PROBLEMA TANAH WAKAF MASJID PERUMAHAN PE

PROBLEMA TANAH WAKAF MASJID PERUMAHAN-PERUMAHAN
DI KELURAHAN TEGAL BESAR KECAMATAN KALIWATES
JEMBER

A. Latar Belakang Masalah
Amal mulya mewakafkan harta benda untuk kepentingan sosial telah berkembang sejak
zaman sahabat Rasulullah. Sebuah tindakan pelepasan hak milik untuk kepentingan umum
tersebut dilakukan oleh sahabat Nabi, sekaligus sebagai percontohan yang layak ditiru oleh
umat Islam.
Sahabat Umar bin Khattab menyerahkan hartanya yang berbentuk tanah yang sangat luas
yang dikenal dengan sebutan “ Tanah Tamagh” di daerah Bairuha yang terletak dibagian
Khaibar. Tanah tersebut sangat produktif untuk tanaman kurma dan hasilnya untuk
kepentingan social umat Islam di zaman itu, termasuk untuk membangun sebuah masjid.
Dampak positif amal sosial wakaf yang dilakukan oleh sahabat Umar bin Khattab
tersebut, telah memberikan contoh dan dorongan bagi sahabat Nabi yang lain. Dizaman itu
tercatat sekitar 80 orang sahabat yang rela melepas hakmiliknya dan diserahkan kepada nadzir
dalam bentuk wakaf yang bersifat permanen. Antara lain sahabat Ustman bin Affan
mewakafkan bangunan rumahnya di kota Madinah, sahabat Khalid bin Walid yang
mewakafkan baju perisai perang untuk kepentingan sosial. Selain itu ada wakaf yang pernah
dilakukan kolektif oleh Bani Hajjar berbentuk sebuah bangunan masjid dan kuda tunggangan
untuk perang.

Jenis barang yang diwakafkan para sahabat Rasul berkembang dan bervariasi sesuai dengan
tingkat kemempuan ekonominya. Ada yang berbentuk hambal untuk Masjid dan lampu
penerangan untuk Masjid.
Sejak itulah amal sosial mewakafkan harta benda untuk kepentingan pengembangan
syariat Islam terus dibudayakan sebagai bagian tradisi Islam yang positif dan dilindungi
sebagai aturan hukum yang bersifat nasional.
Dalam al.quran masalah wakaf secara umum bisa dipersepsikan dalam surat al. hajj ayat 77,
Al. Baqarah ayat 267 dan surat Ali Imran 92. Sedangkan hadist menjelaskan dalam 45 unit

1

hadits yang terbagi dalam 6 tema wakaf dan diperkuat oleh praktek amaliyah wakaf oleh
kalangan sahabat Nabi.1[1]
Sejak Islam datang ke Indonesia, perwakafan diatur menurut hukum Islam. Pada tahun
1905

ada Edaran Pemerintah Kolonial Belanda berupa Beijblad, yang disusul dengan

beijblad-beijblad tahun 193, 1934 dan 1935 yang menentukan agar perwakafan tanah harus
memberitahukan kepada pemerintah agar wakaf tidak terkena rencana perubahan yang akan

dibuat pada masa sesudahnya. Dengan pemberitahuan tersebut pemerintah dapat menunjuk
tanah yang diwakafkan supaya tidak terkena gusuran atau kepentingan pemerintah lainya
sehingga wakaf dapat berfungsi untuk selama-lamanya 2[2]. Peraturan yang dikeluarkan
pemerintah Belanda tersebut tidak menggubah (memperbaiki) ketentuan perwakafan dalam
kitab-kitab fikih, sehingga setelah meninggalnya wakif muncul beberapa pengaruh yang dapat
mengubah status wakaf. 3[3]
Kata wakaf (al-waqf) secara harfiah adalah sinonim dari kata al-habsu yang berarti
menahan, menghentikan atau berdiam di tempat. Menurut istilah, wakaf adalah menahan
pokok (modal) dan menjalankan (memanfaatkan) hasil, yakni menahan harta dan mentasharruf-kan manfaatnya untuk jalan Allah.4[4] Sedangkan dalam KHI mendifinisikan wakaf
sebagai perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya
guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam hal
ini ditegaskan dalam Pasal 215 ayat 1 KHI. Dalam kaitan dengan wakaf atas tanah pegertian
wakaf tersebut diatas mengandung makna bahwa hak atas tanah tersebut menjadi bersifat
abadi semata-mata untuk kepentingan Agama atau dengan kata lain hak atas tanah wakaf
tersebut secara hukum tidak bisa beralih atau dialihkan lagi karena tanah wakaf tersebut
sudah menjadi milik Agama / Allah.
Dalam pelaksanaan perwakafan tanah hak milik di Indonesia yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan tanah Hak milik, salah satu
pertimbangan untuk mengeluarkan peraturan pemerintah tersebut adalah bahwa wakaf

merupakan suatu lembaga keagamaan yang dapat dipergunakan sebagai salah satu sarana
1[1] Sholeh Hayat dkk , Buku Panduan Wakaf Nahdlatul Ulama, Lajnah Auqof
NU Jawa Timur 2002, hal 1
2[2]Jazuni, Hukum Islam di Indonesia, Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam
dan penerapan, (Jakarta: Hanya Press, 2006), hal. 265
3[3]Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, Analisa Hukum Islam Bidang Wakaf, (Jakarta. 1997/1998),
hal. 60-61

4[4]Ibid

guna pengembangan kehidupan keagamaan, khususnya bagi umat yang beragama Islam
dalam rangka mencapai kesejahteraan sprituil dan materiil menuju masyarakat adil dan
makmur yang berdasarkan Pancasila.
Mengingat sangat pentingnya persoalan wakaf ini maka Undang-Undang pokok Agraria
No. 5/1960 telah mencantumkan adanya suatu ketentuan khusus mengenai masalah wakaf
sebagaimana tersebut didalam Pasal 49 yang memberikan ketentuan sebagai berikut :
1. Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk
usaha dalam bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi. Badan-badan
tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan

usahanya dibidang sosial dan keagamaan.
2. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam
Pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan hak pakai.
Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dari
ketentuan pasal 49 ayat (3) diatas jelas bahwa untuk melindungi berlangsungnya tanah
perwakafan di Indonesia, Pemerintah akan memberikan pengaturan melalui Peraturan
Pemerintah tentang perwakafan tanah milik. Peraturan Pemerintah itu baru dikeluarkan
setelah 17 tahun berlakunya UU Pokok Agraria itu. Pada tanggal 17 Mei 1977 Pemerintah RI
mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 28 tentang Perwakafan Tanah Milik diiringi dengan
seperangkat Peraturan Pelaksanaannya oleh Departemen Agama dan Departemen Dalam
Negeri dan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Yang menjadi latar belakang dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 itu
adalah :
1. Pada waktu yang lampau pengaturan tentang perwakafan tanah sebelum memenuhi
kebutuhan juga tidak diatur secara tuntas dalam suatu Peraturan Perundang-Undangan
Sehingga memudahkan terjadinya penyimpangan hakekat dan tujuan perwakafan itu
sendiri.
2. Hal ini menimbulkan keresahan dikalangan umat Islam yang menjurus pada perasaan
antipati terhadap lembaga wakaf, padahal lembaga itu dapat dipergunakan sebagai
salah satu sarana pengembangan kehidupan beragama, khususnya bagi umat Islam.

