BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Corporate Governance - Muhammad Agung Kahvi BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Corporate Governance

  GCG ialah suatu sistem (input, proses, output) dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders) terutama dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi demi tercapainya tujuan perusahaan (Zarkasyi, 2008). Komite Cadbury mendefinisikan

  corporate governance adalah sistem yang mengarahkan dan mengendalikan

  perusahaan dengan tujuan, agar mencapai keseimbangan antara kekuatan kewenangan yang diperlukan oleh perusahaan, untuk menjamin kelangsungan eksistensinya dan pertanggungjawaban kepada stakeholders (Indra dan Ivan, 2006).

  Corporate governance didefinisikan oleh Monks dan Minow dalam

  Darmawati (2005) adalah sebagai hubungan partisipan dalam menentukan arah dan kinerja. Corporate governance didefinisikan oleh IICG (Indonesian

  Instituteof Corporate Governance ) sebagai proses dan struktur yang

  diterapkan dalam menjalankan perusahaan, dengan tujuan utama meningkatkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders yang lain. Corporate governance juga mensyaratkan adanya struktur perangkat untuk mencapai tujuan dan pengawasan atas kinerja.

  8

  Corporate governance (FCGI) didefinisikan sebagai seperangkat

  peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.

  Pengertian tentang corporate governance dapat dimasukkan dalam dua kategori. Kategori pertama, lebih condong pada serangkaian pola perilaku perusahaan yang diukur melalui kinerja, pertumbuhan, struktur pembiayaan, perlakuan terhadap para pemegang saham, dan stakeholders. Kategori kedua lebih melihat pada kerangka secara normatif, yaitu segala ketentuan hukum baik yang berasal dari sistem hukum, sistem peradilan, pasar keuangan, dan sebagainya yang mempengaruhi perilaku perusahaan. Corporate governance merupakan kumpulan hukum, peraturan dan kaidah yang wajib dipenuhi, yang dapat mendorong kinerja perusahaan bekerja secara efisien, menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan (Wardani, 2008).

2.2 Prinsip-prinsip Corporate Governance

  Prinsip-prinsip dasar dari good corporate governance (GCG) pada dasarnya memiliki tujuan untuk memberikan kemajuan terhadap kinerja suatu perusahaan. Secara umum, penerapan prinsip Good Corporate Governance secara konkret, memiliki tujuan terhadap perusahaan sebagai berikut (Wardani, 2008):

  1. Memudahkan akses terhadap investasi domestik maupun asing 2.

  Mendapatkan cost of capital yang lebih murah.

  3. Memberikan keputusan yang lebih baik dalam meningkatkan kinerja ekonomi perusahaan.

  4. Meningkatkan keyakinan dan kepercayaan dari stakeholders terhadap perusahaan.

  5. Melindungi direksi dan komisaris dari tuntutan hukum.

  Dari berbagai tujuan tersebut, pemenuhan kepentingan seluruh

  

stakeholders secara seimbang berdasarkan peran dan fungsinya

  masing-masing dalam suatu perusahaan, merupakan tujuan utama yang hendak dicapai. Prinsip-prinsip utama dari good corporate governance yang menjadi indikator, sebagaimana ditawarkan oleh Organization

  for Economic Cooperation andDevelopment (OECD) adalah :

  1. Fairness (Keadilan) Prinsip keadilan (fairness) merupakan prinsip perlakuan yang adil bagi seluruh pemegang saham. Keadilan yang diartikan sebagai perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham, terutama kepada pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing dari kecurangan, dan kesalahan perilaku insider. Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.

  2. Disclosure/Transparency (Keterbukaan/Transparansi) Transparansi adalah adanya pengungkapan yang akurat dan tepat pada waktunya serta transparansi atas hal penting bagi kinerja perusahaan, kepemilikan, serta pemegang kepentingan. Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan.

  Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang- undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.

  3. Accountability (Akuntabilitas) Akuntabilitas menekankan pada pentingnya penciptaan sistem pengawasan yang efektif berdasarkan pembagian kekuasaan antara komisaris, direksi, dan pemegang saham yang meliputi monitoring, evaluasi, dan pengendalian terhadap manajemen untuk meyakinkan bahwa manajemen bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham dan pihak-pihak berkepentingan lainnya. Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.

  4. Responsibility (Responsibilitas) adalah adanya tanggung jawab pengurus dalam manajemen, pengawasan manajemen serta pertanggungjawaban kepada perusahaan dan para pemegang saham. Prinsip ini diwujudkan dengan kesadaran bahwa tanggungjawab merupakan konsekuensi logis dari adanya wewenang, menyadari akan adanya tanggungjawab sosial, menghindari penyalahgunaan wewenang kekuasaan, menjadi profesional dan menjunjung etika dan memelihara bisnis yang sehat.

