Gambaran Perubahan Fisiologis Sistem Gastrointestinal : Konstipasi pada Pasien Stroke yang Immobilisasi di RSUP H. Adam Malik Medan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

1. Stroke

  1.1. Defenisi Stroke Stroke adalah sindrom klinik yang diawali dengan timbulnya mendadak progressif cepat berupa defisit neurologis fokal ataupun global yang berlangsung 24 jam lebih yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak neotraumatik (Batticaca, 2008). Stroke merupakan penyakit serebrovaskuler (pembuluh darah otak) karena kematian jaringan otak (infark serebral) penyebabnya adalah berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak dikarenakan adanya sumbatan, penyempitan atau pecahnya pembuluh darah (Pudiastuti, 2011).

  1.2. Klasifikasi Stroke Stroke dibagi menjadi 2 yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik (Pudiastuti, 2011).

  1.2.1. Stroke Iskemik Stroke iskemik merupakan aliran darah ke otak terhenti karena atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh darah

  ateroskelorosis

  melalui proses aterosklerosis (Pudiastuti, 2011). Stroke iskemik terjadi bila karena suatu sebab suplai darah ke otak terhambat atau terhenti. Walaupun berat otak hanya sekitar 1.400 gram, namun menuntut suplai darah yang relatif sangat besar yaitu sekitar 20% dari seluruh curah jantung (Junaidi, 2011). Menurut Pudiastuti (2011), menyatakan stroke iskemik mempunyai klasifikasi seperti:

  9

  9

  1. Transient Ischemic Neurologic (TIA) Bentuk gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak akan menghilang dalam waktu 24 jam.

  2. Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND) Gejala neurologis yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih lama dari 24 jam, tetapi tidak lebih dari seminggu.

  3. Progressing stroke atau stroke in evolution Kelainan atau deficit neurologi berlangsung secara bertahap dari yang ringan sampai menjadi berat.

  4. Completed stroke Kelainan neurologis sudah lengkap menetap dan tidak berkembang lagi.

  1.2.2. Stroke Hemoragik Stroke hemoragik merupakan penyakit gangguan fungsional otak akut fokal maupun global akibat terhambatnya aliran darah ke otak yang disebabkan oleh perdarahan suatu arteri serebralis. Darah yang keluar dari pembuluh darah dapat masuk ke dalam jaringan otak, sehingga terjadi hematom (Junaidi, 2011).

  Kejadian stroke hemoragik sekitar 25-30% dari total kejadian stroke. Walaupun kejadian stroke hemoragik tidak besar, tetapi stroke hemoragik sering mengakibatkan kematian, umumnya sekitar 50% kasus berujung pada kematian. Menurut Junaidi (2011), stroke hemoragik dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:

  1. Perdarahan intraserebral (PIS); diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah intraserebral sehingga darah keluar dari pembuluh darah dan kemudian masuk ke dalam jaringan otak.

  2. Perdarahan Subarakhnoid (PSA); masuknya darah ke ruang subarakhnoid baik dari tempat lain (perdarahan subarakhnoid sekunder) atau sumber perdarahan berasal dari rongga subarakhnoid itu sendiri (perdarahan subarakhnoid primer).

1.3. Gejala Klinis Stroke

  Gejala klinis yang timbul akibat gangguan peredaran darah otak bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokalisasinya (Ginsberg, 2007).

  Gejala klinis dari stroke dibedakan atas: 1. Stroke Iskemik

  Gejala utama stroke iskemik akibat trombosis serebri adalah timbulnya defisit neurologik secara mendadak, didahului gejala prodromal, terjadi pada waktu istirahat atau bangun pagi dan kesadaran biasanya tidak menurun. Biasanya terjadi pada usia diatas 50 tahun. Pada punksi lumbal, liquor serebrospinalis jernih, tekanan normal, dan eritrosit kurang dari 500. Pemeriksaan CT Scan dapat dilihat adanya daerah hipodens yang menunjukkan infark/iskemik dan edema (Aliah dkk, 2007). Gejala stroke iskemik yang dikemukakan oleh Aliah dkk (2007) dikelompokkan berdasarkan bagian yang terserang, sebagai berikut:

  a. Gejala yang disebabkan terserangnya sistem karotis: i) Gangguan penglihatan pada satu mata tanpa disertai rasa nyeri. ii) Kelumpuhan lengan, tungkai, atau keduanya pada sisi yang sama. iii) Defisit motorik dan sensorik pada wajah. Wajah dan lengan atau tungkai saja secara unilateral. iv) Kesulitan untuk berbahasa, sulit mengerti atau berbicara. Pemakaian kata- kata yang salah atau diubah.

  b. Gejala yang disebabkan oleh terserangnya sistem vertebrobasilaris: i) Vertigo dengan atau tanpa nausea dan atau muntah, terutama bila disertai dengan diplopia, disfagi atau disartri. ii) Mendadak tidak stabil. iii) Gangguan visual, motorik, sensorik, unilateral atau bilateral. iv) Hemianopsia homonim v) Serangan drop atau drop attack.

