BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - EFIE SUNARYA BAB I

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem pengairan merupakan salah satu kegiatan penting dalam rangka

  pembangunan di Indonesia. Peningkatan produksi pertanian menghendaki terjaminnya pengairan yang cukup sepanjang tahun. Irigasi di Indonesia telah ada sejak zaman kerajaan Hindu, bahkan sebelum Hindu telah dilakukan pendayagunaan air sungai. Para petani membangun jaringan irigasi dan salurannya untuk mengairi sawah mereka. Bangunan irigasi masih sangat sederhana, dengan membuat sekat- sekat bambu yang diisi batu sebagai bahan bendungan. Seluruh bendungan irigasi itu dibuat asal air dapat mengalir dan dapat masuk ke sawah.

  Seiring dengan berjalannya waktu, pada paruh abad ke-19, Pemerintah Belanda mulai membangun jaringan irigasi besar dan modern. Pembangunan pengairan tersebut dilatarbelakangi oleh perluasaan tanaman tebu dalam rangka program culturstelsel atau tanaman wajib dan usaha penyediaan pangan berupa tanaman pangan seperti padi, jagung, kedelai, ubi jalar dan ketela pohon untuk menghilangkan bencana kelaparan. Pada tahun 1849, secara bertahap pemerintah Belanda membina pembangunan irigasi di Pulau Jawa, Madura, Bali, Sumatera, dan Sulawesi Selatan (Sintia Dewi, 2009: 2).

  Pada tahun 1852, Pemerintah Belanda melakukan pembangunan bendungan Glapen di Kali Tuntang di Jawa Tengah untuk mengairi lahan lahan pertanaman kapas yang direncanakannya seluas Usaha Belanda untuk meluaskan areal pertanaman tebu telah mendorong pembangunan bendungan dan irigasi, seperti pembangunan bendungan Lengkong di Mojokerto (pada Sungai Brantas) yang dapat mengairi lahan pertanaman seluas 40.000 hektar, pembangunan irigasi Banjar Cahyana di Banyumas, Irigasi Pemali-Comal di Pekalongan, Waduk Penjalin dan Malahayu di Brebes. Pada tahun 1930-an luas lahan pertanaman tebu telah mencapai sekitar 198.000 hektar dengan 179 pabrik gula (Kartasapoetra, Sutedjo dan Pollein, 1991: 3).

  Selama pendudukan Jepang sampai dengan periode 1968 pengairan di Indonesia kurang mendapat perhatian. Akibatnya bangunan-bangunanpengairan mulai rusak dan saluran-saluran mengalami pendangkalan. Hal ini disebabkan oleh tidak cukupnya dana pemerintah untuk membiayai pemeliharaan rutin maupun untuk merehabilitasi jaringan-jaringan yang rusak. Selama tahun 60-an keadaan keuangan pemerintah semakin memburuk sehingga kerusakan-kerusakan jaringan irigasi menjadi semakin parah. Adanya kerusakan jaringan irigasi ini berpengaruh pada sektor pertanian terutama produksi beras yang merosot dari tahun ke tahun. Akibatnya Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor beras yang terbesar di dunia (Sintia Dewi, 2009: 2).

  Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena memiliki lahan luas yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai usaha pertanian. Pada permulaan tahun 1969-an, pemerintah Indonesia meluncurkan suatu program pembangunan pertanian yang dikenal secara luas dengan program revolusi hijau (Soetrisno, 1999: 9). Dalam pelaksanaannya revolusi hijau dilakukan dalam bentuk bermacam cara. Di Indonesia misalnya revolusi hijau dilakukan melalui komando dan subsidi. Bentuk subsidi tersebut adalah: (1) Bantuan dan subsidi besar-besaran terhadap harga pupuk kimia; (2) Subsidi terhadap kredit pertanian; (3) Pembayaran padi oleh negara melalui operasi pembelian harga dasar dan pembangunan stok persediaan; (4) Meningkatkan kuantitas irigasi serta pinjaman modal melalui hutang luar negeri (Mansour Fakih, 2000: 8).

  Sejak tahun 1969 pemerintah aktif melakukan rehabilitasi jaringan-jaringan irigasi yang keadaannya telah kurang berfungsi, yang disebabkan kurangnya pemeliharaan. Pengadaan dan rehabilitasi saluran-saluran irigasi saja dirasa tidak cukup, oleh karena itu dibutuhkan waduk untuk menyimpan kelebihan air di musim hujan agar bisa digunakan pada musim kemarau. Arti waduk bagi pembangunan akan lebih penting bila dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lain atau multi-guna, misalnya pembangkit tenaga listrik, perikanan, pariwisata, dan untuk mencegah bahaya banjir dan erosi. Pembangunan waduk multi-guna di Indonesia mulai dibangun dan mengalami renovasi pada kurun waktu 1969-an (Kartasapoetra, Sutedjo dan Pollein, 1991: 3).

