PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK DI KELAS VIII.doc

  PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK DI KELAS VIII (Topik Persamaan Garis Lurus) Proposal Tesis Oleh: Adi Suarman Situmorang NIM 081188730058 Pembimbing: Dr. Izwita Dewi, M.Pd Prof. Dr. Sahat Saragih, M.Pd. PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA 2005

LEMBAR PERSETUJUAN

  Proposal Tesis dengan judul: Pembelajaran Matematika Realistik di Kelas VIII (Topik Persamaan Garis Lurus)

  Oleh:

  Nama : BENNY N. TRISNA NIM : 03715281 Program Studi : S2 Pendidikan Matematika

  Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

  Telah diterima dan disetujui oleh Tim Pembimbing

  Pembimbing I Tanggal

  Dr. Izwita Dewi, M.Pd _______________________

  Pembimbing II Tanggal

  Prof. Dr. Sahat Saragih, M.Pd

  _______________________ Mengetahui:

  Ketua Program Studi Pendidikan Matematika Program Pascasarjana

  Universitas Negeri Surabaya,

  Drs. Prof. Dr. Sahat Saragih, M.Pd

  NIP _______________

  

PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK

DI KELAS VIII

(Topik Persamaan Garis Lurus)

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

  Matematika sekolah mempunyai peranan yang cukup besar dalam memberikan berbagai kemampuan kepada siswa untuk keperluan penataan kemampuan berpikir dan kemampuan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan matematika. Menurut Soedjadi (2000: 45), pendidikan matematika seharusnya memperhatikan dua tujuan, yaitu (1) tujuan yang bersifat formal, menekankan pada penataan nalar serta pembentukan kepribadian, dan (2) tujuan yang bersifat material, menekankan pada penerapan matematika dan keterampilan matematika.

  Kurikulum 2004 (Depdiknas, 2003: 6) secara jelas menguraikan tujuan pembelajaran matematika, yaitu:

  1. Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan persamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi.

  2. Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba.

  3. Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah.

  4. Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengko- munikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, catatan, grafik, peta, diagram, dalam menjelaskan gagasan.

  Kenyataan saat ini menunjukkan bahwa pencapaian tujuan pembelajaran matematika seperti diuraikan di atas masih belum memenuhi harapan. Hal ini diindikasikan dengan rendahnya mutu hasil belajar siswa. Baik hasil ujian akhir nasional maupun hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa penguasaan siswa terhadap bahan ajar matematika masih relatif rendah. Prestasi siswa-siswa Indonesia dalam Olimpiade Matematika tidak pernah berada pada ranking atas, bahkan cenderung di bawah. Misalnya, pada Olimpiade Matematika tahun 1998 yang diikuti oleh 79 negara, peserta dari Indonesia hanya menempati ranking ke 72 dengan perolehan skor 16, sedangkan skor yang diperoleh peserta dengan ranking 1 adalah 211 (Marpaung, 2002). Kemudian, dalam studi TIMSS (Trends

  

in International Mathematics and Science Study) tahun 2003, rata-rata skor siswa

  tingkat 8 (kelas VIII SMP) di bawah rata-rata skor internasional dan berada pada ranking 34 dari 45 negara. Kenyataan ini mungkin disebabkan sifat abstrak yang terdapat pada matematika. Mungkin pula karena selama ini siswa hanya cenderung diajar untuk menghafal konsep atau prinsip matematika, tanpa disertai pemahaman yang baik.

  Kondisi hasil belajar siswa yang memprihatinkan tersebut harus terus diupayakan untuk diperbaiki. Upaya tersebut dapat dilakukan di antaranya melalui perbaikan kegiatan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran merupakan faktor penting yang perlu mendapat perhatian. Kegiatan pembelajaran yang berpusat pada guru sudah saatnya diganti menjadi berpusat pada siswa. Soedjadi (2000:201) mengatakan bahwa proses pembelajaran matematika perlu lebih menekankan pada keterlibatan secara optimal para peserta didik secara sadar.

  Pembelajaran yang selama ini mendominasi kelas-kelas matematika di Indonesia umumnya berbasis pada behaviorisme dengan penekanan pada transfer pengetahuan dan latihan (Ratumanan, 2003: 2). Guru mendominasi kelas dan berfungsi sebagai sumber belajar utama. Guru menyajikan pengetahuan matematika kepada siswa, siswa memperhatikan penjelasan dan contoh yang diberikan oleh guru, kemudian siswa menyelesaikan soal-soal sejenis yang diberikan guru. Pembelajaran semacam ini kurang memperhatikan aktivitas aktif siswa, interaksi siswa, dan konstruksi pengetahuan oleh siswa. Aktivitas aktif siswa yang dimaksudkan di sini tidak hanya sekedar menyelesaikan soal-soal sesuai contoh yang diberikan guru, tetapi perlu pula melibatkan berbagai aktivitas aktif yang dapat merangsang kemampuan berpikir dan kemampuan memecahkan masalah yang merupakan tujuan dari pembelajaran matematika.

  Kurikulum 2004 menghendaki keaktifan siswa dalam belajar. Strategi pembelajaran aktif ditandai dengan optimalisasi interaksi antar semua elemen pembelajaran (guru, siswa, media) dan optimalisasi keikutsertaan seluruh sense siswa (panca indera, nalar, rasa, dan karsa). Strategi ini menekankan peran siswa yang aktif membangun sendiri pengetahuannya yang dipelajari dalam pembelajaran.