  2. Stroke Hemoragik Gejala klinis penderita stroke hemoragik dapat dikelompokkan berdasarkan jenis stroke hemoragik, seperti yang dikemukakan oleh Junaidi (2011) sebagai berikut: a.

  Gejala klinis PIS: i) Sakit kepala, muntah, pusing vertigo, gangguan kesadaran ii) Gangguan fungsi tubuh (defisit neurologis), tergantung pada lokasi perdarah, bila perdarahan ke kapsula interna (perdarahan kapsuler), maka ditemukan hemipaarese kontralateral, hemiplegic dan koma (bila perdarahan luas) sedangkan perdarahan luas/masif otak kecil/ serebelum (perdarahan serebeler) maka akan ditemukan ataksia serebelum (gangguan koordinasi), nyeri kepala di oksipital, vertigo, nistagmus dan disartri.

  b.

  Gejala klinis PSA: i) Sakit kepala mendadak dan hebat dimulai dari leher ii) Nausea dan vomiting (mual dan muntah) iii) Fotofobia (mudah silau) iv) Paresis saraf okulomotorius, pupil anisokor, perdarahan retina pada funduskopi v) Gangguan otonom (suhu tubuh dan tekanan darah naik) vi) Kaku leher (meningismus), bila pasien masih sadar vii) Gangguan kesadaran berupa rasa kantuk (somnolen) sampai kesadaran hilang (koma) c. Gejala klinis PSA yang disertai dengan hematom intraserebral: i) Lumpuh satu sisi (hemiparesis) ii) Gangguan bicara (afasia) iii) Kelumpuhan otot mata (paresis okulomotorius) iv) Lapang pandang menyempit (hemianopsia) v) Kejang epileptik

1.4. Komplikasi Stroke

  Brunner & Suddarth (2002), mengemukakan bahwa serangan stroke tidak berakhir dengan akibat pada otak saja, gangguan emosional dan fisik akibat berbaring lama tanpa dapat bergerak adalah hal yang tidak dapat dihindari. Ada beberapa komplikasi dari penyakit stroke, yaitu:

  1. Hipoksia serebral

  2. Penurunan aliran darah serebral

  3. Embolisme serebral

2. Immobilisasi

  2.1. Defenisi Immobilisasi Immobilisasi ( gangguan mobilisasi fisik ) didefenisikan oleh North American

  Nursing Diagnosis Association ( NANDA ) sebagai suatu keadaan ketika individu mengalami atau berisiko mengalami keterbatasan gerak fisik (Kim et al, 1995). .

  Imobilisasi juga merupakan ketidakmampuan untuk bergerak secara aktif akibat berbagai penyakit atau impairment (gangguan pada alat atau organ tubuh) yang bersifat fisik atau mental. Imobilisasi juga dapat diartikan sebagai suatu keadaan tidak bergerak atau tirah baring yang terus

  • – menerus selama 5 hari atau lebih akibat perubahan fungsi fisiologis (Bariah, 2010).

  2.2. Jenis Immobilisasi Setiati (2014), mengemukakan bahwa jenis immobilisasi terdiri dari:

  a) Immobilisasi Fisik, merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan, seperti pada pasien dengan hemiplegia yang tidak mampu mempertahankan tekanan didaerah paralisis sehingga tidak dapat mengubah posisi tubuhnya untuk mengurangi tekanan.

  b) Immobilisasi Intelektual, merupakan keadaan ketika seseorang mengalami keterbatasan daya pikir, seperti pada pasien yang mengalami kerusakan otak akibat suatu penyakit.

c) Immobilisasi Emosional, merupakan keadaan ketika seseorang mengalami pembatasan secara emosional karena adanya perubahan secara tiba-tiba dalam menyesuaikan diri.

  Contohnya keadaan stres berat dapat disebabkan karena bedah amputasi ketika seseorang mengalami kehilangan bagian anggota tubuh atau kehilangan sesuatu yang paling dicintai.

  d) Immobilisasi Sosial, merupakan keadaan individu yang mengalami hambatan dalam melakukan interaksi sosial karena keadaan penyakitnya sehingga dapat mempengaruhi perannya dalam kehidupan sosial.

2.3. Dampak Immobilisasi

  Potter & Perry (2005), mengatakan ada pengaruh fisiologis yang ditimbulkan oleh keadaan immobilisasi yaitu apabila ada perubahan immobilisasi maka setiap sistem tubuh akan beresiko terjadi gangguan. Tingkat keparahan dari gangguan tersebut tergantung pada umur pasien, dan kondisi kesehatan secara keseluruhan, serta tingkat immobilisasi yang dialami. Ada tujuh perubahan yang terjadi seperti perubahan pada metabolisme tubuh, perubahan sistem respiratori, perubahan kardiovaskuler, perubahan sistem musculoskeletal, perubahan integumen, perubahan eliminasi ( BAB & BAK ) dan perubahan perilaku.