3. Dalam masyarakat banyak terjadi persengketaan mengenai wakaf tanah karena tidak
jelasnya status tanah wakaf yang bersangkutan. Kemudian Pada tanggal 27 Oktober

2004, Pemerintah mengeluarkan sebuah peraturan baru yaitu Undang-undang Nomor
41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Undang-undang ini merupakan Undang-undang pertama yang secara khusus mengatur
wakaf. Dengan berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan tentang perwakafan masih
berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru
berdasarkan Undangundang ini. Secara umum banyak hal baru dan berbeda yang terdapat
dalam UU No. 41/2004 bila dibandingkan dengan PP No. 28/1977 maupun KHI, walaupun
banyak pula kesamaannya.
Dapat dikatakan bahwa UU No. 41/2004 mengatur substansi yang lebih luas dan
luwes bila dibandingkan dengan peraturan Perundang-undangan yang ada sebelumnya. Salah
satu perbedaan UU No. 41/2004 dengan PP No. 28/1977 adalah ruang lingkup subtansi yang
diaturnya. UU ini mengatur wakaf dalam lingkup yang lebih luas, tidak terbatas hanya pada
wakaf tanah milik. Undangundang ini membagi benda wakaf menjadi benda tidak bergerak
yaitu misalnya hak atas tanah, bangunan atau bagian bangunan, tanaman dan benda lain yang
berkaitan dengan tanah serta hak milik atas rumah susun dan benda bergerak meliputi uang,
logam mulia, surat berharga, kendaraan , hak atas kekayaan intelektual dan hak sewa. Khusus
untuk benda bergerak berupa uang, UU No. 41/2004 mengaturnya dalam 4 pasal yaitu Pasal

28 sampai Pasal 31. Hal ini sejalan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia pada tahun 2002
yang isinya membolehkan wakaf uang.
Hal berbeda berikutnya yang terdapat dalam UU No. 41/2004 adalah mengenai
pengertian sekaligus rukun wakaf. Wakaf menurut Pasal 215 KHI adalah : Perbuatan hukum
seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda
miliknya dan melembagakan untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan
umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam, jadi menurut pasal tersebut, salah satu rukun wakaf
adalah permanen dan wakaf sementara adalah tidak sah. Namun hal itu kemudian diubahubah oleh UU No 41/2004 pada Pasal 1 UU No 41/2004 tersebut dinyatakan bahwa wakaf
adalah perbuatan hukum wakaf untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta
benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau jangka waktu tertentu dan sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariat, jadi
menurut ini wakaf sementara juga diperbolehkan asalkan sesuai dengan kepentingannya.
Hal berbeda lain yang terdapat pada UU No. 41/2004 adalah mengenai cara
penyelesaian sengketa. Pada UU ini penyelesaian sengketa dapat diselesaikan melalui
musyawarah mufakat maupun bantuan pihak ketiga melalui mediasi, abitrase dan jalan
terakhir adalah melalui pengadilan.

Dalam dunia sekarang banyak sekali sengketa-sengketa tanah wakaf khususnya yang
berkaitan dengan tanah wakaf masjid yang menimbulkan banyak problem yang perlu
penanganan secara baik. Hal ini sering sekali terjadi di banyak perumahan di seluruh

Indonesia termasuk problem di perumahan-perumahan Kelurahan Tegal Besar Kecamatan
Kaliwates Kabupaten Jember. Dari banyak problem tersebut, seringkali ta’mir-ta’mir masjid
diperkarakan oleh sebagain masyarakatnya. Dan perlu diketahui di kelurahan Tegal Besar
Kecamatan Kaliwates Kabupaten Jember ini ada sekitar 11 perumahan yang semuanya ada
tanah wakaf masjid yang banyak menimbulkan problem di masyarakat, perumahanperumahan itu antara lain : Perum Villa Tegal Besar, Perum Pondok Gede, Perum Tegal Besar
Permai 1, Perum Tegal Besar Permai 2, Perum Bumi Tegal Besar, Perum Taman Anggrek,
Perum Tegal Besar Raya, Perum Griya Tegal Besar, Perum Muktisari, Perum Taman Gading
dan

Perum Citra Mas. Dari Banyaknya Problem yang dialami oleh ta’mir masjid di

Kelurahan Tegal Besar ini menjadi sangat menarik untuk diteliti secara detail, Dengan alasan
ini peneliti tertarik untuk mengetahui dan sekaligus meneliti tentang Problema Tanah Wakaf
Masjid Perumahan-Perumahan di Kelurahan Tegal Besar Kecamatan Kaliwates Jember
B. Fokus dan Tujuan Masalah
Adapun Fokus dan Tujuan Penelitian yang teridentifikasi dari latar belakang masalah yang
telah dipaparkan di atas adalah:
1. Tentang problem tanah wakaf masjid yang terjadi di perumahan-perumahan Kelurahan Tegal
Besar Kaliwates Jember
2.


Tentang Faktor-faktor yang memunculkan problem tanah wakaf masjid yang terjadi di
perumahan-perumahan Kelurahan Tegal Besar Kaliwates Jember

3.

Tentang Solusi yang pernah dilakukan oleh Ta’mir Masjid dalam menyelesaikan problem
tanah wakaf masjid yang terjadi di perumahan-perumahan Kelurahan Tegal Besar Kaliwates
Jember

4.

