Women and Beauty Penyeragaman Konsepsi D

Sebuah Risalah:
WOMEN AND BEAUTY:
PENYERAGAMAN KONSEPSI, DARI PATRIARKI HINGGA GLOBALISASI; SERTA
PELANGGENGANNYA MELALUI ȃBUDAYAȄ KONSUMERISME DAN
KAPITALIS POST FORDISME
Disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Ekonomi Politik Internasional

Dosen pengampu: Hizkia Yosie Polimpung, M.Si

Oleh:
Nadia Sarah Azani
0801511002
HI A 2011

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AL-AZHAR INDONESIA
2014

Bukan Sekadar Menjadi Cantik, Sebuah Pendahuluan
Agaknya sudah terlalu sering dibahas mengenai hal ini. Beberapa tulisan yang

bernada sama sudah bertebaran di berbagai media. Judulnya terkadang membuat siapapun
yang membaca tertarik, misalnya: Kiat-Kiat Menjadi Cantik

Rahasia Kecantikan Para

Tips-Tips Memunculkan Aura Kecantikan Anda , dan sebagainya. Meski

Idola

demikian, tulisan ini dibuat bukan dimaksudkan sebagai kiat-kiat serupa. Ada dua hal
yang membuat saya tergelitik untuk mengangkat masalah ini dalam tulisan saya: pertama,
berdasarkan pengalaman, saya melihat beberapa kawan begitu repotnya menjalankan
berbagai kiat tersebut. Karena kepengin cantik, makanya aku treatment, tanam benang,
sulam alis, dsb, . Kedua, kegiatan-kegiatan tersebut kemudian menjadi suatu keharusan.
Untuk terlihat cantik, harus melakukan anu, harus membeli itu, harus mengorbankan
sesuatu. Nyatanya, tak cukup sampai di situ. Bila kurang puas, ubah lagi, beli lagi, rombak
lagi. Dan terus menerus dilakukan sehingga beberapa lelucon kemudian dilekatkan kepada
mereka

boros , korban iklan, lebay .


Berdasarkan kedua hal itu kemudian tulisan ini lahir. Sekali lagi, perlu
digarisbawahi, tulisan ini bukan sedang membahas manfaat maupun efek samping dari
serangkaian kegiatan untuk mengubah penampilan seseorang menjadi lebih menarik.
Adapun tulisan ini sesungguhnya hendak melihat segala macam kegiatan ini dari sisi yang
berbeda. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai perjalanan panjang (meskipun akan
disinggung secara singkat saja) atau proses diterimanya konsep cantik yang cenderung
seragam dalam tatanan kehidupan sosial manusia hari ini. Proses ini tentu tidak lepas dari
peristiwa besar sejarah, yang bagi saya sebagai buah dari kolonialisme dan bahkan lebih
daripada itu. Tangan-tangan lain yang turut berjasa mematenkan kebutuhan manusia,
terutama kaum perempuan, untuk terus bergantung akan the idea of beauty juga tak jauh
dari mereka yang memiliki kuasa besar atas kendali pasar, yaitu para pemilik modal yang
juga produsen dari daftar barang-barang wajib untuk kaum perempuan. Sehingga, di
antara mereka terbentuk serupa lingkaran yang tak kunjung putus yang kemudian
memunculkan rasa saling bergantung satu sama lain. Karenanya, hasrat kaum perempuan
menjadi cantik bukan sebatas tercipta secara natural, namun juga sebagai konsekuensi atas
menjamurnya beragam produk dan jasa yang menjamin kaum perempuan untuk
bertransformasi satu tingkat menuju kecantikan yang sempurna.

1


The Idea of Beauty, Lahir Begitu Saja?
Every girl is expected to have Caucasian blue eyes, full Spanish lips, a classic button
nose, hairless Asian skin with a California tan, a Jamaican dance hall ass, long Swedish
legs, small Japanese feet, the abs of a lesbian gym owner, the hips of a nine-year-old boy,
the arms of Michelle Obama and doll tits. The person closest to actually achieving this
look is Kim Kardashian … everyone else is struggling 1

Kutipan di atas mungkin agak berlebihan. Namun, tanpa sadar kita membayangkan
figur tersebut menjadi nyata dan hidup di depan mata dan kemudian mengiyakan bahwa
sosok imajiner tersebut merupakan potret dengan kecantikan sempurna yang dikonstruksi
oleh pikiran. Lantas, dari mana kita mendapat gagasan bahwa sosok tersebut dikategorikan
sebagai konsep perempuan cantik dan menarik dipandang mata? Apakah murni terlahir
dari imajinasi belaka yang bahkan, belum tentu setiap perempuan pernah bertemu dengan
si gadis bermata biru, atau si gadis dengan kriteria-kriteria lain di atas.
Konsep kecantikan tersebut, pada nyatanya tidak datang dengan sendirinya. Ia lahir
dan berkembang sejalan dengan peristiwa besar sejarah di masa lalu. Dari segi historis,
kebutuhan akan kecantikan bagi kaum perempuan telah ada pada bangsa-bangsa
terdahulu. Helen Reynolds, dalam bukunya yang berjudul “ Fashionable History of Makeup
& ”ody Decoration


mengatakan bahwa alat kosmetika telah digunakan oleh kaum

perempuan di era Mesir Kuno pada 10.000 SM untuk menunjang dan menambah aura
kecantikan.2 Pun alat kosmetik telah banyak digunakan kaum perempuan di era Yunani
Kuno, Romawi Kuno, dan bangsa-bangsa terdahulu seperti di China, Persia, dsb.3 Hanya
saja, konsep kecantikan bagi masing-masing bangsa tersebut cenderung belum seragam,
dan hanya dapat diterima di masing-masing kalangan. Sehingga, jalan bagi kaum
perempuan untuk menjadi cantik masih terbatas dari pengetahuan tradisional kalangannya
sendiri. Istilahnya, perempuan cantik bagi bangsa Mesir Kuno tidak sama dengan perempuan
cantik bagi bangsa China.
The idea of beauty, pada dasarnya sukar dijelaskan. Hal itu yang menyebabkan
ketidakseragamannya konsep kecantikan yang dikenal oleh masyarakat di masa lalu. Meski
demikian, konsep kecantikan sejak semula ialah sebuah konstruksi sosial. Naomi Wolf

Fey T, Bossypants, London Little Stranger, Inc,
, dalam Nicole James, Society’s Influence on the Perception of
”eauty ,
, hlm. 1, diakses 2 Juli 2014 dikutip dari
http://www.essex.ac.uk/sociology/documents/research/publications/ug_journal/vol10/2013SC111_NicoleJames_FINA

L.pdf
2
Sejarah Kecantikan Penggunaan ”ahan ”erbahaya Untuk Kosmetik , “mazine.Co, diakses
Juli
http://www.amazine.co/17309/sejarah-kecantikan-penggunaan-bahan-berbahaya-untuk-kosmetik/
3 Sejarah Kecantikan “mazine Co, Ibid.

1

2

dalam bukunya The Beauty Myth, How Images of Beauty Are Used Against Women
menyatakan, konsep cantik pada diri perempuan, dari segi sosial merupakan hasil dari
sistem patriarki yang ada di masyarakat.4 Laki-laki, yang mendominasi hampir di setiap
peran, juga turut memiliki andil dalam menentukan konsep kecantikan atas perempuan.5
The beauty myth layaknya currency system seperti gold standard. Seperti halnya sistem
ekonomi, konsep ini ditentukan oleh politik, yang seutuhnya didominasi laki-laki dan
kemudian diamini oleh masyarakat.6
If the beauty myth is not based on evolution, sex, gender, aesthetics, or God, on what is
it based? It claims to be about intimacy and sex and life, a celebration of women. It is

actually composed of emotional distance, politics, finance, and sexual repression. The
beauty myth is not about women at all. It is about men’s institutions and institutional
power. 7

Seiring dengan berjalannya waktu, konsep kecantikan pada perempuan yang
awalnya dikonstruksi atas aturan yang ditetapkan oleh dominasi kaum laki-laki ini
semakin berkembang. Atas dasar peran institutional power maupun political power, konsep
kecantikan mulai diseragamkan, tidak hanya dalam satu wilayah dan kalangan sosial
tertentu saja, namun kelak juga disebarluaskan bahkan hingga ke seluruh dunia.
Pada mulanya, kecantikan hanya dapat dilekatkan pada kalangan sosial tertentu
saja. Di Eropa pada abad pertengahan sebelum Revolusi Industri, hanya kalangan kerajaan
dan bangsawan yang memiliki akses untuk memperindah penampilan (untuk memenuhi
kriteria kecantikan yang telah dikonsepkan secara sosial).8 Tetapi, perubahan besar terjadi
seiring dengan terjadinya peristiwa Revolusi Industri yang menyebabkan terjadinya
hijrah bagi masyarakat dengan strata sosial yang sebelumnya lebih rendah.9 Di masa itu,
masyarakat kelas menengah mulai berkembang dengan standar kehidupan dan skills yang
berangsur maju.10 Seiring dengan itu pula, kaum perempuan dari kelas menengah juga
berkembang, dan kemudian memicu berkembang pula konsep kecantikan ideal yang
tadinya hanya dapat diakses dan dinikmati oleh kalangan tertentu kini dapat dinikmati
oleh mereka.11 Berkembangnya industri juga ditandai dengan berkembangnya teknologi.

Pada 1840-an, pertama kalinya tubuh perempuan dijadikan konsumsi publik, dengan iklanNaomi Wolf, The Beauty Myth, How Images of Beauty Are Used Against Women, New York: HarperCollins, 2002, hlm. 9
Wolf, The Beauty Myth, Ibid.
6 Wolf, The Beauty Myth, Ibid. hlm. 12
7 Wolf, The Beauty Myth, Ibid. hlm. 13
8 Geoffrey Jones, Globalization and ”eauty “ Historical and Firm Perspective , Institute of European and “merican
Studies, Academia Sinica, Euramerica Vol. 41, No. 4 (December 2011): 887
9 Wolf, The Beauty Myth, hlm. 14
10 Wolf, The Beauty Myth, Ibid.
11 Wolf, The Beauty Myth, Ibid.

4

5

3

iklan cetak yang menampilkan how women should look dengan menayangkan gambargambar perempuan cantik .12 Karena penayangan iklan-iklan ikon kecantikan tersebut,
kaum perempuan kelas menengah pun terperangkap dalam stereotype akan sosok
perempuan cantik nan ideal.13
Tak hanya berhenti di Eropa saja. Atas peristiwa Revolusi Industri yang berjasa akan

kemajuan teknologi dan kemajuan pandangan kaum perempuan tentang konsep cantik
yang ideal, perlombaan dalam penciptaan dan pemasaran produk yang menunjang
kebutuhan khusus perempuan pun dimulai. Awal 1900-an, perusahaan-perusahaan
nasional yang ada di Barat (baik Amerika Serikat maupun Eropa) mulai merambah dan
beroperasi secara internasional. Tak ketinggalan beauty firms yang turut memasarkan
produk-produk kecantikan ke luar negeri.14 Di antaranya ialah industri kosmetik Amerika
seperti Elizabeth Arden, Max Factor dan Helena Rubinstein.15 Industri parfum milik Inggris
dan Perancis seperti Piver, Guerlain, dan Rimmel juga turut membuka gerai di luar negeri
untuk dipasarkan.16 Tak cukup hanya memasarkan, perambahan industri kecantikan ke
luar negeri juga dimaksudkan untuk mencari raw and new materials seperti bunga dan
tanaman lain untuk kebutuhan produksi parfum, dsb.17
Seiring dengan maraknya penjualan parfum dan sabun tak hanya dalam skala
domestik namun juga internasional, produk-produk lain pun semakin dikembangkan. Di
antaranya berupa beauty skin care, seperti Pond’s dan Chesebrough milik perusahaan Amerika
yang pesat penjualannya di Melbourne, Paris, dan London di awal 1914.18 Produk-produk
hair dyes, seperti Eugène Schueller dan L’Oreal yang muncul pada 1907 pun tinggi angka
penjualannya di negara-negara tetangga.19 Dengan munculnya brands kecantikan ini,
muncul kemudian universality of beauty yang digemborkan oleh para perusahaan produk
kecantikan lewat iklan-iklan yang mereka sebarkan ke dalam dan luar negeri.20 Seperti
salah satunya ialah slogan dalam produk sabun wangi yang diproduksi oleh Muehlens,

brand asal Jerman yaitu

upheld by beautiful women everywhere

yang dipasarkan secara

internasional termasuk Amerika Serikat.21 Iklan-iklan semacam itu tentunya yang menjadi
Wolf, The Beauty Myth, hlm. 15
Wolf, The Beauty Myth, Ibid.
14 Jones, Globalization and ”eauty
15 Jones, Globalization and ”eauty
16 Jones, Globalization and ”eauty
17 Jones, Globalization and ”eauty
18 Jones, Globalization and ”eauty
19 Jones, Globalization and ”eauty
20 Jones, Globalization and ”eauty
21 Jones, Globalization and ”eauty

12


13

, hlm.
, hlm.
, Ibid.
, Ibid.
, Ibid
, Ibid
, Ibid
, hlm.

4

kekuatan bagi para perusahaan produk kecantikan. Dengan membawa embel-embel
kecantikan, atau menjamin bahwa si pemakai akan terlihat cantik, tentu akan mendongkrak
popularitas brands dan tingginya angka konsumen yang notabene didominasi kaum
perempuan. Dengan kata lain, kaum perempuan (secara internasional) telah terpengaruh
oleh brands tersebut dan semakin muncul rasa kepercayaan bahwa perempuan cantik di
seluruh dunia pasti memakai brand ini


atau

kalau ingin terlihat cantik, harus

menggunakan brand ini .
Pada

hakikatnya,

sebelum

menjamurnya

produk-produk

kecantikan

yang

dipasarkan secara internasional, tidak ada standar global bagi definisi dan makna
kecantikan.22 Seiring dengan era kolonialisasi bangsa Barat ke wilayah-wilayah di timur,
dan kemajuan industri yang membuat mereka seolah selangkah lebih maju dari masyarakat
di belahan dunia lain, definisi dan makna kecantikan juga menjadi alat dan buah dari
kolonialisme.
Beauty also came to mean white. Although before the nineteenth century, Western
people, with their long-established hostility to bathing, had stunk, and were probably the
dirtiest societies on earth, by the end of that century Western soap brands confidently
associated cleanliness with whiteness. Crude racial stereotypes were used to advertise
soap and other toiletries, which were presented as components of the Western
contribution to civilizing colonized peoples.23 The British and U.S. mass marketers of
soap regularly claimed that using their soap would whiten the skin of people of color,
thereby civilizing them.24

Dari definisi di atas yang kentara sekali pemaksaannya, dapat dilihat bahwa terjadi
dikotomi antara masyarakat kulit putih dan non-putih (kulit berwarna). Masyarakat kulit
putih kemudian dilabeli beautiful dan developed, oleh karena kebanggaan atas penemuan
mereka akan sabun yang membuat penampilan masyarakat kulit putih terlihat lebih bersih.
Lain halnya dengan kaum negro di Eropa dan Amerika yang banyak dari mereka menetap
di sana sejak zaman perbudakan, atau bangsa-bangsa dengan kulit berwarna di belahan
dunia lain, mereka dianggap tidak cantik, maju, dan bersih.
Standar tentang kecantikan yang dibuat masyarakat kulit putih (Barat) ini semakin
mengglobal. Salah satunya di Jepang, yang membuka diri kepada Barat pada era Meiji, juga
turut terkena dampaknya. Pemerintah Meiji pada saat itu mengubah budaya tooth
Jones, Globalization and ”eauty , Ibid.
Burke, T., Lifebuoy Men, Lux Women. Durham, NC Duke University Press,
dalam Jones, Globalization and
”eauty , Ibid.
24 McClintock, A. Imperial Leather: Race, Gender And Sexuality In The Colonial Context. New York: Routledge, 1995
dalam Jones, Globalization and ”eauty , Ibid
22

23

5

blackening, eyebrow shaving, dll dan mengikuti budaya Barat salah satunya penggunaan
sabun dan parfum, agar dianggap lebih modern.25 Kemudian, di era Perang Dunia I,
industri film Amerika yaitu Hollywood mendominasi industri perfilman dunia, yang
berimbas kepada penyebaran new lifestyle, dunia selebriti yang glamor, dan semakin
mengglobalkan persepsi kecantikan terutama female beauty.26 Produk-produk kecantikan
dengan brand tertentu semakin ternama lewat endorsement dengan para selebriti Hollywood.27
Pasca Perang Dunia II, televisi semakin semarak dengan dihadirkannya beauty pageants
seperti Miss World, program asal Inggris yang diluncurkan pada 1951, dan menyusul Miss
Universe, program asal Amerika Serikat pada 1952, yang ditayangkan di banyak negara.28
Program-program televisi tersebut lantas semakin mengukuhkan definisi cantik yang ideal,
apalagi, dengan slogan Miss Universe yaitu Miss Universe standard of beauty .29
Tanpa terasa, sebenarnya telah sejak dini konsep kecantikan ideal yang dikonstruksi
oleh Barat itu ditanamkan kepada masyarakat dunia. Contoh yang paling sederhana ialah
film-film animasi karya Walt Disney yang diperkenalkan untuk dikonsumsi oleh anak-anak
perempuan. Kisah-kisah yang menceritakan tentang para putri yang cantik jelita dengan
kastil-kastil mewah dan akhir kisah indah tentu sangat memengaruhi imajinasi anak
sehingga berdampak pada psikologis mereka untuk dapat tampil sebagai putri yang cantik
pula. Meskipun, cerita-cerita tersebut merupakan bentuk rekonstruksi oleh Walt Disney dari
cerita-cerita asli yang dianggap tidak baik untuk dikonsumsi anak-anak.30 Selain itu,
mainan anak-anak Barbie yang muncul pada 1960-an juga tampil sebagai sosok cantik nan
ideal dengan tubuh tinggi dan langsing, rambut pirang, berkulit putih, bermata biru yang
banyak digandrungi dan digemari oleh anak-anak perempuan. Tak jarang mereka kerap
didandani ala Barbie dan mengamini bahwa menjadi seperti sosok demikianlah yang
diinginkan kelak oleh anak perempuan. Meskipun, boneka Barbie kemudian hadir dengan
versi kulit gelap, namun tetap dalam konstruksi yang indah: tubuh tinggi, ramping, mata
besar, tidak terlalu hitam, rambut yang menawan. Dengan begitu, secara tidak langsung
Barat telah sukses memaksakan the idea of beauty kepada masyarakat global, bahkan sejak di
usia dini. Dari sini kemudian tidak heran jika semakin beranjak dewasa, kaum perempuan
sangat mengagungkan the idea of beauty tersebut. Dan tidak sungkan untuk turut

Jones, Globalization and ”eauty , hlm.
Jones, Globalization and ”eauty , Ibid.
27 Jones, Globalization and ”eauty , Ibid.
28 Jones, Globalization and ”eauty , hlm.
29 Jones, Globalization and ”eauty , Ibid.
30 Clara Ng, novelis Indonesia, pernah menuturkan dalam akun twitter-nya tentang kisah-kisah dongeng asli yang
diadaptasi oleh Walt Disney merupakan kisah-kisah mengerikan dan membahayakan psikologis anak.
25
26

6

melestarikan konsep kecantikan dengan cara terus menerus berupaya untuk mencapai
konsep tersebut untuk kemudian dapat dilekatkan kepada dirinya.

Globalisasi dan Konsumerisme: Melanggengkan The Idea of Beauty?
Dari uraian panjang lebar tentang perjalanan konsep kecantikan yang diseragamkan
tadi, dapat kita tarik pemahaman bahwa sangat besar peran globalisasi di sini. Mengapa
globalisasi? Globalisasi, menurut Etienne Perot, dipahami sebagai hasil penggabungan atau
akumulasi antara internasionalisasi dan homogenisasi.31 Internasionalisasi, dimaksudkan
sebagai proses penyebaran-penyebaran pemahaman ke seluruh dunia dan, homogenisasi,
diartikan sebagai proses penyamaan berbagai kebudayaan di antara bangsa-bangsa.32
Globalisasi sangat erat hubungannya dengan sistem kapitalisme global dan sistem ekonomi
pasar bebas33 yang memengaruhi hampir segala aspek kehidupan manusia saat ini.
Menurut Kushendrawati, di ranah ekonomi, globalisasi berjasa memunculkan masyarakat
konsumen yang pola konsumsinya sangat bergantung pada pola-pola yang diperkenalkan
oleh media advertising.34 Perkembangan kapitalisme global membutuhkan adanya
masyarakat untuk mengonsumsi semua produk-produk yang dihasilkan dan dipasarkan,
sehingga, masyarakat konsumen tidak lain adalah kreasi dari kapitalisme global.35
Hal ini menjadi sangat jelas, bahwa, penyeragaman konsep kecantikan yang telah
dibahas di atas merupakan praktek homogenisme kebudayaan yang digemborkan melalui
payung globalisasi. Mengapa harus konsep kecantikan yang demikian yang disebarkan?
Sederhana saja. Barat, baik Amerika Serikat maupun Eropa yang paling getol menjadi aktor
sistem kapitalisme global. Kembali kepada sejarah perjalanan beauty industry, di mana
untuk melancarkan pemasaran produk-produk kecantikan ke berbagai negara di dunia,
mereka tidak segan menciptakan iklan-iklan tentang standar kecantikan yang dapat
menyihir kaum perempuan untuk terus dan terus membeli dan mengonsumsi produkproduk mereka. Karena itu, adalah benar jika mereka sengaja menciptakan masyarakat
konsumen (dalam kasus ini kebanyakan kaum perempuan) agar produk-produk mereka
dapat terjual laku di pasaran. Dengan iming-iming iklan produk sebagai cara instan untuk
Etienne Perot, The General Dimension of Globalization and Its Critics The “mbiguitas of Globalization dalam
Concilium 2001/5. London: SCM Press, 2001, dalam Selu Margaretha Kushendrawati, Masyarakat Konsumen Sebagai
Ciptaan Kapitalisme Global Fenomena ”udaya Dalam Realitas Sosial , Fakultas Ilmu ”udaya, Universitas Indonesia,
Makara, Sosial Humaniora, Vol. 10, No. 2, Desember 2006, hlm. 50
32 Kushendrawati, Masyarakat Konsumen , Ibid.
33 Kushendrawati, Masyarakat Konsumen , Ibid.
34 Kushendrawati, Masyarakat Konsumen , Ibid.
35 Kushendrawati, Masyarakat Konsumen , Ibid., hlm. 53
31

7

terlihat cantik menurut standar Barat. Lalu, apakah konsep kecantikan dapat dikatakan
sebagai ciptaan pasar? Jawabannya iya, dan para produsen serta brands tentunya. Seperti
yang dikatakan oleh Haseeb A Darbu, Multinationals are marketers of a product, then they
become marketers of an idea, then the marketers of a value system and finally a culture.

36

Masyarakat konsumen, ialah masyarakat yang mencurahkan banyak waktu, energi,
sumber daya, dan pikiran untuk mengkonsumsi

serta memandang bahwa konsumsi

adalah baik, dan lebih banyak konsumsi bahkan lebih baik.37 Berbicara mengenai
masyarakat konsumen tentu tak lepas dari konsumerisme. Konsumerisme adalah suatu
keyakinan bahwa kesejahteraan dan kebahagiaan pribadi tergantung pada tingkat
konsumsi pribadi, terutama pada pembelian barang.38 Konsumerisme bukan suatu
fenomena baru, melainkan warisan dari Revolusi Industri dan transformasi ekonomi Eropa
Barat dan Amerika Utara di pertengahan abad ke-18.39 John Cairns, menyebutkan bahwa
konsumerisme sebagai bagian dari 21st century new lifestyle, yang mengindikasikan tingkat
konsumsi masyarakat yang materialistis.40 Hal ini tak lepas dari “mericans’ materialistic
lifestyle, sebagai masyarakat dari negara dengan tingkat perekonomian yang maju, dan pola
tersebut diserap oleh negara-negara lain sebagai indikasi dari pertumbuhan ekonomi yang
meningkat.41
Kaum perempuan hari ini telah sangat di- manja -kan dengan tayangan-tayangan
komersial baik di televisi, majalah, internet, yang seolah saling tidak mau kalah untuk
merebut hati mereka. Tayangan-tayangan tersebut, yang juga disokong oleh orang-orang
ternama sebagai model maupun brand ambassador dari produk-produk kecantikan, seolah
menjadi daya tarik kaum perempuan agar dapat tampil menarik dan memukau. Orangorang ternama tersebut umunya para selebriti Hollywood, yang kini tidak hanya berasal dari
kalangan kulit putih saja, seperti Julia Roberts (LancÔme), Nicole Kidman (Chanel), Emma

Toying With Capitalism , Haseeb “ Darbu,
Februari
. Diakses
Juli
. http //www.businessstandard.com/article/opinion/toying-with-capitalism-104021901009_1.html
37
NN,
Consumerism
dalam Contemporer American Society, Agustus 2009. Diakses 4 Juli 2014,
http://www.ssc.wisc.edu/~wright/ContemporaryAmericanSociety/Chapter%207%20--%20consumerism%20-%20Norton%20August.pdf
38 Consumerism , Ibid.
39
“rea of Inquiry Consumerism , Draft Global Issues Pilot Team “ugust
, hlm. , diakses
Juli
http://www.edu.gov.mb.ca/k12/cur/socstud/global_issues/consumerism.pdf
40 John Cairns, Jr. Consumerism and the
st Century Lifestyle , Virginia Polytechnic Institute and State University,
Sci. & Soc. 4(1) 25-32, Januari 2006.
41 Cairns, Consumerism and the 21st Century Lifestyle , Ibid.
36

8

Stone (Revlon)42 dan sebagainya, namun beberapa selebriti kulit gelap seperti Rihanna, yang
menjadi brand ambassador produk kosmetika Mac43 juga menjadi daya tarik tersendiri.
Pesona Rihanna sebagai superstar pun membuat kaum perempuan dari kalangan AfroAmerika tertarik menjadi konsumen sang produk. Seperti yang dituturkan oleh Najla
Kaddour, seorang blogger dan celebrity make-up artist dari Uni Emirat Arab,
The women here are very fashionable and want to look beautiful. Whenever a celebrity
collaborates with a beauty brand many women feel the need to buy the products because
they look up to them. By buying and using the same products as celebrities, they can
recreate the look, which makes them feel and look beautiful. For example, Rihanna’s
collaboration with Mac means every woman has the opportunity to wear the exact same
lipsticks as Rihanna. “nd if she’s wearing it, it must be good, right? 44 Celebrities have
a huge fan base and millions of followers on social media. Usually whenever a big artist
collaborates with a big brand it sells out immediately. If celebrities support a brand, that
usually means they believe in the product, which leads to the customer believing in it as
well. 45

Kenyataannya, tak hanya sebatas digaungkan dari Barat saja. Beragam produkproduk kecantikan yang telah mendunia, memiliki brand ambassador pula dari belahan
dunia lain. L’Oreal, misalnya, brand ambassador-nya dari Asia antara lain Aishwarya Rai46
dan Dian Sastrowardoyo, yang keduanya merupakan selebriti ternama di India dan
Indonesia. Dan pola ini pun diikuti oleh hampir setiap produk kecantikan yang telah
dikenal secara internasional, yang seolah hendak menyampaikan kepada kaum perempuan
di seluruh dunia, bahwa siapapun dan dari belahan dunia manapun ia berasal, dapat
terlihat cantik dan menarik dengan bantuan produk tersebut. Agaknya hal ini menjadi satu
pertanyaan yang cukup menggelitik, mengapa kaum perempuan sangat mendambakan
untuk terlihat cantik dan menarik? Jawaban dari pertanyaan ini, yang berangkat dari teori
biopower of beauty, bahwa secara sosial, kecantikan merupakan sebuah janji bagi seorang
perempuan untuk tidak merasa termarjinalkan oleh lingkungan.47 Di sini, lingkungan juga
berperan dalam pelanggengan definisi cantik, sehingga akan membentuk dikotomi antara
cantik dan tidak cantik.48 Seorang perempuan yang menurut lingkungan tidak cantik, akan
How Hollywood Star Power Creates ”eauty Super ”rands , Liz Jarvis,
Maret
. Diakses
Juli
http://fridaymagazine.ae/beauty/grooming/how-hollywood-star-power-creates-beauty-super-brands1.1298889#sthash.Vjb8xn5b.dpuf
43 How Hollywood Star Power Creates ”eauty Super ”rands , Liz Jarvis, Ibid.
44 How Hollywood Star Power Creates ”eauty Super ”rands , Liz Jarvis, Ibid.
45 How Hollywood Star Power Creates ”eauty Super ”rands , Liz Jarvis, Ibid.
46
Hollywood ”rand “mbassadors Who “re “sian , Nida Zaidi,
“pril
. Diakses
Juli
.
http://www.richincomeways.com/lifestyle/10-hollywood-brand-ambassadors-asian/
47 Mimi Thi Nguyen,
The Biopower of Beauty: Humanitarian Imperialisms and Global Feminisms in an Age of
Terror , The University of Chicago Press, Chicago Journals Vol. 36 No. 2 (Winter 2011): 362
48 Nguyen, The ”iopower of ”eauty , Ibid.

42

9

menjadi outcast dan terkucilkan.49 Hal ini yang membuat para wanita menjadi haus akan
kecantikan, bahwa kecantikan sebagai kebutuhan yang mutlak untuk mendapatkan masa
depan yang menjanjikan.50
Hasrat kaum perempuan untuk menjadi cantik pun semakin menjadi. Di era 19801990-an, operasi pelastik sedang booming di kalangan perempuan untuk tetap terlihat
menarik dan muda.51 Meski baru di awal tahun 2000-an mulai marak pemberitaan
mengenai bahaya akan operasi pelastik.52 Praktek-praktek lain yang berhubungan dengan
kecantikan pun semakin populer, contohnya, suntik botox, silicone breast implant, beragam
operasi di wajah dan bagian tubuh lainnya, tanam benang, sulam alis, dan sebagainya.
Kecantikan, bahkan kadang turut membahayakan. Konsep lain bahwa perempuan cantik
memiliki ukuran tubuh yang ramping kemudian membawa kepada

fenomena eating

disorder yang juga marak terjadi beberapa dekade terakhir. Para pemain yang meng-ajegkan konsep dan ritual-ritual ini tak jarang berasal dari orang-orang ternama pula. Di
berbagai tayangan komersial yang hadir di majalah maupun televisi dan internet, orangorang ternama yang umumnya ialah para selebriti terkenal ramai-ramai memberi
pernyataan telah menghamburkan tak sedikit materi untuk mengubah bentuk wajah dan
tubuh demi terlihat cantik. Pernyataan tersebut kemudian diikuti oleh aksi serupa yang
turut dilakukan oleh banyak kaum perempuan di banyak negara, bahwa ritual-ritual
menyakitkan tersebut menjadi termaafkan untuk sebuah hasil menjadi cantik dan menarik.
Keadaan itu kemudian membuat kaum perempuan sebagai masyarakat konsumen
menjelma sebagai hedonistic consumerism, di mana aktivitas konsumsi lebih diutamakan
untuk memuaskan keinginan dan nafsu, dibandingkan kebutuhan.53 Seperti di awal yang
telah saya tuturkan, beberapa rekan saya cenderung mengikuti pola yang sama. Tak jarang
mereka mengubah hasil dari beragam praktek di atas lantaran tidak puas dan bosan.
Akibatnya, mereka cenderung boros dan menghamburkan banyak rupiah demi menjadi
cantik semata. Sayangnya, tidak semua kaum perempuan dapat dengan mudah melakukan
hal ini. Banyak kaum perempuan mengalami beragam kendala, salah satunya adalah
materi, sehingga tidak dapat mengakses dengan sempurna berbagai ritual tadi.
Alternatifnya, tak segan mereka tetap mengkonsumsi produk-produk kecantikan dengan
label ternama tetapi dengan kualitas kedua, alias bukan orisinil. Tak jarang pula produkNguyen, The Biopower of Beauty , Ibid.
Nguyen, The ”iopower of ”eauty , Ibid.
51 Wolf, The Beauty Myth, hlm. 21
52 Wolf, The Beauty Myth, Ibid.
53 Andrea Migone, Hedonistic Consumerism: From Want-Satisfaction to Whim-Satisfaction, Political Science, Centre for
Global Political Economy, Simon Fraser University, Canada: January 2004, hlm. 3

49

50

10

produk tersebut menggunakan bahan-bahan yang berbahaya seperti merkuri atau bahan
lainnya. Memang, banyak pula kaum perempuan yang lebih memilih menggunakan
produk-produk kecantikan yang cenderung murah karena brand yang kurang populer.
Namun, tuntutan dari relasi sosial di kalangan perempuan terkadang membuat beberapa
dari mereka memilih produk-produk kualitas kedua tersebut, mengapa? Tentu agar tidak
tertinggal oleh arus yang ada, di mana seseorang akan merasa

wah

hanya dengan

diselimuti oleh brand tertentu.
Mudah saja sebenarnya untuk mendapatkan produk-produk kecantikan kualitas
kedua namun tampak sangat orisinil. Hari ini, produk-produk tersebut dijual dengan
bebas. Nampaknya kaum perempuan pun patut berterima kasih kepada kapitalisme postfordim yang memudahkan akses bagi kaum perempuan masa kini untuk menjadi hedonistic
consumerism. Kapitalisme post-fordism, sebagai konsekuensi dari inovasi teknologi turut
memudahkan aktivitas jual beli dan sarana pemasaran. Dapat dikatakan bahwa kapitalisme
post-fordism

dikreasikan

sebagai

consumer-friendly.54

Di

Indonesia,

produk-produk

kecantikan ternama seperti L’Oreal bekerja sama dengan PT. Yasulor Indonesia yang
kemudian membentuk PT. L’Oreal Indonesia, memudahkan proses produksi dan
pemasaran ke wilayah Asia Tenggara.55 Hal ini sebagai bentuk implementasi dari kekhasan
kapitalisme post-fordism di mana kapitalisme meluas dan bersifat desentralisasi, global
network, tetapi tetap didominasi di bawah komando sebuah korporasi besar.56 Terkait
dengan kapitalisme post-fordism yang dibentuk sedemikian rupa untuk kenyamanan
konsumen (consumer-friendly), hari ini, disajikan melalui kehadiran social media yang juga
memudahkan pemasaran produk-produk kecantikan. Instagram, salah satunya, menjamur
akun-akun online shop yang menjual beragam produk kecantikan ternama, baik produk asli
maupun kualitas kedua, dengan harga yang tak jarang pula berbeda-beda. Sehingga kaum
perempuan dapat dengan mudah memilih produk-produk yang dapat menunjang
penampilan mereka agar lebih cantik dan menarik, namun juga sesuai dengan kapabilitas
kantong mereka. Dengan demikian, sekiranya dapat tercapai hasrat kaum perempuan dan
kebutuhan akan tampil cantik, mewah maupun tidak, hasrat yang tercapai itu dibarengi
dengan batin yang puas dan bahagia.

Conrad Lodziak, The Myth of Consumerism, London: Pluto Press, 2002, hlm. 20
Sejarah Singkat Perusahaan Maybelline , NN, dikases Juli
, http //e-journal.uajy.ac.id/1274/3/2KOM03607.pdf
56 David Gartman, Postmodernism Or, The Cultural Logic Of Post-Fordism? , University of South “labama, The
Sociological Quarterly, 1998, Volume 39, Number 1, hlm. 125
54

55

11

Kesimpulan dan Penutup
Melihat fenomena yang marak terjadi di kalangan kaum perempuan, yaitu
berlomba-lomba untuk tampil cantik dan menarik dengan tak segan mengeluarkan kocek
yang berlebihan, patut untuk dipahami dari mana aktivitas-aktivitas tersebut berasal. Dari
yang telah dipaparkan di atas, bahwa konsep kecantikan sendiri mulanya berasal dari
konstruksi laki-laki, sebagai buah dari sistem patriarki yang ada dalam masyarakat sosial.
Konsep yang awalnya tidak sama di satu wilayah dengan wilayah lain itu kemudian
diseragamkan atas jasa industri-industri kecantikan dan proses globalisasi sebagai bagian
dari kapitalisme dunia lewat beragam tayangan komersial yang ternyata mampu menyihir
kaum perempuan untuk dapat tampil cantik seperti para bintang. Kaum perempuan pun
menjelma menjadi masyarakat konsumen yang hedonistic, yang aktivitas konsumsinya lebih
atas pemenuhan nafsu dibanding kebutuhan. Oleh karena kapitalisme post-fordism yang
menawarkan kemudahan dalam akses bagi kaum perempuan sebagai konsumen, konsep
kecantikan semakin diagungkan. Siapapun dapat dengan mudah mengakses konsep
tersebut, tak peduli bahaya ataupun tidak, asli atau palsu, mahal atau murah, asal
hasratnya untuk menjadi cantik dan agar tidak termarjinalkan secara sosial terpenuhi.
Tulisan ini, seperti yang telah dikemukakan di awal, lahir dari keheranan saya akan
pentingnya berdandan demi menjadi cantik dan menarik. Meski demikian, bukan berarti
saya pribadi mengkritik dan menyalahkan teman-teman perempuan untuk melakukan hal
serupa. Saya pribadi, sebagai perempuan, kadang pun tergelitik untuk mencoba-coba.
Namun, akibat dari beragam efek samping yang menimpa fisik saya, kemudian membuat
saya berpikir, benarkah semua aktivitas ini merupakan kebutuhan saya sendiri? Dan lewat
tulisan ini, saya tengah menghadirkan bahwa apapun, demikian juga konsep kecantikan,
dapat dengan sengaja dibuat oleh tangan-tangan tertentu. Dalam hal ini, para kapitalis
tentunya. Meski begitu, saya tidak melarang siapapun untuk melakukan dan
mengkonsumsi apapun untuk menjadi cantik. Setidaknya, lewat tulisan ini, saya ingin
berkontribusi untuk menyuguhkan sesuatu yang berbeda, bahwa kita hari ini, barangkali
telah hidup di bawah dikte tangan-tangan besar yang berkuasa, meski lewat cara yang
tidak kita sadari.

12

Referensi
Literatur, Jurnal, dan Buku
Cairns, John, Jr.

Consumerism and the

st Century Lifestyle , Virginia Polytechnic

Institute and State University, Sci. & Soc. 4(1) 25-32, Januari 2006.
Gartman, David, Postmodernism Or, The Cultural Logic Of Post-Fordism? , University of
South Alabama, The Sociological Quarterly, 1998, Volume 39, Number 1
Jones, Geoffrey, Globalization and ”eauty “ Historical and Firm Perspective , Institute of
European and American Studies, Academia Sinica, Euramerica Vol. 41, No. 4
(December 2011)
Kushendrawati, Selu Margaretha,

Masyarakat Konsumen Sebagai Ciptaan Kapitalisme

Global Fenomena ”udaya Dalam Realitas Sosial , Fakultas Ilmu ”udaya, Universitas
Indonesia, Makara, Sosial Humaniora, Vol. 10, No. 2, Desember 2006
Lodziak, Conrad, The Myth of Consumerism, London: Pluto Press, 2002
Migone, Andrea, Hedonistic Consumerism: From Want-Satisfaction to Whim-Satisfaction,
Political Science, Centre for Global Political Economy, Simon Fraser University,
Canada: January 2004
Nguyen, Mimi Thi,

The ”iopower of ”eauty Humanitarian Imperialisms and Global

Feminisms in an “ge of Terror , The University of Chicago Press, Chicago Journals
Vol. 36 No. 2 (Winter 2011)
Wolf, Naomi, The Beauty Myth, How Images of Beauty Are Used Against Women, New York:
HarperCollins, 2002

Database Online
“mazine.Co,

Sejarah Kecantikan Penggunaan ”ahan ”erbahaya Untuk Kosmetik ,

diakses 4 Juli 2014 http://www.amazine.co/17309/sejarah-kecantikan-penggunaanbahan-berbahaya-untuk-kosmetik/
Darbu, Haseeb “,

Toying With Capitalism ,

Februari

. Diakses

Juli

.

http://www.business-standard.com/article/opinion/toying-with-capitalism104021901009_1.html
13

Draft Global Issues Pilot Team “rea of Inquiry Consumerism , “ugust
diakses

4

, hlm. ,

Juli

2014

http://www.edu.gov.mb.ca/k12/cur/socstud/global_issues/consumerism.pdf
James, Nicole, Society’s Influence on the Perception of ”eauty ,
Juli

2014

, hlm. , diakses

dikutip

dari

http://www.essex.ac.uk/sociology/documents/research/publications/ug_journal/vol10/
2013SC111_NicoleJames_FINAL.pdf
Jarvis, Liz, How Hollywood Star Power Creates ”eauty Super ”rands ,

Maret

.

Diakses 5 Juli 2014 http://fridaymagazine.ae/beauty/grooming/how-hollywood-starpower-creates-beauty-super-brands-1.1298889#sthash.Vjb8xn5b.dpuf
NN, Consumerism dalam Contemporer “merican Society, “gustus

. Diakses

Juli

2014,
http://www.ssc.wisc.edu/~wright/ContemporaryAmericanSociety/Chapter%207%20-%20consumerism%20--%20Norton%20August.pdf
NN,

Sejarah

Singkat

Perusahaan

Maybelline ,

dikases

Juli

,

http //e-

“pril

. Diakses

journal.uajy.ac.id/1274/3/2KOM03607.pdf
Zaidi, Nida,
Juli

Hollywood ”rand “mbassadors Who “re “sian ,
2014.

http://www.richincomeways.com/lifestyle/10-hollywood-brand-

ambassadors-asian/

14

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

ANTARA IDEALISME DAN KENYATAAN: KEBIJAKAN PENDIDIKAN TIONGHOA PERANAKAN DI SURABAYA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG TAHUN 1942-1945 Between Idealism and Reality: Education Policy of Chinese in Surabaya in the Japanese Era at 1942-1945)

1 29 9

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Improving the VIII-B Students' listening comprehension ability through note taking and partial dictation techniques at SMPN 3 Jember in the 2006/2007 Academic Year -

0 63 87

The Correlation between students vocabulary master and reading comprehension

16 145 49

The correlation intelligence quatient (IQ) and studenst achievement in learning english : a correlational study on tenth grade of man 19 jakarta

0 57 61

An analysis of moral values through the rewards and punishments on the script of The chronicles of Narnia : The Lion, the witch, and the wardrobe

1 59 47

Improping student's reading comprehension of descriptive text through textual teaching and learning (CTL)

8 140 133

The correlation between listening skill and pronunciation accuracy : a case study in the firt year of smk vocation higt school pupita bangsa ciputat school year 2005-2006

9 128 37

Transmission of Greek and Arabic Veteri

0 1 22