1. Perubahan Metabolik

  Secara umum imobilisasi dapat menggangu metabolisme secara normal, mengingat imobiliasai dapat menyebabkan turunya kecepatan metabolisme dalam tubuh. Hal tersebut dapat dijumpai pada turunya basal metabolisme rate (BMR) yang menyebabkan kurangnya energi untuk perbaikan sel-sel tubuh, sehingga dapat mempengaruhi gangguan oksigenasi sel. Perubahan metabolisme imbolisasi dapat meningkatkan anabolisme menurun dan katabolisme meningkat. Keadaan ini dapat beresiko meningkatkan gangguan metabolisme. Proses imobilisasi juga menyebabkan penurunan eksresi urine dan peningkatan nitrogen. Hal tersebut dapat di temukan pada pasien yang mengalami imobilisasi hari kelima dan keenam, beberapa dampak perubahan metabolisme, dianataranya adalah pengurangan jumlah metabolisme, atropi kelenjar, dan katabolisme protein, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, determinasi tulang, gangguan dalam mengubah zat gizi, dan gangguan gastrointestinal.

2. Perubahan Sistem Respiratori

  Klien pasca operasi dan imobilisasi beresiko tinggi mengalami komplikasi paru-paru. Komplikasi paru-paru yang paling umum adalah atelektasis dan pneumonia hipostatik. Pada atelektasis, bronkiolus menjadi tertutup oleh adanya sekresi dan kolaps alveolus distal dan karena udara yang diabsorbsi, sehingga menghasilkan hipoventilasi. Bronkus utama atau beberapa bronkiolus kecil dapat terkena. Luasnya atelektasis ditentukan oleh bagian yang tertutup. Pneumonia hipostatis adalah peradangan paru-paru akibat statisnya sekresi. Atelektasis dan pneumonia hipostatis, keduanya sama-sama menurunkan oksgenasi, memperlama penyembuhan, dan menambah ketidaknyamanan klien (Long et al, 1993).

  3. Perubahan Sistem Kardiovaskuler Perubahan sistem kardiovaskuler akibat imolibilisasi anatara lain dapat berupa hipotensi ortostastik, meningkatnya beban kerja jantung dan terjadinya pembentukan thrombus, terjadinya hipotensi orstatik dapat disebabkan oleh menurunnya kemampuan saraf otonom. Pada posisi yang tetap lama, refleks neurovascular akan menurun dan menyebabkan vasokontriksi, kemudian darah terkumpul pada vena bagian bawah sehingga aliran darah kesistem sirkulasi pusat terhambat. Meningkatnya beban kerja jantung dapat disebabkan karena imobilisasi dengan posisi horizontal, dalam keadaan normal, darah yang terkumpul pada ekstermitas bawah bergerak dan meningkatkan aliran vena kembali ke jantung dan akhirnya jantung akan meningkat kerjanya. Terjadi thrombus juga disebabkan oleh meningkatnya vena statis yang merupakan hasil penurunan kontraksi muskular sehingga meningkatnya arus balik vena.

4. Perubahan Sistem Muskuloskeletal

  Pengaruh imobilisasi pada sistem musculoskeletal meliputi gangguan mobilisasi permanen. Keterbatasan mobilisasi mempengaruhi otot klien melalui kehilangan daya tahan, penurunan massa otot, atrofi, dan penurunan stabilitas. Pengaruh lain dari keterbatasan mobilisasi yang mempengaruhi sistem skeletal adalah gangguan metabolism kalsium dan gangguan mobilisasi sendi.

  Pengaruh yang terjadi dalam sistem musculoskeletal sebagai dampak imobilisasi adalah sebagai berikut: i)

  Pengaruh Otot Akibat pemecahan protein, klien mengalami kehilangan massa tubuh, yang membentuk sebagian otot. Oleh karena itu, penurunan massa otot tidak mampu mempertahankan aktivitas tanpa peningkatan kelelahan. Massa otot menurun akibat metabolisme dan tidak digunakan. Jika imobilisasi berlanjut dan otot tidak dilatih, maka akan terjadi penurunan massa yang berkelanjutan (Kasper et al, 1993) ii)

  Pengaruh Skelet Imobilisasi menyebabkan dua perubahan terhadap skelet yaitu gangguan metabolisme kalsium dan kelainan sendi. Karena imobilisasi berakibat pada resorpsi tulang, sehingga jaringan tulang menjadi kurang padat, dan terjadi osteoporosis (Holm, 1989). iii)

  Kontraktur Sendi Kontraktur sendi adalah kondisi abnormal dan biasa permanen yang ditandai oleh sendi fleksi dan terfiksasi. Hal disebabkan tidak digunakannya, atrofi, dan pemendekan serat otot. Jika terjadi kontraktur maka sendi tidak dapat mempertahankan rentang gerak dengan penuh (Lahmkuhl et al, 1990).

