Epidemiologi Penyakit Menular Kusta. pdf

MAKALAH
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR
“KUSTA”

OLEH
BALQIS HAFIDHAH
2013710019

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
2015

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat, rahmat, serta hidayahNYA sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Epidemiologi Penyakit
Menular yang berjudul “Kusta” tepat pada waktunya.
Makalah ini dibuat berdasarkan penilaian dalam mata kuliah Epidemiologi
Penyakit Menular pada semester lima sebagai pengetahuan bagi penulis maupun
pembaca makalah ini untuk mengetahui lebih lanjut mengenai Kusta.
Penulis sangat menyadari akan kekurangan yang dimiliki begitu pula
dengan pembuatan makalah ini. Karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan
guna memperbaiki segala kekurangan dalam makalah ini.

Ucapan terimakasih tak lupa penulis haturkan kepada Ibu Munaya Fauziah
S.KM, M.Kes sebagai dosen mata kuliah Epidemiologi Penyakit Menular yang
telah membimbing penulis dalam pembuatan makalah ini serta teman-teman yang
ikut membantu dalam pembuatan makalah baik secara langsung ataupun tidak.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca maupun bagi
penulis sendiri. Aamiin ya Rabbal’alamin

Jakarta, 16 November 2015

Penulis

i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

i

DAFTAR ISI


ii

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

1

1.2 Tujuan

2

1.3 Manfaat

2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

3


2.2 Etiologi

3

2.3 Manifestasi klinis

4

2.4 Diagnosa

4

2.5 Patofisiologi

5

2.6 Program nasional

5


BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Metodelogi Penelitian

7

BAB 4 PEMBAHASAN
4.1 Distribusi Penyakit

8

4.2 Faktor Risiko

9

4.3 Pencegahan

10

BAB 5

5.1 Rekomendasi

12

5.2 Kesimpulan dan Saran

12

ii

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan merupakan hak setiap warga negara indonesia yang
termaktub pada UUD NRI 1945 pada Pasal 28H (1) Setiap orang berhak
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan.
Hal ini menjelaskan betapa pentingnya kesehatan bagi suatu
negara, kemajuan suatu negara dapat dilihat dari Indeks Pembanguan

Manusia yang diukur
oleh 3 variabel yaitu
pendidikan,
kesehatan,

dan

ekonomi.

IPM

Indonesia

berada

pada urutan ke 108
dari

187


negara

dengan nilai 0.684
Gambar 1. Penyebaran Kusta di dunia (WHO,2012)

(UNDP,2013).
Indonesia

sebagai negara ber penduduk 237.641.326 jiwa (Sensus Penduduk, 2010)
yang akan diprediksi mengapi bonus demografi pada tahun 2020-2035
haruslah menjaga produktifitas masyarakatnya. Produktifitas tanpa
kesehatan tak akan ada artinya.
Indonesia merupakan negara dengan letak geografis yang stategis.
Dengan iklim yang dimana banyak virus atau bakteri dapat berkembang
dengan baik. Maka tidak heran Indonesia merupakan negara dengan
tingkat prevalensi penyakit menular yang banyak. Sebanyak 11 dari 20
jenis Neglected Tropical Disease (NTD) terdapat di Indonesia, yaitu
1

Filariasis, Kecacingan, Schistosomiasis, Dengue Haemorrhagic Fever

(DHF), Rabies, Frambusia, Lepra, Japanese B. Encephalitis, Cysticercosis,
Fasciolopsis, dan Anthrax. Salah satunya adalah kusta. Kusta atau juga
biasa disebut dengan Morbus Hansen dengan segala faktor penyebarannya
membuat Indonesia menjadi negara ke-3 dengan prevalensi kusta tertinggi
setelah (WHO,2012) dengan provinsi Jawa Timur mendominasi
sumbangan kasus sebanyak 4.132 (Pusdatin,2013).
Kusta ini sebenarnya dapat disembuhkan jika diagnosis dilakukan lebih
dini, sehinga pencegahan dilakukan untuk mencegah kecacatan akibat
kusta yang biasanya menyebabkan stigma di masyarakat (WHO,2012).
Rapor merah pemerintah Indonesia yang harus diperjuangkan yaitu
menurunkan penyakit menular agar bisa fokus pada pengembangan negara
di aspek lainnya.
1.2 Tujuan
a. Tujuan Umum
Memberikan gambaran umum tentang epidemiologi Kusta
b. Tujuan Khusus

 Menjadi pembelajaran pembaca

 Sebagai acuan pembuatan program kesehatan mengenai

kusta
1.3 Manfaat
a. Masyarakat
Menjadi referensi penulisan dan ilmu pengetahuan
b. Penulis
Sebagai media pengembangan diri dan mengasah kemampuan
menulis

2

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Merupakan penyakit infeksi mikobakterium yang bersifat kronik
progresif, mula-mula menyerang saraf tepi dan kemudian terdapat
manifestasi kulit. (Siregar,2004)
Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kustha berarti
kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta atau lepra
disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan
kuman.