  Peran aktif siswa dalam membangun pengetahuannya sebagaimana yang dikehendaki oleh kurikulum bersesuaian dengan konstruktivisme. Menurut Soedjadi (2000:156) pada dasarnya penerapan konstruktivisme dalam belajar adalah bahwa siswa haruslah secara individual menemukan dan mentransformasikan informasi yang kompleks, memeriksa informasi yang baru dan aturan yang ada serta merevisinya bila perlu.

  Menurut Slavin (1997:269-270),

  

The essence of constructivist theory is the idea that learners must

individually discover and transform complex information if they are to

make it their own. Constructivist theory sees learners as constantly

checking new information against old rules and then revising the rules

when they no longer work.

  Slavin mengatakan bahwa hakikat dari teori belajar konstruktivis adalah peserta didik harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan tersebut tidak lagi sesuai. Belajar itu tidak sekedar mengingat informasi. Peserta didik dituntut benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuannya. Mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha sungguh-sungguh dengan ide- idenya.

  Konstruktivisme menempatkan siswa pada peranan utama dalam proses belajar (student centered). Peranan guru lebih bersifat fasilitator dan memiliki kewajiban dalam upaya peningkatan kualitas pembelajaran. Oleh karena itu guru dituntut untuk selalu berinovasi dalam melaksanakan proses pembelajaran. Inovasi guru tersebut misalnya dalam hal pemilihan pendekatan pembelajaran.

  Di Indonesia mulai diperkenalkan suatu pendekatan baru dalam pembelajaran matematika yang disebut Realistic Mathematics Education (RME), yang dalam bahasa Indonesia berarti Pendidikan Matematikan Realistik. Secara operasional biasa disebut Pembelajaran Matematika Realistik (PMR). PMR adalah suatu pembelajaran yang sejalan dengan prinsip konstruktivis dan merupakan pendekatan pembelajaran yang berfokus pada aktivitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan. Pendekatan ini menuntut keaktifan siswa dalam proses belajar. Dengan PMR, siswa mempelajari ide-ide dan konsep-konsep matematika melalui permasalahan kontekstual yang berkaitan dengan lingkungan siswa tersebut. Hal ini sejalan dengan Kurikulum 2004 (Depdiknas, 2003: 12) yang menekankan penggunaan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual

  

problem) dalam memulai kegiatan pembelajaran matematika. Selanjutnya, secara

bertahap siswa dibimbing untuk menguasai konsep-konsep matematika.

  Penerapan PMR memberikan harapan untuk meningkatkan prestasi belajar matematika siswa. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa hasil belajar siswa dengan menggunakan PMR lebih baik daripada hasil belajar siswa yang menggunakan metode konvensional (Alhaddad, 2002; Fauzi, 2002; Hasratuddin, 2002; Herawati, 2003; dan Herlina, 2003).

  Meskipun pada mulanya PMR ditujukan untuk sekolah dasar, tetapi PMR dapat pula diterapkan di tingkat yang lebih tinggi. Gravemeijer dan Doorman (2004) telah memberikan contoh penerapan PMR pada topik kalkulus untuk sekolah menengah. Mereka mengatakan, “We try to show that the framework that

  

has been developed for primary school can also be used for such an advanced

topic as calculus.

  Berdasarkan uraian di atas, diharapkan PMR dapat menjadi alternatif pembelajaran yang baik. Selanjutnya, hal ini membuat penulis tertarik untuk menerapkan PMR di SMP. Pada penelitian ini dipilih topik “persamaan garis lurus”. Pemilihan topik didasarkan pada pertimbangan bahwa topik ini baru bagi siswa SMP. Selain itu, berdasarkan diskusi kecil dengan teman-teman guru SMP, banyak siswa yang kesulitan memahami topik ini. Menurut Kurikulum 2004, topik ini diajarkan pada kelas VIII.

  B. RUMUSAN PERTANYAAN

  Diawali dengan pengembangan perangkat pembelajaran yang berorientasi pada PMR, penelitian ini diarahkan untuk menjawab pertanyaan yang dirumuskan sebagai berikut.

  1. Apakah PMR efektif dalam pembelajaran matematika untuk topik persamaan garis lurus di kelas VIII?

  2. Apakah hasil belajar siswa yang mengikuti PMR lebih baik dibandingkan hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran matematika konvensional untuk topik persamaan garis lurus di kelas VIII?

  C. TUJUAN PENELITIAN

  Tujuan penelitian ini adalah: 1. mendeskripsikan keefektifan PMR dalam pembelajaran matematika untuk topik persamaan garis lurus di kelas VIII; 2. membandingkan hasil belajar siswa yang mengikuti PMR dengan hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran matematika konvensional untuk topik persamaan garis lurus di kelas VIII.

  D. BATASAN ISTILAH

  Untuk menghindari perbedaan penafsiran, maka perlu diberikan batasan istilah. Batasan-batasan yang dimaksud adalah sebagai berikut.

  

1. Pendekatan dalam pembelajaran adalah suatu jalan, cara atau kebijaksanaan

  yang ditempuh oleh guru atau siswa dalam pencapaian tujuan pembelajaran dilihat dari sudut bagaimana proses pembelajaran atau materi pembelajaran itu, umum atau khusus, dikelola.

