Husni Thamrin, Zulfan Saam; ECO-Religio-Culture Suatu Alternatif Pengelolaan Lingkungan
ECO-RELIGIO-CULTURE SUATU ALTERNATIF PENGELOLAAN LINGKUNGAN
Husni Thamrin, Zulfan Saam E= husnithamrin23@gmail.com, husni@yahoo.com, zulfansaam@yahoo.com PPs UIN Sultan Syarif Kasim Riau
Abstract
Rapid technological advances, makes progress in all fields and at the same time cause undesirable effects. The impact of technological advances that have become prominent global impact, so the concern of all countries in the world. An environmental impact globalized is not solely due to rapid technological advances, but also induced human
One of the ironies of the development of human civilization is the development and modernization is intended to improve the quality of human life, including indigenous peoples, but it is more often the indigenous peoples who are victims of development and modernization Though indigenous peoples are loaded with the values of local wisdom in preserving the environment life. Local people had a cosmological view of the very high in maintaining a sustainable environment. Traditional knowledge is a system in the order of social, political, cultural, economic and environmental life in the midst of the local community. Characteristics inherent in traditional wisdom is that it is dynamic, sustainable and acceptable to the community. In local communities, traditional wisdom embodied in the form of a set of rules, knowledge and skills as well as values and ethics that govern the social order that communities continue to thrive from generation to generation. In accordance with customary rules of traditional knowledge which is a system in the order of socio- political-cultural-economic and living environment in the middle of the local community. Characteristics inherent in traditional wisdom is that it is dynamic, sustainable and acceptable to the community.
Local wisdom Malays not only in the form of values and customary norms, but also included in the activities and the use of technology. This can be seen as behavior and attitude, everyday, use pickaxe (tool to cut), axes (tool for splitting), lading or machete (a tool for slashing), trowel (tool for weeding), cabak (a tool for reversing land) , sickle (a tool for cutting grass), tembilang (a tool for digging), and others. All of these tools if used, nobody has the potential to damage the environment to the extent that harm.
Key word: eco culture, eco religious and environmental.
AL-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 15 , No. 1 , Januari – Juni 2016
PENDAHULUAN
Pendekatan eco-religio-culture merang- kum suatu falsafah pengelolaan sumberdaya, yang mengupayakan produktivitas lewat dukungan ekosistem. Pembangunan berwawasan lingkungan (eco-development) tidak menganjurkan untuk kembali kepada metode produksi yang digunakan oleh nenek moyang. Sistem pembangunan itu memper- hatikan sejarah budaya dari berbagai masyarakat tani, keterampilan yang sudah membudaya dikalanganorang biasa, dan eco-religio-culturemenyatakan bahwaorang menghubungkan diri dengan lingkungan alam mereka dengan pendekatan budaya dan nilai nilai agama.Hasil penelitian dan percobaan apapun hanya akan bernilai terapan terbatas apabila tidak melibatkan pelaku utama pembangunan dalam peran yang seharusnya mereka jalankan.
Keberadaan komunitas masyarakat Melayu tradisional dari hari kehari semakin memprihatinkan. Komunitas masyarakat ini adalah komunitas masyarakat yang sangat lemah dan rentan terhadap perubahan. Masyarakat Melayu memiliki komposisi mata pencaharian sebagai petani ladang berpindah-pindah di hutan. Dihutanlah sesungguhnya mereka dapat mempertahan- kan dirinya, karena di hutan tersedia berbagai fauna dan flora serta sumberdaya alam lainnya seperti air dan tanah untuk keberlangsungan hidup (Husni, 2003). Dewasa ini hutan sebagai tempat mereka hidup hampir dikatakan tidak ada lagi, karena hutan telah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan para konglomerat dan eksploitasi minyak diatas pemukiman mereka. Hilangnya hutan ini telah mengakibatkan perubahan lingkungan yang sangat luar biasa. Flora, fauna, air dan hasil-hasil hutan sebagai tempat mereka hidup saat ini sudah sangat terbatas. Masyarakat ini sekarang
hidup dalam keadaan marjinaldiakibatkan oleh kebijakan pemerintah yang sentralistik,tidak memperhatikan kearifan lokal, hukum adat, dan tidak mengakui keberadaan hak tanah adat.
Lingkungan hidup merupakan suatu sistem yang terdiri dari sub-sub sistem yang saling menunjang serta bekerja sama dan terikat secara integrasi dalam rangka memenuhi keberlangsungan dari perikehidu- pan antar makhluk hidup. Manusia merupakan bagian dari lingkungan dan sangat tergantung kepada lingkungan sehingga manusiapun dapat mengubah suatu lingkungan. Perubahan lingkungan oleh manusia ini dapat menimbulkan dampak positif dan negatif dengan interaksi yang sangat kompleks (Surjani,2006). Pengaruh terhadap suatu unsur akan merambat pada unsur lain sehingga pengaruhnya terhadap manusia sering tidak dapat dengan segera terlihat dan terasakan. Jadi, manusia adalah bagian integral dari lingkungan hidupnya, yang tidak dapat terpisahkan.
Masyarakat Melayu dengan lingkungan hutan, sungai, laut dan danau, memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Jika kawasan lingkungan di tempat ini mengalami gangguan kestabilan lingkungan, maka gangguan di tempat tersebut juga akan mengalami peningkatan dari waktu ke waktu, sehingga menimbulkan masalah berupa penurunan kualitas sungai, flora dan fauna. Kegiatan yang dilakukan diantaranya disebabkan oleh kebijakan pemerintah dalam memanfaatkan hutan sebagai sumber kehidupan, baik interaksi langsung maupun tidak langsung.
Peningkatan aktifitas manusia di sepanjang aliran sungai, ternyata telah menurunkan kualitas dan kuantitas pada sungai yang ada di Riau.Sebagai gambaran,lahan-lahan yang dahulunya hutan di sepanjang Sungai Rokan kini telah banyak
Husni Thamrin, Zulfan Saam; ECO-Religio-Culture Suatu Alternatif Pengelolaan Lingkungan
dibuka lahan perkebunan kelapa sawit. Alih pemuka adat mereka seharusnya memberi fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa
contoh penerapan nilai-nilai adat secara sawit ternyata memberikan dampakpada aktual. Tetapi kini tidak lagi terlihat, bahkan peningkatan erosi. Erosi ini akan yang terjadi adalah banyak hak-hak dilanggar meningkatkan kekeruhan perairan dan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kearifan pendangkalan khususnya di muara sungai
yang terkandung dalam adat Melayu (Sjakowi , 2007).