  5. Independency (Independen) Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. Independen diperlukan untuk menghindari adanya potensi konflik kepentingan yang mungkin timbul oleh para pemegang saham mayoritas. Mekanisme ini menuntut adanya rentang kekuasaan antara komposisi komisaris, komite dalam komisaris, dan pihak luar seperti auditor. Keputusan yang dibuat dan proses yang terjadi harus obyektif tidak dipengaruhi oleh kekuatan pihak-pihak tertentu.

  Prinsip-prinsip transparansi, keadilan, akuntabilitas, responsibilitas dan independen GCG dalam mengurus perusahaan, sebaiknya diimbangi dengan good faith (bertindak atas itikad baik) dan kode etik perusahaan serta pedoman GCG, agar visi dan misi perusahaan yang berwawasan internasional dapat terwujud. Pedoman GCG yang telah dibuat oleh Komite Nasional

  Corporate Governance hendaknya dijadikan kode etik perusahaan yang dapat

  memberikan acuan pada pelaku usaha untuk melaksanakan GCG secara konsisten dan konsekuen. Hal ini penting mengingat kecenderungan aktivitas usaha yang semakin mengglobal dan dapat dijadikan sebagai ukuran perusahaan untuk menghasilkan suatu kinerja perusahaan yang lebih baik.

2.3 Struktur Corporate Governance

  Pada prinsipnya struktur corporate governance suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentangan peranan pengelola perusahaan seperti kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, komisaris independen dewan direksi dengan pemegang saham dan para stakeholder lainnya. Struktur corporate governance terdiri dari berbagai pihak yang mempunyai peran serta fungsi yang berbeda, untuk lebih jelasnya struktur

  corporate governance yang akan di bahas dalam penelitian ini adalah:

  2.3.1 Kepemilikan Institusional Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham perusahaan yang dimiliki institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan institusi lainya (Tarjo, 2008).

  Kepemilikan institusional dapat menekan kecenderungan manajemen untuk memanfaatkan discretionary dalam laporan keuangan sehingga memberikan kualitas laba yang dilaporkan. Prosentase saham tertentu yang dimiliki oleh institusi dapat mempengaruhi proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai pihak manajemen (Jati, 2009).

  Kepemilikan ini mempunyai karakteristik yang kuat untuk melakukan pengawasan pada perusahaan mengingat institusi mempunyai sumberdaya dan sumberdana yang kuat dibandingkan kepemilikan perorangan sehingga pengawasan yang lebih kuat tersebut dapat berpengaruh pada peningkatan kinerja perusahaan. Kepemilikan institusional dapat diindikasikan dari jumlah kepemilikan saham yang beredar, dalam hal ini institusi pendiri perusahaan, bukan institusi pemegang saham publik (Praditya, 2010). Semakin besar kepemilikan institusional maka semakin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan dan diharapkan juga dapat bertindak sebagai pencegah terhadap pemborosan yang dilakukan oleh manajemen (Faisal, 2005).

  2.3.2 Kepemilikan Manajerial Kepemilikan manajerial adalah situasi dimana manajer memiliki saham perusahaan atau dengan kata lain manajer tersebut sekaligus sebagai pemegang saham perusahaan. Kepemilikan manajerial dapat diindikasikan dengan jumlah kepemilikan saham oleh pihak manajemen dari seluruh modal saham yang dikelola. Kepemilikan manajerial dapat dihitung dari prosentase jumlah saham yang dimiliki pihak manajemen dari seluruh modal perusahaan yang beredar (Jati, 2009).

  Menurut Morck et el. (1998) dalam Faisal (2005) menyatakan adanya hubungan positif antara kepemilikana manajerial dengan nilai perusahaan. Besar kecilnya jumlah saham manajerial dalam perusahaan dapat mengindikasikan adanya kesamaaan kepentingan antara manajemen dan pemegang saham. Perusahaan dengan jumlah kepemilikan saham yang besar seharusnya mempunyai konflik keagenan yang rendah dapat direflesikan dari tingginya tingkat perputaran aktiva perusahaan dan rendahnya beban operasi terhadap penjualan (Faisal, 2005).

  Perbedaan kepentingan antara manajer dan pemegang saham ini mengakibatkan timbulnya konflik yang di sebut agency conflict.

  Konflik kepentingan yang sangat potensial ini menyebabkan pentingnya suatu mekanisme yang di terapkan guna melindungi kepentingan pemegang saham (Jensen dan Meckling, 1976 dalam Permanasari, 2010). Mekanisme pengawasan terhadap manajemen tersebut menimbulkan suatu biaya yaitu biaya keagenan, oleh karena itu salah satu cara untuk mengurangi agency cost adalah dengan adanya kepemilikan saham oleh pihak manajemen. Dengan adanya kepemilikan manajemen dalam sebuah perusahaan akan menimbulkan dugaan bahwa nilai perusahaan meningkat sebagai akibat kepemilikan manajemen yang meningkat. Kepemilikan oleh manajemen yang besar akan efektif memonitoring aktivitas perusahaan.

