Membaca kembali Illah doktrin Idah dalam perspektif ushul fiqh - Digital Library IAIN Palangka Raya
MEMBACA KEMBALI ‘ILLAH DOKTRIN IDAH DALAM PERSPEKTIF USHÛL AL-FIQH
Abdul Helim
STAIN Palangka Raya Jl. Meranti Gg. Istiqamah No. 27 Kel. Panarung Palangka Raya email: helim1377@gmail.com
Abstrak:
Penelitian ini dilatarbelakangi tidak diketahuinya secara jelas ‘illah doktrin idah baik dalam Al- Qur’an maupun hasil kajian para pakar, sehingga eksistensi doktrin idah berpotensi dipertanyakan kembali terlebih dikaitkan dengan teknologi modern. Oleh karena itu, masalah yang dikaji adalah bagaimana ‘illah idah dalam Al- Qur’an beserta kondisi sosial yang melatarbelakanginya dan bagaimana relevansi ‘illah tersebut dengan doktrin idah dikaitkan dengan zaman sekarang dalam perspektif ushûl al-fiqh. Penelitian ini menggunakan pendekatan ushûl al-fiqh kontekstual. Hasil yang ditemukan adalah Al- Qur’an ternyata tidak mengatur ‘illah doktrin idah. Interpretasi para pakar terhadap doktrin ini pun tidak dapat disebut ‘illah melainkan hikmah adanya doktrin idah. ‘Illah idah yang tepat berdasarkan proses al-sibr wa al-taqsîm adalah etika atau kesopanan. Etika atau kesopanan selalu relevan dengan zaman, tidak terbatas waktu, tidak terikat kondisi dan berlaku pada setiap orang. Berdasarkan ‘illah tersebut dan sesuai dengan kondisi sekarang serta melalui kajian maqâshid al- syarî‘ah dan qiyâs, idah tidak hanya masih wajib dijalani mantan istri, tetapi mantan suami pun wajib menjalaninya sebagaimana Nabi Muhammad pun menjalani idah sepeninggal Khadijah. Masa idah yang wajib ditempuh mantan suami adalah menyesuaikan dengan masa idah mantan istri.
Abstract:
The background of this research is found the ‘illah of idah doctrine which is not clear so far according to the Al- Qur’an and the result of experts research, so existence of idah doctrine become a question marks if related with modern technology. Therfore, the focus in this research that how ‘illah ‘iddah according to the Al- Qur’an and social conditions underlying the ‘illah of ‘iddah, and also the relevance of ‘illah of idah with ushûl al-fiqh perspective. This research used ushul fiqh contextual approach. The result finding that the Al- Qur’an does not regulate the ‘illah of idah doctrine. The interpretation of experts about this doctrine does not as ‘illah but they just said the hikmah (benefit) of ‘illah. The exact of ‘iddah is related to the process of al-sibr wa al-taqsîm which is ethic or good manners. Ethic (good manners) is always relevant any period, any conditions, unlimited time and applies to any one. Based on ‘illah is relevant with right now condition and also study of maqâshid al- syarî‘ah and qiyâs, idah is not just for ex-wife but ex- husband also do this ‘iddah in same manner as the prophet Muhammad did ‘iddah after the death of Khadijah. The phase of idah for ex-husband is the same as the phase of idah for ex-wife.
Membaca Kembali ‘Illah Doktrin Idah dalam Perspektif Ushûl al-Fiqh
Kata Kunci: ‘Illah, hikmah, idah, ushûl al-fiqh.
Pendahuluan
Allah diundangkannya doktrin idah. Para Islam adalah agama yang selalu
pakar Islam pun akhirnya berbeda memberikan solusi, bahkan untuk setiap
memberikan interpretasi terhadap dok- generasi yang berbeda karena Islam
trin idah, di antaranya idah dipahami memiliki Al- Qur’an yang menyajikan
untuk mengetahui ada atau tidak adanya berbagai menu untuk menyelesaikan
embrio dalam rahim mantan istri, sebagai persoalan-persoalan yang dihadapi. Salah
media bagi suami istri merenungkan satu solusi tersebut adalah idah. Idah
kembali agar dapat rujuk sebagai suami merupakan masa-masa tertentu yang
istri.Begitu juga sebagai bentuk bela wajib dijalani dan ditunggu seorang
sungkawa istri atas meninggalnya suami, wanita untuk tidak menikah setelah
atau bahkan sebagai bentuk ta’abbbudiyah bercerai atau ditinggal mati suaminya
mantan istri pada hukum Tuhan untuk sampai berakhirnya masa tunggu
menjalani ketentuan idah. 3 tersebut.
Doktrin idah ini merupakan
2 Tujuan ini dapat disebut sebagai hikmah hukum
ketentuan mutlak yang mesti diikuti
yang disebut pula al-ghâyah al-ba ‘îdah al-
karena ditentukan Al- Qur’an secara lang-
maqshûdah, yakni tujuan yang ingin dicapai
sung. Permasalahannya, tidak ditemukan
sampai pada titik tujuan yang paling jauh. Tujuan secara jelas tentang ‘illah 1 atau tujuan 2 tersebut adalah untuk mencapai kemaslahatan
dan menghindari kemudaratan untuk umat manusia. Permasalahannya masing-masing orang
1 ‘Illah disebut juga sebagai motif hukum yakni dapat berbeda memandang kemaslahatan dan suatu sifat yang berada pada ashl di mana sifat
kemudaratan, sehingga kedudukan hikmah tersebut dapat diukur. ‘Illah juga diartikan sebagai
hukum bukan sebagai penentu ada atau tidak sesuatu yang mempengaruhi adanya hukum (al-
adanya hukum karena hikmah merupakan mu’atstsir) atau sebagai sesuatu yang memotivasi
persoalan yang masih samar, sulit diukur dan adanya hukum (al-bâits). Dengan demikian, ‘illah
ditangkap panca indera bahkan masing-masing berkedudukan sebagai penentu ada atau tidak
individu dapat berbeda memandang suatu adanya hukum. Hal ini sesuai dengan kaidah
hikmah. Hal ini juga menunjukkan bahwa tidak ushûl al-fiqh bahwa ada atau tidak adanya suatu mungkin menetapkan suatu hukum pada sesuatu
hukum tergantung dengan ada atau tidak adanya yang tidak dapat diukur atau hanya diukur ‘illah. Artinya, berlakunya hukum idah tergantung
dengan ada atau tidak adanya hikmah. Lihat dengan ada atau tidak adanya ‘illah, dan selama
kembali al-Zuhaylî, Ushûl al-Fiqh, Juz II, hlm. 651. ‘illah hukum idah tersebut dipandang masih
Lihat juga Muhktar Yahya dan Fathurrahman, berlaku, maka selama itu pula berlakunya hukum
Hukum Fiqh Islam idah. Penjelasan ‘illah yang lebih lengkap dapat
Dasar-Dasar
Pembinaan
(Bandung: al- Ma’arif, 1993), hlm. 84. Lihat pula dilihat dalam Wahbah al-Zuhaylî, Ushûl al-Fiqh al-
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I (Jakarta: Logos, Islâmî , Juz II (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001), hlm.
1995), hlm. 80.