  Waduk Penjalin terletak di tengah-tengah Desa Winduaji, Kecamatan Paguyangan, Kabupaten Brebes. Waduk ini dibangun oleh pemerintah Kolonial Belanda. Air Waduk Penjalin dipersiapkan untuk menyuplai irigasi Sungai Pemali hilir dan areal persawahan di Kabupaten Brebes bagian selatan.

  Penelitian mengenai Waduk Penjalin dan Kehidupan Pertanian Masyarakat

  Paguyangan Tahun 2004-2010 menarik untuk diteliti karena selama ini perubahan-

  perubahan sosial banyak terjadi di beberapa tempat di Indonesia. Dari sekian banyak perubahan tersebut kemungkinan ada yang mendapat tanggapan dari berbagai peneliti di Indonesia dan ada yang tidak. Seperti halnya dengan masyarakat disekitar Waduk Penjalin selama ini belum mendapatkan sorotan masalah sejarah waduk serta kehidupan pertanian masyarakat Paguyangan dan sejauh ini pula belum ada buku- buku yang menyebutkan tentang kehidupan masyarakat disekitar Waduk Penjalin. Pemilihan angka tahun 2004-2010 adalah dengan pertimbangan kebijakan pemerintah terhadap pembangunan pertanian serta kondisi pertanian di Kecamatan Paguyangan pada saat itu.

B. Rumusan Masalah

  Dengan memperhatikan latar belakang diatas muncul permasalahan sebagai berikut:

  1. Pembangunan Waduk Penjalin.

  2. Petanian di Sekitar Waduk Penjalin Tahun 2004-2010.

  3. Pengaruh Pembangunan Waduk Penjalin.

C. Tujuan Penelitian

  Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui : 1. Pembangunan Waduk Penjalin.

  2. Pertanian di sekitar Waduk Penjalin Tahun 2004-2010.

  3. Pengaruh Pembangunan Waduk Penjalin.

D. Manfaat Penelitian

  Penelitian ini dapat menambah, memperkaya perbendaharaan dan pengembangan ilmu pengetahuan terutama nilai kesejarahan dan ilmu-ilmu studi masyarakat. Sumbangan lainnya dari penelitian ini adalah bagi penulisan sejarah atau historiografi lokal, khususnya sejarah Waduk Penjalin dan perkembangan pertanian di Kecamatan Paguyangan.

E. Tinjauan Pustaka

  Selama ini perubahan-perubahan sosial banyak terjadi dibeberapa tempat di Indonesia. Untuk itulah penelitian ini mencoba untuk mengungkap masalah tentang

  Waduk Penjalin dan Kehidupan Pertanian Masyarakat Paguyangan Kabupaten Brebes Tahun 2004-2010 . Sebagai acuan untuk menganalisa permasalahan dalam

  penulisan ini penulis menggunakan beberapa buku dan penelitian sejenis.

  Andri Suprianto (2008), dalam penelitiannya yang berjudul Dampak Obyek

  Wisata Waduk Mrica terhadap Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Desa Bawang Kabupaten Banjarnegara tahun 1990-2007, menyatakan bahwa kehadiran obyek

  wisata di tengah-tengah masyarakat akan membawa dampak yang bisa dirasakan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung adanya obyek wisata Waduk Mrica pada masyarakat adalah pemanfaatan lahan-lahan kosong disekitar waduk guna ditanami tanaman komersial. Selain itu, masyarakat juga dapat memanfaatkan perairan yang ada sebagai sarana budidaya ikan. Dampak positif dari obyek wisata Waduk Mrica antara lain perluasan lapangan pekerjaan dan menambah penghasilan masyarakat sekitar. Dengan adanya obyek wisata Waduk Mrica masyarakat Desa Bawang mulai terjadi perbaikan dalam bidang ekonomi dan sosial. Dalam bidang ekonomi masyarakat dapat meningkatkan taraf hidup dengan mendapatan penghasilan tambahan yang dapat memenuhi kebutuhan primer, juga kebutuhan sekunder mereka. Dalam bidang sosial masyarakat mulai sadar akan pentingnya sekolah untuk anak-anak. Hal itu dibuktikan dengan di sekolahkannya anak mereka hingga jenjang yang lebih tinggi.