(wawancara dengan Darmansyah, tokoh Selain Sungai Rokan, sungai lainnya
masyarakat Bagan Siapi-api, Rohil,tanggal 23 yang banyak di huni oleh komunitas Melayu
Agustus 2011).
saat ini telah memasuki kondisi kritis yang Masyarakat Rohil terikat dengan sistem disebabkan oleh banyaknya lahan sosial budaya adat Melayu. Adat Melayu disepanjang sungai yang dialihkan dari hutan
menjadi elemen normatif tertinggi untuk yang fungsi ekologisnya sebagai penangkap
mengatur masyarakat Melayu. Adat Melayu air hujan menjadi lahan pertanian dan memiliki nilai-nilai kearifan lingkungan dan perkebunan. Akibatnya pada musim seperangkat nilai filosofi, aktivitas dan material penghujan air Sungai Siak melimpah dan
yang sangat potensial untuk dapat menimbulkan banjir besar di sepanjang melestarikan lingkungan untuk menunjang daerah yang dilaluinya sehingga banyak
pembangunan Kabupaten Melayuyang menimbulkan kerugian masyarakat.
berkelanjutan.Disisi lain berdasarkan data Kasus degradasi lingkungan lainnya di
diatas, degradasi lingkungan di Riau dari hari Melayuadalah kasus kehutanan. ke semakin krisis, sehingga perlu upaya yang Berdasarkan data kehutanan, selama kurun
serius untuk menanggulanginya dalam waktu 12 tahun (1985-1997), terjadi bentuk kebijakan formal yang memasukkan pengurangan areal hutan seluas 864.809 ha
kearifan tradisional orang Melayu dalam (14,6 persen). Salah satu akibatdari kebijakan pemerintah dan partisipasi deforestasi ini adalah hilangnya kawasan
masyarakat dalam penyelamatan lingkungan penyimpanan karbon (carbon sink) dan hidup yang berkelanjutan. penyerapan karbon dalam bentuk fotosintesis tanaman yang pada akhirnya berpengaruh
pada siklus karbon dan neraca karbon. Paradigma Lingkungan:
Pembakaran hutan yang marak di Provinsi
Anthropocentrisme vs Ecocentrisme
Riau dalan 10 tahun terakhir ini telah Dalam buku Etika Lingkungan meningkatkan konsentrasi gas-gas CO dan
(2010),Keraf menyatakan, krisis lingkungan CO 2 di udara yang selanjutnya meningkatkan
berakar pada kesalahan perilaku manusia, efek rumah kaca dan pada akhirnya dan kesalahan perilaku manusia berakar pada mengakibatkan meningkatnya suhu bumi. cara pandang manusia tentang dirinya, alam Peningkatan suhu bumi ini selanjutnya dan hubungan antara manusia dengan alam. berpengaruh terhadap perubahan iklim baik
Karena itulah, jika kita ingin memperbaiki secara lokal maupun global (Sjakowi,2007).
keadaan, mengubah cara pandang yang Sejalan dengan perkembangan zaman,
antroposentris menjadi ekosentris adalah maka pada saat ini telah terjadi pergeseran
kebutuhan bersama.
kesadaran masyarakat Melayu terhadap nilai- Antroposentrisme ialah teori etika nilai adat mereka. Pergesaran tersebut dapat
lingkungan yang memandang manusia dilihat dari peranan tokoh adat. Sebagai
sebagai pusat dari sistem alam semesta.
AL-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 15 , No. 1 , Januari – Juni 2016
Manusia dan kepentingannya dianggap yang pantas untuk dilindungi. Sebaliknya, kalau paling menentukan dalam tatanan ekosistem
alam itu sendiri tidak berguna bagi dan dalam seluruh kebijakan yang diambil
kepentingan manusia, alam akan diabaikan dalam kaitannya dengan alam, baik secara
begitu saja.
langsung ataupun tidak. Nilai tertinggi adalah Antroposentrisme juga disebut sebagai manusia sekaligus kepentingannya (Keraf,
teleologic karena mendasarkan 2010). Akibatnya, alam hanya diposisikan
etika
pertimbangan moral pada akibat dari tindakan sebagai objek, instrumen, dan sarana bagi
tersebut bagi kepentingan manusia. Suatu pemenuhan kebutuhan dan kepentingan kebijakan dan tindakan yang baik dalam manusia.
kaitan dengan lingkungan hidup akan dinilai
Antroposentrisme dilihat sebagai baik kalau mempunyai dampak yang sebuah teori filsafat yang mengatakan bahwa
menguntungkan bagi kepentingan nilai dan prinsip moral hanya berlaku bagi
manusia.Konservasi, misalnya, hanya manusia, dan bahwa kebutuhan dianggap serius sejauh itu bisa dibuktikan dankepentingan manusia mempunyai nilai mempunyai dampak menguntungkan bagi paling tinggi dan paling penting. Bagi teori
kepentingan manusia, khususnya kepenti- antroposentrisme, etika hanya berlaku bagi
ngan ekonomis (Keraf, 2010). manusia. Maka, segala tuntutan mengenai
Ekosentrisme merupakan teori etika perlunya kewajiban dan tanggung jawab lingkungan yang memusatkan diri pada moral manusia terhadap lingkungan hidup
seluruh komunitas lingkungan, baik yang dianggap sebagai tuntutan yang berlebihan,
hidup maupun tidak. Ia mendobrak cara tidak relevan dan tidak pada. tempatnya.
pandang antroposentrisme yang hanya Kalaupun tuntutan seperti itu masuk akal, itu
membatasi fokus keberlakuan etika pada hanya dalam pengertian tidak langsung, yaitu
komunitas manusia belaka. Antroposentrisme sebagai pemenuhan kewajiban dan tanggung
telah menjadikan manusia sebagai penguasa jawab moral manusia terhadap sesama.
yang terus menerus mengeksploitasi alam. Maksudnya, kewajiban dan tanggung
Menurut Redcliff (1990) komponen-komponen jawab moral manusia terhadap lingkungan
pertumbuhan dan paradigma lingkungan hidup kalaupun ada, hanya semata-mata adalah sebagai berikut : demi memenuhi kepentingan sesama manusia. Kewajiban dan tanggung jawab terhadap alam hanya merupakan perwujudan kewajiban dan tanggung jawab moral terhadap sesama manusia. Bukan merupakan perwujudan kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap alam itu sendiri(Keraf,2010).
Dalam pandangan antroposentris,alam dinilai sebagai alat bagi kepentingan manusia. Kalaupun manusia mempunyai sikap peduli terhadap alam, itu semata-mata dilakukan demi menjamin kebutuhan hidup manusia, bukan karena pertimbangan bahwa alam mempunyai nilai pada diri sendiri sehingga
Husni Thamrin, Zulfan Saam; ECO-Religio-Culture Suatu Alternatif Pengelolaan Lingkungan
Tabel 1 Paradigma Lingkungan Hidup
No Antroposentrisme Ekosentrisme 1 Dominan melawan alam
Harmonis dengan alam
2 Lingkungan alam sebagi sumber Nilai-nilai di alam /biosfer yang tidak memihak 3 Tujuan material/pertumbuhan ekonomi
Tujuan non material/keberlanjutan lingkungan
4 Cadangan banyak/bahan pengganti
Cadangan terbatas
sempurna 5 Teknologi tinggi/penyelesaian ilmu
Penyelesaian teknologi yang sesuai pengetahuan 6 Konsumerisme
Kebutuhan dasar /daur ulang
7 Tersentral /skala besar
Desentralisasi/skala kecil
8 Otoriter/struktur memaksa
Partisipatoris/demokrastis.
