Analisis atas Alih Fungsi Lahan yang Ber
Analisis atas Alih Fungsi Lahan yang Berdampak Pada
Kawanan Gajah di Palembang
Novia Puspa Ayu Larasati
[email protected]
Abstrak
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan
mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta
keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Hal ini
merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat.
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui
kegiatan
perlindungan
sistem
penyangga
kehidupan,
pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya serta
pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Di
Indonesia gajah sumatera penyebarannya mencakup Sumatera dan
Kalimantan bagian timur. Sebagai satwa langka, gajah sumatera dilindungi
menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya dan diatur dalam peraturan pemerintah PP No
7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Ancaman yang
dihadapi gajah sumatera termasuk pembalakan liar, fragmentasi habitat, serta
konflik dengan manusia. Sejak tahun 1980-an sering muncul masalah
gangguan satwa liar terhadap pemukiman, perkebunan dan perladangan
masyarakat di Sumatera. Peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah
melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna, diantaranya
melalui pendidikan dan penyuluhan. Dalam rangka pelaksanaan sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya. Pemerintah dapat menyerahkan sebagian
urusan di bidang tersebut kepada Pemerintah Daerah. Untuk menjamin
terselenggaranya tugas-tugas umum pemerintah dan pembangunan serta
berdaya guna dan dan berhasil guna serta mewujudkan masyarakat yang adil
dan makmur adanya aparatur Pemerintahan yang benar-benar berfungsi
sebagai abdi masyarakat dalam memberikan pelayanan yang optimal agar
tercapainya tujuan dari diadakannya pemerintah itu sendiri.
Kata Kunci : Gajah, Perkebunan, Alih Fungsi Lahan
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemerintah selaku pemegang hak penguasaan atas bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya sebagaimana tertuang di dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 ayat (3),
menentukan “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”. Ketentuan ini menjadi landasan filosofis dan landasan yuridis
1
bagi Negara Indonesia dalam rangka mengelola sumber daya alam (SDA)
sekaligus mengatur hak-hak penguasaan dan pemanfaatan tanah, air dan
ruang angkasa dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan. Negara Indonesia sebagai organisasi
kekuasaan yang tertinggi seluruh rakyat Indonesia, dalam hal ini pemerintah
Indonesia sebagai pengemban utama tanggung jawab memajukan
kesejahteraan umum bagi rakyat Indonesia diberikan kewenangan oleh UUPA
sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi atas bumi, air dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagaimana yang
tercermin di dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUPA, bahwa bumi, air dan
ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu,
pada tingkatan yang tertinggi “dikuasi” oleh Negara sebagai organisasi seluruh
rakyat.
Hak menguasai Negara dimaksud adalah memberikan kewenangan kepada
lembaga hukum dan hubungan hukum konkrit antara Negara dengan Tanah
Indonesia. Kewenangan Negara tersebut merupakan pelimpahan tugas Bangsa,
sehingga kewenangan tersebut semata-mata bersifat publik. Negara dalam hal
ini bukan sebagai suatu badan hukum yang memiliki, akan tetapi Negara
diberikan kewenangan untuk mengatur sebagaimana yang tercantum dalam
Pasal 2 ayat (2) UUPA:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. Mengatur dan menentukan hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.
Atas dasar kewenangan tersebut, maka Negara berkewajiban untuk
mengatur penyediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air, ruang angkasa
dengan sebaik-baiknya dengan mempertimbangkan prinsip keadilan, kepastian
dan kemanfaatan nya. Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah pusat
ataupun pemerintah daerah, dengan kata lain pemerintah tidak boleh
melakukan suatu tindakan hukum apapun di luar kewenangan yang
dimilikinya.
Hak menguasai dari negara atas tanah bersumber pada hak bangsa
Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan
tugas kewenangan bangsa yang mengandung unsur publik. Tugas mengelola
seluruh tanah bersama tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh seluruh
bangsa indonesia, maka dalam penyelenggaraannya, bangsa Indonesia
sebagai pemegang hak dan pengemban amanat tersebut, pada tingkatan
tertinggi dikuasakan kepada Negara Republik Indonesia sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 2 ayat (1) UUPA).1
Alih fungsi lahan hampir terjadi diseluruh wilayah Provinsi, Kabupaten/
Kota di seluruh Indonesia. Laju pertumbuhan penduduk, kegiatan ekonomi yang
terus
meningkat,
pembangunan
infrastruktur
perhubungan
seiring
1 Baiq Burdatun. 2016. “Penegakan Hukum Terhadap Alih Fungsi Lahan Pertanian Menjadi Lahan NonPertanian Di Kota Mataram”. Jurnal IUS, Vol IV, Nomor 3, Desember:456-469.
2
desentralisasi penyelenggaraan pemerintah di daerah telah mempercepat laju
konversi lahan. Selain itu, ketidakseimbangan land rent antara Jawa-Luar Jawa,
kota-desa, pertanian-non pertanian, dan hutan-non hutan turut berkontribusi
memacu laju alih fungsi lahan.2
1.2 Kronologi Kasus
Konflik antara gajah dan manusia semakin sering terjadi di Sumatera
Selatan belakangan ini, tercatat terjadi 5 kali konflik gajah dan manusia
memicu kerugian materiil bahkan korban jiwa. Menurut Kepala Balai Konservasi
dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan, Genman Suhefti Hasibuan,
setidaknya masih ada 100-150 gajah liar yang ada di Sumatera Selatan. Gajahgajah itulah yang sering terlibat konflik dengan manusia. Konflik itu terjadi
karena habitat inti dan habitat sekitar wilayah inti yang menjadi tempat tinggal
gajah sudah rusak parah. Habitat ini gajah rusak karena para perambah.