606 dan 651. Abû Hamid al-Ghazâlî, al-Mustashfâ 3 Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad ibn fî ‘Ilm al-Ushûl (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
Muhammad al-Ghazâli, al-Wasîth fî al-Mazhab, 2000), hlm. 310. Sayfu al-Dîn Abî al-Hasan 'Alî ibn
Jilid VI (Ttp: Darussalam, 1997), hlm. 113. Muhyi Abî 'Alî ibn Muhammad al-Âmidî, al-Ihkâm fî
al-Dîn al-Nawâwî, Kitâb al-Majmû ‘ Syarh al- Ushûl al-Ahkâm , Jilid II Juz III (Beirut: Dār al-Fikr,
Muhadzdzab li al-Syayrâzî , Jilid XIX (Jeddah: al- 1996), hlm. 137. Irsyâd, Tth), hlm. 391 atau lihat Abû Zakariyyâ
KARSA, Vol. 20 No. 2, Desember Tahun 2012 | 277
Abdul Helim
Persoalannya, dari beberapa pen- karir yang ditinggal mati suaminya, ihdâd dapat di atas tidak ditemukan kejelasan
sebagai bagian dari idah kurang efektif apakah hasil interpretasi itu termasuk
diterapkan, sebab mereka dituntut beker- ‘illah (motif) hukum atau tujuan (hikmah)
ja dan berinteraksi dengan orang lain,
sehingga tidak memungkinkan untuk kondisi sosial budaya yang melatarbela-
hukum doktrin idah, 4 termasuk pula
tidak berpenampilan layak. 7 kangi adanya doktrin idah. Berdasarkan
Di antara peneliti ada yang hal tersebut akhirnya kedudukan doktrin
menyatakan perlunya redefinisi idah di idah pun menjadi semakin terbuka
zaman sekarang. Sebab, apabila idah dipertanyakan kembali. Setidaknya dari
dihubungkan dengan kehamilan, sudah studi pustaka yang dilakukan di antara
pasti ketentuan idah tidak relevan lagi para peneliti ada yang mengkaji kembali
dengan zaman sekarang, sebab melalui bahwa idah bersandar pada dalil qath’î,
USG (ultrasonography) 8 atau tes urine sehingga termasuk ta’abbudî dan ada pula
keadaan rahim seorang wanita dapat mengatakan idah bersandar pada dalil
diketahui dengan singkat. 9 Bahkan, di zhannî , sehingga termasuk ta’aqqulî. 5 antara peneliti ada pula yang menya- Dalam penelitian lainnya, idah pada
takan laki-laki juga memiliki idah. 10 masyarakat tertentu idah tidak efektif lagi
Sayangnya argumentasi yang digunakan dijalankan. Hal ini karena adanya penga-
berpijak pada hikmah hukum dan bukan ruh lingkungan, pendidikan dan tingkat
pada ‘illah hukum, sementara hikmah ekonomi. 6 Begitu pula di kalangan wanita
hukum tidak dapat dijadikan sebagai
Yahyâ ibn Syarf al-Nawâwî al-Dimasyq, Raudlatu UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, 2009. Lihat al-Thâlibîn , Juz VI (Beirut: Dâr al-Kutub al-
http://lib.uin-
‘Ilmiyyah, 2003), hlm. 340 dan Syamsu al-Dîn malang.ac.id/thesis/fullchapter/05210027-niza- Muhammad ibn al-Khâthib al-Syarbinî, Mughnî al-
muzamil.ps . Diakses tanggal 16 April 2011.
Muhtâ j ilâ Ma’rifati Alfâzh al-Minhâj, Jilid III 7 Isnawati, “Pandangan Wanita Karier terhadap (Beirut: Dâr al- Ma’rifah, 1997), hlm. 508-509 dan
Pelaksanaan Iddah Cerai Mati (Studi di Desa 518 serta Abdu al-Rahmân al-Jâzirî, Kitâb al-Fiqh
Karanggeneng, Kab. ’alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, Juz IV (Beirut: Ihyâ al-
Sungelebak
Kec.
Lamongan)”, (Skripsi, UIN Maulana Malik
Turâts al-`Arabî, 1969), hlm. 517. Ibrahim, Malang, 2007). Lihat, http://lib.uin-
4 Kejelasan ini baru terlihat setelah beberapa pakar malang.ac.id/thesis/abstract/03210047-isnawati.ps . hukum Islam modern menyatakan beberapa
Diakses 16 April 2011.
interpretasi tentang kebersihan rahim dan yang 8 USG adalah teknik diagnostik untuk melakukan lainnya lebih tepat disebut hikmah hukum idah.
pengujian struktur badan bagian dalam yang Lihat dalam Muhammad Sayyid Sâbiq, Fiqh al-
melibatkan formasi bayangan dua dimensi Sunnah , Jilid II (Kairo, Dār al-Fath, 1995), hlm. 341.
dengan gelombang ultrasonik yang dapat Lihat juga al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, Juz VII,
mengetahui jenis kelamin bayi dalam kandungan. hlm. 625 dan 627. Begitu juga dalam Ali Ahmad
Bahkan melalui tes urine, dalam hitungan detik al-Jurjâwî, Falsafah dan Hikmah Hukum Islam, terj.
keadaan rahim seorang wanita dapat diketahui. Hadi Mulyo dan Shobahussurur (Semarang: Asy-
9 Ahmad Seadie, “Iddah dan teknologi modern:
Syifa, 1992), hlm. 321-378. Suatu Kritik terhadap Pemahaman Ulama
tentang Iddah”, al- Shari dalam Konsep Iddah”, (Tesis, IAIN Sunan
5 Ahmad Basri Saifur Rahman, “Melacak Maqsud
Mazhab
http://ahza.multiply.com/journal/item/2. Diakses 20 Ampel,
http://dc150.4shared.com/doc/dSU9vM3z/preview.htm 10 Abdul Aziz, “Iddah bagi Suami dalam Fiqih
l . Diakses tanggal 10 April 2011. Islam: Analisis Gender”, (Skripsi, UIN Maulana
6 Niza Muzamil, “Praktik Iddah di Kalangan Janda Malik Ibrahim, Malang, 2010). Lihat, http://lib.uin- Masyarakat Pesisir Desa Boncong Kec Bancar Kab
malang.ac.id/thesis/fullchapter/06210081-abdul- Tuban (Stu di Kasus di Desa Boncong)”, (Skripsi,
aziz.ps . Diakses 20 April 2011. 278 | KARSA, Vol. 20 No. 2, Desember 2012
Membaca Kembali ‘Illah Doktrin Idah dalam Perspektif Ushûl al-Fiqh
penentu ada atau tidak adanya hukum. ( ta’lîlî dan qiyâsî) dan pendekatan Peneliti tersebut tampaknya menganggap
kontekstual.
perbedaan antara ‘illah dan hikmah hu- Pendekatan kontekstual digunakan kum bukan hal yang prinsip, bahkan para
untuk melakukan pembacaan makna peneliti sebelumnya tampaknya juga
terhadap persoalan-persoalan kekinian. menyamakan antara ‘illah hukum idah
Bahan-bahan yang telah disajikan (ayat- dengan hikmah hukum idah.
ayat doktrin idah) diperluas pemaknaannya Beberapa persoalan di atas meru-
untuk memberikan ruang kepada ushul pakan celah bagi penulis untuk mengkaji
fiqh dalam menganalisis permasalahan kembali, karena permasalahan idah
idah. Perluasan makna ini dilakukan termasuk persoalan yang penting dan
dengan cara menggali ‘illah yang terkan- menarik untuk dikaji. Oleh karena itu,
dung dalam ayat-ayat idah untuk dikaji dengan adanya celah ini hal yang
melalui ushûl al-fiqh .