Sumber : Naess (1973),
Salah satu versi ekosentrisme ini adalah yaitu perubahan cara pandang, nilai dan teori etika lingkungan yang kini populer dikenal
perilaku atau gaya hidup.
dengan deep ecology. Sebagai sebuah istilah, Seperti dielaborasi oleh Sonny Keraf deep ecology diperkenalkan pertama kali oleh
(2010) filsafat pokok deep ecology disebut Arne Naess, seorang filsuf Norwegia di tahun
Naess sebagai ecosophy, kombinasi antara 1973. Naess (1973) akhirnya dikenal sebagai
"eco" yang berarti rumah tangga dan "sophy" salah seorang tokoh utama gerakan deep
yang berarti kearifan. Jadi, ecosophy bisa ecology, yang tidak mengubah sama sekali
berarti kearifan mengatur hidup selaras hubungan antara manusia dengan manusia.
dengan alam sebagai sebuah rumah tangga Ada dua hal yang sama sekali baru
dalam arti luas. Ecosophy meliputi suatu dalam deep ecology. Pertama, manusia dan
pergeseran dari sekadar sebagai sebuah ilmu kepentingannya bukan ukuran bagi segala
(science)menjadi sebuah kearifan (wisdom). sesuatu yang lain. Deep ecology memusatkan
Pola hidup yang arif mengurus dan perhatian kepada seluruh spesies, termasuk
menjaga alam sebagai sebuah rumah tangga spesies bukan manusia. Ia juga tidak ini bersumber dari pemahaman dan kearifan memusatkan pada kepentingan jangka bahwa segala sesuatu di alam semesta ini pendek, tetapi jangka panjang. Maka dari itu,
memiliki nilai pada dirinya sendiri, dan nilai ini prinsip moral yang dikembangkan deep
jauh melampaui nilai yang dimiliki oleh dan ecology menyangkut seluruh kepentingan untuk manusia. Karena itu, tidak hanya komunitas lingkungan. Kedua,deep ecology
manusia yang memiliki nilai dan berbagai dirancang sebagai etika praktis. Artinya, kepentingan yang harus dihargai, melainkan prinsip-prinsip moral etika lingkungan harus
juga semua isi alam semesta ini. Kearifan ini diterjemahkan dalam aksi nyata dan konkret.
menjelma menjadi pola dan gaya hidup tidak Etika baru ini menyangkut suatu gerakan yang
seenaknya menebangi hutan. Ini juga berarti jauh lebih dalam dan komprehensif dari memberi kesempatan kepada seluruh isi sekadar sesuatu yang amat instrumental dan
hutan untuk menikmati hidupnya. ekspansionis. Deep ecology merupakan
Agama-agama yang dipeluk oleh gerakan nyata yang didasarkan pada masyarakat Indonesia, mulai dari Islam, perubahan paradigma secara revolusioner,
Hindu, Kristen, Budha dan Konghuchu, juga terbukti mengajarkan pemeluknya untuk
AL-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 15 , No. 1 , Januari – Juni 2016
senantiasa menjaga dan memelihara alam sekitarnya. Bahkan menurutnya, sekarang ini beberapa organisasi keagamaan di Indonesia telah membentuk institusi yang bergerak dalam pengelolaan lingkungan hidup. (Keraf,2010).
”Semua kearifan lingkungan yang dimiliki tersebut, apabila kita rajut dan berdayakan akan sangat bermakna dalam upaya penyelamatan bumi”. Sebagai kekuatan sosial, kearifan lokal tersebut akan menjadi kebutuhan utama dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Dalam penyelenggaraannya perlu ditunjang oleh kearifan-kearifan institusi dan konstitusi yang membumi dan selaras dengan sosial budaya masyarakat.
Menurut A. Sony Keraf (2010) sejak tahun 1980-an, agenda politik lingkungan hidup mulai dipusatkan pada paradigma pembangunan berkelanjutan. Mula pertama, istilah ini muncul dalam World Conservation Strategy dari International Union for the Conservation of Nature (1980), lalu dipakai oleh Lester R. Brouwn dalam bukunya Building a Sustainable Society(1981). Istilah tersebut kemudian menjadi sangat populer melalui Laporan Brundtland, Our Common Future(1987). Akhirnya, pada tahun 1992, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, paradigma pembangunan berkelanjutan diterima sebagai sebuah agenda politik pembangunan untuk semua negara di dunia. Hanya, hingga kini paradigma tersebut tidak banyak diimplementasikan, bahkan masih belum luas dipahami dan diketahui. Krisis ekologi masih saja terjadi, penghancuran dan pengrusakan lingkungan hidup terus berlangsung dan bahkan kian tidak terkendali. Artinya, paradigma pembangunan berkelanjutan belum mampu menjawab berbagai persoalan lingkungan hidup.
Sony Keraf (2010) mengatakan bahwa paradigma pembangunan berkelanjutan tersebut sebenarnya kembali menegaskan ideologi developmentalisme.Apa yang dicapai di KTT Bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1992 yang lalu, tidak lain adalah sebuah kompromi yang mengunggulkan kembali pembangunan, dengan fokus utamanya berupa pertumbuhan ekonomi. Selain itu, menurut Salim (2010), krisis ekologi diakibatkan karena agenda pembangunan sumberdaya alam yang telah dijalankan saat ini, tidak melalui pendekatan paradigma pembaruan lingkungan hidup yang meletakkan prinsipnya pada nilai-nilai keberlanjutan kehidupan (keberlanjutan ekologi) maupun jaminan pada hak atas lingkungan hidup sebagai sumber-sumber kehidupan dan asasi rakyat.
Lingkungan hidup menyediakan kebutuhan-kebutuhan hidup manusia. Begitupun sebaliknya, kehidupan manusia sangat tergantung pada tersedianya sumberdaya alam yang memadai dalam lingkungan hidup.Persoalan lingkungan hidup mulai menjadi topik dunia ketika manusia mulai tersentak bahwa bumi sudah tidak ramah lagi dan mulai merasakan dampaknya yang semakin meluas akibat berbagai aktivitas manusia itu sendiri. Pertumbuhan penduduk dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin meningkatkan aktivitas eksploitasi terhadap alam oleh manusia sehingga membuat alam tidak mampu lagi memperbaiki dirinya sendiri secara alami. Dengan kondisi seperti ini, lingkungan hidup perlu diatur dan dikelola dengan baik sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal, mencukupi kebutuhan kehidupan generasi saat ini tanpa harus mengurangi kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan kehidupan generasi yang akan datang.
Husni Thamrin, Zulfan Saam; ECO-Religio-Culture Suatu Alternatif Pengelolaan Lingkungan
Krisis ekonomi semakin tak terpulihkan sumber-sumber kehidupan (agraria-sumber karena semua kekayaan negara dikuasai oleh
daya alam). Pada gilirannya, berbagai segelintir elit politik dan modal. Kuasa-kuasa
bencana lingkungan, seperti kebakaran hutan modal internasional telah menekan elit dan lahan, banjir, kekeringan, pencemaran, pemerintahan supaya memperoleh dan krisis air telah menjadi bencana yang kemudahan-kemudahan akses dan harus diderita oleh masyarakat adat dari tahun penguasaan sumber-sumber kehidupan ke tahun. rakyat, aset negara (perusahaan-perusahaan milik negara), keringanan pajak, dan lain-lain.
