BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - PENGEMBANGAN TEKNIK EX VITRO ROOTING UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI BIBIT KELAPA KOPYOR TRU-TO-TYPE SECARA IN VITRO - Digital Library Universitas Muhammadiyah Purwokerto
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu alternatif guna meningkatkan pendapatan petani kelapa adalah dengan budidaya kelapa kopyor. Kelapa kopyor diketahui memiliki nilai jual sangat tinggi yaitu mencapai 10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelapa normal (Maskromo et al., 2007). Namun demikian, budidaya tanaman kelapa type ini masih belum optimal. Salah satu kendala yang dihadapi petani adalah belum tersedianya bibit kelapa kopyor dengan kualitas yang memadai. Saat ini perbanyakan kelapa kopyor masih dilakukan secara tradisional, yaitu dengan menanam buah normal dari pohon yang menghasilkan kelapa kopyor. Tanaman kelapa yang dihasilkan dari perbanyakan secara alami tersebut hanya akan menghasilkan buah kopyor antara 3 – 25 % untuk kelapa tipe dalam dan 5 – 50 % untuk kelapa tipe genjah (Maskromo and Novarianto, 2007).
Perbanyakan kelapa kopyor secara moderm dengan menggunakan kultur jaringan telah diupayakan, namun hasil yang diperoleh belum menggembirakan. Perbanyakan kelapa melalui embryogenesis somatik belum berhasil diaplikasikan dalam secara masal (Montero-Cortes et
al., 2010; Perera et al., 2008; Perera et al., 2007; Perera et al., 2009b; Perez-Nunez et al.,
2006). Hal yang sama juga terjadi ketika teknik embryogenesis somatik dicoba untuk diaplikasikan pada kelapa kopyor dimana teknik tersebut masih menghasilkan plantlet dengan bentuk-bentuk abnormal seperti akar tanpa tunas maupun tunas dengan akar yang tidak sempurna (Sukendah, 2009).
Satu-satunya alternatif yang tersedia untuk menyediakan bibit kelapa kopyor secara in
vitro adalah dengan menggunakan kultur embryo. Teknik ini telah berhasil dikembangkan di
Philipina untuk penyediaan bibit kelapa makapuno (seperti kelapa kopyor) dengan tingkat keberhasilan menghasilkan buah makapuno yang sangat tinggi (true-to-type), 75 – 100 % (Rillo, 2004; Rillo et al., 2002). Di Indonesia, teknik kultur embryo telah dicoba untuk digunakan untuk perbanyakan kelapa kopyor (Mashud, 2010; Mashud and Manaroinsong, 2007; Novarianto et al., 2005; Sukendah, 2009; Sukendah et al., 2008).
Kendala utama yang dihadapi dalam penyediaan bibit kelapa kopyor secara in vitro adalah persentase keberhasilan yang cukup rendah khususnya pada tahap induksi akar. Jumlah plantlet yang memiliki akar yang tidak sempurna sangat tinggi yaitu mencapai hampir 50 % dari total plantlet yang dihasilkan (Sukendah et al., 2008). Hal tersebut membutuhkan tahapan in vitro yang lebih panjang dengan cara melakukan induksi akar yang lebih lama (sekitar 2 - 3 bulan) sebelum plantlet siap diaklimatisasi.
Kendala Lain yang dihadapi dalam menghasilkan bibit kelapa kopyor secara in vitro adalah pada tahap aklimatisasi, Sampai saat ini teknik aklimatisasi yang dapat digunakan untuk kelapa kopyor belum berkembang dengan baik. Teknik aklimatisasi dengan cara bibit disungkup satu-per satu dengan menggunakan plastik selama beberapa bulan sebelum dipindahkan ke lingkungan luar memiliki keberhasilan cukup tinggi (80 %) khususnya pada bibit yang memiliki akar yang lengkap, namun teknik tersebut membutuhkan tenaga kerja yang banyak serta kurang efisien (Magdalita et al., 2010b). Teknik tersebut juga memberikan hasil yang rendah (kurang dari 20 %0 ketika diaplikasikan pada bibit kelapa kopyor (Mashud and Manaroinsong, 2007; Sukendah, 2009). Teknik lain dengan menggunakan tenda plastik menunjukkan keberhasilan aklimatisasi yang cukup baik, yaitu sekitar 80 %, namun hanya untuk bibit yang memiliki akar lengkap (Orense et al., 2011). Teknik yang memiliki keberhasilan paling tinggi (di atas 95 %) adalah dengan menggunakan sistem photoautotropic (Samosir and Adkins, 2014) , namun teknik ini membutuhkan biaya besar dengan sistem yang komplek untuk gas CO2 dan peralatannya serta belum dapat diaplikasikan pada kelapa kopyor.
Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan perbaikan protokol induksi akar dan aklimatisasi bibit kelapa kopyor yang dihasilkan dari kultur embryo menggunakan teknik ex vitro rooting yang sedang dikembangkan di Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Permasalahn yang lain berupa studi perbandingan morfologi, anatomi dan biokimia antara bibit kelapa kopyor yang dihasilkan dari kultur embryo dengan bibit kelapa yang dihasilkan secara in vitro juga belum pernah dilakukan sampai saat ini. Oleh karena itu dalam penelitian ini dilaporkan studi tentang hal tersebut untuk pertama kalinya.
BAB II. STUDI PUSTAKA
2.1 Kelapa dan Kelapa Kopyor
Kelapa banyak dibudidayakan di negara-negara tropis karena hampir semua bagian memiliki fungsi yang tinggi baik secara sosial maupun secara ekonomi sehingga dikenal sebagai pohon kehidupan “tree of life” (Persley, 1992). Secara sosial, daun kelapa yang masih muda biasa digunakan untuk berbagai kepentingan upacara adat dan keagamaan, sedangkan daun kelapa yang sudah tua dapat digunakan untuk atap rumah maupun sapu lidi. Batang kelapa yang sudah tua dapat digunakan untuk bahan bangunan dan funiture. Daging buah kelapa atau endosperm merupakan bagian kelapa dengan nilai ekonomi paling tinggi, biasa digunakan untuk bahan baku santan kelapa yang berperan penting dalam cita rasa masakan daerah tropis (Thampan, 1981). Desiccated coconut dan minyak kelapa merupakan produk utama dari kelapa. Pada tahun 2009, produksi minyak kelapa dunia mencapai lebih dari 3.6 metrik ton dimana lebih dari 50 % dari total produksi tersebut dipasok oleh Philippina dan Indonesia (FAO, 2011). Dalam lima tahun terakhir, daging buah kelapa juga digunakan untuk memproduksi virgin coconut oil (VCO) yang memiliki fungsi penting di dunia kesehatan (Fife, 2006).