diupayakan untuk dikemukakan dalam penelitian ini adalah bagaimana ‘illah
Pengertian Idah
doktrin idah dalam Al- Qur’an beserta Idah adalah kewajiban yang harus kondisi sosial yang melatarbelakanginya
dijalani seorang wanita setelah terjadinya dan bagaimana relevansi ‘illah tersebut
perceraian. Kewajiban ini merupakan dengan doktrin idah dikaitkan dengan
doktrin dalam Islam yang bersumber zaman sekarang dalam perspektif ushûl
langsung dari Al- Qur’an, Hadits dan al-fiqh .
bahkan menjadi konsensus para pakar hukum Islam. 15 Dilihat dari definisinya,
Metode Penelitian
idah adalah masa-masa tertentu yang
mesti dijalani wanita setelah terjadinya Islam 12 ini idealnya mendapatkan sebuah
Penelitian normatif 11 dalam hukum
perceraian untuk mengetahui kebersihan produk yang lebih spesifik yakni fikih,
rahimnya dari kehamilan atau karena sehingga penelitian ini juga disebut sebagai
berduka atas kematian suaminya atau penelitian fikih. 13 Bahan-bahan ilmiah yang
bahkan sebagai kewajiban yang mesti dijadikan rujukan adalah bahan primer,
dijalani (ta ‘abbudiyyah) 16 tanpa adanya
bahan sekunder, dan bahan tertier 14 yang pernikahan. 17
dikaji melalui pendekatan ushûl al-fiqh Menurut pakar hukum dari kalangan Mazhab Hanafi, idah adalah
11 Sarjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,
masa yang telah ditentukan oleh syariat
(Jakarta: UI Press. 1986), hlm. 51. Bambang
untuk menghabiskan bekas dari perni-
Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta:
kahan. 18 Menurut pakar dari kalangan
Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 43. Lihat pula Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian
Mazhab Maliki, idah adalah masa ketika
Hukum Normatif (Malang: Bayumedia Publishing, 2006), hlm. 45.
12 Amir Mu'allim, et. al, Konfigurasi Pemikiran Hukum 15 Abû Bakar ibn Muhammad al-Dimyâthi, I’ânah Islam (Yogyakarta: UII Press, 1999), hlm. 94.
al-Thâlibîn, Juz IV (Libanon: Dâr al-Fikr, 2002), 13 Cik Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqh: Paradigma
hlm. 45.
Penelitian Fiqh dan Fiqh Penelitian (Jakarta: Prenada
16 Ibid.
Media. 2003), hlm. 339. 17 Abû al-Hasan Alî ibn Muhammad ibn Habîb al- 14 Soekanto, Pengantar Penelitian, hlm. 51-52. Lihat
Mâwardî al-Bashrî, al-Hâwî al-Kabîr : fī Fiqh pula Sarjono Soekanto, et. al, Penelitian Hukum
Madzhab Imâm al- Syâfi’î, Juz XI (Beirut-Lebanon: Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Raja
Dâr al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, 1994), hlm. 163.
Grafindo Persada, 2005), hlm. 23.
18 al-Jâzirî, Kitâb al-Fiqh, hlm. 451. KARSA, Vol. 20 No. 2, Desember Tahun 2012 | 279
Abdul Helim
dilarang melakukan pernikahan karena rung diri dalam kamar kecil yang jauh diceraikannya seorang wanita atau ma-
dari keramaian dan mesti memakai tinya suami atau rusaknya pernikahan.
pakaian yang paling jelek. Termasuk pula Pakar hukum dari kalangan Mazhab
mereka dilarang berhias (memakai harum- Syafi ‘i mengartikan idah adalah masa
haruman, mandi, memotong kuku, me- penantian seorang wanita untuk menge-
manjangkan rambut dan menampakkan tahui kebersihan rahimnya, atau karena
diri di hadapan khalayak) selama satu ibadah atau karena berduka atas mening-
tahun. Setelah masa tersebut berakhir, galnya suaminya. Sedangkan para pakar
mereka pun diperbolehkan keluar rumah, hukum dari kalangan Mazhab Hanbali
tetapi mereka masih dilempari kotoran mendefinisikan dengan seder-hana bahwa
binatang dan diharuskan menunggu di idah adalah masa penantian yang diten-
pinggir-pinggir jalan untuk membuang tukan syara ’. 19 kotoran anjing yang setiap kali lewat. Hal
Wahbah al-Zuhaylî mendefini- ini dilakukan sebagai salah satu bentuk sikan idah sebagai suatu masa yang telah
penghormatan mereka terhadap hak-hak ditentukan syâri’ setelah adanya perce-
suami. 22
raian yang mewajibkan seorang wanita Perlakuan lainnya apabila seorang untuk menunggu tanpa melakukan per-
suami meninggal maka keluarga suami kawinan sampai putusnya masa itu. 20 lebih berhak atas hartanya daripada
Pendapat terakhir ini tampaknya dapat istrinya sendiri. Bahkan istri tersebut merangkum beberapa pendapat di atas
dapat diwarisi oleh keluarga suami. yang intinya idah adalah masa penantian
Sejarah mencatat apabila seorang laki-laki seorang wanita yang bercerai dengan
memiliki istri muda kemudian suatu saat suaminya, baik cerai hidup atau cerai mati
laki-laki tersebut meninggal dunia, maka untuk tidak menikah sampai berakhirnya
anak-anak dari istri tua laki-laki itu masa penantian tersebut.
mewarisi istri muda ayahnya dengan cara melemparkan baju mereka ke arah istri
Sekilas tentang Doktrin Idah dalam
muda tersebut. Apabila istri muda itu
Kondisi Sosial Budaya Pra-Islam
cantik, maka di antara mereka ada yang Ketentuan idah bagi wanita
langsung menjadikannya sebagai istri, sebenarnya bukan ajaran murni Islam.
tetapi apabila tidak cantik mereka mena- Idah telah diberlakukan pada wanita-
hannya sampai ia mati dan kemudian wanita sebelum Islam datang. Namun,
mewarisi harta yang dimilikinya. 23 idah dalam tradisi masyarakat pra-Islam
Wanita waktu itu juga dianggap sebagai diterapkan beserta ihdâd secara tidak
penyebab kemiskinan, bahkan jika ada manusiawi. Hal ini disebabkan adanya
yang melahirkan anak perempuan, ia pengultusan yang berlebihan pada suami,
langsung dikubur hidup-hidup. Kebia- sehingga ketika suami meninggal istri
saan seperti ini dianggap wajar, terlebih diwajibkan menampakkan rasa duka cita
pola hidup berpindah-pindah dan rentan yang dalam. 21 Mereka diharuskan mengu-
dengan peperangan menyebabkan ma-
19 Ibid., hlm. 455. 22 Muhammad ibn Rizq ibn Tharhûnî, Shahîh al-
20 Al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, Juz VII, hlm. 625. Sîrah al-Nabawiyyah al-Musammâh al-Sîrah al-