  5. Perubahan Sistem Integumen Perubahan sistem integument yang terjadi berupa penurunan elastisitas kulit karena menurunnya sirkulasi darah akibat imobilisasi dan terjadi iskemia serta nekrosis jaringan superficial dengan adanya luka dekubitus sebagai tekanan kulit yang kuat dan sirkulasi yang menurun ke jaringan. Dekubitus adalah salah satu penyakit intogenik paling umum dalam dalam perawatan kesehatan dimana berpengaruh terhadap populasi klien khusus lansia yang imobilisasi.

  6. Perubahan Eliminasi Urine Eliminasi urine klien berubah oleh adanya imobilisasi. Pada posisi tegak lurus, urin mengalir keluar dari pelvis ginjal lalu masuk ke dalam ureter dan kandung kemih akibat gaya gravitasi. Ginjal yang membentuk urine harus masuk kedalam kandung kemih melawan gaya gravitasi. Akibat kontraksi peristaltik ureter yang tidak cukup kuat melawan gaya gravitasi. Pelvis ginjal menjadi terisi sebelum urine masuk kedalam ureter. Kondisi ini disebut statis urine dan meningkatkan risiko infeksi saluran perkemihan dan batu ginjal (Potter & Perry, 2005).

  7. Perubahan Perilaku Mobilisasi menyebabkan respons emosional, intelektual, sensori, dan sosiokultural. Perubahan status emosional biasa terjadi bertahap. Bagaimanapun juga lansia lebih rentan terhadap perubahan-perubahan tersebut, sehingga perawat harus mengobservasi lebih dini. Perubahan emosional paling umum adalah depresi, perubahan perilaku, perubahan siklus tidur-bangun, dan gangguan koping

  3. Perubahan Fisiologis Sistem Gastrointestinal

  3.1. Defenisi Sistem Gastrointestinal

  Gastrointestinal ialah suatu kelainan atau penyakit pada jalan makanan/pencernaan. Penyakit Gastrointestinal yang termasuk yaitu kelainan penyakit kerongkongan (eshopagus), lambung (gaster), usus halus (intestinum), usus besar (colon), hati (liver), saluran empedu (traktus biliaris) dan pankreas (Sujono Hadi, 2002).

  3.2. Klasifikasi Sistem Gastrointestinal

  Klasifikasi gastrointestinal dibagi menjadi dua yaitu Gastrointestinal atas seperti gangguan nafsu makan, mual muntah dan Gastronitestinal bawah yaitu konstipasi, diare. Penyakit gangguan gastrointestinal yang termasuk yaitu Gangguan esofagus, gangguan lambung dan usus, neoplasma intestinal dan proses inflamasi, trauma abdomen, gangguan hepatik dan billiaris (Candranata, 2000).

3.3. Patofisiologi Sistem Gastrointestinal

  Proses pencernaan mulai dengan aktivitas mengunyah dimana makanan dipecah kedalam partikel kecil yang dapat ditelan dan dicampur dengan enzim- enzim pencernaan. Makan, atau bahkan melihat, mencium, atau mencicip makanan dapat menyebabkan refleks salivasi. Saliva adalah sekresi pertama yang kontak dengan makanan. Saliva disekresi dalam mulut melalui kelenjar saliva pada kecepatan kira-kira 1,5 L setiap hari. Saliva juga mengandung mukus yang membantu melumasi makanan saat dikunyah, sehingga memudahkan menelan. Dua pusat dalam inti retikularis medula oblongata adalah zona pencetus kemoreseptif yaitu uremia, emesis yang diinduksi oleh obat, emesis karena radiasi dan pusat yang terintegrasi. Jaras eferen muncul dari hampir semua tempat tubuh. Jaras vagal adalah sangat penting, tetapi vagotomi tidak menghilangkan muntah . jaras eferen empatik yang memperantarai muntah berkaitan dengan distensi abdomen.

  Muntah terjadi bila kedua jaras eferen somatik dan viseral menyebabkan penutupan glotis, kontraksi diagfragma mempunyai pilorus dan relaksi lambung diikuti oleh kontraksi peristaltik yang berjalan dari lambung tengah keujung insisura dengan kontraksi abdmen, diagfragma, dan interkosta, muntah berkaitan dengan tanda dan gejala cetusan otonom. Seamua ada kaitan dengan gangguan traktus gastrointestinalis, terutama obstruksi, dengan obstruksi tinngi akut menyebabkan muntah dini. Kekacauan otonom, obat-obatan gangguan psikogenik, dan penelanan bahan-bahan yang berbahaya merupakan menyebab lain yang sering.

  Faktor-faktor yang mengurangi pasokan darah dan penghantar oksigen ke medula (renjatan, oklusi vaskular, peningkatan tekanan intrakranial). Dapat menginduksi emesis. Obat-obat emetik menghasilkan efeknya melalui stimulasi sentral langsung atau dengan iritasi mukosa lambung. Pola muntah mendadak, sering kali proyektil tanpa didahului mual, sangat kuat menunjukkan penyebab sentral. Konsekuensi muntah metabolik, dengan muntah hebat terjadi hipovolemia, hipokalemia, dan alkalosis metabolik serta deplesi natrium total (Chandranata, 2000).