  

2. Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) adalah suatu pendekatan

  pembelajaran matematika yang memiliki beberapa karakteristik, yaitu (1) menggunakan masalah-masalah kontekstual (contextual problems) sebagai langkah awal; (2) menggunakan model matematika yang dikembangkan siswa; (3) mempertimbangkan kontribusi siswa; (4) mengoptimalkan interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan guru dan sarana pendukung lain; dan (5) mempertimbangkan keterkaitan antar topik pelajaran. Kelima karakteristik PMR ini dioperasionalisasi dari prinsip dalam PMR, yaitu: penemuan kembali secara terbimbing dan matematisasi progresif, fenomena didaktik, dan pengembangan model sendiri oleh siswa.

  

3. Masalah kontekstual adalah masalah-masalah nyata yang dekat dengan

  lingkungan siswa dan dapat diamati atau masalah yang dapat dipahami siswa lewat membayangkan.

  

4. Pembelajaran Matematika Konvensional adalah pembelajaran yang

  dilakukan guru di sekolah pada umumnya, biasanya diawali dengan penjelasan tentang materi, dilanjutkan dengan memberikan contoh soal, kemudian memberikan soal-soal latihan, dan diakhiri dengan tugas siswa.

  

5. Hasil belajar siswa adalah penguasaan siswa terhadap materi pembelajaran

  yang diukur dengan skor posttes (tes akhir) yang diperoleh siswa setelah mengikuti pembelajaran.

  

6. Keefektifan pembelajaran didasarkan pada pencapaian ketuntasan belajar

  siswa, pencapaian keefektifan aktivitas siswa, pencapaian keefektifan kemampuan guru mengelola pembelajaran, dan respon siswa terhadap pembelajaran.

  

7. Pencapaian ketuntasan belajar siswa adalah tercapainya ketuntasan belajar

  secara klasikal setelah siswa mengikuti pembelajaran, yaitu jika paling sedikit 85% siswa memperoleh skor lebih dari atau sama dengan 65% dari skor total tes yang diberikan.

  

8. Aktivitas siswa adalah kegiatan yang dilakukan siswa selama proses

  pembelajaran berlangsung meliputi: mendengar/memperhatikan penjelasan guru/teman dengan aktif, membaca/memahami masalah kontekstual di buku siswa dan LKS, menyelesaikan masalah/menemukan jawaban dan cara menjawab masalah kontekstual, mengemukakan pendapat pada teman/guru, berdiskusi/bertanya antara sesama teman, berdiskusi/bertanya antara sesama siswa, menarik kesimpulan suatu konsep/prosedur, dan prilaku yang tidak relevan selama pembelajaran. Aktivitas siswa ini diukur dengan menggunakan lembar pengamatan aktivitas siswa.

  

9. Kemampuan guru mengelola pembelajaran adalah keterampilan guru

  dalam melaksanakan pembelajaran matematika sesuai dengan rencana pembelajaran. Kemampuan guru ini diukur dengan menggunakan instrumen lembar pengamatan kemampuan guru mengelola pembelajaran.

  

10. Respon siswa adalah tanggapan siswa terhadap pelaksanaan pembelajaran dan

  komponen pembelajaran (materi, buku siswa, lembar kegiatan siswa), serta minat siswa untuk mengikuti pembelajaran dengan pendekatan yang sama pada pembelajaran berikutnya.

  

11. Persamaan garis lurus adalah materi yang diajarkan di kelas VIII SMP

sesuai Kurikulum 2004.

E. MANFAAT PENELITIAN Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

  

1. Memberikan informasi bagi guru matematika tentang alternatif pendekatan

pembelajaran matematika pada topik persamaan garis lurus di SMP.

  

2. Jika hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar siswa yang mengikuti

  PMR lebih baik daripada hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran matematika konvensional, maka perangkat pembelajaran yang dikembangkan diharapkan dapat dijadikan masukkan dan dimanfaatkan oleh guru dan praktisi pendidikan dalam mengambil kebijakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika di sekolah.

F. ASUMSI DAN KETERBATASAN Asumsi:

  

1. Siswa mengerjakan tes hasil belajar dengan sungguh-sungguh, sehingga hasil

tes mencerminkan kemampuan siswa yang sebenarnya.

  

2. Siswa mengisi angket respon siswa dengan sungguh-sungguh, sehingga hasil

angket mencerminkan tanggapan siswa terhadap pembelajaran. Keterbatasan:

  Evaluasi (penilaian) yang dilakukan pada penelitian ini hanya sebatas evaluasi produk yaitu menggunakan tes hasil belajar. Dalam penelitian ini, peneliti tidak mengembangkan instrumen penilaian proses.

TINJAUAN PUSTAKA

A. PEMBELAJARAN MATEMATIKA

  Pendidik sebagai salah satu pelaku utama dalam pengajaran harus memahami teori-teori belajar, metode-metode mengajar dan lain-lain. Penerapan teori belajar merupakan suatu tuntutan yang harus dilaksanakan dan disesuaikan dengan topik-topik tertentu untuk dipraktekkan di lapangan. Kurikulum 2004 menekankan agar dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran matematika, siswa dikondisikan untuk menemukan kembali rumus, konsep, atau prinsip dalam matematika melalui bimbingan guru. Hal ini dimaksudkan agar siswa terbiasa melakukan penyelidikan dan menemukan sesuatu (Depdiknas, 2003). Dengan menerapkan metode pembelajaran tertentu, siswa dituntut untuk menemukan sendiri jawaban terhadap permasalahan yang diberikan atau dihadapi.

