BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - BAB I EKO WAHYU WIDODO SEJARAH'16

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial harus berinteraksi dengan

  manusia yang lain karena saling membutuhkan. Dalam berinteraksi tersebut manusia membutuhkan sarana dalam berkomunikasi, yaitu dengan bahasa.

  Bahasa adalah suatu gejala manusiawi umum. Tidak ada manusia tanpa bahasa dan tidak ada bahasa tanpa manusia (Dik dan Koij, 1994: 1).

  Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berinteraksi, baik melalui tulisan, lisan, maupun gerakan (bahasa sikap), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri (1996: 77). Setiap anggota masyarakat dan komunitas selalu terlibat dalam komunikasi bahasa, baik ia bertindak sebagai komunikator (pembicara/penulis) maupun sebagai komunikan (mitra bicara, penyimak, pendengar, atau pembaca) (Sumarlam, 2005: 1).

  Dalang adalah orang yang memainkan (mengatur,menggerakkan) wayang (wayang kulit,dan wayang golek) dengan cara bersembunyi di balik layar dan sekaligus mengucapkan kata-kata yang seharusnya diucapkan oleh para pelaku dengan menggunakkan berbagai variasi suara (suara anak-anak, suara perempuan, suara laki-laki, suara raksasa, dan sebagainya, sesuai dengan identitas pelaku wayang yang disuarakannya. Dalang memiliki kemampuan fisik yang prima ketika melakukan pementasan karena ia harus sanggup duduk selama beberapa jam. Pertunjukan wayang biasanya berlangsung satu malam suntuk. Bagian-bagian penting yang berisi hal-hal yang bersifat filosofis justru disampaikan oleh dalang pada tengah malam atau atau pada dua pertiga malam. Dalang dapat melakukan improvisasi di dalam menyampaikan pertunjukan wayang. Semakin kreatif seorang dalang dalam menyajikan pertunjukan wayang, masyarakat penikmatnya akan semakin senang menyaksikan pertunjukannya.

  Seorang dalang selalu identik dengan seseorang yang berusia menengah hingga tua. Hal tersebut dikarenakan dalang biasanya memerlukan keahlian tersendiri. Dalang di Indonesia yang berusia tua hingga menengah diantaranya seperti Ki Nartasabda, Ki Hadi Sugito, Ki Entus, Ki Anom Suroto, Ki Gita Sewaya dan lain-lainnya. Namun, dari semua itu, daerah Banyumas juga memiliki seorang dalang yang terkenal yaitu Alm. Ki Soegino Siswocarito atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Dalang Gino.

  Ki Gino berasal dari Desa Notog Kecamatan Patikraja Kabupaten Banyumas. Semasa hidupnya Ki Gino mempunyai ciri khas tersendiri, begitu pula dengan dalang lain juga mempunyai ciri khas tersendiri. Ciri khas dari setiap dalang bisa jadi terdapat pada gaya bahasa, gesturnya dalam memainkan wayang dan juga ciri-ciri khas unik dan menarik.

  Tidak hanya dalang yang berusia tua hingga menengah yang mampu mendulang sukses dan prestasi, namun di Kecamatan Patikraja tepatnya di Desa Notog, terdapat dalang berprestasi yang bernama Julung Gandhik Ediasmoro. Prestasinya dapat diperhitungkan dalam dunia seni, apalagi umurnya yang masih muda sekitar 20 tahun ini mempunyai nilai plus tersendiri. Dengan umur yang masih sangat muda itu ia mampu menepis anggapan bahwa usia muda bukan penghalang untuk menggapai sukses dan prestasi. Ia berasal dari latar belakang keluarga yang mempunyai seni tinggi sehingga sangat mendukung kiprahnya dalam seni pertunjukan pewayangan.

  Meskipun Julung Gandhik bukan satu-satunya dalang muda yang berada khususnya di Kabupaten Banyumas namun keberadaannya ikut serta meramaikan dunia seni pertunjukan pewayangan Banyumasan.

  Julung Gandhik atau sering dipanggil dengan Ki Dalang Julung Gandhik Ediasmoro ini memulai kebiasaan mendalangnya sejak masih SMP meskipun pada saat itu ia masih ikut atau merguru (belajar) dengan kakeknya yaitu Alm. Ki Soegino Siswocarito yang merupakan seorang dalang kondang di Banyumas. Meskipun Julung Gandhik masih mengikuti kakeknya dalam pementasan namun keahlian, keluwesan, dan kecepatan dalam memainkan wayang menjadi daya tarik tersendiri bagi Ki Dalang Julung Gandhik ini.

  Selain itu juga Ki Julung Gandhik sudah banyak memperoleh penghargaan dalam hal pewayangan baik ditingkat daerah maupun nasional.

  Salah satu pencapaian prestasi yang paling membanggakan bagi Julung Gandhik yaitu ketika ia mengikuti FLS2N (Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional). Pada perlombaan tersebut Julung Gandhik mengikuti 4 kategori perlombaan sekaligus. Hasilnya sangat memuaskan Julung Gandhik memperoleh juara di masing-masing kategori salah satunya kategori pedalangan, padahal di SMK Negeri 3 Banyumas ketika itu belum ada jurusan pedalangan. Namun Julung Gandhik mampu membuktikan bahwa dirinya mampu memperoleh juara di kategori pedalangan.

  Dalam penelitian ini, peneliti tertarik untuk meneliti alur kehidupan Julung Gandhik Ediasmoro yang dianggap menarik untuk di kaji. Peneliti memilih Julung Gandhik Ediasmoro sebagai objek penelitiannya, selain dikarenakan prestasinya yang membanggakan keluarga dan warga Banyumas pada umumnya, tetapi juga karena sifatnya yang welas asih (ramah) kepada masyarakat sehingga dirinya dikagumi. Hampir sama saudaranya Yakut Aghib Ganta Nuraidin yang sangat kental sebagai seorang dalang membuat ia sering sekali mendapat pekerjaan untuk mementaskan wayang dalam suatu acara. Selain menarik, peneliti juga mengenal baik objek penelitian sehingga mempermudah untuk mendapatkan informasi data yang diperlukan.

  Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk menulis penelitian ini yang akan mengkaji tentang kehidupan tokoh tersebut menyangkut latar belakang keluarga, latar belakang pendidikan, dan kehidupan sosial budayanya serta memaparkan bagaimana perjalanan dalang muda Julung Gandhik Ediasmoro hingga seperti sekarang ini.

  Agar penelitian ini lebih terfokus maka peneliti harus menetapkan rumusan masalah penelitian. Berikut ini beberapa persoalan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana riwayat kehidupan Ki Dalang Julung Gandhik Ediasmoro?

  2. Bagaimana kiprah pedalangan Ki Dalang Julung Gandhik Ediasmoro?

  3. Apa saja prestasi yang telah diraih oleh Ki Dalang Julung Gandhik Ediasmoro dalam dunia pertunjukan pewayangan? C.

Tujuan Penelitian

  Adapun beberapa tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini, antara lain yaitu:

  1. Untuk mengetahui riwayat kehidupan Ki Dalang Julung Gandhik Ediasmoro.

  2. Untuk menjelaskan kiprah pedalangan Ki Dalang Julung Gandhik Ediasmoro.

  3. Untuk mengetahui prestasi yang telah diraih oleh Ki Dalang Julung Gandhik Ediasmoro dalam dunia pertunjukan pewayangan.

D. Manfaat Penelitian

  Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini yaitu:

  1. Manfaat Teoritis

  a. Hasil penelitian ini sebagai Dasar pengambilan judul untuk dijadikan penyusunan Tugas Akhir Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

  b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kekhasan kesejahteraan lokal sebagai bagian dari penulisan sejarah nasional.

  c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai salah satu referensi dalam menganalisis biografi seorang tokoh dan perannya dalam masyarakat.

  2. Manfaat Praktis

  a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menumbuhkan rasa cinta terhadap kesenian tradisional salah satunya yaitu wayang kulit.

  b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadikan masyarakat mengetahui betapa pentingnya kesenian tradisional itu.

  c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah gairah munculnya dalang-dalang muda yang berprestasi.

E. Kajian Pustaka dan Penelitian yang Relevan

  1. Kajian Pustaka

  a. Kiprah Kiprah dalam kesenian dapat diartikan sebagai gerakan cepat dan dinamis tarian Jawa dalam pertunjukkan wayang orang dan sebagainya

  (biasanya ditarikan seorang laki-laki) menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Pada perkembangannya kiprah berarti derap kegiatan. Ber-kiprah sebagai kata kerja berarti melakukan kegiatan dengan semangat tinggi, bergerak (dibidang), atau berusaha giat dalam bidang (politik, kesenian, dan lain-lain). Kiprah juga dapat diartikan sebagai perbuatan nyata, usaha konkrit dan amal riil, bukan ucapan kosong, bukan perkataan belaka dan bukan buah mulut.

  Berkiprah juga dapat diartikan bergerak, bergiat maupun berkecimpung. Sedangkan menurut WJS. Purwadarminta dalam kamus umum Bahasa Indonesia kata kiprah diartikan sebagai tindakan, aktifitas, kemampuan kerja, reaksi, cara pandang seseorang terhadap ideologi institusinya (Purwadarminta, 1976: 735).

  Dari pemaparan diatas arti kiprah tidak jauh berbeda dengan aktivitas. Perbedaanya adalah kiprah adalah melakukan kegiatan dengan semangat tinggi, sedangkan aktivitas melakukan segala sesuatu yang berhubungan dengan tindakan atau kegiatan yang dilakukan manusia.

  Kiprah dalam seni dapat diartikan sebagai kegiatan melakukan sebuah aktivitas yang berkaitan dengan kesenian, misalnya, melukis, menari, berakting, mendalang dan lain sebagainya. Itu semua dilakukan dengan semangat tinggi untuk memperoleh sebuah prestasi dan agar dapat diakui karyanya oleh seluruh kalangan masyarakat disalah satu bidang kesenian tertentu.

  Jadi ketika seorang berkiprah, artinya melakukan segala kegiatan atau ikut berpartisipasi maka akan timbul suatu aktivitas dalam kegiatan tersebut untuk menghasilkan satu tujuan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat suatu hubungan yang tidak bisa dipisahkan antara kiprah dengan aktivitas (dikutip dari www.repository.uinjkt.ac.id/.../HASANUDIN-FDK-1.pdf, diakses tanggal 15 Juli 2016 pukul 00.03 WIB).

  b. Prestasi Prestasi berasal dari bahasa Belanda yang artinya hasil dari usaha, prestasi diperoleh dari usaha yang telah dikerjakan. Dari pengertian tersebut, maka pengertian prestasi diri adalah hasil atas usaha yang dilakukan seseorang. Prestasi juga merupakan kecakapan atau hasil kongrit yang dapat dicapai pada saat atau periode tertentu. Prestasi dapat dicapai dengan mengandalkan kemampuan intelektual, emosional, dan spiritual serta ketahanan diri dalam menghadapi situasi segala aspek kehidupan.

  Secara terminologis, Suryabrata (1998) berpendapat bahwa, prestasi adalah sebagai rumus yang diberikan guru mata pelajaran mengenai kemajuan atau prestasi belajar selama periode tertentu. Selain itu Bukhari (1983) berpendapat prestasi dapat diartikan sebagai hasil yang dicapai atau hasil yang telah dicapai. Jadi prestasi dapat diartikan sebagai hasil usaha yang telah dicapai oleh individu atau kelompok (dikutip dari www.gurupendidikan.com/pengertian-prestasi-menurut- para-ahli-beserta-macamnya/, diakses tanggal 1 Agustus 2016 pukul

  18.20 WIB).

  Ada beberapa prestasi yang dapat dicapai oleh setiap orang, diantaranya: 1) Prestasi Belajar

  Prestasi belajar merupakan sebuah hasil yang diperoleh dari sebuah pembelajaran untuk usaha belajar yang telah dilakukan oleh individu atau kelompok tertentu. Prestasi belajar misalnya saja di sekolah. Contohnya, seorang siswa disekolah yang memperoleh juara 1 lomba berpidato, mahasiswa yang memperoleh beasiswa belajar di sebuah universitas setiap tahunnya, dan lain sebagainya.