  Royadi (2011), dalam penelitiannya yang berjudul Perubahan Sosial-Ekonomi

  

Masyarakat di Sekitar Waduk Darma Kecamatan Darma Kabupaten Kuningan tahun

1945-2010, menyatakan bahwa pembangunan Waduk Darma yang berada di Desa

  Jagara, Kecamatan Darma, Kabupaten Kuningan, membawa dampak sosial-ekonomi, kepada masyarakat disekitar Waduk Darma yang ditandai oleh beberapa perubahan yang salah satunya adalah terjadinya perubahan mata pencaharian masyarakat di sekitar Waduk Darma. Sebelum dibangunnya Waduk Darma mata pencaharian masyarakat sekitar Waduk Darma bermata pencaharian sebagai petani (bersawah). Setelah dibangunnya Waduk Darma, maka mata pencaharian masyarakat mengalami perubahan. Adapun jenis mata pencaharian baru masyarakat yaitu nelayan, pedagang, buruh tani, pegawai pariwisata, dan lain-lain. Dengan melihat adanya perubahan mata pencaharian masyarakat di sekitar Waduk Darma, dapat disimpulkan bahwa perubahan sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi pada tahun 1945-1980 mengalami kemunduran, dan perubahan sosial-ekonomi 1981-2010 mengalami kemajuan.

  Eka Apridayanti, (2008) dalam penelitiannya tentang Evaluasi Pengelolaan

  

Lingkungan Perairan Waduk Lahor Kabupaten Malang, Jawa Timur, keberadaan

  Waduk Lahor tentu memberi manfaat tersendiri bagi masyarakat, terutama masyarakat yang daerahnya terendam karena pembangunan waduk. Berbagai aktivitas yang dilakukan masyarakat di sekitar waduk dalam pemanfaatan waduk antara lain kegiatan pertanian, pariwisata, dan perikanan (diambil dari

  eprint.undip.ac.id/17305 , 5/3/2012. 00.15wib ).

  Sinta Dewi, (2009) dalam penelitiannya tentang Pembangunan Waduk

  

Kedung Ombo dan Pengaruhnya terhadap Produksi Padi serta Aspek Sosial

Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Grobogan Tahun 1981-2003, menyatakan bahwa

  sistem pengairan merupakan salah satu kegiatan penting dalam rangka pembangunan di Indonesia. Peningkatan produksi pertanian menghendaki terjaminnya pengairan yang cukup sepanjang tahun. Pengadaan saluran-saluran irigasi saja dirasa tidak cukup, oleh karena itu dibutuhkan waduk untuk menyimpan kelebihan air di musim hujan agar bisa digunakan pada musim kemarau. Arti waduk bagi pembangunan akan lebih penting bila dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lain atau multi-guna, misalnya, pembangkit tenaga listrik, perikanan, pariwisata, dan untuk mencegah bahaya banjir dan erosi. Pembangunan Waduk Kedung Ombo dilatar belakangi karena tidak berfungsinya pintu air Wilalung yang dibangun oleh Belanda pada tahun 1918 sebagai penangkal bahaya banjir di Sungai Serang. Pembangunannya mulai dilaksanakan dengan adanya survei, investasi, studi kelayakan oleh Proyek Perancangan Pengembangan Sumber-Sumber Air (P3SA) bersama dengan Nedeco, konsultan dari Belanda pada tahun 1969-1976. Pembangunan fisik Waduk Kedung Ombo mulai dilakukan pada tahun 1985 dan selesai pada tahun 1989. Dengan kemampuan mengairi sawah seluas 59.400 ha yang disalurkan oleh jaringan irigasi, Waduk Kedung Ombo juga dibangun untuk tujuan pemenuhan irigasi sawah, pengendalian banjir, sarana pembangkit tenaga listrik, sarana penyedia air minum, sarana pariwisata, dan perikanan darat. Adanya pengairan yang cukup menyebabkan terjadinya perubahan pola tanam padi, yaitu 2-3 kali tanam. Hal ini berpengaruh pada peningkatan produksi padi dan tingkat pendapatan petani di Kabupaten Grobogan (diambil dari http://eprints.undip.ac.id/3423/, 5/3/2012. 01.12wib).

  Penelitian ini berbeda dari penelitian terdahulu karena penelitian yang berjudul Waduk Penjalin dan Kehidupan Pertanian Mayarakat Paguyangan

  Kabupaten Brebes Tahun 2004-2010 merupakan penelitian sejarah yang tidak sebatas

  menggali nilai-nilai kesejarahan dari Waduk Penjalin, namun menyentuh aspek kehidupan masyarakat di Kecamatan Paguyangan yang merupakan ranah sosiologis, dan pertanian di Kecamatan Paguyangan.

F. Landasan Teori dan Pendekatan

  Manusia dalam hidupnya mempunyai kebutuhan-kebutuhan demi kelangsungan hidupnya, diantara kebutuhan tersebut yang paling utama disebut kebutahan pokok yang terdiri dari pangan, sandang, dan papan. Dalam hal ini, pangan menjadi yang paling utama karena terkait dengan kelangsungan hidup terkait kesehatan individu manusia. Pangan berfungsi sebagai asupan energi manusia untuk beraktivitas. Sumber dari pangan tidak akan lepas dari pertanian, karena pangan bersumber dari hasil pertanian, sedangkan pertanian selain dipengaruhi oleh kesuburan tanah, yang tidak kalah penting juga ketersediaan air dalam hal ini air irigasi yang salah satunya dari waduk. Karena fungsi waduk pun dipersiapkan untuk menampung air untuk selanjutnya sebagai penyuplai air kelahan-lahan pertanian atau dengan kata lain sebagai irigasi pertanian.