Kusta

adalah

Mycobacterium leprae.

penyakit

yang

disebabkan

oleh

infeksi

Kusta menyerang berbagai bagian tubuh

diantaranya saraf dan kulit. Penyakit ini adalah tipe penyakit

granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernafasan atas dan
lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak
ditangani, kusta dapat sangat progresif menyebabkan kerusakan pada kulit,
saraf-saraf, anggota gerak dan mata. Tidak seperti mitor yang beredar di
masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh sebgitu
mudah seperti pada penyakit tzaraath yang digambarkan dan sering
disamakan dengan kusta. (Pusdatin,2015)
2.2 Etiologi
Penyakit kusta telah menyerang manusia sepanjang sejarah.
Banyak para ahli percaya bahwa tulisan pertama tentang ksta muncul
dalam sebuah dokumen Papirus Mesir ditulis sekitar tahun 1550 SM.
Sekitar tahun 600 SM, ditemukan sebuah tulisan berbahsa india
menggambarkan penyakit yang menyerupai kusta. Di Erpo, kusta pertama
kali muncul dalam catatan Yunan Kuno setelah tentara Alexander Agung
kembali dari India. Kemudian di Roma pad 62 SM bertepatan dengan
kembalinya pasukan Pompei dari Asia kecil.
Pada tahun 1973, Dr Gerhard Armauer Henrik Hanen dari
Norwegia adalah orang pertama yang mengidentifikasi kuman yang

3

menyeabkan

penyakit

kusat

di

bawah

mikroskop.

Penemuan

Mycobacterium leprae membuktikan bahwa kusta disebabkan oleh kuman,
dan dengan demikian tidak turun menurun, dari kutukan atau dari dosa.
(Pusdatin,2015)
2.3 Manifestasi Klinis
Lesi diawali dengan bercak putih bersisik halus pada bagian
tubuh,tidak gatal, kemudian membesar dan meluar. Jika saraf sudah
tekena, penderita mengeluh kesemutal/baal pada bagian tertentu, ataupun
kesukaran menggerakan anggota badan yang berlanjut dengan kekakuan
sendi. Rambut alispun dapat rontok. (Siregar,2004)
2.4 Diagnosa
Ada 3 tanda penting. Jika salah satunya ada maka bisa diperkuat
bahwa penyakit tersebut merupakan penyakit kusta.
1. Lesi kulit yang anastesi
2. Penebalan saraf perifer
3. Ditemukannya M. Leprae (bakteriologi positif)
(Marwali,2000)

4

2.5 Patofisiologi

Menurut kongres internasional Madrid 1953, lepra dibagi atas tipe
Indeterminan,

tipe

tuberkoloid

(T),

tipe

lepromatosa

dan

tipe

borderline(B). Ridley Jopling(1960) membaginya menjadi: I,TT, BT, BB,
BL dan LL. Pembagian Madrid sering untuk segi praktis di lapangan,
sedang pembagianRIdley Jopling terutama dipakai untuk penelitian dan
pengobatan di pusat penelitian dan leprosaria.

2.6 Program Nasional
Obat gratis untuk pengidap kusta tersedia di puskesmas (MDT). Dan juaga
pemerintah menyusun strategi percepatan eliminasi kusta di Indonesia,
melalui:

5

a. Peningkatan penemuan kasus secara dini di masyarakat;
b. Pelayanan kusta berkualitas, termasuk layanan rehabilitasi yang
diintegrasikan dengan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan;
c. Penyebarluasan informais tentang kusta di masyarakat;
d. Eliminasi stigma terhadap Orang Yang Pernah Mengalami Kusta
(OPYMK) dan keluarganya;
e. Pemberdayaan orang yang pernah mengalami kusta dalam berbagai
aspek kehidupan dan penguatan partisipasi mereka dalam upaya
pengendalian kusta;
f.