Tentang kendala yang dihadapi Ta’mir masjid dalam memberikan solusi terhadap problem
tanah wakaf masjid yang terjadi di perumahan-perumahan Kelurahan Tegal Besar Kaliwates
Jember
C. Kegunaan Penelitian

1. Secara Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi yang berguna bagi penulis
khususnya dalam meyumbangkan sikap ilmiah menuju profesionalisme sebagai calon Doktor


Hukum Islam dan merupakan manifestasi dari Tridarma Perguruan Tinggi dalam bidang
penelitian.
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penelitian yang berkaitan dengan
penyelesaian sengketa tanah wakaf masjid serta kendala-kendala yang dihadapi.
D. Kajian Pustaka
Dalam kajian pustaka ini, penulis akan berusaha menelusuri karya- karya terdahulu yang
membahas tentang sengketa wakaf atau yang masih ada sangkut pautnya, hal ini penting
untuk dijadikan sebagai salah satu acuan dalam proses penelitian, sehingga dapat berjalan
lancar dan benar. Diluar itu, tinjauan pustaka juga penting dalam rangka menghindari adanya
pengulangan penelitian (duplikasi) suatu hal yang sangat di sayangkan dalam penelitian
Ilmiah.
Berdasarkan pembahasan yang berhubungan atau yang ada sangkut pautnya dengan bahasan
Wakaf yang sudah pernah di angkat dan dijadikan judul atau tema penelitian pada tahun-tahun
terdahulu, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Ismawati, Penyelesaian Sengketa Tanah Wakaf Studi Terhadap Tanah Wakaf Banda Masjid
Agung Semarang, penelitian pada Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang, 2007
2.


Juwaini, Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Tanah Wakaf Masjid yang
Dimanfaatkan untuk Jalan (Studi Kasus di Ds. Bakalan Sumobito Jombang), Penelitian pada
Fakultas Syariah IKAHA Tebuireng Tahun 2001

3.

Zainuri Zen, “Studi Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor: 690k/Ag/2009
(Sengketa Wakaf Masjid Cukir)”. Penelitian pada Fakultas Syariah IKAHA Tebuireng Tahun
2007

4. Ali Mashudi, Problematika Pendaftaran Tanah Wakaf (Studi Kasus Sengketa Tanah Wakaf di
Desa. Sambi Kec. Kendal Kab. Kediri) Penelitian pada Fakultas Syariah IKAHA Tebuireng
Tahun 2000.
E. Kerangka Teoritik
1. Kedudukan Wakaf Berdasarkan Hukum Islam
Wakaf merupakan salah satu bentuk dari lembaga hukum Islam. Oleh karena itu
ketentuan tentang wakaf juga bersumber dari ketentuan ajaran agama Islam. Wakaf berasal

dari kata waqafa artinya berhenti, atau diam ditempat atau tetap berdiri atau penahanan 5[5].
Pengertian wakaf pernah disabdakan oleh Rasulullah yaitu : "sesungguhnya harta wakaf itu

tidak boleh dijual belikan dan dialihkan serta diwarisi, dan bersedekahlah dengannya kepada
fakir miskin serta sanak keluarga dan orang-orang yang berada dibawah tanggunganmu,
tidaklah mengapa bagi yang mengurusinya untuk memakan hasilnya dengan alakadarnya serta
tidak pula menjadikannya milik pribadinya."6[6]
Sejalan dengan hal itu maka muncul beberapa batasan pengertian tentang wakaf. Abu
Hanifah merumuskan wakaf sebagai penahanan pokok sesuatu harta dalam tangan pemilikan
wakaf dan penggunaan hasil barang itu yang dapat disebutkan ariah atau commodate loan
untuk tujuan- tujuan amal saleh.7[7] Selain itu ada pendapat lain dari Naziroeddin Rachmat ,
Yang dimaksud dengan harta wakaf ialah suatu barang yang sementara asalnya (zatnya)
tetap, selalu berbuah, yang dapat dipetik hasilnya dan yang empunya sendiri sudah
menyerahkan kekuasaannya terhadap barang itu dengan syarat dan ketentuan bahwa
hasilnya akan dipergunakan untuk keperluan amal kebajikan yang diperintahkan syariat8[8]
Dari batasan pengertian di atas dapat diketahui bahwa wakaf pada dasarnya adalah
penahanan pokok untuk selama-lamanya atas harta untuk kepentingan agama Dasar hukum
dari kewajiban melakukan wakaf di dalam hukum Islam disebut sebagai dalil diantaranya
adalah QS. Al Imron ayat 92 yang terjemahannya adalah tidaklah akan tercapai oleh kamu
kebaikan, sebelum kamu sanggup membelanjakan sebagian daripada brang yang kamu
sayangi. Selain itu terdapat hadis riwayat jamaah Ahli Hadist kecuali Buchori dan Ibnu Majah
: Bahwa Nabi berkata : Bila mati anak Adam, terputuslah segala amalnya, kecuali tiga macam,
yaitu : sedekah yang terus menerus, ilmu yang dipergunakan, atau anaknya yang saleh yang
selalu mendoakannya.
Dari ketentuan itu dapat diketahui bahwa betapa pentingnya bersodakoh atau
membelanjakan sebagian harta . Apabila sedekah dilakukan terus menerus, yaitu wakaf maka
pahala tidak akan terputus meskipun telah mati. Itulah keutamaan melakukan wakaf.
Wakaf yang dilakukan oleh seseorang harus memenuhi rukun dan syaratnya wakaf.
Rukun adalah sesuatu yang wajib ada akan adanya wakaf. Apabila tidak ada salah satu dari
rukun maka wakaf tidak akan pernah ada. Keberadaan rukun bersifat kumulatif artinya tidak
ada salah satu dari rukun berakibat wakaf tidak sah.
5[5] Abdurrahman, 1990, Masalah perwakafan tanah milik dan kedudukan tanah wakaf di negara
kita, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 5.
6[6]Tamaddun, 2002, Bait Al Ashy, Rumah Wakaf Aceh di Tanah Suci Mekkah
7[7] Ibid., hal. 6.
8[8] Ibid.

Rukun wakaf ada empat, yaitu :
1. Ada orang yang berwakaf (wakif).
2. Ada sesuatu atau harta yang akan diwakafkan (mauquf).
3. Ada tempat kemana diwakafkan harta itu (al mauquf alaihi).
4.

Ada aqad sebagai pernyataan timbang terima harta wakaf itu dari tangan si wakif kepada
orang atau tempat berwakaf.
Sedangkan syarat wakaf adalah :

1.

wakaf itu mesti berkekalan dan terus menerus, artinya tidak boleh dibatasi dengan sesuatu
jangka waktu.