Di Indonesia, produksi kelapa mencapai sekitar 15,5 milyar butir per tahun yang sebanding dengan lebih dari 3 juta ton kopra, hampir 4 juta ton air kelapa, ¾ juta ton arang, hampir 2 juta ton serat sabut dan lebih dari 3 juta ton cocopeat (Mahmud and Ferry, 2005). Pada umumnya produksi tersebut dihasilkan dari kebun petani kecil dengan luas lahan kurang dari 0.5 ha dengan penghasilan kurang dari 4 juta per tahun (Mahmud and Ferry, 2005). Jumlah petani dengan pendapatan yang rendah tersebut mencapai 95 % dari total sekitar 3 juta petani kelapa (Batugal et al., 2005).
Kelapa Kopyor. Salah satu cara untuk menurunkan tingkat kemiskinan petani kelapa
adalah dengan budidaya jenis kelapa yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi seperti kelapa kopyor. Kelapa kopyor adalah kelapa hasil mutasi alami dengan peluang yang sangat rendah (Maskromo and Novarianto, 2008). Akibat perubahan pada materi genetika tersebut menyebabkan daging buah menjadi lunak, mudah lepas dari tempurung dan rasanya lebih gurih dari kelapa normal (Maskromo and Novarianto, 2007). Jumlah dan produksi kelapa jenis ini sangat terbatas sedangkan kebutuhan akan kelapa tersebut sangat tinggi sehingga menyebabkan harga kelapa per butir dapat mencapai 10 kali lebih tinggi dibandingkan kelapa normal, yaitu antara 20 ribu sampai 30 ribu rupiah per butir (Maskromo and Novarianto, 2007). Akibatnya, budidaya kelapa kopyor menjadi sangat layak untuk dilakukan meskipun bagi seorang petani kecil yang memiliki lahan 0.1 ha atau setara dengan 18 pohon kelapa kopyor (Hutapea et al., 2007).
Seperti halnya kelapa biasa, kelapa kopyor ditemukan pada kedua tipe kelapa, baik kelapa dalam maupun kelapa genjah. Pada kelapa dalam, persentase buah kopyor yang dihasilkan sangat rendah, yaitu antara 1 sampai 2 butir per tandan sedangkan pada kelapa genjah, persentase butir kopyor yang dihasilkan dapat mencapai 50 % (Maskromo and Novarianto, 2007). Kelapa genjah memiliki ciri-ciri batang pendek (≤ 15 m), pangkal batang tidak membesar, lambat pertumbuhannya dengan umur yang lebih singkat (35 sampai 40 tahun), buah yang kecil dan umumnya menyerbuk sendiri. Namun, kelapa jenis ini mampu menghasilkan buah lebih cepat (umur 2-4 tahun setelah tanam) dan berbuah banyak, yaitu antara 80 – 100 buah per tahun (Perera et al., 2009a). Kelapa dalam memiliki batang yang lebih besar dan lebih tinggi (≤ 30 m), pangkal batang membesar, umur lebih lama (dapat mencapai 100 tahun) dan menyerbuk silang. Kelapa type ini baru menghasilkan buah antara 6 – 8 tahun setelah tanam dan hanya menghasilkan kelapa kurang dari 50 buah per tahun (Perera et al., 2009a). Persilangan antara kedua type kelapa tersebut akan dihasilkan kelapa hibrida dengan sifat-sifat unggul diantara keduanya (Foale, 2003). Sampai saat ini belum ada upaya untuk membuat kelapa kopyor hibrida karena belum adanya kelapa kopyor true-to-type baik kelapa kopyor dalam maupun kelapa kopyor genjah. Penelitian ini memiliki tujuan jangka panjang untuk membuat kelapa kopyor unggul tersebut.
2.2 Perbanyakan Kelapa Kopyor secara In Vitro
Budidaya kelapa kopyor memiliki kendala dalam hal penyediaan bibit. Kelapa kopyor tidak dapat berkecambah secara alami karena daging buahnya yang tidak mampu mendukung perkembangan embryo (Maskromo and Novarianto, 2008). Pembibitan kelapa kopyor yang saat ini dilakukan adalah dengan menanam kelapa normal yang dihasilkan oleh pohon yang menghasilkan kelapa kopyor. Akibatnya persentase keberhasilan untuk menghasilkan kelapa kopyor cukup rendah yaitu antara 5 – 25 % (Maskromo and Novarianto, 2008).
Alternatif untuk mengatasi kelemahan dalam menyediaan bibit kelapa kopyor adalah secara in vitro baik melalui perbanyakan dari sel somatik (embryogenesis somatic) maupun melalui sel zygotik (kultur embryo dan embryo splitting). Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyediakan bibit kelapa secara masal melalui embryogenesis somatik, namun tingkat keberhasilan teknik tersebut masih rendah (Perera et al., 2009b). Hal yang sama juga terjadi ketika teknik tersebut diaplikasikan untuk penyediaan bibit kelapa kopyor (Sukendah, 2009).
Satu satunya alternatif yang tersedia untuk memproduksi bibit kelapa kopyor adalah melalui kultur embryo. Tanaman kelapa kopyor yang dihasilkan dari teknik in vitro tersebut dipercaya mampu menghasilkan buah dengan persentase buah kopyor mencapai 90 % (Mashud and Manaroinsong, 2007). Bahkan apabila dikombinasikan dengan seleksi induk yang tepat mampu menghasilkan kelapa dengan persentase kopyor mencapai 100 % seperti yang terjadi pada kelapa makapuno (Rillo et al., 2002).
Kultur embryo adalah teknik menumbuhkan embryo zygotik yang diisolasi dari biji secara in vitro sampai embryo tersebut berkecambah dan menghasilkan bibit tanaman baru (George, 2008). Teknik ini paling mudah dilakukan dibandingkan teknik in vitro lainnya karena eksplan yang digunakan sudah berupa embryo yang siap berkecambah. Namun, teknik ini hanya mampu menghasilkan satu tanaman per eksplan yang dikecambahkan (Raghavan, 2003).