  2) Prestasi Kerja Prestasi kerja adalah hasil yang diperoleh dari usaha kerja yang telah dilakukan dalam sebuah profesi pekerjaan, misalnya, promosi kerja keras mereka selama bertahun-tahun. Contohnya, penghargaan untuk pencapaian artistik, kenaikan gaji para pegawai yang tekun dan giat pada sebuah perusahaan swasta setiap tahun, dan sebagainya.

  3) Prestasi Seni

  Prestasi seni adalah seluruh hasil yang diperoleh dari usaha dalam membuat sebuah karya yang dapat diakui oleh orang banyak dan menghasilkan sebuah prestasi yang dijadikan bisnis seni, misalnya, pencapaian penyanyi atau bentuk lain dari seniman upeti.

  4) Prestasi Olahraga Prestasi olahraga merupakan hasil yang diperoleh untuk usaha dan bekerja keras dibidang olahraga. Sebagai contoh, seorang atlet mendapat medali emas ditempat pertama diraih saat menghadiri Pekan Olahraga Nasional (PON) dan berbagai perlombaan lain dalam bidang olahraga.

  5) Prestasi Lingkungan Hidup Prestasi lingkungan hidup adalah sebuah prestasi yang diperoleh oleh upaya untuk menyelamatkan lingkungan, misalnya, individu atau kelompok mendapatkan penghargaan untuk upaya konservasi lingkungan seperti penanaman pohon atau penghijauan. Contohnya, sebuah desa memperoleh piala adipura karena desanya bersih dari sampah dan terlihat hijau di halaman rumah warganya.

  Selain uraian beberapa prestasi yang dapat dicapai oleh setiap orang. Berikut merupakan sikap yang mendukung seseorang dalam berprestasi antara lain, berorientasi masa depan dan cita-cita, keberhasilan berorientasi, berani mengambil resiko, sebuah rasa tanggung jawab yang besar, menerima dan menggunakan kritik sebagai umpan balik, memiliki sikap kreatif dan inovatif serta mampu mengatur waktu dengan baik. Dari beberapa sikap yang mendukung seseorang untuk berprestasi tersebut tentunya akan dapat menjadi sebuah referensi bagi setiap orang jika ingin berprestasi (dikutip dari www.gurupendidikan.com/pengertian-prestasi-menurut-para-ahli- beserta-macamnya/, diakses tanggal 1 Agustus 2016 pukul 18.20 WIB).

  Semua orang berperilaku benar-benar dalam memproduksi sesuatu. Namun, prestasi atau keberhasilan yang dicapai tidak terlepas dari bantuan orang lain. Misalnya membantu spiritual, material, dan bantuan lainnya. Dalam proses mencapai kesuksesan, semua orang akan menghadapi tantangan, termasuk:

  a. Berasal dari diri-sendiri Tantangan dari diri-sendiri adalah bakat, potensi, kecerdasan atau kecerdasan, minat, motivasi, kebiasaan, emosi, kesehatan dan pengalaman pribadi.

  b. Berasal dari lingkungan Tantangan lingkungan dalam bentuk tantangan dari keluarga, sekolah, masyarakat, infrastruktur, fasilitas, gizi, dan tempat tinggal.

  Karakter orang yang berprestasi adalah mencintai pekerjaan, memiliki inisiatif dan kreatif, pantang menyerah serta menjalankan tugas dengan sungguh-sungguh. Karakter-karakter tersebut menunjukkan bahwa untuk meraih prestasi tertentu, dibutuhkan kerja keras.Dalam penelitian ini prestasi senilah yang akan dibahas dan merupakan hasil yang diperoleh dari usaha seni (dikutip dari www.gurupendidikan.com/pengertian-prestasi-menurut-para-ahli- beserta-macamnya/, diakses tanggal 1 Agustus 2016 pukul 18.20 WIB).

  c. Dalang Dalang dalam dunia pewayangan diartikan sebagai seseorang yang mempunyai keahlian khusus memainkan boneka wayang

  (ndalang). Keahlian ini biasanya diperoleh dari bakat turun-temurun dari leluhurnya. Seorang anak dalang akan bisa mendalang tanpa belajar secara formal. Ia akan mengikuti ayahnya selagi mendalang dengan membawakan peralatan, menata panggung, mengatur wayang (nyimping), menjadi pengrawit, atau duduk di belakang ayahnya untuk membantu mempersiapkan wayang yang akan dimainkan.

  Selama mengikuti ayahnya ndalang (menjadi dalang) dalam kurun waktu yang lama dari kecil hingga remaja inilah proses pembelajaran itu terjadi dengan sangat alami, dan rata-rata anak dalang akan bisa mendalang setelah besar nanti, tetapi banyak juga seorang anak dalang tidak akan menjadi dalang di kelak kemudian hari, karena mempunyai pilihan hidup sendiri, misalnya berprofesi menjadi pegawai negeri, swasta, TNI dan sebagainnya, tetapi fenomena itu tidak selamanya benar, dengan adanya sekolah-sekolah pedalangan baik setingkat SMU dan perguruan tinggi, seperti Jurusan Pedalangan Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta (STSI), misalnya, (sekarang Institut Seni Indonesia Surakarta), mencetak Sarjana pedalangan yang tidak hanya mumpuni memainkan wayang, tetapi juga berwawasan luas dan berpikir kritis. Dalam perguruan tinggi inilah lahir pula dalang yang bukan dari keturunan seorang Dalang, tetapi hanya seseorang yang mempunyai niat yang kuat untuk belajar dalang dan akhirnya bisa mendalang.

  Kata Dalang ada yang mengartikan berasal dari kata dahyang, yang berarti juru penyebuh berbagai macam penyakit. Dalang dalam

  

jarwo dhosok diartikan pula sebagai ngudal piwulang (membeberkan

  ilmu), memberikan pencerahan kepada para penontonnya. Untuk itu seorang dalang harus mempunyai bekal keilmuan yang sangat banyak.