  2.3.3 Dewan Komisaris Independen Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham atau hubungan keluarga dengan anggota dewan komisaris lainnya, direksi dan atau pemegang saham pengendali atau hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen . Jumlah dewan independen komisaris semakin banyak menandakan bahwa dewan komisaris yang melakukan pengawasan dan koordinasi dalam perusahaan semakin baik. Karena semakin banyak dewan komisaris independen maka tingkat integritas pengawasan terhadap dewan direksi yang dihasilkan semakin tinggi, dengan demikian maka akan semakin mewakili kepentingan

  stakeholder selain dari pada kepentingan pemegang saham mayoritas

  dan dampaknya akan semakin baik terhadap nilai perusahaan (Riezka, 2010). Penelitian dewan komisaris independen telah dilakukan oleh Herawaty (2008) yang menyatakan bahwa dewan komisaris independen berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan.

  2.3.4 Dewan Direksi Komposisi dewan direksi sering digunakan untuk mengidentifikasi keberadaan kolusi dan dominasi direksi. Jumlah dewan direksi yang besar kurang efektif dalam memonitor manajemen. Dewan direksi sangat berpengaruh diperusahaan karena dewan direksi adalah eksekutor dalam perusahaan. Dewan direksi diukur dengan jumlah anggota dewan direksi (Jati, 2009). Direksi sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggungjawab secara kolegial dalam mengelola perusahaan. Masing-masing anggota direksi dapat melaksanakan tugas dan mengambil keputusan sesuai dengan pembagian tugas dan wewenangnya. Namun pelaksanaan tugas oleh masing-masing anggota direksi tetap merupakan tanggung jawab bersama. Kedudukan masing-masing anggota direksi termasuk direktur utama adalah setara. Tugas direktur utama sebagai primus inter pares adalah mengkoordinasikan kegiatan direksi (Muthaher, 2010). Dalton et el.(1999) dalam Darmawanti, dkk. (2005). Menyatakan adanya hubungan antara ukuran dewan dengan kinerja perusahaan.

  Perusahaan yang memiliki ukuran dewan direksi yang besar tidak bisa melakukan koordinasi, komunikasi dan pengambilan keputusan yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki dewan direksi yang kecil sehingga nilai perusahaan yang memiliki dewan direksi yang banyak lebih rendah dibandingkan perusahaan yang memiliki dewan direksi lebih sedikit (Jensen et al, 1996 dalam Sam’ani, 2008).

  2.4 Leverage Leverage adalah hutang sumber dana yang digunakan perusahaan

  untuk membiayai asetnya diluar sumber dana modal atau ekuitas. Leverage dibagi menjadi dua yaitu leverage operasi (operating leverage) dan leverage keuangan (financial leverage). Leverage operasi adalah suatu indikator perubahan laba bersih yang diakibatkan oleh besarnya volume penjualan sedangkan leverage keuangan menunjukkan kemampuan perusahaan dalam membayar hutang dengan equity yang dimilikinya.

  Leverage merupakan pengukuran besarnya aktiva yang dibiayai

  dengan hutang. Dan hutang yang untuk membiayai aktiva dari kreditor bukan dari pemegang saham ataupun investor. Menurut Faisal (2005) leverage dapat mempresentasikan sebuah pengendalian eksternal dari corporate governance. Pemegang utang (debtholders) berkepentingan untuk melindungi investasinya dalam perusahaan dan akan secara aktif memonitor seberapa besar tingkat

  leverage perusahaan tersebut.

  2.5 Ukuran Perusahaan

  Salah satu tolak ukur yang menunjukan besar kecilnya perusahaan adalah ukuran perusahaan. Semakin besar aset maka semakin banyak modal yang ditanam, semakin banyak penjualan maka semakin banyak perputaran uang dan semakin besar kapitalisasi pasar maka semakin besar pula dikenal dalam masyarakat (Ningsaptiti, 2010). Ukuran perusahaan menunjukan pengalaman dan kemampuan suatu perusahaan yang megindikasikan kemampuan dalam mengelola tingkat resiko investasi yang diberikan para stakeholder untuk meningkatkan kemakmuran mereka (Daniati, 2006).