3.4. Manifestasi Klinis

  Menurut Linda Chandranata (2000), manifestasi klinis gastrointestinal yaitu:

  a. Keluhan pada mulut, bau mulut yang tidak sedap, atau rasa tidak enak atau rasa pahit pada mulut, rasa tidak enak pada mulut yang menetap biasanya disebabkan karena keluhan psikhis.

  b. Anoreksia, keluhan nafsu makan menurun dapat ditemukan pada semua penyakit, termasuk juga penyakit saluran makan.

  c. Disfagia, merupakan keluhan yang disebabkan kelainan pada esofagus, yaitu timbulnya kesulitan pada waktu menelan makanan atau cairan. Kesulitan menelan terjadi baik pada bentuk makanan padat maupun cairan, terutama bila terjadi refluks nasa, berarti adanya kelainan saraf (neuromuscular disorder). Kesulitan meneruskan makanan dari mulut kedalam lambung biasanya disebabkan oleh kelainan dalam tenggorokan biasanya infeksi atau tumor di oropharynx, larynx, spasme dari oto cricopharynx. Rasa terhentinya makanan didaerah retrosternal setelah menelan makanan, biasanya disebabkan kelainan dalam esofagus sendiri, yaitu timbulnya regurgitasi, refluks asam, rasa nyeri didada yang intermiten, misalnya pada akhalasia, karsinoma esofagus, spasme yang difus pada esofagus.

  d. Nausea, beberapa rangsangan yang dapat menimbulkan rasa mual, rasa mual diantaranya adalah: rasa nyeri dalam perut, rangsangan labirin, daya ingat yang tak menyenangkan.

  e. Vomitus, timbulnya muntah-muntah sebagai akibat karena kontraksi yang kuat dari antrum dan pilorus dan timbulnya anti peristaltik yang kuat pada antrum dengan disertai relaksasi dari otot-otot spinghter kardia, disusul melebarnya esofagus dan menutupnya glotis.

  f. Nyeri tekan, kekakuan, demam, massa yang dapat diraba, bising usus berubah, perdarahan gastrointestinal, defisit nutrisional, ikterus dan tanda disfungsi hepar.

3.5. Komplikasi Sistem Gastrointestinal

  Menurut Linda Chandranata (2000) komplikasi dari gastrointestinal adalah:

  a. Kanker esofagus, meliputi disfagia,tidak bisa makan dan perasaan penuh di perut adalah tidak jelas dan dapat dihubungkan dengan beberapa kondisi lain.

  Gejala-gejala ini dapat dengan mudah dihubungkan dengan konsumsi tipe makanan tertentu (pedas, gorengan, dll) b. Kanker lambung, rasa tidak nyaman epigastrik, tidak bisa makan dan perasaan gembung setelah makan.. ini adalah gejala semu yang dengan mud ah dikaitkan dengan kegagalan lambung.

  c. Kanker pankreas, penurunan barat badan, ikterik dan nyeri daerah punggung atau epigastrik adalah triad gejala yang umum. d. Kanker hepar, nyeri abdomen yang sangat sakit , tumpul, dan pada kuadran atas kanan, nyeri bersifat terus menerus, mengganggu tidur dan bertambah

4. Konstipasi

  4.1. Defenisi Konstipasi

  Konstipasi merupakan keadaan tertahannya feses (tinja) dalam usus besar pada waktu cukup lama karena adanya kesulitan dalam pengeluaran. Hal ini terjadi akibat tidak adanya gerakan peristaltik pada usus besar sehingga memicu tidak teraturnya buang air besar dan timbul perasaan tidak nyaman pada perut (Akmal, dkk, 2010).

  Konstipasi berarti pelannya pergerakan tinja melalui usus besar dan sering disebabkan oleh sejumlah besar tinja yang kering dan keras pada kolon desenden yang menumpuk karena absorpsi cairan yang berlebihan (Guyton dkk, 2007).

  4.2. Faktor Resiko Terjadinya Konstipasi

  Beberapa faktor resiko terjadinya konstipasi antara lain : 1)

  Usia Pada lansia, masalah konstipasi terjadi lebih sering daripada individu yang lebih muda, hal ini disebabkan pada lansia peristaltic usus menurun. Peristaltik usus yang menurun pada lansia dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain penurunan aktivitas, ketidak cukupan masukan cairan, efek samping pengobatan dan kurang perhatian terhadap isyarat defekasi. Pada lansia juga mengalami penurunan sekresi mucus di usus besar dan penurunan elastisitas dinding rektal (Smeltzer & Bare, 2007).

