Pater Donatus Filsafat India downloaded (1)

BAGIAN PERTAMA

[gambar Shiva, Dewa Tari]

FILSAFAT INDIA

Kronologi

SM

Peristiwa dan Pemikir

2500-1500

Peradaban Indus

1500-1000

Awal mula Veda, bahasa Sanskerta di India; Rig Veda, Atharva Veda

1200-800


Yajur Veda dan Sama Veda; perang Mahabharata

800-400

Upanishad awal (Brihadaranyaka, Chandogya, Taittiriya); Epos
Mahabharata

600-400

Perkembangan Jainisme, (Mahavira); awal mula Buddhisme
(Buddha); Ramayana (bentuk lisan)

500-300

India di bawah Chandra Gupta dan Ashoka; uraian-uraian tertulis
tentang dharma, artha, kama; Yoga Sutra Patanjali, Vedanta Sutra;
Samkhya awal

300 SM-300M


Perkembangan sistem-sistem besar filsafat India: Samkhya, Yoga,
Mimamsa, Vedanta, Nyaya, Vaisheshika, Jainisme, Buddhisme dan
Carvaka

M
300-800

Periode komentar-komentar besar terhadap sistem-sistem filosofis
yang bermacam-macam; Guadapada (500-an); Shankara (700-an);
permulaan Islam (612)

1000-1500

India di bawah pengaruh kekuasaan Muslim; Ibn Sina (981-1037); Al
Ghazali (1059-1111); Ibn Arabi (1165-1240); Perkembangan filsafat
theistis dari Vaishnavisme dan Shaivisme; Ramanuja (1100-an);
Madhva (1200-an); Kabir (1440-1518)

1500-1700


Guru Nanak (1449-1538), pendiri Sikhisme; Akbar (1556-1605);
Shaikh Ahmad (1564-1624)
1

1700-1900

Kolonisasi di bawah kekuasaan Barat; Ram Mohun Roy (1772-1833),
pendiri masyarakat Brahmo; Dayananda Saraswati (1824-1883),
pendiri masyarakat Arya; Ramakrishna (1836-1886)

1850-2000

R. Tagore (1861-1941); Gandhi (1869-1948); Aurobindo Ghose
(1872-1950); Mohammad Iqbal (1877-1938); Sarvepalli
Radhakrishnan (1888-1975); Kemerdekaan India (1947)

2

BAB 1


PERSPEKTIF HISTORIS

Bila kita melihat perkembangan filsafat India dalam kurun waktu tiga ribu tahun yang lalu, kita
dapat membedakan periode yang berbeda dari perkembangan itu, masing-masing dengan corak
khas tertentu. Kita juga dapat melihat satu kesinambungan yang mendasari perkembangan itu,
yang dalamnya ide-ide dasar dan sikap-sikap tertentu tampak dominan. Bab ini menyuguhkan
satu pandangan sekilas tentang perkembangan filsafat India sebagai satu konteks historis untuk
bab-bab yang lebih terperinci berikutnya.

SEKILAS PANDANGAN SEJARAH
Meskipun pemikiran filosofis kritis dan sistematis baru muncul dalam Upanishad dan sistemsistem filosofis yang lebih awal pada abad ke-7 hingga abad ke-5 SM, namun pemikiran reflektif
secara mendalam sudah ditemukan dalam tulisan Rig Veda, yang mungkin sudah disusun pada
masa-masa lebih awal dari tahun 1500 SM. Sejak masa-masa awal itu, India sudah memiliki satu
kekayaan yang luar biasa besar dalam hal visi, spekulasi dan argumen filosofis. Namun sulit
untuk mendekati filsafat India secara kronologis, karena sejarah India pada masa-masa awalnya
penuh dengan ketidakpastian sehubungan dengan nama-nama, tanggal dan tempat. Di India
penekanan begitu banyak diletakkan pada isi pemikiran dan begitu sedikit pada pribadi, tempat
dan waktu, sehingga dalam banyak hal tidak diketahui siapa yang bertanggung jawab terhadap
filsafat tertentu. Dan bila pengarangnya tidak diketahui, maka waktu dan tempat hanya