  Menurut Sukahar (1992: 3), belajar matematika pada hakekatnya adalah belajar yang berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur yang diatur menurut urutan logis. Belajar matematika tidak ada artinya kalau hanya dihafalkan saja. Belajar matematika baru bermakna bila dimengerti.

  Mengingat bahwa siswa dan guru keduanya merupakan subyek dalam pembelajaran, maka pada pembelajaran matematika sekolah, hendaknya dapat dipilih dan digunakan pendekatan pembelajaran yang memungkinkan keterlibatan siswa secara aktif, baik mental, fisik maupun sosial (Winataputra, 1992: 97-98). Keaktifan siswa itu tidak saja pada keterampilan mengerjakan soal sebagai aplikasi dari konsep-konsep matematika yang telah dipelajarinya, melainkan perlu lebih mementingkan pemahaman pada proses terbentuknya konsep. Konsep- konsep matematika hendaknya tidak diajarkan langsung melalui definisi, tetapi melalui contoh-contoh yang relevan yang melibatkan konsep-konsep tertentu yang sudah terbentuk dalam pikiran siswa. Dengan kata lain, hendaknya guru dapat mengajar secara bermakna.

  Pembelajaran secara bermakna (meaningful learning) adalah pembelajaran yang lebih mengutamakan proses terbentuknya suatu konsep daripada menghapalkan konsep yang sudah jadi. Konsep-konsep dalam matematika tidak diajarkan melalui definisi, melainkan melalui contoh-contoh yang relevan dengan melibatkan konsep tertentu yang sudah terbentuk dalam pikiran siswa. Pembelajaran secara bermakna (meaningful learning) terjadi bila pelajar mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka (Ausubel dalam Suparno, 2001: 54), tidak hanya sekedar menghapal. Dengan belajar bermakna, diharapkan siswa dapat memahami setiap kegiatan yang dilaksanaan. Siswa menyadari tentang mengapa, bagaimana, dan untuk apa ia melakukan sesuatu dalam kegiatan belajar. Dengan begitu, akan timbul suasana pembelajaran yang harmonis, penuh gairah, riang gembira, komunikasi guru dengan siswa dan antar sesama siswa dapat berjalan lancar.

B. PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK

  Pendekatan dalam pembelajaran adalah suatu jalan, cara atau kebijaksanaan yang ditempuh oleh guru atau siswa dalam pencapaian tujuan pembelajaran dilihat dari sudut bagaimana proses pembelajaran atau materi pembelajaran itu, umum atau khusus, dikelola (Ruseffendi dalam Fauzi, 2002:13). Soedjadi (2000:102-103) membedakan pendekatan menjadi dua, yaitu: 1. pendekatan materi (material approach) yaitu proses menjelaskan topik matematika tertentu menggunakan materi matematika lain, misalnya menjelaskan topik “kongruensi dua segitiga” menggunakan “transformasi”; dan

  2. pendekatan pembelajaran (teaching approach) yaitu proses penyampaian atau penyajian topik matematika tertentu agar mempermudah siswa memahaminya.

  Misalnya mengajarkan tentang banyaknya diagonal suatu segi-n beraturan dengan menggunakan “penemuan”.

  Berdasarkan perbedaan yang dikemukakan Soedjadi, maka pendekatan pada tulisan ini lebih menekankan pada pendekatan pembelajaran daripada pendekatan materi. Trefers (1991:32), mengelompokkan pendekatan pembelajaran dalam pendidikan matematika ke dalam empat macam pendekatan, yaitu: meknistik, strukturalistik, empiristik, dan realistik. Pengelompokan ini didasarkan pada komponen proses matematisasinya, yakni matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal. Matematisasi adalah kegiatan pengorganisasian yang dapat berupa realitas-realitas yang perlu diorganisir secara matematis dan juga ide-ide matematika yang perlu diorganisir dalam konteks yang lebih luas.

  Pada proses matematisasi horisontal, dengan pengetahuan atau pengalam- an yang dimilikinya, siswa dapat mengorganisasikan dan memecahkan masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari (Martin, 2004). Proses ini meliputi proses informal yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan suatu soal. Contohnya adalah proses yang dilalui siswa untuk membuat model, membuat skema, dan menemukan hubungan-hubungan. Proses matematisasi vertikal, merupakan proses pengorganisasian kembali dengan menggunakan matematika. Proses ini antara lain meliputi proses menyatakan suatu hubungan dengan suatu formula, membuat berbagai model matematika, merumuskan konsep/prinsip dan melakukan generalisasi (Zulkardi, 1999). Freudenthal (dalam Norbury, 2004) mengatakan bahwa horizontal mathematization involves going from the world of life into the

  

world of symbols, while vertical mathematization means moving whitin the world

of symbols (matematisasi horizontal bergerak dari dunia nyata ke dunia simbol,

  dan matematisasi vertikal bergerak dalam dunia simbol). Meskipun pembedaan dunia nyata dan dunia simbol ini cukup jelas, Freudenthal menekankan bahwa pembedaan ini tidak dimaksudkan untuk memisahkan kedua dunia tersebut (Heuvel-Panhuizen, 2004).