Sementara habitat sekitar wilayah inti kian rusak karena masifnya aktivitas
perkebunan, pertanian, pertambangan, pembuatan jalan, hingga pemukiman.
Rusaknya wilayah ini memicu gajah mencari sumber makanan baru. Karena
warga banyak berkebun dan bertani di sekitar wilayah inti, gajah pun masuk ke
kebun dan sawah warga untuk mencari makan. Kehadiran mereka tentu tidak
disukai manusia. Akhirnya konflik antara gajah dan manusia terjadi secara
terus menerus. Sekarang kawanan gajah itu yang sulit untuk kembali ke
habitat aslinya. Karena jalur jelajah mereka sudah terfragmentasi oleh
perkebunan, pertanian, dan pemukiman warga. Hal itu semakin parah karena
warga mengusir mereka dengan metode yang salah. Gajah pun berpindah dari
satu tempat konflik ke tempat konflik lain. Ada 3 lokasi yang sering terjadi di
Sumatera Selatan, yaitu di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Ogan
Komering Ilir, dan Penukal Abab Lematang Ilir.3
1.3 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Dampak Alih Fungsi Lahan ?
2. Bagaimana Kebijakan Dari Pemerintah Tentang Alih Fungsi Hutan ?
3. Bagaimana Pengendalian dalam Alih Fungsi Lahan ?
II. PEMBAHASAN
A. Dampak Alih Fungsi Lahan
Sebagaimana kita ketahui bahwa hutan berfungsi sebagai penyeimbang
fungsi ekosistem. Peranan hutan sangat penting dalam sistem penyangga
kehidupan. Hutan juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan air yang
baik, sebagai habitat bagi flora dan fauna, mengurangi polusi pencemaran
udara, sebagai penyubur tanah, sebagai paru-paru dunia dengan menyuplai
oksigen untuk kehidupan, sebagai penahan erosi dan lain sebagainya. Ada
anekdot mengatakan bahwa forest is the mother of agriculture, artinya
hutan sebagai penyeimbang fungsi pertanian dengan menyuplai air untuk
pertanian tersebut. Namun bisa dibayangkan dengan kondisi hutan kita
sekarang yang maraknya dialihfungsikan ke bentuk lain akan menyebabkan
fungsi hutan terganggu. Boleh kita lihat bencana alam dimana-mana,
2 Suhadi. 2012. “Faktor Pengaruh dan Implikasi Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan
Gunungpati Kota Semarang terhadap Alih Fungsi Lahan Pertanian”. Jurnal Pandecta, Vol 7,
Nomor 1, Januari:58-67.
3 Kompas. 2017. Edisi Rabu, 30 Agustus. Nusantara. Hlm 24.
3
seperti banjir, erosi, tanah longsor, pemanasan global yang banyak diisukan
oleh dunia internasional. Berapa banyak kerugian negara akan kasus ini?.
Itu baru kasus yang berkaitan dengan alam, belum lagi akhir-akhir ini
banyak terjadi konflik antara masyarakat dengan perusahaan-perusahaan
terkait alih fungsi lahan hutan ini. Konflik yang terjadi kebanyakan
mengorbankan masyarakat kecil, bukan hanya harta bahkan nyawa pun
terkorbankan.
Dengan julukan Negara agraris yang dijunjungnya, tentu saja Indonesia
memiliki banyak sekali potensi pertanian atau perkebunan yang bisa
dijadikan
sumber
perekonomian
Negara.
Akan
tetapi,
seiring
berkembangnya sistem
perekonomian
serta
meningkatnya
jumlah
penduduk, maka kebutuhan lahan untuk kepentingan dalam bidang selain
pertanian semakin meningkat pula.
Berdasarkan data statistik tahun 2014, luas lahan pertanian di Indonesia
mencapai angka 41.5 juta Hektar. Dari jumlah tersebut, dapat dibagi
menjadi tiga kategori yakni hortikultura 567 ribu hektar, tanaman pangan
19 juta hektar, dan terakhir tanaman perkebunan sebesar 22 juta hektar.
Berikut beberapa dampak alih fungsi lahan pertanian :
1. Berkurangnya lahan pertanian
Dengan adanya alih fungsi lahan menjadi non-pertanian, maka otomatis lahan
pertanian menjadi semakin berkurang. Hal ini tentu saja memberi dampak
negatif ke berbagai bidang baik secara langsung maupun tidak langsung.
2. Menurunnya produksi pangan nasional
Akibat lahan pertanian yang semakin sedikit, maka hasil produksi juga akan
terganggu. Dalam skala besar, stabilitas pangan nasional juga akan sulit
tercapai. Mengingat jumlah penduduk yang semakin meningkat tiap tahunnya
sehingga kebutuhan pangan juga bertambah, namun lahan pertanian justru
semakin berkurang.
3. Mengancam keseimbangan ekosistem
Dengan berbagai keanekaragaman populasi di dalamnya, sawah atau lahanlahan pertanian lainnya merupakan ekosistem alami bagi beberapa binatang.
Sehingga jika lahan tersebut mengalami perubahan fungsi, binatang-binatang
tersebut akan kehilangan tempat tinggal dan bisa mengganggu ke permukiman
warga. Selain itu, adanya lahan pertanian juga membuat air hujan
termanfaatkan dengan baik sehingga mengurangi resiko penyebab banjir saat
musim penghujan.