21 Anonim, Fiqh Realitas, Respon Ma’had Ali Dzahabiyyah , Jilid I (Kairo: Dâr Ibn Taimiyyah, terhadapWacana
1410 H), hlm. 100-101.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 323-324. 23 Ibid.
280 | KARSA, Vol. 20 No. 2, Desember 2012
Membaca Kembali ‘Illah Doktrin Idah dalam Perspektif Ushûl al-Fiqh
syarakat ini membutuhkan banyak tena- pada mulanya tidak mendapatkan
ga laki-laki. Hal inilah menyebabkan hak- warisan, mendapatkan bagian walaupun hak wanita dalam keluarga tidak diakui,
nominalnya setengah dari laki-laki. bahkan mendapatkan perlakuan diskri-
Praktik poligami yang awalnya tanpa minatif, termasuk pula ketika beridah
batas 27 tetapi dengan bersamaan kuatnya dan ber-ihdâd. 24 Islam, jumlah istri pun dibatasi sampai Perlakuan buruk masyarakat pra-
empat orang. Sejalan dengan itu pember- Islam terhadap wanita merupakan
lakuan idah di era pra-Islam yang tidak kebiasaan yang lama berlaku dalam
manusiawi dengan batas waktu yang kehidupan mereka. Bahkan perlakuan
sangat panjang, 28 tetapi dengan datangnya buruk ini telah lama berlangsung dan
Islam mengalami perubahan beserta menjadi kebiasaan orang-orang Babi-
adanya batasan-batasan tertentu. lonia, Assyria, Persia, Byzantium, Ibrani, Athena, dan Romawi, serta dilakukan
Respons Al- Qur’an terhadap Kondisi
pula oleh masyarakat Arab pra-Islam.
Sosial Budaya Idah Pra-Islam
Kebiasaan ini tidak hanya dilakukan oleh Menanggapi doktrin idah yang masyarakat dan bangsawan, tetapi juga
tidak manusiawi dalam kebiasaan masya- dilakukan pula oleh tokoh-tokoh agama
rakat pra-Islam, Al- Qur’an pun mem-
berikan respons yang spektakuler bahkan semua itu banyak berubah ketika Islam
Yahudi, Nasrani, dan Hindu. 25 Namun,
memberikan perubahan yang sangat datang dan derajat wanita pun terangkat
besar sepanjang sejarah manusia. Para
dengan datangnya Islam. 26 Wanita yang
wanita, walaupun tetap diwajibkan untuk beridah, tetapi doktrin idah dalam Al-
Qur’an jauh lebih memberikan peng-
24 Anonim, Fiqh Realitas, hlm. .323-324.
hargaan yang tinggi pada wanita dan
Syed Ameer Alî, Api Islam: Sejarah Evolusi dan Cita- Cita Islam dengan Riwayat Hidup Nabi Muhammad
mendudukkan mereka sebagai manusia
SAW , terj. H.B. Jassin (Jakarta: Bulan, 1978), hlm.
yang sebelumnya dianggap seperti ba- 375-420. rang. Di sini, Al- Qur’an secara sempurna
26 Diskriminasi terhadap wanita tidak begitu saja
menetapkan istri yang dicerai dalam
berhenti setelah Islam lahir. Beberapa negara yang
keadaan hidup atau ditinggal mati
belum terjamah oleh Islam juga melakukan diskriminasi, seperti Inggris. Dalam perundang-
suaminya, wajib menempuh masa idah
undangan Inggris yakni pada abad pertengahan sampai tahun 1805 disebutkan bahwa suami bisa menjual istrinya. Bahkan sampai tahun 1882
27 Dalam catatan sejarah tampaknya ada di antara wanita Inggris belum memiliki hak kepemilikan
tokoh Islam yang melakukan poligami lebih dari harta benda secara penuh, dan hak menuntut ke
empat orang istri. Hal ini seperti yang dilakukan pengadilan. Persoalan ini terbukti seperti yang
Umar bin Khaththâb. r.a dan Usman bin Affân r.a. dialami Elizabeth Blackwill pada tahun 1849 yang
yang menikahi tujuh orang wanita, sementara Alî merupakan dokter pertama wanita di dunia. Ketika
ibn Abî Thâlib menikahi sembilan wanita. Untuk ingin mendirikan Institut Kedokteran wanita di
lebih lengkapnya lihat Khalîl Abd al-Karîm, Philadelphia Amerika Serikat, ia diboikot. Bahkan
Syari’ah, Sejarah Perkelahian Pemaknaan, terj. Ikatan Dokter setempat mengancam untuk
Kamran As’ad (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 37- memboikot semua dokter yang bersedia mengajar
38. Kendati demikian, sangat memungkinkan di sana. Hal ini menunjukkan bahwa wanita pada
praktik tersebut dilakukan sebelum diturunkannya waktu itu dan di mana saja mendapatkan perla-
wahyu Q.S. al-Nisa [4]: 3 yang berkaitan dengan kuan diskriminatif. Lebih jelasnya lihat dalam M.
pembatasan poligami.
Quraish Shihab, Wawasan al- Qur’ân (Bandung: 28 Alî, Api Islam, hlm. 375-420. Lihat pula Anonim,
Mizan, 2000), hlm. 297-298. Fiqh Realitas, hlm. 323-324. KARSA, Vol. 20 No. 2, Desember Tahun 2012 | 281
Abdul Helim
selama waktu-waktu tertentu secara masyarakat pra-Islam) untuk tidak mene- manusiawi dan tidak menerima lamaran
rima lamaran secara mutlak sampai baik secara terang-terangan maupun sin-
melewati masa tiga kali qurû. 35 diran, 29 terlebih melakukan akad nikah.
Para pakar mengartikan lafal qurû Idah dalam Al- Qur’an dapat
secara berbeda. Umar ibn Khaththâb, Alî diklasifikasikan pada tiga macam. Ada
ibn Abî Thâlib dan pakar lainnya seperti idah yang dilihat dari hitungan suci atau
Mujâhid dan Dhahhâk serta pakar Kufah haid, idah dilihat dari hitungan bulan,
mengartikan lafal qurû adalah “haid”, 36 dan ada pula idah yang dilihat sampai
yang kemudian menjadi pendapat dari melahirkan. 30 kalangan Hanafiyah dan Hanbaliyah. 37 Pakar lainnya seperti Aisyah, Ibn Umar,
Idah Dilihat dari Hitungan Suci atau
Zayd ibn Tsâbit dan pakar-pakar Hijâz
Haid
mengartikan lafal qurû adalah suci, 38 yang Idah dalam kategori ini berkaitan
kemudian menjadi pendapat dari kala- dengan idah istri yang dicerai hidup dan
ngan Malikiyah dan Syafi‘iyyah. 39 masih haid serta telah melakukan
Adapun firman Allah walâ yahillu hubungan suami istri (dukhûl). Dalam
lahunna ayyaktumna mâ khalaqallâhu fî kondisi ini, idah yang diwajibkan
arhâmihinna , adalah larangan menyembu- sebanyak tiga kali qurû` sebagaimana
nyikan kemungkinan adanya janin di dalam firman Allah QS. Al-Baqarah [2]:
dalam rahim mantan istri, atau larangan 228. Lafal al-muthallaqât dalam firman
menyembunyikan terjadinya haid dan Allah ini merupakan lafal umum tetapi
suci yang dialaminya karena apabila ia memiliki tujuan yang khusus yakni istri-
menyembunyikan haid, maka ia juga
istri yang telah di-dukhûl 31 dan masih
menyembunyikan telah terjadinya suci
dari haid. 40 Hal tersebut juga dipandang yatarabbashna diartikan menunggu (al-
haid serta dapat suci dari haid. 32 Lafal
dapat memperlambat masa tunggu se- intizhâr ) 33 dengan kesadaran penuh dan
hingga memperpanjang kewajiban suami dilakukan secara sukarela dari lubuk hati
memberikan nafkah, atau mempercepat yang paling dalam serta bukan karena
masa tunggu sehingga istri yang dicerai dipaksa 34 (seperti halnya yang dilakukan
35 Muhammad Rasyid Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Juz II
29 Kecuali wanita yang ditinggal mati suaminya (Kairo: Dâr al-Manâr), hlm. 370. atau disebabkan talak bâ’in, dibolehkan menerima
36 Al-Qurthûbî, al- Jâm i’ li Ahkâm , Juz IV, hlm. 37. Al-
lamaran secara sindiran. Thabarî, Tafsîr al-Thabarî, Juz IV, hlm. 500-501. Abdul
30 al-Ghazâlî, al-Wajîz, Juz II, hlm. 98. Bandingkan al-Rahmân ibn Muhammad ibn Idrîs al-Râzî ibn Abî dengan al-Zuhaylî, al-Fiqh al-Islâmî, Juz VII, hlm.
