OPTIMASI PEMISAHAN DAN UJI AKTIVITAS PROTEIN ANTIBAKTERI DARI CAIRAN SELOM CACING TANAH Perionyx excavatus.
ARTIKEL
PENELITIAN DOSEN MUDA
OPTIMASI PEMISAHAN DAN UJI AKTIVITAS PROTEIN
ANTIBAKTERI DARI CAIRAN SELOM CACING TANAH
Perionyx excavatus.
Oleh :
Yumaihana, M.Si
Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan
UNIVERSITAS ANDALAS
Dibiayai oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan
Nasional, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan Penelitian
Nomor : 001/SP2H/PP/DP2M/III/2007, taggal 29 Maret 2007
Optimasi Pemisahan dan Uji Aktivitas Protein Antibakteri dari Cairan Selom
Cacing Tanah Perionyx excavatus.
Yumaihana MSi*
*Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Faterna UNAND
Abstrak
Cairan selom adalah cairan yang terdapat dalam cacing tanah dan berperan
penting untuk sistem kekebalannya. Banyak protein-protein pendegradasi dinding sel
yang terkandung di cairan selom, membuat cacing memiliki aktivitas antibakteri dan
sejumlah fungsi fisiologi lain. Penelitian pendahuluan telah mengidentifikasi bahwa
cacing P. excavatus galur lokal memiliki aktivitas antibakteri terhadap Bacillus
megaterium. Molekul antibakteri ini sangat tidak stabil dan mudah sekali terdegradasi.
Beberapa usaha telah dilakukan untuk melihat daya tahan aktivitas antibakteri ini pada
tiga variasi suhu, yaitu 26, 4 dan –20oC. Cairan selom segar yang disimpan selama 3
bulan pada –20oC, dan cairan selom dalam gliserol 1,5% yang disimpan selama 13 hari
pada 4oC masih menunjukkan aktivitas antibakteri. Pemisahan protein – protein dalam
cairan selom dilakukan dengan menggunakan metode kromatografi penukar anion
(DEAE-sefarosa). Fraksi yang diperoleh diuji aktivitas anti-B. megaterium secara
kualitatif dan ternyata hanya fraksi pada puncak kedua yang aktif sebagai anti bakteri.
Kata Kunci : Cairan selom, P. Excavatus, DEAE
Pendahuluan
sesuai jenis makanannya. Cacing ini jauh
Perionyx excavatus tergolong cacing
tanah yang tidak patogen dan mudah
didapatkan
disampah-sampah.
Jenis
cacing ini sangat mirip dengan E. fetida
namun
warnanya
lebih
gelap
dan
gerakannya lebih cepat. P. excavatus
disebut juga india blue, bark worms,
spiketails dan mudah dibedakan dari E.
fetida. P. excavatus mempunyai kilau
biru yang bisa berkurang atau bertambah
lebih lincah dari E. fetida.
Hewan yang mempunyai rongga
tubuh bagian dalam disebut coelomates
(selomat) dan rongganya disebut coelom
(selom ). Cairan yang terdapat di dalam
selom disebut cairan selom, berfungsi
untuk membantu respirasi dan sirkulasi
penyebaran nutrisi, dan ekskresi cairan
buangan. Cairan selom terdapat dalam
sejumlah sistem organ pada hewan
tingkat tinggi termasuk manusia. Cairan
1
selom
juga
bisa
menjadi
tempat
menyimpan telur dan sperma seperti
pada ikan, memfasilitasi pertumbuhan
gamet dalam tubuh hewan. Cairan ini
melindungi
organ
dalam
dan
juga
sebagai hidrostatik kerangka. Tetapi
komposisi protein dalam cairan selom
masih sangat sedikit dipelajari. Bila
cacing ditusuk maka ia akan kehilangan
kemampuan untuk bergerak dengan
baik, karena fungsi otot tubuh tergantung
pada volum cairan dalam selom. Tetapi
cacing juga mempunyai kemampuan
istimewa untuk meregenerasi bagian
tubuh yang hilang.
Penelitian awal yang telah dilakukan
menunjukkan
bahwa
cacing
tanah
mengeluarkan
cairan
kuning
terang
disertai
juga
lipoprotein
berwarna
kuning dan kental. Setiap gram cacing
dapat menghasilkan ±
40,73
µL.
Variasi isolasi cairan selom dilakukan
pada beberapa kondisi cacing (variable),
yang
membawa
kemampuan
efek
imun
tubuh
terhadap
dalam
Materi dan Metoda
Uji aktivitas protein anti-Bacillus
Megaterium
dilakukan
dengan
cara
kualitatif (zona bening) dan kuantitatif
(spektroskopi, OD600). Beberapa variasi
dilakukan untuk menguji daya tahan
aktivitas protein antibakteri. Pemisahan
protein aktiv antibakteri dengan yang
tidak, dilakukan secara Kromatografi
penukar anion dengan kolom HiPrep
16/10 DEAE dari Pharmacia. Buffer
adalah Tris-Cl 25 mM, pH 8. Elusi
menggunakan buffer NaCl 1M dalam
Tris, dengan gradien bertingkat : 5 menit
0-5%, 0 menit 5-9%, 15 menit 15-20%,
0 menit 25-50%, 15 menit 50-70%, 0
menit 70-80% dan 15 menit 80-100%
NaCl.
Hasil dan Pembahasan
Aktivitas Cairan Selom
Cairan selom yang diisolasi dari
cacing
segar
antibakteri
memiliki
yang
aktivitas
cukup
bagus.
membunuh bakteri. Lebih jauh cacing P.
Pertumbuhan B. megaterium dihambat
Excavatus
menghasilkan
39,43% setelah inkubasi pada suhu
keturunan yang tidak memiliki protein
kamar (Gambar 1.a). Uji pendahuluan
anti
menunjukan
bakteri
dapat
tertentu,
tetapi
masih
adanya
molekul
dalam
memiliki molekul antibakteri lain yang
cairan selom yang muncul sebagai
sangat komplek.
puncak
tajam
diawal
elusi
pada
2
kromatografi penukar anion
tidak
ditampilkan).
protein
yang
antibakteri
Molekul
memiliki
ini
(Gambar
menghilangkan pengaruh ini. Aktivitas
bukan
antibakteri
aktivitas
dikhawatirkan
diuji
secara
kuantitatif
(Gambar I.b).
akan
menggangu dalam proses pemurnian.
Dialisis ekstrak kasar dilakukan 16–18
jam
terhadap
aquabides,
1
0.9
0.8
0.7
Kontrol negatif (air
steril)
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
Cairan selom segar
10%
a)
0.3
0.2
0.1
0
1
2
3
4
5
6
7
OD600
OD600
1
0.9
untuk
Kontrol negatif (air
steril)
Dialisat cairan selom
10%
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
b)
0.1
0
1
8
2
3
4
5
6
7
Waktu (1/2 jam)
Waktu (1/2 jam)
Gambar 1 Kurva pertumbuhan B. megaterium (a) Cairan selom 10% memperlambat
pertumbuhan bakteri 39,43% dari kontrol. (b) Dialisat cairan selom 10%
memperlambat pertumbuhan bakteri 37,2% dari kontrol.
Perlakuan
dialisis
akan
dengan ultrafiltrasi. Kedua variasi ini
menghilangkan kontaminan dan sisa
menghasilkan
metabolit yang mungkin ada, tetapi cara
yang sama pada saat pemurnian, tetapi
ini juga menurunkan aktivitas antibakteri
kelemahan ultrafiltrasi adalah banyaknya
cairan selom 2,23% dibanding dengan
sampel yang menempel pada membran
ekstrak kasar yaitu menjadi 37,2%. Hal
filter.
ini disebabkan oleh keluarnya sebagian
Optimasi penyimpanan cairan selom
protein aktif lain yang antibakteri dan
* Penyimpanan pada suhu kamar
tampilan
kromatogram
protein berukuran kecil melalui pori
Cairan selom sangat tidak stabil dan
filter dialisis ke medium sehingga
mudah terdegradasi bila disimpan pada
jumlah protein yang aktif menghambat
suhu kamar (26oC), dan suhu 37oC.
pertumbuhan bakteri jadi berkurang.
Sedangkan cairan selom yang disimpan
Cara
lain
menghilangkan
dilakukan
untuk
kontaminan
adalah
pada suhu 4 dan –20oC masih memiliki
3
aktivitas
antibakteri
meskipun
nilainya lebih kecil dibandingkan dengan
aktivitas
antibakterinya.
cairan selom segar (Sujatioadi, 2004).
percobaan ini dapat diambil kesimpulan
Hilangnya aktivitas antibakteri cairan
bahwa
selom dimungkinkan karena adanya
menunjukkan performa yang lebih bagus
protease yang terdapat pada cairan ini.
dibanding yang lain (Gambar 2).
penggunaan
Tapi
gliserol
dari
1,5%
Pada suhu ruang dan suhu 37oC protease
dapat bekerja secara optimum sehingga
0.8
dapat menghancurkan protein-protein
0.6
OD600
yang memiliki aktivitas antibakteri yang
0.4
pada suhu 4 dan –20oC kerja protease
0
Cairan selom yang disimpan disuhu
o
kamar (26 C) tanpa menggunakan agen
kehilangan
aktivitas
antibakterinya dalam 4 jam. Untuk
mempertahankan kerja protein yang aktif
bakteri,
gliserol.
Uji
telah
aktivitas
penyimpanan
pada
digunakan
satu
suhu
hari
26oC
menunjukkan hasil yang negatif terhadap
B. megaterium. Semua pertumbuhan B.
megaterium dikultur yang menggunakan
selom 10% berada di atas pertumbuhan
kontrol.
1,5%,
Pemakaian
dan
2,25%
mempertahankan
Gliserol 2,25%
0.1
1
2
3
4
5
6
Waktu (1/2 jam)
mengalami penurunan.
terhadap
Gliserol 1,5%
0.3
0.2
akan
Gliserol 0,75%
0.5
terdapat pada cairan selom, sedangkan
apa-apa,
Kontrol negatif (air
steril)
0.7
gliserol
0,75%,
tidak
dapat
kerja
protein
antibakteri ini. Penyimpanan 1, 2, dan 3
hari pada suhu kamar tetap membuat
protein terdegradasi dan kehilangan
Gambar 2. Kurva petumbuhan B.
Megaterium di suhu kamar. Media
pertumbuhan mengandung cairan selom
dalam berbagai konsentrasi gliserol.
Kemampuan aktivitas antibakteri dari
cairan selom yang ditambahkan gliserol
1,5% hampir sama dengan gliserol 2,25
%, tetapi penggunaan gliserol 2,25%
menyebabkan terjadinya pengendapan
protein 1 jam berikutnya. Dengan alasan
tersebut, maka untuk pengujian terhadap
sampel lain digunakan gliserol 1,5%.
Penyimpanan disuhu 4oC
Penyimpanan cairan selom pada 4oC
menunjukkan aktivitas yang cukup baik
untuk masa penyimpanan yang tidak
lama (1 hari). Penambahan gliserol 1,5%
memberikan pengaruh terhadap aktivitas
4
antibakteri cairan selom yang disimpan
Tetapi hari ke-25 aktivitas antibakteri
pada
sudah
suhu
ini.
Cairan
selom
hampir
hilang,
pertumbuhan
menunjukkan aktivitas antibakteri dihari
bakteri dalam kultur yang mengandung
ke-3 dan 13 penyimpanan, terbukti
cairan selom 1,5% hampir sama dengan
dengan kurva tumbuh bakteri dalam
pertumbuhan bakteri kontrol (Gambar
kultur mengandung cairan selom berada
3).
di bawah pertumbuhan kontrol negatif.
1.4
0.35
kontrol negatif (air
steril)
0.3
0.2
OD600
OD600
1
Kontrol positif
(Ampisilin 150 mg/L)
0.25
Dialisat cairan selom
dengan gliserol 1,5%
0.15
1
2
3
4
5
6
7
8
0.6
b)
0.2
a)
0
Dialisat cairan selom
dengan gliserol 1,5%
0.8
0.4
0.1
0.05
Kontrol negatif (air
steril)
1.2
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Waktu (1/2 jam)
Waktu (1/2 jam)
0.8
Kontrol negatif (air
steril)
0.7
OD600
0.6
Dialisat cairan
selom dengan
gliserol 1,5%
0.5
0.4
0.3
c)
0.2
0.1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Waktu (1/2 jam)
Gambar 3. Kurva pertumbuhan B. megaterium di suhu 4oC dalam media yang
menggandung cairan selom dalam gliserol 10%. (a) Aktivitas antibakteri
cairan selom setelah hari ke-3 penyimpanan. (b) Aktivitas antibakteri
cairan selom setelah hari ke-13 penyimpanan. (c) Aktivitas antibakteri
cairan selom setelah hari ke-25 penyimpanan.
Pengaruh penggunaan gliserol 1,5%
digunakan. Pengaruh osmofobik gliserol,
bisa memperlama waktu penyimpanan
meningkatkan
cairan selom, karena gliserol dapat
kompleks
yang
meningkatkan stabilitas struktur protein
menggeser
kesetimbangan
asli
bentuk protein asli dan kompleks asli
sehingga
melindungi
aktivitas
antibakteri. Gliserol mencegah protein
terhadap inaktivasi termal dan agregasi,
tergantung
dari
konsentrasi
yang
energi
bebas
dari
diaktifkan
dan
diantara
yang diaktifkan.
Beberapa tahun terakhir orang telah
mengenal gliserol sebagai salah satu
5
senyawa
penstabil
protein.
Diawal
perubahan energi bebas yang disebabkan
penelitian, sebagian ahli berpendapat
oleh
bahwa mekanisme gliserol memper-
bukanlah faktor unik yang terlibat dalam
tahankan stabilitas protein dimulai dari
stabilitas
sifat
bisa
permukaan pelarut-protein disebabkan
membentuk semacam kantung disekitar
oleh meningkatnya potensial kimia,
protein. Tetapi studi lebih lanjut tentang
disertai oleh peluncuran air dari dalam
gliserol menunjukkan bahwa substansi
protein sebagai akibat dari naiknya nilai
ini tidak terikat dengan cara biasa ke
densiti inti. Aditif bisa menurunkan
protein,
volume bagian dalam protein. Reduksi
molekul
tetapi
gliserol
yang
kehadirannya
dapat
hidrasi
istimewa
protein.
dari
Kontraksi
antar
air
volume
diduga
disekitar protein. Dengan cara yang
tekanan
osmisis.
sangat
dapat
tergantung pada ukuran molekul dan
mengosongkan air dilapisan permukaan
konsentrasi osmolit. Hubungan energi
protein. Ini berarti protein mengalami
bebas dengan perubahan volum dapat
hidrasi disekitar permukaannya. Proses
dijelaskan sebagai :
merubah
tekanan
permukaan
istimewa,
gliserol
ini meningkatkan energi bebas dan
selanjutnya melindungi protein terhadap
denaturasi. Studi terakhir menemukan
bahwa gliserol mempengaruhi induksitekanan unfolding. Pergeseran keseimbangan bertambah kearah kiri dari
persamaan reaksi kesetimbangan :
Protein asli
↔ Protein terdenaturasi.
Pergeseran
secara
teoritis
dari
tekanan pembukaan lipatan dihitung dari
batas peningkatan energi bebas oleh
perubahan gliserol yang lebih rendah
dari yang tidak memakai penstabil
protein. Ini mengindikasikan bahwa
bisa
protein
menghasilkan
Kuatnya
osmosis
ΔG = 0,234 x ΔV x P1/2
Dimana ΔG = kal.mol-1, ΔV = mL.mol-1,
dan P1/2 = MPa.
Kecepatan induksi-tekanan unfolding
lebih lambat dengan adanya gliserol
dibanding kecepatan pelipatan ulang
yaitu menjadi 1,5x lebih lama dari
refolding, walaupun kecepatan keduanya
sama-sama lebih lambat dibanding jika
tidak memakai penstabil protein. Ini
artinya gliserol meningkatkan stabilitas
struktur keseluruhan protein.
Penyimpanan cairan selom di –20oC
Penyimpanan cairan selom pada suhu –
6
20oC bisa mempertahankan aktivitas
antibakterini
ini
protein antibakteri sampai lebih dari tiga
berkurangnya
kadar
bulan (107 hari). Pengujian aktivitas
degradasi. Pengukuran kadar protein
antibakteri dilakukan secara bertahap
cairan
(Gambar 4. dan Gambar.5). Pada satu
berselang 35 hari membuktikan turunnya
hari
selom
kadar protein dalam cairan selom dari
inhibisi
22,475 mg/mL menjadi 15,624 mg/mL.
terhadap bakteri sebanyak 98%, dan
Hari ke 138 penyimpanan cairan selom
setelah disimpan 69 hari, aktivitas enzim
disuhu
masih bagus yaitu bisa menghambat
memiliki
pertumbuhan B. megaterium sebanyak
dimana pertumbuhan bakteri dikultur
72,3%. Walaupun terjadi penurunan
yang mengandung cairan selom sama
aktivitas antibakteri, tetapi uji kualitatif
dengan laju pertumbuhan bakteri kontrol
protein
daerah
negatif. Penurunan aktivitas antibakteri
bening disekitar kertas cakram pada hari
ini disebabkan oleh kerja enzim protease
ke 87 dan 107 masa penyimpanan. Lebar
yang terdapat di dalam cairan selom
daerah
berkurang
yang tetap bekerja dalam suhu rendah
dengan semakin lamanya penyimpanan.
tetapi dengan kecepatan yang rendah
Penurunan
juga.
penyimpanan,
memperlihatkan
cairan
aktivitas
masih
menunjukan
bening
semakin
kekuatan
1.2
0.8
Kontrol positif
(Ampisilin 150 mg/L)
0.6
Cairan selom 10%
0.4
a)
0.2
0
1
2
3
4
5
6
7
8
OD 600
1.2
Kontrol negatif (air
steril)
1
Cairan selom 10%
0.8
0.6
c)
0.4
0.2
0
3
4
5
6
Waktu (1/2 jam)
yang
–20oC
sama
protein
aktivitas
oleh
akibat
setelah
sudah
tidak
antibakteri
lagi,
Kontrol negatif (air
steril)
0.6
0.5
0.4
0.3
Cairan selom 10%
Kontrol positif
(Ampisilin 150 mg/L)
b)
0.2
0.1
0
2
3
4
5
6
7
8
Waktu (1/2 jam)
1.4
2
protein
0.9
0.8
0.7
1
Waktu (1/2 jam )
1
OD600
Kontrol negatif (air
steril)
1
OD600
aktivitas
selom
disebabkan
7
8
Gambar 4 Kurva pertumbuhan B.
megaterium pada suhu –20oC. (a)
Aktivitas antibakteri cairan selom
setelah hari pertama penyimpanan. (b)
Aktivitas antibakteri cairan selom
setelah hari ke-69 penyimpanan. (c)
Aktivitas antibakteri cairan selom
setelah hari ke-138 penyimpanan.
7
a)
b)
c)
Gambar 5 Zona inhibisi cairan selom. (a) Setelah penyimpanan selama 87 hari pada
suhu -20oC. (b) Setelah penyimpanan selama 107 hari pada suhu -20oC.
Pemisahan protein dengan kolom
antibakteri sementara puncak kedua
DEAE-sefarosa
tidak memiliki aktivitas (Gambar 7).
Cairan selom yang memiliki aktivitas
antibakteri
disaring
dengan
filter
berukuran 0,45 m dan dimurnikan
dengan kolom DEAE-agarosa. Gradien
elusi oleh bufer garam NaCl diatur
sedemikian rupa sehingga dihasilkan dua
puncak terpisah yang cukup tajam
(Gambar.6).
Gambar 7. Zona inhibisi dari fraksifraksi kolom DEAE-sefarosa. 1. 20 l
ampisilin 150 g/mL. 2. 20 l fraksi
puncak I. 3. 20 l fraksi puncak II.
Hasil uji antibakteri cairan selom
fraksi
puncak
I
menunjukkan
peningkatan inhibisi pertumbuhan B.
megaterium (Gambar 8). Pada satu jam
pertama pertumbuhan bakteri dihambat
88,6% dan pada dua jam berikutnya
Gambar 6 Pemurnian cairan selom
terjadi penurunan pertumbuhan bakteri
dengan kolom DEAE-sefarosa.
mendekati nol (inhibisi 100%). Uji
kualitatif menunjukan daerah bening
Fraksi ditampung secara selektif dan
yang cukup tajam pada daerah sekitar
pengujian kualitatif membuktikan bahwa
kertas
puncak
pertama
memiliki
cakram
yang
membuktikan
aktivitas
8
aktivitas cairan selom dari tingkat
OD600
pemurnian dengan DEAE cukup bagus.
1
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
Kontrol negatif (air
steril)
Kontrol positif
(Ampisilin 150 mg/L)
Fraksi I dari DEAE
10%
1
2
3
4
5
6
7
8
Cassell, G.H., and Mekalanos, (2001),
Development of antimicrobial agents in the
era of new and reemerging infectious
infectious deseases and increasing antibitic
resistance., JAMA, 285, 601-605.
Chauduri, P.S., and Bhattacharjee, G.,
(2002), Capacity of various experimental
diets to support biomass and reproduction of
Perionyx
excavatus,
Bioresource
technology, 82(2), 147-150.
Waktu (1/2 jam)
Gambar
8
Kurva
pertumbuhan
Bacillus megaterium
KESIMPULAN
Dari
penelitian
ini
dapat
disimpulkan bahwa aktivitas antibakteri
Cairan Selom cacing P.excavatus dapat
bertahan lama (3 bulan) bila disimpan
disuhu -20oC dan 13 hari di suhu 4 oC
dengan penambahan gliserol 10%.
Kromatografi penukar anion
(DEAE-sefarosa) dapat memisahkan
molekul anti bakteri dengan molekul
yang bukan antibakteri. Pemisahan ini
merupakan awal dari tahap pemurnian
protein antibakteri selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Baier, K.S., and McClements, D.J., (2005),
Influence of cosolvent systems on the
gelation mechanism of globular protein :
thermodynamic, kinetic, and structural
aspects of globular protein gelation,
Comprehensive reviews in food science and
food safety, 4, 43-53.
Blakemore,
R.,
(2001),
Tasmanian
earthworm grows second head, Invertebrata,
20.
Cho, J.H., Park, C.B., Yoon, G.Y., Kim,
S.C., (1998), Lumbricin I, a novel prolinrich antimicrobial peptide from the
earthworm : purification, cDNA cloning and
molecular characterization, BBA, 1408, 6776.
Cooper, E.L., and Roch, P., (2003),
Earthworm immunity : a model of immune
competence, Pedobiologia, 47.
Cooper, E.L., Kauschke, E., and Cossarizza,
A., (2002), Digging for innate immunity
since Darwin and Metchnikoff, Bioassays,
24(4), 319-333.
Dhainaut, A., Scaps, P., (2001), Immune
defense and biological responses induced by
toxics in annelida, Can. J. Zoo./Ref. Can.
Zoo., 79(2), 233-253.
Edwar, C.A., Dominguez, J., Neunauser,
E.F., (1998), Growth and reproduction of
Peronyx excavatus (Perr.) (Megascolecidae)
as factor in organic waste management, Biol
Fertil Soil, 27, 155-161.
Engelmann, P., Kiss, J., Csongei, V.,
Cooper, E.L., Nemeth, P., (2004),
Earthworm leukocytes kill HeLa, Hep-2,
PC-12 and PA317 cells in vitro, J. Biochem.
Biophys. Methodes, 61, 215-227.
Engelmann, P., Molnar, L., Palinkas, L.,
Cooper, E.L., (2004), Earthworm leukocytes
populations specifically harbor lysosomal
9
enzyme that may respond to bacterial
challenge, Cell tissue res, 316, 391-401.
Eue, I., Kauschke, E., Mohrig, W., and
Cooper, E.L., (1998), Isolation and
characterization of earthworm hemolysins
and
aglutinins,
Developmental
and
comparative immunology, 22 (1), 13-25.
Field, E.G., Kurtz, J., Cooper, E.L., and
Michiels, N.K., (2004), Evaluation of an
innate immune reaction to parasites in
earthworm, J. invertebrate phathology, 86,
45-49.
Goven, A.J., Chen, S.C., Fitzpatrick, L.C.,
Venables, B.J., (1994), Lysozyme activity
in earthworm (Lumbricus terrestris)
coelomic fluid and coelomocytes : enzyme
assay for immunotoxicity of xenobiotics,
Environmental toxicology and chemistry,
13(4).
Heitz, F., Mau, N.V., (2002), Protein
structural changes induced by their uptake at
interfaces, BBA, 1597, 1-11.
Lange, S., Kauschke, E., Mohrig, W., and
Cooper,
E.L.,
(1999),
Biochemical
charcteristics of Eiseniapore, a pore-forming
protein in the colelomic fluids of
earthworms, J. Biochem, 262, 547-556.
Lassalle, F., Lassegues, M., and Roch, P.,
(1988), Protein analysis of earthworm
coelomic fluid-IV. Evidence, activity
induction and purificatin of Eisenia fetida
andrei lysozyme (Annelidae), Comp.
Biochem. Physiol., 91B(1), 187-192.
Liu, Y.Q., Sun, Z.J., Wang, C., Li, S.J., and
Liu, Y.Z., (2004), Purification of novel
antibacterial short peptide in earthworm
Eisenia foetida, BBA sinica, 36(4), 297-302.
Hallatt, L., Viljoen, S.A., and Reinecke,
A.J., (1992), Moisture requirments in the life
cycle of Perionyx excavatus (Oligochaeta),
Soil Biology and Biochem., 24(12), 13331340.
Hanusova, R., Tuckova, L., Halada, P.,
Bezouska, K., (1999), Peptide fragments
induce a more rapid immune response than
intact protein in earthworms, Developmental
and comparative immunology, 23, 113-121.
10
Kesimpulan
Terimakasih
Daftar Pustaka
11
RINGKASAN LAPORAN
PENELITIAN DOSEN MUDA
OPTIMASI PEMISAHAN DAN UJI AKTIVITAS PROTEIN
ANTIBAKTERI DARI CAIRAN SELOM CACING TANAH
Perionyx excavatus.
Oleh :
Yumaihana MSi
Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan
UNIVERSITAS ANDALAS
Dibiayai oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan
Nasional, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan Penelitian
Nomor : 001/SP2H/PP/DP2M/III/2007, taggal 29 Maret 2007
Pendahuluan
Sistem kekebalan tubuh makhluk hidup telah dipelajari dari berbagai sudut pandang.
Analisis sistem pertahanan invertebrata seperti cacing tanah, adalah bagian penting dari
penelitian sistem ini. Sistem kekebalan tubuh invertebrata dibawa dari lahir, alami dan
non-spesifik. Sistem ini berbeda dengan sistem kekebalan vertebrata dimana bisa
dikategorikan memiliki sifat adaptif, induksi, dan spesifik. Selama proses evolusi, cacing
telah mengembangkan strategi daya tahan tubuhnya terhadap lingkungan yang banyak
mengandung mikroorganisme patogen. Sekalipun mereka kekurangan antibodi, tetapi
sistem tubuhnya memiliki sejumlah leukosit, enzim pensintesis dan mensekresikan
bermacam-macam molekul immunoprotektif yang membuatnya bisa bertahan terhadap
serangan organisme dan material asing.
Cacing tanah L. rubellus dan Ph. Aspergillum telah banyak dibudi- dayakan di Indonesia,
berbeda dengan Eisenia fetida dan Perionyx excavatus yang belum begitu dikenal.
Cacing tanah diketahui rendah lemak, hanya 3 hingga 10 persen dari bobot keringnya.
Seperti cacing lain, Perionyx excavatus memiliki sifat antibakteri terhadap beberapa
mikroorganisme yang diuji. P. excavatus varietas lokal diprediksi memiliki sifat
istimewa karena hidup di lingkungan yang jauh berbeda dari cacing – cacing yang telah
banyak diteliti. Komposisi tanah, iklim dan kebiasaan manusianya yang unik jelas
mempengaruhi organisme lain sebagai bagian dari rantai kehidupan. Penelitian awal
menunjukan bahwa makanan dan lingkungan tumbuh cacing tanah mempengaruhi
aktivitas kandungan protein anti bakteri dalam cairan selomnya. Perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut terhadap daya tahan aktivitas antibakteri cairan selom pada
berbagai suhu dan usaha pemisahan protein yang berperan dalam aktivitas ini sebagai
tahap awal pemurnian protein.
Materi dan Metoda
Uji aktivitas protein anti-Bacillus Megaterium dilakukan dengan cara kualitatif (zona
bening) dan kuantitatif (spektroskopi, Optical Density). Beberapa variasi dilakukan untuk
menguji kemampuan protein antibakteri ini. Pemisahan protein aktiv antibakteri dengan
yang tidak, dilakukan secara Kromatografi penukar anion (DEAE-agarosa).
Hasil dan Pembahasan
1. Aktivitas Cairan Selom
Cairan selom yang diisolasi dari cacing segar memiliki aktivitas antibakteri yang cukup
bagus. Pertumbuhan B. megaterium dihambat 39,43% setelah inkubasi pada suhu kamar
(Gambar 1.a). Uji pendahuluan menunjukan adanya molekul dalam cairan selom yang
muncul sebagai puncak tajam diawal elusi pada kromatografi penukar anion. Molekul
bukan protein yang memiliki aktivitas antibakteri ini dikhawatirkan akan menggangu
dalam proses pemurnian. Dialisis ekstrak kasar dilakukan 16–18 jam terhadap aquabides,
untuk menghilangkan pengaruh ini. Aktivitas antibakteri diuji secara kuantitatif (Gambar
I.b).
1
0.9
a)
Kontrol negatif (air
steril)
OD600
0.8
0.7
Cairan selom segar
10%
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Waktu (1/2 jam)
1
0.9
b)
Kontrol negatif (air
steril)
OD600
0.8
0.7
Dialisat cairan selom
10%
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
1
2
3
4
5
6
7
Waktu (1/2 jam)
Gambar 1. Kurva pertumbuhan B. megaterium (a) Cairan selom 10% memperlambat
pertumbuhan bakteri 39,43% dari kontrol. (b) Dialisat cairan selom 10%
memperlambat pertumbuhan bakteri 37,2% dari kontrol.
Perlakuan dialisis akan menghilangkan kontaminan dan sisa metabolit yang mungkin ada,
tetapi cara ini juga menurunkan aktivitas antibakteri cairan selom 2,23% dibanding
dengan ekstrak kasar yaitu menjadi 37,2%. Hal ini disebabkan oleh keluarnya sebagian
protein aktif lain yang antibakteri (contohnya, ada komponen molekul lain yang memiliki
aktivitas antibakteri. dan protein berukuran kecil melalui pori filter dialisis ke medium
sehingga jumlah protein yang aktif menghambat pertumbuhan bakteri jadi berkurang.
Cara lain dilakukan untuk menghilangkan kontaminan adalah dengan ultrafiltrasi. Kedua
variasi ini menghasilkan tampilan kromatogram yang sama pada saat pemurnian, tetapi
kelemahan ultrafiltrasi adalah banyaknya sampel yang menempel pada membran filter.
2. Optimasi penyimpanan cairan selom
2.1 Penyimpanan pada suhu kamar
Cairan selom sangat tidak stabil dan mudah terdegradasi bila disimpan pada suhu kamar
(26oC), dan suhu 37oC. Sedangkan cairan selom yang disimpan pada suhu 4 dan –20oC
masih memiliki aktivitas antibakteri meskipun nilainya lebih kecil dibandingkan dengan
cairan selom segar (Sujatioadi, 2004). Hilangnya aktivitas antibakteri cairan selom
dimungkinkan karena adanya protease yang terdapat pada cairan ini. Pada suhu ruang dan
suhu 37oC protease dapat bekerja secara optimum sehingga dapat menghancurkan
protein-protein yang memiliki aktivitas antibakteri yang terdapat pada cairan selom,
sedangkan pada suhu 4 dan –20oC kerja protease mengalami penurunan.
Cairan selom yang disimpan disuhu kamar (26oC) tanpa menggunakan agen apa-apa,
akan kehilangan aktivitas antibakterinya dalam 4 jam. Untuk mempertahankan kerja
protein yang aktif terhadap bakteri, telah digunakan gliserol. Uji aktivitas satu hari
penyimpanan pada suhu 26oC menunjukkan hasil yang negatif terhadap B. megaterium.
Semua pertumbuhan B. megaterium dikultur yang menggunakan selom 10% berada di
atas pertumbuhan kontrol. Pemakaian gliserol 0,75%, 1,5%, dan 2,25% tidak dapat
mempertahankan kerja protein antibakteri ini. Penyimpanan 1, 2, dan 3 hari pada suhu
kamar tetap membuat protein terdegradasi dan kehilangan aktivitas antibakterinya. Tapi
dari percobaan ini dapat diambil kesimpulan bahwa penggunaan gliserol 1,5%
menunjukkan performa yang lebih bagus dibanding yang lain.
Kemampuan aktivitas antibakteri dari cairan selom yang ditambahkan gliserol 1,5%
hampir sama dengan gliserol 2,25 %, tetapi penggunaan gliserol 2,25% menyebabkan
terjadinya pengendapan protein 1 jam berikutnya. Dengan alasan tersebut, maka untuk
pengujian terhadap sampel lain digunakan gliserol 1,5%.
2.2 Penyimpanan disuhu 4oC
Penyimpanan cairan selom pada 4oC menunjukkan aktivitas yang cukup baik untuk masa
penyimpanan yang tidak lama (1 hari). Penambahan gliserol 1,5% memberikan pengaruh
terhadap aktivitas antibakteri cairan selom yang disimpan pada suhu ini. Cairan selom
menunjukkan aktivitas antibakteri dihari ke-3 dan 13 penyimpanan, terbukti dengan
kurva tumbuh bakteri dalam kultur mengandung cairan selom berada di bawah
pertumbuhan kontrol negatif. Tetapi hari ke-25 aktivitas antibakteri sudah hampir hilang,
pertumbuhan bakteri dalam kultur yang mengandung cairan selom 1,5% hampir sama
dengan pertumbuhan bakteri kontrol (Gambar 2).
Pengaruh penggunaan gliserol 1,5% bisa memperlama waktu penyimpanan cairan selom,
karena gliserol dapat meningkatkan stabilitas struktur protein asli sehingga melindungi
aktivitas antibakteri. Gliserol mencegah protein terhadap inaktivasi termal dan agregasi,
tergantung dari konsentrasi yang digunakan. Pengaruh osmofobik gliserol, meningkatkan
energi bebas dari kompleks yang diaktifkan dan menggeser kesetimbangan diantara
bentuk protein asli dan kompleks asli yang diaktifkan. Tetapi studi lebih lanjut tentang
gliserol menunjukkan bahwa substansi ini tidak terikat dengan cara biasa ke protein,
tetapi kehadirannya dapat merubah tekanan permukaan air disekitar protein. Dengan cara
yang sangat istimewa, gliserol dapat mengosongkan air dilapisan permukaan protein. Ini
berarti protein mengalami hidrasi disekitar permukaannya. Proses ini meningkatkan
energi bebas dan selanjutnya melindungi protein terhadap denaturasi. Studi terakhir
menemukan bahwa gliserol mempengaruhi induksi-tekanan unfolding. Pergeseran
keseimbangan bertambah kearah kiri dari persamaan reaksi kesetimbangan :
Protein asli
↔
Protein terdenaturasi.
Pergeseran secara teoritis dari tekanan pembukaan lipatan dihitung dari batas peningkatan
energi bebas oleh perubahan gliserol yang lebih rendah dari yang tidak memakai
penstabil protein. Ini mengindikasikan bahwa perubahan energi bebas yang disebabkan
oleh hidrasi istimewa dari protein bukanlah faktor unik yang terlibat dalam stabilitas
protein.
0.35
0.25
0.2
1
Dialisat cairan selom
dengan gliserol 1,5%
0.15
0.6
0.4
0.05
0.2
1
2
3
4
5
6
7
a)
8
Dialisat cairan selom
dengan gliserol 1,5%
0.8
0.1
0
Kontrol negatif (air
steril)
1.2
Kontrol positif
(Ampisilin 150 mg/L)
OD600
OD600
1.4
kontrol negatif (air
steril)
0.3
0
1
2
Waktu (1/2 jam)
3
4
5
6
7
8
b)
Waktu (1/2 jam)
0.8
Kontrol negatif (air
steril)
0.7
OD600
0.6
Dialisat cairan
selom dengan
gliserol 1,5%
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
1
2
c)
3
4
5
6
7
8
Waktu (1/2 jam)
Gambar 2. Kurva pertumbuhan B. megaterium di suhu 4oC dalam media yang
menggandung cairan selom dalam gliserol 10%. (a) Aktivitas antibakteri
cairan selom setelah hari ke-3 penyimpanan. (b) Aktivitas antibakteri
cairan selom setelah hari ke-13 penyimpanan. (c) Aktivitas antibakteri
cairan selom setelah hari ke-25 penyimpanan.
Kontraksi antar permukaan pelarut-protein disebabkan oleh meningkatnya potensial
kimia, disertai oleh peluncuran air dari dalam protein sebagai akibat dari naiknya nilai
densiti inti. Aditif bisa menurunkan volume bagian dalam protein. Reduksi volume
diduga bisa menghasilkan tekanan osmisis. Kuatnya osmosis tergantung pada ukuran
molekul dan konsentrasi osmolit. Hubungan energi bebas dengan perubahan volum dapat
dijelaskan sebagai :
ΔG = 0,234 x ΔV x P1/2
Dimana ΔG = kal.mol-1, ΔV = mL.mol-1, dan P1/2 = MPa.
Kecepatan induksi-tekanan unfolding lebih lambat dengan adanya gliserol dibanding
kecepatan pelipatan ulang yaitu menjadi 1,5x lebih lama dari refolding, walaupun
kecepatan keduanya sama-sama lebih lambat dibanding jika tidak memakai penstabil
protein. Ini artinya gliserol meningkatkan stabilitas struktur keseluruhan protein.
3 Penyimpanan cairan selom di –20oC
Penyimpanan cairan selom pada suhu –20oC bisa mempertahankan aktivitas protein
antibakteri sampai lebih dari tiga bulan (107 hari). Pengujian aktivitas antibakteri
dilakukan secara bertahap. Pada satu hari penyimpanan, cairan selom memperlihatkan
aktivitas inhibisi terhadap bakteri sebanyak 98%, dan setelah disimpan 69 hari, aktivitas
enzim masih bagus yaitu bisa menghambat pertumbuhan B. megaterium sebanyak 72,3%.
Walaupun terjadi penurunan aktivitas antibakteri, tetapi uji kualitatif protein masih
menunjukan daerah bening disekitar kertas cakram pada hari ke 87 dan 107 masa
penyimpanan. Lebar daerah bening semakin berkurang dengan semakin lamanya
penyimpanan (Gambar 3). Penurunan kekuatan aktivitas antibakterini ini disebabkan oleh
berkurangnya kadar protein akibat degradasi. Pengukuran kadar protein cairan selom
yang sama setelah berselang 35 hari membuktikan turunnya kadar protein dalam cairan
selom dari 22,475 mg/mL menjadi 15,624 mg/mL. Hari ke 138 penyimpanan cairan
selom disuhu –20oC protein sudah tidak memiliki aktivitas antibakteri lagi, dimana
pertumbuhan bakteri dikultur yang mengandung cairan selom sama dengan laju
pertumbuhan bakteri kontrol negatif. Penurunan aktivitas antibakteri ini disebabkan oleh
kerja enzim protease yang terdapat di dalam cairan selom yang tetap bekerja dalam suhu
rendah tetapi dengan kecepatan yang rendah juga.
a)
b)
c)
Gambar 3 Zona inhibisi cairan selom. (a) Setelah penyimpanan selama 87 hari pada
suhu -20oC. (b) Setelah penyimpanan selama 107 hari pada suhu -20oC.
6.3 Pemisahan protein dengan kolom DEAE-sefarosa
Cairan selom yang memiliki aktivitas antibakteri disaring dengan filter berukuran 0,45
m dan dimurnikan dengan kolom DEAE-agarosa. Gradien elusi oleh bufer garam NaCl
diatur sedemikian rupa sehingga dihasilkan dua puncak terpisah yang cukup tajam
(Gambar 4). Fraksi ditampung secara selektif dan pengujian kualitatif (zona bening)
membuktikan bahwa puncak pertama memiliki aktivitas antibakteri sementara puncak
kedua tidak memiliki aktivitas antibakteri.
Gambar 4. Pemurnian cairan selom dengan kolom DEAE-sefarosa.
Hasil uji antibakteri cairan selom fraksi puncak I menunjukkan peningkatan inhibisi
pertumbuhan B. Megaterium. Pada satu jam pertama pertumbuhan bakteri dihambat
88,6% dan pada dua jam berikutnya terjadi penurunan pertumbuhan bakteri mendekati
nol (inhibisi 100%). Uji kualitatif menunjukan daerah bening yang cukup tajam pada
daerah sekitar kertas cakram yang membuktikan aktivitas cairan selom dari tingkat
pemurnian dengan DEAE cukup bagus.
BAB VII. KESIMPULAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa aktivitas antibakteri Cairan Selom cacing
P.excavatus dapat bertahan lama (3 bulan) bila disimpan disuhu -20oC dan 13 hari di
suhu 4 oC dengan penambahan gliserol 10%.
Kromatografi penukar anion (DEAE-agarosa) dapat memisahkan molekul anti bakteri
dengan molekul yang bukan antibakteri. Pemisahan ini merupakan awal dari tahap
pemurnian protein antibakteri selanjutnya.
PENELITIAN DOSEN MUDA
OPTIMASI PEMISAHAN DAN UJI AKTIVITAS PROTEIN
ANTIBAKTERI DARI CAIRAN SELOM CACING TANAH
Perionyx excavatus.
Oleh :
Yumaihana, M.Si
Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan
UNIVERSITAS ANDALAS
Dibiayai oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan
Nasional, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan Penelitian
Nomor : 001/SP2H/PP/DP2M/III/2007, taggal 29 Maret 2007
Optimasi Pemisahan dan Uji Aktivitas Protein Antibakteri dari Cairan Selom
Cacing Tanah Perionyx excavatus.
Yumaihana MSi*
*Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Faterna UNAND
Abstrak
Cairan selom adalah cairan yang terdapat dalam cacing tanah dan berperan
penting untuk sistem kekebalannya. Banyak protein-protein pendegradasi dinding sel
yang terkandung di cairan selom, membuat cacing memiliki aktivitas antibakteri dan
sejumlah fungsi fisiologi lain. Penelitian pendahuluan telah mengidentifikasi bahwa
cacing P. excavatus galur lokal memiliki aktivitas antibakteri terhadap Bacillus
megaterium. Molekul antibakteri ini sangat tidak stabil dan mudah sekali terdegradasi.
Beberapa usaha telah dilakukan untuk melihat daya tahan aktivitas antibakteri ini pada
tiga variasi suhu, yaitu 26, 4 dan –20oC. Cairan selom segar yang disimpan selama 3
bulan pada –20oC, dan cairan selom dalam gliserol 1,5% yang disimpan selama 13 hari
pada 4oC masih menunjukkan aktivitas antibakteri. Pemisahan protein – protein dalam
cairan selom dilakukan dengan menggunakan metode kromatografi penukar anion
(DEAE-sefarosa). Fraksi yang diperoleh diuji aktivitas anti-B. megaterium secara
kualitatif dan ternyata hanya fraksi pada puncak kedua yang aktif sebagai anti bakteri.
Kata Kunci : Cairan selom, P. Excavatus, DEAE
Pendahuluan
sesuai jenis makanannya. Cacing ini jauh
Perionyx excavatus tergolong cacing
tanah yang tidak patogen dan mudah
didapatkan
disampah-sampah.
Jenis
cacing ini sangat mirip dengan E. fetida
namun
warnanya
lebih
gelap
dan
gerakannya lebih cepat. P. excavatus
disebut juga india blue, bark worms,
spiketails dan mudah dibedakan dari E.
fetida. P. excavatus mempunyai kilau
biru yang bisa berkurang atau bertambah
lebih lincah dari E. fetida.
Hewan yang mempunyai rongga
tubuh bagian dalam disebut coelomates
(selomat) dan rongganya disebut coelom
(selom ). Cairan yang terdapat di dalam
selom disebut cairan selom, berfungsi
untuk membantu respirasi dan sirkulasi
penyebaran nutrisi, dan ekskresi cairan
buangan. Cairan selom terdapat dalam
sejumlah sistem organ pada hewan
tingkat tinggi termasuk manusia. Cairan
1
selom
juga
bisa
menjadi
tempat
menyimpan telur dan sperma seperti
pada ikan, memfasilitasi pertumbuhan
gamet dalam tubuh hewan. Cairan ini
melindungi
organ
dalam
dan
juga
sebagai hidrostatik kerangka. Tetapi
komposisi protein dalam cairan selom
masih sangat sedikit dipelajari. Bila
cacing ditusuk maka ia akan kehilangan
kemampuan untuk bergerak dengan
baik, karena fungsi otot tubuh tergantung
pada volum cairan dalam selom. Tetapi
cacing juga mempunyai kemampuan
istimewa untuk meregenerasi bagian
tubuh yang hilang.
Penelitian awal yang telah dilakukan
menunjukkan
bahwa
cacing
tanah
mengeluarkan
cairan
kuning
terang
disertai
juga
lipoprotein
berwarna
kuning dan kental. Setiap gram cacing
dapat menghasilkan ±
40,73
µL.
Variasi isolasi cairan selom dilakukan
pada beberapa kondisi cacing (variable),
yang
membawa
kemampuan
efek
imun
tubuh
terhadap
dalam
Materi dan Metoda
Uji aktivitas protein anti-Bacillus
Megaterium
dilakukan
dengan
cara
kualitatif (zona bening) dan kuantitatif
(spektroskopi, OD600). Beberapa variasi
dilakukan untuk menguji daya tahan
aktivitas protein antibakteri. Pemisahan
protein aktiv antibakteri dengan yang
tidak, dilakukan secara Kromatografi
penukar anion dengan kolom HiPrep
16/10 DEAE dari Pharmacia. Buffer
adalah Tris-Cl 25 mM, pH 8. Elusi
menggunakan buffer NaCl 1M dalam
Tris, dengan gradien bertingkat : 5 menit
0-5%, 0 menit 5-9%, 15 menit 15-20%,
0 menit 25-50%, 15 menit 50-70%, 0
menit 70-80% dan 15 menit 80-100%
NaCl.
Hasil dan Pembahasan
Aktivitas Cairan Selom
Cairan selom yang diisolasi dari
cacing
segar
antibakteri
memiliki
yang
aktivitas
cukup
bagus.
membunuh bakteri. Lebih jauh cacing P.
Pertumbuhan B. megaterium dihambat
Excavatus
menghasilkan
39,43% setelah inkubasi pada suhu
keturunan yang tidak memiliki protein
kamar (Gambar 1.a). Uji pendahuluan
anti
menunjukan
bakteri
dapat
tertentu,
tetapi
masih
adanya
molekul
dalam
memiliki molekul antibakteri lain yang
cairan selom yang muncul sebagai
sangat komplek.
puncak
tajam
diawal
elusi
pada
2
kromatografi penukar anion
tidak
ditampilkan).
protein
yang
antibakteri
Molekul
memiliki
ini
(Gambar
menghilangkan pengaruh ini. Aktivitas
bukan
antibakteri
aktivitas
dikhawatirkan
diuji
secara
kuantitatif
(Gambar I.b).
akan
menggangu dalam proses pemurnian.
Dialisis ekstrak kasar dilakukan 16–18
jam
terhadap
aquabides,
1
0.9
0.8
0.7
Kontrol negatif (air
steril)
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
Cairan selom segar
10%
a)
0.3
0.2
0.1
0
1
2
3
4
5
6
7
OD600
OD600
1
0.9
untuk
Kontrol negatif (air
steril)
Dialisat cairan selom
10%
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
b)
0.1
0
1
8
2
3
4
5
6
7
Waktu (1/2 jam)
Waktu (1/2 jam)
Gambar 1 Kurva pertumbuhan B. megaterium (a) Cairan selom 10% memperlambat
pertumbuhan bakteri 39,43% dari kontrol. (b) Dialisat cairan selom 10%
memperlambat pertumbuhan bakteri 37,2% dari kontrol.
Perlakuan
dialisis
akan
dengan ultrafiltrasi. Kedua variasi ini
menghilangkan kontaminan dan sisa
menghasilkan
metabolit yang mungkin ada, tetapi cara
yang sama pada saat pemurnian, tetapi
ini juga menurunkan aktivitas antibakteri
kelemahan ultrafiltrasi adalah banyaknya
cairan selom 2,23% dibanding dengan
sampel yang menempel pada membran
ekstrak kasar yaitu menjadi 37,2%. Hal
filter.
ini disebabkan oleh keluarnya sebagian
Optimasi penyimpanan cairan selom
protein aktif lain yang antibakteri dan
* Penyimpanan pada suhu kamar
tampilan
kromatogram
protein berukuran kecil melalui pori
Cairan selom sangat tidak stabil dan
filter dialisis ke medium sehingga
mudah terdegradasi bila disimpan pada
jumlah protein yang aktif menghambat
suhu kamar (26oC), dan suhu 37oC.
pertumbuhan bakteri jadi berkurang.
Sedangkan cairan selom yang disimpan
Cara
lain
menghilangkan
dilakukan
untuk
kontaminan
adalah
pada suhu 4 dan –20oC masih memiliki
3
aktivitas
antibakteri
meskipun
nilainya lebih kecil dibandingkan dengan
aktivitas
antibakterinya.
cairan selom segar (Sujatioadi, 2004).
percobaan ini dapat diambil kesimpulan
Hilangnya aktivitas antibakteri cairan
bahwa
selom dimungkinkan karena adanya
menunjukkan performa yang lebih bagus
protease yang terdapat pada cairan ini.
dibanding yang lain (Gambar 2).
penggunaan
Tapi
gliserol
dari
1,5%
Pada suhu ruang dan suhu 37oC protease
dapat bekerja secara optimum sehingga
0.8
dapat menghancurkan protein-protein
0.6
OD600
yang memiliki aktivitas antibakteri yang
0.4
pada suhu 4 dan –20oC kerja protease
0
Cairan selom yang disimpan disuhu
o
kamar (26 C) tanpa menggunakan agen
kehilangan
aktivitas
antibakterinya dalam 4 jam. Untuk
mempertahankan kerja protein yang aktif
bakteri,
gliserol.
Uji
telah
aktivitas
penyimpanan
pada
digunakan
satu
suhu
hari
26oC
menunjukkan hasil yang negatif terhadap
B. megaterium. Semua pertumbuhan B.
megaterium dikultur yang menggunakan
selom 10% berada di atas pertumbuhan
kontrol.
1,5%,
Pemakaian
dan
2,25%
mempertahankan
Gliserol 2,25%
0.1
1
2
3
4
5
6
Waktu (1/2 jam)
mengalami penurunan.
terhadap
Gliserol 1,5%
0.3
0.2
akan
Gliserol 0,75%
0.5
terdapat pada cairan selom, sedangkan
apa-apa,
Kontrol negatif (air
steril)
0.7
gliserol
0,75%,
tidak
dapat
kerja
protein
antibakteri ini. Penyimpanan 1, 2, dan 3
hari pada suhu kamar tetap membuat
protein terdegradasi dan kehilangan
Gambar 2. Kurva petumbuhan B.
Megaterium di suhu kamar. Media
pertumbuhan mengandung cairan selom
dalam berbagai konsentrasi gliserol.
Kemampuan aktivitas antibakteri dari
cairan selom yang ditambahkan gliserol
1,5% hampir sama dengan gliserol 2,25
%, tetapi penggunaan gliserol 2,25%
menyebabkan terjadinya pengendapan
protein 1 jam berikutnya. Dengan alasan
tersebut, maka untuk pengujian terhadap
sampel lain digunakan gliserol 1,5%.
Penyimpanan disuhu 4oC
Penyimpanan cairan selom pada 4oC
menunjukkan aktivitas yang cukup baik
untuk masa penyimpanan yang tidak
lama (1 hari). Penambahan gliserol 1,5%
memberikan pengaruh terhadap aktivitas
4
antibakteri cairan selom yang disimpan
Tetapi hari ke-25 aktivitas antibakteri
pada
sudah
suhu
ini.
Cairan
selom
hampir
hilang,
pertumbuhan
menunjukkan aktivitas antibakteri dihari
bakteri dalam kultur yang mengandung
ke-3 dan 13 penyimpanan, terbukti
cairan selom 1,5% hampir sama dengan
dengan kurva tumbuh bakteri dalam
pertumbuhan bakteri kontrol (Gambar
kultur mengandung cairan selom berada
3).
di bawah pertumbuhan kontrol negatif.
1.4
0.35
kontrol negatif (air
steril)
0.3
0.2
OD600
OD600
1
Kontrol positif
(Ampisilin 150 mg/L)
0.25
Dialisat cairan selom
dengan gliserol 1,5%
0.15
1
2
3
4
5
6
7
8
0.6
b)
0.2
a)
0
Dialisat cairan selom
dengan gliserol 1,5%
0.8
0.4
0.1
0.05
Kontrol negatif (air
steril)
1.2
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Waktu (1/2 jam)
Waktu (1/2 jam)
0.8
Kontrol negatif (air
steril)
0.7
OD600
0.6
Dialisat cairan
selom dengan
gliserol 1,5%
0.5
0.4
0.3
c)
0.2
0.1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Waktu (1/2 jam)
Gambar 3. Kurva pertumbuhan B. megaterium di suhu 4oC dalam media yang
menggandung cairan selom dalam gliserol 10%. (a) Aktivitas antibakteri
cairan selom setelah hari ke-3 penyimpanan. (b) Aktivitas antibakteri
cairan selom setelah hari ke-13 penyimpanan. (c) Aktivitas antibakteri
cairan selom setelah hari ke-25 penyimpanan.
Pengaruh penggunaan gliserol 1,5%
digunakan. Pengaruh osmofobik gliserol,
bisa memperlama waktu penyimpanan
meningkatkan
cairan selom, karena gliserol dapat
kompleks
yang
meningkatkan stabilitas struktur protein
menggeser
kesetimbangan
asli
bentuk protein asli dan kompleks asli
sehingga
melindungi
aktivitas
antibakteri. Gliserol mencegah protein
terhadap inaktivasi termal dan agregasi,
tergantung
dari
konsentrasi
yang
energi
bebas
dari
diaktifkan
dan
diantara
yang diaktifkan.
Beberapa tahun terakhir orang telah
mengenal gliserol sebagai salah satu
5
senyawa
penstabil
protein.
Diawal
perubahan energi bebas yang disebabkan
penelitian, sebagian ahli berpendapat
oleh
bahwa mekanisme gliserol memper-
bukanlah faktor unik yang terlibat dalam
tahankan stabilitas protein dimulai dari
stabilitas
sifat
bisa
permukaan pelarut-protein disebabkan
membentuk semacam kantung disekitar
oleh meningkatnya potensial kimia,
protein. Tetapi studi lebih lanjut tentang
disertai oleh peluncuran air dari dalam
gliserol menunjukkan bahwa substansi
protein sebagai akibat dari naiknya nilai
ini tidak terikat dengan cara biasa ke
densiti inti. Aditif bisa menurunkan
protein,
volume bagian dalam protein. Reduksi
molekul
tetapi
gliserol
yang
kehadirannya
dapat
hidrasi
istimewa
protein.
dari
Kontraksi
antar
air
volume
diduga
disekitar protein. Dengan cara yang
tekanan
osmisis.
sangat
dapat
tergantung pada ukuran molekul dan
mengosongkan air dilapisan permukaan
konsentrasi osmolit. Hubungan energi
protein. Ini berarti protein mengalami
bebas dengan perubahan volum dapat
hidrasi disekitar permukaannya. Proses
dijelaskan sebagai :
merubah
tekanan
permukaan
istimewa,
gliserol
ini meningkatkan energi bebas dan
selanjutnya melindungi protein terhadap
denaturasi. Studi terakhir menemukan
bahwa gliserol mempengaruhi induksitekanan unfolding. Pergeseran keseimbangan bertambah kearah kiri dari
persamaan reaksi kesetimbangan :
Protein asli
↔ Protein terdenaturasi.
Pergeseran
secara
teoritis
dari
tekanan pembukaan lipatan dihitung dari
batas peningkatan energi bebas oleh
perubahan gliserol yang lebih rendah
dari yang tidak memakai penstabil
protein. Ini mengindikasikan bahwa
bisa
protein
menghasilkan
Kuatnya
osmosis
ΔG = 0,234 x ΔV x P1/2
Dimana ΔG = kal.mol-1, ΔV = mL.mol-1,
dan P1/2 = MPa.
Kecepatan induksi-tekanan unfolding
lebih lambat dengan adanya gliserol
dibanding kecepatan pelipatan ulang
yaitu menjadi 1,5x lebih lama dari
refolding, walaupun kecepatan keduanya
sama-sama lebih lambat dibanding jika
tidak memakai penstabil protein. Ini
artinya gliserol meningkatkan stabilitas
struktur keseluruhan protein.
Penyimpanan cairan selom di –20oC
Penyimpanan cairan selom pada suhu –
6
20oC bisa mempertahankan aktivitas
antibakterini
ini
protein antibakteri sampai lebih dari tiga
berkurangnya
kadar
bulan (107 hari). Pengujian aktivitas
degradasi. Pengukuran kadar protein
antibakteri dilakukan secara bertahap
cairan
(Gambar 4. dan Gambar.5). Pada satu
berselang 35 hari membuktikan turunnya
hari
selom
kadar protein dalam cairan selom dari
inhibisi
22,475 mg/mL menjadi 15,624 mg/mL.
terhadap bakteri sebanyak 98%, dan
Hari ke 138 penyimpanan cairan selom
setelah disimpan 69 hari, aktivitas enzim
disuhu
masih bagus yaitu bisa menghambat
memiliki
pertumbuhan B. megaterium sebanyak
dimana pertumbuhan bakteri dikultur
72,3%. Walaupun terjadi penurunan
yang mengandung cairan selom sama
aktivitas antibakteri, tetapi uji kualitatif
dengan laju pertumbuhan bakteri kontrol
protein
daerah
negatif. Penurunan aktivitas antibakteri
bening disekitar kertas cakram pada hari
ini disebabkan oleh kerja enzim protease
ke 87 dan 107 masa penyimpanan. Lebar
yang terdapat di dalam cairan selom
daerah
berkurang
yang tetap bekerja dalam suhu rendah
dengan semakin lamanya penyimpanan.
tetapi dengan kecepatan yang rendah
Penurunan
juga.
penyimpanan,
memperlihatkan
cairan
aktivitas
masih
menunjukan
bening
semakin
kekuatan
1.2
0.8
Kontrol positif
(Ampisilin 150 mg/L)
0.6
Cairan selom 10%
0.4
a)
0.2
0
1
2
3
4
5
6
7
8
OD 600
1.2
Kontrol negatif (air
steril)
1
Cairan selom 10%
0.8
0.6
c)
0.4
0.2
0
3
4
5
6
Waktu (1/2 jam)
yang
–20oC
sama
protein
aktivitas
oleh
akibat
setelah
sudah
tidak
antibakteri
lagi,
Kontrol negatif (air
steril)
0.6
0.5
0.4
0.3
Cairan selom 10%
Kontrol positif
(Ampisilin 150 mg/L)
b)
0.2
0.1
0
2
3
4
5
6
7
8
Waktu (1/2 jam)
1.4
2
protein
0.9
0.8
0.7
1
Waktu (1/2 jam )
1
OD600
Kontrol negatif (air
steril)
1
OD600
aktivitas
selom
disebabkan
7
8
Gambar 4 Kurva pertumbuhan B.
megaterium pada suhu –20oC. (a)
Aktivitas antibakteri cairan selom
setelah hari pertama penyimpanan. (b)
Aktivitas antibakteri cairan selom
setelah hari ke-69 penyimpanan. (c)
Aktivitas antibakteri cairan selom
setelah hari ke-138 penyimpanan.
7
a)
b)
c)
Gambar 5 Zona inhibisi cairan selom. (a) Setelah penyimpanan selama 87 hari pada
suhu -20oC. (b) Setelah penyimpanan selama 107 hari pada suhu -20oC.
Pemisahan protein dengan kolom
antibakteri sementara puncak kedua
DEAE-sefarosa
tidak memiliki aktivitas (Gambar 7).
Cairan selom yang memiliki aktivitas
antibakteri
disaring
dengan
filter
berukuran 0,45 m dan dimurnikan
dengan kolom DEAE-agarosa. Gradien
elusi oleh bufer garam NaCl diatur
sedemikian rupa sehingga dihasilkan dua
puncak terpisah yang cukup tajam
(Gambar.6).
Gambar 7. Zona inhibisi dari fraksifraksi kolom DEAE-sefarosa. 1. 20 l
ampisilin 150 g/mL. 2. 20 l fraksi
puncak I. 3. 20 l fraksi puncak II.
Hasil uji antibakteri cairan selom
fraksi
puncak
I
menunjukkan
peningkatan inhibisi pertumbuhan B.
megaterium (Gambar 8). Pada satu jam
pertama pertumbuhan bakteri dihambat
88,6% dan pada dua jam berikutnya
Gambar 6 Pemurnian cairan selom
terjadi penurunan pertumbuhan bakteri
dengan kolom DEAE-sefarosa.
mendekati nol (inhibisi 100%). Uji
kualitatif menunjukan daerah bening
Fraksi ditampung secara selektif dan
yang cukup tajam pada daerah sekitar
pengujian kualitatif membuktikan bahwa
kertas
puncak
pertama
memiliki
cakram
yang
membuktikan
aktivitas
8
aktivitas cairan selom dari tingkat
OD600
pemurnian dengan DEAE cukup bagus.
1
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
Kontrol negatif (air
steril)
Kontrol positif
(Ampisilin 150 mg/L)
Fraksi I dari DEAE
10%
1
2
3
4
5
6
7
8
Cassell, G.H., and Mekalanos, (2001),
Development of antimicrobial agents in the
era of new and reemerging infectious
infectious deseases and increasing antibitic
resistance., JAMA, 285, 601-605.
Chauduri, P.S., and Bhattacharjee, G.,
(2002), Capacity of various experimental
diets to support biomass and reproduction of
Perionyx
excavatus,
Bioresource
technology, 82(2), 147-150.
Waktu (1/2 jam)
Gambar
8
Kurva
pertumbuhan
Bacillus megaterium
KESIMPULAN
Dari
penelitian
ini
dapat
disimpulkan bahwa aktivitas antibakteri
Cairan Selom cacing P.excavatus dapat
bertahan lama (3 bulan) bila disimpan
disuhu -20oC dan 13 hari di suhu 4 oC
dengan penambahan gliserol 10%.
Kromatografi penukar anion
(DEAE-sefarosa) dapat memisahkan
molekul anti bakteri dengan molekul
yang bukan antibakteri. Pemisahan ini
merupakan awal dari tahap pemurnian
protein antibakteri selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Baier, K.S., and McClements, D.J., (2005),
Influence of cosolvent systems on the
gelation mechanism of globular protein :
thermodynamic, kinetic, and structural
aspects of globular protein gelation,
Comprehensive reviews in food science and
food safety, 4, 43-53.
Blakemore,
R.,
(2001),
Tasmanian
earthworm grows second head, Invertebrata,
20.
Cho, J.H., Park, C.B., Yoon, G.Y., Kim,
S.C., (1998), Lumbricin I, a novel prolinrich antimicrobial peptide from the
earthworm : purification, cDNA cloning and
molecular characterization, BBA, 1408, 6776.
Cooper, E.L., and Roch, P., (2003),
Earthworm immunity : a model of immune
competence, Pedobiologia, 47.
Cooper, E.L., Kauschke, E., and Cossarizza,
A., (2002), Digging for innate immunity
since Darwin and Metchnikoff, Bioassays,
24(4), 319-333.
Dhainaut, A., Scaps, P., (2001), Immune
defense and biological responses induced by
toxics in annelida, Can. J. Zoo./Ref. Can.
Zoo., 79(2), 233-253.
Edwar, C.A., Dominguez, J., Neunauser,
E.F., (1998), Growth and reproduction of
Peronyx excavatus (Perr.) (Megascolecidae)
as factor in organic waste management, Biol
Fertil Soil, 27, 155-161.
Engelmann, P., Kiss, J., Csongei, V.,
Cooper, E.L., Nemeth, P., (2004),
Earthworm leukocytes kill HeLa, Hep-2,
PC-12 and PA317 cells in vitro, J. Biochem.
Biophys. Methodes, 61, 215-227.
Engelmann, P., Molnar, L., Palinkas, L.,
Cooper, E.L., (2004), Earthworm leukocytes
populations specifically harbor lysosomal
9
enzyme that may respond to bacterial
challenge, Cell tissue res, 316, 391-401.
Eue, I., Kauschke, E., Mohrig, W., and
Cooper, E.L., (1998), Isolation and
characterization of earthworm hemolysins
and
aglutinins,
Developmental
and
comparative immunology, 22 (1), 13-25.
Field, E.G., Kurtz, J., Cooper, E.L., and
Michiels, N.K., (2004), Evaluation of an
innate immune reaction to parasites in
earthworm, J. invertebrate phathology, 86,
45-49.
Goven, A.J., Chen, S.C., Fitzpatrick, L.C.,
Venables, B.J., (1994), Lysozyme activity
in earthworm (Lumbricus terrestris)
coelomic fluid and coelomocytes : enzyme
assay for immunotoxicity of xenobiotics,
Environmental toxicology and chemistry,
13(4).
Heitz, F., Mau, N.V., (2002), Protein
structural changes induced by their uptake at
interfaces, BBA, 1597, 1-11.
Lange, S., Kauschke, E., Mohrig, W., and
Cooper,
E.L.,
(1999),
Biochemical
charcteristics of Eiseniapore, a pore-forming
protein in the colelomic fluids of
earthworms, J. Biochem, 262, 547-556.
Lassalle, F., Lassegues, M., and Roch, P.,
(1988), Protein analysis of earthworm
coelomic fluid-IV. Evidence, activity
induction and purificatin of Eisenia fetida
andrei lysozyme (Annelidae), Comp.
Biochem. Physiol., 91B(1), 187-192.
Liu, Y.Q., Sun, Z.J., Wang, C., Li, S.J., and
Liu, Y.Z., (2004), Purification of novel
antibacterial short peptide in earthworm
Eisenia foetida, BBA sinica, 36(4), 297-302.
Hallatt, L., Viljoen, S.A., and Reinecke,
A.J., (1992), Moisture requirments in the life
cycle of Perionyx excavatus (Oligochaeta),
Soil Biology and Biochem., 24(12), 13331340.
Hanusova, R., Tuckova, L., Halada, P.,
Bezouska, K., (1999), Peptide fragments
induce a more rapid immune response than
intact protein in earthworms, Developmental
and comparative immunology, 23, 113-121.
10
Kesimpulan
Terimakasih
Daftar Pustaka
11
RINGKASAN LAPORAN
PENELITIAN DOSEN MUDA
OPTIMASI PEMISAHAN DAN UJI AKTIVITAS PROTEIN
ANTIBAKTERI DARI CAIRAN SELOM CACING TANAH
Perionyx excavatus.
Oleh :
Yumaihana MSi
Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan
UNIVERSITAS ANDALAS
Dibiayai oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan
Nasional, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan Penelitian
Nomor : 001/SP2H/PP/DP2M/III/2007, taggal 29 Maret 2007
Pendahuluan
Sistem kekebalan tubuh makhluk hidup telah dipelajari dari berbagai sudut pandang.
Analisis sistem pertahanan invertebrata seperti cacing tanah, adalah bagian penting dari
penelitian sistem ini. Sistem kekebalan tubuh invertebrata dibawa dari lahir, alami dan
non-spesifik. Sistem ini berbeda dengan sistem kekebalan vertebrata dimana bisa
dikategorikan memiliki sifat adaptif, induksi, dan spesifik. Selama proses evolusi, cacing
telah mengembangkan strategi daya tahan tubuhnya terhadap lingkungan yang banyak
mengandung mikroorganisme patogen. Sekalipun mereka kekurangan antibodi, tetapi
sistem tubuhnya memiliki sejumlah leukosit, enzim pensintesis dan mensekresikan
bermacam-macam molekul immunoprotektif yang membuatnya bisa bertahan terhadap
serangan organisme dan material asing.
Cacing tanah L. rubellus dan Ph. Aspergillum telah banyak dibudi- dayakan di Indonesia,
berbeda dengan Eisenia fetida dan Perionyx excavatus yang belum begitu dikenal.
Cacing tanah diketahui rendah lemak, hanya 3 hingga 10 persen dari bobot keringnya.
Seperti cacing lain, Perionyx excavatus memiliki sifat antibakteri terhadap beberapa
mikroorganisme yang diuji. P. excavatus varietas lokal diprediksi memiliki sifat
istimewa karena hidup di lingkungan yang jauh berbeda dari cacing – cacing yang telah
banyak diteliti. Komposisi tanah, iklim dan kebiasaan manusianya yang unik jelas
mempengaruhi organisme lain sebagai bagian dari rantai kehidupan. Penelitian awal
menunjukan bahwa makanan dan lingkungan tumbuh cacing tanah mempengaruhi
aktivitas kandungan protein anti bakteri dalam cairan selomnya. Perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut terhadap daya tahan aktivitas antibakteri cairan selom pada
berbagai suhu dan usaha pemisahan protein yang berperan dalam aktivitas ini sebagai
tahap awal pemurnian protein.
Materi dan Metoda
Uji aktivitas protein anti-Bacillus Megaterium dilakukan dengan cara kualitatif (zona
bening) dan kuantitatif (spektroskopi, Optical Density). Beberapa variasi dilakukan untuk
menguji kemampuan protein antibakteri ini. Pemisahan protein aktiv antibakteri dengan
yang tidak, dilakukan secara Kromatografi penukar anion (DEAE-agarosa).
Hasil dan Pembahasan
1. Aktivitas Cairan Selom
Cairan selom yang diisolasi dari cacing segar memiliki aktivitas antibakteri yang cukup
bagus. Pertumbuhan B. megaterium dihambat 39,43% setelah inkubasi pada suhu kamar
(Gambar 1.a). Uji pendahuluan menunjukan adanya molekul dalam cairan selom yang
muncul sebagai puncak tajam diawal elusi pada kromatografi penukar anion. Molekul
bukan protein yang memiliki aktivitas antibakteri ini dikhawatirkan akan menggangu
dalam proses pemurnian. Dialisis ekstrak kasar dilakukan 16–18 jam terhadap aquabides,
untuk menghilangkan pengaruh ini. Aktivitas antibakteri diuji secara kuantitatif (Gambar
I.b).
1
0.9
a)
Kontrol negatif (air
steril)
OD600
0.8
0.7
Cairan selom segar
10%
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Waktu (1/2 jam)
1
0.9
b)
Kontrol negatif (air
steril)
OD600
0.8
0.7
Dialisat cairan selom
10%
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
1
2
3
4
5
6
7
Waktu (1/2 jam)
Gambar 1. Kurva pertumbuhan B. megaterium (a) Cairan selom 10% memperlambat
pertumbuhan bakteri 39,43% dari kontrol. (b) Dialisat cairan selom 10%
memperlambat pertumbuhan bakteri 37,2% dari kontrol.
Perlakuan dialisis akan menghilangkan kontaminan dan sisa metabolit yang mungkin ada,
tetapi cara ini juga menurunkan aktivitas antibakteri cairan selom 2,23% dibanding
dengan ekstrak kasar yaitu menjadi 37,2%. Hal ini disebabkan oleh keluarnya sebagian
protein aktif lain yang antibakteri (contohnya, ada komponen molekul lain yang memiliki
aktivitas antibakteri. dan protein berukuran kecil melalui pori filter dialisis ke medium
sehingga jumlah protein yang aktif menghambat pertumbuhan bakteri jadi berkurang.
Cara lain dilakukan untuk menghilangkan kontaminan adalah dengan ultrafiltrasi. Kedua
variasi ini menghasilkan tampilan kromatogram yang sama pada saat pemurnian, tetapi
kelemahan ultrafiltrasi adalah banyaknya sampel yang menempel pada membran filter.
2. Optimasi penyimpanan cairan selom
2.1 Penyimpanan pada suhu kamar
Cairan selom sangat tidak stabil dan mudah terdegradasi bila disimpan pada suhu kamar
(26oC), dan suhu 37oC. Sedangkan cairan selom yang disimpan pada suhu 4 dan –20oC
masih memiliki aktivitas antibakteri meskipun nilainya lebih kecil dibandingkan dengan
cairan selom segar (Sujatioadi, 2004). Hilangnya aktivitas antibakteri cairan selom
dimungkinkan karena adanya protease yang terdapat pada cairan ini. Pada suhu ruang dan
suhu 37oC protease dapat bekerja secara optimum sehingga dapat menghancurkan
protein-protein yang memiliki aktivitas antibakteri yang terdapat pada cairan selom,
sedangkan pada suhu 4 dan –20oC kerja protease mengalami penurunan.
Cairan selom yang disimpan disuhu kamar (26oC) tanpa menggunakan agen apa-apa,
akan kehilangan aktivitas antibakterinya dalam 4 jam. Untuk mempertahankan kerja
protein yang aktif terhadap bakteri, telah digunakan gliserol. Uji aktivitas satu hari
penyimpanan pada suhu 26oC menunjukkan hasil yang negatif terhadap B. megaterium.
Semua pertumbuhan B. megaterium dikultur yang menggunakan selom 10% berada di
atas pertumbuhan kontrol. Pemakaian gliserol 0,75%, 1,5%, dan 2,25% tidak dapat
mempertahankan kerja protein antibakteri ini. Penyimpanan 1, 2, dan 3 hari pada suhu
kamar tetap membuat protein terdegradasi dan kehilangan aktivitas antibakterinya. Tapi
dari percobaan ini dapat diambil kesimpulan bahwa penggunaan gliserol 1,5%
menunjukkan performa yang lebih bagus dibanding yang lain.
Kemampuan aktivitas antibakteri dari cairan selom yang ditambahkan gliserol 1,5%
hampir sama dengan gliserol 2,25 %, tetapi penggunaan gliserol 2,25% menyebabkan
terjadinya pengendapan protein 1 jam berikutnya. Dengan alasan tersebut, maka untuk
pengujian terhadap sampel lain digunakan gliserol 1,5%.
2.2 Penyimpanan disuhu 4oC
Penyimpanan cairan selom pada 4oC menunjukkan aktivitas yang cukup baik untuk masa
penyimpanan yang tidak lama (1 hari). Penambahan gliserol 1,5% memberikan pengaruh
terhadap aktivitas antibakteri cairan selom yang disimpan pada suhu ini. Cairan selom
menunjukkan aktivitas antibakteri dihari ke-3 dan 13 penyimpanan, terbukti dengan
kurva tumbuh bakteri dalam kultur mengandung cairan selom berada di bawah
pertumbuhan kontrol negatif. Tetapi hari ke-25 aktivitas antibakteri sudah hampir hilang,
pertumbuhan bakteri dalam kultur yang mengandung cairan selom 1,5% hampir sama
dengan pertumbuhan bakteri kontrol (Gambar 2).
Pengaruh penggunaan gliserol 1,5% bisa memperlama waktu penyimpanan cairan selom,
karena gliserol dapat meningkatkan stabilitas struktur protein asli sehingga melindungi
aktivitas antibakteri. Gliserol mencegah protein terhadap inaktivasi termal dan agregasi,
tergantung dari konsentrasi yang digunakan. Pengaruh osmofobik gliserol, meningkatkan
energi bebas dari kompleks yang diaktifkan dan menggeser kesetimbangan diantara
bentuk protein asli dan kompleks asli yang diaktifkan. Tetapi studi lebih lanjut tentang
gliserol menunjukkan bahwa substansi ini tidak terikat dengan cara biasa ke protein,
tetapi kehadirannya dapat merubah tekanan permukaan air disekitar protein. Dengan cara
yang sangat istimewa, gliserol dapat mengosongkan air dilapisan permukaan protein. Ini
berarti protein mengalami hidrasi disekitar permukaannya. Proses ini meningkatkan
energi bebas dan selanjutnya melindungi protein terhadap denaturasi. Studi terakhir
menemukan bahwa gliserol mempengaruhi induksi-tekanan unfolding. Pergeseran
keseimbangan bertambah kearah kiri dari persamaan reaksi kesetimbangan :
Protein asli
↔
Protein terdenaturasi.
Pergeseran secara teoritis dari tekanan pembukaan lipatan dihitung dari batas peningkatan
energi bebas oleh perubahan gliserol yang lebih rendah dari yang tidak memakai
penstabil protein. Ini mengindikasikan bahwa perubahan energi bebas yang disebabkan
oleh hidrasi istimewa dari protein bukanlah faktor unik yang terlibat dalam stabilitas
protein.
0.35
0.25
0.2
1
Dialisat cairan selom
dengan gliserol 1,5%
0.15
0.6
0.4
0.05
0.2
1
2
3
4
5
6
7
a)
8
Dialisat cairan selom
dengan gliserol 1,5%
0.8
0.1
0
Kontrol negatif (air
steril)
1.2
Kontrol positif
(Ampisilin 150 mg/L)
OD600
OD600
1.4
kontrol negatif (air
steril)
0.3
0
1
2
Waktu (1/2 jam)
3
4
5
6
7
8
b)
Waktu (1/2 jam)
0.8
Kontrol negatif (air
steril)
0.7
OD600
0.6
Dialisat cairan
selom dengan
gliserol 1,5%
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
1
2
c)
3
4
5
6
7
8
Waktu (1/2 jam)
Gambar 2. Kurva pertumbuhan B. megaterium di suhu 4oC dalam media yang
menggandung cairan selom dalam gliserol 10%. (a) Aktivitas antibakteri
cairan selom setelah hari ke-3 penyimpanan. (b) Aktivitas antibakteri
cairan selom setelah hari ke-13 penyimpanan. (c) Aktivitas antibakteri
cairan selom setelah hari ke-25 penyimpanan.
Kontraksi antar permukaan pelarut-protein disebabkan oleh meningkatnya potensial
kimia, disertai oleh peluncuran air dari dalam protein sebagai akibat dari naiknya nilai
densiti inti. Aditif bisa menurunkan volume bagian dalam protein. Reduksi volume
diduga bisa menghasilkan tekanan osmisis. Kuatnya osmosis tergantung pada ukuran
molekul dan konsentrasi osmolit. Hubungan energi bebas dengan perubahan volum dapat
dijelaskan sebagai :
ΔG = 0,234 x ΔV x P1/2
Dimana ΔG = kal.mol-1, ΔV = mL.mol-1, dan P1/2 = MPa.
Kecepatan induksi-tekanan unfolding lebih lambat dengan adanya gliserol dibanding
kecepatan pelipatan ulang yaitu menjadi 1,5x lebih lama dari refolding, walaupun
kecepatan keduanya sama-sama lebih lambat dibanding jika tidak memakai penstabil
protein. Ini artinya gliserol meningkatkan stabilitas struktur keseluruhan protein.
3 Penyimpanan cairan selom di –20oC
Penyimpanan cairan selom pada suhu –20oC bisa mempertahankan aktivitas protein
antibakteri sampai lebih dari tiga bulan (107 hari). Pengujian aktivitas antibakteri
dilakukan secara bertahap. Pada satu hari penyimpanan, cairan selom memperlihatkan
aktivitas inhibisi terhadap bakteri sebanyak 98%, dan setelah disimpan 69 hari, aktivitas
enzim masih bagus yaitu bisa menghambat pertumbuhan B. megaterium sebanyak 72,3%.
Walaupun terjadi penurunan aktivitas antibakteri, tetapi uji kualitatif protein masih
menunjukan daerah bening disekitar kertas cakram pada hari ke 87 dan 107 masa
penyimpanan. Lebar daerah bening semakin berkurang dengan semakin lamanya
penyimpanan (Gambar 3). Penurunan kekuatan aktivitas antibakterini ini disebabkan oleh
berkurangnya kadar protein akibat degradasi. Pengukuran kadar protein cairan selom
yang sama setelah berselang 35 hari membuktikan turunnya kadar protein dalam cairan
selom dari 22,475 mg/mL menjadi 15,624 mg/mL. Hari ke 138 penyimpanan cairan
selom disuhu –20oC protein sudah tidak memiliki aktivitas antibakteri lagi, dimana
pertumbuhan bakteri dikultur yang mengandung cairan selom sama dengan laju
pertumbuhan bakteri kontrol negatif. Penurunan aktivitas antibakteri ini disebabkan oleh
kerja enzim protease yang terdapat di dalam cairan selom yang tetap bekerja dalam suhu
rendah tetapi dengan kecepatan yang rendah juga.
a)
b)
c)
Gambar 3 Zona inhibisi cairan selom. (a) Setelah penyimpanan selama 87 hari pada
suhu -20oC. (b) Setelah penyimpanan selama 107 hari pada suhu -20oC.
6.3 Pemisahan protein dengan kolom DEAE-sefarosa
Cairan selom yang memiliki aktivitas antibakteri disaring dengan filter berukuran 0,45
m dan dimurnikan dengan kolom DEAE-agarosa. Gradien elusi oleh bufer garam NaCl
diatur sedemikian rupa sehingga dihasilkan dua puncak terpisah yang cukup tajam
(Gambar 4). Fraksi ditampung secara selektif dan pengujian kualitatif (zona bening)
membuktikan bahwa puncak pertama memiliki aktivitas antibakteri sementara puncak
kedua tidak memiliki aktivitas antibakteri.
Gambar 4. Pemurnian cairan selom dengan kolom DEAE-sefarosa.
Hasil uji antibakteri cairan selom fraksi puncak I menunjukkan peningkatan inhibisi
pertumbuhan B. Megaterium. Pada satu jam pertama pertumbuhan bakteri dihambat
88,6% dan pada dua jam berikutnya terjadi penurunan pertumbuhan bakteri mendekati
nol (inhibisi 100%). Uji kualitatif menunjukan daerah bening yang cukup tajam pada
daerah sekitar kertas cakram yang membuktikan aktivitas cairan selom dari tingkat
pemurnian dengan DEAE cukup bagus.
BAB VII. KESIMPULAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa aktivitas antibakteri Cairan Selom cacing
P.excavatus dapat bertahan lama (3 bulan) bila disimpan disuhu -20oC dan 13 hari di
suhu 4 oC dengan penambahan gliserol 10%.
Kromatografi penukar anion (DEAE-agarosa) dapat memisahkan molekul anti bakteri
dengan molekul yang bukan antibakteri. Pemisahan ini merupakan awal dari tahap
pemurnian protein antibakteri selanjutnya.