  Berbagai bidang ilmu tentunya harus dipelajari meski hanya sedikit, sehingga ketika dalam membangun isi dari ceritera bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan nilai-nilai kekinian (dikutip dari www.hadisukirno.co.id/artikel-detail.html?id=Dalang, diakses tanggal

  28 Desember 2015 pukul 01.18 WIB).

  Dalang adalah pemimpin, pengarah, sutradara dan dirijen dari suatu pertunjukkan wayang. Kecuali pertunjukan Wayang Orang dan Wayang Topeng, Dalang harus memainkan seluruh gerak peraga tokoh wayang yang dimainkannya. Ia juga memberi pengarahan pada para penabuh gamelan, pesinden dan wiraswara. Pengarahan itu dilakukan dengan berbagai isyarat yang dipahami oleh anak buahnya. Seorang dalang harus hafal banyak cerita wayang, memahami silsilah tokoh- tokoh wayang, dan tahu tentang filsafat cerita yang terkandung di dalamnya. Ia harus pandai memaparkan cerita itu secara tertib, berurut, lancar, dan memikat. Ia pun harus mahir memainkan dan memperagakan tokoh-tokoh wayang yang dimainkan dan paham betul akan karakter tokoh wayang yang itu. Menguasai lagu-lagu gendang pengiring, dapat menembangkan (menyanyikan) lagu-lagunya, juga merupakan syarat utama yang harus dimiliki seorang dalang.

  Selain itu ia masih dituntut kepandaian memainkan warna suaranya, sehingga suara tokoh yang diperankan menyimpulkan pula karakter tokoh yang itu. Dalang yang baik juga harus memiliki kharisma, punya greget, dapat menguasai, dan mengendalikan emosi penontonnya. Dan tidak kalah pentingnya, ia harus bertubuh sehat karena ia dituntut harus dapat memainkan wayang semalam suntuk.

  Pada zaman dulu syarat mutlak yang harus dimiliki seorang dalang adalah memiliki suara yang lantang dan nyaring. Namun, sejak digunakannya alat pengeras suara elektronik (mikrofon) pada pagelaran wayang, suara nyaring itu tidak terlalu diperlukan lagi.

  Dalam pagelaran Wayang Kulit Purwa seorang dalang bebas berimprovisasi, sepanjang masih tetap berada dijalur utama ceritanya.

  Namun biasanya improvisasi ini hanya mereka lakukan pada bidang antawacanannya. Tempo dan irama penuturan juga sepenuhnya dalam kekuasaan dalang. Bagi dalang yang mahir dalam banyolan dan menguasai banyak tembang dari gending biasanya ini memberi waktu yang cukup banyak pada adegan gara-gara, sedangkan dalang yang mahir dalam sabetan, biasanya memanjangkan waktu pada adegan- adegan perang.

  Dalam Wayang Kulit Purwa yang terkenal pada dekade 1960 sampai 1997-an antara lain, Pujasumarta, Wignyasutarna, Nartasabda, Timbul Hardiprayitno, Anum Suroto, Hadisugito, Sugino Siswocarito, Panut Darmoko, Manteb Soedharsono, Sugito Purbocarito, Purbo Asmoro, Warseno, dll. Sedangkan dalam Wayang Golek Sunda yang terkenal diantaranya adalah S. Adiwijaya, Barnas Sumantri, Asep Sunandar Sunarya, Tjejep Supriadi dan Ganda Permana.

  Dalam pelajaran pedalangan Wayang Kulit Purwa ada delapan pasyarat yang harus dimiliki oleh seorang dalang, yakni (dikutip dari www.hadisukirno.co.id/artikel-detail.html?id=Dalang, diakses tanggal

  28 Desember 2015 pukul 01.18 WIB): 1) Parama Sastra, seorang dalang harus kaya akan perbendaharaan kata, ahli dalam tata bahasa lisan.

  2) Paramong Kawi, seorang dalang harus memahami arti kata-kata dan istilah bahasa Kawi dan bahasa Jawa Kuno.

  3) Mardi Basa, Dalang yang baik hati pandai memainkan atau mengolah kata-kata yang digunakan, sehingga pencitraanya lebih mengikat perhatian penonton lebih dapat membawakan suasana cerita.

  4) Mardawa Lagu, artinya dalang harus menguasai berbagai tembang, gending, dan seni Karawitan.

  5) Mandra Guna, seorang dalang harus menguasai berbagai ketrampilan dalam seni pedalangan. Ada juga yang mengartikan dalang yang harus memiliki kelebihan batiniah dan sugesti diri yang kuat, sehingga dapat menguasai dan mengendalikan emosi penonton. 6) Hawi Carita, Dalang harus seorang yang mempunyai kemampuan bercerita, kemahiran untuk membawakan cerita secara runtut dan memikat. Tidak ada bagian cerita yang terlupa. 7) Nawung Krida, dalang harus mengerti dasar-dasar ilmu psikologi, memahami karakter semua tokoh wayang dan kaitannya dengan karakter manusia. 8) Sambegana, dalang harus mempunyai ingatan kuat terhadap semua

  lakon (tokoh utama) wayang dan tahu benar urutan skenario seharusnya.

  Selain kedelapan syarat itu, ada lagi syarat yang lain yang harus dipenuhi seorang dalang yang ingin sukses, yaitu harus benar situasi dan kondisi di daerah mana, dihadapan siapa, ia mendalang. Mendalang di hadapan penonton khusus yang rata-rata berpendidikan tinggi, lain dengan kalau penontonnya dari kalangan rakyat jelata. Mendalang di daerah pedesaan, harus berbeda dengan mendalang di kota besar.

  Mendalang di Jombang, Jawa Timur, akan berbeda dengan kalau ia mendalang di Kebayoran Baru, Jakarta. Mendalang dengan penonton yang mayoritas wanita, akan berbeda dengan cara mendalang dengan penonton yang hampir semuanya kaum pria.