Kultur embryo dilaporkan telah banyak digunakan untuk penyediaan bibit berbagai tanaman yang mengalami kendala dalam perkecambahannya secara alami (Raghavan, 2003). Kultur embryo juga merupakan metode yang paling mudah dilakukan dalam teknik penyimpanan plasma nutfah secara in vitro (N'Nan et al., 2008; Sisunandar et al., 2014; Sisunandar et al., 2010a; Sisunandar et al., 2010b; Sisunandar et al., 2012).
Kendala utama yang dihadapi pada aplikasi kultur embryo untuk penyediaan bibit kelapa kopyor adalah hanya dihasilkannya satu bibit dari setiap embryo yang ditanam, sedangkan setiap buah kopyor hanya terdapat satu buah embryo. Akibatnya bibit kelapa kopyor yang dihasilkan dari teknik ini menjadi sangat mahal bagi para petani (Maskromo et al., 2007). Alternatif yang tersedia adalah dengan melakukan pembelahan embryo (embryo splitting) untuk meningkatkan jumlah eksplan yang ditanam (Mashud, 2010; Sukendah, 2009). Namun tingkat keberhasilan teknik ini juga masih rendah (kurang dari 60 %) dengan sebagian embryo tumbuh akar tanpa tunas sehingga tidak dapat digunakan sebagai bibit (Sukendah, 2009).
2.3. Research Progress Aklimatisasi Bibit kelapa Kopyor
Aklimatisasi adalah tahapan untuk memindahkan plantlet atau bibit tanaman yang dihasilkan dari kultur jaringan dari lingkungan in vitro ke lingkungan ex vitro (George and Debergh, 2008). Tahapan ini merupakan tahap paling penting dari kultur embryo karena sangat memungkinkan menyebabkan kegagalan dan matinya bibit yang dihasilkan. Plantlet yang dihasilkan dari kultur jaringan umumnya tumbuh dalam tabung yang tertutup rapat guna menghindari kontaminasi, namun kondisi ini mengakibatkan kelembapan udara di dalam tabung jauh lebih tinggi dibandingkan kondisi di luar tabung sehingga mengakibatkan pertukaran gas CO 2 dengan lingkungan luar menjadi sangat terbatas (Paspisilova et al., 1999). Disamping itu, media tanam umumnya diberi tambahan gula sebagai sumber karbon dan energi serta intensitas cahaya yang relatif rendah. Ketiga hal tersebut mengakibatkan plantlets yang dihasilkan menjadi abnormal baik secara morfologi maupun fisiologi sehingga menyebabkan kegagalan dalam produksi bibit menggunakan teknik kultur jaringan (Paspisilova et al., 1999). Pada kultur embryo kelapa tingkat kegagalan pada tahap aklimatisasi masih relatif tinggi, berkisar 60 sampai 90 % (Engelmann and Batugal, 2002; Karun et al., 2002). Kegagalan pada kultur embryo kelapa kopyor juga sangat tinggi, yaitu mencapai 80 % (Mashud and Manaroinsong, 2007).
Beberapa upaya telah dilakukan untuk memperbaiki protokol kultur embryo guna meningkatkan kesintasan tanaman pada tahap aklimatisasi seperti menginduksi peningkatan jumlah akar primer dan sekunder dengan menambahkan zat pengatur tumbuh auksin ke dalam media tanam (Lien, 2002; Rillo et al., 2002), perbaikan teknik aklimatisasi dengan menggunakan kotak plastik (Magdalita et al., 2010a), maupun pemberian gas CO2 ke dalam kotak aklimatisasi guna meningkatkan laju fotosintesis tanaman yang diaklimatisasi (Samosir et
al., 2008). Namun demikian, teknik tersebut membutuhkan biaya yang mahal untuk penyediaan
gas CO2 serta peralatan yang mahal.Hasil penelitian tahun kedua untuk Teknik aklimatisasi dengan menggunakan mini growth chamber berhasil digunakan untuk mengaklimatisasikan bibit kelapa kopyor dengan keberhasilan yang tinggi (di atas 95 %). teknik tersebut juga berhasil digunakan untuk mengaklimatisasi bibit kelapa kopyor yang belum memiliki akar. Teknik tersebut berhasil menginduksi akar secara ex vitro. Intensitas cahaya berpengaruh secara nyata terhadap keberhasilan aklimatisasi bibit kelapa kopyor. Cahaya dengan intensitas yang lebih tinggi (1400 lux) memberikan kelulushidupan dan pertumbuhan bibit yang lebih baik dibandingkan dengan cahaya dengan intensitas yang lebih rendah (Sisunandar et al., 2014, Laporan Kemajuan Hibah Bersaing tahun kedua). Dengan keberhasilan tersebut saat ini telah tersedia sekitar 200 bibit kelapa kopyor yang siap dibesarkan di screen house sebelum ditanam ke lapangan. Keberhasilan ini dapat digunakan sebagai model aklimatisasi untuk teknik pembibit an tanaman melalui hasil kultur jaringan. Namun demikian, untuk menjadikan model tersebut perlu dilakukan analisis komprehensif tentang faktor yang menyebabkan keberhasilan maupun kegagalan proses aklimatisasi.
2.3. Research Progress tentang Uji Keragaman Genetika Kelapa Hasil Kultur Jaringan serta Kemungkinan Aplikasinya pada Kelapa Kopyor
Informasi tentang keanekaragaman genetika kelapa kopyor yang tumbuh di lapangan hasil kultur jaringan belum teridentifikasi. Meskipun kelapa kopyor true-to-type hanya dapat dihasilkan dengan menggunakan teknik kultur jaringan (Mashud and Manaroinsong, 2007), namun kultur jaringan tumbuhan sendiri dipercaya mampu menyebabkan berbagai perubahan materi genetika pada tumbuhan yang dihasilkan (Kaeppler and Phillips, 1993; Mc Clintock, 1984; Phillips et al., 1994; Rani and Raina, 2000). Perubahan genetik tersebut terjadi sebagai respon tumbuhan terhadap cekaman lingkungan (Phillips et al., 1994).
