BAB IV PENYAJIAN DATA A. Gambaran Umum Tentang Desa Banjarsari 1. Kondisi Tentang Obyek Penelitian - ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI NGANYAREH KABIN (TAJDIDUN NIKAH) DI DESA BANJARSARI KECAMATAN BANGSALSARI KABUPATEN JEMBER - Digilib IAIN Jember

  BAB IV PENYAJIAN DATA A. Gambaran Umum Tentang Desa Banjarsari

  Desa Banjarsari Kecamatan Bangsalsari kabupaten Jember Provinsi Jawa Timur, merupakan daerah yang keadaan wilayahnya banyak berbukit bukit, berada di sebelah utara dari jalan utama jalur Jember–Surabaya. Tepatnya 7 km sebalah utara dari ibukota kecamatan Bangsalsari,desa Banjarsari merupakan salah satu dari sebelas desa yang ada di kecamatan Bangsalsari. Dengan daerah yang berbukit bukit maka daerah ini sebenarnya berpotensi untuk pengembangan daerah pariwisata, namun semua sarana dan prasarana belum tersedia. Untuk saat ini wilayah ini sebagian besar diperuntukkan untuk daerah perkebunan, khususnya untuk wilayah timur dari desa sehingga banyak tenaga kerja yang terserap dibidang perkebunan ini.

  Desa Banjarsari merupakan desa yang memiliki banyak lahan pertanian. Lahan pertanian yang ada sebagian besar adalah milik PTP Nusantara, sektor tanaman karet dan kopi adalah komoditi utama yang paling banyak dimanfaatkan. Sektor ini merupakan sektor yang menjadi pusat dari perekonomian dari Desa Banjarsari. Warga yang atau buruh perkebunan. Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini adalah faktor tingkat pendidikan yang masih rendah.

  Secara geografis Desa Banjarsari terletak di ketinggian 175 meter diatas permukaan laut, dengan curah hujan 1200 mm per tahun.

  Desa Banjarsari sendiri berada di sebelah selatan dari lereng pegunungan Argopuro.

  Untuk sarana yang berupa jalan desa sudah begitu baik, walau disana sini masih ada kerusakan yang harus diperbaiki, untuk kerusakan jalan memang sering terjadi dikarenakan jalan desa ini adalah jalan keluar masuknya kendaraan besar dari perkebunan PTPN Banjarsari.

  Adapun batas-batas Desa Banjarsari, antara lain sebagai berikut: Tabel 1.2

  Batas wilayah Desa Banjarsari

  Letak Batas Desa/Kelurahan Kecamatan

  Sebelah Utara Badean Bangsalsari Sebelah Selatan Tisnogambar Bangsalsari Sebelah Timur Kemuning Lor Panti Sebelah Barat Tugusari Bangsalsari

  Jumlah penduduk di Desa Banjarsari Kecamatan Bangsalsari Kabupaten Jember pada akhir Tahun 2015 Berjumlah 4818 jiwa dengan jumlah Kartu Keluarga (KK) 1549. Adapun jumlah penduduk Desa Banjasari dari Jumlah Keseluruhan sebagai berikut:

  Tabel 1.3 Jumlah penduduk Desa Banjarsari

  Tahun 2015

  No Uraian Keterangan

  2.342 orang

  1 Jumlah laki-laki 2.476 orang

  2 Jumlah perempuan 4.818 orang

  3 Jumlah total 1.549 KK

  4 Jumlah kepala keluarga Tabel 1.4

  Data usia penduduk Desa Banjarsari Tahun 2015

  No. Usia Jumlah

  1. 0 – 12 bulan 153 orang 2.

  13 Bln - 4 Tahun 369 orang 3. 5 - 6 Tahun 266 orang 4. 7-12 Tahun 492 orang 5. 13 - 15 Tahun 236 orang 6. 16 - 18 Tahun 238 orang 7. 19 - 25 Tahun 634 orang 8. 26 - 35 Tahun 997 orang

  10. 46 - 50 Tahun 583 orang 11. 51 - 60 Tahun 645 orang 12. 61 - 75 Tahun keatas 123 orang

  3. Kondisi Mata Pencaharian Penduduk Desa Banjarsari

  Jenis pekerjaan yang ditekuni oleh penduduk Desa Banjarsari sangatlah beraneka ragam, yaitu sebagai berikut: Tabel 1.6

  Data Jenis Pekerjaan penduduk Desa Banjarsari Tahun 2015

  No. Jenis Pekerjaan Keterangan

  1. Petani 236 orang

  2. Buruh tani 315 orang

  3. Pekebun 421 orang

  4. Pedagang klontong 25 orang

  5. Karyawan swasta 173 orang

  6. Peagawai Negeri Sipil (PNS) 50 orang

  7. Pengusaha kecil 135 orang

  8. Perawat swasta 20 orang

  9. Guru 30 orang

  4. Kondisi Kegamaan Desa Banjarsari

  Kondisi keagamaan penduduk Desa Banjarsari mayoritas agama

  Tabel 1.7 Kondisi Tempat Ibadah Penduduk

  Desa Banjarsari Tahun 2015

  No. Nama Tempat Ibadah Keterangan

  1. Masjid

  5

  2. Musholla

  25

  • 3. Gereja 4. - Wihara -

  6. Pura

  Sebagaimana telah dijelaskan bahwa dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpuln data melalui wawancara, interview, dokumentasi dan catatan lapangan sebagai pendukung dalam penelitian ini. Secara berurutan akan disajikan data hasil penelitian sesuai dengan fokus penelitian.

  Seiring dengan berjalannya waktu perkembangan kehidupan sosial di masyarakat sangatlah pesat begitu pula pertumbuhan penduduk yang semakin padat hingga membuat semua pola dan gaya kehidupan dalam masyarakat desa pun berubah, baik perubahan positif dan negatifnya beriringan secara serentak, perubahan positif yang terjadi di masarakat secara positif akses masuk desa sudah baik dan semakin membaik secara kusam dan hampir luntur yang di pengaruhi oleh adanya kebebasan media sosial, masarakat desa yang terkenal sebagai masarakat gotong royong dahulunya sekarang sudah sangat sedikit sekali di temui di desa hususnya di Desa Banjarsari. Sebagai mana di penyampaian Kepala Desa Banjarsari Naning Roniani