  Faktor ukuran perusahaan yang mempengaruhi besar kecilnya perusahaan merupakan faktor penting dalam pembentukan laba. Perusahaan yang besar yang dianggap telah mencapai tahap kedewasaan merupakaan suatu gambaran bahwa perusahaan tersebut relatif stabil dan lebih mampu menghasilkan laba di bandingkan perusahaan kecil. Bagi perusahaan yang stabil biasanya dapat memprediksi jumlah keuntungan di tahun–tahun mendatang kaena tingkat kepastian laba sangat tinggi. Sebaliknya bagi perusahaan yang belum mapan, besar kemungkinan laba yang diperoleh juga belum stabil karena kepastian laba lebih rendah (Sembiring, 2008).

  Banyak penelitian yang merekomendasikan bahwa ukuran perusahaan (company size) yang di ukur dengan total aset mempengaruhi kinerja perusahaan. Ukuran adalah variabel yang banyak di gunakan dalam studi mengenai kinerja perusahaan, karena variabel ini telah diidentifikasikan sejak lama sebagai variabel penjelas yang cukup signifikan (Zimerman J.L dalam Setiawan, 2005). Rachmawati dan Hanung (2007) melakukan penelitian mengenai analisis faktor yang mempengaruhi kualitas laba dan nilai perusahaan. Hasilnya kepemilikan institusioanal, ukuran perusahaan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan.

2.6 Kinerja Perusahaan

  Kinerja perusahaan adalah penentuan ukuran-ukuran tertentu yang dapat mengukur keberhasilan suatu perusahaan dalam menghasilkan laba (Dessy, 2008). Kinerja juga merupakan hal penting yang harus dicapai oleh setiap perusahaan dimanapun, karena kinerja merupakan cerminan dari kemampuan perusahaan dalam mengalokasikan sumber dayanya. Penilaian kinerja adalah penentuan secara periodik efektivitas operasional suatu organisasi, bagian organisasi dan karyawan berdasarkan sasaran, standar dan kinerja yang telah ditetapkan sebelumnya. Sedangkan Kinerja perusahaan sendiri adalah kemampuan perusahaan dalam menjelaskan operasionalnya. Penilaian kinerja perusahaan dapat dilihat dari segi analisis laporan keuangan dan dari segi perubahan harga saham. Nilai perusahaan akan tercermin dari harga sahamnyaFama, (1978) dalam Dessy, (2008). Kinerja adalah suatu tampilan keadaan secara utuh atas perusahaan selama periode waktu tertentu yang merupakan hasil atau prestasi yang dipengaruhi oleh kegiatan operasional perusahaan dalam memanfaatkan sumber-sumber daya yang dimiliki Helfert, (1996) dalam Nuswandari (2009).

  Kinerja merupakan cerminan dari kemampuan perusahaan dalam mengelola dan mengalokasikan sumberdayanya. Tujuan dari penilaian kinerja adalah untuk memotivasi karyawan dalam mencapai sasaran organisasi dan dalam memenuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya agar membedakan hasil dan tindakan yang diinginkan. Standar perilaku dapat berupa kebijakan manajemen atau rencana formal yang dituangkan dalam anggaran. Berikut ini adalah beberapa rasio yang digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan Ang, (1997 dalam Sabrina, (2010):

  1. Rasio likuiditas Rasio likuiditas adalah rasio yang menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansial yang berjangka pendek tepat pada waktunya. Likuiditas merupakan suatu indikator mengenai kemampuan perusahaan untuk membayar semua kewajiban finansial jangka pendek pada saat jatuh tempo dengan menggunakan aktiva lancar yang tersedia. Likuiditas tidak hanya berkenaan dengan keadaan keseluruhan keuangan perusahaan, tetapi juga berkaitan dengan kemampuannya untuk mengubah aktiva lancar tertentu menjadi uang kas.

  Ada tiga cara dalam pengukuran tingkat likuiditas (Syamsuddin, 2009): 1.

   Net working capital Net working capital merupakan selisih antara current asset /

  aktiva lancar dengan current liabilities/utang lancar (Syamsuddin, 2009). Secara matematis Net Working Capital dirumuskan sebagai berikut:

  Net Working Capital = aktiva lancar-utang lancar 2. Current Ratio Current Ratio merupakan salah satu rasio finansial yang sering

  digunakan. Tingkat Current Ratio dapat ditentukan dengan jalan membandingkan antara aktiva lancar dengan utang lancar

  (Syamsuddin, 2009). Seraca matematis Current Ratio dirumuskan sebagai berikut:

  Current Rati = 3. Acid-test Ratio/Quick Ratio Acid-test Ratio hampir sama dengan Current Ratio hanya saja

  jumlah persediaan (inventory) sebagai salah satu komponen dari aktiva lancar harus dikeluarkan. Alasan yang melatarbelakangi hal tersebut adalah bahwa persediaan merupakan komponen aktiva lancar yang paling tidak likuid atau sulit untuk diuangkan dengan segera tanpa menurunkan nilainya, sementara dengan Acid-test Ratio dimaksudkan untuk membandingkan aktiva yang lebih lancar (Quick Assets) dengan utang lancar (Syamsuddin, 2009). Secara matematis Acid-test Ratio dirumuskan sebagai berikut:

  − Acid-test Ratio

  =

  Penelitian yang dilakukan oleh Kartika (2010), menyatakan bahwa variabel likuiditas tidak berpengaruh terhadap pengungkapan tanggungjawab sosial perusahaan. Sedangkan secara bersama-sama variabel size perusahaan, profitabilitas, basis perusahaan, tipe perusahaan, likuiditas berpengaruh terhadap pengungkapan tanggungjawab sosial perusahaan. Likuiditas menunjukan kondisi keuangan perusahaan. Perusahaan yang mempunyai cukup kemampuan untuk membayar utang jangka pendek disebut sebagai perusahaan yang likuid. Suatu perusahaan dikatakan likuid atau mempunyai posisi keuangan yang kuat apabila mampu:

  1. Memenuhi kewajiban-kewajibannya tepat pada waktunya.

  2. Memelihara modal kerja yang cukup untuk operasi yang normal.

  3. Membayar bunga dan deviden yang dibutuhkan.

  4. Memelihara tingkat kredit yang menguntungkan.

  Perusahaan dengan likuiditas yang tinggi akan cenderung untuk melakukan pengungkapan yang lebih karena ingin menujukkan kinerja perusahaannya yang kredibel. Tetapi dilain pihak, likuiditas dapat juga dipandang sebagai kinerja manajemen dalam mengelola keuangan. Kondisi perusahaan sehat dapat ditunjukan dari tingkat likuiditas yang berhubungan dengan tingkat pengungkapan yang lebih Benardi (2007) dalam Mahmudah (2011).

  2. Rasio aktivitas Rasio aktivitas adalah rasio yang menunjukkan bagaimana sumber daya telah dimanfaatkan secara optimal, kemudian dengan cara membandingkan rasio aktivitas dengan sadar industri, maka dapat diketahui tingkat efisiensi perusahaan dalam industri. Rasio aktivitas terdiri dari :

1. Perputaran Piutang (receivable turn over)

  Kemampuan dana yang tertanam dalam piutang berputar dalam periode tertentu Rumus: receivable turn over=

  −

  Semakin tinggi perputaran menunjukan modal kerja yang tertanam dalam piutang semakin rendah, sebaliknya semakin rendah rasio berarti ada over invesment dalam piutang. Penuruna rasio dapat disebabkan oleh faktor sebagai berikut :

  Turunya penjualan dan naiknya piutang

  • Turunya piutang dan diikuti penjualan dalam jumlah lebih
  • besar
  • yang lebih besar

  Naiknya penjualan diikuti naiknya piutang dalam jumlah

  Turunya penjuan dengan piutang yang tetap

  • Naiknya piutang sedangkan penjualan tidak berubah
  • 2.

   Days of Receivable

  Periode rata-rata diperlukan untuk mengumpulkan piutang

  −

  Rumus:Days of Receivable = Semakin besar periode rata- rata makan semakin besar resiko kemungkinan tidak tertagih piutang.

  3. Perputaran persediaan(inventory turn over) Kemampuan dana yang tertanamdalam persediaan berputar dalam periode tertentu.

  Rumus :

  inventory turn over = −

  Semakin tinggi perputaran menunjukan modal kerja yang tertanam dalam persediaan semakin rendah, sebaliknya rasio semakin rendah berarti ada over stock dalam persediaan.

  4. Days of Inventory

  Periode rata-rata persediaan digudang Rumus :

  − Days of Inventory =

  Semakin besar rata-rata, maka semakin besar resiko kemungkinan persediaan berada digudang.

  5. Perputaran modal kerja (working capital turn over) Kemampuan modal kerja netto berputar dalam satu periode tertentu (siklus kas dari perusahaan).

  Rumus :

  working capital turn over = −

  3. Rasio profitabilitas Rasio profitabilitas dapat mengukur seberapa besar kemampuan perusahaan memperoleh laba baik dalam hubungan penjualan, asset maupun laba bagi modal sendiri. (Sulistiani, 2007). Ada beberapa rumus yang dapat digunakan dalam menghitung profitabilitas, antara lain:

1. Operating Profit Margin

  Operating Profit Margin digunakan untuk mengukur tingkat laba usaha atau operasional dibagi penjualan bersih (Prihantini,2009).

  Secara matemtis Operating Profit Margin dapat dirumuskan sebagai berikut :

  / Operating Profit Margin

  = 2.

  Net Profit Margin (NPM)

  Net Profit Margin digunakan untuk mengukur presentase laba bersih setelah pajak dibagi penjualan bersih (Prihantini,2009).