Kemitraan dengan bebagai pemangku kepentingan;

g. Peningkatan dukungan kepada program kusta melalui penguatan
advokasi kepada pengambil kebijakan dan penyedia layanan lain;
serta
h. Penerapan pendekatan berbeda berdasarkan endemisitas kusta.
Peringatan hari kusta setiap 25 Januari juga menjadi metode promosi
tentang

6

BAB 3
METODELOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Pada tulisan kali ini dilakukan metode studi literatur diantaranya
buku, jurnal dan data sekunder.

7

BAB 4
PEMBAHASAN
4.1 Distribusi Penyakit

Data di atas menunjukan di beberapa benua mengalami penurunan
prevalensi, namun tidak di Asia Tenggara. Bahkan terjadi keaikan yang
signifikan. Ditambah dalam Gambar.1 yang memprihatinkan adalah
Indonesia menduduki posisi pertama penyumbang prevalensi tersebut dan
menjadi nomer 3 secara global setelah Brazil dan India.
Hal ini bukanlah suatu prestasi, namun jadi nilai merah pemerintah
Indonesia. Dihubungkan dengan kusta adalah penyakit yang biasa diidap
oleh sosio ekonomi rendah maka tergambar bahwa masyarakat Indonesia
makin banyak yang bersosioekonomi rendah. Meskipun IPM tiap
tahunnya ada kenaikan meskipun tidak signifikan. Apalagi kusta sangat
erat dengan stigma. Ini sangat berdampak pada produktifitas negara juga
banyak yang mengidap kusta dan akhirnya lebih memilih memasung diri
di rumah agar tidak terlabel oleh masyarakat.

8

Sebuah penelitian di India mengemukakan bahwa tingkat pengetahuan dan umur
ada kaitannya dengan kejadian kusta.
4.2 Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor resiko antara lain :
a. Bangsa atau ras

: pada ras kulit hitam insiden bentuk tuberkuloid

lebih tinggi. Pada kulit putih lebih cenderung tipe lepromatosa.
b. Sosio ekonomi

: banyak pada negara berkembang dan golongan

ekonomi rendah. Kurang makan makanan yang bergizi juga hygiene

9

karna faktor ekonomi biasa terjadi. Yang penting makan entah itu
bergizi atau tidak.
c. Kebersihan Lingkungan yang kurang memenuhi kriteria sehat.
Lingkungan kotor menjadi tempat berkembangnya vektor maupun
sumber. Menjadi enabler bertumbuh pesatnya kuman atau bakteri di
tempat tetentu.
d. Turunan

: tampaknya faktor genetik berperan penting dalam

penularan penyakit ini. Namun penyakit ini tidak diturunkan pada bayi
yang dikandung ibu lepra.
e. Penyakit HIV dan TB dapat memperparah penyakit kusta ini.
f. Tidak imunisasi BCG juga merupakan faktor resikonya.
4.3 Pencegahan


Menurut teori Leavell dan Clark (1956) ada 5 langkah pencegahan



Perlindungan khusus, contohnya imunisasi BCG.



Drug Therapy





Promosi kesehatan, berupa edukasi mengenai kusta.

Diagnosis dini dan pengobatan segera. Menggunakan metode Multi

Pembatasan cacat.
Rehabilitasi.
Banyak hal yang bisa dilakukan untuk mencegah. Membangun

perekonomian bangsa salah satunya, ditambah perlindungan hukum dan
perlindungan hak asasi pengidap kusta haruslah diperjuangkan.
Adapula strategi WHO dalam eliminasi kusta :
a.

Memastikan akes dan tidak terganngunya pelayanan MDT yang tersedia
untuk penderita dengan pengantaran obat ke pasien atau pasien bisa
mengambil di

b.

Memberanikan pelaporan untuk mendapatkan pengobatan segera dengan
mempromosikan tingkat kesadaran komunitas dan presepsi tentang kusta.

10

c.

Memantau pelayanan MDT, kualitan pelayanan pasien dan menciptakan
progress dr penyakit.

d.

Kesinambungan dan komitmen oleh program nasional dengan terus
dukungan secara nasional maupun internasional. Menaikan pemberdayaan
mantan pengidap kusta,bersama-sama membuat mereka lebih mengambil
peran pada lingkungannya akan membawa dunia tanpa kusta.