Perubahan genetik dapat diidentifikasi berdasarkan perubahan morfologi, sitologi, biokimia maupun molekuler (Rani and Raina, 2000; Sisunandar et al., 2010a). Secara morfologi, perubahan genetika telah dilaporkan dapat diamati pada malformasi buah, tanaman lebih kerdil, bunga terlalu banyak dan beberapa ciri morfologi yang lain (Rani and Raina, 2000). Secara sitologi, perubahan genetik dapat meliputi aberasi kromosom (Phillips et al., 1994) dan perubahan derajat ploidi (Rani and Raina, 2000), sedangkan secara molekuler, perbahan dapat meliputi perubahan pada materi DNA maupun modifikasi ekspresi gen karena adanya perubahan metilasi dari DNA atau biasa disebut epigenetik (Phillips et al., 1994; Sisunandar et al., 2010a). Sampai saat ini analisis variasi genetika tanaman kelapa kopyor hasil kultur jaringan belum pernah dilakukan sehingga dalam penelitian ini direncakan dilakukan analisis keragaman genetika kelapa kopyor hasil kultur jaringan.
2.5 Peta Jalan Penelitian
Kelapa kopyor merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia karena memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi (10 – 20 kali lebih tinggi dari kelapa normal). Oleh karena itu budidaya kelapa jenis ini dapat digunakan sebagai salah satu strategi nasional guna mengentaskan kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja baru bagi para petani kelapa. Program pengentasan kemiskinan melalui budidaya kelapa kopyor dapat dilakukan apabila langkah-langkah pengembangannya dilaksanakan secara konsisten (Gambar 2.1). Langkah- langkah tersebut adalah sebagai berikut :
1. Seleksi dan uji keragaman genetika kelapa kopyor alami. Langkah ini meliputi pembuatan database kelapa kopyor di tiga kabupaten eks-Karesidenan Banyumas dan dilanjutkan dengan uji keragaman genetika. Pada tahap ini, pendataan kelapa kopyor di
Kabupaten Banyumas dan Purbalingga dan uji keragaman genetika dari segi morfologi telah diselesaikan pada tahun 2010. Pemetaan kelapa kopyor di kabupaten-kabupaten yang lain perlu dilakukan untuk tahun-tahun berikutnya, seperti Kabupaten Banjarnegara, Cilacap dan Kebumen. Luaran dari kegiatan ini adalah peta distribusi kelapa kopyor di eks Karesidenan Banyumas
2. Produksi bibit kelapa kopyor true-to-type melalui optimasi protokol kultur embryo.
Penelitian ini menjadi fokus utama dari proyek penelitian yang diusulkan pada tahun pertama. Selama tahun 2004-2007, peneliti utama telah melakukan penelitian tentang teknik penyimpanan plasma nutfah kelapa dengan menggunakan teknik kriopreservasi. Penelitian tersebut menggunakan teknik kultur embryo untuk me-recovery embryo yang disimpan pada suhu beku. Namun, dalam penelitian ini jenis kelapa yang digunakan adalah kelapa normal. Pada tahun 2009, peneliti utama melakukan penelitian uji sterilisasi eksplan embryo kelapa kopyor atas biaya mandiri. Pada tahun 2010, peneliti utama melakukan kegiatan postdoctoral research fellow di University of Queensland, Australia atas biaya Endeavour Award, Ministry of Education Australia dengan topik penelitian tentang uji perbandingan pertumbuhan embryo kelapa kopyor antara kelapa dalam dan kelapa genjah, serta dilakukan uji pemilihan medium dasar yang bisa digunakan untuk menumbuhkan kelapa kopyor. Pada tahun 2012, kami berhasil mengembangkan teknik embryo incision (UBER-HKI 2012) untuk meningkatkan jumlah bibit kelapa kopyor yang dihasilkan. Hasil penelitian mandiri tersebut telah kami ajukan untuk mendapatkan hak patent pada tahun 2012. Mulai tahun 2013, kami mendapatkan dana penelitian HIBAH BERSAING untuk mengembangkan metode perbanyakan tanaman kelapa kopyor melalui teknik embryo splitting.
3. Terdapat dua tahap peneltian yang diusulkan pada Riset Dasar (RD) Program Insentif Riset Sinas 2015 yang diusulkan ini yaitu pengembangan protokol ex vitro rooting guna meningkatkan keberhasilan aklimatiasi melalui uji pengaruh faktor lingkungan terhadap keberhasilan aklimatiasi plantlet kelapa kopyor dengan target untuk meningkatkan keberhasilan aklimatisasi plantlet kelapa kopyor tanpa akar dari 0 % (Sukendah et al., 2008) menjadi lebih dari 70 % untuk bibit tanpa akar atau bibit dengan akar yang tidak fungsional. Akhir kegiatan diharapkan telah dihasilkan bibit kelapa kopyor yang telah diaklimatisasi sebanyak lebih dari 300 bibit sehingga dapat digunakan untuk pembangunan kebun plasma nutfah kelapa kopyor pertama di Indonesia. Kegiatan kedua yang diusulkan adalah dilakukan studi perbandingan morfologi, anatomi dan biokimia (Sisunandar et al., 2014; Sisunandar et al., 2010a; Sisunandar et al., 2010b; Sisunandar et al., 2012) antara bibit kelapa kopyor berhasil diaklimatisasikan dengan teknik ex vitro rooting dengan bibit kelapa hasil pembibitan secara alami. Target yang diharapkan adalah diperolehnya data perbandingan morfologi anatomi dan biokimia antara kedua macam bibit tersebut sehingga dapat digunakan untuk menjelaskan faktor internal yang berpengaruh terhadap keberhasilan aklimatisasi kelapa kopyor.
4. Langkah lanjutan setelah diperoleh bibit kelapa kopyor adalah pembangunan kebun plasma nutfah kelapa kopyor pertama di Indonesia. Saat ini telah disediakan lahan seluas 3 ha oleh peneliti utama guna melaksanakan kegiatan tersebut. Selama pembuatan kebun plasma nutfah tersebut akan dilakukan beberapa uji seperti uji perbandingan pertumbuhan antara kelapa kopyor dalam dengan kelapa kopyor genjah, uji optimasi jenis pupuk maupun uji ketahanan terhadap serangga dan penyakit (Gambar 2.1). Kegiatan pengamatan pertumbuhan secara morfologi dan fisiologi akan berlanjut dalam jangka waktu 6 tahun sampai kelapa sudah mulai berbuah.