  Secara umum, pengertian dari pertanian adalah suatu kegiatan manusia yang termasuk di dalamnya, yaitu bercocok tanam, peternakan, perikanan, dan juga kehutanan. Sebagian besar mata pencaharian masyarakat di negeri Indonesia adalah sebagai petani sehingga sektor pertanian sangat penting untuk dikembangkan di negara Indonesia. Adapun bentuk-bentuk pertanian di Indonesia, antara lain.

  1. Sawah Sawah adalah suatu bentuk pertanian yang dilakukan di lahan basah dan memerlukan banyak air baik sawah irigasi, sawah lebak, sawah tadah hujan maupun sawah pasang surut.

  2. Tegalan Tegalan adalah suatu daerah dengan lahan kering yang bergantung pada pengairan air hujan, ditanami tanaman musiman atau tahunan dan terpisah dari lingkungan dalam sekitar rumah. Lahan tegalan tanahnya sulit untuk dibuat pengairan irigasi karena permukaan yang tidak rata. Pada saat musim kemarau lahan tegalan akan kering dan sulit untuk ditubuhi tanaman pertanian.

  3. Pekarangan Perkarangan adalah suatu lahan yang berada di lingkungan dalam rumah

  (biasanya dipagari dan masuk ke wilayah rumah) yang dimanfaatkan atau digunakan untuk ditanami tanaman pertanian.

  4. Ladang Berpindah Ladang berpindah adalah suatu kegiatan pertanian yang dilakukan di banyak lahan hasil pembukaan hutan atau semak di mana setelah beberapa kali panen atau ditanami, maka tanah sudah tidak subur sehingga perlu pindah ke lahan lain yang subur atau lahan yang sudah lama tidak digarap (diambil dari

  http://organisasi.org/definisi-pengertian-pertanian-bentuk-hasil-pertanian- petani-ilmugeografi , 3/3/2012).

  Pertanian di Kabupaten Brebes berbentuk sawah, tegalan dan pekarangan yang berarti sudah tidak ada bentuk pertanian yang berupa ladang berpindah. Hal ini juga terjadi di Kecamatan Paguyangan dengan bentuk pertanian yang merata seperti diseluruh Kabupaten Brebes yang sudah menetap dalam bertani.

  Beberapa hasil-hasil Pertanian di Indonesia, terbagi menjadi pertanian tanaman pangan dengan pertanian tanaman perdagangan. Petanian tanaman pangan antara lain padi, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi jalar, ketela pohon, sedangkan untuk jenis pertanian tanaman perdagangan antara lain kopi, teh, kelapa, karet, kina, cengkeh, kapas, tembakau, kelapa sawit, tebu.

  Pertanian Indonesia adalah pertanian tropika karena sebagian besar daerahnya berada di daerah tropis yang langsung dipengaruhi oleh garis khatulistiwa yang memotong Indonesia hampir menjadi dua. Di samping pengaruh khatulistiwa, ada dua faktor alam lain yang ikut memberi corak pertanian Indonesia, yaitu bentuknya sebagai kepulauan dan topografinya bergunung-gunung (Abd.Rahim dan Diah Retno, 2007: 7).

  Dengan semakin pentingnya pertanian dalam pembangunan Indonesia, terutama dalam rangka tujuan swasembada beberapa komoditas pertanian. Menurut Mardikanto (2009: 45) secara sederhana, revolusi hijau merupakan usaha pengembangan teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi pangan, dari pertanian tradisional menjadi pertanian yang menggunakan teknologi lebih maju. Dewi Irma menyatakan (Mardikanto, 2009: 46), revolusi hijau dikenalkan dengan tujuan pengembangan teknologi pertanian dalam pembudidayaan tanaman melalui penggunaan varietas unggul untuk melipat gandakan hasil pertanian, baik untuk kepentingan bisnis maupun memerangi kelaparan. Di Indonesia, gerakan ini diterapkan sejak tahun 1969 yang bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras, melalui penerapan pancausaha, saptausaha, yang didukung dengan pembangunan infrastruktur pedesaan, seperti pembangunan atau perbaikan irigasi, dan lain-lain.

  Menurut Fakih (2000: 6) revolusi hijau adalah merupakan salah satu bentuk program industrialisasi dan modernisasi pertanian yang sepenuhnya menganut logika pertumbuhan. Dalam pelaksanaannya revolusi hijau dilakukan dam bentuk bermacam cara. Di Indonesia misalnya revolusi hijau dilakukan melalui komando dan subsidi.