4. Sarana prasarana pertanian menjadi tidak terpakai
Untuk membantu peningkatan produk pertanian, pemerintah telah
menganggarkan biaya untuk membangun sarana dan prasarana pertanian.
Dalam sistem pengairan misalnya, akan banyak kita jumpai proyek-proyek
berbagai jenis jenis irigasidari pemerintah, mulai dari membangun bendungan,
membangun drainase, serta infrastruktur lain yang ditujukan untuk pertanian.
Sehingga jika lahan pertanian tersebut beralih fungsi, maka sarana dan
prasarana tersebut menjadi tidak terpakai lagi.
5. Banyak buruh tani kehilangan pekerjaan
4
Buruh tani adalah orang-orang yang tidak mempunyai lahan pertanian
melainkan menawarkan tenaga mereka untuk mengolah lahan orang lain yang
butuh tenaga. Sehingga jika lahan pertanian beralih fungsi dan menjadi
semakin sedikit, maka buruh-buruh tani tersebut terancam akan kehilangan
mata pencaharian mereka.
6. Harga pangan semakin mahal
Ketika produksi hasil pertanian semakin menurun, tentu saja bahan-bahan
pangan di pasaran akan semakin sulit dijumpai. Hal ini tentu saja akan
dimanfaatkan sebaik mungkin bagi para produsen maupun pedagang untuk
memperoleh keuntungan besar. Maka tidak heran jika kemudian harga-harga
pangan tersebut menjadi mahal
7. Tingginya angka urbanisasi
Sebagian besar kawasan pertanian terletak di daerah pedesaan. Sehingga
ketika terjadi alih fungsi lahan pertanian yang mengakibatkan lapangan
pekerjaan bagi sebagian orang tertutup, maka yang terjadi selanjutnya adalah
angka urbanisasi meningkat. Orang-orang dari desa akan berbondong-bondong
pergi ke kota dengan harapan mendapat pekerjaan yang lebih layak. Padahal
bisa jadi setelah sampai di kota keadaan mereka tidak berubah karena
persaingan semakin ketat.4
B. Kebijakan Dari Pemerintah Tentang Alih Fungsi Hutan
Alih fungsi kawasan hutan memang diperbolehkan Undang-Undang. Hanya
ada aturannya. Pasal 19 ayat (1), UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
menyatakan, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh
pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu. Namun, alih
fungsi hutan tentu tidak boleh dilakukan secara sembarang. Jika alih fungsi
hutan ini berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis,
maka harus ditetapkan oleh pemerintah dan dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Yang dimaksud dengan berdampak penting dan
cakupan yang luas serta bernilai strategis ini adalah adanya perubahan yang
sangat berpengaruh terhadap kondisi biofisik seperti perubahan iklim,
ekosistem, dan gangguan tata air serta adanya dampak sosial masyarakat bagi
kehidupan generasi sekarang dan yang akan datang.
Hingga saat ini pemerintah telah memberikan solusi akan masalah alih
fungsi lahan ini, seperti menerapkan denda untuk penebangan hutan dan
hukum pidana. Ketentuan pidana yang di atur dalam Pasal 50 dan sanksi
pidananya dalam Pasal 78 UU No. 41 / 1999, merupakan salah satu dari upaya
perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara
lestari. Maksud dan tujuan dari pemberian sanksi pidana yang berat terhadap
setiap orang yang melanggar hukum di bidang kehutanan ini adalah agar dapat
menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan (penjelasan
umum paragraph ke 18 UU No. 41 / 1999). Efek jera yang dimaksud bukan
hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana kehutanan, akan
tetapi kepada orang lain yang mempunyai kegiatan dalam bidang kehutanan
4 Muhammad Akib. 2014. Hukum Lingkungan Perspektif Global dan Nasional. Jakarta : PT Grafindo
Persada. Hlm. 49.
5
menjadi berpikir kembali untuk melakukan perbuatan melanggar hukum karena
sanksi pidannya berat.5
C. Pengendalian Dalam Alih Fungsi Lahan
Perlu digarisbawahi bahwa penyebab terjadinya alih fungsi lahan
pertanian boleh dikatakan bersifat multidimensi. Oleh karena itu, upaya
pengendaliannya tidak mungkin hanya dilakukan melalui satu pendekatan
saja. Mengingat nilai keberadaan lahan pertanian bersifat multifungsi, maka
keputusan untuk melakukan pengendaliannya harus memperhitungkan
berbagai aspek yang melekat pada eksistensi lahan itu sendiri. Hal tersebut
mengingat lahan yang ada mempunyai nilai yang berbeda, baik ditinjau
dari segi jasa (service) yang dihasilkan maupun beragam fungsi yang
melekat di dalamnya.
Sehubungan dengan isu di atas, Pearce and Turner (1990)
merekomendasikan tiga pendekatan secara bersamaan dalam kasus
pengendalian alih fungsi lahan sawah (wetland), yaitu melalui : (1)
regulation; (2) acquisition and management; dan (3) incentive and charge.
Uraian singkat dari ketiga pendekatan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Regulation. Melalui pendekatan ini pengambil kebijakan perlu
menetapkan sejumlah aturan dalam pemanfaatan lahan yang ada.