  Secara matematis Net Profit Margin dapat dirumuskan sebagai berikut :

  Net Profit Margin = 3.

  Return on Asset (ROA)

  Return on Asset (ROA) digunakan untuk mengukur efektifitas

  perusahaan didalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. Return on Asset (ROA) merupakan rasio pendapatan bersih setelah pajak terhadap rata-rata aktiva tetap (Prihantini,2009). Secara matematis Return on Asset (ROA) dirumuskan sebagai berikut :

  Return on Asset (ROA) =

  − 4.

  Return on Equity (ROE)

  Return on Equity (ROE) digunakan untuk mengukur kemampuan modal sendiri atau ekuitas dalam menghasilkan keuntungan.

  Return on Equity (ROE) yaitu membagi laba bersih setelah pajak

  (earning after tax) dengan modal sendiri atau ekuitas (Simanjuntak dan Widiastuti,2004). Secara matematis Return on Equity (ROE) dirumuskan sebagai berikut :

  Return on Equity (ROE) = 5.

  Gross Profit Margin(GPM) digunakan untuk mengukur tingkat laba kotor

  Gross Profit Margin

  terhadap penjualan bersih perusahaan (Prihantini,2009). Secara matematis Gross Profit Margin dirumuskan sebagai berikut :

  Gross Profit Margin =

  4. Rasio solvabilitas (Leverage)

  Financial leverage menunjukkan proporsi atas penggunaan utang

  untuk membiayai investasinya. Perusahaan yang tidak mempunyai

  

leverage berarti menggunakan modal sendiri 100%. Ada beberapa rumus

  yang dapat digunakan dalam menghitung leverage, antara lain:

  1. Debt to Equity Ratio (DER)

  Debt to Equity Ratio (DER) mencerminkan kemampuan

  perusahaan dalam memenuhi kewajibannya yang ditunjukkan oleh beberapa bagian dari modal sendiri atau ekuitas yang digunakan untuk membayar hutang. Debt to Equity Ratio (DER) merupakan perbandingan antara total hutang yang dimiliki oleh perusahaan dengan ekuitasnya (Prihantini,2009). Secara matematis Debt to

  Equity Ratio (DER) dapat diformulisasikan sebagai berikut: Debt to Equity Ratio (DER) =

  2. Debt to Total Asset (DTA)

  

Debt to Total Asset (DTA) merupakan rasio antara total hutang

(total debt) baik hutang jangka pendek dan hutang jangka panjang

  terhadap total aktiva (total assets) baik aktiva tetap, aktiva lancar dan aktiv lainnya. Debt to Total Asset (DTA) menunjukkan besarnya hutang yang digunakan untuk membiayai aktiva yang digunakan oleh perusahaan dalam menjalankan aktivitas operasionalnya (Risaptoko, 2007). Secara matematis Debt to Total

  Asset (DTA) dapat dirumuskan sebagai berikut : Debt to Total Asset (DTA) =

3. Long Term Debt to Equity Ratio

  Long Term Debt to Equity Ratio yaitu membandingkan sumber

  pembiayaan jangka panjang terhadap modal pemegang saham (Prihantini,2009). Secara Long Term Debt to Equity Ratio matematis dapat dirumuskan sebagai berikut :

  Long Term Debt to Equity Ratio =

  Penelitian yang dilakukan oleh Untari (2010) menunjukan bahwa rasio leverage tidak berpengaruh terhadap pengungkapan tanggungjawab sosial perusahaan. Sedangkan secara simultan variabel size perusahaan, profitabilitas, leverage, umur perusahaan berpengaruh terhadap pengungkapan tanggungjawab sosial.

  5. Rasio Pasar (Market ratio) Rasio ini menunjukkan informasi penting perusahaan yang diungkapkan dalam basis per saham. Rasio nilai pasar perusahaan memberikan indikasi bagi manajemen mengenai penilaian investor terhadap kinerja perusahaan dimasa lampau dan prospeknya dimasa yang akan mendatang. Informasi kinerja bermanfaat untuk mempredeksi kapasitas perusahaan dalam arus kas dari sumber daya yang ada dan juga untuk perumusan perimbangan tentang efektifitas perusahaan dalam memanfaatkan sumber daya alam (Nuraeni, 2010 ). Adapun rumus yang digunakan :

1. Price earning ratio

  Harga pasar per saham terhadap laba per saham Rumus : Price earning ratio =

  Semakin tinggi risiko tinggi faktor diskonto dan semakin rendah rasio P/E, semakin tinggi P/E, maka semakin bagus sebuah

  .

  perusahaan 2. Rasio Harga Pasar terhadap nilai Buku (Market book value ratio)