Perekonomian nasional telah tunduk dan Eco- Religio Culture: Suatu Pendekatan
takluk pada sistem kapitalisme global. Telah Eco-religio-cultureadalah bentuk disahkan pula beberapa perundangan-
pandangan yang mengusahakan sedapat undangan yang memberi akses seluas-
mungkin tercapainya keharmonisan luasnya bagi kepentingan modal dalam dan
lingkungannya dengan kebudayaan dan nilai- luar negeri atas sumber-sumber kehidupan
nilai agama . Dalam hal tertentu dalam eco- rakyat.
relgio culturebisa saja memasukkan
Krisis sosial budaya terjadi karena komponen lingkungan alam, sosial dan proyek-proyek pembangunan dan perluasan
ekonomi sebagai kesatuan yang tak investasi telah meluluhlantakkan basis sosio-
terpisahkan dalam menjaga keharmonisan kultur rakyat di seluruh penjuru Nusantara.
lingkungan (Northbourne, 1940). Dalam eco- Konflik sosial antara rakyat dan negara, rakyat
religio cultureselalu dijumpai unsur alam dan dan pemodal, juga antara rakyat dan rakyat
sosial dalam kombinasinya, sehingga dalam semakin marak dan kompleks serta tak hal ini eco-relgio culture merupakan kajian terselesaikan. Konflik-konflik sosial meningkat
sosio-ekologi-religius. Dalam istilah lain dengan dukungan kekuatan militeristik dari
disebut juga integrated farming (atau pihak yang lebih berkuasa dan kuat. integrated crop management, ICM) yang Ambruknya sistem kebudayaan rakyat merupakan pola holistiksosio-budaya yang menjadikan rakyat tak mampu melakukan
mengintegrasikan proses regulasi alami reproduksi sosial bagi keberlanjutan menjadi aktivitas masyarakat adat untuk kehidupan generasi mendatang.
mencapai peralihan maksimal dan untuk Krisis ekologi terjadi karena negara,
mempertahankan sosio-budaya. Sistem- pemodal, dan sistem pengetahuan 'modern'
sistem yang terintegrasi didalamnya antara telah mereduksi alam menjadi onggokan lain: multifunctional crop rotation, integrated komoditi yang bisa direkayasa dan nutrient management, minimum soil dieksploitasi untuk memperoleh keuntungan
cultivation, integrated crop management, ekonomi jangka pendek. Ekspansi sistem
danecological infrastructure management. monokultur, eksploitasi hutan, industri keruk
Eco-culturejuga disebut sebagai organic kekayaan tambang telah mengganggu dan
cuture atau metode sosial-budaya yang menghancurkan fungsi-fungsi ekologi dan memperkecilmodernisasi dalam proses keseimbangan alam. Privatisasi kekayaan perubahan sosial. alam hanya diperuntukkan semata-mata
Hal ini bertujuan untuk memproduksi untuk tujuan komersial, bahkan dengan hasil alam dengan nilai nutrisi tinggi dan alasan konservasi sekalipun telah mengimprovisasi fertilitas jangka panjang serta menjauhkan akses dan kontrol rakyat pada
lingkungan yang berkelanjutan. Sistem ini
AL-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 15 , No. 1 , Januari – Juni 2016
memajukan dan meninggikan ekosistem, tanam secara bergantian untuk keberlanjutan termasuk biodiversitas, siklus biologi dan lingkungan. aktivitas biologi di dalam tanah. Istilah organic
Hingga saat ini, shifting cultivation sendiri farming sendiri ditemukan oleh Northbourne
belum cukup dimengerti, selalu disebut primitif, (1940) dari bukunya berjudul Look to the Land
boros, ilegal, tanpa mengambil pertimbangan yang lahir dari konsepsinya tentang “budaya
variabel lokal seperti kerapatan populasi, areal sebagai organisme”, dimana dia memaparkan
lahan yang tersedia, iklim, tanah, atau kearifan sebuah pendekatan holistik dan lokal pertanian. Meskipun pengertian keseimbangan lingkungan dan sosio-budaya.
pertanian bergantian (shifting cultivation) Prinsip utama sosio-culture adalah masih dalam perdebatan namun banyak penggunaan input luar yang rendah yang
pakar menyetujui bahwa pada istilah tersebut berlawanan dengan penggunaan input luar
terdapat komponen arti yaitu berbagai macam yang tinggi. Berdasarkan prinsip tersebut,
aplikasi bertani yang memiliki masa tandus berkembang berbagai istilah seperti cyclic
dalam arti untuk mempertahankan culture system, regeneratif culture, sustainable
produktivitas ecologis.
culture, organic culture, organic system, Sementara itu dua alasan utama organic agriculture, biological agriculture,
dilakukannya penandusan (fallow) adalah purely organic agriculture, dan eco-culture,
untuk mengeliminasi keberadaan gulma dan yang merupakan kontras dari istilah-istilah
membangun fertilitas ekosistem. Gulma tentu conventionalculture,
industrialized farm saja dianggap mengganggu bagi lahan agriculture, dan industrialized farming system
pertanian dalam hal kompetisi nutrisi pada (Mugnisjah, 2001).Kultur organik merupakan
tanah dimana gulma memiliki ketahanan hukum pengembalian (law of return) yang
hidup yang tinggi dan pertumbuhan yang berarti suatu sistem yang berusaha untuk
super cepat. Hal ini tentu saja menjadi mengembalikan semua jenis bahan organik
kompetitor besar bagi komoditas pertanian. ke dalam tanah baik dalam bentuk residu dan
Beberapa studi memperlihatkan apakah limbah pertanaman maupun ternak yang peningkatan tekanan gulma berkorelasi selanjutnya bertujuan memberi makanan dengan reduksi panen. pada tanaman (Sutanto, 2002).
Fertilitas ekosistem berhubungan juga Praktik eco- religio-culturetidak selalu
dengan pembersihan ladang dari gulma pada menyalahkan lingkungan konvensional masa tandus, menurut Clarke (1976) dan secara keseluruhan, melainkan menghubu-
Dove (1985) dari berbagai studi ngkan dari konsep lingkungan konvensional
mengindikasikan bahwa hutan sekunder yang menjadi sesuatu yang baik bagi alam muda berkembang menuju hutan yang mengacu pada konsep “kembali ke alam”
matang karena kemudahan dalam yang berwawasan eco- religio-culture. Salah
pembersihan (easyclearing). Hal ini karena satu contohnya adalah pengelolaan pengaruh kuat masa tandus terhadap kondisi ekofarming pada jenis pertanian kultivasi tanah pada masa berladang setelah melalui bergantian (shifting cultivation). Shifting
masa tandus.
cultivation atau pertanian slash and burn Eco-religio-culture memiliki keuntungan (potong dan bakar) dikenal juga sebagai
baik dari segi lingkungan maupun sosial- ladang-hutan bergantian. Pengelolaan ekonomi-ekologis karena sistem ini memang lingkungan dalam hal ini mengacu pada
mengintegrasikan ketiganya. Keuntungan masalah masa tandus (fallow) dan masa
lingkungan jelas didapat diantaranya,hutan,
Husni Thamrin, Zulfan Saam; ECO-Religio-Culture Suatu Alternatif Pengelolaan Lingkungan
tanah, nilai tradisonal konservasi air, siklus kebijakan yang berwawasan eco-religio daur ulang hara pada tanah, biodiversitas
culture.