  Bentuk subsidi tersebut adalah: (1) Bantuan dan subsidi besar-besaran terhadap harga pupuk kimia; (2) Subsidi terhadap kredit pertanian; (3) Pembayaran padi oleh negara melalui operasi pembelian harga dasar dan pembangunan stok persediaan; (4) Meningkatkan kuantitas irigasi serta pinjaman modal melalui hutang luar negeri. Hasil kuantitatif revolusi hijau di Indonesia memang menakjubkan. Di satu pihak pertanian di Jawa mampu memproduksi dua kali lipat padi dari hasil pertanian Jawa tahun 1960-an. Jawa menyumbangkan lebih dari rata-rata kontibusi dalam arti hasil dibanding daerah lain di Indonesia, dan oleh karena itu memainkan peran utama dalam perubahan status Indonesia dari pengimpor terbesar beras dan tahun 1985 menjadi mandiri (Fakih, 2000: 8).

  Menurut Indranada (Mardikanto, 2009: 13) pertanian, sejak dulu merupakan sektor ekonomi yang utama dinegara-negara berkembang. Peranan atau kontribusi sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi suatu negara menduduki posisi vital sekali. Adapun hal tersebut disebabkan beberapa faktor antara lain.

  1. Sektor pertanian merupakan sumber persediaan bahan makanan dan bahan mentah yang dibutuhkan oleh suatu negara.

  2. Tekanan-tekanan demografis yang besar dinegara-negara berkembang yang sering disertai dengan meningkatnya pendapatan dari sebagian penduduk menyebabkan kebutuhan tersebut terus meningkat. Jika kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi, maka kekurangannya harus diimpor.

  3. Sektor pertanian harus dapat menyediakan faktor-faktor yang dibutuhkan untuk ekspansi sektor-sektor lain, terutama sekali sektor industri. Faktor-faktor ini berwujud modal, tenaga kerja, dan bahan mentah.

  4. Sektor pertanian merupakan basis dari hubungan-hubungan pasar yang penting dalam proses pembangunan.

  5. Sektor ini merupakan sumber foreign-exchange yang diperlukan untuk input pembangunan dan sumber pekerjaan dan pendapatan dari sebagian besar penduduk negara-negara berkembang yang hidup di pedesaan.

  Bagi usaha di bidang pertanian, terutama usaha-usaha pertanam tanaman yang sangat berguna bagi kehidupan manusia, tersedianya tanah-tanah yang subur dengan pengairannya yang mencukupi kebutuhan tanaman merupakan syarat pokok pertanian. Air pengairan dan tanah pertanian kedua-duanya merupakan faktor dasar bagi berlangsungnya usaha penanaman yang sesuai didaerah setempat. Tidak sedikit areal tanah yang tidak dapat digunakan untuk usaha pertanian dikarenakan tidak tersedianya air pengairan. Karena itu didalam usaha pembukaan hutan bagi reklamasi tanah pertanian, perencanaan atau perancangannya selalu dititikberatkan pada tersedianya tanah yang dapat ditanami dan tersedianya air pengairan bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang dapat dibudidayakan.

  Air demikian penting bagi kehidupan manusia, pertanian, perikanan, peternakan, transportasi, industri, dan bagi kepentingan lainnya. Pengairan mulai diperhatikan kembali di Indonesia setelah Indonesia merdeka, terutama setelah Indonesia bertekad dalam program swasembada pangan (beras). Berbagai sarana pengairan dibangun dan diperbaiki. Usaha pemerintah sejak tahun 1969 dalam pembangunan dibidang pertanian, aktif melakukan rehabilitasi jaringan-jaringan irigasi yang keadaannya telah kurang berfungsi disebabkan kurangnya pemeliharaan.

  Karena pentingnya pengairan itu, pemerintah telah menetapkan ketentuan- ketentuan dan pendayagunaannya oleh setiap orang dibagian bumi ini dalam Undang- undang nomor 11 tahun 1974 tentang pengairan (Kartasapoetra, Sutedjo dan Pollein, 1991: 5). Menurut Undang-undang tersebut Pengairan adalah suatu bidang

  pembinaan terhadap air, sumber air, termasuk kekayaan alam hewani yang terkandung didalamnya, baik yang alami maupun yang telah diusahakan oleh

manusia . Irigasi, yang pada pokoknya merupakan kegiatan penyediaan dan

  pengaturan air untuk memenuhi kepentingan pertanian dengan memanfaatkan air yang berasal dari permukaan dan air tanah (Kartasapoetra, Sutedjo dan Pollein, 1991:5).