  2) Aktivitas

  Penurunan aktivitas fisik regular dapat menurunkan tonusitas otot yang diperlukan untuk mengeluarkan feses. Penurunan aktivitas fisik juga dapat menurunkan sirkulasi pada sistem pencernaan sehingga peristaltic usus akan menurun (Carpenito, 1995). Aktivitas yang kurang akan menyebabkan penurunan pada tonus otot dimana hal ini akan menyebabkan penurunan fungsi otot abdominal dan otot pelvis, sehingga akan memperlama pasase feses (Djojoningrat, 2006). 3)

  Intake Cairan Kecukupan masukan cairan sedikitnya 2 liter sehari diperlukan untuk mempertahankan pola usus dan mempertahankan konsistensi feses, apabila intake cairan kurang maka konsistensi feses akan keras (Carpenito, 1995). 4)

  Intake rendah serat Serat yang tidak dicerna akan menyerap air, membantu menembah massa feses dan melunakkan feses sehingga mempercepat pasase intestinal. Keseimbangan diit tinggi serat diperlukan untuk menstimulasi peristaltik usus, selain itu serat juga mempengaruhi konsistensi dari feses dimana diit tinggi serat menjadikan feses menjadi lunak. Makan makanan yang rendah serat dapat menurunkan peristaltik usus, sehingga memperlambat pasase feses (Djojoningrat, 2006).

  5) Gangguan otak, trauma rektal dan anus

  Beberapa kondisi medis seperti gangguan otak dan trauma rektal atau anus dapat menyebabkan abnormalitas dan sfingter anal.

  6) Kebiasaan memakai pencahar

  Pencahar menyebabkan terjadinya ketergantungan pada kolon yang menyebabkan penurunan reflex gastrokolik dan duodenolik (Guyton dkk, 2007). 7)

  Tindakan pembedahan Adanya efek anastesi pada tindakan pembedahan dapat menurunkan tonus otot dan menurunkan peristaltik usus (Mubarak, 2005).

  8) Mengabaikan isyarat untuk defekasi

  Reflek defekasi disebabkan oleh karena defekasi yang sifatnya mendadak dan berkurang selama beberapa menit dan akan timbul lagi setelah beberapa jam.

  Usaha untuk memulai reflek defekasi yang disengaja tidak akan efektif seperti reflek defekasi alami, sehingga tinja kemungkinan akan lebih lama kontak dengan mukosa usus yang menyebabkanfeses semakin lama keras dan membuat feses semakin sulit untuk dikeluarkan (Guyton dkk, 2007)

  9) Penyakit

  Seseorang yang mengalami Stroke akan mengalami kesulitan pasase feses hal ini berhubungan dengan penurunan fungsi dari fungsi otot pelvis (Folden et al, 2002).

4.3. Patofisiologi Konstipasi

  Konstipasi dapat terjadi sebagai akibat menurunnya motilitas kolon atau retensi feses di dalam kolon terbawah atau rektum. Pada kasus tertentu, karena air direabsorbsi di dalam kolon, feses yang lebih lama berada di dalam kolon mengalami reabsorbsi air terbesar dan menjadi kotoran yang keras kemudian kotoran menjadi lebih sulit dikeluarkan dari anus (Long, 1996). Dorongan untuk defekasi secara normal dirangsang oleh distensi rektal, melalui empat tahap kerja yaitu: rengsangan reflex penyakit rektoanal, relaksasi otot sfingter internal, relaksasi sfingter eksternal dan otot dalam region pelvic, serta peningkatan tekanan intra abdomen. Adanya gangguan salah satu dari empat proses ini dapat menimbulkan masalah konstipasi (Smeltzer & Bare, 2007).

4.4. Karakteristik Konstipasi

  Menurut Akmal dkk (2010), karakteristik konstipasi dibagi menjadi dua, yaitu: 1)

  Karakteristik Mayor, antara lain: a.

  Feses keras dan berbentuk seperti pil obat b.

  Defekasi kurang dari tiga kali per minggu 2)

  Karakteristik Minor, antara lain: a.

  Penurunan bising usus b.

  Perasaan penuh pada rektal c. Perasaan tekanan pada rectum d.

  Mengejan dan nyeri pada saat defekasi e. Impaksi yang dapat diraba f. Perasaan pengosongan yang tidak adekuat

  Adapun untuk sembelit kronis ( obstipasi ), gejalanya tidak terlalu berbeda hanya sedikit lebih parah, diantaranya: a. Perut terlihat seperti sedang hamil dan terasa sangat mulas.

  b. Feses sangat keras dan berbentuk bulat-bulat kecil. c. Frekuensi buang air besar dapat mencapai berminggu-minggu.

  d. Tubuh sering terasa panas, lemas, dan berat.

  Menurut NANDA (dalam Herdman, 2012), beberapa karakteristik konstipasi antara lain: 1)

  Nyeri abdomen 2)

  Ketidaknyamanan di perut disertai dengan ketegangan perut yang dapat diraba 3)

  Ketidaknyamanan di perut tanpa disertai dengan ketegangan perut 4)

  Anorexia 5)

  Terdapat darah pada feses 6)

  Perubahan pada pola defekasi 7)

  Penurunan frekuensi defekasi 8)

  Feses kering 9)

  Perut kembung 10)

  Perut Kembung 11)

  Perasaan penuh pada rectum 12)

  Perasaan terdapat adanya tekanan di rectum 13)

  Nausea 14)

  Feses yang keras dan berbentuk 15)

  Teraba adanya massa di perut 16)

  Nyeri pada rectum 17)

  Penurunan peristaltik usus 18)

  Peningkatan tekanan abdominal

  Kriteria konstipasi menurut FGIDs (Functional Gastrointestinal Disorders) : (Song et al, 2013) 1.