yang tinggi, dan tentu saja fertilitas ekosistem sehingga didapat lingkungan berkelanjutan
(Bronfenbrenner,1979).Revitalisasi ekonomi Metode
didapat dari optimalisasi produksi pertanian Penelitian ini menggunakan metode melalui berbagai cara pertanian seperti kualitatif grounded research, yang bertujuan diversifikasi komoditas dalam satu petak untuk memahami keberadaan yang saling (multiple cropping), dapat juga dengan lahan
berhubungan antara berbagai gejala eksternal kecil dan sumber daya pekerja minimum
dan internal dalam kehidupan masyarakat dengan cara permaculture (permanent adat di Kabupaten Rokan Hilir. Dalam kaitan agriculture) atau implementasi pertanian skala
antropologi lingkungan, studi ini menggunakan kecil bahkan mikro yang diintegrasikan pendekatan struktural. Dalam pendekatan ini dengan habitat manusia dan diserahkan pada
lingkungan dilihat dalam pengertian hubungan pola ekosistem alami.
formal, yang mengungkap hubungan Pada sistem ekonomi, eco-religio-
lingkungan hidup yang nyata antara individu culturesebetulnya dapat masuk pada sistem
dan kelompok. Pendekatan ini lebih jauh capital employed maupun subsistence
menekankan pada model-model pendes- tergantung pola hubungan manusia-
kripsian realitas lingkungan sebagai keadaan lingkungan yang diarahkan pada yang koheren, menekankan keseimbangan, kesejahteraan manusia. Bila mendefinisikan
sedangkan dalam realitasnya tidak memiliki kesejahteraan dengan penghasilan tinggi karakteristik koherensi yang menyeluruh. maka hasil surplus eco-culturedapat
Realitas lingkungan memiliki kontradiksi dipasarkan secara global (capital) maupun
yang menampilkan berbagai variasi dan lokal (subsisten) dengan produk yang unggul
modifikasi atas strukturnya. Dalam pada itu dari segi alamiah. Bila kesejahteraan dapat
dipertimbangkan pula pendekatan dinamik diterjemahkan pada terpenuhinya kebutuhan
yang bermaksud menjelaskan dinamik dan manusia maka hasil panen dapat mencukupi
struktur dalam metode dan sistem yang konsumsi pangan keluarga bahkan saling
membentuknya, yakni untuk melihat, berbagi surplus panen, tentu saja hal inihanya
kontradiksi, ketegangan, dan gerak inheren, ada pada sistem subsistem.
dalam masyarakat (Ballandier, 1996:19-21). Hal ini bertujuan untuk memproduksi
Kesemua pendekatan yang digunakan diatas hasil tani dengan nilai nutrisi tinggi dan dilihat dalam konteks pendekatan (paradigma) mengimprovisasi fertilitas jangka panjang serta
kualitatif. Pendekatan kualitatif dicirikan oleh tanah pertanian yang berkelanjutan. Sistem ini
tujuan penelitian yang berupaya untuk memajukan dan meninggikan ekosistem, memahami gejala-gejala yang sedemikian termasuk biodiversitas, siklus biologi dan rupa sehingga tidak memerlukan kuantifikasi aktivitas biologi lingkungan. Pengunaan dimana gejala-gejala tersebut tidak konsep eco-religio- culture dalam keber-
memungkinkan diukur secara tepat (Garna, lanjutan lingkungan masyarakat adalah 1999:32 dan Moleong, 1989: 2-3). sangat baik, sebab secara kultur religius Langkah operasional di lapangan mereka secara alamiah telah lama menjadi
dilakukan secara sistematik untuk menjawab harmonisasi alam dengan manusia. Untuk
pertanyaan dasar penelitian yang telah menerapkan konsep ini harus didukung oleh
dikemukakan sebagai masalah penelitian.
AL-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 15 , No. 1 , Januari – Juni 2016
Diharapkan melalui penelitian ini akan dan membuat teori-teori baru yang melahirkan pemikiran hipotetik.
akan mengembangkan teori-teori Deskripsi dan ungkapan tentang
sebelumnya.
fenomena empirik sebagai realitas obyektif
4) Memahami terjadinya berbagai masyarakat, akan lebih ditekankan pada
peristiwa dan tindakan. metode deskriptif. Penelitian deskriptif
5) Membangun penjelasan kausal. bertujuan untuk menggambarkan dan
Pendekatan kualitatif dapat digunakan memahami pola eco-religio-culturesuatu
untuk menggambarkan pola relasi eco- masyarakat dalam konteks keutuhan sebagai
culturedalam masyarakat, yang sulit dilakukan kesatuan yang bulat. Penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Lebih dari itu dalam konteks eco-religio-culture dengan Patton (1990) mengemukakan metoda pendekatan struktural dan dinamik, kualitatif memungkinkan peneliti untuk menghasilkan konsep-konsep ilmiah melakukan studi tentang issue tertentu secara sekaligus berfungsi mengadakan klasifikasi
mendalam dan terinci.
mengenai gejala sosial yang dipersoalkan. Pendekatan grounded research menitik Penelitian ini secara keseluruhan beratkan pada ciri-ciri sebagai berikut: bersifat kualitatif menggunakan azas
1. Mengeksplorasi latar penelitian tanpa fenomenologi. Menurut Garna (1999:34) sifat
melakukan intervensi pada latar yang kualitatif itu mengacu pada segi empirik
penelitian.
yaitu kehidupan nyata manusia termasuk
2. Mengungkapkan makna deskripsi rinci segala apa yang berada di belakang pola
tentang situasi, orang atau sikap dan tindakannya sebagai manusia bio-
masyarakat, kejadian, interaksi dan sosial.Asas fenomenologi, yang dimaksud
perilaku yang dapat diamati. disini menekankan aspek-aspek subyektif dari
3. Data kualitatif berbentuk deskripsi rinci perilaku manusia. Peneliti berusaha untuk
tentang ungkapan filosopi, dalam masuk kedalam dunia konseptual pada
petuah, petatah petitih, pantun ,syair, subyek yang ditelitinya, sehingga peneliti
hikayat, situasi, orang atau memahami apa, bagaimana dan sejauhmana
masyarakat, kejadian, interaksi dan pengertian itu akan dikembangkan di sekitar
perilaku yang dapat diamati. peristiwa dan kehidupan sehari-hari.
rinci menyangkut Menurut Maxwell (1996) dalam
4. Deskripsi
pengamalan, sikap, keyakinan individu Gunawan dan Abdullah(1998) studi kualitatif
atau masyarakat atau seluruh isi dilakukan untuk:
dokumen, rekaman dan kasus.