Berdasarkan berbagai pertimbangan teknis, ekonomis, dan sosial,
pengambil kebijakan bisa melakukan pewilayahan (zoning) terhadap lahan
yang ada serta kemungkinan bagi proses alih fungsi. Selain itu, perlu
mekanisme perizinan yang jelas dan transparan dengan melibatkan semua
pemangku kepentingan yang ada dalam proses alih fungsi lahan. Dalam
tatanan praktisnya, pola ini telah diterapkan pemerintah melalui penetapan
Rencana Tata Ruang Wilayah dan pembentukan Tim Sembilan di tingkat
kabupaten dalam proses alih fungsi lahan. Sayangnya, pelaksanaan di
lapang belum sepenuhnya konsisten menerapkan aturan yang ada.
2. Acquisition and Management. Melalui pendekatan ini pihak terkait
perlu menyempurnakan sistem dan aturan jual beli lahan serta
penyempurnaan pola penguasaan lahan (land tenure system) yang ada
guna mendukung upaya ke arah mempertahankan keberadaan lahan
pertanian.
3. Incentive and Charges. Pemberian subsidi kepada para petani yang
dapat meningkatkan kualitas lahan yang mereka miliki, serta penerapan
pajak yang menarik bagi yang mempertahankan keberadaan lahan
pertanian, merupakan bentuk pendekatan lain yang disarankan dalam
upaya pencegahan alih fungsi lahan pertanian. Selain itu, pengembangan
prasarana yang ada lebih diarahkan untuk mendukung pengembangan
kegiatan budidaya pertanian berikut usaha ikutannya.6
Mengingat selama ini penerapan perundang-undangan dan peraturan
pengendalian alih fungsi lahan kurang berjalan efektif serta berpijak pada
acuan pendekatan pengendalian sebagaimana dikemukakan di atas, maka
perlu diwujudkan suatu kebijakan alternatif. Kebijakan alternatif tersebut
diharapkan mampu memecahkan kebuntuan pengendalian alih fungsi lahan
sebelumnya. Adapun komponennya antara lain instrumen hukum dan
ekonomi, zonasi, dan inisiatif masyarakat.
Instrumen hukum meliputi penerapan perundang-undangan dan
peraturan yang mengatur mekanisme alih fungsi lahan. Sementara itu,
instrumen ekonomi mencakup insentif, disinsentif, dan kompensasi.
Kebijakan pemberian insentif diberikan kepada pihak-pihak yang
5 M. Daud Silalahi.2014. Hukum Lingkungan dalam system penegakan hokum lingkungan Indonesia.
Bandung : PT. Alumni. Hlm 116-119.
6 Muhammad Iqbal dan Sumaryanto. 2007. “Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu
Pada Partisipasi Masyarakat”. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 2, Juni : 167-182.
6
mempertahankan lahan dari alih fungsi. Pola pemberian insentif ini antara
lain dalam bentuk keringanan pajak bumi dan bangunan (PBB) serta
kemudahan sarana produksi pertanian. Sebaliknya, disinsentif diberikan
kepada
pihak-pihak
yang
melakukan
alih
fungsi
lahan
yang
implementasinya berlawanan dengan perundang-undangan dan peraturan
yang berlaku. Sementara itu, kompensasi ditujukan untuk pihak-pihak yang
dirugikan akibat alih fungsi lahan untuk kegiatan pembangunan, atau yang
mencegah terjadinya alih fungsi demi kelestarian lahan sebagai sumber
produksi pertanian (pangan). Dengan kata lain, penerapan instrumeninstrumen tersebut berkaitan dengan pemberian penghargaan dan sanksi
pelanggaran (reward and punishment).7
III. KESIMPULAN
Dampak alih fungsi lahan pertanian, Seperti : Berkurangnya lahan
pertanian, Menurunnya produksi pangan nasional, Mengancam keseimbangan
ekosistem, Sarana prasarana pertanian menjadi tidak terpakai, Banyak buruh
tani kehilangan pekerjaan, Harga pangan semakin mahal, Tingginya angka
urbanisasi.
Kebijakan Pemerintah dalam mengatur alih fungsi hutan ketentuan pidana
yang di atur dalam Pasal 50 dan sanksi pidananya dalam Pasal 78 UU No. 41 /
1999, merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan dalam rangka
mempertahankan fungsi hutan secara lestari.
Pengendalian alih fungsi lahan (wetland), yaitu melalui : (1) regulation; (2)
acquisition and management; dan (3) incentive and charge.
DAFTAR PUSTAKA
7 Muhammad Iqbal dan Sumaryanto. 2007. “Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu
Pada Partisipasi Masyarakat”. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 2, Juni : 167-182.
7
Akib, Muhammad. 2014. Hukum Lingkungan Perspektif Global dan Nasional.
Jakarta : PT Grafindo Persada.
Burdatun, Baiq. 2016. “Penegakan Hukum Terhadap Alih Fungsi Lahan
Pertanian Menjadi
Lahan Non-Pertanian Di Kota Mataram”. Jurnal IUS, Vol IV,
Nomor 3, Desember:456-469.
Kompas. 2017. Edisi Rabu, 30 Agustus. Nusantara. Hlm 24.
Iqbal, Muhammad dan Sumaryanto. 2007. “Strategi Pengendalian Alih Fungsi
Lahan Pertanian Bertumpu Pada Partisipasi Masyarakat”. Jurnal Analisis
Kebijakan Pertanian.
Volume 5 No. 2, Juni : 167-182.
Silalahi, M. Daud.2014. Hukum Lingkungan dalam system penegakan hokum
lingkungan Indonesia. Bandung : PT. Alumni. Hlm 116-119.
Suhadi. 2012. “Faktor Pengaruh dan Implikasi Rencana Detail Tata Ruang
Kecamatan Gunungpati Kota Semarang terhadap Alih Fungsi Lahan
Pertanian”. Jurnal Pandecta, Vol
7, Nomor 1, Januari:58-67.