  Sindrom Iritasi Usus Sindrom iritasi usus merupakan kelainan fungsional usus kronis berulang dengan nyeri atau rasa tidak nyaman abdomen berkaitan dengan defekasi atau perubahan kebiasaan buang air besar setidaknya selama 3 bulan yaitu: a. Nyeri abdomen merupakan nyeri dirasakan di abdomen dapat berasal dari dalam abdomen, dinding abdomen, atau merupakan nyeri alih dari suatu sumber di luar abdomen, pada tulang belakang atau thorak.

  b.

  Penurunan bising usus Frekuensi bising usus di bawah rentang normal (kurang dari 5 kali per menit).

  Frekuensi normal bising usus berada pada rentang 5-35 kali per menit, tidak terdengar bunyi vaskuler disekitar aorta, ginjal, iliaka atau femoral, apabila terdapat desiran mungkin suatu aneurisma.

  2. Konstipasi Fungsional Konstipasi fungsional merupakan usus dalam kondisi yang sehat tetapi tidak berfungsi dengan baik. Konstipasi fungsional disebabkan waktu perjalanan yang lambat dari feses yang ditandai dengan: Frekuensi buang air besar kurang dari 3 kali dalam seminggu, feses bergumpal, mengedan, rasa tidak puas dan rasa terhalang saat bab.

  3. Mual dan Muntah 4.

  Perut kembung

  Kriteria konstipasi akibat immobilisasi pada pasien stroke menurut ROC (Receiver Operating Characteristic) yang terdiri dari : ( Chan et al, 2005) 1.

  Penurunan Fungsi usus Dampak konstipasi akan menyebabkan penurunan pada fungsi usus seperti: frekuensi buang air besar kurang dari 3 kali dalam seminggu, penurunan bising usus, perasaan tidak tuntas saat bab, mengedan dan rasa tertahan saat ingin buang air besar

  2. Feses dan Anus Feses akan keras, feses bergumpal, warna feses lebih gelap dari pada biasanya, feses yang keluar lebih sedikit, saat buang air besar terasa nyeri pada anus dan rasa terbakar pada anus 3. Abdomen

  Distensi abdomen, nyeri abdomen, perut terasa tidak nyaman, perut terasa penuh dan begah, perut terasa nyeri, perut kembung, perut kram, mual dan muntah serta penurunan nafsu makan karena perut terasa begah.

  4. Penggunaan obat Menggunakan obat-obatan untuk merangsang supaya ada keinginan untuk buang air besar seperti menggunakan obat suplemen yang mengandung serat, menggunakan suppositories, menggunakan laxative dan obat yang lainnya.

  5. Kepuasaan saat BAB Merasa tidak nyaman karena konstipasi dan merasa tidak puas ketika selesai buang air besar.

  4.5. Pengukuran Penilaian Konstipasi

  Menurut Craven. R.F dan Hirnle C.J, (2007), dalam menilai konstipasi pasien yang perlu diperhatikan adalah kriteria-kriteria penilaian konstipasi yaitu:

  1. Distensi abdomen

  2. Keinginan buang air besar

  3. Bising usus meningkat

  4. Frekuensi buang air besar kurang dari 3x dalam seminggu

  5. Perasaan buang air besar ada atau tidak

  6. Feces lunak atau keras Kategori dalam skala konstipasi memiliki 2 kategori dengan menggunakan skala 1-6. Kriteria konstipasi pada skala ini yaitu: 1-3 : konstipasi ringan 4-6 : konstipasi berat

  4.6. Dampak Konstipasi

  Menurut Smeltzer & Bare (2007), konstipasi yang terjadi sesekali mungkin tidak merugikan kesehatan, namun bila konstipasi ini terjadi berulang-ulang dan dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan beberapa komplikasi antara lain: 1)

  Hipertensi anterial Mengejan saat defekasi dapat mengakibatkan pengeluaran nafas dengan kuat dan glotis menutup, sehingga menimbulkan efek pengerutan pada tekanan darah arteri. Selama mengejan aktif, aliran darah vena di dada untuk sementara dihambat akibat peningkatan tekanan intra thorakal. Tekanan ini menimbulkan kolaps pada vena besar di dada. Atrium dan ventrikel menerima sedikit darah dan akibatnya sedikit darah yang dikirimkan melalui kontraksi sistolik dan ventrikel kiri. Curah jantung menurun dan terjadi penurunan sementara dari tekanan arteri. Hampir, segera setelah periode hipotensi, terjadi peningkatan pada tekanan arteri

  2) Impaksi Fekal

  Impaksi fekal terjadi apabila suatu akumulasi massa feses kering tidak dapat dikeluarkan. Massa ini dapat menimbulkan tekanan pada mukosa kolon yang mengakibatkan pembentukan ulkus dan dapat menimbulkan rembesan feses cair yang sering.