ditentukan secara tidak langsung. Karena hal itulah, maka waktu kerapkali ditentukan sebaliknya
menurut abad alih-alih tahun atau dekade, dan kepengarangan kadang-kadang ditandai oleh
mazhab alih-alih pribadi individual. Namun tetap mungkin untuk melihat perubahan-perubahan
dalam pemikiran filosofis yang muncul dalam satu urutan historis tertentu. Maksudnya ialah
bukan mustahil untuk melihat masa sebelum dan masa sesudah menyangkut problem-problem
filosofis yang bermacam-macam itu beserta pemecahan-pemecahannya.
Pendekatan historis dilakukan dengan memakai klasifikasi masa-masa yang secara umum
disepakati dalam perkembangan tradisi-tradisi filosofis di India. Masa Veda merentang sekitar
tahun 1500-700 SM. Masa cerita Epos berlangsung antara tahun 800 SM hingga tahun 200 M.
Masa sistem-sistem besar pemikiran filosofis bermula pada abad ke-6 SM dan berlangsung
hingga dewasa ini melalui komentar-komentar terhadapnya. Masa komentar-komentar berawal
sekitar tahun 200 M dan berlanjut hingga sekitar tahun 1700. Masa modern, yang terus
berlangsung hingga kini, bermula sekitar tahun 1800 di bawah pengaruh pemikiran Barat.

3

Masa Veda
Masa Veda dimulai ketika orang-orang yang berbicara bahasa Sanskerta mulai menguasai
kehidupan dan pemikiran sekitar tahun 1500 SM di lembah Indus. Sejarawan biasanya berpikir
bahwa orang-orang yang berbicara bahasa Sanskerta itu menyebut dirinya bangsa Arya, dan

sebagai bangsa penakluk mereka memasuki lembah Indus di India barat daya sekitar 3.500 tahun
lalu. Namun hasil temuan baru para ahli menantang tesis tentang bangsa Arya sebagai bangsa
penakluk. Apa yang kita ketahui ialah bahwa kebudayaan Indus yang lebih awal, yang
berkembang dari tahun 2500-1500 SM dan yang menurut bukti peninggalan arkeologis terbilang
sangat rumit, justru merosot pada saat ini. Kita juga mengetahui bahwa pemikiran Veda dan
kebudayaan yang direfleksikan dalam Rig Veda memiliki satu sejarah yang berkesinambungan
tentang dominasi di India selama 3.500 tahun silam. Boleh jadi bahwa tradisi budaya bangsa
pada masa Veda sudah membaur dengan tradisi dan budaya bangsa Indus, dan apa yang kita
pikirkan sekarang sebagai kebudayaan India mulai membentuk sosoknya dari sekitar tahun 1500
SM dan seterusnya.
Tulisan Veda yang paling awal disusun antara tahun 1500 dan 700 SM. Meskipun tulisan itu
pertama-tama berkaitan dengan praktik-praktik religius, tetapi sesewaktu muncul ikhtiar reflektif
ketika para pemikir Veda mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang diri mereka, tentang dunia
di sekitar mereka, dan tentang tempat mereka di dalamnya. Apa yang dipikirkan? Apa
sumbernya? Mengapa angin bertiup? Siapa meletakkan matahari – pemberi terang dan
kehangatan – di langit? Bagaimana terjadi bahwa bumi menghasilkan bentuk-bentuk kehidupan
yang tak terbilang banyaknya? Bagaimana kita membarui eksistensi kita dan menjadi utuh?
Pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana, apa dan mengapa merupakan awal mula pertanyaan
filosofis. Mula-mula para pemikir mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dalam arti
pelaku yang manusiawi dengan mengasalkan peristiwa-peristiwa alam pada para dewa yang

digagas sebagai pribadi-pribadi adi-insani. Hal ini cenderung memberanikan orang untuk
berpikir lebih religius daripada filosofis. Namun daya pikir yang bersifat meneliti segala sesuatu
mendorong usaha lebih lanjut untuk menyelidiki siapa para dewa itu dan apa di balik keberadaan
mereka. Karena semata-mata tidak puas dengan menerima tujuan hidup yang tradisional, para
pemikir itu lalu berupaya untuk mengerti apa sebetulnya kebaikan tertinggi dan bagaimana hal
ini dapat dicapai. Mereka meneliti kodrat pengetahuan dan alam pikiran manusia. Cara berpikir
seperti ini dalam Veda justru menandai awal mula filsafat India.
Teks-teks utama pada masa Veda adalah Rig Veda, Sama Veda, Yajur Veda dan Atharva Veda.
Masing-masing Veda memiliki empat bagian. Bagian pertama, yaitu kumpulan ayat-ayat yang
disebut Samhita, memuat himne untuk para dewa, pertanyaan-pertanyaan dan refleksi-refleksi,
nyanyian-nyanyian serta rumusan-rumusan untuk hidup sukses. Bagian kedua yang disebut
Brahmana terdiri dari susunan-susunan ayat samhita untuk kepentingan ritual. Bagian ketiga
yang disebut Aranyaka termuat refleksi dan tafsiran terhadap upacara-upacara ritual. Bagian
terakhir yang disebut Upanishad berisikan refleksi tentang persoalan-persoalan utama yang
mendasari pemikiran dan praktik religius.
Secara filosofis Upanishad merupakan teks-teks Veda yang paling penting, karena teks-teks itu
memuat pertanyaan-pertanyaan yang paling mendalam tentang arti hidup. Tiga visi agung
tentang hidup yang diwartakan oleh para bijak Upanishad, yang sebagian besar tidak diketahui
para pemikir Veda yang lebih awal, telah membentuk pemahaman diri bangsa India selama tiga
4