Gambar 2.1 Road map penelitian kelapa kopyor di Laboratorium Genetika dan Botani,Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Huruf dengan warna dan dalam kotak dengan tulisan SINAS 2015 merupakan progam penelitian yang akan dilakukan dalam kegiatan ini.
5. Uji kompetensi dan keragaman genetika akan dilakukan pada bibit yang ditanam di Kebun plasma nutfah kelapa kopyor hasil penelitian pada tahun kedua dari proyek penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data dasar keragaman genetika kelapa kopyor baik secara morfologi, fisiologi, sitologi maupun molekuler (Gambar 2.1). Data dasar tersebut sangat penting dilakukan dalam rangka perakitan kelapa kopyor hibrida pada tahap penelitian berikutnya. Pada tahun ketiga juga akan dikembangkan teknik penanda molekuler (molecular marker) guna deteksi dini apakah kelapa bibit kelapa yang dihasilkan adalah bibit kelapa kopyor ataukah bibit kelapa normal. Untuk melakukan hal tersebut, penelitian akan bekerjasama dengan CIRAD Perancis. Kerjasama dengan Perancis telah lama dilakukan oleh tim penelitian ini mulai tahun 2006-2007, peneliti utama telah melakukan visiting student di institusi tersebut dan dilanjutkan dengan postdoctoral research fellows pada tahun 2009. Mulai tahun 2012, tim ini menjadi pemenang program Nusantara yang dilakukan oleh Kementerian Riset dan Teknologi
6. Setelah tanaman kelapa yang dibudidayakan telah berbuah (sekitar 3 tahun untuk kelapa genjah dan 5 tahun untuk kelapa dalam) maka dilakukan seleksi pohon kelapa kopyor yang unggul dari kedua jenis tersebut. Dari seleksi tersebut diharapkan diperoleh kelapa kopyor genjah dan kelapa kopyor dalam yang menghasilkan buah kopyor dengan rasa yang lebih enak dibandingkan yang lain. Selanjutnya dari kedua jenis kelapa tersebut akan dilakukan uji persilangan (breeding program) guna menghasilkan kelapa kopyor hibrida unggul nasional yang akan disebarkan ke petani dan dunia industri untuk dibudidayakan.
7. Upaya pelestarian plasma nutfah kelapa kopyor melalui bioteknologi seperti teknik konservasi jangka pendek dan menengah (short- to medium-term conservation) serta melalui penyimpanan jangka panjang (cryopreservation) juga perlu dilakukan sebagai back up bagi kebun plasma nutfah.
Dari tujuh kegiatan tersebut diharapkan dapat dibangun kerjasama yang erat antara universitas dengan petani kelapa dan industri maupun pemerintah daerah dan lembaga penelitian lain di dalam dan di luar negeri untuk mengembangkan industri kelapa kopyor di Indonesia. Industri tersebut menyangkut berbagai aspek seperti perkebunan kelapa kopyor di tingkat hulu yang akan banyak melibatkan petani kelapa saat ini. Industri pengolahan pangan meliputi industri pengalengan kelapa kopyor dan industri eskrim berkualitas eksport, industri restoran dan pangan lain yang memanfaatkan kelapa kopyor, industri kosmetika dan obat-obatan. Industri impian yang lain adalah dibuatnya “theme park” seperti movie world, dream world dan sea world, namun dalam hal ini coconut world. Proyek theme park ini merupakan gabungan dari rekreasi dan pendidikan.
Dari kegiatan tersebut telah dihasilkan 5 artikel yang telah dipublikasi di journal internasional ternama dengan impact factor antara 1 ,0 - 3,6, satu hak paten, beberapa paper yang presentasikan di seminar nasional dan internasional. Artikel yang telah dipublikasikan tersebut antara lain :
Sisunandar, Rival, A., Turquay, P., Samosir, Y. & Adkins, S. W. (2010).
Cryopreservation of coconut (Cocos nucifera L.) zygotic embryos does not induce morphological, cytological or molecular changes in recovered seedlings. Planta. 232: 435 - 447.
Sisunandar, Sopade, P. A., Samosir, Y., Rival, A. & Adkins, S. W. (2010).
Dehydration improves cryopreservation of coconut (Cocos nucifera L.). Cryobiology. 61: 289–296.
Sisunandar, Sopade, P. A., Samosir, Y., Rival, A. & Adkins, S. W. (2012).
Conservation of coconut (Cocos nucifera L.) germplasm at sub-zero temperature. CryoLetters. 33: 465-475.
Sisunandar, Novarianto, H., Mashud, N., Samosir, Y.M.S.& Adkins, S.W. (2014).
Embryo maturity plays an important role for the successful cryopreservation of coconut (Cocos nucifera). In vitro Cellular & Developmental Biology- Plant. 50 : 688-685. Nguyen, Q.T., Bandupriya, H.D.D., Lopez-Villalobos, A., Sisunandar, Foale, M.,
&Adkins, S.W. (2015). Tissue culture and assoociated biotechnological interventions for the improvement of coconut (Cocos nucifera L.) : A review. Planta. 242 : 1059 - 1076.
Sisunandar, Alkhikmah, Husin, A.& Suyadi, A. (2015). Embryo incision as a new
technique to double seedling production of Indonesian elite coconut type "Kopyor". Journal of Mathematical and Fundamental Sciences. 47 : 252 - 260.
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 Tujuan Penelitian
Sampai saat ini teknik aklimatisasi bibit kelapa kopyor dengan tingkat keberhasilan yang tinggi (di atas 70 %) belum tersedia di Indonesia oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan teknik ex vito rooting guna meningkatkan keberhasilan aklimatisasi bibit kelapa kopyor true to type serta melakukan studi perbandingan morfologi, anatomi dan fisiologi antara bibit kelapa kopyor hasil aklimatisasi dengan teknik ex vitro rooting dengan bibit kelapa yang dihasilkan secara alami.. Untuk mencapai tujuan utama tersebut dua langkah penelitian akan dilakukan, dengan tujuan sebagai berikut :
1. Mengembangkan protokol ex vitro rooting guna meningkatkan keberhasilan aklimatiasi melalui uji pengaruh faktor lingkungan terhadap keberhasilan aklimatiasi plantlet kelapa kopyor meliputi uji pengaruh zat pengatur tumbuh dan uji pengaruh lingkungan
2. Menguji perbandingan morfologi, anatomi dan biokimia (Sisunandar et al., 2014; Sisunandar et al., 2010a; Sisunandar et al., 2010b; Sisunandar et al., 2012) antara bibit kelapa kopyor berhasil diaklimatisasikan dengan teknik ex vitro rooting dengan bibit kelapa hasil pembibitan secara alami.