1) Mengungkapkan atau memahami
5. Data kualitatif diperoleh dari dunia “meaning” (makna yang mencakup
empirik dalam bentuk detailed kognisi affect, intentions, atau hal-hal
description atau uraian terbuka yang lain sebagai perspektif partisipan.
bebas dari segala usaha
2) Memahami konteks tertentu yang menyesuaikannya dengan program partisipasinya ialah melakukan
kegiatan dan pengalaman manusia berbagai tindakan dan memahami
dalam bentuk standar kategori yang pengaruh dari konteks tertentu
ditentukan terlebih dahulu seperti terhadap tindakan mereka (partisipan).
pilihan jawaban yang terdapat dalam
3) Mengidentifikasi gejala dan pengaruh angket atau pedoman observasi. yang tidak terantisipasi sebelumnya
Husni Thamrin, Zulfan Saam; ECO-Religio-Culture Suatu Alternatif Pengelolaan Lingkungan
6. Menggunakan pendekatan holistik kearifan lingkungan yang berwujud dalam atau menyeluruh, induktif, bergerak
petatah-petitih, petuah dan nasihat dalam dari satu fakta ke fakta lain sampai
tradisi pemeliharaan tanah, hutan dan laut. ditemukan gambaran umum tentang
Dalam tradisi adat di Rokan Hilir,Sungai sesuatu yang diteliti.
Rokan, Kubu, Bangko, dan sungai di kawasan
7. Pengumpulan data menggunakan iniyang dijadikan obyek penelitian yang kerangka konseptual dengan tujuan
berkaitan dengan kearifan lokal sehingga membatasi fokus penelitian.
kawasan habitat sungai, terutama ikan-ikan dapat terpelihara dari kemusnahan. Kajian terhadap hutan tanah adat serta flora dan
Lokasi dan Obyek Penelitian
fauna,juga dilakukan, sehingga keberlanjutan Penelitian ini dilakukan di Kabupaten
lingkungan dapat dipertahankan. Rokan Hilir, Provinsi Riau. Penelitian
Saat ini (2015) ketiga kecamatan yang mengenai Revitalisasi Kearifan Lokal dalam
merupakan inti kebudayaan Melayuini telah kontekshuman ekologi. Data diperoleh dari
dimekarkan perluasan admistrasinya menjadi informan Datuk-Datuk, Penghulu Adat, dan
14 (empat belas) kecamatan yang dijadikan Tokoh Masyarakat. Penelitian terhadap lokasi penelitian pelestarian lingkungan hidup yang berkaitan dengan kearifan lokal di Kabupaten Rokan Hilir, terutama dominan di Kecamatan Kubu,
Data yang Diperlukan
Bangko dan Tanah Putih. Ketiga kecamatan Data pokok yang dikumpulkan dalam ini merupakan kecamatan induk di penelitian ini terpusat pada fenomena- Melayuyang telah ada dan diakui sejak zaman
fenomena yang berkaitan langsung kerajaan Siak Sri Indrapura (1746-1942). khususnya dengan tanah adat, yang berkaitan Pada ketiga kecamatan ini yang dulunya
dengan aspek kehidupan sosial, lingkungan adalah merupakan kenegerian yang dipimpin
dan ekonomi dengan kontek eco-culture. langsung oleh Datuk- Datuk.
Data pokok yang diperlukan tersebut dipilih Kecamatan Kubu, Bangko dan Tanah
dan dibatasi berdasarkan relevansi dengan Putih dijadikanwilayah penelitian karena di
pertanyaan dasar dalam rencana penelitian, wilayah ini masih relatif ketat mempunyai
yang keseluruhannya ditempatkan dalam tradisi kearifan lokal dalam melestarikan rangka analisis teori antropologi lingkungan.
Tabel 3.1 Lokasi Penelitian
No Kecamatan Ibukota
1 Tanah Putih Sedinginan
2 Pujud Pujud
3 Tanah Putih Tanjung Melawan Melayu Besar
4 Rantau Kopar Rantau Kopar
5 Bagan Sinembah Bagan Batu
AL-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 15 , No. 1 , Januari – Juni 2016
No Kecamatan Ibukota
6 Simpang Kanan Simpang Kanan
7 Kubu Teluk Merbau
8 Pasir Limau kapas Panipahan
9 Bangko Bagan Siapiapi
10 Sinaboi Sinaboi
11 Batu Hampar Bantayan
12 Rimba Melintang Rimba Melintang
13 Bangko Pusako Bangko kanan
14 Pekaitan Pedamaran
Sumber : BPS, MelayuDalam Angka 2014
Dalam pada itu data tentang kondisi periodik perjalanan lapangan (field trip) masuk lingkungan hidup dan unsur-unsur kedalam lingkungan sehari-hari orang Melayu kebudayaan lainnya yang bersifat umum tetap
selama antara satu sampai tiga minggu. dikumpulkan selama penelitian lapangan dan
Dalam pada itu setelah mendapatkan data penelitian kepustakaan berlangsung. Hal ini
dari perjalanan tersebut, kesibukan terpusat dilakukan untuk mendapatkan hasil analisis
pada desa penelitian ini; menyempurnakan data pokok kedalam kesatuan kebudayaan
catatan harian, melakukan klasifikasi orang Melayu secara holistik.
lapangan, menterjemahkan dan menulis transkrip rekaman wawancara.
Pengamatan dilakukan secara
Teknik Pengumpulan Data
spontan dan langsung, dengan bantuan Pengumpulan data primer di lapangan
kamera foto dan slide, baik terhadap aspek dilakukan dengan menggunakan teknik lingkungan hidup sekitar maupun berbagai pengamatan
fenomena kehidupan masyarakat Rokan Hilir. observation) disamping wawancara menda-
keikutsertaan
(participant-
Berdasarkan karakteristik masyarakat lam (in-depth interview) dan wawan-cara yang ada maka yang menjadi informan dalam biasa.
penelitian ini berjumlah 57 orang. Untuk Penelitian ini dilakukan secara melihat kebenaran data dalam penelitian ini partisipasi kedalam kehidupan sehari-hari dilakukan cross check data diantara informan- orang Melayu Rokan Hilir. Penulis memilih
informan yang telah ditentukan di lapangan. Kecamatan Kubu sebagai tempat tinggal dan
Untuk memperjelas perincian informan sekaligus pos kegiatan, dan dilakukan secara
penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut.
Husni Thamrin, Zulfan Saam; ECO-Religio-Culture Suatu Alternatif Pengelolaan Lingkungan
Tabel .2 Informan Kunci Penelitian
No. Status Sosial Jumlah Usia Tingkat Pendidikan
1. Datuk-Adat 6 55-80
SLTA-PT
2. Tongkat 3 60-75 SD-SLTA
3. Dukun 3 55-75 SD
4. Khalifah 3 60-70 SD-SLTA
5. Penghulu 3 60-80 SLTA-PT
6. Tukang Koba 6 55-80 SD-SLTA)
7. Datuk Bendaharo 7 40-75 SLTA-PT
8. Masyarakat Biasa 4 30-45 SLTA-PT
9. Tokoh Masyarakat 10 73 SLTA-PT
10. Lembaga Adat Rohil 5 51 SLTA-PT
Total 50
Sumber: Hasil observasi dan wawancara (2013-2014)
Wawancara mendalam dilakukan satu kesatuan yang utuh. Dalam proses secara intensif terhadap sejumlah informan
kategorisasi data tersebut terkandung usaha kunci. Wawancara dilakukan dalam bahasa
interpretasi kualitatif yang dilakukan secara daerah setempat yaitu bahasa Melayu induktif berdasarkan pada pendekatan emik Melayuatau informan lain yang telah dapat
(emic approach). Dalam kaitan ini langkah berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.