ribu tahun silam. Visi pertama, diri (self) yang paling dalam, yaitu Atman, adalah satu dengan
realitas tertinggi, yaitu Brahman. Kedua, karena hidup dipimpin oleh karma, maka kita dapat
menjadi baik hanya dengan melakukan tindakan-tindakan yang baik. Ketiga, hanya pengetahuan
meditatif yang membebaskan kita dari lingkaran kematian dan penderitaan.

Masa Cerita Epos
Kebijaksanaan tulisan Veda merupakan bagian dari satu tradisi suci yang dijaga secara cermat,
tradisi yang kerapkali tidak tersedia untuk kebanyakan anggota masyarakat, atau kalau pun
tersedia hal itu pun melampaui daya pengertian mereka. Untuk mengimbangi hal ini, muncul
folklor yang dituang dalam cerita-cerita dan syair-syair untuk menyalurkan banyak hal dari citacita tradisi suci itu kepada kebanyakan anggota masyarakat. Dua kumpulan yang paling terkenal
dari bahan-bahan itu yang membangun sastra tulisan ini adalah duet cerita epos besar India, yaitu
Mahabharata dan Ramayana.
Mahabharata adalah satu cerita epos yang mengisahkan penaklukan negeri India, dan dengan
cara ini cerita epos tersebut menyuguhkan satu tuntunan untuk hidup dalam segala dimensinya,
dari dimensi filosofis dan religius hingga dimensi politik. Bagian tersendiri yang paling
berpengaruh dari Mahabharata adalah Bhagavad Gita, yaitu “Nyanyian Dewa”. Gita dalam satu
dialog antara Krishna (Dewa yang menjelma dalam rupa manusia) dan Arjuna menjelaskan
kodrat kemanusiaan dan realitas dengan memperlihatkan cara hidup yang memampukan manusia
untuk mencapai kebebasan spiritual melalui tindakan yang sesuai dengan kodrat self-nya yang

paling dalam.
Ramayana, satu syair indah dalam empat jilid, mengungkapkan tata tertib ideal untuk masyarakat
sebagai satu keseluruhan dan cara hidup ideal untuk individu. Syair ini menghadirkan gambaran
ideal keperempuanan dalam pribadi dan hidup Sita dan gambaran ideal kelaki-lakian dalam
pribadi dan hidup suaminya, yaitu Rama, si pahlawan ilahi dari cerita epos ini. Melalui tarian,
drama, cerita rakyat dan film-film, Ramayana dikenal secara luas dan masih terus mengilhami
rakyat India malah sampai abad ke-21 ini.
Dalam masa cerita epos ini, uraian-uraian penting tentang moral yang disebut Dharma Shastras
ditulis dengan maksud untuk menjelaskan bagaimana kehidupan individual dan masyarakat
diatur. Contohnya, Artha Shastra dari Kautilya menjelaskan kebutuhan dan kepentingan sarana
hidup yang bermacam-macam, khususnya kekuatan politik, dan menjelaskan bagaimana sarana
hidup itu bisa diperoleh. Manu Shastra menjelaskan bagaimana keadilan dan tata tertib bisa
dijamin oleh raja dan lembaga pemerintah. Shastra dari Yajnavalkya menekankan pencapaian
keberhasilan dan tata aturan dalam kehidupan keluarga.