3.2 Manfaat Penelitian
Penelitian tentang pengembangan protokol embryo splitting untuk penyediaan bibit kelapa kopyor sangat penting dilakukan mengingat tingginya nilai ekonomi kelapa kopyor dan belum tersedianya protokol yang memadai. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan luaran jangka pendek dan jangka panjang yang penting dalam pengembangan ipteks, menunjang pembangunan nasional khususnya berdampak ekonomi dan sosial, serta berperan penting dalam pengembangan institusi khususnya Laboratorium Genetika dan Botani (LGB), Program Studi Pendidikan Biologi, maupun bagi Universitas Muhammadiyah Purwokerto pada umumnya.
Pengembangan Ipteks. Penelitian ini diharapkan memberikan dampak jangka
pendek berupa protokol embryo splitting dengan tingkat keberhasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan protokol sebelumnya. Disamping itu dari penelitian ini juga diharapkan dapat dihasilkan data tentang keragaman morfologi, sitologi, biokimia dan molekuler dari bibit yang dihasilkan dari teknik tersebut sehingga layak untuk dipublikasikan. Target minimal yang ingin dicapai adalah satu artikel di jurnal internasional dapat dipublikasikan dari penelitian ini dan satu artikel yang dipublikasikan di jurnal nasional terakreditasi setelah kegiatan penelitian ini berakhir.
Luaran jangka panjang yang diharapkan dapat dihasilkan dari penelitian ini adalah dengan dihasilkannya bibit kelapa kopyor true to type maka dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama (1 sampai 3 tahun setelah penelitian ini berakhir), bibit dapat ditanam di lapang untuk kemudian dijadikan kebun plasma nutfah kelapa kopyor pertama di Indonesia. Diharapkan dapat ditanam dua type kelapa kopyor, yaitu dalam dan genjah, sehingga dalam jangka panjang (10 – 15 tahun) akan dapat dihasilkan kelapa hibrida kopyor yang unggul. Kebun plasma nutfah ini akan menjadi pusat penelitian kelapa kopyor pertama di Indonesia dan bahkan dunia. Sifat kelapa kopyor dengan endoserm yang lembut memungkinkan peneliti tanaman lain khususnya tanaman berbiji untuk mengaplikasikan gen yang terdapat pada kelapa kopyor ke tanaman lain sehingga diperoleh tanaman pangan dengan tekstur yang lebih lembut dibandingkan dengan tekstur tanaman pangan yang tersedia saat ini.
Menunjang Pembangunan Nasional. Dampak jangka pendek yang diperoleh dari
penelitian ini adalah dihasilkannya bibit kelapa kopyor yang memiliki nilai ekonomi sangat tinggi, Harga bibit mencapai hampir 500 ribu rupiah per bibit (Mashud and Manaroinsong, 2007). Namun penelitian ini lebih mementingkan pencapaian jangka panjang, berupa pembangunan kebun plasma nutfah kelapa kopyor. Selanjutnya dengan dihasilkan kelapa kopyor hibrida unggul akan sangat menunjang pendapatan petani kelapa di Indonesia. Seperti diketahui petani kelapa di Indonesia mencapai lebih dari 3 juta orang dan merupakan petani miskin (Mahmud and Ferry, 2005). Dengan menanam kelapa kopyor hibrida unggul tersebut diharapkan petani akan meningkat pendapatannya seiring dengan tingginya harga kelapa kopyor (Novarianto et al., 2005). Tersedianya produk kelapa kopyor selanjurnya dalam jangka panjang diharapkan akan memacu tumbuhnya industri pangan kelapa kopyor dan memacu eksport buah kelapa kopyor seperti yang terjadi pada saat ini di Philippina dengan kelapa makapuno.
Pengembangan Institusi. Kelapa kopyor telah menjadi topik penelitian utama di
Laboratorium Genetika dan Botani, Universitas Muhammadiyah Purwokerto dalam tiga tahun terakhir. Penelitian melibatkan mahasiswa tahap akhir yang menggunakan topik tentang kelapa kopyor sebagai bahan skripsi mereka. Sampai saat ini proyek penelitian kelapa kopyor telah meluluskan dua orang mahasiswa, sedangkan empat orang mahasiswa yang sedang melakukan penelitian. Sebagian besar biaya penelitian khususnya kelapa kopyor yang digunakan dibiayai oleh peneliti utama secara mandiri. Dengan adanya penelitian hibah bersaing ini, kegiatan penelitian skripsi mahasiswa dapat terbantu dan semakin banyak mahasiswa yang terlibat dalam kegiatan ini.
Di tingkat laboratorium, kegiatan penelitian ini akan meningkatkan capacity
building. Laboratorium memiliki fasilitas laboratorium kultur jaringan, memiliki
spektrofometer guna menunjang penelitian biokimia dan memiliki mikroskup fluoresecent guna menunjang penelitian sitologi. Pemanfaat peralatan yang dimiliki masih tergolong rendah, lebih menitikberatkan dalam kegiatan praktikum. Penelitian dosen yang masih kurang dalam memanfaatkan fasilitas yang ada, sehingga dengan adanya penelitian ini diharapkan akan memicu penelitian-penelitian dosen yang lain di bidang yang sejenis.
Di tingkat universitas, kegiatan penelitian dosen khususnya penelitian hibah bersaing masih cukup rendah, rata-rata sekitar 2 judul per tahun. Dengan jumlah dosen yang mencapai lebih dari 300 orang maka jumlah tersebut masih sangat rendah. Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan memicu aktivitas penelitian yang lebih banyak lagi.