pendekatan etik ditempatkan dalam kerangka teori antropologi lingkungan untuk melihat arti
Teknik Analisis Data
penting tanah adat sebagai sumber Kegiatan analisis data dimulai dari kehidupan dan pelestarian lingkungan. klasifikasi, kategorisasi, dan interpretasi,
Kategorisasi data mengandung sampai pada pembahasan. Pengolahan data
interpretasi kualitatif tersebut diikuti dengan atau analisis deskriptif (descriptive analysis)
langkah-langkah pembahasan melalui mengandung pengertian sebagai usaha untuk
metode komperatif. Dalam hal ini berupa menyederhanakan dan sekaligus menjelas-
perbandingan fungsional antar komponen kan bagian dari keseluruhan data melalui
atau unsur lingkungan suatu kebudayaan. langkah-langkah klasifikasi dan kategorisasi
Gambaran yang terwujud mencerminkan sehingga tersusun suatu rangkaian deskripsi
posisi orang Melayu Melayu dalam kontek yang sistematik dan akurat.
eco-culture dalam mempertahankan peles- Proses pengklasifikasian dan tarian lingkungan hidup yang berbasiskan pengkategorisasian data dilakukan sejak pada tanah adat. berada di lapangan, bersamaan dengan
Dalam penelitian ini data yang dianalisis proses pengumpulan data dan dilanjutkan
terdiri dari data primer dan sekunder. Analisis secara lebih terperinci dan sistimatis setelah
fokus penelitian berkaitan dengan identifikasi keseluruhan data terkumpul. Klasifikasi dan
masalah dan tujuan penelitian yang dibagi kategorisasi data dilakukan secara bagian
menjadi fokus dan sub fokus penelitian perbagian, akan tetapi tetap mempertahankan
sebagai berikut :
posisi kebudayaan Melayu Melayusebagai
AL-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 15 , No. 1 , Januari – Juni 2016
Tabel 3 Fokus dan Sub Fokus Analisis Penelitian
No Tujuan
1 Menganalisis Status
Kualitatif Lingkungan Hidup
1. Iklim
1 Kebakaran Hutan
2. Pencemaran
Rokan Hilir
3. Udara 4. Penyakit
5. Asap 6. Perubahan Iklim
2.Hidrologi
1. Kualitas Air
Kualitatif
2. Rawa dan Danau 3. Dagradasi Sungai
4. Banjir
3.Hutan dan Tanah
1. Hutan –tanah adat
Kualitatif
2. Kasawan Budidaya 3. Flora dan fauna 4. Dagdradasi Ekosistem
Kualitatif keberadaan Tanah
2. Menganalisis
1.Kawasan tanah adat
1.Bangko
di Melayu
2.Kubu
Adatdan Nilai-nilai
3.Tanah Putih
yang terkandungdi
Kualitatif dalamnya untuk
2. Jati diri Manusia
1. Sosio- Historis
3.Tanah Adat
Lingkungan
4. Nilai Etika Melayu
3. Pranata adat
1.Peran Tokoh Adat
Kualitatif
2.Struktur Adat. 3.Nilai Adat
3 Menganalisis Fungsi
Kualitatif Tanah Adat dalam
lingkungan hidup
2.Mitos 3.Pantang larang.
3.Sosial Ekonomis
1.Berladang
Kualitatif
2.Berkebun. 3.Nelayan. 4.Pancung Alas 5.Tapak Lawang
4.Ekologis
1.Hutan Tanah Adat
Kualitatif
2.Sungai, Danau, laut dan Rawa. 3.Flora dan Fauna
rencana penelitian, yang keseluruhannya Teknik Pengumpulan Data
ditempatkan dalam rangka analisis teori Pengumpulan data primer di lapangan antropologi lingkungan.
dilakukan dengan menggunakan teknik Dalam pada itu data tentang kondisi
keikutsertaan (participant- lingkungan hidup dan unsur-unsur observation) disamping wawancara men- kebudayaan lainnya yang bersifat umum tetap
pengamatan
dalam (in-depth interview) dan wawancara dikumpulkan selama penelitian lapangan dan
biasa.
penelitian kepustakaan berlangsung. Hal ini Penelitian ini dilakukan secara dilakukan untuk mendapatkan hasil analisis
partisipasi kedalam kehidupan sehari-hari data pokok kedalam kesatuan kebudayaan
orang Melayu Rokan Hilir. Penulis memilih orang Melayu secara holistik.
Kecamatan Kubu sebagai tempat tinggal dan sekaligus pos kegiatan, dan dilakukan secara
Husni Thamrin, Zulfan Saam; ECO-Religio-Culture Suatu Alternatif Pengelolaan Lingkungan
periodik perjalanan lapangan (field trip) masuk dan slide, baik terhadap aspek lingkungan kedalam lingkungan sehari-hari orang Melayu
hidup sekitar maupun berbagai fenomena selama antara satu sampai tiga minggu.
kehidupan masyarakat Rokan Hilir. Dalam pada itu setelah mendapatkan data
Berdasarkan karakteristik masyarakat dari perjalanan tersebut, kesibukan terpusat
yang ada maka yang menjadi informan dalam pada desa penelitian ini; menyempurnakan
penelitian ini berjumlah 57 orang. Untuk catatan harian, melakukan klasifikasi melihat kebenaran data dalam penelitian ini lapangan, menterjemahkan dan menulis dilakukan cross check data diantara informan- transkrip rekaman wawancara.
informan yang telah ditentukan di lapangan. Pengamatan dilakukan secara spontan
Untuk memperjelas perincian informan dan langsung, dengan bantuan kamera foto
penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel .2 Informan Kunci Penelitian
No. Status Sosial Jumlah Usia Tingkat Pendidikan
1. Datuk-Adat 6 55-80
SLTA-PT
2. Tongkat 3 60-75 SD-SLTA
3. Dukun 3 55-75 SD
4. Khalifah 3 60-70 SD-SLTA
5. Penghulu 3 60-80 SLTA-PT
6. Tukang Koba 6 55-80 SD-SLTA)
7. Datuk Bendaharo 7 40-75 SLTA-PT
8. Masyarakat Biasa 4 30-45 SLTA-PT
9. Tokoh Masyarakat 10 73 SLTA-PT
10. Lembaga Adat Rohil 5 51 SLTA-PT
Total 50
Sumber: Hasil observasi dan wawancara (2013-2014)
Wawancara mendalam dilakukan langkah-langkah klasifikasi dan kategorisasi secara intensif terhadap sejumlah informan
sehingga tersusun suatu rangkaian deskripsi kunci. Wawancara dilakukan dalam bahasa
yang sistematik dan akurat.
daerah setempat yaitu bahasa Melayu Proses pengklasifikasian dan Melayuatau informan lain yang telah dapat
pengkategorisasian data dilakukan sejak berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.
berada di lapangan, bersamaan dengan proses pengumpulan data dan dilanjutkan secara lebih terperinci dan sistimatis setelah
Teknik Analisis Data
keseluruhan data terkumpul. Klasifikasi dan
Kegiatan analisis data dimulai dari kategorisasi data dilakukan secara bagian klasifikasi, kategorisasi, dan interpretasi, perbagian, akan tetapi tetap mempertahankan sampai pada pembahasan. Pengolahan data
posisi kebudayaan Melayu Melayusebagai atau analisis deskriptif (descriptive analysis)
satu kesatuan yang utuh. Dalam proses mengandung pengertian sebagai usaha untuk
kategorisasi data tersebut terkandung usaha menyederhanakan dan sekaligus menjelas-
interpretasi kualitatif yang dilakukan secara kan bagian dari keseluruhan data melalui
induktif berdasarkan pada pendekatan emik
AL-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 15 , No. 1 , Januari – Juni 2016
(emic approach). Dalam kaitan ini langkah Gambaran yang terwujud mencerminkan pendekatan etik ditempatkan dalam kerangka
posisi orang Melayu Melayudalam kontek teori antropologi lingkungan untuk melihat arti
eco-culture dalam mempertahankan peles- penting tanah adat sebagai sumber tarian lingkungan hidup yang berbasiskan kehidupan dan pelestarian lingkungan.
pada tanah adat.