  “kalok masalah pola dan gaya hidup masrakat desa sekarang sudah berbeda dengan tempo saya masih kecil dulu, kalok dulu di masa kanak-kanak saya mau bangun rumah tidak begitu repot kita ada perkejaan yang berat tidak hawatir, karna cukup kita datang saja kerumah-rumah yang ada di sekitar kita (tetangga) ngomong apa yang menjadi hajat kita besoknya sudah datang semua kita menyediakan air dan kopi saja sudah cukup bagi mereka, jadi masarakat dulu sangat kompak, berbeda jauh dengan sekarang pola hidup masarakat sekarang sudah seperti masarkat kota sudah mulai sibuk masing-masing, tapi lepas dari semua itu masarakat sekarang memang bannyak yang beraktifitas mereka sibuk bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarganya. Ada lagi kebiasaan yang sudah punah di desa ini yaitu kebiasaan upacara adat sudah mulai hilang dari benak masarakat kepercayaan kepada adat istiadat sudah sedikit demisedikit sudah akan menghilang dari masarakat , bahkan selametan desa atau biasa disebut bersih desa sekarang sudah tidak pernah di adakan sejak bapak saya menjadi kepala desa selama 18 tahun hingga sampai pada masa saya sekarang yang sudah dua priode, kalok masalah tradisi dalam rumah tangga ya masih banyak yang di jalankan seperti tahlil , hari-hari lahir tujuh bulanan upacara pernikahan,dan banyak lagi yang lain juga termasuk tradisi yang akan anda teliti tentang tradisi “Nganyareh Kabin” itu, hanya saja

  48

  saya pribadi masih belum pernah melakukan.” Dari perbincangan peneliti dengan kepala Desa Banjarsari

  Kecamatan Bangsalsari Kabupaten Jember yang ditemui oleh peneliti menegaskan bahwa keberadaan tradisi nganyareh kabin itu memang benar adanya, yang sudah mendarah daging di sebagian besar masyarakat Desa Banjarsari dari sebagian tradisi adat-adat yang lain bahkan tradisi ini menjadi tradisi yang sangat sakral dan di sakralkan oleh sebagian besar masyarakat sebagai mana penuturan Nurhasan seorang tokoh dusun dukuh

  II Desa Banjarsari sekaligus pelaku tradisi nganyareh kabin.

  “tradisi nganyareh kabin (tajdidun nikah) ini sudah ada sejak nenek sebelum embah (eyang) saya sudah ada, saya sendiri awalnya tidak percaya jangan sampeyan tapi pada akhirnya saya juga terpaksa melakukan dan menuruti petunjuk yang diberikan oleh mertua dan teman-teman juga guru-guru saya mengapa demikian, di tengah perjalanan pernikahan ekonomi dalam keluarga saya sangat parah bahkan saya haru puasa kadang untuk mengantisipasi istri saya tidak makan, yang namanya isti mungkin kan merasa kesal juga harus hidup serba kekurangan hingga membuat istri saya berubah sifat yang asalnya kalam menjadi garang, setiap hari ahirnya saya cekcok hingga saya merasa penasaran dan ingin mencoba untuk melakukan

  “nganyareh kabin” saya mendatangi guru saya memohon

  kesediannya untuk hadir kerumah dalam rangka akad nganyareh kabin, dan hasilnya Alhamdulillah saya benar-benar rasakan hingga saat ini, setelah saya bisa merasakan hikmahnya saya sering melakukannya bahkan saya pernah melakukan akad nganyareh kabin

  49 tersebut sebulan dua kali.

  Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti dengan H.Nurhasan, selakau pelaku tradisi ngayareh kabin (tajdidun nikah) dan sekaligus salah satu tokoh masarakat yang juga sering dijadikan rujukan dalam masalah-masalah hukum yang sering di hadapi oleh masarakat Banjarsari Kecamatan Bangsalsari Kabupaten Jember, selain itu beliu juga sering memimpin beberapa acara upacara adat desa dan slametan yang sering dilakukan oleh warga Desa Banjarsari Kecamatan Bangsalsari Kabupaten Jember ini menilai tradisi nganyareh kabin ini sudah sangat dekat sekali di hati masyarakat bahkan menjadi sebuah alternatif dalam permasalahan dalam keluarga, sebagai mana ungkapan Bapak Suni/ dan istrinya sewaktu peneliti mawancarainya beliu memaparkan bahwa : “Ngayareh kabin adalah sebuah adat yang sering di lakukan oleh orang-orang di desa ini mulai dahulu hingga sekarang, dan kami meyakini tradisi itu baik di karanakan itu sudah di lakukan oleh orang-orang terdahulu kami dari bapak saya embah saya sudah melakukannya, bahkan saya sendiri sering menganjurkan kepada anak-anak dan tetangga terdekat meski tidak semuanya melakukan dan mendengarkan pendapat saya, maklum lah karna saya orang awam yang tidak pernah belajar di pesantren saya hanya santri musangan, karana orang sekarang beda dengan orang-orang dulu apalagi anak-anak muda kalok di bilangin biasa menyangkal. saya sendiri melakukanya sudah sekitar lima tahun yang lalu dan hikmahnya sangat banyak sekali kehidupan kami lebih tenang rasa sayang kepada keluargapun bertambah pengaruh terhadap ekonomi

  50 dalam keluarga pun semakin baik”.

  Melihat penjelasan dari warga Desa Banjarsari di atas semakin memperkuat bahwa masyarakat Banjasari melaksanakan bukan orang baru dalam tajdidun nikah atau nganyareh kabin ini tapi mereka melaksanakn sudah mulai dari terdahulunya, dari nenek moyang mereka, karna kebanyakan dari mereka yang menjadi pelaku tradisi ngnyareh kabin itu tidak tau dasrnya melainkan hanya ikut-ikutan saja .

  a. Sejarah munculnya tradis “Nganyareh Kabin Sejarah terjadinya dan proses tradisi nganyareh kabin (tajdidun nikah) di Desa Banjarsari ada beberapa orang tertentu yang mengetahui dengan terjadinya nganyareh kabin (tajdidun nikah), sebagaimana yang dikatakan oleh bapak Ahmad Fauzi: “Tradisi nganyareh kabin adalah sebuah tradisi yang di sakralkan oleh masarakat desa Banjarsari yang di yakini dapat memberi kemaslahatan dalam rumaha tangganya dari segi ekonomi keharmonisan dan tujuan utama nikah yakni menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah, perjalanan tradisi ini tidak diketahuui secara pasti dari mana awal munculnya dan siapa yang memulainya pertama kali, sepengetahuan seya selama ini masih belum ada literature yang membahas tentang tradisi Nganyareh Kabin (Tajdidun nikah) pelaksanaannya di kalangan masarakat merupakan sebuah warisan tradisi dari sesepuh masarakat Banjarsari. Selama ini massih belum ada catatan yang menulis

  51 tentang tradisi nganyareh kabin”.