.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Bahan Penelitian
Penelitian ini direncanakan meliputi dua topik utama, yaitu optimasi teknik ex vitro rooting untuk aklimatisasi bibit kelapa kopyor dengan target meningkatkan keberhasilan aklimatisasi plantlet kelapa kopyor tanpa akar dari 0 % menjadi 70 % dan studi perbandingan morfologi, anatomi dan biokimia antara bibit kelapa kopyor yang berhasil diaklimatisasikan dengan bibit kelapa yang dihasilkan secara alami guna menjelaskan faktor penyebab kegagalan aklimatisasi bibit kelapa kopyor. Penelitian akan dilakukan di Laboratorium Genetika dan Botani (LGB), Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP). Bahan yang digunakan adalah plantlet kelapa kopyor yang diperoleh dari perkecambahan embryo kelapa secara in vitro (Gambar 4.1). Teknik in vitro kelapa kopyor tersebut telah berhasil dikembangkan dan menjadi kegiatan rutin di LGB-UMP.
4.2 Optimasi Teknik Ex-vitro Rooting
Kendala utama yang dihadapi pada produksi bibit kelapa kopyor melalui teknik kultur embryo adalah rendahnya keberhasilan aklimatisasi sebagai akibat dari banyaknya bibit yang memiliki akar yang tidak fungsional atau bahkan tidak memiliki akar (di atas 50 %; Sukendah et al., 2008). Pendekatan yang banyak dilakukan untuk mengaklimatisasikan plantlets kelapa kopyor yang tidak memiliki akar yang fungsional adalah dengan menginduksi akar terlebih dahulu secara in vitro selama sekitar 2 bulan sebelum diaklimatisasikan (Sukendah et al., 2008; Mashud, 2010). Namun resiko kontaminasi dan biaya yang tinggi serta waktu yang relatif lama menjadi kendala utama tahapan tersebut.
Teknik aklimatisasi plantlet kelapa kopyor dengan menggunakan alat Mini Growth
Chamber yang berhasil dikembangkan di LGB-UMP (Gambar 4.2). Pada alat tersebut,
plantlet kelapa kopyor hasil kultu embryo dipelihara selama 3 bulan di dalam ruang kultur dengan kondisi lingkungan yang diatur. Teknik tersebut berhasil digunakan untuk aklimatisasi bibit kelapa kopyor dengan tingkat keberhasilan yang sangat tinggi (di atas 90 %; penelitian sedang berlangsung) khususnya pada plantlet kelapa kopyor yang memiliki akar yang fungsional. Namun teknik tersebut harus dilakukan di ruang kultur dengan suhu dan cahaya yang diatur sehingga memerlukan biaya yang mahal (listrik).
Gambar 4.1 Bagan alir tahapan pengembangan protokol kultur embryo kelapa kopyor.Pada penelitian ini akan pengembangan teknik induksi akar secara ex vitro dengan cara mengkombinasikan induksi akar sekaligus dilakukan aklimatisasi dengan menggunakan alat mini growth chamber. Teknik yang akan dikembangkan ini memiliki keunggulan tahap induksi akar dilakukan bersamaan dengan tahapan aklimatisasi akan mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi bibit kelapa kopyor. Keunggulan yang lain tahap induksi akar yang dilakukan secara ex vitro akan meniadakan resiko kontaminasi dan menurunkan biaya produksi yang dibutuhkan.
Pada penelitian ini akan optimasi teknik ex vitro rooting dengan cara dilakukan uji zat pengatur tumbuh dan uji pengaruh lingkungan.
4.3 Uji pengaruh Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)
Tiga macam zat pengatur tumbuh akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu zat penginduksi akar komersial (Rotone F), dan dua zat pengatur tumbuh auksin, asam napthalene asetat (NAA) dan asam indole butirat (IBA). ZPT komersial akan diaplikasikan sesuai petunjuk penggunaannya, sedangkan NAA dan IBA akan dicampurkan ke dalam medium tanam dengan konsentrasi 10-6 M. setiap perlakuan digunakan 20 plantlets dan diulang sebanyak 3 kali.
Bahan yang digunakan adalah plantlet kelapa kopyor tanpa akar yang fungsional (Gambar 4.2) berumur sekitar 4 bulan kultur yang diperoleh dari tahapan kultur embryo kelapa kopyor (Gambar 4.1). Plantlet akan dipelihara di dalam mini growth chamber selama 3 bulan dengan metode seperti yang telah dilakukan di LGB-UMP. Setelah 3 bulan kultur dilakukan pengataman terhadap parameter persentase plantlets yang berhasil hidup (survival) setelah 3 bulan, pertambahan berat basah, tinggi plantlets, jumlah daun, jumlah akar dan panjang akar. Bahan yang digunakan dan cara pelaksanaan akan dilakukan seperti pada 4.3.1.
4.4 Uji Pengaruh Lingkungan
Tiga kondisi lingkungan akan digunakan dalam penelitian ini yaitu ruang kultur jaringan, screen house dengan intensitas cahaya 50% dan screen house dengan intensitas cahaya 100 % (tanpa screen peneduh). Pada ketiga kondisi tersebut akan dimonitor secara terus menerus data intensitas cahaya, suhu dan kelembapan.
Bahan yang digunakan dan cara pelaksanaan akan dilakukan seperti pada 4.3.
Gambar 4.2 Mini growth chamber yang akan digunakan dalam induksi kalus secara exvitro (ex vitro rooting) untuk kategori plantlet dengan akar yang tidak fungsional.
4.5 Studi Perbandingian Morfologi, Anatomi dan Biokimia
Topik penelitian kedua yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah studi perbandingan morfologi, anatomi dan biokimia antara bibit kelapa kopyor yang berhasil diaklimatisasikan dengan bibit kelapa yang dihasilkan secara alami guna menjelaskan faktor penyebab kegagalan aklimatisasi bibit kelapa kopyor
Plantlet kelapa kopyor berumur 4 bulan (sebelum induksi akar dan aklimatiasi), plantlet sesudah aklimatisasi dan bibit yang telah dipelihara selama 3 bulan discreen house kemudian dianalisis keragaman genetikanya berdasarkan uji morfologi, anatomi dan biokimia dengan kontrol menggunakan bibit kelapa hasil pembibitan secara alami. Pengambilan data akan dilakukan setiap dua bulan sekali selama satu tahun.