Masa Sistem-Sistem Filsafat
Tak diragukan juga dalam masa ini bahwa sistem filsafat yang berbeda-beda mulai terbentuk,
karena dalam Mahabharata ada referensi kepada sistem-sistem tertentu. Beberapa penjelasan
5


sistematis-filosofis tentang dunia dan kodrat manusia sudah mulai terbentuk sejak tahun 500 SM,
meskipun sistematisasi yang lengkap tentang itu baru tercapai 700 atau 800 tahun kemudian.
Sistem-sistem ini memperlihatkan usaha awal yang semata-mata filosofis di India, karena sistemsistem itu tidak hanya berusaha menjelaskan kodrat eksistensi, tetapi juga dengan secara sadar
dan kritis berusaha memperlihatkan ketepatan jawaban-jawaban mereka dalam analisis yang
cermat serta argumentasinya. Ringkasan-ringkasan dari analisis, argumentasi dan jawabanjawaban itu disimpan sebagai sutras, yang secara harfiah berarti “untaian benang” yang padanya
bergantung seluruh sistem filsafat. Komentar-komentar yang luas dikembangkan dengan tujuan
untuk menyingkapkan dan menjelaskan ringkasan-ringkasan yang termuat dalam sutras itu.
Buddhisme, Jainisme dan Carvaka tergolong dalam nastika atau sistem-sistem yang tidak
ortodoks, karena para penulisnya tidak menerima pernyataan-pernyataan Veda sebagai yang
benar dan final. Para pemikir dari sistem-sistem itu tidak juga berusaha untuk membenarkan
analisis dan pemecahan soal mereka dengan jalan menunjukkan apakah analisis dan pemecahan
soal mereka sesuai dengan kitab Veda. Namun sistem-sistem filsafat Nyaya, Vaisheshika,
Samkhya, Yoga, Mimamsa dan Vedanta, khususnya dalam perkembangannya yang lebih
kemudian menerima otoritas Veda, dan mereka semua sungguh-sungguh memperlihatkan bahwa
analisis dan pernyataan-pernyataan mereka sejalan dengan ajaran-ajaran utama kitab Veda.
Pembagian besar bisa juga dibuat antara Carvaka dan sistem-sistem filsafat yang lain. Carvaka
merupakan satu sistem filsafat yang sungguh-sungguh bersifat materialistis; semua sistem filsafat
yang lain menyuguhkan ajaran untuk kehidupan rohani. Jainisme misalnya berusaha
memperlihatkan jalan keluar dari belenggu karma. Ia menekankan satu hidup dengan sikap
“tidak melukai”, dan hidup dengan sikap itu memuncak pada pembebasan akhir dari belenggu

melalui perwujudan diri dalam meditasi. Buddhisme menghadirkan analisis tentang kodrat dan
sebab-sebab penderitaan manusia serta delapan jalan sebagai usaha untuk menghilangkan
penderitaan.
Berpaling ke sistem-sistem ortodoks, Nyaya pertama-tama menaruh perhatian pada analisis logis
tentang sarana pengetahuan. Vaisheshika menganalisis hal-hal yang diketahui sambil
menyuguhkan satu metafisika yang pluralistis. Samkhya merupakan satu sistem dualistis yang
berusaha menghubungkan realitas diri dengan dunia luar dan menjelaskan evolusi dunia. Yoga
menganalisis kodrat realitas diri (self) dan menjelaskan bagaimana realitas Diri yang murni (Self
dengan S besar – penterjemah) dapat terwujud. Mimamsa mengembangkan satu teori tafsiran
dan pengetahuan, satu teori yang berpusat pada kriteria untuk mengbasahkan pengetahuan, dan
dari sana mimamsa berusaha menegakkan kebenaran pernyataan-pernyataan Veda. Vedanta
berawal dari kesimpulan-kesimpulan Upanishad lalu berusaha menunjukkan bahwa satu analisis
rasional tentang pengetahuan dan realitas akan mendukung kesimpulan-kesimpulan itu.

Masa Komentar-Komentar Besar
Ketika generasi para resi dan cendekiawan mempelajari sutras dari sistem yang berbeda-beda
itu, mereka banyak kali menulis komentar-komentar tentangnya. Dengan cara ini muncul
komentar-komentar besar Gaudapada (abad ke-6 M), Shankara (abad ke-8), Bhaskara (abad ke9), Yamuna (abad ke-10), Ramanuja (abad ke-11), Nimbarka (abad ke-12), Madhva (abad ke-13)
6

dan Vallabha (abad ke-15) yang ditulis berkenaan dengan Vedanta Sutras dari Badarayana.
Sistem-sistem lain memiliki sejarah komentar serupa.