  Keterangan informan terhadap peneliti menyebutkan bahwa masih tidak ditemukan sejarah terjadinya tradisi nganyareh kabin (tajdidun nikah) meski demikian tradisi tersebut di yakini masarakat dapat menbawa kemaslahatan, dimana dari pelaksanaan tersebut akan membuahkan sebuah semangat dan motifasi baru untuk selalu menjaga keharmonisan dalam keluarganya.

  Pernyataan diatas sepaham dengan apa yang disampaikan salah satu tokoh masyarakat Desa Banjarsari, Bapak Miftahurrahman yang dalam paparannya ketika di interview oleh peneliti membenarkan bahwasanya sejarah terjadinya tajdidun nikah tidak dapat di ketahui secara pasti dan bukanlah sesuatu yang baru di kalangan masyarakat.

  “Kalok bicara masalah sejarah nganyareh kabin hingga saat ini belum ada yang secara detail menulis tentang bagaimana awalmula kejadiannya kapan dan dimana tradisi ini muncul, akan ke Indonesia kita sudah kaya dengan adat istiadat , tradisi dan budaya local, baik masalah tradisi yang di lakukan secara serentak maupun secara personal, contoh kecilnya kegiatan pada malem jumat malam selasa, diman pada malam jum`at dan malam selasa mereka meyakini bahwa ruh para leluhur mereka pulang ke rumah masing-masing dan di masing rumah dari ahli waris sang leluhur menyediakan sepiring nasi dan lauknya lengkap dengan dengan jenang putih dan merah beserata lampunya, yang sudah disiapkan untuk menyambut leluhur mereka. Ritual yang semacam ini kemudian di islamisasikan oleh para ulama` dengan di barengi bacaan yasin tahlil di masing-masing rumah warga, yang pada asalnya ritual ini di lakukan oleh kaum hindu buda, meski pada ujung di sekarang ini para ulama` ada yang pro dan ada yang kontra tetapi di kalangan masarakat banjarsari ritual ini masih berlaku, saya kira contoh ini hampir sama dengan tradisi nganyareh kabin (tajdidun nikah) karna sebelum islam masuk ke Indonesia masarakat jawa pada umumya sudah dikenal dengan tradisi pengulangan nikah atau kalau dalam bahasa jawanya dikenal dengan istilah bangun nikah, ada juga yang sering di lakukan oleh kalang masarakat jawa asli adanya nikah perak nikah emas dan lain sebagainya, dari sinilah mengapa saya mengatakan bahwa sejarah terjadinya tradisi tajdidun nikah ini

  52 belum ada literature yang menulisnya dan membahasnya.

  Dari keterangan yang di paparkan oleh informan yang oleh peneliti anggap lebih tau tentang permasalahan ini beliu menyatakan jika beliu masih belum pernah menemukan adanya tulisan atau cerita yang menyampaikan kapan dan dimana tradisi Nganyareh Kabin (Tajdidun Nikah) ini di awali dan siapa yang mengawalinya. Melihat keterangan tokoh masarakat yang oleh peneliti dia anggap lebih tau ternyata mereka pun masih belum mengetahui bagai mana asal mula terjadinya tradisi nganyareh

  kabin (tajdidun nikah), hal yang demikian adalah menurut para tokoh dan pelaku tradsi nganyareh kabin(tajdidun nikah) di Desa Banjarsari Kecamatan Bangsalsari.

  Namun kebenaran tradsisi ini masih berlaku di berbagai daerah itu dapat di buktikan dengan hasil wawancara peniliti terhadap beberapa informan yang berhaasil kami wawancarai di salah satu beberapa Desa diluar Kecamatan Bangsalsari sebagai mana penuturan bapak min,beliu adalah seorang pendatang yang berasal dari Ngawi yang mengadu nasibnya di Kabupaten Jember dengan berjualan nasi, warga Desa Kaliwining Kecamatan Rambipuji, Bapak Hobir, seorang petani yang tinggal di Desa Pakis Kecamatan Panti serta dari beberapa kajian terdahulu yang membahas tentang tajdidun nikah, meski berbeda istilah dan penamaannya serta motif dalam terjadinya tradisi tersebut akan tetapi mereka sepakat dengan satu bahasa fiqih yaitu tajdidun nikah.

  Di berbagai daerah pelaksanaan tradisi nganyareh kabin/bangun nikah/nikah perak, emas atau pembaharuan nikah dan lain sebagainya dalam istilahnya yang tidak sama cara dan tatananpun berbeda-beda, pelaksanaan taradisi nikah perak, emas

  53 misalnya tradisi ini di lakukan setiap lima tahun sekali .

  Sedangkan pelaksanaan tradisi nganyareh kabin yang di lakukan didesa Banjarsari Kecamatan Bangsalsari dilakukan kapan saja semau mereka dikalangan masarkat ada yang dalam satu bulan di lakukan dua kali dengan beralasan semakin sering kita melakukannya maka semakin baik dampak yang akan kita dapatkan

  54 .

  b. Prosesi pelaksanaan tradisi “Nganyareh Kabin Tekhnis dan prosesi pelaksanaan tradisi “Nganyareh Kabin” yang di lakukan di Desa Banjarsari Kecamatan Bangsalsari

  Kabupaten Jember. Dapat diketahui dari hasil pengamatan dan wawancara yang penulis lakukan. Adapun proses pelaksanaan yang terjadi dikalangan pelaku tradisi “Nganyareh Kanbin” di Desa Banjarsari adalah sebagai berikut:

  1. Pasangan suami istri yang akan melakukan tajdidun nikah atau

  nganyareh kabin datang kerumah modin atau tokoh agama

  yang bersedia menjadi wali hakim, dalam tajdidun nikah atau

  nganyareh kabin yang mereka lakukan biasanya mereka

  bertanya syarat-syarat yang dibutuhkan dalam tajdidun nikah atau nganyareh kabin.

  2. Pasangan suami istri tersebut telah menyiapkan sebelumnya rukun dan syarat pernikahan sebagaimana yang pertama, hanya sajadalam pelaksanaan tajdidun nikah diketahui oleh keluarga terdekat sajadan tidak mengundang orang umum.

  3. Khutbah nikah oleh tokoh atau orang yang di anggap bisa menjadi wali hakim dengan mengunakan bahasa arab dan jawa, kemudia pelaksanaan ijab dan qabul yang disertai dengan penyerahan mahar dari suami kepada istrinya.