4.5.1 Uji Morfologi
Data morfologi yang akan diobservasi meliputi pertambahan tinggi pohon, jumlah daun dan panjang daun. Metode yang akan digunakan untuk pengambilan data adalah metode Sisunandar et al. (2014b).
4.5.2 Uji Anatomi
Uji anatomi digunakan untuk mengamati anatomi daun berupa struktur stomata dan densitas stomata pada permukaan atas dan permukaan bawah daun dari seluruh sampel yang digunakan. Dari setiap plantlet diambil satu sampel daun kedua dari ujung yang telah terbuka dan dilakukan secara duplo seperti pada metode Samosir & Adkins (2014). Penghitungan jumlah stomata yang normal (terbuka di siang hari dan menutup di malam hari) juga dilakukan pada seluruh plantlet yang digunakan dengan cara yang sama. Uji anatomi juga dilakukan dengan membuat penampang melintang daun dari seluruh sampel yang digunakan. Pembuatan preparat penampang melintang dilakukan dengan metode Sisunandar et al. (2014a).
4.5.3 Uji Biokimia
Uji biokimia dilakukan untuk menguji apakah fotosintesis bibit kelapa kopyor hasil kultur embryo menunjukkan genetika yang beragam atau seragam. Data yang diambil meliputi kadar klorofil dan kadar lapisan epicuticular-wax. Metode yang digunakan adalah metode Samosir & Adkins (2014).
4.6 Analisis Data
Data penelitian yang diperoleh akan dianalisis secara statistik menggunakan sofware statistik SPSS release 16 for windows. Semua data yang diperoleh dari percobaan pengembangan protokol kultur embryo akan dianalisis dengan menggunakan analisis varian (ANOVA) dan dilanjutkan dengan perbandingan rata-rata menggunakan Fisher’s Least Significant Differences (LSD).
BAB V RENCANA CAPAIN, HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Rencana Capaian Kegiatan Penelitian Kondisi Sebelum Dilakukan Penelitian Hasil yang ditargetkan sesudah penelitian
Uji Pengaruh zat pengatur tumbuh dan Pengaruh lingkungan
Tingkat keberhasilan induksi akar dan aklimatisasi kurang dari 20 %
Tingkat keberhasilan aklimatisasi di atas 75 % Tidak ada protokol induksi akar yang dilakukan bersamaan dengan aklimatisasi
Tersedia protokol induksi akar sekaligus aklimatisasi melalui teknik ex vitro rooting sehingga mempersingkat waktu dan menurunkan biaya produksi bibit kelapa kopyor true-to-type yang siap diajukan untuk pengurusan hak atas kekayaan intelektual (Hak Patent). Studi perbandingan anatomi, morfologi dan biokimia
Tidak tersedia informasi tentang studi perbandingan anatomi, morfologi dan biokimia pada bibit kelapa kopyor sebelum dilakukan aklimatisasi dengan bibit yang berhasil diaklimatisasi
Tersedia informasi tentang studi perbandingan tersebut dan tersedia artikel dengan tema : "Physiological and morphological diferences between in vitro germinated and normal seedlings of coconut Kopyor" akan siap untuk disubmit pda jurnal nasional terakreditasi dengan target journal : Journal of Mathematical and Fundamental Sciences (ITB; terakreditasi B).
5.2 Hasil
5.2.1 Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Keberhasilan Ex Vitro Rooting dan
Aklimatisasi Bibit Kelapa KopyorSampai saat ini (80 % pertanggungjawaban), penelitian tentang Uji pengaruh Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) telah dilakukan dengan menggunakan dua macam ZPT, yaitu asam indol butirat (IBA) dan asam indol asetat (NAA) dengan konsentrasi tiga buah perlakuan, yaitu 10
- 6
- 6
- 5 M.
, 5x10
dan 10 Hasil penelitian pada bibit kelapa kopyor tanpa akar (Gambar 5.1 A) yang ditanam pada medium dengan penambahan asam indol butirat (IBA) menunjukkan bahwa teknik ex vitro rooting berhasil menginduksi akar secara ex vitro serta meningkatkan kelulushidupan bibit selama proses induksi akar dan aklimatisasi. Teknik ex vitro rooting tanpa tanpa penambahan ZPT berhasil meningkatkan keberhasilan aklimatisasi sampai 60
- 6
% (Gambar 5.2 A), sedangkan pemeliharaan bibit pada medium dengan penambahan 10 M IBA berhasil meningkatkan tingkat kelulushidupan sampai di atas 90 % (Gambar 5.1 B dan Gambar 5.2 A). Pemberian perlakuan dengan menggunakan IBA pada konsentrasi
- 6 -5
yang lebih tinggi (5x10 dan 10 M) tidak menghasilkan tingkat kelulushidupan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan sebelumnya (Gambar 5.1 C-D serta Gambar
5.2 A).
Gambar 5.1 Bibit kelapa kopyor tanpa akar sebelum percobaan (A) dibandingkan denganbibit kelapa kopyor sesudah 3 bulan kultur pada medium dengan penambahan asam indol
- 6 -6 -5
butirat (IBA) dengan konsentrasi 10 M (B), 5x10 M (C) dan 10 M (D). Bibit ditanam di dalam mini growth chamber dengan menggunakan teknik ex vitro rooting.
Namun demikian, hasil yang berlawanan ditunjukkan pada medium tanan dengan penambahan NAA (Gambar 5.2 A). Penambahan NAA ke dalam medium tanam justru menurunkan tingkat kelulushidupan bibit yang diaklimatisasi, bahkan pada medium
- 5
dengan penambahan 10 M NAA hanya menghasilkan bibit dengan tingkat kelulushidupan sekitar 20 %.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tidak semua bibit yang berhasil hidup setelah tiga bulan kultur mampu diinduksi pembentukan akarnya secara ex vitro (Gambar
5.2 B). Pada medium tanpa penambahan ZPT, tingkat keberhasilan induksi akar secara ex
- 6
vitro berkisar 60 %, sedangkan pada medium dengan penambahan 10 M IBA berhasil menginduksi akar hampir 70 %. Penambahan ZPT dengan konsentrasi yang lebih tinggi justru menurunkan keberhasilan induksi akar secara ex vitro. Hal yang sama juga ditunjukkan dengan penambahan NAA ke dalam medium tanam ayng tidak efektif meningkatkan keberhasilan induksi akar.