8
9
Kawanan Gajah di Palembang
Novia Puspa Ayu Larasati
[email protected]
Abstrak
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan
mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta
keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Hal ini
merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat.
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui
kegiatan
perlindungan
sistem
penyangga
kehidupan,
pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya serta
pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Di
Indonesia gajah sumatera penyebarannya mencakup Sumatera dan
Kalimantan bagian timur. Sebagai satwa langka, gajah sumatera dilindungi
menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya dan diatur dalam peraturan pemerintah PP No
7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Ancaman yang
dihadapi gajah sumatera termasuk pembalakan liar, fragmentasi habitat, serta
konflik dengan manusia. Sejak tahun 1980-an sering muncul masalah
gangguan satwa liar terhadap pemukiman, perkebunan dan perladangan
masyarakat di Sumatera. Peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah
melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna, diantaranya
melalui pendidikan dan penyuluhan. Dalam rangka pelaksanaan sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya. Pemerintah dapat menyerahkan sebagian
urusan di bidang tersebut kepada Pemerintah Daerah. Untuk menjamin
terselenggaranya tugas-tugas umum pemerintah dan pembangunan serta
berdaya guna dan dan berhasil guna serta mewujudkan masyarakat yang adil
dan makmur adanya aparatur Pemerintahan yang benar-benar berfungsi
sebagai abdi masyarakat dalam memberikan pelayanan yang optimal agar
tercapainya tujuan dari diadakannya pemerintah itu sendiri.
Kata Kunci : Gajah, Perkebunan, Alih Fungsi Lahan
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemerintah selaku pemegang hak penguasaan atas bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya sebagaimana tertuang di dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 ayat (3),
menentukan “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”. Ketentuan ini menjadi landasan filosofis dan landasan yuridis
1
bagi Negara Indonesia dalam rangka mengelola sumber daya alam (SDA)
sekaligus mengatur hak-hak penguasaan dan pemanfaatan tanah, air dan
ruang angkasa dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan. Negara Indonesia sebagai organisasi
kekuasaan yang tertinggi seluruh rakyat Indonesia, dalam hal ini pemerintah
Indonesia sebagai pengemban utama tanggung jawab memajukan
kesejahteraan umum bagi rakyat Indonesia diberikan kewenangan oleh UUPA
sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi atas bumi, air dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagaimana yang
tercermin di dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUPA, bahwa bumi, air dan
ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu,
pada tingkatan yang tertinggi “dikuasi” oleh Negara sebagai organisasi seluruh
rakyat.
Hak menguasai Negara dimaksud adalah memberikan kewenangan kepada
lembaga hukum dan hubungan hukum konkrit antara Negara dengan Tanah
Indonesia. Kewenangan Negara tersebut merupakan pelimpahan tugas Bangsa,
sehingga kewenangan tersebut semata-mata bersifat publik. Negara dalam hal
ini bukan sebagai suatu badan hukum yang memiliki, akan tetapi Negara
diberikan kewenangan untuk mengatur sebagaimana yang tercantum dalam
Pasal 2 ayat (2) UUPA:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. Mengatur dan menentukan hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.
Atas dasar kewenangan tersebut, maka Negara berkewajiban untuk
mengatur penyediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air, ruang angkasa
dengan sebaik-baiknya dengan mempertimbangkan prinsip keadilan, kepastian
dan kemanfaatan nya. Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah pusat
ataupun pemerintah daerah, dengan kata lain pemerintah tidak boleh
melakukan suatu tindakan hukum apapun di luar kewenangan yang
dimilikinya.
Hak menguasai dari negara atas tanah bersumber pada hak bangsa
Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan
tugas kewenangan bangsa yang mengandung unsur publik. Tugas mengelola
seluruh tanah bersama tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh seluruh
bangsa indonesia, maka dalam penyelenggaraannya, bangsa Indonesia
sebagai pemegang hak dan pengemban amanat tersebut, pada tingkatan
tertinggi dikuasakan kepada Negara Republik Indonesia sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 2 ayat (1) UUPA).1
Alih fungsi lahan hampir terjadi diseluruh wilayah Provinsi, Kabupaten/
Kota di seluruh Indonesia. Laju pertumbuhan penduduk, kegiatan ekonomi yang
terus
meningkat,
pembangunan
infrastruktur
perhubungan
seiring
1 Baiq Burdatun. 2016. “Penegakan Hukum Terhadap Alih Fungsi Lahan Pertanian Menjadi Lahan NonPertanian Di Kota Mataram”. Jurnal IUS, Vol IV, Nomor 3, Desember:456-469.
2
desentralisasi penyelenggaraan pemerintah di daerah telah mempercepat laju
konversi lahan. Selain itu, ketidakseimbangan land rent antara Jawa-Luar Jawa,
kota-desa, pertanian-non pertanian, dan hutan-non hutan turut berkontribusi
memacu laju alih fungsi lahan.2
1.2 Kronologi Kasus
Konflik antara gajah dan manusia semakin sering terjadi di Sumatera
Selatan belakangan ini, tercatat terjadi 5 kali konflik gajah dan manusia
memicu kerugian materiil bahkan korban jiwa. Menurut Kepala Balai Konservasi
dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan, Genman Suhefti Hasibuan,
setidaknya masih ada 100-150 gajah liar yang ada di Sumatera Selatan. Gajahgajah itulah yang sering terlibat konflik dengan manusia. Konflik itu terjadi
karena habitat inti dan habitat sekitar wilayah inti yang menjadi tempat tinggal
gajah sudah rusak parah. Habitat ini gajah rusak karena para perambah.