  3) Fisura anal

  Fisura anal dapat diakibatkan oleh pasase feses yang keras melalui anus, sehingga merobek lapisan kanal anal.

  4) Hemoroid

  Hemoroid terjadi sebagai akibat kongesti vaskuler perianal yang disebabkan oleh peregangan.

  5) Megakolon

  Massa fekal yang menyumbat pasase isi kolon dapat menyebabkan dilatasi dan atoni kolon (megakolon). Megakolon dapat menimbulkan perofasi usus.

4.7. Managemen Konstipasi

  Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi konstipasi antara lain:

  1) Kebiasaan toileting a.

  Tidak mengabaikan isyarat defekasi Kebiasaan toileting yang teratur harus dilakukan segera saat ada isyarat untuk defekasi b.

  Menyediakan waktu yang teratur untuk defekasi Waktu yang teratur untuk defekasi selalu dilakukan setelah makan atau seseorang dapat memilih waktu sendiri yang rutin untuk defekasi, sehingga kebutuhan defekasi menjadi kebutuhan hidup sehari-hari. Pergerakan feses terjadi lebih cepat kurang lebih 15 menit, satu jam setelah makan, pergerakan feses yang cepat ini juga dipengaruhi oleh reflek dari lambung dan duodenum (Guyton & Hall, 1996).

  2) Posisi upright

  Pengaturan posisi upright diberikan pada individu yang bed rest, seperti pada pasien stroke atau pasien-pasien yang sudah berusia lanjut. Dengan posisi dapat mengurangi ketajaman pada sudut anorektal dan dapat

  upright mempengaruhi pergerakan feses di rektum (Folden et al, 2002).

  3) Kandungan serat dalam makanan

  Makanan yang dikonsumsi sehari-hari sebaiknya mengadung serat 20-35 gr/hari, untuk menjaga fungsi sistem intestinal, agar dapat bekerja dengan normal. Pada klien yang menggunakan feeding tube, kebutuhan akan serat berasal dari kalori dimana 10-15 gr serat terkandung dalam setiap 1000 kalori yang dikonsumsi oleh pasien (Folden et al, 2002). Mengkonsumsi makanan yang tinggi serat dapat membantu menambah massa feses dan menjadikan feses lebih lunak. Serat juga dapat menstimulassi peristaltik usus sehingga pasase feses menjadi lebih mudah (Carpenito, 1995).

  4) Intake Cairan Rata-rata intake cairan sehari-hari untuk usia dewasa adalah 30 ml/kg BB.

  Jumlah minimum cairan yang dikonsumsi sehari-hari 1.500-2.500 ml untuk menjaga konsistensi feses (Folden et al, 2002).

  5) Aktivitas teratur

  Aktivitas fisik yang regular dapat meningkatkan tonusitas otot yang diperlukan untuk pengeluaran feses, selain itu juga dapat meningkatkan sirkulasi pada sistem pencernaan sehingga meningkatkan peristaltik usus dan memudahkan pasase feses (Carpenito, 1995).

  6) Penggunaan laksatif

  Obat-obat laksatif dapat melunakkan feses sehingga pasase feses akan menjadi lebih mudah. Laksatif sebaiknya digunakan dalam waktu yang tidak terlalu lama karena terlalubanyak menggunakan laksatif akan menyebabkan kerusakan pada kolon, hal ini akan memperburuk masalah konstipasi (Tania et al, 2014).

Dokumen yang terkait

Kepatuhan Perawat Dalam Melakukan Tindakan Range Of Motion (ROM) Pada Pasien Post Operasi Fraktur di RSUP Haji Adam Malik Medan

0 0 23

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Kepatuhan Perawat Dalam Melakukan Tindakan Range Of Motion (ROM) Pada Pasien Post Operasi Fraktur di RSUP Haji Adam Malik Medan

0 0 34

Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, telah ditetapkan jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi; b. bahwa jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi

0 0 24

Panduan Ektrakurikuler Wajib Pendidikan Kepramukaan di SD Tahun 2018.pdf

0 0 71

Kepatuhan Perawat Dalam Melakukan Tindakan Range Of Motion (ROM) Pada Pasien Post Operasi Fraktur di RSUP Haji Adam Malik Medan

0 6 14

Tingkat Spiritualitas Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Tanjung Gusta Medan

0 0 46

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Spiritualitas 1.1. Defenisi Spiritualitas - Tingkat Spiritualitas Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Tanjung Gusta Medan

0 0 15

Tingkat Spiritualitas Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Tanjung Gusta Medan

0 0 13

Peran Keluarga Dalam Pemenuhan Kebutuhan Spiritual pada Pasien yang Dirawat di Ruang ICU Rumah Sakit Umum Daerah Dr Pirngadi Medan

0 0 23

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Keluarga 2.2.1 Peran Keluarga - Peran Keluarga Dalam Pemenuhan Kebutuhan Spiritual pada Pasien yang Dirawat di Ruang ICU Rumah Sakit Umum Daerah Dr Pirngadi Medan

0 0 16