  Di kalangan pedalangan, kemampuan seorang dalang, baik ketrampilan, pengetahuan pewayangan, kedalaman filsafat, amupun derajat spiritualnya dapat dibagi atas beberapa tingkatan (Senawangi, 1983: 13-14):

  1)

Dalang sejati, dhalang sejati menawi ngringgit, sedaya

lelampahanipun ringgit lan isinipun cariyos, ngandhut isi raos pendidikan ingkang sae minangka tuladha kagem ingkang mriksani. Ingkang dipun cariyosaken ing salebetipun nggambaraken lelampahaning ringgit, isi piwucal ilmu kabatosan, wejangan sangkan paraning dumadi ngantos ilumugi kajaten. Dados paring pepajar dhumatteng ingkang mriksani ingkang taksih sami kapetengan ing manah, nyukani piwulang gesangipun manungsa sageda tumuju dhateng kasampurnan. Dados lahir lan batosipun sageda jumbuh, njawi lan nglebetipun, tumujua dhumateng tumindak ingkang sae, sampun ngantos manungsa punika sami nyleweng, anggega kajengipun piyambak. Inggih punika ingkang dipunwastani Dhalang Sejati.

  Intinya bahwa dalang sejati dianggap paling tinggi tingkatannya, mampu dalam berbagai hal, termasuk juga menyelenggarakan upacara ruwatan lengkap. Dalang sejati oleh masyarakat bukan hanya dianggap sebagai dalang, melainkan juga orang pintar yang sanggup memberikan pepadang (petunjuk) pada orang-orang yang sedang susah atau ruwet pikirannya. Ia dianggap memiliki kemampuan spiritual yang tinggi.

  2)

Dalang Purba, dhalang purba punika manawi ngringgit,

pandhapukipun cariyos isinipun warni-warni, inggih punika cariyos lelampahanipun ringgit ingkang kenging kangge patuladhan dhumateng ingkang mriksani murih kenginga kangge sangu gesang ing sadinten-dintenipun. Lahir lan batosipun tumuju dhumateng kasampurnan. Pramila cara anggenipun nyukani pitedah, namung mawi pitutur tembung ingkang alus-alus, minangka dados wejangan tumrap ingkang mriksani. Murih sagedipun sami kayungyun dhateng isi piwulangipun ki dhalang, anggenipun damel isi cariyos lelampahipun ringgit, ingkang katindakaken salebetipun ngringgit sadalu wau. Ngantos ingkang mriksani taksih gadhah raos lamlamen salebeting manah, kados dene rumaos taksih nampi, wejanganipun ki dhalang. Inggih punika ingkang dipun wastani Dhalang Purba, tegesipun satunggalipun, dhalang ingkang sampun saged nyakup, raos kasar lan alusing manungsa, sampun kenging karegem dados satunggal wonten wejangan punika wau.

  Intinya dalang purba itu menguasai banyak lakon wayang dan sanggup memilihkan lakon wayang yang paling tepat dengan acara atau situasi pada saat pagelaran. Pada saat mendalang, ia sanggup memberikan wejangan (nasehat) yang bermanfaat bagi penontonnya, tanpa mengganggu alur cerita. Dalang yang demikian biasanya memiliki pengetahuan filsafat, terutama filsafat Jawa yang mendalam. Ia juga sanggup menguraikan filsafat itu tanpa membuat penonton bosan, justru terus mendengarkan.

  3)

Dalang Wasesa, dhalang wasesa punika manawi ngringgit,

piyambakipun nggadhahi keahlian, cara anggenipun nyariyosaken ringgit ngantos anggadhahi raos gesang, saking anggenipun baud ngecakaken damel tetembungan ngantos saged mranani ingkang mriksani. Inggih punika manawi nyariyosaken ringgit ingkang pinuju prihatos, inggih kados anggadhahi raos sisah saestu. Manawi pinuju nepsu utawi ngamuk, inggih kados tiyang ingkang nepsu lan ngamuk toh pati saestu. Makaten salajengipun. Inggih punika saking anggenipun pinter nglampahaken lan nglagokaken solahing ringgit lan ngrakit tetembungan, ngantos ingkang mriksani anggenipun nyumerepi kados katingal iya-iyaa saestu. Inggih kados makaten punika wau lenggahipun dhalang wasesa. Tegesipun sampun saged nyakup anguwaosi wonten salebetipun pakeliran.

  Intinya dalang wasesa ini merupakan dalang yang sanggup membangkitkan emosi penonton. Kepandaiannya berututur dapat menyebabkan larutnya emosi penonton sehingga seolah mereka berasa dalam dunia pewayangan yang sedang dilakonkan. Dalang yang begini biasanya memiliki prabawa (pembawaan) yang kuat terhadap penontonnya.

  4)

Dalang Guna, dhalang guna punika anggenipun nindakaken

pakeliran lugu cariyos ingkang dipun remeni dening ingkang mriksani kemawon. Cariyosipun kosong, mboten wonten ingkang kenging kangge patuladhan, namung waton rame sjak katingal muyeg pamayangipun. Dados kasagedanipun inggih namung saweg sak saged nglampahaken ringgit dipun tabuhi sadalu muput, ngiras kenging kangge tengga griya. Dene caranipun namung kados tiyang dolanan wayang kemawon, cariyosipun tanpa isi, manawi milih lakon mesthi pados lampahan ingkang kathah ringgitipun ingkang medal, wigatosipun kathah perangipun, sakedhik gegendhingan lan cariyosipun. Kepara kathah peperanganipun, dados isining tetabuhan prasasat namung sampak, srepegan lan ayak-ayakan. Sadalu prasat namung isi tigang gendhing, kenging dipun wastani beber bango mati. Pramila milih ingkang kathah wedalipun ringgit, salebetipun sadalu sampun ngantos kapedhotan lampahan. Dados tegesipun, ginanipun wani namung sak saweg remen ngringgit mawi dipun tabuhi gangsa.

  Dalang guna hanya menggunakan atau mengandalkan ketrampilan memainkan wayang, tanpa peduli soal filsafat atau segi pendidikan yang terkandung di dalamnya. Biasanya dalang itu akan memperpanjang adegan perang, karena soal gending pun ia kurang menguasai. Penggemar dalang semacam ini pada umumnya kaum muda, terutama yang tidak terlalu tinggi tingkat pendidikannya.

