adalah sebuah daerah yang dikuasai atau menjadi teritorial dari sebuah kedaulatan. Luas wilayah pemerintahan merupakan jumlah ukuran dari besarnya wilayah suatu pemerintahan, baik itu pemerintahan Kabupaten, Kota maupun Provinsi. Luas wilayah sangat erat kaitannya dengan geografis suatu daerah.

  Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas dan terdiri dari belasan ribu pulau yang tersebar. Untuk memperlancar proses pemerintahan di daerah yang luas, maka salah satu tujuan pembangunan adalah membangun infrastruktur. Infrastruktur merupakan instrument untuk memperlancar berputarnya roda pemerintahan serta perekonomian sehingga bisa mempercepat akselerasi pembangunan (Basri, 2002).

  Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional (Ardhini, 2011). Luas wilayah dalam hal ini apakah besarannya berpengaruh terhadap jumlah realisasi belanja modal pemerintah yang erat kaitannya dengan peningkatan pelayanan publik.

  Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 luas wilayah merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan atas penyediaan sarana dan prasarana per satuan wilayah. Maksudnya semakin besar luas wilayah suatu daerah pemerintahan maka semakin banyak juga sarana dan prasarana yang harus disediakan pemerintah daerah agar tersedia pelayanan peublik yang baik. Dikaitkan dengan pemekaran daerah maka luas wilayah kemungkinan erat kaitannya dengan penganggaran belanja modal. Daerah Otonom Baru (DOB) hasil pemekaran tentunya berupaya membangun daerahnya dengan berbagai fasilitas layanan publik yang lebih layak terutama di wilayah-wilayah yang belum menikmati pembangunan layanan publik seperti rumah sakit, puskesmas, gedung sekolah, pembuatan tower telekomunikasi, pembangunan pasar-pasar tempat berdagang, pembukaan jalur perhubungan berupa dermaga atau jalan-jalan kota yang memudahkan mobilitas masyarakat terutama dari wilayah- wilayah yang belum terjangkau pemerintah sebelumnya. Jadi semakin luas daerah yang perlu dibangun maka semakin besar belanja modal yang harus dianggarkan.

  Luas wilayah dalam penelitian ini merupakan ukuran besarnya daerah wewenang suatu pemerintahan yang dapat diukur dengan satuan angka. Yang mana luas wilayah antara satu daerah dengan daerah lainnya memiliki luas yang tidak sama, sehingga kebutuhan akan sarana dan prasarana serta potensi yang dimiliki antara satu daerah dengan daerah yang lainnya pun berbeda.

7. SiLPA

  Berdasarkan Lampiran I.02 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 tahun 2010 menjelaskan bahwa SiLPA adalah “selisih lebih antara realisasi pendapatan-LRA dan belanja serta penerimaan dan pengeluaran selama satu periode laporan”. SiLPA tahun sebelumnya merupakan penerimaan pembiayaan yang digunakan untuk menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil daripada realisasi belanja, mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung dan mendanai kewajiban lainnya yang sampai dengan akhir tahun anggaran belum diselesaikan.

  Ada tidaknya SiLPA dan besar kecilnya sangat tergantung pada tingkat belanja yang dilakukan pemerintah daerah serta kinerja pendapatan daerah. Jika pada tahun anggaran tertentu tingkat belanja daerah relatif rendah atau terjadi efisiensi anggaran, maka dimungkinkan akan diperoleh SiLPA yang lebih tinggi. Tetapi sebaliknya jika belanja daerah tinggi, maka SiLPA yang diperoleh akan semakin kecil, bahkan jika belanja daerah lebih besar dari pendapatan daerah sehingga menyebabkan terjadinya defisit fiskal, maka bisa terjadi (SiKPA).