  4. Dan yang terakhir yaitu doa yang dipimpin langsung oleh modin atau tokoh masyarat dan di akhir dengan acara makan bersama ditempat dilaksankan tajdidun nikah. Sebagai mana yang dikatakan oleh Bapak Ahmad Fauzi selaku tokoh dan pelaku tradisi: “Pelaksanaan atau prosesi nganyareh kabin sama dengan persis dengan prosesi akad nikah yang pertama dalam sarat rukun nikahnya ada wali ada saksi ada mahar serta ijab dan kabul, ada kesepakatan antara suami istri hanya saja tidak ada walimah didalamnya, hanya ada tumpeng kecil saja yang kami suguhkan kepada para saksi, yang tak kalah pentingnya adalah pemilihan hari pernikahan yang di cocok kan dengan hari lahir dari pasangan suami istri, ini yang di ajarkan kepada kami oleh mertua saya sendiri karna awalnya saya tidak pernah tau bagai mana prosesi tajdidun nikah ini sebelunya saya hanya mendengarkan

  55 saja.

  Bapak Nurhasan juga mengungkapkan tentang tradisi masalah tradisi nganyareh kabin : “Yang harus di penuhi pertama kalinya sebelum melaksanaan tradisi ngnyareh kabin ini adalah kesepaakatan antara suami istri yang selanjutnya sebagaimana dalam pelaksanaan akad pertama kali yaitu harus ada khotbah nikah, agar menjadi pedoman bagi pelakunya, adanya wali sebagai wakil dari pihak istri,ijab dan qobul adanya saksi, dan yang tak kalah pentingnya harus ada walimah kecil-kecilan, yang di simbolkan dengan adanya tumpeng ketika peosesi nganyareh kabin ini di laksanakan, dan diberikan kepada undangan warga sekitar yang datang karna di

  56 undang sebagai bentuk tasakkuran”. Pelaksanaan tradsisi tajdidun nikah diatas berbeda halnya dengan yang di lakukan oleh bapak Wahid dan bapak Mus/Tori dalam paparannya ketika peneliti menginterview .

  “Yang selama ini saya tahu kalok ada acara ngnyareh kabin prosesi akadnya di awali dengan baca dua kalima shahadat ada wali mertua jika ada jika tidak maka digantikan oleh urutan- urutan wali tersebut, tetapi perwalian yang saya dan istri lakukan memamfaatkan wakil wali yaitu para kiai yang ada di desa ini, jadi saya datang kepada salah satu tokoh di desa ini bawa tumpeng dan dua orang saksi, setelah itu saya di akad lagi dan disaksikan oleh para saksi, setelah saya selesai melaksanakan akad saya member mahar kepada istri saya, hanya itu saja prosesinya tidak ada walimah dan hal ini di rata-rata dilakukan oleh semua masarakat disini meski tidak semua, ada juga yang mendatangkan salah satu tokoh dan melakukan akad di rumahnya sendiri biasanya ini di lakukan oleh orang-orang yang kelas ekonominya di atas rata-rata (mampu) karna setelah acara akat biasanya diadakan tasakkuran dengan mendatangkan para

  57 tetangga dekat sanak familinya”.

  Dari keterangan para tokoh masyarakat dan para pelaku tradisi nganyareh kabin serta sebagian masarakat yang peneliti anggap lebih memahami, dapat di simpulkan bahwa prosesi pernikahan yang baru atau prosesi tradisi nganyareh kabin ini tidak jauh berbeda dengan praktek pelaksanaan akad nikah yang pertama hanya saja tidak ada walimahan seperti yang di lakukan pada prosesi pada akad nikah pertama, meski di dalamnya juga ada unsur walimahan namun para masyarakat tidak menyebutnya sebagai walimah melainkan hanya sekedar tasakkuran kecil- kecilan.

  Secara hukum fiqih dalam prosesi akad nikah pertama dengan kedua sama tidak ada perbedaan karena di dalamnya juda menggunkan sarat rukun nikah yanga ada yang sudah di atur dalam kitab fiqih seperti adanya kedua mempelai adanya wali, ijab dan qabul serta adanya mahar yang baru.

  

2. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tradisi ngayareh

kabin (tajdidun nikah) di Desa Banjarsari Kecamatan Bangsalsari Kabupaten Jember.

  Setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tidak terlepas dari berbagai motif atau adanya faktor-faktor (daya dorong) tindakan yang mendorong seseorang melakukan perbuatan tersebut. Adanya fenomena tradisi “Nganyareh Kabin” pada masyarakat Desa Banjarsari tidak terlepas dari adanya penyebab yang mempengaruhi terlaksananya tradisi ini. Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang penyusun lakukan, setidaknya ada Empat faktor utama yang menyebabkan terjadinya tradisi ini yaitu: a. Karena sengketa

  b. Kepercayaan terhadap adat setempat

  c. Karena hawatir akan rusaknya akad yang pertama d. Kerena ekonomi yang melemah.

  Adapun penjelasan ke empat factor diatas telah penyusun jelaskan kabin yaitu sengketa dan ekonomi dimana di antara sengketa dan ekonomi mempunyai keterkaitan satu sama lain dimana ekonomi merupakan salah satu kebutuhan sehari-hari yang mesti di hadapi dan di butuhkan oleh semua orang.

  Sengketa adalah pertengkaran, perbantahan, pertikaian, dan perkara.Kaitannya dengan hal ini adalah tidak harmonisnya antara suami istri dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini Allah memperingatkan dalam firmannya QS An-nisa’ ayat 19 yang berbunyi:

             

  Artinya: “Apabila kamu tidak senang terhadap istrimu, bisa jadi apa yang tidak kamu senangi itu justru Allah membuat

  58 kebaikan yang banyak didalamnya”.

  Pertikaian dalam sebuah srumah tangga adalah sangat wajar sebab pertiakaian perbedaan pendapat dan lain sebagainya yang ada dalam problematika rumah tangga merupakan salah satu penyedapap atau bumbu rumah tangga yang semua itu ketika bisa dijadikan sebuah pelajaran akan menumbuhkan semangat baru dalam perjalanan selanjutnya, sebagai mana hadist Nabi yang, Artinya “perbedaan yang ada dalam umatku adalah sebuah rahmat”. 59 Dalam kenyataanya kehidupan masyarakat berumah tangga tidaklah semulus dalam anganan pra pernikahan, tidak sedikit dari khalayak masyarakat ketika sudah terjadi sebuah perdebatan dalam rumah tangganya banyak muncul perkataan yang dilarang dalam aturan pernikahan itu sendiri yang tampa mereka sadari mereka telah membuat ikatan sucinya menjadi batal yang disebabkan lontaran kata- katanya yang tidak control, merekapun tidak tahu atau tidak menyadarinya, ketika pasangan itu atau salah satu dari mereka menyadarinya mereka melakukan pembaharuan nikah atau di dalam daerah Madura dikenal dengan bahasa Nganyareh Kabin (tajdidun nikah).