Hâtim, Tafsîr al- Qur’ân al-‘Azhîm, Jilid II (Riyadl:
630. Musthafâ al-Bâz, 1997), hlm. 415.
31 Abû Abdullâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abî 37 Al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Juz II, hlm. 164. Bakr al-Qurthûbî, al- Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz IV
Muhammad Mahmûd Hijâzî, Al-Tafsîr al-Wâdlîh, Jilid (Beirut: Mu’assah al-Risâlah, 2006), hlm. 35.
I (Beirut-Lebanon: Dâr al-Jîl,1993), hlm. 142. 32 Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Thabarî, Tafsîr al-
38 Al-Qurthûbî, al- Jâmi’ li Ahkâm , Juz IV, hlm. 37. Al- Thabarî: Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl al-Qur’ân, Juz IV
Thabarî, Tafsîr al-Thabarî, Juz IV, hlm. 506. (Kairo: Maktabah Ibn Taymiyyah, Tth), hlm. 499.
39 Al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Juz II, hlm. 164. Hijâzî, 33 Ahmad Musthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Juz
Al-Tafsîr al-Wâdlîh , Jilid I, hlm. 142. II (Ttp: al-Mushtafâ al-Bâb al-Halabî, 1946), hlm. 163.
40 Muhammad al-Amîn ibn Muhammad al-Mukhtâr 34 Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh: Pesan, Kesan dan
al-Jaknî al-Syinqîthî, Adlwâ’u al-Bayân fî Îdlâh al-Qur’ân Keserasian Al- Qur’an, Vol. 1 (Ciputat: Lentera Hati,
bi al- Qur’ân, Jilid I (Ttp: Dâr ‘Alam al-Fawâ’id, Tth), 2000), hlm. 455.
hlm. 182.
282 | KARSA, Vol. 20 No. 2, Desember 2012
Membaca Kembali ‘Illah Doktrin Idah dalam Perspektif Ushûl al-Fiqh
dapat melakukan pernikahan dengan pengingkaran istri bahwa ia belum segera. 41 pernah di-dukhûl, sementara orang yang
Berbeda apabila istri yang dicerai paling mengetahui pernah atau tidaknya sebelum melakukan hubungan suami
di-dukhûl selain dirinya adalah suaminya (qabl al-dukhûl), maka seperti dalam
yang telah meninggal. 45 firman Allah QS. Al-Ahzâb [33]: 49 istri
Firman Allah di atas merupakan tersebut dinyatakan tidak memiliki masa
nâsikh terhadap QS. Al-Baqarah [2]: 240 idah. Firman Allah ini merupakan takh-
yang menyatakan kepada para suami shîsh (pengkhususan) terhadap QS. Al-
untuk memberikan pesan kepada istri- Baqarah [2]: 228 sebelumnya dan men-
istrinya jika mereka meninggal lebih takhshîsh pula QS. Al-Thalâq [65]: 4. 42 dahulu agar para istri mendapatkan
Firman tersebut menunjukkan bahwa istri nafkah dan tetap berada di rumah sua- yang dicerai dalam keadaan tidak pernah
minya atau beridah selama satu tahun. 46 digauli dapat secara langsung menerima
Dilihat secara sepintas ayat di atas lamaran bahkan melakukan akad nikah
ditujukan kepada para suami yang akan dengan laki-laki lain setelah ditetap-
meninggal dunia, tetapi ini hanya bahasa kannya perceraian tersebut. 43 yang digunakan Al- Qur’an yang sebenar- nya merupakan hak suami yang
Idah Dilihat dari Hitungan Bulan
meninggal terhadap istri yang masih Ada beberapa kondisi bagi istri
hidup, 47 yakni hendaknya para suami yang menempuh masa idah berkaitan
memberikan pesan kepada istrinya ketika dengan idah dilihat dari hitungan bulan.
ia meninggal nanti untuk melaksanakan Istri yang ditinggal mati suaminya,
idah. 48
walaupun belum pernah melakukan Idah dilihat dari hitungan bulan hubungan suami istri (dukhûl), masih
juga terdapat pada kasus yang lain yakni kecil atau dewasa, bahkan telah
idah istri yang dicerai karena belum balig menopause, diwajibkan menempuh masa
atau karena telah memasuki masa idah selama 4 bulan 10 hari sebagaimana
menopause. Istri dalam kondisi ini seba- dalam firman Allah QS. Al-Baqarah [2]:
gaimana dalam Q.S. Al-Thalâq [65]: 4 234, kecuali istri yang ditinggal mati itu
diwajibkan menempuh masa idah selama hamil, maka idahnya sampai melahir-
3 bulan. Disebutkan dalam sebuah riwa- kan. 44 Khususnya istri yang belum pernah di-dukhûl, tetap diwajibkan me-
45 Ketentuan di atas diadopsi para pakar hukum
nempuh masa idah selama 4 bulan 10
Islam Indonesia yang kini dapat dilihat dalam
hari. Alasannya untuk menghindari pasal 153 ayat (2) huruf a Kompilasi Hukum
Islam.
Penjelasan
lebih lanjut, berikut
argumentasi-argumentasi yang lain dapat dilihat
41 Shihâb, Tafsir al-Mishbâh, Vol. 1, hlm. 456. dalam Syamsuddîn Muhammad ibn al-Khâthib al- 42 Ibn Athiyyah al-Andalûsî, al-Muharrar al-Wajîz fî
Syarbînî, Mughnî al-Muhtâj, Juz III, hlm. 508-518. Tafsîr al-Kitâb al- ‘Azîz, Juz IV (Beirut-Lebanon: Dâr al-
Abî Muhammad Mahmûd ibn Ahmad al- ‘Aynî, al- Kutub al- ‘Ilmiyyah, 2001), hlm. 390.
Binâyah fî Syarh al-Hidâyah , Juz V (Beirut- 43 Jalâluddîn al-Suyûthî, Al-Dur al-Mantsûr fî al-Tafsîr
Lebanon: Dâr al-Fikr, 1990), hlm. 410.
bi al- Ma’tsûr, Juz XII (Kairo: Hijr al-Buhûts, 2003), hlm. 46 Abû Zamanîn, Tafsîr al- Qur’ân al-‘Azîz, Jilid I (Kairo: 78.
al-Fârûq al-Hadîtsah, 2001), hlm. 237. 44 Ibid. Juz III, hlm. 14. Lihat pula Al-Thabarî, Tafsîr al-
47 Muhammad Thahir ibn ‘Asyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al- Thabarî , Jilid IV, hlm. 79. Lihat juga Ibn Rusyd,
Tanwîr , Juz II (Tunisia: Dâr at-Taunisyah, 1984), hlm. Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid , Juz II
(Surabaya: al-Hidayah, Tth), hlm. 72. 48 Shihâb, Tafsir al-Mishbâh, Vol. 1, hlm. 474.