  B. Hasil Penelitian Terdahulu Tabel 2.1 No. Nama Peneliti Judul Variabel Penelitian Hasil

  1. Rahmayani (2016) Skripsi

  Pengaruh Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil Terhadap Belanja Modal Pada Pemerintahan Kabupaten / Kota di Provinsi Sumatera Barat

  Variabel Independen :

   Pendapatan Asli Daerah  Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran  Dana Alokasi Umum  Dana Alokasi Khusus

  Variabel Dependen :

   Belanja Modal Secara parsial Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Bagi Hasil berpengaruh positif terhadap Belanja Modal. Sedangkan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal. Secara Simultan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil berpengaruh positif secara terhadap Belanja Modal.

  2. Khoiriah (2014) Skripsi

  Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Dana Bagi Hasil terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal pada Pemerintah Kabupaten/ kota di Provinsi Sumatera Utara

  Variabel Independen :

   Pertumbuhan Ekonomi  Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran  Pendapatan Asli Daerah  Dana Alokasi Umum  Dana Alokasi Khusus  Dana Bagi Hasil

  Variabel Dependen :

  Secara Parsial Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum mempunyai pengaruh signifikan terhadap pengalokasian Anggaran Belanja Modal.

  Sedangkan PDRB, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.

  Secara Simultan PDRB, Sisa Lebih Pembiayaan

  Anggaran, Pendapatan  Belanja Asli Daerah, Dana Modal Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Dana Bagi Hasil berpengaruh signifikan terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.

  3. Purnama Pengaruh Dana Variabel Secara Parsial (2014) Alokasi Umum Independen : Pendapatan Asli Daerah Skripsi (DAU), dan Luas Wilayah

   Pendapatan Pendapatan mempunyai pengaruh Asli Daerah

  AsliDaerah signifikan terhadap  Dana (PAD), Sisa Belanja Modal.

  Alokasi Lebih Sedangkan Dana

  Umum Pembiayaan Alokasi Umum dan , Sisa

   Sisa Lebih Anggaran Lebih Pembiayaan Pembiayaan (SiLPA), Dan Anggaran tidak Anggaran

  Luas Wilayah mempunyai pengaruh  Luas Terhadap Belanja signifikan terhadap

  Wilayah Modal Pada Belanja Modal Kabupaten Dan Kota di Jawa Tengah Periode 2012-2013

  Variabel Dependen :

   Belanja Modal

  4. Aprizay dkk (2014) Jurnal Akuntansi

  Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Pada Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh

  Variabel Independen :

   Pendapatan Asli daerah  Dana Perimbangan  Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran

  Variabel Dependen :

   Belanja Modal Secara Parsial Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Belanja Modal. secara simultan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran berpengaruh secara bersama-sama terhadap Belanja Modal

  5. Desak Gede Yudi Atika Sari dkk 2017

  Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan Dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Terhadap Alokasi Belanja Modal Kabupaten/Kota Se-Bali

  Variabel Independen :

   Pertumbuhan Ekonomi  Pendapatan Asli Daerah (PAD)  Dana Perimbangan  Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran

  Variabel Dependen :

   Belanja Modal Pertumbuhan ekonomi, dana alokasi umum, dana bagi hasil, dana alokasi khusus tidak berpengaruh terhadap alokasi belanja dan pendapatan asli daerah dan sisa lebih pembiyaan anggaran berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal.

  6. Wimpi Pengaruh Secara parsial

  Variabel

  Priambudi Pendapatan Asli Independen : Pendapatan Asli Daerah (2016) Daerah Dan Dana dan Dana Alokasi

   Pendapatan Alokasi Umum Umum berpengaruh Asli Daerah

  Terhadap Belanja positif dan signifikan (PAD)

  Modal Pada terhadap  Dana Kabupaten Dan Belanja Modal pada

  Alokasi Kota Di Pulau Kabupaten dan Kota di

  Umum Jawa Tahun 2013 Pulau Jawa Tahun 2013. (DAU)

  Pendapatan Asli Daerah

  Variabel

  dan Dana Alokasi

  Dependen :

  Umum berpengaruh  Belanja positif dan

  Modal signifikan secara bersama-sama terhadap Belanja Modal pada Kabupaten dan Kota di Pulau Jawa Tahun 2013

  7. Eko Candra Sidabukke (2016)

  Pengaruh SiLPA, Dana Perimbangan, Dana dan Luas Wilayah Terhadap Belanja Langsung Pada Pemerintah Provinsi di Indonesia Periode 2012-2014.