Masa Modern
Sebagai akibat dari pengaruh luar, khususnya kontak dengan Barat, filsuf-filsuf India mulai
menguji kembali tradisi filosofis mereka. Dengan berawal pada berbagai studi, terjemahan dan
komentar Ram Mohun Roy pada abad ke-19, pembaruan atas tradisi kuno ini mulai berkembang
pada abad lalu. Gandhi, Tagore, Ramakrishna, Vivekananda dan Radhakrishnan termasuk di
antara pemikir-pemikir India modern yang berpengaruh. Kini ketika kita memasuki abad ke-21,
India tengah bergembira atas satu renaisans filosofisnya. Penemuan kembali tradisi kuno, tafsiran
baru terhadap pemikiran Barat, karya kreatif dalam filsafat perbandingan dan perkembangan
visi-visi baru sedang berkembang pesat satu di samping yang lain, malah kerapkali berpengaruh
satu sama lain.

CORAK YANG DOMINAN
Sedari mula dalam refleksi para resi Veda ribuan tahun lalu dan yang berlangsung terus hingga
kini, pemikiran filosofis India menghadirkan satu kekayaan yang luar biasa, kerumitan dan
keragaman pandangan. Kekayaan dan keragaman ini justru membuat sulit untuk meringkaskan
filsafat India melalui satu generalisasi yang sederhana. Meskipun demikian, corak-corak tertentu
yang dominan dapat dikenali berdasar pada ketahanan, pengaruhnya atas para pemikir atau
kepentingannya yang tersebar luas bagi hidup banyak orang.

Karakter Praktis
Di samping kekayaan dan keluasan pengertiannya, corak pemikiran filsafat India yang paling
menarik perhatian adalah karakter praktisnya. Sedari mula spekulasi para bijak India keluar dari
usaha mereka untuk memperbaiki hidup. Ketika dikonfrontasikan dengan penderitaan fisik,
mental dan rohani, mereka mencari jalan untuk mengerti sebab-sebabnya sambil berusaha untuk
memahami kodrat manusia dan alam semesta agar dapat menghapus sebab-sebab penderitaan itu.
Filsafat India memberi respons baik terhadap motivasi praktis maupun spekulatif. Pertimbanganpertimbangan praktis memberi motivasi terhadap usaha pencarian jalan keluar untuk mengatasi
berbagai macam bentuk penderitaan. Pertimbangan-pertimbangan spekulatif menuntun orang
untuk menyusun pernyataan-pernyataan yang menjelaskan kodrat realitas dan kodrat eksistensi
manusia serta mengembangkan logika dan teori-teori pengetahuan. Namun usaha-usaha filosofis
ini tidak dilakukan secara terpisah. Pemahaman dan pengetahuan yang berasal dari rasa ingin
tahu yang bersifat spekulatif digunakan dalam usaha-usaha praktis untuk mengatasi penderitaan.
Ada dua pendekatan yang berbeda secara mendasar terhadap problem penderitaan. Kedua
pendekatan itu mengakui bahwa penderitaan merupakan akibat dari jurang antara siapa dirinya
dan apa yang ia miliki, antara seperti apa ia ingin menjadi dan apa yang ia ingin miliki. Jika tidak
7

ada perbedaan antara siapa dirinya dan apa yang ia miliki, antara seperti apa ia ingin menjadi dan
apa yang ia ingin miliki, maka tidak akan ada penderitaan. Namun ketika ada perbedaan itu,
maka penderitaan tak terelakkan karena kerinduan seorang tidak terpuaskan. Pemecahan untuk
persoalan itu tampak jelas, yaitu apa dan apa yang diinginkan harus dibuat identik.

Disiplin Diri
Namun bagaimana identitas ini dapat dicapai? Satu cara pendekatan untuk memecahkannya
adalah mencoba mencapai apa yang diinginkan. Pribadi yang menginginkan kekayaan mencoba
menumpuk kekayaan. Pribadi yang ingin tidak mati akan mendukung riset medis dan teknologis
yang menjanjikan perpanjangan hidup. Pendekatan kedua berupa usaha menyesuaikan keinginan
seorang dengan apa yang ia miliki. Jika seorang miskin dan menginginkan kekayaan, maka
penderitaan yang diakibatkannya dapat dilenyapkan dengan jalan menyingkirkan keinginannya
akan kekayaan. Pribadi yang menderita takut akan kematian oleh karena kerinduannya akan
hidup kekal dapat melenyapkan penderitaan itu dengan jalan menerima kematian sebagai bagian
dari hidup.
Pada dasarnya pendekatan kedualah yang ditekankan filsafat India, yaitu menonjolkan
pengontrolan akan keinginan. Akibatnya, filsafat-filsafat India cenderung berpegang pada
disiplin diri dan kontrol diri sebagai jalan untuk melenyapkan penderitaan.