  5)

Dalang Wikalpa, dhalang wikalpa punika anggenipun ngringgit,

inggih namung lugu manut miturut isinipun pakem, wewatonipun kawruh bab padhalangan. Cariyosipun namung ngetrepi punapa wontenipun kemawon, miturut piwulang pasinaon padhalangan, rikala piyambakipun nglampahi sekolah wonten ing pamulangan pedhalangan. Dados namung mujudaken kados dene tetiron kemawon, inggih punika kados ingkang dipun wastani latihan andhalang, nirokaken pantrapipun cara ngringgit sedalu. Punika ingkang dipun wastani Dhalang Wikalpa.

  Dalang Wikalpa, sebutan bagi dalang yang tidak memiliki kreasi. Ia hanya mendalang persis seperti apa yang diajarkan kepadanya. Pesrsis seperti buku pakem lakon, tanpa improvisasi sama sekali. Meskipun caranya mendalang tidak salah, biasanya dalang yang demikian membosankan penonton.

  Pada masa silam, seorang yang ingin belajar menjadi dalang harus lebih dulu ngenger atau nyantrik, atau mengabdi pada dalang-dalang senior yang sudah ternama. Masa nyantrik ini seringkali berlangsung hingga bertahun-tahun. Selain itu ia pun harus menjalani prihatin, tirakatan, lelaku, Ziarah ke makam dalang-dalang terkenal dan kadang- kadang juga bertapa, untuk memperoleh wahyu dalang. Di daerah tertentu di Jawa Tengah dan Jawa Timur, kepercayaan adanya wahyu dalang masih tetap ada sampai dengan dekade 1989-an.

  Sejak pemerintahan Sunan Amangkurat II, setiap dalang yang akan bertugas meruwat, harus lebih dahulu meminta izin dan restu Ki Dalang Anjangmas, seorang dalang keraton pada masa itu. Hak memberi izin dan restu itu terus dipegang oleh keturunan dalang ternama itu. Namun, peraturan mengenai izin itu mulai luntur sejak zaman pemerintahan Paku Buwasa IV (1788-1820).

  Pada zaman dulu, dunia pedalangan memang mengenal dua golongan dalang, yaitu dalang keraton atau dalang nglebet dan dalang

  

ndesa (desa), dalang ndusun atau dalang njawi. Dalang yang baik,

  biasanya adalah dalang keraton, karena pada masa itu keraton memang merupakan pusat budaya. Selain mendapat kedudukan dan status sosial yang tinggi, dalang keraton juga mendapat gelar serta nama baru dari pihak keraton. Dalang keraton yang masih muda, mempunyai kesempatan memperdalam pengetahuan dan ketrampilannya dengan bimbingan dalang-dalang keraton yang lebih senior.

  Seorang dalang ndesa yang baik, terkadang juga mendapat panggilan untuk mengabdi di keraton, dan diberi kesempatan belajar pada dalang keraton senior. Dengan demikian, pada umumnya dalang yang sudah masuk dalam jajaran dalang keraton akan merasa dirinya lebih berkualitas dibandingkan rekannya yang masih dalang ndesa. Nayawirangka, seorang budayawan dan dalang sepuh dari Keraton Surakarta memberikan beberapa pantangan yang sebaiknya tidak dilakukan oleh seorang dalang.

  Yang pertama, jangan sampai kebagelan, yakni kelebihan waktu dalam melaksanakan pergelaran. Kedua, jangan sampai kerainan, yakni waktunya sudah habis, sudah mulai pagi, tetapi ceritanya belum selesai. Dalam melaksanakan pergelaran dalang tidak boleh lelet, yakni terlalu pelan-pelan, sehingga sudah lewat jam 2 pagi belum juga melaksanakan adegan perang kembang. Dalang juga tidak boleh rongeh, yakni tidak tenang duduknya, terganggu perhatian pada hal lain selain cerita pada cerita pedalangannya, tidak berkonsentrasi.

  Anjuran lainnya adalah adalah agar diusahakan jangan sampai meninggalkan tempat duduknya, misal untuk buang air. Selain itu, dalang sebaliknya tidak menggunakan kata-kata dan istilah yang bukan kata dan istilah jawa. Jangan menggunakan kata dan istilah yang mempunyai konotasi dengan alam lain di luar pewayangan, misalnya istilah permesinan, istilah politik masa kini, istilah pelistrikan, istilah kimia dll. Selain itu ada beberapa pantangan yang hampir selalu ditaati para dalang. Misalnya seorang dalang tidak akan melangkahi kotak wayang dan tutupnya. Ia juga tidak akan melangkahi instrument gender dan tempat sesaji.

  d. Wayang Wayang adalah seni pertunjukan asli Indonesia yang berkembang pesat di Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan ini juga populer di beberapa daerah seperti Sumatera dan Semenanjung Malaya, yang juga memiliki beberapa budaya wayang yang terpengaruh oleh kebudayaan Jawa dan Hindu. UNESCO, lembaga PBB yang membawahi bidang kebudayaan, pada 7 November 2003 menetapkan wayang sebagai pertunjukan bayangan boneka tersohor dari Indonesia, sebuah warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity). Sebenarnya, pertunjukan boneka tak hanya ada di Indonesia karena banyak pula negara lain yang memiliki pertunjukan wayang (bayangan boneka). Namun, pertunjukan bayangan boneka (Wayang) di Indonesia memiliki gaya tutur dan keunikan tersendiri, yang merupakan mahakarya asli dari Indonesia. Untuk itulah UNESCO memasukkannya ke dalam daftar representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia pada tahun 2003.

  Keberadaan wayang, baik itu wayang kulit, wayang orang, maupun wayang golek dan juga beragam wayang (setidaknya ada lebih dari 40 jenis wayang) di tanah air Indonesia ini telah menjadi khazanah sastra di Indonesia. Wayang yang pada tanggal 7 November 2003 resmi diakui sebagai warisan budaya Indonesia ini menjadi saksi tingginya kebudayaan dimasa lampau, dimana awal mula wayang, berkaitan dengan kisah mahabarata dan ramayana yang notabene berasal dari tanah india.