2. wakaf itu mesti dilakukan secara tunai, karena berwakaf berarti memindahkan hak milik pada
waktu terjadi wakaf itu.
3. hendaklah wakaf itu disebutkan dengan terang kepada siapa diwakafkan.9[9]
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa untuk dapat dikatakan telah ada perwakafan
maka harus dipenuhinya empat rukun secara kumulatif yaitu adanya wakif, nadzir, obyek
wakaf (harta) dan akad wakaf. Sedangkan untuk syarat adanya wakaf yaitu wakaf harus
dilakukan selama-lamanya, secara tunai dan terang. Seorang yang akan berwakaf haruslah
atas kehendaknya sendiri dan benar-benar merupakan niatnya untuk melakukan ibadah atas
nama Allah atau hanya mengharap keridhoan Allah semata. Atas setiap manusia yang
menafkahkan sebagian rezeki yang dikaruniakan Allah untuk kebaikan , maka Allah berjanji
akan membalas perbuatan itu berlipat-lipat.
Nadzir atau pihak yang akan melakukan pengurusan atas harta wakaf haruslah
menjalankan tugasnya dengan penuh amanah. Oleh karena itu pemilihan nadzir dapat
ditentukan oleh wakif dengan pertimbangan bahwa nadzir yang telah ditunjuk dapat
melaksanakan kepercayaan wakif untuk mengurus harta wakaf dengan penuh amanah.
Obyek wakaf menurut hukum Islam adalah semua harta yang menjadi milik si wakif
secara keseluruhan. Harta itu tidak dibatasi jenisnya apakah benda bergerak

atau tidak

bergerak. Dapat berupa tanah atau harta lainnya yang bukan tanah. Asalkan kepemilikan
secara mutlak adalah milik wakif.
Di dalam hukum Islam seseorang yang akan berwakaf tidak rumit dalam
melakukannya atau prosedur yang harus dilalui hanya sederhana, yaitu si wakif melakukan
akad wakaf kepada nadzir dengan disaksikan minimal oleh 2 orang saksi yang adil. Akad
wakaf itu dapat dilakukan hanya dengan secara lisan.
Apabila wakaf telah dilakukan dengan benar memenuhi ketentuan rukun dan
syaratnya wakaf, maka wakaf itu menjadi sah. Akibat hukumnya benda wakaf akan beralih
9[9] Ibid., hal. 9.

fungsinya untuk kepentingan Allah SWT atau untuk ibadah. Tidak dibatasi jenis hartanya,
sehingga apapun harta yang dimiliki oleh wakif secara keseluruhan dapat diwakafkan.
2. WAKAF DALAM PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA
Memang benar wakaf berasal dari lembaga hukum Islam, tetapi kenyataannya di
Indonesia juga telah dijumpai tanah wakaf. Di dalam masyarakat hukum adat juga dikenal
tentang wakaf, misalnya di suku badui di Cibeo (Banten Selatan) dikenal huma serang, di
Lombok dikenal Tanah pareman 10[10].
Pengertian wakaf menurut hukum adat dapat disebutkan pendapat dari Koesoema Atmadja ,
wakaf adalah :

Suatu perbuatan hukum dengan mana perbuatan suatu barang / barang

keadaan telah telah dikeluarkan/ diambil kegunaannya dalam lalu lintas masyarakat semula,
guna kepentingan seseorang/ orang tertentu atau guna seseorang maksudnya / tujuan /
barang tersebut sudah berada dalam tangan yang mati 11[11]
Menurut Ter Haar wakaf merupakan suatu perbuatan hukum yang rangkap maksudnya
adalah : Perbuatan itu disatu pihak adalah perbuatan mengenai tanah atau benda yang
menyebabkan obyek itu mendapat kedudukan hukum yang khusus tetapi dilain pihak seraya
itu perbuatan itu menimbulkan suatu badan dalam hukum adat ialah suatu badan hukum yang
sanggup ikut serta dalam kehidupan hukum sebagai subyek hukum.12[12]
Selanjutnya wakaf yang telah memasuki kehidupan masyarakat Indonesia dalam
perkembangannya banyak terjadi penyimpangan. Penyimpangan itu disebabkan oleh
penyelewengan harta wakaf oleh nadzir atau keturunan nadzir dengan mendaku kepemilikan
harta wakaf. Selain itu penyimpangan juga dapat terjadi dalam bentuk penyimpangan
kegunaan atau fungsi wakaf. Oleh karena itu pemerintah membuat suatu peraturan tentang
wakaf yang bertujuan untuk mengamankan harta wakaf serta mendorong masyarakat
Indonesia untuk melakukan wakaf sebagai perwujudan dari melaksanakan ibadah karena
Allah.
Langkah konkrit itu adalah dengan disahkannya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun
1977 tentang perwakafan tanah milik. Sayangnya PP No. 28 Tahun 1977 ini hanya membatasi
obyek wakaf hanya pada tanah hak milik saja, tidak mencakup harta lainnya yang dimiliki
oleh wakif. Adapun prosedur yang dilakukan tidak cukup akad wakaf dilakukan secara lisan
saja. Untuk menjamin kepastian hukum PP No. 28 Tahun 1977 mengharuskan wakaf
10[10] Ibid., hal 14.
11[11] Ibid. hal. 15.
12[12] Ibid.

dilakukan secara lisan dan tertulis

dihadapan pejabat pembuat akta ikrar wakaf untuk

selanjutnya dibuat akta ikrar wakaf. Dengan mendasarkan akta ikrar wakaf maka tanah hak
milik diajukan perubahannya ke Badan Pertanahan Nasional setelah memenuhi syarat
administrasinya untuk diubah menjadi sertipikat wakaf.
3. Sejarah Wakaf
Setelah kita memahami bagaimana wakaf berkembang dalam masyarakat , maka kita
akan membahas mengenai tentang sejarah perwakafan yang ada
1. Perwakafan pada masa Rasullah
Sejarah perwakafan pada masa Rasullah adalah adanya riwayat tentang Umar bin
Khattab yang mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Lantas Umarpun bertanya pada
Rasullah tentang apa yang akan ia perbuat terhadap tanah tersebut. Lalu Rasullah pun
menjawab “Jika engkau mau, tahanlah tanahmu itu dan engkau sedekahkan”.
Dari riwayat diatas dapat dilihat bahwa sejarah perwakafan pada masa Rasullah sudah
ada. Dan Rasullahpun hanya menyampaikan tentang apa yang harus sahabat lakukan dari
kelebihan harta yang dapat.
2.

Sejarah perwakafan di Indonesia
Di Negara Indonesia, sejarah perwakafannya dimulai saat agama Islam sudah masuk
dan berkembang di bumi nusantara ini. Dari ajaran Islam ini ada satu ajaran yang membahas
tentang masalah harta yang di berikan kepada orang lain untuk digunakan demi kepentingan
umat Islam. Ajaran tersebut adalah ajaran mengenai wakaf dan sampai sekarang ini
perwakafan ini tetap ada dan melekat dalam kehidupan bermasyarakat Indonesia.
Ketika penjajah (Belanda, Portugis, Jepang) masuk di negeri Indonesia mereka tidak
terlalu mempermasalahkan tentang perwakafan yang ada di Indonesia ini. Akan tetapi mereka
hanya saja mengatur tentang sengketa perwakafan yang terjadi. Diantara peraturan yang ada
di Indonesia tentang sengketa perwakafan. Antara lain :

1.