Pengetahuan Diri
Karena disiplin diri dan kontrol diri menuntut bahwa seorang perlu memiliki pengetahuan
tentang diri, maka pengetahuan diri sudah merupakan satu keprihatinan yang mencolok dari
filsafat India. Tentu mengetahui apa itu diri (self) dan bagaimana mewujudkan kesempurnaan diri
melalui disiplin diri justru sudah sedari awal menjadi jantung kegiatan filosofis India.

Visi
Karakter praktis filsafat India diungkapkan dalam berbagai macam jalan. Kata darshana yang
biasanya diterjemahkan sebagai “filsafat” menunjuk ke arah itu. Darshana secara harfiah berarti
“visi”, yaitu apa yang “dilihat”. Dalam arti teknisnya, darshana berarti apa yang dilihat ketika
realitas tertinggi diselidiki. Para pelihat India (resi) ketika mencari pemecahan atas penderitaan
hidup menyelidiki kondisi penderitaan dan menguji kodrat hidup manusia dan dunia dengan
maksud untuk menemukan sebab-sebab penderitaan dan sarana untuk menghilangkan
penderitaan. Apa yang mereka temukan merupakan darshana, yaitu filsafat hidup mereka.

Kebenaran
Tentu saja visi seorang bisa salah; seorang tidak boleh melihat hal-hal sebagaimana adanya.
Akibatnya, visi filsuf harus diverifikasi dengan jalan memberi bukti atas kebenarannya. Secara
8

historis ditemukan dua metode untuk memverifikasi visi filosofis. Menurut metode pertama,
analisis logis digunakan untuk menentukan entah satu pandangan yang khas salah atau tidak. Jika
konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan yang mengungkapkan visi tidak konsisten, maka visi
itu bisa saja dikesampingkan sebagai yang bertentangan dengan dirinya sendiri.
Seraya mengakui ketidakcukupan logika sendiri, metode kedua bersifat pragmatis yakni dengan
menemukan verifikasi pandangan-pandangan filosofis atau teori-teori dalam kualitasnya yang
berdampak pada praksis. Para filsuf India sudah selalu berpegang teguh pada pendirian bahwa
praksis adalah ujian tertinggi kebenaran. Visi-visi filosofis harus dipraktikkan, dan hidup harus
dihayati menurut cita-cita visi. Kualitas hidup yang dihayati menurut cita-cita itu adalah ujian
tertinggi satu visi. Semakin baik hidup dihayati, semakin dekat visi mencapai kebenaran yang
lengkap.
Kriteria untuk menentukan kualitas hidup pada gilirannya berasal dari dorongan dasar untuk
filsafat, yaitu dorongan untuk menghilangkan penderitaan. Visi yang memungkinkan hidup tanpa
penderitaan secara tepat disebut satu filsafat yang benar. Tingkat kebenaran filosofis ditentukan
menurut tingkat keringanan penderitaan. Secara positif pandangan-pandangan itu benar sejauh
mereka memperbaiki kualitas hidup.
Menaruh penekanan positif pada pembenaran filsafat atas pengalaman alih-alih pada logika
(meskipun logika tidak disingkirkan) berarti meletakkan filsafat pada praksis. Jalan praksis
adalah bagian dari visi, dan jika jalan untuk mewujudkan cita-cita visi tidak dapat ditempuh,
maka visi tersebut dipandang tidak memadai. Mengatakan “baik dalam teori, tetapi tidak dalam
praksis” tidak berarti apa-apa apabila dikenakan pada filsafat India. Baik dalam teori harus
berarti baik dalam praksis.

Agama dan Filsafat
Penyerupaan jalan menuju hidup yang baik dengan visi hidup yang baik itu sendiri merupakan
faktor yang memadukan agama dan filsafat di India. Karena filsafat tidak dipandang sebagai
yang menaruh keprihatinan semata-mata pada teori, maka keprihatinannya pada cara praktis
untuk mencapai hidup yang baik justru memungkinkan filsafat India untuk mempertahankan
hubungannya dengan agama. Di Barat, filsafat dan agama dipandang seluruhnya terpisah, karena
filsafat semata-mata berurusan dengan hal yang rasional, sementara agama tidak berurusan
dengan akal budi tetapi dengan iman. Menurut pemikiran India, wahyu merupakan satu jalan
pengenalan yang sah bersama persepsi dan argumentasi rasional; wahyu membiarkan iman dan
akal budi berinteraksi untuk menghasilkan pandangan yang kritis tentang hidup yang baik dan
tentang sarana yang bermacam-macam untuk itu. Karena di India teori seorang filsuf tentang
hidup yang baik harus diuji oleh praksis, maka ia harus berurusan dengan sarana untuk mencapai
hidup yang baik agar bisa menjadi seorang filsuf.