KARSA, Vol. 20 No. 2, Desember Tahun 2012 | 283
Abdul Helim
yat, setelah turunnya firman Allah Q.S. bahkan walaupun suaminya belum diku- Al-Baqarah ayat 228 dan Q.S. Al-Baqarah
bur dan wanita tersebut melahirkan, ia ayat 234, masyarakat muslim ketika itu
pun dipandang halal untuk menikah memberikan komentar bahwa masih ada
dengan laki-laki lain. 52
yang belum disebutkan dalam firman Allah, yakni idah wanita yang masih kecil
Kecenderungan (Dilâlah) Doktrin Idah
(belum haid) dan yang hamil. Berdasar-
dalam Al- Qur’an terhadap Hukum
kan komentar ini, maka turunlah Q.S. Al- Dalam ushûl al-fiqh, istilah dilâlah Thalâq [65]: 4 ini. 49 selalu mengarah kepada dua hal yakni Ayat di atas juga mengisyaratkan,
qath ‘î dan zhannî. Qath‘î adalah suatu lafal pada dasarnya idah dihitung berdasarkan
yang hanya mengandung satu makna qurû ’, tetapi bagi wanita yang belum haid
dan maknanya jelas serta tidak menerima (lam yahidlna) atau wanita yang sudah
takwil. Sementara zhannî kebalikan dari monopause ( ya’isna min al-mahîdl),
qath ‘î, yakni suatu lafal yang memiliki perhitungan menurut qurû’ tidak mung-
banyak makna sehingga dapat diinter- kin diberlakukan sebab wanita dalam dua
pretasikan ke berbagai macam makna kondisi itu belum haid dan sudah
dan dapat ditakwil. 53
monopause, sehingga belum dan tidak Apabila dihadapkan dengan teori ada pula masa suci. Oleh karena itu, Al-
di atas, dipastikan ayat-ayat yang men- Qur’an memberikan petunjuk agar
jadi doktrin idah termasuk qath ‘î. perhitungan idah dilakukan dengan cara
Dikatakan demikian karena dalam QS Al- menghitung hari yakni tiga bulan. 50 Baqarah [2]: 228 terdapat lafal tsalâtsah yang artinya tiga yakni tiga kali qurû ’.
Idah yang Dilihat Sampai Melahirkan
Lafal tersebut tidak dapat diartikan selain Idah yang dilihat sampai melahir-
dari tiga. Begitu juga QS. Al-Baqarah [2]: kan yakni idah istri yang dicerai
234 secara lugas dan jelas menyebutkan suaminya dalam keadaan hamil. Wanita
wanita yang tinggal mati suaminya dalam kondisi ini seperti dalam Q.S. Al-
beridah sebanyak 4 bulan 10 hari. Tempo Thalâq [65]: 4 diwajibkan menempuh
ini tidak dapat dimaknai atau ditak- masa idah sampai melahirkan. Berdasar-
wilkan menjadi 5 bulan atau 3 bulan, kan kesepakatan para pakar bahwa ayat
bahkan 9 hari atau 11 hari. Ketentuan di atas berlaku pada semua wanita yang
dalam firman Allah tersebut telah jelas dicerai dalam keadaan hidup. Namun para pakar berbeda pendapat tentang
idah wanita yang ditinggal mati sua-
hukum Islam yang menyatakan apabila suami
minya dalam keadaan hamil. Ada yang
meninggal dunia dan istri dalam keadaan hamil,
mengambil masa yang terlama yakni
idahnya sampai melahirkan, walaupun masa
empat bulan sepuluh hari, ada pula yang
melahirkan tidak sampai 4 bulan 10 hari. Lihat hanya menentukan sampai melahirkan, 51 kembali Ibn Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid, Juz II,
hlm. 72.
52 Al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Juz XXVIII, hlm. 143.
49 Al-Qurthûbî, al- Jâmi’ al-Ahkâm , Juz XXI, hlm. 47. 53 Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh (Kairo: 50 Amirudin Aranni (ed), Tubuh, Seksualitas, dan
Dâr al-Qalam, 1978), hlm. 35. Muhammad Adîb Kedaulatan Perempuan: Bunga Rampai Pemikiran Ulama
Shâlih, Tafsîr an-Nushûsh fî al-Fiqh al-Islâmî, Jilid I Muda (Yogyakarta: LKiS, 2002), hlm. 148.
(Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 1993), hlm. 525-528 dan 51 Al-Thabarî, Tafsîr al-Thabarî, Juz 23, hlm. 54.
Quraish Shihâb, Membumikan Al- Qur’an (Bandung: Pendapat di atas adalah pendapat mayoritas pakar
Mizan, 1996), hlm. 137-141.
284 | KARSA, Vol. 20 No. 2, Desember 2012
Membaca Kembali ‘Illah Doktrin Idah dalam Perspektif Ushûl al-Fiqh
sehingga tidak ada makna lain selain dari Berdasarkan hal yang demikian, makna asal.
tidak menutup kemungkinan makna dari Hal yang tidak berbeda berkaitan
ayat-ayat idah masih dapat dimaknai dengan wanita yang tidak haid lagi atau
kembali atau dilakukan ekstensifikasi yang belum mengalami masa haid seperti
sehingga dapat digunakan untuk menja- dalam QS. Al-Thalâq [65]: 4, idahnya
wab tantangan zaman dan kema-juan sebanyak 3 bulan. Pada firman Allah
teknologi saat ini. Terlebih istilah qath ‘î yang sama juga disebutkan bahwa idah
dan zhannî yang secara spesifik hanya wanita yang bercerai dalam keadaan
diperuntukan pada ayat-ayat hukum hamil diungkapkan secara jelas yakni
adalah merupakan hasil kreasi (ijtihad) sampai melahirkan. Dengan jelasnya
para pakar ushûl al-fiqh yang menganalo- petunjuk hukum ini, maka ayat-ayat
gikan ke ayat-ayat muhkamât dan tersebut dapat dikatakan sebagai nas
mutasyâbihât . Oleh karena itu, tidak me- yang qath ‘î atau lebih spesifiknya disebut
nutup kemungkinan pula hasil kreasi ini qath ‘î al-dalâlah. Artinya, jelas dan
belum dipandang final. Kendati istilah tegasnya petunjuk hukum dalam nas
qath ‘î dan zhannî digunakan pula untuk tersebut serta tidak ada yang dapat
membuat kategori pada ayat-ayat Al- dimaknai dari ayat-ayat idah kecuali
Qur’an atau lebih khususnya pada ayat- mengikuti seperti yang secara tekstual
ayat hukum, tampaknya istilah qath ‘î tertulis pada masing-masing ayat.