Surat Edaran Sekretaris Gubernumen tanggal 31 Januari 1905 (Bijblad 1905, No. 6619),
yang mewajibkan kepada para Bupati untuk membuat daftar yang memuat segala keterangan
untuk benda-benda yang bergerak yang oleh pemiliknya ditarik dari peredaran umum, baik
dengan nama wakaf atau dengan nama lain.

2. Surat Edaran Sekretaris Gubernumen tanggal 4 April 1931 (Bijblad 1934, No. 13390), yang
memberikan wewenang kepada Bupati untuk memimpin dan menyelesaikan perkara jika
terjadi sengketa mengenai tanah wakaf, atas permintaan para pihak yang bersengketa .

3. Surat Edaran Sekretaris Gubernumen tanggal 27 Mei 1935 (Bijblad No. 13480), berisi tata
cara para perwakafan, yaitu perlunya perwakafan diketahui oleh Bupati untuk diregistrasi dan
diteliti tentang keabsahannya.
Dari sejarah perwakafan diatas, jelaslah bahwa konsep wakaf yang ada di Indonesia sudah
diatur dalam UU yang ada sebelum UU RI yang

mengatur kembali tentang tata cara

perwakafan yang ada di Indonesia.13[13]
4. Pelaksanaan Perwakafan Tanah
Menurut ketentuan Pasal 6 Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, wakaf
dapat dilaksanakan apabila telah memenuhi unsusr-unsur tentang wakaf, unsur-unsur tersebut
yaitu (a) adanya wakif, (b) adanya Nazhir ) (c) adanya harta benda wakaf (d) adanya ikrar
wakaf (e) perutukan harta benda wakaf (f) jangka waktu wakaf. Unsur-unsur tersebut bersifat
komulatif artinya wakaf dapat dilaksanakan apabila semua unsur-unsur tersebut terpenuhi,
kalau tidak maka pelaksanaan wakaf batal secara hukum.
Dalam Pelaksanaan perwakafan tanah, calon/Pihak yang hendak mewakafkan tanah
harus datang dihadapan Pejabat pembuat Akta Ikrar Waka (PPAIW) untuk melaksanakan ikrar
wakaf (Pasal 1 ayat 1 PP No 28 Tahun 1977 jis) Untuk mewakafan tanah hak milik calon
wakif harus mengikrarkan secara lisan, jelas dan tegas kepada Nadzir yang telah diserahkan
dihadapan PPAIW yang mewilayahi tanah wakaf dan dihadiri saksi-saksi dan selanjutnya
menuangkannya dalam bentuk tertulis menurut bentuk W 1. Sedangkan bagi mereka yang
tidak mampu menyatakan kehendaknya secara lisan dapat menyatakan dengan isyarat.
Menurut Zamakhsyari Dhofier pengikraran wakaf berarti menjadikan obyek wakaf
sebagai milik Tuhan yang harus dipakai seamata-mata untuk tujuan keagamaan 14[14]. Isi dan
bentuk Ikra Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama (Pasal 9 (3) PP 28 Tahun 1977, Bentuk dan
isi ikrar wakaf telah ditentukan dalam peraturan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam taggal 18 April 1978 No. Kep/D/75/78. Sementara untuk Calon Wakif yang tidak dapat
datang dihadapan PPAIW dapat membuat ikrar wakaf secara tertulis dengan persetujuan
Kandepag yang mewilayahi tanah wakaf serta diketahui saksi-saksi (Pasal 5 ayat 2 PP No. 28
Tahun 1977 jis Pasal 2 Pemenag No. 1 Tahun 1978). Dalam pelaksanaan ikrar wakaf tanah
ada dua macam akta ikrar wakaf pertama, akta ikrar wakaf dimana pelaksanaan wakaf tanah
langsung dilakukan oleh pihak pemilik hak atas tanah dan yang kedua, akta ikrar wakaf
pengganti yaitu pelaksanaan wakaf atas tanah dilakukan oleh pihak ahli waris dari pemilik
13[13] Sudarsono, Heri. 2007. Bank dan Lembaga Keungan Syari’ah Deskripsi dan
Ilustrasi. Yogyakarta: Ekonisia. hal 261

14[14]Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup
Kyai, cetakan keenam, ( Jakarta: LP3S, 1994), hal.102.

tanah.
Pada penjelasan Pasal 9 PP No 28 Tahun 1977 ditegaskan bahwa pasal ini
mengharuskan adanya perwakafan dilakukan secara tertulis tidak cukup hanya dengan ikrar
wakaf lisan saja. Tujuannya adalah untuk memperoleh bukti yang otentiek yang dapat
dipergunakan untuk berbagai persoalan seperti untuk bahan pendaftaran pada Kantor Sub
Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya dan untuk keperluan penyelesaian sengketa
dikemudian hari tentang tanah yang telah diwakafkan.
Untuk keperluan kelancaran dalam proses perwakafan seseorang yang hendak
mewakafkan tanah harus membawa serta tanda-tanda bukti pemilikan berupa sertifikat / kitir
tanah )

dan surat-surat lain yang menjelaskan tidak adanya halangan untuk melakukan

perwakafan atas tanah milik tersebut. Untuk keperluan tersebut maka diperlukan pejabatpejabat yang khusus melaksanakan pembuatan aktanya. Demikian pula mengenai bentuk dan
isi ikrar wakaf perlu dibuat secara seragam (penjelasan Pasal 9 PP 28 Tahun 1977). Pasal 9
PP 20 Tahun 1977 menegaskan bahwa pelaksanaan ikrar dan pembuatan Akta Ikrar Wakaf
dianggap syah jika dihadiri dan disaksikan sekurang-kurangnya 2 saksi ( dua ) orang yang
telah dewasa, sehat akalnya dan oleh hukum tidak terlarang untuk melakukan perbuatan
hukum (Pasal 4 Permenag No. 1 Tahun 1978) dan ini sudah merupakan persyaratan hukum
formal secara umum. Setelah ada ikrar wakaf, PPAIW akan membuat Akta Ikrar Wakar
menurut bentuk W 2 rangkap 3 (tiga) dan salinannya menurut bentuk W.2.a rangkap 4
(empat). Tanah yang hendak diwakafkan baik seluruhnya ataupun sebagian harus merupakan
tanah hak milik dan harus bebas dari beban ikatan, jaminan, sitaan atau sengketa atau dengan
kata lain harus terlebih dahulu bebas dari persoalan hukum.
Pasal 9 ayat 5 PP No 28 Tahun 1977 ditegaskan bahwa dalam melaksanakan ikrar
seperti yang dimaksud ayat 1 pihak yang mewakafakan tanah diharuskan membawa serta dan
menyerahkan kepada Pejabat tersebut dalam ayat 2 berupa surat-surat sebagai berikut: (a)
sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah lainya (b) surat keterangan dari Kepala
Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran
pemilikan tanah dan tidak tersangkut sesuatu sengketa (c) Surat keterangan pendaftaran tanah
(d) Izin dari Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq Kepala Sub Direktorat Agraria
setempat (Pasal 9 ayat 5).
Apabila akta ikrar wakaf telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan, maka Pejabat
Pembuat Akta Ikra Wakaf atas nama Nadzir yang bersagkutan, diharuskan mengajukan
permohonan kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq Kepala Sub Direktorat Agraria
setempat untuk mendaftar perwakafan tanah milik yang bersangkutan menurut ketentuan
Pasal 10 PP 28 Tahun 1977. Permohonan harus disampaikan selambat-lambatnya dalam

