Paradigma Baru Penatalaksanaan Sirosis Hati.

InnaEaruda
llotelYugyakarta

"' ' '''l$'-zfi'Mei
1nn
" "

......'..o.....nu.

'ir

'l
"

,,,'

Editdi:
SltiNurdianah
FufutBayupurnamn

'Fenerbit:

SuhBagirngr*t.oenterohepatnlngi
Bekerjasama
dengan
PETKI
FressYogyakarta
t
,t,

1

PARADIGMA BARU PENATALAKSANAAN SIROSIS HATI
Muhammad Begawan Bestari
Divisi Gastroenterohepatologi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK Unpad / RS dr. Hasan Sadikin Bandung

PENDAHULUAN
Sirosis hati didefinisikan dalam histologi sebagai bridging fibrosis – suatu
stadium lanjut fibrosis hati – yang mengakibatkan kekacauan arsitektur dan nodulnodul regeneratif hati. Sirosis hati dianggap stadium akhir dari beragam penyakit
hati kronis, dan bersifat ireversibel dalam stadium lanjutnya. Sirosis ditandai oleh

harapan hidup yang buruk dan merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas. Di Amerika sirosis hati merupakan penyebab paling umum ke 12 dari
kematian (9,5 individu per 100.000 individu), sementara di Itali, insiden sirosis hati
lebih dari 26 000 kasus baru setiap tahun, disertai dengan prevalensi lebih dari
120.000 kasus (7000 kasus di bawah usia 45 tahun), serta 20 kematian per 100 000
individu. Angka tersebut bahkan lebih tinggi di Asia dan Afrika.
Sirosis hati membawa risiko komplikasi yang mengancam jiwa, sebagian
akibat jumlah komorbiditasnya. Pengobatan medis yang dapat menghentikan
perkembangan sirosis kompensata menjadi dekompensata masih terus
dikembangkan.. Namun, hingga saat ini transplantasi hati merupakan satu-satunya
pilihan pada subkelompok tertentu pasien penderita penyakit stadium akhir.
Karena prevalensi hepatitis kronis dan steatohepatitis yang makin meningkat
serta adanya evolusi risiko tinggi ke arah sirosis hati dan penyakit hati stadium akhir,
program-program pencegahan dan penatalaksanaan dini kondisi ini dianggap sebagai
persoalan kesehatan yang baru timbul. Sangatlah penting bahwa PCP (primary care
physicians/ dokter puskesmas/dokter umum) secara optimal terlatih dalam
mengidentifikasi penderita penyakit hati kronis sedini mungkin, dan mengelola
sebagaimana mestinya pasien yang mengalami sirosis hati. Karena itu, suatu interaksi
yang erat diperlukan di antara PCP dan dokter-dokter spesialis (yaitu dokter
gastroenterohepatologis dan internis) yang mempunyai peran fundamental sebagai

konsultan dan pemandu pengobatan-pengobatan spesifik, yaitu di dalam kasus
komplikasi dan penatalaksanaan pasien yang mengarah ke transplantasi hati.
Asites
Asites merupakan komplikasi paling umum dan penyebab paling umum dari
perawatan pasien sirosis, tetapi juga merupakan komplikasi yang dapat diobati di
rumah. Hipertensi portal, sintesis albumin yang berkurang, tekanan osmotik plasma
yang menurun, dan retensi sodium, semuanya merupakan faktor penentu. Parasentesis
biasanya menghilangkan cairan transudat (yaitu albumin 1,1). Pasien yang memperlihatkan nyeri abdomen, asites tegang dan

2

demam dapat mengalami peritonitis bakterial spontan (SBP), yaitu suatu kondisi
yang ditandai oleh hitung granulosit asitik 250/mm3. SBP dapat memicu sirosis ke
arah gagal hati dan ginjal.
Terapi mencakup albumin untuk mencegah gagal ginjal dan pemberian
sefoktaksim dosis 2 g intravenus dua kali per hari (LEVEL II). Profilkasis jangka
panjang kekambuhan SBP memakai norfloksasin atau ciprofloksasin diindikasikan
pada pasien yang tetap hidup (LEVEL I).
Asites dianggap refrakter jika tetap persisten meskipun digunakan obat
diuretika pada

dosis yang dapat ditoleransi maksimum. Walaupun beberapa
penelitian mengindikasikan penggunaan bed rest sebagai pengobatan, tidak ada ujiklinik terkontrol yang mendukung praktek ini. Karena itu, pengobatan awal berupa
pembatasan garam makanan (LEVEL I). Terapi dimulai dengan spironolakton pada
dosis mulai dari 100 sampai 400 mg/hari. Furosemid dapat ditambahkan (40-160
mg/hari) jika spironolakton tidak berhasil memperbaiki retensi cairan (LEVEL I).
Berat badan harus dipantau setiap hari dan elektrolit harus sering dipantau. Infus
albumin diperlukan untuk mencegah disfungsi sirkulasi pot-parasentesis sesudah
parasentesis dalam jumlah besar cairan. Pengobatan-pengobatan demikian dapat
ditangani oleh PCP atau pada sistem perawatan yang terintegrasi memakai spesialist
konsultan. Cara preventif mencakup penghindaran NSAID, karena obat-obat ini
meningkatkan retensi sodium. Pada kasus kekambuhan asites atau asites yang
refrakter, sebelum mempertimbangkan pasien untuk dilakukan TIPS (transjugular
intrahepatic portosystemic shunt), parasentesis volume besar bersifat laik dilakukan.
Parasentesis aman dan jarang memicu sindroma hepatorenal (LEVEL II).
Pasien dengan SBP atau asites refrakter mempunyai penyakit lebih lanjut disertai
dengan prognosis lebih jelek, sehingga memerlukan perawatan di RS. Pasien dan
keluarganya harus diberi penyuluhan pentingnya cek berat badan harian, dan merujuk
ketika berat badan bertambah 2-4 kg selama perioda singkat observasi.
HRS (hepatorenal syndrome) merupakan komplikasi yang mengancam jiwa
pada pasien penderita asites refrakter. Diagnosis mencakup kriteria sebagai berikut:

gagal hati kronis lanjut disertai dengan hipertensi portal; kreatinin serum melebihi 1,5
mg/dL atau kreatinin serum 24-jam < 40 mL/menit; tidak ada syok, infeksi bakteri
yang sedang terjadi, atau pemakaian obat nefrotoksik, tidak ada perbaikan yang nyata
pada fungsi ginjal sesudah penghentian diuretika dan pertambahan volume plasma
memakai 1,5 L garam; (kurang dari 500 mg/dL proteinuria dan tidak ada bukti
ultrasonografi adanya uropati obstruktif atau penyakit ginjal parenkimal. Sementara
menunggu transplantasi, pasien penderita HRS, yang sesuai untuk transplantasi, dapat
membaik dengan medikasi, yaitu albumin, terliresin, dan obat-obat vasoaktif atau
TIPS.
Hipertensi portal
Perdarahan variseal aktif menempati lebih kurang sepertiga dari semua
kematian yang terkait dengan sirosis. Langkah-langkah yang terkait dengan
pencegahan dan pengobatan perdarahan variseal mencakup: prediksi pasien berisiko,

3

profilaksis terhadap perdarahan pertama, pengobatan perdarahan aktif, dan
pencegahan perdarahan kembali, dan PCP dapat berperan aktif dalam hal ini. Varises
harus dicek memakai endoskopi bagian atas setiap 2-3 tahun, disertai dengan followup sesudah 2 tahun untuk perdarahan berisiko-rendah atau setiap tahun untuk adanya
perdarahan berisiko-tinggi. Beta bloker non-selective efektif dalam mengurangi risiko

perdarahan dengan cara menurunkan heart rate sebesar 25% (LEVEL I). Endoscopic
band ligation diindikasikan untuk pasien yang rentan pada perdarahan berisiko-tinggi
dan bagi mereka yang telah mengalami perdarahan (LEVEL I). TIPS merupakan
pilihan lain untuk pasien yang sebelumnya mengalami gagal pengobatan (LEVEL II).
Ensefalopati hepatik
Ensefalopati hepatik merupakan suatu komplikasi yang memperlemah pasien
sirosis hepatik dan mencakup suatu spektrum lebar ketidaknormalan neuropsiaktrik
yang potensial reversibel. Kondisi ini diungkapkan sebagai onset disfungsi otak
akibat ketidaknormalan metabolik, yang terjadi sebagai akibat dari gagal hati.
Ensefalopati hepatik terutama disebabkan oleh penurunan clearance neurotoksin
yang berasal dari usus, serta merupakan kondisi yang potensial reversibel yang
berkisar dari mulai perubahan kecil kepribadian sampai koma, disertai dengan
flapping tremor sebagai temuan awal yng sering didapat. PCP harus menyelidiki
gangguan asam-basa dan elektrolit, konstipasi, infeksi, perdarahan gastrointestinal,
dan penggunaan medikasi sedatif tidak tepat. Pengobatan terdiri dari
pengidentifikasian dan koreksi faktor pemicu, membersihkan dan asidifikasi kolon
memakai laktulosa (LEVEL II). Pembatasan protein makanan tidak lagi dianjurkan
karena hal ini akan mempermudah malnutrisi dan timbulnya komplikasi. Kanamisin,
yaitu antibiotika per oral yang diabsorpsi minimal, mempunyai efek antimikroba
pada bakteri usus untuk menurunkan risiko kekambuhan ensefalopati hepatik nyata.

Asam amino berantai-cabang atau flumazenil dapat bersifat efektif dalam
kasus koma. Pasien dapat ditangani di rumah; atau berobat ke rumahsakit bagi
mereka yang tidak responsif sesudah pengobatan 12 jam.
Infeksi
Sepsis menggambarkan suatu faktor risiko mortalitas pada pasien sirosis yang
sering tidak memperlihatkan tanda-tanda dan gejala-gejala infeksi (yaitu tidak adanya
leukositosis atau leukopenia berat atau bahkan tidak ada demam). Pencarian aktif
infeksi penting dikerjakan (kultur, x-ray, parasentesis, dll). Infeksi yang paling
umum menjangkiti traktus urinaria (25%-55%), peritonitis bakterial spontan (10%30%), dan infeksi traktus respirasi (20%). Antibiotika lini pertama mencakup
kuinolon dan sefalosporin (LEVEL III). Perawatan RS diperlukan untuk kondisi
kesehatan umum yang jelek dan/atau timbulnya disfungsi organ.

4

MASALAH-MASALAH SISTEMIK
Malnutrisi
Malnutrisi menggambarkan suatu faktor prognostik negatif untuk sirosis dan
terdiri dari disfungsi otot (muscle wasting), hipoalbuminemia, penurunan resistensi
pada infeksi, dan perdarahan variseal. Penyebab mencakup intake nutrisi per oral
yang buruk, malabsorpsi, penggunaan alkohol saat tersebut, mual kronis, dan rasa

cepat kenyang akibat kompresi abdominal dari asites. Status nutrisi harus dipantau
pada semua pasien sirosis; suplementasi multivitamin sering diindikasikan.
Dukungan nutrisi harus diperuntukkan hanya bagi pasien malnutrisi berat yang
dijadwalkan untuk mendapat transplantasi. Suplementasi oral dengan asam amino
rantai-cabang mempunyai beberapa penggunaan untuk memperbaiki survival bebaspenyakit pada penderita sirosis hati dekompensata. Perawatan gigi terutama penting
untuk kemampuan mengunyah yang adekuat.
Osteoporosis
Pada penderita penyakit hati kronis, penyakit tulang metabolik (osteodistrofi
hepatik), merupakan komplikasi potensial penyakit hati yang lama. Karena itu,
esensial untuk mencegah timbulnya fraktura pada individu yang mengalami penyakit
hepatik lanjut dan mereka yang telah mengalami transplantasi hati. Pada (level
penelitian : C) akhir-stadium, defisiensi vitamin D, hipotiroidisme, dan
hipogonadisme menunjang penurunan pembentukan tulang. Osteopenia dapat terjadi
pada pasien penderita kholestasis atau pada mereka yang memakai obat-obat
antivirus. Hal ini juga merupakan kasus pada pasien sesudah transplantasi hati
ortotopik. Difosfonat, bersama dengan kalsium dan vitamin D3, efektif dalam
memperbaiki densitas mineral tulang (LEVEL II).
Diabetes
Diabetes dan sirosis terkait satu sama lain, yang pertama terjadi disertai
dengan peningkatan frekuensi pada pasien NASH, hepatitis C atau hemokromatosis.

Pada suatu analisis multivariat, diabetes merupakan faktor negatif independen untuk
evolusi penyakit hati.
Tidak ada penelitian memakai kontrol yang telah dilakukan untuk menguji
manfaat regimen berbeda untuk pasien sirotik dengan diabetes. Diet tetap merupakan
pengobatan lini pertama untuk mengontrol hiperglikemia. Pada kasus gagal diet,
metmorfin umumnya pilihan pertama. Sulfonilurea dapat digunakan, tetapi harus
diingat berisiko hipoglikemia. Glitazon merupakan alternatif baru, walaupun tidak
ada penelitian pada sirosis hati yang telah dilakukan. Pada setiap kasus, obat-obat
antidiabetik tidak diindikasikan pada pasien dekompensata. Insulin menggambarkan
pendekatan terbaik, walaupun hal ini memerlukan pemantauan-diri yang baik
(LEVEL III).

5

PENCEGAHAN
Pencegahan primer
Peran PCP penting untuk persoalan ini. Bentuk yang paling menarik dari
proteksi sirosis hati adalah mencegah atau memperlambat evolusi faktor risiko yang
memicu terjadinya hepatitis-fibrosis. Vaksinasi massal bayi terbukti efektif dalam
mencegah infeksi hepatitis B. Skrining donor darah secara efektif mengurangi

penularan hepatitis B dan C (LEVEL I).
Pencegahan sekunder
Langkah ini bertujuan mencegah timbulnya sirosis pada penderita penyakit
hati kronis dan mencakup pengobatan etiologis hepatitis virus, penghentian alkohol,
phlebotomi pada hemokromatosis, penurunan berat badan dan perbaikan resistensi
insulin pada pasien NASH. Deteksi dini HCC memakai ultrasonografi tiap 6 bulan
dan pengukuran alfa-fetoprotein dapat memungkinkan keberhasilan transplantasi hati
atau pengobatan mini-invasif (LEVEL I).
Pencegahan infeksi
Imunisasi vaksin terhadap hepatitis A dan B, pneumococcus dan influenza
penting dalam mencegah gangguan status umum. Kekambuhan SBP dapat dikurangi
oleh profilaksis antibiotika (400 mg norfoksasin satu kali sehari atau 750 mg
ciporofloksasin satu kali setiap minggu).
KESIMPULAN
Sirosis hati mengalami peningkatan prevalensi diseluruh dunia, seiring
dengan peningkatan difusi infeksi hepatitis virus, dan steatohepatitis metabolik dan
fibrosis. Mengelola pasien sirosis di rumah merupakan tantangan tapi menghemat
biaya, walaupun kebijakan ini memerlukan kerjasama aktif antara PCP dan spesialis,
serta perawat dan staf paramedis.
Daftar Pustaka

AT Blei, J Cordoba. Hepatic Encephalopathy. Am J Gastroenterol 2001; 96(7): 196876.
BA Runyon. Management of Adult Patients with Ascites Due to Cirrhosis: An
Update. Hepatology 2009; 49(6):2087-2107
I Grattagliano, E Ubaldi, L Bonfrate, P Portincasa. Management of liver cirrhosis
between primary care and specialists. World J Gastroenterol 2011; 17(18): 22732282
J D Collier, M Ninkovic , J E Compston. Guidelines on the management of
osteoporosis associated with chronic liver disease. Gut 2002; 50(Suppl I):i1–i9