  Perbedaan keempat pendekatan pembelajaran dalam pendidikan matematika seperti yang dikemukakan oleh Trefers, menekankan pada sejauh mana pendekatan tersebut memuat atau menggunakan kedua komponen matematisasi tersebut. Tabel 1 di bawah ini menunjukkan perbedaan tersebut (tanda “+” berarti lebih menekankan pada jenis matematisasi itu dan tanda “–“ berati kurang atau tidak memperhatikan pada jenis matematisasi tersebut).

  

Tabel 1. Pendekatan Pembelajaran dalam Matematika

Komponen matematisasi Jenis pendekatan No pembelajaran Horisontal Vertikal

  1. Mekanistik – – 2.

  • – + Empiristik

  3. Strukturalistik + –

  4. Realistik + + Sumber: Lange (1987: 101). Berdasarkan Tabel 1 di atas, terlihat bahwa pada pendekatan realistik kedua komponen matematisasi lebih diperhatikan dibandingkan dengan pendekatan pembelajaran lainnya. Pendekatan mekanistik lebih menekankan pada dril dan kegiatan menghapal, sehingga matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal pada pendekatan ini hampir tidak ada. Pendekatan empiristik adalah pendekatan yang lebih menekankan pada masalah yang nyata, sehingga matematisasi horisontal lebih banyak, sedangkan matematisasi vertikal hampir tidak ada. Pada pendekatan strukturalistik terdapat penekanan pada matematika formal dan materi yang dipelajari lebih bersifat abstrak, sehingga matematisasi vertikal lebih banyak, sedangkan matematisasi horisontalnya hampir tidak ada. Pendekatan realistik memberikan porsi yang seimbang antara matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal. Hal ini semakin memperkuat alasan untuk memilih pendekatan realistik dalam pembelajaran.

1. Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik

  Pendekatan pembelajaran matematika realistik (PMR) merupakan suatu pendekatan pendidikan matematika yang diadopsi dari Realistic Mathematics

  

Education (RME) yang telah dikembangkan di Nederland sejak tahun 1970

  (Heuvel-Panhuizen, 2003). RME menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana mengajarkan matematika (www.pmri.or.id/latarbelakang.html). Kata ‘realistic’ diambil dari klasifikasi yang dikemukakan oleh Treffers (Gravemeijer, 1994: 11), yang membedakan empat pendekatan dalam pendidikan matematika seperti yang telah disebutkan, yaitu mekanistik, empiristik, strukturalistik, dan realistik. Pendekatan ini mengacu pada pendapat Freudenthal (dalam Zulkardi, 2003) yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan

  

aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan

  dengan situasi anak sehari-hari. Berdasarkan hal ini, kata ‘realistik’ tidak hanya mengacu pada dunia nyata, tetapi juga pada situasi real dalam pikiran anak. Anak juga harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menemukan kembali ide atau konsep matematika. Freudenthal berkeya- kinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai passive receivers of ready- made mathematics (penerima pasif matematika yang sudah jadi).

  PMR menekankan bagaimana siswa menemukan kembali (reinvention) konsep-konsep atau prosedur-prosedur dalam matematika melalui masalah- masalah kontekstual. Soedjadi (2001b: 2) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realita dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga mencapai tujuan pendidikan matematika yang lebih baik daripada masa yang telah lalu. Lebih lanjut Soedjadi menjelaskan yang dimaksud dengan realitas yaitu hal-hal yang nyata atau konkret yang dapat diamati atau dipahami peserta didik lewat membayangkan, sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan adalah lingkungan tempat peserta didik berada baik lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat yang dapat dipahami peserta didik. Lingkungan ini disebut lingkungan sehari-hari.

  Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa pembelajaran matematika realistik bertolak dari masalah-masalah yang sesuai dengan pengalaman siswa. Dalam hal ini, siswa aktif, guru berperan sebagai fasilitator, siswa bebas mengemukakan dan mengkomunikasikan ide-idenya satu sama lain. Guru hanya membantu siswa secara terbatas untuk membandingkan ide-ide itu dan membimbing mereka mengambil kesimpulan tentang ide mana yang benar, efisien, dan mudah dipahami mereka. Dalam kaitannya dengan matematika sebagai kegiatan manusia, siswa harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menemukan kembali ide atau konsep matematika secara mandiri sebagai akibat dari pengalaman siswa dalam berinteraksi dengan realitas. Setelah menemukan dan terbentuk konsep-konsep matematika, siswa menggunakannya untuk menyelesaikan masalah kontekstual selanjutnya sebagai aplikasi untuk memperkuat konsep. Lange (1987: 72), mengatakan bahwa proses tersebut merupakan proses matematisasi konseptual (conseptual mathematizing), yang dapat digambarkan seperti pada Gambar 1 berikut ini.

  Dunia nyata

Matematisasi dalam aplikasi Matematisasi dan refleksi

Anstraksi dan formalisasi

  

Gambar 1. Matematisasi Konseptual

  Agar pembelajaran bermakna bagi siswa, maka pembelajaran seyogyanya dimulai dari masalah kontekstual. Selanjutnya, siswa diberi kesempatan seluas- seluasnya untuk menyelesaikan masalah itu dengan caranya sendiri-sendiri. Artinya siswa diberi kesempatan melakukan refleksi, interpretasi dan mencari strategi yang sesuai. Keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika haruslah dipahami sebagai keaktifan melakukan matematisasi, baik horizontal maupun vertikal, yang memuat kegiatan refleksi, interpretasi dan abstraksi. Rekonstruksi terjadi bila siswa dalam aktivitasnya melakukan refleksi, interpretasi dan abstraksi. Rekonstruksi itu dimungkinkan terjadi dengan probabilitas yang lebih besar melalui diskusi, baik dalam kelompok kecil maupun diskusi kelas atau berbagai bentuk interaksi dan negosiasi. Secara perlahan siswa dilatih untuk melakukan rekonstruksi atau reinvention. Mula-mula matematisasi berlangsung secara horisontal dan dengan bimbingan guru secara terbatas siswa melakuakan matematisasi vertikal. Matematisasi horisontal meliputi antara lain proses informal yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan masalah kontekstual, membuat model, membuat skema, dan menemukan jawaban.