jangka waktu 3 bulan sejak dibuatnya akta ikrar wakaf (Pasal 3 Permedagri No. 6 Tahun
1977. Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat,
setelah menerima permohonan tersebut dalam ayat 1 mencatat perwakafan tanah milik yang
bersangkutan dalam buku tanah dan sertifikatnya.
Jika tanah milik yang diwakafkan belum mempunyai sertifikat maka pencatatan yang
dimaksud dalam ayat 2 dilakukan setelah tanah tersebut dibuat sertifikatnya, setelah dilakukan
pencatatan perwakafan tanah milik dalam buku tanah dan sertifikatnya, maka Nadzir yang
bersangkutan wajib melapornya kepada orang yang mau mendaftarkanya, maka Kepala Desa
tempat tanah tersebut harus mendaftarkanya kepada KUA setempat. Pelaksanaan Pendaftaran
harus disertai (a) surat keterangan tentang tanah atau surat keterangan Kepala Desa tentang
perwakafan, tanah tersebut (b) dua orang yang menyaksikan ikrar wakaf atau saksi-saksi
istifadhah (yang mengetahui atau mendengar tentang perwakafan).
Kepala KUA selaku Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf harus (a) meneliti keadaan
tanah wakaf; (b) meneliti dan mengesahkan Nadzir (c) meneliti saksi-saksi ( d ) menerima
penyaksian tanah wakaf (e) membuat akta pengganti akta ikrar wakaf (f) membuat salinan
akta pengganti akta ikrar wakaf (g) menyampaikan akta pengganti ikrar wakaf lembar kedua
kepada Bupati / Walikotamadya Kepala Daerah cq Kepala sub Direkorat Agraria setempat
sebagai lampiran perohonan pendaftaran (h) mengirimkan akta pengganti akta ikrar wakaf
lembar ke tiga kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tanah wakaf (i) menyampaikan
salinan akta pengganti akta ikrar wakaf lembar pertama kapada wakif atau ahli warisnya.
Untuk biaya administrasi dan pencatatan tanah wakaf untuk penyelesaian administrasi
perwakafan tanah di KUA Kecamatan termasuk formulir tidak dikenakan, kecuali bea meteri
menurut ketentuan yang berlaku. Untuk penyelesaian pendaftaran dan perwkafan tanah di
Kantor Sub. Direktorat Agraria tidak dikenakan biaya, kecuali biaya pengukuran dan biaya
meterei menurut ketentuan yang berlaku.
5. Pengelolan Tanah Wakaf
Pengaturan khusus akan masalah wakaf dalam UUPA dalam hal mengenai
kewajiban-kewajiban pembentuk undang-undang untuk mengindahkan unsur-unsur yang
berdasarkan pada hukum agama. Dan dalam Bab XI tentang Hak Milik untuk Keperluan suci
dan sosial

pada Pasal 49. Pasal ini memberikan tempat khusus bagi hak-hak yang

bersangkutan dengan kegiatan-kegiatan keagamaan,dan juga memberikan ketegasan terhadap
soal-soal yang bersangkutan dengan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainya.
Dengan dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 38 Thaun 1963 tentang penunjukan
badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, diatur badan-badan hukum

yang dapat memiliki tanah sebagai realisasi pasal 21 ayat 2 UUPA, dalam PP tersebut
ditegaskan penentuan mengenai tanah wakaf menjadi kompetensi Departemaen Agraria dan
Departemen Agama. Untuk itu dalam lingkungan Departemen Agama telah dibentuk
Lembaga Perecana dan Bimbingan Wakaf / Zakat, juga telah dikeluarkan Edaran Menteri
Agama No. S/I/7103, yang ditujukan kepada semua Partai ormas Islam, Pondok Pesanteren,
Badan Wakaf, Perguruan Tinggi Islam serta Badan Keagamaan Islam Lainyabahwa badan–
badan hukum yang ingin memiliki hak milik tanah hendaknya mengajukan permohonan
kepada Menteri Agraria, memlalui Menteri Agraria c.q. Lembaga Perencanan dan Bimbingan
Wakaf.
Apabila telah dilakukan pendaftaran tanah wakaf, aspek penting lainnya ialah aspek
pengelolaan tanah, mengkaji pengelolaan tanah wakaf dalam hukum Agraria Nasional, tidak
bisa melepaskan diri dari mengkaji pengelolanya sendiri, pengelola tanah wakaf yang disebut
dengan istilah Nadzir. Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 menegaskan bahwa
fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf. Dengan
kekalnya harta wakaf maka manfaat tanah yang diwakafkan agar dapat dinikmati untuk
selama-lamanya. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan untuk tanah Milik telah terjadi suatu perubahan di bidang perwakafan tanah,
yakni perwakafan tanah milik diatur, ditertibkan dan diarahkan sehingga benar-benar
memenuhi hakekat wakaf adalah pendekatan kepada tuhan (qurbah).15[15] Sedangkan aspek
terpenting dari pengelolaan wakaf ialah peran serta Nadzir sebagai top manajer yang
menentukan, mengendalikan manajerial perwakafan sehingga berdaya guna dan behasil guna,
mengingat kedudukan penting dari Nadzir, PP No 28 Tahun 1977 menentukan syarat-syarat
yang harus dipenuhi sebagai Nadzir.
6. Susunan Nadzir
Nadzir ada yang terdiri dari perorangan dan ada yang berbentuk Badan Hukum,
Nadzir perorangan, adalah Nadzir yang terdiri dari perorangan harus merupakan suatu
kelompok atau suatu pengurus sekurangkurag 3 (tiga) orang, salah seorang diantaranya
menjadi ketua. Jumlah Nadzir perorangan dalam suatu Desa ditetapkan satu Nadzir, jumlah
Nadzir dalam suatu Kecamatan ditetapkan sebanyak-banyaknya sejumlah desa yang terdapat
di Kecamata tersebut, sedangkan apabila Nadzir Badan Hukum, jumlah Nadzir yang
berbentuk Badan Hukum ditentukan sebanyak-banyaknya sejumlah Badan Hukum yang ada
15[15]Noel J Coulso, Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah ( The History of
Islamic Law ), diterjemahkan oleh Hamid Ahmad, cetakan pertama ( Jakarta :
P3M, 1987 ) h.198