11

BAB 5
PENUTUP
5.1 Rekomendasi
a. Pemerintah
Program yang dilaksanakan sudah sesuai dengan paduan WHO
maupun kerangka kerja yang ada. Namun pemerintah Indonesia harus
mengemas program dengan menarik dan mudah dimengerti. Tindak
nyata pemerintah untuk hadir melindungi rakyatnya dari kusta masih
belum terlihat. Sehingga tidak heran kalau peningkatan prevalensi
kusta terjadi tiap tahun.
Peningkatan sosial ekonomi masyarakat terutama pengidap kusta
berupa pemberdayaan harus lebi digalakan lagi. Mengingat sosial
ekonomi merupakan akar masalah kusta. Pengadaan peer-conselor bagi
penderita kusta sangat disarankan demi terselesaikannya kasus kusta di
Indonesia yang mengadi penyumbang kasus no 3 di dunia.
b. Kurikulum Kesmas
Ahli kesehatan masyarakat harus lebih menekankan pengembangan
softskill menjadi konselor-konselor yang ahli. Dan juga menekankan
praktik intervensi ke mahasiswa. Mengingat kusta ini merupakan salah
satu tanggungan ahli kesehatan masyarakat, ditambah dengan penyakit
lainnya.
5.2 Kesimpulan Dan Saran
Kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kustha berarti
kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta atau lepra
disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan
kuman.

Kusta

adalah

Mycobacterium leprae.

penyakit

yang

disebabkan

oleh

infeksi

Kusta menyerang berbagai bagian tubuh

diantaranya saraf dan kulit. Penyakit ini adalah tipe penyakit
granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernafasan atas dan
lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak

12

ditangani, kusta dapat sangat progresif menyebabkan kerusakan pada kulit,
saraf-saraf, anggota gerak dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di
masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh sebgitu
mudah seperti pada penyakit tzaraath yang digambarkan dan sering
disamakan dengan kusta.


Menurut teori Leavell dan Clark (1956) ada 5 langkah pencegahan



Perlindungan khusus, contohnya imunisasi BCG.



Drug Therapy





Promosi kesehatan, berupa edukasi mengenai kusta.

Diagnosis dini dan pengobatan segera. Menggunakan metode Multi

Pembatasan cacat.
Rehabilitasi.
Indonesia merupkan negara ke-3 penyumbang terbesar prevalesi Maka

Banyak hal yang bisa dilakukan untuk menceganya. Membangun
perekonomian bangsa salah satunya, ditambah perlindungan hukum dan
perlindungan hak asasi pengidap kusta haruslah diperjuangkan.
Pemusatan pada promotif dan preventif untuk eliminasi Kusta adalah
jalan keluar yang nyata.

13

DAFTAR PUSTAKA
Bello, Ajediran et. (2013) Al Health related quality of life amongst people

affected by leprosy in South Ghana: A needs assessment. Lepr Rev (2013)

84, 76–84
https://www.lepra.org.uk/platforms/lepra/files/lr/Mar13/LR_Mar13_1741.
pdf (diakses pada 08 November 2015)

Harahap, Marwali. (2013). Ilmu Penyakit Kulit. Jakatra : Penerbit Hipokrates
Human Rights Council. (2008). Elimination of discrimination against persons
affected by leprosy and their family member.

http://ap.ohchr.org/documents/E/HRC/resolutions/A_HRC_RES_8_13.pdf
(diakses pada 8 november 2015)
Kemenkes RI. (2015). Infodatin Kusta . Jakarta
Lusli, Mimi et al. (2015). Lay and peer counsellors to reduce leprosy-related
stigma – lessons learnt in Cirebon, Indonesia. Lepr Rev (2015) 86, 37–53

http://www.lepra.org.uk/platforms/lepra/files/lr/Mar15/1959.pdf (diakses
pada 08 November 2015)
Siregar. (2013). Altas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Raju et al. (2015). What stops people completing multi-drug therapy? Ranked
perspectives of people with leprosy, their head of family and neighbours –
across four Indian states. Lepr Rev (2015) 86, 6–20

http://www.lepra.org.uk/platforms/lepra/files/lr/Mar15/1970.pdf (diakses

pada 08 November 2015)
WHO. (2012). WHO Expert Committee on Leprosy : Eight repot. Geneva : WHO
Press
WHO. (2012). Weekly Epidemiological Record. No. 34, 2012, 87, 317–328
http://www.who.int/wer (diakses pada 8 november 2015)

http://www.who.int/entity/mediacentre/factsheets/fs101/en/ (diakes pada 8
november 2015)