  Dari beberapa banyak jenis wayang yang ada di Indonesia, pada makalah ini lebih terfokus pada wayang kulit. Wayang kulit merupakan kesenian tradisional rakyat Indonesia yang mampu bertahan dan dapat diakui eksistensinya melampaui lintas zaman dan benua. Jikamenengok sejarah budaya Jawa, wayang kulit sudah berkembang sejak abad ke-15 dan hingga saat ini masih banyak penggemarnya meskipun dari kalangan tertentu. Wayang kulit adalah bentuk kesenian yang menampilkan adegan drama bayangan boneka yang terbuat dari kulit binatang, berbentuk pipih, diwarna dan bertangkat1. Yang dimainkan oleh seorang dalang dengan menyuguhkan kisah-kisah atau cerita-cerita klasik seperti Ramayana dan Mahabarata. Yang kental dengan budaya Hindu-India yang diadaptasikandengan budaya Jawa.

  2. Penelitian Yang Relevan Pada penelitian-penelitian yang pernah ditulis sebelumnya, ada beberapa judul yang pembahasannya hampir mirip dengan penelitian ini.

  Penelitian dan penulisan biografi seorang tokoh masyarakat memang sudah sering dilakukan oleh para sejarawan. Pada dasarnya penulisan biografi tokoh yang terkenal maupun tokoh yang berjasa dalam suatu lingkup masyarakat, mempunyai alur pemikiran yang terfokus pada alur kehidupan tokoh dan prestasi yang diraihnya tersebut maupun pemikiran- pemikirannya yang bermanfaat bagi masyarakat. Berikut ini beberapa hasil penelitian sejarah yang menjadi referensi peneliti adalah sebagai berikut.

  Penelitian skripsi yang dilakukan oleh Sutrismi (2014) dengan judul “Biografi Kusno: Mantan Kepala Desa Di Desa Bengbukang Kecamatan Karangpucung Kabupaten Cilacap

  ”, menyimpulkan bahwa kegigihan kusno dan keteladanannya sebagai pemimpin yang dapat dicontoh oleh masyarakat. Beranjak dari keluarga yang sederhana, dan juga tentang bagaimana Kusno memperlakukan anaknya dengan baik serta mengedepankan pendidikannya. Kepemimpinan Kusno dan rasa tanggung jawabnya itu, dianggap sebagai suatu keberhasilan yang membuatnya menjadi salah satu pemimpin yang dapat dipercaya masyarakat.

  Menurut Endah Puji Lestari (2005) dalam skripsinya yang berjudul “Biografi Karsinah (Mantan Lengger) di Desa Kalisabuk, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap

  ”, menyimpulkan bahwa Karsinah sudah menjadi lengger di umur belasan tahun. Kesenian lengger merupakan bakatnya dan untuk menyalurkan bakatnya itu ia mempelajari lengger dari salah satu seniornya, kemudian ia juga tidak segan untuk berbagi ilmu kepada anak-anak atau orang yang ingin mempelajari lengger seperti dirinya. Saat sudah menikah ia kemudian menghentikan kegiatannya sebagai seorang legger demi mengurusi keluarga, suami dan anak- anaknya. Padahal pada saat itu usianya yang masih produktif untuk berkarya. Saat menjadi lengger Karsinah pernah tampil di depan tamu Negara dan para turis mancanegara.

  Artikel pada jurnal Humaniora volume XIX. No. 2/2007 yang ditulis oleh A. Adaby Darban yang berjudul “Mengungkap Biografi Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo ” menyimpulkan bahwa Sekarmaji Marijan

  Kartosuwiryo salah seorang murid HOS Cokroaminoto kawan Sokearno yang menjadi pemimpin Sarekat Islam (SI). Marijan Kartosuwiryo yang meliputi lain masa kecil dan pendidikannya, perkenalannya dengan dunia politik dan temu jodohnya, perjuangannya di luar kepartaian, pergerilyaannya melawan Belanda, serta perang segi tiga dan berdirinya NII. Sekarmaji, sebuah nama asli yang diberikan oleh orang tuanya ketika ia lahir di Cepu pada tanggal 7 Februari 1905, sedangkan Marijan Kartosuwiryo adalah nama ayahnya, seorang pegawai gubernemen Hindia Belanda dengan jabatan Mantri Kehutanan. Pada usia 6 tahun ia dimasukkan sekolah Tweede Inlandsche School, kemudian dipindah ke HIS. Setelah lulus HIS, ia melanjutkan ke Europeeshe Legere School (ELS), kemudian melanjutkan ke Hogere Burgelijks School (HBS), dan lebih lanjut meneruskan pendidikannya di Nedelandsche Indische Artsen

  

School (NIAS), yaitu sekolah ilmu kedokteran di Surabaya. Di Surabaya

  inilah Sekarmaji M. Kartosuwiryo bergabung dengan Haji Omar Said Cokroaminoto (pemimpin Sarekat Islam) yang kemudian dijadikan pembimbing rohani.

  Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Shiswary (2014) dengan skripsinya yang berjudul biografi yakut: kiprah dan prestasi dalang muda dari Banyumas menyimpulkan bahwa tidak semua dalang itu berkiprah ketika sudah tua, tetapi menjadi dalang juga bisa ketika usia masih muda, hal ini karena tergantung pada minat dan bakat pada seseorang jika orang tersebut bakat sejak kecil maka dalam usia mudapun sudah bisa mempertjunjukan dirinya sebagai dalang dan tidak harus menunggu sudah tua. Hal ini bisa menjadi inspirasi untuk generasi penerus.

  Penelitian terdahulu tersebut menjadi referensi bagi peneliti untuk melakukan tindakan. Beberapa penelitian terdahulu tersebut memanglah berbeda dari segi objek kajian penelitiannya, namun pada dasarnya penelitian biografi suatu tokoh mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk memaparkan kehiduapan suatu tokoh masyarakat yang mempunyai pengaruh. Dari beberapa contoh peneliti diatas yang merupakan sebuah penelitian politik dan budaya atau seni pertunjukan maka penelitian biografi kali ini merupakan jenis biografi budaya atau seni pertunjukan.

  Penelitian ini memaparkan kehidupan dari tokoh masyarakat yang tergolong muda dan mampu menjadi inspirasi banyak orang terutama bagi remaja. Kemampuannya dalam bidang pewayangan menginspirasi agar kita sebagai penduduk asli Indonesia menjunjung tinggi kebudayaan asli Indonesia dengan cara menjaga kelestariannya dan ikut berperan dalam mengembangkan kebudayaan asli Indonesia.