Fokus Pada Self
Karena filsafat India berawal dengan penderitaan manusia, maka subjek manusia mendapat
kepentingan yang lebih besar daripada objek-objek yang terdapat dalam pengalaman manusia.
9

Self yang menderita selalu merupakan subjek. Jika tidak demikian maka subjek hanya dianggap
sebagai satu benda, semata-mata objek. Dalam Upanishad dan sistem Samkhya Self yang
tertinggi dilukiskan sebagai subjek murni yang tidak pernah dapat menjadi objek. Subjek selalu
merupakan “satu subjek tanpa yang kedua”. Untuk semua sistem kecuali Carvaka, pengalaman
kualitatif subjek inilah yang menjadi keprihatinan utama dalam pemikiran India.

Pembebasan
Di atas segala-galanya, filsafat India berurusan dengan usaha menemukan jalan untuk
membebaskan self dari belenggu modus eksistensi yang tidak utuh dan terbatas, belenggu yang
menyebabkan penderitaan. Menurut Upanishad, kekuatan besar (Brahman) yang memberi daya
terhadap alam semesta dan energi rohaniah Self (Atman) pada pokoknya adalah sama. Visi
tentang kesamaan antara Self (Atman) dan realitas tertinggi (Brahman) meletakkan dasar untuk
metode pembebasan yang membentuk inti praktis filsafat India. Itulah satu visi yang melihat halhal tertentu yang berbeda-beda dan proses perkembangan dunia sebagai manifestasi dari satu
realitas yang lebih dalam, satu realitas yang tak terbagi dan tanpa syarat. Dalam keseluruhan
yang tak terbagi ini ada level-level yang berbeda dari realitas, yang dibedakan seturut derajat
partisipasi mereka pada kebenaran dan keberadaan realitas tertinggi. Oleh karena kesatuan
eksistensi ini, daya-daya yang dibutuhkan untuk mencapai pembebasan tersedia untuk setiap
pribadi. Namun seorang harus sadar akan daya-daya itu dan sadar akan cara-cara untuk
menghasilkan daya-daya itu dalam tugasnya untuk mencapai pembebasan. Justru di sinilah
pengetahuan, khususnya pengetahuan diri, menjadi sangat penting.
Penekanan pada Self tertinggi dalam Upanishad, Vedanta dan Yoga berarti bahwa kriteria
filosofis yang relevan tidak pertama-tama bersifat kuantitatif dan umum. Sebaliknya, kriteria itu
ada pada self sebagai subjek. Karena itu, tidak mungkin bahwa seorang mengunggulkan satu
filsafat yang “benar” dan menganggap yang lain sebagai yang salah sama sekali. Kebenaran
dalam filsafat bergantung pada subjek manusia, dan pengalaman yang lain dapat diketahui hanya
sebagai objek. Setidak-tidaknya menurut jalan pengenalan yang biasa, tidak ada pengenalan
tentang yang lain sebagai subjek. Alhasil, tidak ada penolakan tentang pengalaman yang lain
sebagai yang tidak memadai atau tidak memuaskan.

Toleransi
Pengakuan akan keunikan perspektif masing-masing subjek bermuara pada sikap toleran dan
inklusif yang biasanya terungkap sebagai berikut. Walaupun boleh jadi bahwa tidak ada satu visi
pun yang dari dirinya sendiri secara mutlak benar dan lengkap, namun setiap visi memuat sekilas
cahaya kebenaran. Dengan menghormati aneka titik pandang dan pengalaman yang disandang
oleh beragam visi tersebut, seorang bisa datang lebih dekat pada kebenaran mutlak dan visi yang
lengkap. Kemajuan filosofis tidak diperoleh dengan bergerak dari kesalahan kepada kebenaran,
tetapi dari kebenaran parsial kepada kebenaran yang lebih lengkap.

10

Penekanan Moral
Sebagai tambahan untuk corak filsafat India yang berasal dari orientasi praktisnya, ada satu
tendensi yang menyebar luas dalam pemikiran India, apabila kita kembali kepada konsep Veda
tentang rita (tata aturan), untuk menerima adanya keadilan moral universal. Dunia dilihat sebagai
satu panggung moral akbar yang dituntun keadilan. Setiap hal yang baik, buruk dan acuh tak
acuh mendapat balasan dan patut diganjari. Dampak dari sikap ini ialah menempatkan tanggung
jawab pada manusia itu sendiri secara adil demi kepentingan kondisi manusiawi. Kita
bertanggung jawab terhadap diri kita untuk siapa kita kini dan siapa kita kelak. Menurut
pemikiran India, kita sendirilah yang menentukan masa lampau kita dan menetapkan masa depan
kita. Oleh karena perbuatan baik kita maka kita menjadi baik, dan oleh karena perbuatan jahat
kita maka kita menjadi jahat.