  Variabel Independen :

   Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA)  Dana Perimbangan  Luas Wilayah

  Variabel Dependen :

   Belanja Langsung Secara Parsial, variabel independen SiLPA tidak memberikan pengaruh yang signifikan, namun variabel Dana Perimbangan dan Luas Wilayah memberikan pengaruh signifikan terhadap Belanja Langsung pada pemerintah daerah provinsi Se-Indonesia.

  Secara simultan atau bersama-sama, variabel SiLPA, Jumlah Penduduk, dan Luas Wilayah berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal pada pemerintah daerah provinsi Se-Indonesia

  8. Tria Analisis Pengaruh Pendapatan Asli Daerah

  Variabel

  Anindya Pendapatan Asli Independen : dan Belanja Modal Kirana Daerah, Belanja berdampak positif

   Pengaruh (2016) Modal, Dan Sisa terhadap pertumbuhan Pendapatan

  Lebih ekonomi yang ada di Asli Daerah

  Perhitungan Jawa Timur. Sedangkan  Belanja Anggaran Sisa Lebih Perhitungan Modal Terhadap Anggaran berpengaruh  Dan Sisa Pertumbuhan negatif terhadap

  Lebih Ekonomi Daerah pertumbuhan ekonomi di

  Perhitungan (Studi Kasus 38 Jawa Timur. Anggaran

  Kota/Kabupaten Se-Jawa Timur

  Variabel

  Tahun 2009-

  Dependen :

  2013)  Pertumbuhan Ekonomi

C. Pengembangan Hipotesis 1.

  Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Pengalokasian Belanja Modal

Dokumen yang terkait

PENGARUH DANA PERIMBANGAN, DANA SISA LEBIH PERHITUNGAN ANGGARAN (SILPA) DAN PENDAPATAN ASLI DAERAH TERHADAP BELANJA MODAL DAN DAMPAKNYA PADA PERTUMBUHAN EKONOMI

0 0 10

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD), DANA ALOKASI UMUM (DAU) DAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) TERHADAP PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA MODAL Se-Provinsi Sumatera Utara 2007-2010

0 0 12

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD), SISA LEBIH PEMBIAYAAN ANGGARAN (SiLPA), DANA ALOKASI UMUM (DAU) dan DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) TERHADAP BELANJA MODAL (Studi Pada Pemerintah Kabupaten Se-Eks Karesidenan Pati Tahun 2011-2016)

0 0 16

SKRIPSI PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD), DANA ALOKASI UMUM (DAU) DAN LUAS WILAYAH TERHADAP ALOKASI BELANJA MODAL PADA KABUPATENKOTA DI SUMATERA UTARA

0 0 11

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA MODAL (Studi Pada Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur periode 2010-2011) - Perbanas Institutional Repository

0 0 29

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA MODAL (Studi Pada Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur periode 2010-2011) - Perbanas Institutional Repository

0 0 14

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA MODAL (Studi Pada Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur periode 2010-2011) - Perbanas Institutional Repository

0 2 25

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD), DANA ALOKASI UMUM (DAU), DAN DANA BAGI HASIL (DBH) TERHADAP PENGALOKASIAN BELANJA DAERAH (PBD) KABUPATENKOTA DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG (PERIODE 2011-2015)

0 1 19

BAB III OBJEK DAN METODOLOGI PENELITIAN A. Tujuan Penelitian - PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA MODAL PEMERINTAH DAERAH - Repository Fakultas Ekonomi UNJ

0 0 11

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH, DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA MODAL PADA KABUPATENKOTA DI PROVINSI SUMATERA SELATAN SKRIPSI

4 14 110