di Kecamatan tersebut.
7. Syarat-syarat Nadzir
Nadzir perorangan harus terdiri dari orang-orang yang memenuhi syarat sebagai
berikut (a) warga Negara Republik Indonesia, (b) Beragama Islam (c) sudah dewasa (d) sehat
jasmani dan rohani (e) tidak berada dibawah pengampuan(f) bertempat tinggal di Kecamatan
tempat letaknya tanah yang diwakafkan sedangkan Nadzir Badan hukum harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut (a) badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, (b)
mempunyai perwakilan di Kecamatan tempat letaknya tanah yang di wakafkan (c) Badan
Hukum yang tujuan dan alamat usahanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluaan
umum lainnya, sesuai dengan ajaran Agama Islam.
Berdasarkan adanya berbagai persyaratan yang ditetapkan untuk menjadi Nadzir
dalam PP ini adalah dimaksudkan agar pengurus dan pengelolan wakaf baik yang terdiri dari
kelompok perorangan maupun suatu badan hukum dapat menjalankan fungsinya dengan baik.
Nadzir perorangan maupun Nadzir Badan Hukum harus didaftarkan pada KUA Kecamatan
setempat guna untuk mendapatkan pengesahan (Pasal 6 ayat 3 PP No. 28 Tahun 1977). Hal ini
guna menghindari kemungkinan adanya penyimpangan terhadap perwakafan tanah milik dari
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.
Pasal 7 Peraturan No. 28 Tahun 1977 menentukan tugas dan kewajiban Nadzir yang
meliputi (1) Nadzir berkewajiban utuk mengurus dan mengawasi kekayaan wakaf serta
hasilnya menurut ketentuan-ketentuan yang diatur lebih lanjut oleh Menteri Agraria sesuai
dengan tujuan wakaf (2) Nadzir berkewajiban membuat laporan-laporan secara berkala atas
semua hal yang menyangkut kekayaan wakaf (3) tata cara pembuatan laporan diatur lebih
lanjut oleh Menteri Agraria.
Pasal 10 Peraturan Menteri Agrari No 1 Tahun 1978 lebih rinci lagi menentukan :
1.

Nadzir berkewajiban mengurus dan mengawasi harta kekayaa wakaf dan hasilnya meliputi
(a) menyimpan lembar salinan akta ikrar wakaf (b) memelihara tanah wakaf (c)
memanfaatkan tanah wakaf (d) memanfaatkan dan berusaha meningkatkan hasil wakaf (e)
menyelenggarakan pembukuan/administrasi yang meliputi (1) buku catatan tentang keadaan
tanah wakaf (2) buku catatan tentang pengelolaan dari hasil tanah wakaf (3) buku catatan
tentang penggunaan hasil tanah wakaf.

2. Nadzir berkewajiban melaporkan (a) hasil pencatatan perwkafan tanah ilik dalam buku tanah
dan sertifikatnya kepada Kepala KUA (b) perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan
dan perubahan penggunaannya akibat ketentuan Pasal 12 dan 13 peraturan ini sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 11 ayat 3 Peraturan Pemerintah (c) Pelaksanaan kewajiban tersebut

dalam ayat 1 Pasal ini kepada kepala KUA tiap satu tahu sekali yaitu tiap akhir bulan
Desember.
3. Nadzir berkewajiban pula untuk melaporkan adanya seorang anggota Nadzir yang berhenti
dari jabatanya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 ayat 2 peraturan ini.
4. Bilamana jumlah anggota Nadzir kelompok karena berhentinya salah seorang anggota atau
lebih berakibat idak memenuhi syarat sebagaimana yang diatur dalam pasal 8 ayat 1 peraturan
ini anggota Nadzir lainnya berkewajiban mengusulkan penggantinya utuk disahkan oleh
Pejabat Pembuat akta ikrar wakaf.
Jadi secara terinci Nadzir mempunyai kewajiban mengurus dan mengawasi harta
kekayaan wakaf dan hasilnya. Dalam mengurus dan mengawasi harta kekayaan wakaf, Nadzir
wajib (a) menyimpan dengan baik lembaran kedua salinan akta ikrar wakaf (b) memelihara
dan memanfaatkan tanah wakaf serta berusaha meningkatkan hasilnya; dan (c) menggunakan
hasil-hasil wakaf sesuai dengan ikrar wakaf. Untuk mengerjakan pengurusan dan pengawasan
harta kekayaan wakaf, Nadzir wajib menyelenggarakan pembukuan;
1. Buku catatan keadaan tanah wakaf, menurut W. 6
2. Buku catatan tentang pengeolaa dan hasil tanah wakaf menurut bentuk W.6. a
3. Membuat laporan hasil pencatatan tanah wakaf yang diurusnya dan penggunaan dari hasilhasil tanah wakaf pada akhir bulan Desember setiap tahun kepada KUA setempat yang
merupakan rekapitulasi dari bentuk W. 6., W.6.a dan W.^.b
4. Memberikan laporan perubahan anggota Nadzir, apabila ada salah seorang anggota Nadzir (a)
meninggal dunia (b) mengundurkan diri (c) melakukan tindak pidana kejahatan yang
berhubungan dengan jabatannya sebagai Nadzir, (d) tidak memenuhi syarat lagi (e) tidak
dapat lagi melakuakan kewajiban . Mengusulkan pengganti apabila jumlah anggota
perorangan menjadi kura dari 3 (tiga) orang
5.

Mengajukan permohonan kepada Kanwil Departemen Agama cq Kepala Bidang Urusan
Agama Islam melalui Kepala KUA dan Kantor Departemen Agama apabila diperlukan
perubahan penggunaan tanah wakaf karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti
diikrarkan oleh wakif atau oleh karena kepentingan umum;

6.

Mengajukan permohonan / perubahan status tanah wakaf kepada Menteri Agama melalui
kepala KUA , Kandepag dan Kanwil Depag dengan memberikan keterangan seperlunya
tentang tanah penggantinya, apabila kepentingan umum menghendakinya;

7.