Karma
Prinsip penentuan diri melalui tindakan disebut karma. Karma secara harfiah berarti “tindakan”,
tetapi ia merujuk pada tindakan dalam arti komprehensif yang melibatkan pikiran, perkataan dan
perbuatan. Selanjutnya, ia melibatkan juga segala akibat dari berbagai macam perbuatan, baik
akibat yang segera dan yang dapat dilihat maupun akibat jangka panjang dan yang tidak
kelihatan. Karma adalah kekuatan yang menghubungkan semua momen hidup satu sama lain,
dan menghubungkan semua hal satu sama lain. Oleh karena saling keterhubungan itu, masa
hidup seorang merupakan satu saat dalam satu lingkaran yang berkesinambungan, satu lingkaran
hidup yang di dalamnya seorang boleh lahir kembali kapan saja dan dalam banyak bentuk yang
berbeda-beda. Namun setiap kelahiran diikuti oleh kematian, dan lingkaran hidup berputar terus
sambil membawa banyak kematian dan penderitaan yang tak terperikan. Tujuan hidup tertinggi
ialah memperoleh pembebasan (moksha) dari lingkaran penderitaan ini. Karena hanya disiplin
dan pengetahuan dapat mengosongkan gudang karma dan membebaskan seorang dari lingkaran
kematian kembali, maka disiplin dan pengetahuan itu justru sangat dihargai di India.

Dharma
Karena karma berkaitan erat dengan segala sesuatu dalam alam semesta, maka setiap pikiran,
perkataan dan perbuatan bukan hanya membawa akibat pada masa depan seorang, tetapi juga
pada hidup orang lain. Oleh karena itu, setiap pribadi bertanggung jawab untuk bertindak
sedemikian rupa demi mempertahankan tata aturan keluarga, masyarakat dan seluruh alam
semesta, sehingga ia dengan demikian dapat memberi andil bagi kesejahteran orang lain.
Tanggung jawab seperti itu disebut dharma, satu kata yang berarti “menopang” atau
“menyokong” eksistensi. Berbagai macam kewajiban yang merupakan dharma seorang menjadi
struktur moral bagi seluruh kehidupan sosialnya.

11

Semangat Ketidaklekatan
Ada kesepakatan yang agak tersebar luas dalam pemikiran filosofis India sehubungan dengan
semangat ketidaklekatan. Penderitaan disebabkan oleh kelekatan seorang pada apa yang tidak ia
miliki atau malah pada apa yang tidak mampu ia miliki. Objek-objek yang menjadi sasaran
kelekatan itu menyebabkan penderitaan sejauh mereka tidak dapat dijangkaui atau hilang.
Karena itu, jika semangat ketidaklekatan pada objek-objek yang membawa penderitaan itu dapat
diolah, maka penderitaan itu sendiri dapat dilenyapkan. Jadi, semangat ketidaklekatan diakui
sebagai satu peranti yang hakiki untuk mewujudkan hidup yang baik.
Berkat semua corak ini dalam pemikiran India, maka rakyat India biasanya memberi
penghargaan yang tinggi kepada para filsuf dan filsafat. Filsafat menunjukkan jalan untuk hidup,
dan para filsuf adalah penuntun di sepanjang jalan itu.

PERTANYAAN PENUNTUN
1. Apa masa-masa utama dalam perkembangan filsafat India? Kemukakan secara ringkas
ciri-ciri khas tulisan dari setiap masa itu dan lukiskan perbedaan pokok di antara masamasa itu.
2. Apa dasar perbedaan antara sistem “ortodoks” dan “tidak ortodoks”? Dalam arti apa
dikatakan bahwa perbedaan antara Carvaka dan semua sistem yang lain bersifat
fundamental?
3. Bagaimana konfrontasi dengan penderitaan fisik, mental dan spiritual berujung pada
pemikiran filosofis di India?
4. Mengapa pengetahuan, khususnya pengetahuan diri, dipandang sebagai pencapaian
filosofis tertinggi?
5. Di mana tempat tanggung jawab untuk kondisi manusiawi dalam pemikiran India?
6. Apa kriteria yang mesti dipenuhi oleh satu teori filosofis yang berhasil?

12