  Menurut Seodjadi (2001a:3), pada matematisasi horisontal memungkinkan siswa dapat melakukan kegiatan yang mengarah pembentukan “konsep antara” (misalnya konsep antara ke-1). Setelah konsep antara ke-1 diperoleh, mungkin diperlukan konsep antara ke-2 yang dibangun sejalan dengan konsep antara ke-1. Pencapaian konsep antara ke-1 dan sebagainya memungkinkan dilakukan dengan berbagai cara berbeda oleh siswa melalui kegiatan informal membangun konsep utama yang menjadi tujuan utama pembelajaran. Andaikan tujuan utama pembelajaran adalah konsep luas bangun datar. Konsep antara ke-1 dapat dicapai melalui kegiatan “membandingkan” dua bangun datar tertentu. Konsep antara ke- 1 itu dapat berupa “lebih luas daripada”. Jika siswa sudah sampai ke konsep utama, aktivitas pembelajaran dilanjutkan dengan matematisasi vertikal melalui kegiatan formal matematika, meliputi antara lain proses menyatakan suatu hubungan dengan suatu formula (rumus), membuat berbagai model, merumuskan konsep baru dan melakukan generalisasi (Lange, 1987). Sebagai contoh, dalam pembelajaran topik persamaan garis lurus, melalui masalah-masalah kontekstual yang diberikan, siswa menemukan berbagai persamaan, misalnya 3x + 2y = 12, dan lain-lain. Selanjutnya, siswa melakukan generalisasi untuk menemukan persamaan umum garis lurus ax + by = c.

2. Prinsip Pembelajaran Matematika Realistik

  Menurut Gravemeijer (1994:90), ada tiga prinsip kunci dalam mendesain pembelajaran matematika realistik, yaitu:

a. Guided reinvention dan progressive mathematizing

  Prinsip pertama adalah penemuan kembali secara terbimbing dan matematisasi secara progresif. Melalui topik-topik yang disajikan, siswa harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama membangun dan menemukan kembali tentang ide-ide dan konsep-konsep secara matematika. Maksud dari mengalami proses yang sama dalam hal ini adalah masing- masing siswa diberi kesempatan yang sama merasakan situai dan jenis masalah kontekstual yang mempunyai berbagai kemungkinan solusi. Dilanjutkan dengan matematisasi prosedur pemecahan masalah yang sama, serta perancangan rute belajar sedemikian rupa, sehingga siswa menemukan sendiri konsep-konsep atau hasil. Prinsip ini sejalan dengan paham konstruktivis yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak dapat diajarkan atau ditransfer oleh guru, tetapi hanya dapat dikonstruksi oleh siswa itu sendiri.

  b. Didactical phenomenology

  Prinsip kedua adalah fenomena yang bersifat mendidik. Dalam hal ini fenomena pembelajaran menekankan pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa. Topik-topik ini dipilih dengan pertimbangan: (1) aspek kecocokan aplikasi yang harus diantisipasi dalam pengajaran; dan (2) kecocokan dampak dalam proses reinvention, artinya prosedur, aturan dan model matematika yang harus dipelajari oleh siswa tidaklah disediakan dan diajarkan oleh guru, tetapi siswa harus berusaha menemukannya dari masalah kontekstual tersebut.

  Jika kita lihat secara historis, matematika berkembang dari penyelesaian masalah praktis, karenanya beralasan jika diharapkan dapat ditemukan masalah yang memunculkan proses tersebut dalam penerapan pada saat sekarang ini. Selanjutnya, kita dapat membayangkan bahwa matematika formal berasal dari generalisasi dan formalisasi prosedur penyelesaian masalah untuk situasi khusus dan konsep dari berbagai situasi. Oleh karena itu, tujuan dari investigasi fenomenologi adalah menemukan situasi masalah sehingga pendekatan situasi khusus dapat digeneralisasi, dan menemukan situasi yang dapat menimbulkan prosedur penyelesaian yang dapat dijadikan dasar untuk matematisasi vertikal.

  c. Self developed models

  Prinsip yang ketiga adalah pengembangan model sendiri. Prinsip ini berfungsi menjembatani jurang antara pengetahuan informal dengan matematika formal. Siswa mengembangkan model sendiri sewaktu memecahkan soal-soal kontekstual. Sebagai konsekuensi dari kebebasan yang diberikan kepada siswa untuk memecahkan masalah, sangat mungkin muncul berbagai model hasil pemikiran siswa, yang mungkin masih mirip atau jelas terkait dengan masalah kontekstual. Melalui proses generalisasi dan formalisasi, model tersebut diarahkan untuk menuju model matematika formal.