  “Sengketa atau cekcok dalam keluarga adalah sebuah kenyataan yang sering terjadi di kalangan masarakat siapapun oranganya baik orang yang berpendidikan lebih-lebih orang yang tidak berpendidikan, pemicunya bermacam-macam dari sesuatu yang kecil menjadi besar tergantung bagaimana mau menyikapinya biasanya yang sering terjadi dan menjadi pemicunya adalah masalah pemasukan sehari-hari, ada banyak cara sebenarnya yang lebih rasional untuk mengatasi sengketa yang terjadi dalam rumah tangga namun entah mengapa masarakat saya di Banjarsari ini lebih suka menjadikan tradisi nganyareh kabin sebagai sebuah jalan tengah untuk mengahiri persengketaanya.”

  60 Percekcokan adalah awal dari terbukaya pintu tala` banyak dari kalangan masyarakat ketika di dalamnya sudah terjadi percekcokan yang tak kunjung selesai atau tidak menemukan jalan keluar mereka menjadikan tala` sebagai sebuah keputusan akhir tidak dapat ditolak lagi mereka harus ada dalam permasalahan yang halal di lakukan namun perkara tersebut paling dibenci oleh Allah. Kepala Desa Banjarsari memandang pertikaian sebagai sebuah akibat dari tidak seimbangnya ekonomi dalam keluarganya sebagaimana penuturanya ketika di wawancarai oleh penulis.

  “Terjadinya percekcokan di kalangan masarakat Desa Banjarsari 75 % di sebabkan oleh masalah ekonomi 20% di sebabkan karana masalah perselingkuhan 5% di karnakan tidak adanya kesepahaman dalam menata keluarganya, penduduk desa yang rata-rata kelas ekonominya menengah yang kebanyakan dari mereka adalah buruh baik buruh pertanian atau buruh bangunan dan perkebunan mereka harus di hadapkan dengan kebutuhan pokok dalam keluarganya yang serba mahal membuat mereka lebih sering bertengkar karana tidak tercukupinya kebutuhan- kebutuhan sehari-hari yang disebabkan tidak seimbanganya pemadukan yang mereka dapatkan dengan pengeluaran yang

  61 harus di penuhi ini menyebabkan mereka sering beradu mulut”.

  Senada dengan apa yang di sampaikan Kepala Desa Banjarsari tokoh masarakat Banjarsaripun menegaskan bahwa percekcokan di atara masarakat dalam masing-masing keluarganya dalah Ekonomi sebagai mana pendapat H.Nurhasan dalam wawancara penulis di bawah ini

  “Biasanya pertengkaran itu terjadi kalok sudah ada masalh dalam ekonominya seperti misalnya ada istri yang murung-murung siapa istri saya sendiri sama tapi jika sudah di beri uang belanja pasti istri saya senyum, ini hanya sebuah contoh kecil namun tidak semua pertengkaran itu di sebabkan oleh kurangnya belanja wong kadang orang kaya saja sering bertengkrar meski sudah tidak kekurangan uang belanja, terlepas dari semuanya kita tidak bisa memandang sebelah mata terhadap kebutuhan hidup untuk mengrungi hidup ini kita butuh yang namanya uang meski tidak harus banyak paling tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga

  62

  agar istri-istri kita tidak bingung untuk belanja.” Dari pernyataan para informan diatas penulis menyimpulkan bahwa di antara sekian banyak motif terjadinya tajdidun nikah atau nganyareh kabin motif ekonomi adalah motif yang paling urgen hingga sangat potensi untuk dilakukan oleh kalangan masyarakat awam untuk di jadikan sebuah alasan untuk melakukan tradisi nganyareh kabin di mana masarakat akhirnya meyakini dengan melakukan tradisi tajdidun nikah dapat memperbaiki ekonomi dalam keluarga.

  Ekonomi adalah tonggak yang menopang kehidupan manusia. Permasalahan ekonomi dapat terjadi di setiap unit masyarakat mulai dari keluarga sampai negara. Mulai dari unit terkecil, masalah ekonomi dalam keluarga bisa membawa dampak positif maupun negatif bagi anggota keluarga tersebut.

  Masalah ekonomi lebih sering muncul karena ketidak mampuan keluarga tersebut dalam mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pengaruh yang diakibatkan oleh masalah ini sangatlah beragam. Mulai dari ketidak mampuan orangtua untuk membiayai pendidikan anak-anaknya, tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

  Ekonomi merupakan masalah yang sangat urgen dalam kehidupan rumah tangga. Jika keadaan ekonomi tidak seimbang dengan kebutuhan hidup sehari-hari, maka kehidupan dalam rumah tangga tersebut akan mengalami kegoncangan. Meski ekonomi bukanlah tolak ukur untuk mencapai kebahagian dalam keluarga, tetapi disisi lain ekonomi merupakan faktor penentu bagi jalanya kehidupan rumah tangga, apabila dalam sebuah rumah tangga tidak terpenuhi kebutuhan kehidupan kesehariannya akibat keadaan ekonomi yang takdapat mencukupi, maka tidak jarang rumah tangga tersebut tidak harmonis sehingga berakibat pada sering terjadinya percekcokan, seperti yang terjadi pada keluarga bapak Wahid dan istrinya, begitu pula yang terjadi pada pak Mus/Tori dan istrinya, ketika sudah terjadi ketidak harmonisan dalam rumah tangganya maka terjadilah percekcokan di antara mereka, Sebagai mana penyampaian Bapak Mus / Tori dan istrinya

  “Sebenarnya ekonomi bukanlah salah satu faktor penentu untuk hidup yang bahagia bersama anak dan istri akan tetapi untuk dapat memenuhi kebutuhan dalam kehidupan sehari untuk makan biaya sekolah anak dan lain-lain dibutuhkan yang namanya uanga, ketika dalam keluarga sudah terjadi penyusutan pemasukan atau terkena musim pecekklik tidak jarang saya dan istri beradu mulut, secara tidak kita sadari ternyata ketika sudah terjadi kanker (kantong kering) bawaannya istri uring-uringen atau emosian, disinilah puncak mendengarkan beberapa nasehat sesepuh desa yang ada disekitar kami, beliu menyarankan kami untuk melakukan tradisi nganyareh kabin yang menerut beliu dalam melaksanakna nganyareh kabin akan dapat menambah nilai keberkahan dalam ekonomi serta menambah kenyamanan dalam berumah tangga, saya melaksanakan tajdidun nikah

  63 selama ini sudah tiga kali”.