Kategorisasi data mengandung Dalam penelitian ini data yang dianalisis interpretasi kualitatif tersebut diikuti dengan
terdiri dari data primer dan sekunder. Analisis langkah-langkah pembahasan melalui fokus penelitian berkaitan dengan identifikasi metode komperatif. Dalam hal ini berupa
masalah dan tujuan penelitian yang dibagi perbandingan fungsional antar komponen menjadi fokus dan sub fokus penelitian atau unsur lingkungan suatu kebudayaan.
sebagai berikut :
Tabel 3 Fokus dan Sub Fokus Analisis Penelitian
No Tujuan
1 Menganalisis Status
Kualitatif Lingkungan Hidup
7. Iklim
2 Kebakaran Hutan
8. Pencemaran
Rokan Hilir
9. Udara
10. Penyakit 11. Asap 12. Perubahan Iklim
2.Hidrologi
5. Kualitas Air
Kualitatif
6. Rawa dan Danau 7. Dagradasi Sungai
8. Banjir
3.Hutan dan Tanah
5. Hutan –tanah adat
Kualitatif
6. Kasawan Budidaya 7. Flora dan fauna 8. Dagdradasi Ekosistem
Kualitatif keberadaan Tanah
2. Menganalisis
1.Kawasan tanah adat
1.Bangko
di Melayu
2.Kubu
Adatdan Nilai-nilai
3.Tanah Putih
yang terkandungdi
Kualitatif dalamnya untuk
2. Jati diri Manusia
1. Sosio- Historis
3.Tanah Adat
Lingkungan
4. Nilai Etika Melayu
3. Pranata adat
1.Peran Tokoh Adat
Kualitatif
2.Struktur Adat. 3.Nilai Adat
3 Menganalisis Fungsi
Kualitatif Tanah Adat dalam
lingkungan hidup
2.Mitos 3.Pantang larang.
3.Sosial Ekonomis
1.Berladang
Kualitatif
2.Berkebun. 3.Nelayan. 4.Pancung Alas 5.Tapak Lawang
4.Ekologis
1.Hutan Tanah Adat
Kualitatif
2.Sungai, Danau, laut dan Rawa. 3.Flora dan Fauna
Husni Thamrin, Zulfan Saam; ECO-Religio-Culture Suatu Alternatif Pengelolaan Lingkungan
Eco-Religio-Culture dalam Pelestarian
sungai, tasik dan danau, sampai kepada Lingkungan kawasan yang menjadi kampung halaman, dusun, ladang, kebun dan sebagainya.
Dalam penuturan informan Arsyad (73 Dalam penuturan informan Samuel (78 tahun, tokoh adat di Bangko) mengatakan
tahun, tokoh adat di Kubu) sekaligus sebagai bahwa kehidupan mereka sangat bergantung
narasumber beliau mengatakan sangat kepada alam. Alam menjadi sumber nafkah
menyadari pentingnya pemeliharaan dan dan juga menjadi sumber unsur-unsur pemanfaatan lingkungan hidup sekitar secara budayanya. Dalam ungkapan dikatakan:
seimbang. Ketentuan adat yang mereka pakai Kalau tidak ada laut,hampalah perut,
memiliki sanksi hukum yang berat terhadap Bila tak ada hutan, binasalah badan.
perusak alam. Sebab, perusak alam bukan Kalau binasa hutan yang lebat,rusak
saja merusak sumber ekonomi, tetapi juga lembaga hilanglah adat.
membinasakan sumber berbagai kegiatan budaya, pengobatan, dan lain-lain yang amat
Ungkapan-ungkapan di atas secara diperlukan oleh masayarakat. jelas menunjukkan bersebatinya hubungan
Dalam adat Melayu dikenal beberapa antara orang Melayu dengan alam sekitarnya.
pembagian alam, terutama pembagian hutan Kebenaran isi ungkapan ini secara jelas dapat
tanah. Ada alam yang boleh dimiliki pribadi, dilihat dalam kehidupan manusia Melayu ada yang diperuntukkan bagi satu suku dan sehari-hari. Secara tradisional, mereka secara
kaum, ada juga yang diperuntukkan bagi turun-temurun hidup dari hasil laut dan hasil
kerajaan, negeri, masyarakat luas dan hutan atau mengolah tanah. Secara turun-
sebagainya. Hutan-tanah ditentukan pula temurun pula mereka memanfaatkan hasil
pemanfatannya menurut adat, ada hutan untuk berbagai keperluan, membuat
pemanfaatan untuk kepentingan pribadi dan bangunan, membuat alat dan kelengkapan
ada pemanfaatan untuk kepentingan rumah tangga, alat dan kelengkapan nelayan,
bersama. Hal ini tercermin dari hutan yang alat berburu, alat bertani, dan sebagainya,
dilindungi yang disebut “rimba larangan”, termasuk untuk ramuan obat tradisionalnya.
“rimba kepungan”, atau “kepungan sialang”, Orang Melayu tradisional yang hakikatnya
dan lain sebagainya.
hidup sebagai nelayan dan petani sangat Dari sisi lain, masyarakat Melayu bersebati dengan alam lingkungannya. Alam
mengenal pula hutan tanah yang menjadi bukan saja dijadikan alat mencari nafkah,
milik persukuan atau kaum masyarakat tetapi juga berkaitan dengan kebudayaan dan
tertentu yang lazim disebut”tanah wilayat” kepercayaannya ( Effendi, 2004: 662).
(tanah adat) dan sejenisnya yang secara
Menyadari eratnya kaitan antara umum disebut “tanah adat”. Pada masa dulu, kehidupan manusia dengan alam, pemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan menyebabkan orang Melayu berupaya hutan tanah yang tergolong tanah adat memelihara serta menjaga kelestarian dan
dikukuhkan oleh raja melalui surat keputusan. keseimbangan alam lingkungannya. Dalam
Dalam penuturan informan kunci Alju( adat istiadat ditetapkan “pantang larang” yang
36 tahun , Datuk Penghulu, Rantau Bais, berkaitan dengan pemeliharaan serta Tanah Putih) setelah Indonesia merdeka, pemanfaatan alam, mulai dari hutan, tanah,
hampir seluruh hak atas tanah adat tidak lagi laut dan selat, tokong dan pulau, suak dan
diakui, sehingga pemilikan, pemanfaatan, dan
AL-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 15 , No. 1 , Januari – Juni 2016