  Rumus : Market book value ratio = Mengukur nilai yang diberikan pasar keuangan kepada manajemen dan organisasi perusahaan sebagai sebuah perusahaan yang terus tumbuh. Suatu pengukuran adalah nilai kuantitatif yang dapat digunakan untuk menjadi skala dan tujuan-tujuan perbandingan. Pengukuran kinerja dapat berupa keuangan dan bukan keuangan. Pengukuran keuangan dinyatakan dalam ketentuan moneter. Sedangkan pengukuran bukan keuangan adalah data kuantitatif yang diciptakan diluar sistem akuntansi yang formal. Pengukuran kinerja keuangan perusahaan dengan ROA menunjukkan kemampuan atas modal yang diinvestasikan dalam keseluruhan aktiva yang dimiliki perusahaan untuk menghasilkan laba. ROA yang negatif disebabkan laba perusahaan dalam kondisi negatif pula atau rugi. Hal ini menunjukkan kemampuan dari modal yang diinvestasikan secara keseluruhan belum mampu untuk menghasilkan laba (Hakim, 2006).

2.7 Kerangka Pemikiran

  Corporate governance atau tata kelola perusahaan merupakan

  mekanisme pengendalian untuk mengatur dan mengelola bisnis dengan maksud untuk meningkatkan kemampuan dan akuntabilitas perusahaan guna mempertimbangkan kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan perusahaan (stakeholder), tidak hanya para pemegang saham (shareholder).

  Dengan praktek tata kelola perusahaan yang baik akan meningkatkan nilai perusahaan diantaranya kinerja keuangan perusahaan. Tata kelola perusahaan yang mereka miliki tersebut diterapkan melalui good corporate governance sehingga membantu terciptanya hubungan yang kondusif dan dapat dipertanggungjawabkan diantara elemen dalam perusahaan (kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, dewan komisaris independen, dewan direksi), Jati (2009).

  Kinerja perusahaan dapat ditentukan dari sejauh mana keseriusannya dalam menerapkan corporate governance. Perusahaan yang terdaftar dalam skor pemeringkatan corporate governance yang dilakukan oleh IICG terbukti telah menerapkan corporate governance dengan baik dan secara langsung menaikkan nilai sahamnya, semakin tinggi penerapan corporate governance yang diukur oleh Corporate Governance Perception Indeks (CGPI) maka semakin tinggi pula tingkat ketaatan perusahaan dan menghasilkan kinerja perusahaan yang baik (Wardhani, 2008).

  Perusahaan Sebaiknya mengaplikasikan corporate governance dengan baik, agar kinerja perusahaan dapat di tingkatkan serta mempertimbangnya besar proporsi kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional, agar dapat merasakan manfaat dari kepemilikan saham tersebut. Serta dewan komisaris independen dan dewan direksi agar lebih berfungsi secara optimal, tidak hanya sebagai pemenuhan regulasi semata karena good corporate

  

governance dapat terwujud apabila fungi kontrol dapat berjalan dengan baik (

  Darwis, 2007) Kepemilikan institusional adalah jumlah persentase hak suara yang dimiliki oleh institusi. Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengurangi insentif para manajer yang mementingkan diri sendiri melalui tingkat pengawasan yang intens (Jati, 2009). Kepemilikan perusahaan oleh institusi akan mendorong pengawasan yang lebih efektif, karena institusi merupakan profesional yang memiliki kemampuan dalam mengevaluasi kinerja perusahaan (Nur’aeni, 2010).

  Kepemilikan saham manajerial dapat membantu penyatuan kepentingan antara pemegang saham dan manajer. Semakin meningkatnya proporsi kepemilikan saham manajerial maka kinerja perusahaan juga semakin baik. Hal tersebut akan mensejajarkan kedudukan manajer dengan pemegang saham sehingga manajer termotivasi untuk meningkatkan kinerja perusahaan dibawah pengawasan dewan direksi (Nur’aeni, 2010).

  Menurut agency teory, pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan perusahaan dapat menimbulkan konflik keagenan. Konflik keagenan disebabkan prinsipal dan agen mempunyai kepentingan sendiri-sendiri yang saling bertentangan karena agen dan prinsipal berusaha memaksimalkan kualitasnya masing-masing. Menurut Tendi Haruman (2008), perbedaan kepentingan antara manajemen dan pemegang saham mengakibatkan manajemen berperilaku curang dan tidak etis sehingga merugikan pemegang saham. Oleh karena itu diperlukan suatu mekanisme pengendalian yang dapat mensejajarkan perbedaan kepentingan antara manajemen dengan saham.