Sementara habitat sekitar wilayah inti kian rusak karena masifnya aktivitas
perkebunan, pertanian, pertambangan, pembuatan jalan, hingga pemukiman.
Rusaknya wilayah ini memicu gajah mencari sumber makanan baru. Karena
warga banyak berkebun dan bertani di sekitar wilayah inti, gajah pun masuk ke
kebun dan sawah warga untuk mencari makan. Kehadiran mereka tentu tidak
disukai manusia. Akhirnya konflik antara gajah dan manusia terjadi secara
terus menerus. Sekarang kawanan gajah itu yang sulit untuk kembali ke
habitat aslinya. Karena jalur jelajah mereka sudah terfragmentasi oleh
perkebunan, pertanian, dan pemukiman warga. Hal itu semakin parah karena
warga mengusir mereka dengan metode yang salah. Gajah pun berpindah dari
satu tempat konflik ke tempat konflik lain. Ada 3 lokasi yang sering terjadi di
Sumatera Selatan, yaitu di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Ogan
Komering Ilir, dan Penukal Abab Lematang Ilir.3
1.3 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Dampak Alih Fungsi Lahan ?
2. Bagaimana Kebijakan Dari Pemerintah Tentang Alih Fungsi Hutan ?
3. Bagaimana Pengendalian dalam Alih Fungsi Lahan ?
II. PEMBAHASAN
A. Dampak Alih Fungsi Lahan
Sebagaimana kita ketahui bahwa hutan berfungsi sebagai penyeimbang
fungsi ekosistem. Peranan hutan sangat penting dalam sistem penyangga
kehidupan. Hutan juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan air yang
baik, sebagai habitat bagi flora dan fauna, mengurangi polusi pencemaran
udara, sebagai penyubur tanah, sebagai paru-paru dunia dengan menyuplai
oksigen untuk kehidupan, sebagai penahan erosi dan lain sebagainya. Ada
anekdot mengatakan bahwa forest is the mother of agriculture, artinya
hutan sebagai penyeimbang fungsi pertanian dengan menyuplai air untuk
pertanian tersebut. Namun bisa dibayangkan dengan kondisi hutan kita
sekarang yang maraknya dialihfungsikan ke bentuk lain akan menyebabkan
fungsi hutan terganggu. Boleh kita lihat bencana alam dimana-mana,
2 Suhadi. 2012. “Faktor Pengaruh dan Implikasi Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan
Gunungpati Kota Semarang terhadap Alih Fungsi Lahan Pertanian”. Jurnal Pandecta, Vol 7,
Nomor 1, Januari:58-67.
3 Kompas. 2017. Edisi Rabu, 30 Agustus. Nusantara. Hlm 24.
3
seperti banjir, erosi, tanah longsor, pemanasan global yang banyak diisukan
oleh dunia internasional. Berapa banyak kerugian negara akan kasus ini?.
Itu baru kasus yang berkaitan dengan alam, belum lagi akhir-akhir ini
banyak terjadi konflik antara masyarakat dengan perusahaan-perusahaan
terkait alih fungsi lahan hutan ini. Konflik yang terjadi kebanyakan
mengorbankan masyarakat kecil, bukan hanya harta bahkan nyawa pun
terkorbankan.
Dengan julukan Negara agraris yang dijunjungnya, tentu saja Indonesia
memiliki banyak sekali potensi pertanian atau perkebunan yang bisa
dijadikan
sumber
perekonomian
Negara.
Akan
tetapi,
seiring
berkembangnya sistem
perekonomian
serta
meningkatnya
jumlah
penduduk, maka kebutuhan lahan untuk kepentingan dalam bidang selain
pertanian semakin meningkat pula.
Berdasarkan data statistik tahun 2014, luas lahan pertanian di Indonesia
mencapai angka 41.5 juta Hektar. Dari jumlah tersebut, dapat dibagi
menjadi tiga kategori yakni hortikultura 567 ribu hektar, tanaman pangan
19 juta hektar, dan terakhir tanaman perkebunan sebesar 22 juta hektar.
Berikut beberapa dampak alih fungsi lahan pertanian :
1. Berkurangnya lahan pertanian
Dengan adanya alih fungsi lahan menjadi non-pertanian, maka otomatis lahan
pertanian menjadi semakin berkurang. Hal ini tentu saja memberi dampak
negatif ke berbagai bidang baik secara langsung maupun tidak langsung.
2. Menurunnya produksi pangan nasional
Akibat lahan pertanian yang semakin sedikit, maka hasil produksi juga akan
terganggu. Dalam skala besar, stabilitas pangan nasional juga akan sulit
tercapai. Mengingat jumlah penduduk yang semakin meningkat tiap tahunnya
sehingga kebutuhan pangan juga bertambah, namun lahan pertanian justru
semakin berkurang.
3. Mengancam keseimbangan ekosistem
Dengan berbagai keanekaragaman populasi di dalamnya, sawah atau lahanlahan pertanian lainnya merupakan ekosistem alami bagi beberapa binatang.
Sehingga jika lahan tersebut mengalami perubahan fungsi, binatang-binatang
tersebut akan kehilangan tempat tinggal dan bisa mengganggu ke permukiman
warga. Selain itu, adanya lahan pertanian juga membuat air hujan
termanfaatkan dengan baik sehingga mengurangi resiko penyebab banjir saat
musim penghujan.
4. Sarana prasarana pertanian menjadi tidak terpakai
Untuk membantu peningkatan produk pertanian, pemerintah telah
menganggarkan biaya untuk membangun sarana dan prasarana pertanian.
Dalam sistem pengairan misalnya, akan banyak kita jumpai proyek-proyek
berbagai jenis jenis irigasidari pemerintah, mulai dari membangun bendungan,
membangun drainase, serta infrastruktur lain yang ditujukan untuk pertanian.
Sehingga jika lahan pertanian tersebut beralih fungsi, maka sarana dan
prasarana tersebut menjadi tidak terpakai lagi.
5. Banyak buruh tani kehilangan pekerjaan
4
Buruh tani adalah orang-orang yang tidak mempunyai lahan pertanian
melainkan menawarkan tenaga mereka untuk mengolah lahan orang lain yang
butuh tenaga. Sehingga jika lahan pertanian beralih fungsi dan menjadi
semakin sedikit, maka buruh-buruh tani tersebut terancam akan kehilangan
mata pencaharian mereka.
6. Harga pangan semakin mahal
Ketika produksi hasil pertanian semakin menurun, tentu saja bahan-bahan
pangan di pasaran akan semakin sulit dijumpai. Hal ini tentu saja akan
dimanfaatkan sebaik mungkin bagi para produsen maupun pedagang untuk
memperoleh keuntungan besar. Maka tidak heran jika kemudian harga-harga
pangan tersebut menjadi mahal
7. Tingginya angka urbanisasi
Sebagian besar kawasan pertanian terletak di daerah pedesaan. Sehingga
ketika terjadi alih fungsi lahan pertanian yang mengakibatkan lapangan
pekerjaan bagi sebagian orang tertutup, maka yang terjadi selanjutnya adalah
angka urbanisasi meningkat. Orang-orang dari desa akan berbondong-bondong
pergi ke kota dengan harapan mendapat pekerjaan yang lebih layak. Padahal
bisa jadi setelah sampai di kota keadaan mereka tidak berubah karena
persaingan semakin ketat.4
B. Kebijakan Dari Pemerintah Tentang Alih Fungsi Hutan
Alih fungsi kawasan hutan memang diperbolehkan Undang-Undang. Hanya
ada aturannya. Pasal 19 ayat (1), UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
menyatakan, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh
pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu. Namun, alih
fungsi hutan tentu tidak boleh dilakukan secara sembarang. Jika alih fungsi
hutan ini berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis,
maka harus ditetapkan oleh pemerintah dan dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Yang dimaksud dengan berdampak penting dan
cakupan yang luas serta bernilai strategis ini adalah adanya perubahan yang
sangat berpengaruh terhadap kondisi biofisik seperti perubahan iklim,
ekosistem, dan gangguan tata air serta adanya dampak sosial masyarakat bagi
kehidupan generasi sekarang dan yang akan datang.
Hingga saat ini pemerintah telah memberikan solusi akan masalah alih
fungsi lahan ini, seperti menerapkan denda untuk penebangan hutan dan
hukum pidana. Ketentuan pidana yang di atur dalam Pasal 50 dan sanksi
pidananya dalam Pasal 78 UU No. 41 / 1999, merupakan salah satu dari upaya
perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara
lestari. Maksud dan tujuan dari pemberian sanksi pidana yang berat terhadap
setiap orang yang melanggar hukum di bidang kehutanan ini adalah agar dapat
menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan (penjelasan
umum paragraph ke 18 UU No. 41 / 1999). Efek jera yang dimaksud bukan
hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana kehutanan, akan
tetapi kepada orang lain yang mempunyai kegiatan dalam bidang kehutanan
4 Muhammad Akib. 2014. Hukum Lingkungan Perspektif Global dan Nasional. Jakarta : PT Grafindo
Persada. Hlm. 49.
5
menjadi berpikir kembali untuk melakukan perbuatan melanggar hukum karena
sanksi pidannya berat.5
C. Pengendalian Dalam Alih Fungsi Lahan
Perlu digarisbawahi bahwa penyebab terjadinya alih fungsi lahan
pertanian boleh dikatakan bersifat multidimensi. Oleh karena itu, upaya
pengendaliannya tidak mungkin hanya dilakukan melalui satu pendekatan
saja. Mengingat nilai keberadaan lahan pertanian bersifat multifungsi, maka
keputusan untuk melakukan pengendaliannya harus memperhitungkan
berbagai aspek yang melekat pada eksistensi lahan itu sendiri. Hal tersebut
mengingat lahan yang ada mempunyai nilai yang berbeda, baik ditinjau
dari segi jasa (service) yang dihasilkan maupun beragam fungsi yang
melekat di dalamnya.
Sehubungan dengan isu di atas, Pearce and Turner (1990)
merekomendasikan tiga pendekatan secara bersamaan dalam kasus
pengendalian alih fungsi lahan sawah (wetland), yaitu melalui : (1)
regulation; (2) acquisition and management; dan (3) incentive and charge.
Uraian singkat dari ketiga pendekatan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Regulation. Melalui pendekatan ini pengambil kebijakan perlu
menetapkan sejumlah aturan dalam pemanfaatan lahan yang ada.
Berdasarkan berbagai pertimbangan teknis, ekonomis, dan sosial,
pengambil kebijakan bisa melakukan pewilayahan (zoning) terhadap lahan
yang ada serta kemungkinan bagi proses alih fungsi. Selain itu, perlu
mekanisme perizinan yang jelas dan transparan dengan melibatkan semua
pemangku kepentingan yang ada dalam proses alih fungsi lahan. Dalam
tatanan praktisnya, pola ini telah diterapkan pemerintah melalui penetapan
Rencana Tata Ruang Wilayah dan pembentukan Tim Sembilan di tingkat
kabupaten dalam proses alih fungsi lahan. Sayangnya, pelaksanaan di
lapang belum sepenuhnya konsisten menerapkan aturan yang ada.
2. Acquisition and Management. Melalui pendekatan ini pihak terkait
perlu menyempurnakan sistem dan aturan jual beli lahan serta
penyempurnaan pola penguasaan lahan (land tenure system) yang ada
guna mendukung upaya ke arah mempertahankan keberadaan lahan
pertanian.
3. Incentive and Charges. Pemberian subsidi kepada para petani yang
dapat meningkatkan kualitas lahan yang mereka miliki, serta penerapan
pajak yang menarik bagi yang mempertahankan keberadaan lahan
pertanian, merupakan bentuk pendekatan lain yang disarankan dalam
upaya pencegahan alih fungsi lahan pertanian. Selain itu, pengembangan
prasarana yang ada lebih diarahkan untuk mendukung pengembangan
kegiatan budidaya pertanian berikut usaha ikutannya.6
Mengingat selama ini penerapan perundang-undangan dan peraturan
pengendalian alih fungsi lahan kurang berjalan efektif serta berpijak pada
acuan pendekatan pengendalian sebagaimana dikemukakan di atas, maka
perlu diwujudkan suatu kebijakan alternatif. Kebijakan alternatif tersebut
diharapkan mampu memecahkan kebuntuan pengendalian alih fungsi lahan
sebelumnya. Adapun komponennya antara lain instrumen hukum dan
ekonomi, zonasi, dan inisiatif masyarakat.
Instrumen hukum meliputi penerapan perundang-undangan dan
peraturan yang mengatur mekanisme alih fungsi lahan. Sementara itu,
instrumen ekonomi mencakup insentif, disinsentif, dan kompensasi.
Kebijakan pemberian insentif diberikan kepada pihak-pihak yang
5 M. Daud Silalahi.2014. Hukum Lingkungan dalam system penegakan hokum lingkungan Indonesia.
Bandung : PT. Alumni. Hlm 116-119.
6 Muhammad Iqbal dan Sumaryanto. 2007. “Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu
Pada Partisipasi Masyarakat”. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 2, Juni : 167-182.
6
mempertahankan lahan dari alih fungsi. Pola pemberian insentif ini antara
lain dalam bentuk keringanan pajak bumi dan bangunan (PBB) serta
kemudahan sarana produksi pertanian. Sebaliknya, disinsentif diberikan
kepada
pihak-pihak
yang
melakukan
alih
fungsi
lahan
yang
implementasinya berlawanan dengan perundang-undangan dan peraturan
yang berlaku. Sementara itu, kompensasi ditujukan untuk pihak-pihak yang
dirugikan akibat alih fungsi lahan untuk kegiatan pembangunan, atau yang
mencegah terjadinya alih fungsi demi kelestarian lahan sebagai sumber
produksi pertanian (pangan). Dengan kata lain, penerapan instrumeninstrumen tersebut berkaitan dengan pemberian penghargaan dan sanksi
pelanggaran (reward and punishment).7
III. KESIMPULAN
Dampak alih fungsi lahan pertanian, Seperti : Berkurangnya lahan
pertanian, Menurunnya produksi pangan nasional, Mengancam keseimbangan
ekosistem, Sarana prasarana pertanian menjadi tidak terpakai, Banyak buruh
tani kehilangan pekerjaan, Harga pangan semakin mahal, Tingginya angka
urbanisasi.
Kebijakan Pemerintah dalam mengatur alih fungsi hutan ketentuan pidana
yang di atur dalam Pasal 50 dan sanksi pidananya dalam Pasal 78 UU No. 41 /
1999, merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan dalam rangka
mempertahankan fungsi hutan secara lestari.
Pengendalian alih fungsi lahan (wetland), yaitu melalui : (1) regulation; (2)
acquisition and management; dan (3) incentive and charge.
DAFTAR PUSTAKA
7 Muhammad Iqbal dan Sumaryanto. 2007. “Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu
Pada Partisipasi Masyarakat”. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 2, Juni : 167-182.
7
Akib, Muhammad. 2014. Hukum Lingkungan Perspektif Global dan Nasional.
Jakarta : PT Grafindo Persada.
Burdatun, Baiq. 2016. “Penegakan Hukum Terhadap Alih Fungsi Lahan
Pertanian Menjadi
Lahan Non-Pertanian Di Kota Mataram”. Jurnal IUS, Vol IV,
Nomor 3, Desember:456-469.
Kompas. 2017. Edisi Rabu, 30 Agustus. Nusantara. Hlm 24.
Iqbal, Muhammad dan Sumaryanto. 2007. “Strategi Pengendalian Alih Fungsi
Lahan Pertanian Bertumpu Pada Partisipasi Masyarakat”. Jurnal Analisis
Kebijakan Pertanian.
Volume 5 No. 2, Juni : 167-182.
Silalahi, M. Daud.2014. Hukum Lingkungan dalam system penegakan hokum
lingkungan Indonesia. Bandung : PT. Alumni. Hlm 116-119.
Suhadi. 2012. “Faktor Pengaruh dan Implikasi Rencana Detail Tata Ruang
Kecamatan Gunungpati Kota Semarang terhadap Alih Fungsi Lahan
Pertanian”. Jurnal Pandecta, Vol
7, Nomor 1, Januari:58-67.
8
9