lebih tepat digunakan untuk ayat-ayat Berkaitan dengan tidak adanya
universal yang membicarakan tentang peluang untuk memberikan interpretasi
nilai-nilai keadilan, kesejahteraan, persa- pada ayat-ayat idah di atas, tampaknya
maan, saling berbagi, dan berbagai nilai patut pula dipertimbangkan pendapat
kemaslahatan. Adapun istilah zhannî ada- Quraish Shihâb yang menyatakan teks-
lah seluruh ketentuan teks atau keten- teks Al- Qur’an sebenarnya tidak dapat
tuan normatif yang menterjemahkan dijangkau secara pasti maksud yang
ayat-ayat qath ‘î sebagaimana yang dimak- sebenarnya, baik hal tersebut diucapkan
sud. Oleh karena itu, menurut Masdar F. atau ditulis. Bagi Tuhan, mungkin hanya
Mas’udi, jika model qath‘î dan zhannî mengandung satu arti, tetapi bagi
yang ditawarkan di atas dapat diterima, pembaca atau pendengar memiliki arti
maka benar adanya jika dikatakan bahwa yang relatif. Sebaliknya, bagi pembaca
ijtihad tidak dapat dilakukan pada wila- atau pendengar hanya mengandung satu
yah qath ‘î, karena nilai-nilai keadilan, arti, tetapi bagi Tuhan mengandung
kesejahteraan, persamaan, saling berbagi, banyak arti. 54 Oleh karena itu, yang
dan berbagai nilai kemaslahatan tidak paling mengetahui maksud sebenarnya
akan pernah berubah dengan berubahnya secara mutlak sebuah teks hanyalah
zaman. 55
pemilik teks yakni Tuhan, sementara pembaca atau pendengar (manusia)
Menggali ‘Illah Hukum Idah dalam Al-
hanya dapat mencapai pengetahuan yang
Qur’an
relatif atau mendekati pada kebenaran yang dimaksud.
55 Mahsun Fuad, Hukum Islam di Indonesia: dari Nalar
Partisipatoris hingga Emansipatoris (Yogyakarta:
54 Ibid., hlm. 138. Pelangi Askara, 2005), hlm. 100.
KARSA, Vol. 20 No. 2, Desember Tahun 2012 | 285
Abdul Helim
pendapat di atas tampaknya tidak ditemukan adanya
Sepanjang kajian yang dilakukan,
Beberapa
tampaknya lebih tepat disebut sebagai pendapat para pakar tafsir yang menya-
hikmah idah, dan seperti ini pula menurut takan ‘illah hukum idah dalam Al-Qur’an.
pakar ushûl al-fiqh dan fikih. Dikatakan Penjelasan yang tampak lebih kompre-
sebagai hikmah, karena dari butir 1 hensif dan rinci, justru ditemukan dari
sampai 6 di atas baru dapat diperoleh dan penjelasan para pakar ushûl al-fiqh dan
dirasakan setelah dijalaninya idah. Ma- fikih sebagai berikut :
sing-masing wanita yang menjalaninya
1) Adanya idah adalah agar rahim pun, tampaknya memandang manfaat wanita menjadi bebas dan bersih
yang diperoleh secara berbeda sesuai serta tidak terkumpul air mani dari
dengan perspektif dan ketahanan psiko- dua orang laki-laki atau lebih pada
logis yang dimiliki. Oleh karena itu, hal satu rahim. Apabila air mani
tersebut tidak dapat dijadikan ukuran bercampur berarti keturunan yang
untuk menentukan hukum idah yang keluar pun akan bercampur;
justru apabila dipaksakan sebagai ‘illah
2) Adanya idah, sebenarnya menunjuk- (motif) adanya hukum idah, menyebab- kan penghormatan dan pengagungan
kan inkonsistensi dengan teori ushûl al- terhadap akad nikah yang pernah
fiqh , khususnya tentang ‘illah. Dampak dilakukan;
lainnya doktrin idah tidak dapat bertahan
3) Idah dapat dijadikan sebagai media menghadapi kemajuan zaman, sebab di- untuk merenung kembali bagi suami
pastikan adanya gugatan yang menyata- sehingga dapat rujuk kembali pada
kan ketidaksesuaian doktrin idah. Saat istrinya;
ini, teknologi kedokteran mampu menge-
4) Jika terpisahnya suami dan istri tahui ada atau tidak adanya janin dalam disebabkan kematian suaminya, ma-
kandungan, bahkan melalui tes urine pun ka adanya idah dapat dijadikan
beberapa detik berikutnya hasil tes terse- sebagai media untuk menunaikan
but dapat diketahui.
hak suami dengan cara menghor- Oleh karena itu, dipandang matinya melalui idah dan menun-
penting mengetahui ‘illah (motif) hukum jukkan rasa duka cita serta solidaritas
idah, agar doktrin ini selalu dapat terhadap keluarga suaminya (tafajju ‘);
berdialog dengan kemajuan dan peruba-
5) Istri dapat berhati-hati memilih suami han zaman. Berdasarkan hal tersebut, yang baru sehingga tidak menjadi
penulis memberanikan diri mengemuka- kemudaratan baginya pada hari-hari
kan bahwa ‘illah doktrin idah dalam Al- berikutnya;
Qur’an khususnya melalui proses al-sibr
6) Idah dapat dijadikan media ta ‘abbu- wa al-taqsîm 57 adalah etika atau kesopanan diyyah, yakni menerima dengan rela dan secara apa adanya menjalani
57 Jika ‘illah tidak ditentukan nas dan ijma‘, maka
‘illah digali melalui al-sibr wa al-taqsîm. Al-Sibr
masa idah yang telah diatur dalam
agama. 56 adalah penelitian dan pengujian terhadap bebe- rapa sifat yang terdapat dalam suatu hukum, apakah sifat tersebut layak untuk dijadikan 'illah
atau tidak. Kemudian diambil salah satu sifat
56 Al-Jâzirî, Kitâb al-Fiqh, Juz IV, hlm. 517. Sâbiq, yang paling tepat dijadikan 'illah dan sifat-sifat Fiqh as-Sunnah , Jilid II, hlm. 341; al-Zuhaylî, al-Fiqh
lainnya ditinggalkan. Adapun al-taqsîm adalah al-Islâmî , Juz VII, hlm. 627; Al-Jurjawi, Falsafah dan
kelanjutan dari al-sibr yakni membatasi 'illah pada Hikmah , hlm. 321-378. satu sifat dari beberapa sifat yang dikandung
286 | KARSA, Vol. 20 No. 2, Desember 2012
Membaca Kembali ‘Illah Doktrin Idah dalam Perspektif Ushûl al-Fiqh
terhadap pasangan. Dikatakan dalam bekas-bekas kenangan ketika berumah bahasa lain bahwa sesuatu yang menjadi
tangga. Oleh karena itu, agar bekas-bekas faktor adanya doktrin idah di dalam Al-
tersebut tidak hilang berlalu, maka di Qur’an adalah karena etika atau kesopa-
situlah diperlukan adanya idah. nan terhadap pasangan baik terhadap
Begitu juga melalui etika atau suami maupun terhadap istri. Diakui,
kesopanan (‘illah) tersebut, hikmahnya ‘illah hukum yang ditawarkan di atas
suami dan istri dapat memikirkan kem- terinspirasi dari hasil ijtihad Abdul
bali masa depan kehidupan rumah Moqsith Ghazâlî yang menyatakan hu-
tangga dan anak-anaknya, sehingga dari kum idah mestinya berlandaskan etik-
hal ini keduanya dapat rujuk kembali moral. 58 Kendati ia tidak menegaskan
sebagai suami istri . Hal yang sama, ‘illah apakah hasil ijtihad yang dilakukannya
idah berupa etika atau kesopanan meru- (etik- moral) disebut ‘illah atau tidak,
pakan penentu adanya idah bagi istri tetapi hasil ijtihad ini mengandung daya
yang ditinggal mati suaminya. Hikmah- yang kuat agar para pengkaji hukum
nya, istri dapat menunjukkan rasa Islam mengkaji kembali ‘illah doktrin
solidaritas dan berkabung ( tafajju’) atas idah.