F. Kerangka Teoritis dan Pendekatan

  1. Kerangka Teoritis Biografi dalam Historiografi jarang sekali ditulis oleh sejarawan.

  Sebagian besar yang menulis biografi adalah para jurnalis atau wartawan. Biografi dalam penulisan sejarah dapat memberikan sumbangan berupa

  

psiko-history , yaitu sejarah kejiwaan tokoh-tokoh sejarah, khususnya para pelaku dan penyaksi. Tokoh-tokoh yang layak ditulis riwayat hidupnya adalah orang-orang besar dalam sejarah yang sesuai kiprahnya (Priyadi, 2011: 98)

  Biografi adalah sejarah, sama halnya dengan sejarah kota, negara atau bangsa. Sayang banyak biografi ditulis tidak oleh sejarawan tetapi oleh pengarang dan jurnalis, padahal biografi lebih marketable dari pada buku-buku sejarah biasa. Ladang yang subur ini belum mendapat ladang perhatian yang memadai dari sejarawan dan mahasiswa sejarah. Mungkin karena kesulitan mencari sumber, sebab wawancara untuk sebuah historiografi memerlukan kepercayaan yang tinggi dari narasumber yang dipengaruhi mahasiswa atau sejarawan muda.

  Biografi atau catatan tentang seseorang itu, meskipun sangat mikro menjadi bagian dalam mosaik sejarah yang lebih besar. Malah ada pendapat bahwa sejarah adalah penjumlahan dari beberapa biografi. Dengan adanya biografi dapat dipahami para pelaku sejarah, zaman yang menjadi latar belakang biografi dan lingkungan sosial politiknya. Akan tetapi sebenarnya sebuah biografi tidak perlu menulis tentang hero (pahlawan) yang menentukan jalan sejarah, cukup partisipan, bahkan the

  

unknown . Namun tidak memiliki tokoh itu tentu mempunyai resiko

tersendiri (Kuntowijoyo, 2003: 203-204).

  Sebuah biografi mengangkat kisah perjalanan hidup seseorang yang benar-benar ada dan dianggap dapat membawa hikmah bagi para pembacanya, baik mengenal tokoh tersebut maupun tidak. Hikmah yang dapat dipetik tidak pada prestasi yang diraih tokoh tetapi juga kegiatan- kegiatan yang dihadapinya serta cara mengatasi masalah. Tokoh ini bisa saja sudah meninggal atau masih hidup. Pada biografi tokoh-tokoh sejarah, misalnya, pahlawan tidak diabaikan sebagai model dari manusia Indonesia yang menunjukan sifat-sifat utama dalam pengabdiannya terhadap nusa bangsa (Kartodirdjo, 1982: 254).

  Ada dua macam biografi yaitu portrayal (portait) dan sctientific (ilmiah), yang masin-masing mempunyai metodelogi sendiri. Biografi disebut portrayal bia hanya mencoba memahami. Biografi yang termasuk kategori ini adalah biografi politik, bisnis, olahraga, dan sebagainya serta

  

prosopography yaitu biografi kolektif. Dalam biografi yang scientific

  orang berusaha menerangkan tokohnya berdasarkan analisis ilmiah. Dalam hal ini penggunaan konsep dan teori dari psychohistory (sejarah kejiwaan) (Kuntowijoyo, 2003: 208)

  Biografi menganalisa dan menerangkan kejadian-kejadian dalam hidup seseorang. Lewat biografi, akan ditemukan hubungan, keterangan arti dari tindakan tertentu atau misteri yang melingkupi hidup seseorang, serta penjelasan mengenai tindakan dan perilaku hidupnya. Biografi biasanya dapat bercerita tentang kehidupan seorang tokoh terkenal atau tidak terkenal, namun demikian, biografi tentang orang biasa akan menceritakan mengenai satu atau lebih tempat atau masa tertentu. Biografi seringkali bercerita mengenai seorang tokoh sejarah, namun tak jarang juga tentang orang yang masih hidup. Banyak biografi ditulis secara kronologis. Beberapa periode waktu tersebut dapat dikelompokkan berdasar tema-tema utama tertentu (misalnya, masa-masa awal yang susah atau ambisi dan pencapaian).

  Selain biografi, pengetahuan tentang otobiografi (biografi yang ditulis sendiri oleh tokoh), memorie (peristiwa masa lampau) dan

  

prosopography diperlukan dalam penelitian ini agara peneliti biografi pada

  tokoh ini menghasilkan kualitas yang baik.bedanya dengan auto biografi

  

, sebuah biografi tidak ditulis sendiri oleh tokoh yang bersangkutan

  melainkan orang lain. Penelitian biografi juga sama dengan penelitian lainnya yang dimiliki kelebihan dan kelemahan yang masih menjadi perdebatan pemikira tentang kelebihan dan kelemahan. Menurut pemikiran Sartono Kartodirdjo biografi dipandang memiliki kelemahan pada teknik penulisan. Teknik penulisab biografi membutuhkan kemahiran dalam pemakaian bahasa dan retorik tertentu, pendeknya seni menulis. Disamping itu biografi juga mempunyai fungsi penting dalam pendidikan apa bila biografi yang ditulis dengan baik sangat mampu membangkitkan inspirasi kepas pembaca (Kartodirdjo, 1992: 76-77).

  Beberapa penjelasan mengenai biografi sudah dipaparkan diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa penulisan biografi sangat mudah dibedakan dengan penulisan penelitian lainnya. Penulisan biografi mempunyai kekhasan penulisan tersendiri dilihat dari ciri-ciri teks biografinya. Setiap penulisan biografi mempunyai ciri-ciri khas yang pertama dengan struktur teks meliputi orientasi, peristiwa atau masalah, dan reorientasi. Teks orientasi merupakan bagian dari pengenalan tokoh yang berisi gambaran awal tentang tokoh atau pelaku didalam teks biografi. Bagian teks peristiwa atau masalah yang dialami tokoh berisi penjelasan peristiwa yang terjadi atau dialami tokoh. Teks reriontasi merupakan bagian penutup yang berisi pandangan penulis terhadap tokoh yang diceritakan.