  Menurut Hansen E.Vaughn, dkk (1992: 4), irigasi secara umum didefinisikan sebagai penggunaan air pada tanah untuk keperluan penyediaan cairan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanam-tanaman. Dengan demikian, pengaturan irigasi (pengairan pertanian) akan menjangkau beberapa tahapan pekerjaan atau bidang sesuai berikut : a. Pengembangan sumber air dan penyediaan air bagi keperluan usaha tani.

  b. Penyaluran air irigasi dari sumbernya ke daerah atau lahan-lahan usaha tani.

  c. Pembagian dan pemberian air di daerah atau lahan-lahan usaha tani. d. Pengairan dan pembuangan air yang melimpah atau kelebihan dari daerah pertanian.

  Kodoatie (Munawaroh, 2011: 1), berdasarkan Undang-undang Sumber Daya Air No.7 Tahun 2004 menyebutkan bahwa air adalah semua air yang terdapat pada, diatas maupun dibawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini adalah air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada didarat. Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.Salah satu contoh air permukaan adalah air waduk.

  Menurut Kartosapoetra dan Mul Mulyani Sutedjo (1991: 17), di dalam teknik pengambilan dan ataupun penyaluran air memungkinkan dengan teknik pembuatan dam (bendungan). Dam atau bendungan dibuat dengan maksud agar air sungai yang terbendung itu dapat menaikkan air kepermukaannya dan dengan demikian pengambilan atau penyaluran ke areal pertanian akan lebih mudah, biasanya untuk kepentingan ini air permukaan yang terbendung dihubungkan dengan parit-parit atau saluran yang dirancang dan dibuat menyebar ke lahan-lahan pertanian.

  Waduk merupakan tempat pada muka lahan untuk menampung dan menabung air yang berlebihan pada musim basah (hujan), sehingga air tersebut dapat dimanfaatkan pada musim kemarau atau musim kering (Munawaroh, 2011:1). Menurut Hansen E.Vaughn, dkk (1992:17) waduk dibangun untuk menampung air irigasi untuk digunakan apabila aliran alami suatu sungai tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan irigasi. Waduk atau bendungan ini dibangun dengan tujuan antara lain untuk penyediaan air irigasi; pengembangan areal irigasi dan meningkatkan intensitas tanam dari area irigasi yang ada; sebagai pengendali banjir.

  Menurut Scafer (Munawaroh, 2011: 15), masyarakat adalah unit politik atau kesatuan dari organisasi sosial yang menumbuhkan rasa memiliki bagi rakyatnya.

  Bentuk masyarakat sudah sangat jauh berubah sepanjang sejarah, yaitu dari masyarakat berburu dan meramu hingga menjadi kota post industri modern, sedangkan menurut Philips (Munawaroh, 2011: 15), masyarakat merupakan sekelompok manusia yang mendiami suatu wilayah, kebanyakan masyarakat tinggal menetap dan diturunkan dari kondisi sebuah ikatan solidaritas yang kuat di antara mereka.

  Menurut Koentjaraningrat (Munawaroh, 2011: 15), masyarakat adalah sekelompok manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan terikat oleh rasa identitas bersama, sedangkan Syani (Munawaroh, 2011: 15) menyatakan bahwa masyarakat merupakan kelompok mahluk hidup dengan realitas-realitas baru yang berkembang menurut hukum-hukumnya sendiri dan menurut pola perkembangan tersendiri.

  Menurut Ilham (Munawaroh, 2011: 16), perilaku masyarakat pertanian merupakan sebuah kesatuan tingkah laku dan pemikiran suatu komunitas masyarakat terhadap pola pertanian yang dilakukan guna mengoptimalkan hasil pertanian serta potensi yang ada dalam kegiatan pertanian. Beberapa perilaku kegiatan pertanian yang meliputi pola tanam, pemanfaatan lahan yang tersedia, mekanisme penggarapan lahan, dan perlakuan terhadap lahan. Perilaku masyarakat pertanian juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kesuburan tanah, ketersediaan air, kemampuan pemilik tanah, budaya masyarakat setempat, kebijakan pemimpin, lokasi lahan pertanian, serta kecenderungan pasar.

  Pengaruh pembangunan waduk adalah perubahan yang ditimbulkan dari suatu rangkaian usaha terencana yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di bidang pertaanian dengan membangun sarana dan prasarana pengairan. Sebagai daerah yang mayoritas penduduknya bertumpu pada sektor pertanian, pembangunan sarana dan prasarana pengairan berupa Waduk Penjalin, dan jaringan irigasinya menyebabkan perubahan-perubahan dalam jumlah produksi pertanian.

  Penulis menggunakan pendekatan sosiologi pertanian untuk memperjelas analisis penelitian yang berjudul Waduk Penjalin dan Kehidupan Pertanian

  

Masyarakat Paguyangan Kabupaten Brebes Tahun 2004-2010 . Sosiologi Pertanian

  merupakan salah satu cabang dari ilmu sosiologi yang membahas fenomena sosial dalam bidang ekonomi pertanian yang memusatkan perhatiannya pada petani dan permasalahan hidup petani. Sosiologi pertanian akan membantu penulis dalam menganalisis fakta-fakta sosial berkaitan dengan pertanian di daerah irigasi Waduk Penjalin, khususnya Kecamatan Paguyangan.