meninggalnya suami tercinta yang melin- dunginya selama ini. Bahkan, agar masa
Etika atau Kesopanan adalah ‘Illah
berkabung ini dapat dilakukan dengan
Doktrin Idah
baik, Islam pun menetapkan hukum ihdâd Etika atau kesopanan merupakan
bagi istri yang dilakukan secara wajar. hal yang relevan untuk dijadikan sebagai
Hal yang tidak berbeda, ‘illah idah berupa motif ‘illah doktrin idah. Hal ini disebab-
etika atau kesopanan juga merupakan kan bahwa suami istri yang menjalani
adanya idah bagi wanita yang hamil kehidupan secara bersama, bahkan
sampai melahirkan bayinya. Hikmahnya menghabiskan waktu sampai bertahun-
adalah untuk menghormati benih yang tahun baik dalam suka maupun dalam
ditanam suami terdahulu. 59 duka, dipastikan memiliki kenangan
Berdasarkan gambaran di atas, yang tidak dapat digambarkan oleh
‘illah doktrin idah berupa etika atau orang lain. Selama berumah tangga,
kesopanan merupakan faktor penting keduanya hidup dalam satu irama, satu
tawa dan canda, sehingga apabila rumah
59 Idah di atas memang semata-mata menghormati
tangganya tidak dapat dilanjutkan kem-
hak suami dan benih yang ditanam oleh suami
bali yang berakhir pada perceraian baik
terdahulu, walau pun sebenarnya dalam dunia
keadaan istri masih belum bisa haid, kedokteran dan kesehatan, wanita yang telah
dinyatakan hamil dan kemudian melakukan
masih bisa haid, atau pun tidak bisa haid
hubungan badan, misalnya dengan laki-laki lain
lagi, maka tidak etis atau tidak sopan
tidak mempengaruhi keberadaan janin di dalam
apabila perceraian membuat hilangnya
rahim. Lebih jelasnya dapat dilihat dalam A dmigm, “Hubungan Sex di Masa Kehamilan”, Info
Tahun 2008: suatu nas. Lihat di antaranya di Abdul Karîm
Kesehatan ,
http://www.terapisehat.com/2008/08/hubunga Zaydân, Al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh (Beirut: Mu’assah al-
n-seks-di-masa-kehamilan.html. Diakses 16 Juni Risâlah, 1998), hlm. 214. Lihat juga Muhammad ibn
2012. Lihat pula Anonim, “Hubungan Seksual Husain ibn Hasan al-Jayzânî, Ma ‘âlim Ushûl al-Fiqh
selama Kehamilan”, Kehamilan, Tahun 2012: ‘inda Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah (Riyadl: Dâr ibn al-
http://www.psychologymania.com/2012/09/hu Jawzî, 1996), hlm. 209.
bungan-seksual-selama-kehamilan.html, Diakses 58 Aranni (ed.), Tubuh, Seksualitas, hlm. 159.
5 November 2012.
KARSA, Vol. 20 No. 2, Desember Tahun 2012 | 287
Abdul Helim
288 | KARSA, Vol. 20 No. 2, Desember 2012
dalam setiap rumah tangga muslim yang bercerai. Dengan ‘illah tersebut, Islam
tidak hanya mengatur hubungan suami istri untuk saling menghormati ketika berumah tangga, tetapi Islam pun juga sangat memperhatikan relasi yang harmonis ketika telah terjadinya perce- raian. ‘Illah seperti ini patut dipertahan- kan, agar tidak terjadinya pemahaman yang cenderung spekulatif terhadap doktrin idah. Selain itu, dengan ‘illah tersebut doktrin idah tetap berlaku sepanjang zaman dan tidak terpengaruh dengan kemajuan teknologi.
Permasalahan yang timbul adalah konsekuensi dari ‘illah ini, yakni apabila ‘illah doktrin idah adalah etika atau kesopanan, maka yang dituntut untuk beridah tampaknya tidak hanya istri,
tetapi berlaku pula pada suami. 60 Hal ini
disebabkan bahwa etika atau kesopanan tidak memandang jenis kelamin dan status, sehingga dapat berlaku untuk semua orang termasuk suami.
60 Diakui bahwa adanya idah bagi suami sebenarnya bukan hal yang baru. Pada tahun
2004, Tim Pengarusutamaan Gender telah menyuarakan kewajiban idah bagi mantan suami melalui Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang mereka ajukan. Namun sepanjang pengetahuan penulis kewajiban idah bagi suami dalam Counter Legal Draft itu dipandang tidak memiliki legal norm (pijakan) kuat terutama dari hasil penelitian para pakar hukum Islam Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini pun tidak bersandar pada Counter Legal Draft tersebut dan hemat penulis, adanya idah bagi mantan suami masih aktual untuk dikaji kembali. Dalam penelitian ini, penulis telah berupaya menjelaskan kewajiban idah bagi mantan suami dengan maksimal, salah satunya melalui pendekatan ushûl al-fiqh sebagai teori hukum Islam. Persoalan ini juga sangat terbuka untuk dikaji melalui multi pendekatan baik pendekatan sosiologis, psiko- logis, maupun pendekatan lainnya, sehingga setiap hasil kajian yang dilakukan dapat saling bersinergi.
Idah bagi Suami: Aplikasi Maqâshid al- Syarî‘ah dalam Kondisi Sosial Budaya Kekinian
Hukum yang baik tidak hanya membahas sah atau tidak sahnya suatu perbuatan, haram atau halal, wajib atau tidak wajib, termasuk pula makruhnya melakukan suatu perbuatan, tetapi hu- kum yang baik adalah hukum yang mengikutsertakan etika atau kesopanan, sehingga produk hukum yang dikeluar- kan tidak kering atau terkesan normatif doktriner. Hukum yang mengikutserta- kan etika atau kesopanan dapat tumbuh subur dalam kehidupan masyarakat karena dapat diterapkan oleh masyarakat sesuai fitrah dan suasana psikologis masyarakat itu sendiri.
Dengan dikemukakannya ‘illah idah tersebut, maka doktrin idah selalu relevan dengan kehidupan masyarakat di setiap masa dan tetap berlaku sepanjang zaman. Bahkan tidak terpengaruh dengan kemajuan teknologi. Hal ini disebabkan doktrin idah dilahirkan dari etika atau kesopanan terhadap pasangan. Konse- kuensi dari penetapan ‘illah doktrin idah di atas, yang mesti menempuh masa idah tidak hanya ditujukan pada istri, tetapi juga berlaku pada suami. Diberlaku- kannya idah pada suami sebenarnya untuk mewujudkan kemaslahatan dan kebaikan, baik pada suami atau pun pada istri. Hal yang utama, memberlakukan idah pada suami menurut hemat penulis termasuk memelihara maksud-maksud syara ’ (al-muhâfazhah ‘alâ maqshûd al-
syar ‘i), 61 setidaknya dapat memelihara
61 Memelihara maksud syara ’ yang dimaksud adalah memelihara ushûl al-khamsah (unsur-unsur