  Apa yang di sampaikan oleh Bapak Mus /Tori senada dengan apa yang di sampaikan bapak Wahid dan istrinya: “saya menikah dengan istri sudah 30 tahun sudah dikarunia anak tiga, lika liku dalam penikahan sudah banyak kami jalani pahit dan manisnya dalam keluarga sudah kami rasakan, benar sekali yang di namakan degan eknomi itu adalah kebutuhan pokok yang harus kita penuhi kalok kita ingin hidup yang tentram tapi dengan sarat penghasilan kita harus dengan cara yang benar meski harus jungkir balik demi mendapatkan keberkahan dalam ekonomi, saya dan istri sudah serung hidup sengsara di mana kami harus bekerja siang malam tak mengenai waktu, siang kami menjadi seorang buruh tani malamnya kami mencari bekecot untuk dijual sebagai tambahan untuk kebutuhan keluaga 15 tahun kami rasakan perjuangan yang begitu keras, dari keadaan inilah saya mencoba untuk melakukan tradisi nganyareh kabin meski awalnya hanya coba-coba untuk mendengarkan saran dari mertua saya, entah apa yang terjadi setelah kami melakukannya kehidupan kami lambat laun tampa kami sadari mengalami perubahan sedikit demi sedikit, sejak ini lah kami meyakini bahwa bengetoah (sesepuh) dalam pendapatnya tidak

  64 asal-asalan melainkan berdasarkan penelitian”.

  Ungakapan senada di sampaikan oleh Bpk, Sur Halil beliu adalah pelaku tradisi Nganyareh Kabinyang sudah berusia lanjut.

  “tradisi ngnanyareh kabin yang sudah menjadi suatu kepercayaan bagi saya hususnya dan umumnya masarakat Banjarsri, yang kami warisi dari para sesepuh kami yang sudah terdahulu ini yang kami yakini dapat memperbaiki ekonomi dalam keluaraga, bukan tampa alasan saya meyakini hal tersebut tapi kami mempunyai cukup alasan yaitu dimana dalam pelaksanaan tradisi ngnyareh kabin ini kami jadikan sebuah media untuk saling intropeksi diri antara saya dengan istri saya yang kedua menurut saya memahami bahwa pelaksanaan tradisi ini dapat membangun semangat baru dalam semua ke adaan sehingga sangat masuk akal sekali jika orang- orang disini meyakini bahwa trdisi dapat memperbaiki ekonomi dalam keluarga.

  Dari penjelsan para informan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya keyakinan masyarakat Jawa khususnya masyarkat Desa Banjarsari kepada warisan adat, tradisi dan budaya sangatlah kuat dan mempengaruhi pada psikisnya hingga menjadikannya berkenyakinan bahwa adat, tradis dan budaya adalah sebuh warisan nenek moyang yang harus dilestarikan tampa mencoba untuk menganalisis secara mendalam apakah hal tersebut benar dan sesuai dengan ajaran agamanya. Hingga disinilah menjadi penting untuk menganalisis secara mendalam tentang kebenaran dan kesesuaian antara tradisi dan ajaran Islam.

  a. Kepercayaan terhadap adat setempat Adat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai- nilai kebudayaan, norma, kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang lazim dilakukan di suatu daerah. Dan kemudian adat ini tidak dilaksanakan akan terjadi kerancuan yang menimbulkan sanksi tak tertulis oleh masyarakat setempat terhadap pelaku yang dianggap menyimpang.

  Dalam (kamus besar bahasa Indonesia) adat istiadat generasi kegenerasi lain sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat, adat yang sudah tertanam dalam kehidupan masyarakat dijadikan sebuah patokan dalam segala pola laku hidup masyarakat secara individu maupun golongan, anggota masarakat selalu membatasi pola lakunya dengan nilai dan norma yang tidak tertulis sebagai sebuah kepercayaan yang di yakini kuarang baik dan akan mendapatkan hukuman secra financial maupun secara moril.

  Perkawinan merupakan salah satu tempat yang banyak dihuni oleh beberapa adat istadat setempat dimana masyarakat itu sendiri tinggal. Misalnya kepercayaan masyarakat dimana sebelum perkawinan dilaksanakan biasanya orang tua mempelai menentukan hari pernikahan dengan perhitungan hari pasaran calon suami dan calon istri dengan harapan dapat kebaikan dari penentuan hari pasaran yang dianggap baik bagi mereka dalam perjalanan pernikahanya ke depan.

  Ketika ada orang tua yag tidak memerhatikan hal-hal tersebut maka ketika di tengah perjalanan pernikahan anaknya terjadi sesuatu yang membuatnya tidak harmonis sering terjadinya persengketaan, percekcokan, kurang lancarnya ekonomi dan lain sebagainya maka para orang tua itu berinisiatif untuk melakukan tradisi nganyareh kabin, dengan memperhatikan hari pasaran kelahirannya atau nepton dan hari pernikahan atau pelaksanakan akadnya, dengan harapan kehidupan akan lebih harmonis.

  3. Analisis Hukum Islam terhadap tradisi Nganyareh Kabin (Tajdidun Nikah) yang di anggap dapat memperbaiki ekonomi dalam keluarga di Desa Banjarsari Kecamatan Bangsalsari Kabupaten Jember.

  a. Analisis Hukum Islam TerhadapTradisi Sebelum melangkah kepada pembahasan analisis hukum

  Islam terhadap tradisi “Nganyareh Kabin” di Desa Banjarsari kecamatan Bangsalsari kabupaten Jember, terlebih dahulu penyusun akan membahas pandangan hukum Islam terhadap adat, untuk mendapatkan gambaran umum dan jelas bagaimana pandangan hukum Islam terhadap adat atau tradisi.

  Adat secara bahasa berarti kebiasaan dan secara syar’i diartikan sebagai apa yang sudah dikenal dan dipraktikkan oleh manusia, baik berupa perkataan, perbuatan atau meninggalkan

  65

  suatu perbuatan . Definisi senada juga dikemukakan oleh Hasbi ash-Siddieqy bahwa adat adalah sesuatu yang oleh manusia telah dijadikan kebiasaan yang telah digemari dalam kehidupan

  66 mereka.

  65

  Baik Khallaf maupun Hasbi memandang adat itu harus berlaku umum, sudah dikenal oleh manusia dan terus berlangsung, kaitannya dengan kebiasaan yang berlaku umum ini ada dua permasalahan; (1) Bahwa adat (kebiasaan) itu dipraktikkan oleh masyarakat, (2) Adat dipraktikkan oleh sebagian kelompok masyarakat jika adat tersebut hanya untuk masyarakat tertentu.

  Adat kebiasaan yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat selama tidak mendatangkan kerusakan atau menyalahi norma umum dan ajaran agama, maka adat dapat diterima dan berjalan terus sebagai salah satu dasar dalam mengambil keputusan hukum. Hal itu sebagaimana kaidah fiqih al-‘Addah

  Muhakkamah kaidah ini berlaku ketika sumber-sumber

  primer (nas) tidakmemberikan jawaban terhadap masalah yang

  67 muncul.

  Penerimaan adat tersebut di atas didasarkan pada pemakaian bahwa sesuatu yang telah dilakukan oleh seluruh masyarakat atau sebagiannya dan telah menyatu dalam kehidupan sehari-hari adalah baik selama tidak dinyatakan lain oleh hukum, sesuatu dianggap baik oleh masyarakat maka baik juga menurut Allah swt seperti yang diriwayatkan oleh IbnuMas’ud.

  ﺄﻴﺷ نﻮﻤﻠﺴﳌا ﻩأرﺎﻣو ﻦﺴﺣ ﷲا ﺪﻨﻋ ﻮﻬﻓ ﺎﻨﺴﺣ نﻮﻤﻠﺴﳌا ﻩأر ﺎﻣ ْﻲﺷ ﷲا ﺪﻨﻋ ﻮﻬﻓ

  Adat dalam penilaian tidaklah berdiri sendiri. Norma yang baik harus diukur sesuai dengan norma agama walaupun belum diserap ke dalam hukum Islam maka dapat diamankan, dengan demikian adat dapat berlaku dan dijadikan pedoman dalam kehidupan bila sudah menjadi ketentuan yang sesuai dengan

  68 syara’ .

  Dengan demikian adat dapat diterima apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut:

  1. Adat tidak bertentangan dengannas.

  2. Adat telah berlaku dan telah menjadi pedoman terus menerus dalam masyarakat.

  3. Adat merupakan adat yang umum, karena adat yang

  69 umum tidak dapat ditetapkan dengan adat yang khas.

  Jadi adat yang dianggap baik sebagai sumber luar bagi Hukum Islam hanya adat kebiasaan yang sesuai dengan pokok- pokok syar’i oleh karena itu segala yang bertentangan dengan semangat dan tujuan nash, sama sekali tidak diakui dalam Hukum Islam.

  ‘Urf ada dua macam, sahih dan fasid. ‘Urf sahih adalah yang dikenal oleh masyarakat dan tidak menyalahi dari syar’i serta tidak membatalkan yang wajib. ‘Urf ini wajib dipelihara dalam pembentukan Hukum Islam dan proses peradilan. Seorang mujtahid harus mempertimbangkannya, karena apa yang sudah dimengerti oleh manusia yang tidak menjadi tradisi tetap telah menjadi kesepakatan dianggap sebagai kemaslahatan serta tidak kontradiksi dengan syar’i.

  Patokan yang dijadikan dasar dalam penyelesaian adat adalah ukuran maslahah mursalah. Maslahah dapat ditinjau dari dua sisi, yaitu suatu yang mendatangkan manfaat bagi kehidupan ummat. Sesuatu baik apabila mengandung unsur manfaat dan dianggap tidak baik apabila dalam tindakan itu terdapat unsur mudarat, apabila kedua unsur tersebut ada dalam satu perbuatan maka yang dijadikan patokan adalah unsur yang terbanyak.

  Apabila merujuk pada kontek sejarah masa silam, pada saat terjadinya proses asimilasi nilai-nilai hukum Islam yang dibawa oleh nabi sebagai pengembangan propetion mission dari Allah swt dengan sosiokultural, tradisi, dan adat masyarakat Arab masa itu, terdapat beberapa nilai maslahah, adat Arab sebelum Islam datang dan dapat diklasifikasi;

  1. Adat lama secara turun temurun diterima oleh Hukum

  Hal ini berlaku terhadap norma adat yang menurut pandangan agama Islam adalah baik prinsip maupun pelaksanaannya.

  2. Adat yang diterima agama dengan jalan penyesuaian dalam arti tidak lagi dalam bentuknya yang asli. Hal ini berlaku terhadap norma adat yang dianggap baik tetapi dalam penerapannya tidak baik.

  3. Adat lama ditolak oleh agama dengan arti adat lama harus ditinggalkan oleh orang-orang yang sudah

  70 menyalahi norma-norma agama.

  Dalam menghadapi adat kebiasaan yang berlangsung seperti dalam pengelompokan yang sudah disebut di atas, maka langkah-langkah yang ditempuh oleh hukum Islam sebagai berikut: a. Hukum Islam mengakui adat dan berlaku untuk seterusnya dengan artian, bahwa pembuktian Hukum Islam memberlakukan suatu hukum untuk ummat Islam yang sebenarnya. Hukum tersebut sudah berlaku dalam adat, pengakuan ini berlaku terhadap yang secara prinsip maupun pelaksanaannya sejalan dengan Hukum Islam. Misalnya 70 pembayaran diyat yang harus dibayar oleh pihak pembunuh

  

Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Waris Dalam Lingkungan Adat Waris Minangkabau, kepada keluarga terbunuh, hukum ini berlaku di Arab sebelum Islam datang. Di samping itu Al-Qur’an menetapkan diyat dalam surah Al-Baqarah 178 bagi pembunuhdisengaja dan ayat 92 surah An-Nisa`.

  b. Hukum Islam dalam bentuk wahyu ilahi atau lisan nabi menerima adat dan lembaga lama dari segi prinsip, tetapi dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan hukum Islam. Dalam hal ini Zihar (ucapan seorang suami yang mempersamakan ibu dengan istrinya) menurut adat Arab ucapan itu membatalkan hubungan suami istri tetapi tidak memutuskan hubungan suami istri sebelum suami atau istri kembali membayar kaffarah zihar sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah swt dalam surah Al-Maidah ayat 3 tentang masalah zihar.

  c. Dalam menghadapi perbedaan prinsip yang berbeda maka prinsip baru yaitu ajaran Islam harus dinamakan pelaksanaannya. Bila kemudian memungkinkan maka prinsip adat bias dijalankan. Seperti perbedaan prinsip kewarisan unilateral menyampaikan prinsip kewarisan seperti yang terdapat surah An- Nisa ayat 7, 11, 12, dan 176 maka harta warisan harus diberikan kepada ahli waris yang disebut dalam Al-Qur’an dan bila ada lebihnya diberikan pada pihak laki-laki yang terdekat. Hal ini tidak jauh berbeda dengan prinsip lama.

  d. Menghapus atau menyatakan tidak berlaku adat. Dalam hal- hal yang menyatakan baik namun pelaksanaannya bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam hal ini secara keseluruhan hukum Islam berlaku untuk mengganti adat dengan pendekatan adaftif dan harmonis. Seperti pengharaman minum- minuman keras yang dinyatakan pelarangannya secara berangsur-angsur. Karena berkaitan dengan kebiasaan masyarakat yang sudah mendarah daging sehingga perlu diadakan pendekatan evolutif.

  e. Terhadap adat kebiasaan yang belum diresepsi oleh hukum Islam dengan cara- dan tidak ada keterangan yang pasti tentang penghapusannya makadalamhal ini Islam tidak memformulasikan dan menyerahkan pada pandangan

  71 manusia.

  Dalam menghadapi prinsip yang kelimaini, adat kebiasaan yang belum jelas kedudukannya maslahat yang yang harus dijadikan dasar pemikiran, artinya suatu kebiasaan yang sudah berlaku sebelum datangnya Islam atau terjadi dan dibiasakan kemudian, selama tidak mendatangkan kerusakan atau menyalahi norma umum ajaran agama, pada dasarnya tetap berlaku untuk seterusnya.

  Dari uraian di atas diantara lima persentuhan dan perpaduan adat dan agama, maka tradisi “Nganyareh

  Kabin” termasuk pada bagian kelima dimana nash tidak memerintahkan akan tetapi tidak juga melarangnya.

  1. Pandangan Normatif Fiqhiyah Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa secara umum

  Islam bisa menerima kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat selama tidak menyalahi norma-norma dan syar`i pengakuan hukum islam terhadap tradisi tersebut sesuai dengan kaedah

  72 fiqh .

  ﺔﻤﻜﶈا ةدﺎﻌﻟا

  Oleh karena itu adat istiadat dapat menjadi salah satu sumber hukum dalam hukum Islam yaitu sebagai sumber hukum sekunder.

  Dengan demikian, kebiasaan masyarakat desa Demangsari dalam melakukan tradisi “Nganyareh Kabin” sebagai upaya dalam menjaga keharmonisan dalam rumah tangga dan mencegah perceraian dapat diterima oleh hukum Islam. Tradisi yang tidak diterima adalah sesuatu yang dilebih-lebihkan yang dapat memberatkan bagi salah satu pihak yang akan melakukannya atau sesuatu yang sebelumnya tidak ada hukumnya atau yang tadinya hanya mubah saja kemudian hukum tersebut diganti menjadi sunnah atau bahkan wajib, sehingga dapat memberatkan seseorang yang akan menjalankannya.

  Tradisi “Nganyareh Kabin” ini sendiri adalah suatu pilihan bagi pasangan suami istri yang sedang dilanda permasalahan bukan menjadi suatu keharusan. Pasangan suami istri bisa melakukannya atau tidak tergantung kemauan mereka. Jika mereka mau melakukannya, maka akan ada kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka, sedangkan jika tidak mau melakukannya maka perceraian adalah jalan terakhir bagi mereka.

  Sebenarnya permasalahan yang ada bukanlah bersumber dari akad perkawinan mereka, akan tetapi akar permasalahannya terdapat pada diri mereka sendiri, sedangkan tradisi ini hanya dijadikan sebagai motivasi psikis saja agar pasangan suami istri itu bisa merubah sikap dan sifat yang selama ini menjadi akar dari permasalahannya. Rumah tangga mereka tidak akan pernah berubah walaupun mereka melakukan tradisi ini selama mereka tidak mau merubah sikapmalas dan sifat kurang baik mereka.

  Seperti sudah dijelaskan pada bab II dalam kajian teori dimana disebutkan bahwa para ulama dalam mencari sumber hukum selalu berpegang teguh pada sumber Hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah serta maqasid asy- Syariah dimana salah satu sumber hukum yang digunakan adalah ‘urf.

Dokumen yang terkait

BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS A. Gambaran Objek Penelitian - PELAKSANAAN DAKWAH ISLAM PADA JAMA’AH SHOLAWAT AHBABUL MUSTHOFA JEMBER - Digilib IAIN Jember

0 1 12

BAB IV PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA A. Gambaran Objek Penelitian - MANAJEMEN HUBUNGAN MASYARAKAT DALAM MENGEMBANGKAN SARANA DAN PRASARANA DI SMA ISLAM AL – HIDAYAH MANGLI KABUPATEN JEMBER TAHUN PELAJARAN 2015/2016 - Digilib IAIN Jember

0 0 35

BAB IV PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA A. Gambaran Objek Penelitian - MANAJEMEN HUBUNGAN MASYARAKAT DALAM MENGEMBANGKAN SARANA DAN PRASARANA DI SMA ISLAM AL – HIDAYAH MANGLI KABUPATEN JEMBER TAHUN PELAJARAN 2015/2016 - Digilib IAIN Jember

0 0 35

BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS - BUDAYA KONSUMERISME MASYARAKAT DALAM IBADAH HAJI DAN UMROH DI DESA TEGALSARI KECAMATAN AMBULU KABUPATEN JEMBER DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM - Digilib IAIN Jember

0 0 30

BAB III PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS A. Gambaran Obyek Penelitian 1. Identitas Pondok Pesantren Ash-Shiddiqi Putri Jember - PENGARUH TRADISI SIMA’AN Al-QUR’AN TERHADAP KUALITAS HAFALAN AL-QUR’AN SANTRI TAHFIDZ DI PONDOK PESANTREN ASH-SHIDDIQI PUTRI JEMBER

0 0 39

BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS A. Gambaran Objek Penelitian - IMPLEMENTASI MANAJEMEN KEHUMASAN DALAM PENERIMAAN MAHASISWA BARU DI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) JEMBER TAHUN AKADEMIK 2015/2016 - Digilib IAIN Jember

0 0 38

BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS A. Gambaran Obyek Penelitian - PENERAPAN METODE MENGHAFAL AL-QUR’AN DALAM PENCAPAIAN TARGET HAFALAN MAHASANTRI MA’HAD TAHFIZHUL QUR’AN PUTRI IBNU KATSIR JEMBER TAHUN AKADEMIK 2015/2016 - Digilib IAIN Jember

0 0 33

BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS A. Gambaran Objek Penelitan 1. Kondisi Tentang Obyek Penelitian - 9 BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS

0 1 44

BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS A. Gambaran Obyek Penelitian - IMPLEMENTASI METODE INKUIRI PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SD NEGERI KENCONG 03 KELAS IV SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2014/2015 - Digilib IAIN Jember

0 0 27

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI NGANYAREH KABIN (TAJDIDUN NIKAH) DI DESA BANJARSARI KECAMATAN BANGSALSARI KABUPATEN JEMBER - Digilib IAIN Jember

0 1 14