  Penulis juga menggunakan pendekatan sosial ekonomi karena permasalahan yang dikaji merupakan sejarah sosial ekonomi pertanian. Pendekatan sosial ekonomi digunakan untuk menganalisis berbagai persoalan ekonomi yang berkaitan dengan produksi pertanian. Masalah ekonomi menjadi penting mengingat hal-hal yang berpengaruh dari keberadaan Waduk Penjalin terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar. Selain itu, pendekatan sosial juga dapat digunakan untuk menganalisis perbaikan sosial ekonomi petani di Kecamatan Paguyangan, yang meliputi peningkatan pendapatan, sarana dan prasarana pembangunan, serta hal-hal lain sebagai hasil nyata dari pembangunan. Adanya Pembangunan Waduk Penjalin diharapkan petani di daerah irigasi Waduk Penjalin, khususnya Kecamatan Paguyangan memungkinkan terjadinya perbaikan hasil pertanian.

G. Metode Penelitian

  Pada bagian ini merupakan penguraian mengenai metode dan teknik penelitian yang digunakan oleh peneliti untuk mengkaji permasalahan dengan skripsi yang berjudul Waduk Penjalin dan Kehidupan Pertanian Masyarakat Paguyangan Kabupaten Brebes Tahun 2004-2010 .

  Metode yang dipakai dalam penelitian adalah metode sejarah yaitu menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lalu untuk memahami peristiwa yang terjadi dan untuk merekonstruksi peristiwa masa lampau secara imajinatif.

  Adapun tahapan-tahapan metode sejarah adalah sebagai berikut:

  1. Heuristik Heuristik merupakan sebuah tahapan atau kegiatan untuk mencari atau menemukan sumber, data dan informasi mengenai masalah yang diangkat, baik tertulis maupun tidak tertulis (dokumen dan artefak), yang disesuaikan dengan jenis sejarah yang akan ditulis (Kuntowijoyo, 1995:94). Secara sederhana, heuristik merupakan mencari jejak-jejak yang ditinggalkan karena setiap aktivitas pastilah meninggalkan bukti-bukti bahwa pernah ada suatu aktivitas. Sumber- sumber ini berupa: a. Sumber Sejarah Lisan

  Sumber sejarah lisan merupakan keterangan langsung dari para pelaku, biasanya disebarkan dari mulut ke mulut. Sumber lisan yang penulis kumpulkan antara lain menggunakan metode sejarah lisan kepada sejumlah informan yang dijadikan narasumber untuk melengkapi hal-hal yang tidak termuat dalam dokumen, adapun informan yang penulis jadikan narasumber adalah Balai Pengelola Sumber Daya Air (BPSDA) dan Penjaga Pintu Air (PPA) Waduk Penjalin untuk mendapatkan data mengenai pendirian, fungsi, serta pengelolaan Waduk Penjalin. Selanjutnya, melakukan wawancara dengan BPP Pertanian Kecamatan Paguyangan dan Mantan Petugas BPP Pertanian dengan tujuan untuk mengetahui kondisi pertanian di Kecamatan Paguyangan dari tahun ke tahun hingga sekarang. Narasumber berikutnya adalah petani itu sendiri sebagai pelaku di lapangan, serta petugas PU Pengairan Kecamatan Paguyangan dengan tujuan mengatahui kondisi pengairan atau irigasi di Kecamatan Paguyangan. Narasumber lainnya adalah Kepala Desa Winduaji dan Kasi Kesejahteraan Sosial Kecamatan Paguyangan dengan tujuan memperoleh data pengaruh Waduk Penjalin dan kondisi sosial ekonomi di Kecamatan Paguyangan. Sementara itu, untuk melengkapi data maka melakukan wawancara dengan petugas KUD Kecamatan Paguyangan dan tokoh masyarakat di Kecamatan Paguyangan.

  b. Sumber Tulisan Sumber tertulis yang penulis kumpulkan antara lain laporan data statistik yang diperoleh dari Kecamatan Paguyangan berupa data Kecamatan Paguyangan Dalam Angka, PPA Waduk Penjalin dan BPP Pertanian Kecamatan Paguyangan. Data tersebut memberikan informasi mengenai lahan yang dipanen, produksi panen, luas areal irigasi, kondisi pertanian, pembangunan Waduk Penjalin, dan keadaan sosial ekonomi di Kecamatan Paguyangan.

  c. Sumber Artifak Artifak meliputi benda-benda peninggalan, dapat berupa patung, manik-manik atau alat-alat prasejarah. Sumber artifak yang penulis kumpulkan antara lain foto atau gambar pintu air yang diperoleh dari PU pengairan Kecamatan Paguyangan, dan hasil foto oleh penulis disekitar obyek penelitian.