  Pada awalnya siswa akan membangun model dari situasi nyata (soal kontekstual), setelah terjadi interaksi dan diskusi kelas, siswa menyusun model matematika untuk menyelesaikaan soal hingga mendapatkan pengetahuan formal matematika. Soedjadi (2001b: 4) mengatakan bahwa model yang dikembangkan siswa tersebut diharapkan akan berubah dan mengarah kepada bentuk yang lebih baik, akan efisien menuju ke arah pengetahuan matematika formal, sehingga diharapkan terjadi urutan pembelajaran seperti “situasi nyata” “model dari situasi itu” “model ke arah formal” “pengetahuan formal”.

3. Karakteristik Pembelajaran Matematika Realistik

  PMR memiliki lima karakteristik (Zulkardi, 1999, 2000; Gravemeijer, 1994: 114-115, 145) yang merupakan operasionalisasi dari prinsip-prinsip PMR. Karakteristik tersebut sebagai berikut.

  a. Menggunakan masalah konstekstual (the use of contexts)

  Pembelajaran diawali dengan menggunakan masalah kontekstual, tidak dimulai dari sistem formal. Masalah kontekstual yang diangkat sebagai topik awal pembelajaran harus merupakan masalah sederhana yang dikenali oleh siswa.

  b. Menggunakan model (use of models, bridging by vertical instruments)

  Pada pembelajaran dengan pendekatan PMR, digunakan model yang dikembangkan sendiri oleh siswa dari situasi yang sebenarnya (model of). Model tersebut digunakan sebagai jembatan antara level pemahaman yang satu ke level pemahaman yang lain. Selanjutnya, model ini diarahkan untuk menjadi model ke arah matematika formal (model for).

  c. Menggunakan kontribusi siswa (students contribution)

  Kontribusi yang besar pada proses pembelajaran datang dari siswa, artinya semua pikiran (konstruksi dan produksi) siswa diperhatikan. Kontribusi dapat berupa aneka jawab, aneka cara, atau aneka pendapat dari siswa.

  d. Interaktivitas ( interactivity)

  Mengoptimalkan proses pembelajaran melalui interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan guru dan siswa dengan sarana prasarana merupakan hal yang penting dalam PMR. Negosiasi, diskusi, dan kerjasama adalah elemen-elemen penting dalam PMR. Metode informal yang dikembangkan siswa digunakan sebagai acuan menuju metode formal. Dalam hal ini, siswa dilibatkan dalam menjelaskan, membenarkan, menyatakan kesetujuan atau ketidaksetujuan, menanyakan alternatif, dan melakukan refleksi. Interaksi terus dioptimalkan sampai konstruksi yang diinginkan diperoleh, sehingga interaksi tersebut bermanfaat.

  e. Terkait dengan topik lainnya ( intertwining )

  Struktur dan konsep matematika saling berkaitan. Oleh karena itu, keterkaitan dan keterintegrasian antar topik (unit pelajaran) harus dieksplorasi untuk mendukung terjadinya proses pembelajaran yang lebih bermakna. Intertwin dapat terlihat melalui masalah kontekstual yang diberikan.

4. Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik Prinsip utama PMR dijabarkan menjadi karakteristik-karakteristik PMR.

  Selanjutnya, karakteristik PMR dijabarkan menjadi langkah-langkah operasional dalam pembelajaran. Berdasarkan pengertian, prinsip utama dan karakteristik PMR sebagaimana telah diuraikan, maka dapat dirancang langkah-langkah (kegiatan) inti dalam pembelajaran matematika realistik, yaitu:

a. Memahami masalah kontekstual

  Guru memberikan masalah (soal) kontekstual dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut. Jika ada bagian-bagian tertentu yang kurang atau belum dipahami sebagian siswa, maka siswa yang memahami bagian itu diminta menjelaskannya kepada kawannya yang belum paham. Jika siswa yang belum paham tadi merasa tidak puas, guru menjelaskan lebih lanjut dengan cara memberi petunjuk-petunjuk atau saran-saran terbatas (seperlunya) tentang situasi dan kondisi dari masalah (soal). Petunjuk dalam hal ini berupa pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan siswa untuk memahami masalah (soal), seperti: “Apa yang diketahui dari soal itu?”, “Apa yang ditanyakan?”, “Bagaimana strategi atau cara atau prosedur yang akan digunakan untuk menyelesaikan soal itu?”. Pada tahap ini, karakteristik PMR yang muncul adalah menggunakan masalah kontekstual dan interaksi.

  b. Menyelesaikan masalah kontekstual

  Siswa secara individual diminta menyelesaikan masalah kontekstual pada Buku Siswa atau LKS dengan cara mereka sendiri. Cara pemecahan dan jawaban masalah yang berbeda lebih diutamakan. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan penuntun untuk mengarahkan siswa memperoleh penyelesaian soal tersebut.