  Manajer yang sekaligus pemegang saham akan meningkatkan nilai perusahaan karena dengan meningkatkan nilai perusahaan, maka nilai kekayaannya sebagai pemegang saham akan meningkat juga. Penelitian yang mengkaitkan kepemilikan manajemen dengan nilai perusahaan telah banyak dilakukan namun dengan hasil yang berbeda-beda pula. Penelitian (Solihan dan Taswon dalam Permanasari, 2010) menemukan hubungan yang signifikan dan positif antara kepemilikan manajemen dan nilai perusahaan.

  Wahyudi dan Prawesti (2006) dan Etty Murwaningsih (2009), yang menemukan bahwa kepemilikan manajemen berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Hal tersebut disebabkan karena timbulnya hubungan non-monotonic yaitu adanya insentif yang dimiliki manajer dan mereka berusaha untuk melakukan pensejajaran kepentingan dengan outsider ownership dengan cara meningkatkan kepemilikan saham mereka jika nilai perusahaan meningkat.

  Komisaris independen adalah komisaris yang bukan merupakan anggota manajemen, pemegang saham mayoritas dari suatu perusahaan yang mengawasi pengelolaan perusahaan. Keberadaan komisaris independen dapat meningkatkan kinerja perusahaan melalui pengawasan atau masukan yang diberikannya demi kepentingan perusahaan.

  Rachmawati dan Triatmoko (2007), membuktikan bahwa komisaris independen mempunyai hubungan positif terhadap kinerja perusahaan.

  Peranan komisaris independen dalam menjalankan fungsi pengawasaan, komposisi dewan dapat mempengaruhi pihak manajemen dalam menyusun laporan keuangan sehingga dapat di peroleh suatu laporan laba yang berkualitas yang nantinya akan berdampak pada semakin tingginya nilai perusahaan karena perilaku kecurangan antara pihak intern yang mungkin terjadi dalam perusahaan mungkin akan berkurang.

  Dewan direksi sangat berpengaruh diperusahaan karena dewan direksi adalah eksekutor dalam perusahaan. Tugas dewan direksi yaitu mengelola dan mewakili perusahaan dan juga memberikan informasi dibawah pengarahan dan pengawasan dewan komisaris. Kedudukan masing-masing anggota direksi termasuk direktur utama adalah setara.

  Setiawan (2005) dan Sam’ani (2008) menyatakan hasil penelitiannya bahwa dewan direksi berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan.

  Karena fungsi atau peran komisaris dan direksi dalam proses peningkatan kinerja perusahaan sangat diperlukan untuk menjalankan perusahaan secara berkesinambungan sehingga terwujud good corporate governance yang berpengaruh pada peningkatan kinerja perusahaan sehingga dengan meningkatnya kinerja perusahaan diharapkan juga dapat meningkatkan harga saham perusahaan sehingga nilai perusahaan akan tercapai.

  Leverage keuangan (ratio leverage) adalah perbandingan antara dana-

  dana yang dipakai untuk membelanjai/membiayai perusahaan atau perbandingan antara dana yang diperoleh dari ekstern perusahaan (dari kreditur-kreditur) dengan dana yang disediakan pemilik perusahaan.Leverage menggambarkan sumber dana operasi yang digunakan operasi perusahaan oleh perusahaan. Rasio leverage juga menunjukan resiko yang di hadapi perusahaan. Semakin besar resiko yang dihadapi perusahaan maka ketidak pastian untuk memperoleh laba di masa yang akan datang juga akan meningkat. Penelitian Hery dan Hemin dalam Tarjo, (2008) menunjukan bahwa leverage berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan.

  Hasil penelitian Sujoko dan Soebiantoro (2007) menyatakan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Temuan penelitian ini konsisten dengan temuan penelitian Jati (2009). Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa investor mempertimbangkan ukuran perusahaan dalam membeli saham. Ukuran perusahaan dijadikan patokan bahwa perusahaan tersebut mempunyai kinerja bagus.

Gambar 2.1 Model Pemikiran

  H

  1 Kepemilikan institusional

  H

  2 Kepemilikan Manajerial H

  3 H

  4 Dewan Komisaris

  Kinerja Perusahaan Independen

  ( Y ) H

  5 Dewan direksi

  H

  6 Leverage

  H

  7 Ukuran Perusahaan

2.8 Hipotesis

  Sesuai dengan kerangka pemikiran diatas, maka hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut : H

  1 : Pepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, dewan

  komisaris independen, dewan direksi, leverage dan ukuran perusahaan secara simultan berpengaruh signifikan terhadap kinerja peruahaan. H

  2 : Kepemilikan institusional secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan.

  H : Kepemilikan manajerial secara parsial berpengaruh

  3 signifikan terhadap kinerja perusahaan.

  H

  4 : Dewan komisaris independen secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan.

  H

  5 : Dewan direksi secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan.

  H : Leverage secara parsial berpengaruh signifikan terhadap

  6 kinerja perusahaan.

  H

  7 : Ukuran Perusahaan secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan.