Penatalaksanaan terkini Artritis Reumatoid dengan paradigma baru Treat-to-Target (T2T).

1

Tinjauan Pustaka
Penatalaksanaan terkini Artritis Reumatoid
dengan paradigma baru Treat-to-Target (T2T)
Putu Gede Surya Wibawa, Gede Kambayana. Program Studi Pendidikan Dokter
Spesialis Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar Bali
Pendahuluan
Artritis Reumatoid (AR) adalah penyakit yang tersebar luas serta
melibatkan semua kelompok ras dan etnik di dunia. Penyakit ini merupakan suatu
penyakit autoimun yang etiologinya belum diketahui dan ditandai oleh sinovitis
erosif simetris yang walaupun terutama mengenai jaringan persendian, disertai
keterlibatan jaringan ektraartikular (1).
Dalam banyak bidang medis, target terapi telah terbukti meningkatkan
keluaran dan menurunkan risiko kerusakan organ.

Dalam perawatan pasien

diabetes, hiperlipidemia, hipertensi, aspek ini telah diadopsi secara luas dalam
praktek klinis, dokter melakukan pemeriksaan laboratorium untuk kolesterol dan
trigleserida, gula darah, dan nilai HbA1c, memeriksa tekanan darah dan

menyesuaikan terapi yang tepat, dan pasien mengetahui nilai dari hal ini dan lebih
peduli akan target terapi. Pengobatan AR telah mengalami perubahan dramatis
dalam 20 tahun terakhir, salah satunya melalui perubahan paradigma yang disebut
rekomendasi ’treat to target’ (T2T). T2T bertujuan meningkatkan keluaran dan
pengurangan risiko kerusakan organ. Dalam RA, kerusakan sendi dan cacat fisik
adalah keluaran utama yang merugikan terkait dengan penurunan kualitas hidup
dan kematian dini (2).
Akhirnya, saat ini remisi tercapai pada sebagian besar pasien dalam
penelitian dan praktek klinis berkat rekomendasi T2T, dan pencapaian cepat
remisi dapat menghentikan kerusakan sendi terlepas dari jenis DMARD, sintetis
atau biologis. Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini adalah untuk meningkatkan
pengelolaan RA dalam praktek klinis, dengan paradigma baru T2T.

2

Batasan
Artritis Reumatoid (AR) adalah merupakan suatu penyakit autoimun
melibatkan semua kelompok ras dan etnik di dunia yang etiologinya belum
diketahui. Ditandai oleh sinovitis erosif simetris yang walaupun terutama
mengenai jaringan persendian, disertai keterlibatan jaringan ektraartikular.

Perjalanan penyakit AR ada 3 macam yaitu monosiklik, polisiklik dan progresif.
Sebagian besar kasus perjalanannya kronik fluktuaktif yang mengakibatkan
keruskan sendi yang progresif, kecacatan dan bahkan kematian dini (1,3-5).
Epidemiologi
Prevalensi dan insiden penyakit ini bervariasi antara populasi satu
dengan lainya, di Amerika Serikat dan beberapa daerah di Eropa prevalensi AR
sekitar 1% pada kaukasia dewasa; Perancis sekitar 0,3%, Inggris dan
Finlandia sekitar 0,8% dan Amerika Serikat 1,1% sedangkan di Cina sekitar
0,28%. Jepang sekitar 1,7% dan India 0,75%. Insiden di Amerika dan Eropa
Utara mencapai 20-50/100000 dan Eropa Selatan hanya 9-24/100000. Di
Indonesia dari hasil survey epidemiologi di Bandungan Jawa Tengah
didapatkan prevalensi AR 0,3 %, sedang di Malang pada penduduk berusia
diatas 40 tahun didapatkan prevalensi AR 0,5 % di daerah Kotamadya dan
0,6% di daerah Kabupaten, sementara di Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 kasus baru AR merupakan 4,1% dari
seluruh kasus baru. Di poliklinik reumatologi RS Hasan Sadikin didapatkan 9%
dari seluruh kasus reumatik baru pada tahun 2000-2002. Wanita 3 kali lebih
sering terkena dibandingkan pria. Dapat mengenai semua usia namun prevalensi
muncul seiring waktu dan lebih tinggi pada perempuan berusia diatas 65 tahun,
dikaitkan faktor hormonal sex yang ikut berperan. (1,5-6)

Etiologi
Penyebab AR belum diketahui dengan pasti, diperkirakan ada 2 faktor
penyebab yaitu: 1). Faktor luar (infeksi, lingkungan) dan 2). Faktor dalam
(genetik, usia, jenis kelamin, dan psikologis). Infeksi virus (Epstein-barr virus,
cytomegalovirus, parvovirus dan rubella virus), bakteri dan mycoplasma

3

diperkirakan sebagai faktor pencetus AR. Faktor lingkungan yang utama adalah
merokok, faktor lain adalah minum alkohol, kopi, status vitamin D, dan status
sosial ekonomi rendah. Faktor genetik adalah 50% risiko terjadinya AR, faktor
genetik seperti produk komplek histokompatibilitas utama kelas II (HLA-DR4)
telah lama diduga berperanan dalam timbulnya penyakit ini, dimana risiko relatif
4:1 untuk menderita penyakit ini pada mereka dengan HLA-DR4. (3-6)
Patogenesis
Patogenesis AR diawali adanya antigen dalam membran sinovial.
Selanjutnya antigen tersebut diproses antigen presenting cells (APC) yang terdiri
dari berbagai jenis sel seperti sel synoviocyte A, sel denritik atau makrofag yang
semuanya mengekspresi determinan HLA-DR pada membran selnya. Antigen
tersebut lalu dilekatkan pada CD4+, suatu subset sel T sehingga terjadi aktivasi

sel. Proses aktivasi CD4+ ini dibantu oleh interleukin-1(IL-1) yang disekresi oleh
monosit dan makrofag. Selanjutnya antigen, determinan, HLA-DR pada
permukaan membran APC dan CD4+ akan membentuk suatu komplek
trimolekular. Komplek antigen trimolekular akan mengekspresi reseptor
interleukin-2 (IL-2) pada permukaan CD4+. Lalu, IL-2 akan mengikatkan diri
pada reseptornya dan menyebabkan mitosis dan proliferasi sel. Proliferasi CD4+
ini akan berlangsung terus selama antigen tetap berada dalam lingkungan tersebut.
Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi berbagai
limfokin seperti A-interferon, TNF ß, IL-3,IL4 GM-CSF serta beberapa mediator
lain yang merangsang makrofag meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan
merangsang terjadinya proliferasi serta aktivasi sel B untuk memproduksi
antibodi. Antibodi yang dihasilkan akan membentuk kompleks imun yang
berdifusi secara bebas kedalam ruang sendi lalu mengendap dan menyebabkan
aktivasi sistem komplemen dan membebaskan komplemen C5a. Komplemen C5a
meningkatkan permeabilitas vaskular, menarik lebih banyak sel PMN yang
memfagositosis kompleks imun tersebut sehingga mengakibatkan degranulasi
mast cells dan pembebasan radikal oksigen, leukotrine, enzim lisosomal,
prostaglandin, collagenase dan stromelysin yang semuanya akan mengakibatkan
inflamasi dan kerusakan jaringan seperti erosi rawan sendi dan tulang.


4

Radikal oksigen menyebabkan terjadinya depolimerisasi hyaluronate
sehingga viskositas cairan sendi menurun, merusak kolagen dan proteoglikan
rawan sendi. Leukotrien LTB4 menyebabkan migrasi dan agregasi kuat neftrofil.
Prostaglandin E2 memiliki efek vasodilator kuat dan merangsang resorpsi tulang
osteoklastik, juga memiliki efek anti inflamasi dengan menghambat sekresi IL-2,
A-interferon.
Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan masuknya sel T kedalam
membran sinovial dan akan merangsang terbentuknya pannus yang merupakan
elemen paling bersifat destruktif pada patogenesis AR. Pannus adalah jaringan
granulasi yang terdiri dari makrofag yang teraktivasi, sel fibroblast yang
berproliferasi dan jaringan mikrovaskular. Sitokin IL-1 dan TNF memainkan
peran penting untuk memicu sel pannus menghasilkan kolagen dan enzim
proteolitik yang merusak tulang rawan secara lokal dan menghambat
pembentukan molekul matrik baru. Dua sitokin tersebut bersama IL-6 juga
berperan dalam dimineralization dari tulang yang berperan dalam aktivasi
osteoklast yang berakumulasi pada daerah lokal resorpsi tulang. Pannus akan
menginvasi jaringan kolagen dan proteoglikan rawan sendi serta tulang sehingga
mengancurkan struktur persendian. Bila proses pembentukan pannus ini tidak

terhenti baik oleh karena pengobatan atau remisi spontan, maka akan terjadi
ankilosis dan juga peningkatan ekspresi intracellular adhesion molecule-1
(ICAM-1) yang merupakan tempat perlekatan sel mononukleus pada endotel
mikrovaskular, yang mengakibatkan peningkatan adhesi sel mononukleus pada
endotel kapiler.
Peristiwa tersebut menunjukan bahwa pengenalan antigen AR terjadi
setelah subset sel T tersebut meninggalkan thymus. Terdapatnya reseptor MHC
Class II seperti HLA-DR,DQ dan DP pada permukaan sel T bersama dengan
adanya very late antigen type 1(VLA-1) menunjukan bahwa aktivasi dan
proliferasi sel T terjadi secara lokal. Sehingga disimpulkan bahwa aktivasi sel T
mungkin dicetuskan oleh suatu antigen yang tidak diketahui, APC atau komplek
peptida trimolekuler dalam ruang sendi yang mengakibatkan terjadinya sinovitis
pada AR.

5

Rantai peristiwa imunologis ini umumnya akan terhenti bila antigen
penyebab dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada AR,
antigen atau komponennya umumnya akan menetap pada struktur persendian
sehingga proses dekstruksi sendi akan terus berlangsung. Hal ini terjadi juga

karena terbentuknya faktor reumatoid, Faktor reumatoid adalah autoantibodi
klasik dalam radang sendi. IgM dan IgA faktor reumatoid adalah penanda patogen
kunci yang ditunjukan terhadap fragmen Fc IgG. Jenis antibodi tambahan (dan
semakin penting) yang ditujukan against citrullinated peptides (ACPA). Meskipun
sebagian besar, tapi tidak semua, pasien dengan ACPA positif juga positif untuk
faktor reumatoid, ACPA tampak lebih spesifik dan sensitif untuk diagnosis AR
dan tampak menjadi prediktor yang lebih baik terhadap prognosis yang buruk
seperti kerusakan sendi yang progresif. 50-80% dari individu dengan AR
memiliki faktor reumatoid, ACPA, atau keduanya. Bagaimanapun suatu
imunoglobulin dapat berubah sifatnya menjadi antigen, hal ini belum
dapatditerangkan dengan jelas. Faktor reumatoid juga dapat berikatan dengan
komplemen atau mengalami agregasi sendiri, sehingga proses peradangan akan
terus berlanjut. Terbentuknya autoantibodi terhadap colagen type II baik yang
bersifat native ataupun yang telah mengalami denaturasi dapat pula mengekalkan
terjadinya peradangan dengan mekanisme yang sama. Pentingnya peran sel
limfosit B pada proses inflamasi kronik telah dibuktikan melalui observasi terapi
dengan antibodi monoklonal terhadap marker sel B, CD 20, menyebabkan deplesi
yang cepat dari limfosit B, penurunan titer serum faktor reumatoid, dan perbaikan
parsial tanda dan gejala peradangan. (3,5,6)
Manifestasi klinis

Ciri khas gejala klinis AR adalah poliartritis kronis yang mengakibatkan
terjadinya kerusakan pada rawan sendi dan tualng disekitarnya. Kerusakan ini
terutama mengenai sendi perifer pada tangan dan kaki yang umumnya bersifat
simetris. Gejala klinis umumnya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu
atau bulan. Sering pada keadaan awal tidak menunjukkan tanda yang jelas.
Keluhan tersebut dapat berupa manifestasi umum, manifestasi artikuler dan
manifestasi ekstraartikuler.

6

Manifestasi umum. Sebagian besar pasien dengan keluhan konstitusional berupa
perasaan badan lemah, mudah lelah, nafsu makan menurun, penurunan berat
badan. Meskipun demam bisa sampai 40 o C, namun demam > 38OC jarang dan
kemungkinan ada infeksi.
Manifestasi Artikuler. Meskipun inflamasi dapat mengenai setiap sendi
diartrosis. Namun, paling sering mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi
pergelangan tangan, lutut dan kaki. Sendi lainnya juga dapat terkena seperti sendi
siku, bahu sterno-klavikula, panggul, pergelangan kaki. Kelainan pada tulang
belakang terbatas pada leher. Keluhan sering berupa kaku sendi pagi hari,
pembengkakan dan nyeri sendi. Lamanya kaku sendi pagi hari mencerminkan

beratnya penyakit. Keluhan nyeri dan kekakuan akan meningkat sejalan dengan
beratnya keadaan dan diikuti dengan hambatan untuk jalan, naik tangga,
membuka pintu dan lainnya. Kelainan fisik awal khas terlihat jari berbentuk
fusiform akibat pembengkakan sendi interphalangeal proksimal yang simetris.
Jarang mengenai interphalangeal distal. Juga bersama pembengkakan simetris
metakarpophalangeal. Akibat kelemahan jaringan lunak terjadi deformitas bentuk
leher angsa (swan neck deformity) atau “boutonniere deformity”. Keadaan ini
menyebabkan kemampuan memegang dan menggenggam berkurang. Pada
pergelangan tangan, kelainan bervariasi dapat berupa pembengkakan sinovium,
hambatan gerakan, sindrom “carpal tunnel” atau atropi otot tenar. Kelainan pada
kaki mirip pada tangan.
Manifestasi Ekstraartikuler. AR merupakan penyakit sistemik dengan
manifestasi ekstraartikular yang beragam. Sekitar 40% pasien dengan manifestasi
ekstraartikular, dimana 15% adalah berat. 1).Kulit. Nodul reumatoid, mengenai
20-30% pasien AR. Jarang di Indonesia, namun di barat merupakan tanda AR
yang patognomonik. Terutama didapatkan pada daerah yang menerima tekanan,
seperti olekranon, permukaan ekstensor lengan dan tendon achilles. Nodul ini
selalu mencerminkan keadaan AR yang progresif dan destruktif. Pada beberapa
pasien, terapi dengan metotrexate dapat meningkatkan jumlah nodul secara
dramatis; 2) Mata. Kelainan mata 2,7 s/d ≤ 4,1


Tinggi

> 5,1

> 4,1

Kriteria AR menurut ACR 1987 dikatakan dalam remisi klinis apabila :
1. Lama keluhan kaku sendi tidak lebih dari 15 menit
2. Tanpa keluhan kelelahan
3. Tanpa keluhan nyeri sendi
4. Tanpa adanya tenderness atau nyeri gerak sendi
5. Tanpa ada pembengkakan jaringan sekitar sendi
6. LED (cara Westergren) kurang dari 20 mm pada pria dan kurang dari 30
mm pada wanita
Disebut remisi bila memenuhi 5 atau lebih kriteria diatas dan berlangsung selama
2 bulan atau lebih secara terus-menerus (1,20).
Daftar pustaka
1. Rekomendasi


Perhimpunan

Reumatologi

Indonesia.

Diagnosis

dan

pengelolaan Artritis Reumatoid. Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI/RSCM Jakarta Pusat 2014:pp 1-22

24

2. Smolen Josef S, Aletaha Daniel, Bijlsma Johannes W J, Breedveld Ferdinand
C, Boumpas Dimitrios, Burmester Gerd et al. Treating rheumatoid arthritis to
target: recommendations of an international task force. Ann Rheum Dis
2010;69:631–637
3. Daud Rizasyah. Artritis Reumatoid. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5.
Jakarta: Internal Publishing 2010;pp.1184-1191
4. Hellmann David B., Imboden John B. Rheumatoid Arthritis In Current
Medical Diagnosis and Treatment 52nd Edition. New York:The McGraw-Hill
Companies, Inc 2013;pp.826-831
5. Longo Dan L, Kasper Dennis L, Jameson J. Larry, et al. Rheumatoid Arthritis
in Harrison’s Principles of Internal Medicine 18th edition. New York:The
McGraw-Hill Companies, Inc 2012; pp.314
6. Scott David L, Wolfe Frederick, Huizinga Tom W J. Rheumatoid arthritis.
Lancet 2010; 376: 1094–1108
7. Barnabe Cheryl, Xiong Juan, Pope Janet E., Boire Gilles, Hitchon Carol,
Haraoui Boulos, Thorne J. Carter, et al. Factors associated with time to
diagnosis in early rheumatoid arthritis. Rheumatol Int 2014;34:85–92
8. Smolen Josef S, Landewé Robert, Breedveld Ferdinand C, Buch Maya,
Burmester Gerd, Dougados Maxime, et al. EULAR recommendations for the
management of rheumatoid arthritis with synthetic and biological diseasemodifying antirheumatic drugs: 2013 update. Ann Rheum Dis 2013;0:1–18
9. Smolen Josef S, Breedveld Ferdinand C, Burmester Gerd R, Bykerk Vivian,
Dougados Maxime, Emery Paul et al. Treating rheumatoid arthritis to target:
2014 update of the recommendations of an international task force. Ann
Rheum Dis 2015;0:1–13
10. Schoels Monika, Knevel Rachel, Aletaha Daniel, Bijlsma Johannes W J,
Breedveld Ferdinand C, Boumpas Dimitrios T, Gerd Burmeste, et al. Evidence
for treating rheumatoid arthritis to target: results of a systematic literature
search. Ann Rheum Dis 2010;69:638–643
11. Wit M P T de , Smolen J S , Gossec L , Heijde D M F M van der.
Treating

rheumatoid

arthritis

to

target:

the

patient

version of the

25

international

recommendations.

Ann

Rheum

Dis

2011

doi:

10.1136/ard.2010.146662
12. Haraoui Boulos, Smolen Josef S, Aletaha Daniel, Breedveld Ferdinand C,
Burmester Gerd, Codreanu Catalin , et al. Treating Rheumatoid Arthritis to
Target: multinational recommendations assessment questionnaire. Ann Rheum
Dis 2011. doi:10.1136/ard.2011.154179
13. Ruderman Eric M., Nola Kamala M., Ferrell Stanley, Sapir Tamar, Cameron
Davecia R .Incorporating the Treat-to-Target concept in Rheumatoid Arthritis.
JMCP 2012; 18(9): 1-17
14. Harrold Leslie R, Reed George W, Harrington J Timothy, Barr Christine J,
Saunders Katherine C, Gibofsk Allan. The rheumatoid arthritis treat-to-target
trial: a cluster randomized trial within the Corrona rheumatology network.
BMC Musculoskeletal Disorders 2014,15:389
15. Marloes Vermeer, Hillechiena H Kuper, Hein J Bernelot Moens, Monique
Hoekstra, Marcel D Posthumus, Piet LCM van Rie. Adherence to a treat-totarget strategy in early rheumatoid arthritis: results of the DREAM remission
induction cohort. Arthritis Research & Therapy 2012,14:R254
16. Bingham Clifton, Ruffing Victoria. Rheumatoid Arthritis Treatment. 2014.
site by: www.hopkins-arthritis.org
17. Harrold Leslie R, Reed George W, Barr Christine J, Saunders Katherine C,
Gibofsky Allan, Jeffrey Greenberg D, et al. The rheumatoid arthritis treat-totarget trial: a cluster randomized trial within the Corrona rheumatology
network. BMC Musculoskeletal Disorders 2014, 15:389 doi:10.1186/14712474-15-389
18. Saeki Yukihiko, Matsui Toshihiro, Saisho Koichiro, Tohma Shigeto. Current
treatments of rheumatoid arthritis: from the ‘NinJa’ registry. Expert Rev. Clin.
Immunol 2012;8(5):455–465
19. Duru N, Goes M C van der, Jacobs J W G, T Andrews, Boers M, Buttgereit F,
Caeyers N, Cutolo M, et al. EULAR evidence-based and consensus-based
recommendations on the management of medium to high-dose glucocorticoid
therapy in rheumatic diseases. Ann Rheum Dis 2013;0:1–9

26

20. Lipsky Peter E. Rheumatoid Arthritis in Harrison’s Rheumatology second
edition. New York:The McGraw-Hill Companies, Inc 2010; pp.94