  Misalnya: “Bagaimana kamu tahu itu?”, “Bagaimana caranya?”, “Mengapa kamu berpikir seperti itu?”, dan lain-lain. Pada tahap ini siswa dibimbing untuk menemukan kembali konsep atau prinsip matematika melalui masalah kontekstual yang diberikan. Selain itu, pada tahap ini siswa juga diarahkan untuk membentuk dan menggunakan model sendiri guna memudahkan menyelesaikan masalah (soal). Guru diharapkan tidak perlu memberi tahu penyelesaian soal atau masalah tersebut, sebelum siswa memperoleh penyelesaian sendiri. Pada langkah ini, karakteristik PMR yang muncul adalah menggunakan model dan interaksi.

  c. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban

  Siswa diminta untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban mereka dalam kelompok kecil. Setelah itu, hasil dari diskusi itu dibandingkan pada diskusi kelas yang dipimpin oleh guru. Tahap ini dapat digunakan untuk melatih keberanian siswa mengemukakan pendapat, meskipun berbeda dengan teman lain atau bahkan dengan gurunya. Karakteristik PMR yang muncul pada tahap ini adalah penggunaan ide atau kontribusi siswa dan interaksi antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa dan antara siswa dengan sumber belajar.

d. Menyimpulkan

  Berdasarkan hasil diskusi kelompok dan diskusi kelas yang dilakukan, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan tentang konsep atau definisi, teorema, prinsip atau prosedur matematika yang terkait dengan masalah kontekstual yang baru diselesaikan. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini adalah penggunaan ide atau kontribusi siswa dan interaksi.

  Karakteristik “intertwining” muncul sepanjang proses pembelajaran, sebab karakteristik ini justru tercermin dari masalah kontekstual yang diberikan. Misalnya masalah “Berbelanja” seperti diuraikan pada bagian C nanti dapat mengantrarkan siswa untuk menemukan bentuk umum persamaan garis lurus sekaligus menemukan cara menggambar grafiknya.

5. Kelebihan dan Kesulitan dalam Penerapan PMR

  Menurut Suwarsono (2001: 5) terdapat beberapa kekuatan atau kelebihan dari PMR, antara lain: a. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari-hari (kehidupan dunia nyata) dan tentang kegunaan matematika pada umumnya bagi manusia.

  b. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa dan setiap orang ‘biasa’ yang lain, tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.

  c. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal, dan tidak harus sama antara orang yang satu dengan orang yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan cara sendiri, asalkan orang itu bersungguh- sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan membandingkan cara penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa diperoleh cara penyelesaian yang paling tepat, sesuai dengan tujuan dari proses penyelesaian soal atau masalah tersebut.

  d. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama, dan untuk mempelajari matematika orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika, dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan terjadi.

  Selain kelebihan-kelebihan yang disebutkan di atas, masih ada kelebihan pembelajaran matematika realistik, antara lain: a. PMR menjadikan siswa lebih aktif dan kreatif dalam belajar.

  b. Siswa lebih berani mengungkapkan ide atau pendapat serta bertanya kepada guru atau temannya dan siswa akan lebih terbiasa untuk memberi alasan jawabannya.

  c. PMR dapat menumbuhkan rasa keingintahuan yang tinggi pada diri siswa untuk menyelesaikan masalah, karena masalah berkaitan langsung dengan kehidupan siswa sehari-hari.

  d. PMR dapat memberikan pemahaman yang lebih baik kepada siswa tentang konsep-konsep matematika, karena konsep-konsep tersebut dikonstruksi sendiri oleh siswa.

  e. PMR memberikan pemahaman kepada siswa bahwa dalam matematika terdapat keterkaitan antar topik. Dengan demikian, siswa termotivasi untuk mengingat materi yang telah dipelajari.

  Meskipun terdapat kelebihan, menurut Suwarsono (2001: 8), terdapat beberapa kerumitan (kesulitan, pen) dalam penerapannya. Kesulitan tersebut antara lain:

  a. Upaya mengimplementasikan PMR memerlukan perubahan pandangan yang sangat mendasar mengenai berbagai hal yang tidak mudah untuk dipraktekkan, misalnya mengenai siswa, guru dan peranan soal kontekstual. Di dalam PMR siswa tidak lagi dipandang sebagai pihak yang mempelajari segala sesuatu yang sudah ‘jadi’ tetapi dipandang sebagai pihak yang aktif mengkonstruksi konsep-konsep matematika. Guru tidak lagi sebagai pengajar, tetapi lebih sebagai pendamping bagi siswa. Selain itu, peranan masalah kontekstual, tidak sekedar dipandang sebagai wadah untuk menerangkan aplikasi dari matematika, tetapi justru digunakan sebagai titik tolak untuk mengkonstruksi konsep-konsep matematika itu sendiri.

  b. Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut PMR tidak mudah untuk setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa, terlebih-lebih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam-macam cara.

  c. Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara untuk menyelesaikan soal juga merupakan hal yang tidak mudah dilakukan oleh guru.

  d. Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa, melalui soal-soal kontekstual, proses matematisasi horisontal dan proses matematisasi vertikal juga bukan merupakan sesuatu yang sederhana, karena proses dan mekanisme berpikir siswa harus diikuti dengan cermat, agar guru bisa membantu siswa dalam melakukan penemuan kembali konsep-konsep matematika tretentu.

  e. Pemilihan alat-alat peraga harus cermat, agar alat-alat peraga yang dipilih bisa membantu proses berpikir siswa sesuai tuntutan PMR.

  f. Penilaian dalam PMR lebih rumit daripada dalam pembelajaran konvensional.

  g. Kepadatan materi kurikulum perlu dikurangi secara substansial, agar proses pembelajaran siswa berlangsung sesuai dengan prinsip-prinsip PMR.

  Selain kesulitan-kesulitan yang dipaparkan Suwarsono seperti disebutkan di atas, terdapat kesulitan lain dalam penerapan PMR, antara lain: a. Pelaksanaan PMR memerlukan waktu yang cukup banyak.