  Sumber-sumber tersebut saling melengkapi dan membantu penulis dalam merekonstruksi penulisan sejarah Waduk Penjalin dan Kehidupan Pertanian Masyarakat Paguyangan Kabupaten Brebes Tahun 2004-2010.

  2. Kritik Kritik sendiri terbagi menjadi dua, pertama adalah kritik ekstern, yaitu kritik yang dilakukan dari sisi luar (outentitas dari sumber) dalam hal ini peneliti melakukan kritik terhadap dokumen-dokumen yang diberikan oleh informan apakah berkaitan dengan Waduk Penjalin dan kehidupan pertanian masyarakat

  Paguyangan dilihat dari fisiknya (kertas, ejaan, tinta, dll) asli atau salinan. Kedua adalah kritik intern, yaitu kritik dari dalam (mengecek kredibilitas dari sumber) informasi yang telah diberikan oleh para informan dengan melihat dari kejiwaan, serta kebenaran informasi itu sendiri. Sumber data statistik dalam bentuk Kecamatan Paguyangan Dalam Angka dan dari BPP Pertanian dibandingkan dengan data lain. Tujuan yang hendak dicapai dalam tahap ini adalah untuk memilih sumber yang relevan dengan masalah yang dikaji (Kuntowijoyo, 1995: 98).

  3. Interpretasi Tahap selanjutnya adalah melakukan interpretasi (penafsiran) terhadap data tersebut. Tahapan ini sering disebut sumber subyektivitas, karena menurut Kuntowijoyo (1995:100) pendapat tersebut sebagian benar dan sebagian lagi salah. Interpretasi sebagai sumber subyektifitas dikatakan benar karena tanpa penafsiran sejarawan, data tidak bisa berbicara. Sejarawan yang jujur, akan mencantumkan data dan keterangan dari mana data itu diperoleh. Orang lain dapat melihat kembali dan menafsirkan ulang. Itulah sebabnya, subyektivitas penulis sejarah diakui, tetapi untuk dihindari. Interpretasi mengandung maksud sebagai penafsiran terhadap data yang terkumpul setelah dilakukan penyeleksian atau pengujian sumber (kritik sumber). Dengan kata lain dalam langkah ini peneliti menggabungkan semua fakta-fakta yang telah didapat dari para informan menjadi satu kesatuan. Kemudian dilanjutkan dengan melakukan penafsiran oleh penulis dengan keberadaan Waduk Penjalin terhadap kehidupan pertanian sekitar (Kuntowijoyo, 1995: 100).

  4. Historiografi atau Penulisan Sejarah Historiografi adalah proses penyusunan fakta-fakta sejarah dari berbagai sumber yang telah diseleksi dalam sebuah bentuk tulisan sejarah. Setelah melakukan penafsiran terhadap data-data yang ada, sejarawan harus sadar bahwa tulisan itu bukan hanya sekedar untuk kepentingan dirinya, tetapi juga untuk dibaca orang lain. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan struktur dan gaya bahasa penulisannya. Sejarawan harus menyadari dan berusaha agar orang lain dapat mengerti pokok-pokok pikiran yang diajukan oleh penulis. Pada tahap ini peneliti melakukan penulisan sehingga dapat menjadi karya tulis ilmiah yang sesuai dengan ketentuan keilmuan (Kuntowijoyo, 1995: 102).

H. Sistematika Penulisan

  Sistematika penulisan ini antara lain :

  BAB I : Pendahuluan A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian E. Tinjauan Pustaka F. Landasan Teori dan Pendekatan

  G. Metode Penelitian H. Sistematika Penulisan.

  BAB II : Pembangunan Waduk Penjalin. A. Kecamatan Paguyangan ditinjau dari Letak Geografis dan Demografis. B. Latar Belakang dibangunnya Waduk Penjalin.

  1. Letak Geografis Waduk Penjalin.

  2. Pelaksanaan Pembangunan Waduk Penjalin.

  3. Fungsi Waduk Penjalin.

  BAB III : Pertanian di Sekitar Waduk Penjalin Tahun 2004-2010 A. Pertanian Masyarakat Paguyangan Sampai tahun 2004 B. Permasalahan Pertanian Masyarakat Paguyangan Sampai tahun 2004 C. Perkembangan Pertanian Masyarakat Paguyangan dari tahun 2004-2010 BAB IV :Pengaruh Pembangunan Waduk Penjalin. A. Pengaruh Waduk Penjalin Terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat Paguyangan. B. Pengaruh Waduk Penjalin Terhadap Kehidupan Ekonomi Masyarakat Paguyangan. BAB V : Simpulan dan Saran A. Simpulan B. Saran