Melaporkan kepada Bupati/Walikota Kepala Daerah cq Kepala sub Direktorat Agraria
setempat, apabila terjadi perubahan status tanah wakaf atau perubahan penggunaannya untuk
mendapatkan penyelesaian lebih lanjut;

8.

Melaporkan kepada Kepala KUA tetang hasil pencatatan tanah wakaf yang diurusinya; (a)

pencatatan tanah wakaf oleh Kepala sub Direktorat Agrara setempat; (b) pencatatan tanah
wakaf pengganti, dalam hal perubahan status tanah wakaf oleh Kepala Subdit Agraria
setempat (c) pencatatan perubahan penggunaan tanah wakaf oleh Kepala Sub Direktorat
Agraria setempat
Di samping kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Nadzir, Pasal 8 PP No. 28 Tahun
1977 menegaskan bahwa Nadzir berhak mendapatkan dan menikmati penghasilan dan
fasilitas yang besar dan macamnya ditentukan lebih lanjut oleh Menteri Agama. Ketentuan
dalam Pasal ini memberikan dasar bagi penetapan suatu penghasilan dan pemberian fasilitas
kepada Nadzir. Dengan telah diberiknya imbalan yang pantas terhadap kebutuhan ini maka
diharapkan dapat dihindari penyimpangan dari penggunaan obyek wakaf (penjelasan Pasal 8)
F. Metode Penelitian
1. Penentuan Fokus dan Desain Penelitian
Fokus utama dalam penelitian ini adalah problem tanah wakaf masjid yang dialami
Ta’mir masjid dalam kasus pembangunan masjid di perumahan. Kasus Pembangunan masjid
di perumahan sendiri sebenarnya terjadi baik di Kabupaten Jember maupun di luar Jember,
akan tetapi penelitian ini lebih difokuskan pada problem yang terjadi pada perumahan
Kelurahan Tegal Besar Kecamatan Kaliwates. Peneliti ingin secara lebih dekat mengamati
problem tanah wakaf masjid yang dialami ta’mir masjid dan ingin menyajikannya secara apa
adanya tanpa ada rekayasa, untuk itulah digunakan pendekatan desain kualitatif (qualitative
design). Penelitian kualitatif sendiri didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data diskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan orang-orang dan perilaku
yang diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh).
Selanjutnya penelitian kualitatif di atas dilakukan dengan pendekatan studi kasus
(case study), sebab berangkat dari studi yang mendalam terhadap kasus-kasus tertentu dari
korban trafiking, dan diharapkan penelitian terhadap kasus yang spesifik itu dapat
memberikan gambaran secara luas tentang trafiking itu sendiri.16[16]

2. Penentuan Lokasi Penelitian
16[16] Danim, Sudarwan. (2002). Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka
Setia.hal. 55

Penelitian ini mengambil lokasi di Kelurahan Tegal Besar Kecamatan Kaliwates
Kabupaten Jember. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada beberapa pertimbangan diantaranya
adalah kenyataan banyaknya problem tanah wakaf masjid di perumahan -perumahan yang ada
di Kelurahan Tegal Besar.. Berdasarkan observasi awal, Kelurahan Tegal Besar ini merupakan
kelurahan terbesar perumahannya di Kabupaten Jember. Ada sebelas perumahan di daerah
ini yang mengalami problem tanah wakaf masjid.
3. Teknik Pengumpulan Data
Guna menjaring data tentang problem tanah wakaf masjid ini maka penelitian
dilakukan secara serkuler dengan menggunakan tiga pendekatan yaitu: (1) wawancara
mendalam (indept interviewing), (2) pengamatan peran serta (participan observationt) dan (3)
dokumentasi. Penggunaan wawancara dalam penelitian ini antara lain untuk menggali
informasi sebanyak-banyaknya tentang bentuk-bentuk kekerasan yang dialami oleh
perempuan yang ditrafik. Untuk keperluan itu wawancara lebih banyak dilakukan dengan
ta’mir masjid dan pengurus Dewan Masjid Indonesia Ranting Tegal Besar serta Kepala
Kantor Urusan Agama ( KUA ) Kaliwates.
Dalam penelitian ini pengamatan digunakan untuk meneliti keadaan obyektif tentang
wakaf tanah yang digunakan ta’mir masjid untuk membangun masjid. Pengamatan juga
dilakukan untuk melihat lebih dekat tentang problem dan kendala solusi yang dihadapi oleh
ta’mir masjid. Adapun dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk meneliti
kelengkapan dokumen dari masjid yang ada di perumahan yang ada di Kelurahan Tegal Besar.
Dokumen tersebut antara lain: sertifikat tanah wakaf, Izin Mendirikan Bangunan ( IMB),
NPWP, Surat HO dan sebagainya.
4.Penentuan Informan
Informan penelitian diambil dengan menggunakan sampling Porposive dimana sampel
diambil bukan tergantung pada populasi, melainkan sesuai dengan tujuan penelitian. Adapun
informan yang dimaksud adalah ta’mir-ta’mir masjid yang ada di perumahan Tegal Besar .
Dengan berbagai pertimbangan diantaranya permintaan dari informan, maka identitas para
informan nantinya tidak akan diungkapkan secara sebenarnya, melainkan dengan nama
samaran. Dengan alasan khawatir menimbulkan fitnah.

5. Teknik Analisis Data

Sebagai penelitian studi kasus, maka analisis datanya bersifat induktif. Dengan
demikian peneliti akan berusaha menggali kasus-kasus yang beraneka ragam, yang kemudian
dikumpulkan dan dihubungkan menjadi satu untuk membangun suatu teori (grounded theory).
Upaya untuk membangun teori baru bersifat terbuka pada permulaan dan semakin terfokus
pada bagian akhir sehingga yang disajikan dalam bentuk funnel (cerobong).17[17]
6. Pengujian Kredibilitas, Dependabilitas dan Konfirmabilitas Data
Pengujian kredibilitas data dilakukan untuk mengetahui tingkat kepercayaan yang
dicapai dan menunjukkan derajat kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian
oleh peneliti pada kenyataan ganda yang sedang diteliti. Adapun teknik pemeriksaan
kredibilitas data yang digunakan antara lain melalui diskusi dengan teman sejawat
(peerdebriefing), selain itu peneliti akan melakukan perpanjangan keikutsertaan yang juga
didukung oleh ketekunan pengamatan. Agar data yang diperoleh lebih absah lagi peneliti akan
melakukan pengecekan ulang baik metode maupun sumber penelitian dengan triangulasi.
Keseluruhan dari proses penelitian juga akan didukung dengan reverensi yang mencukupi.
Sedangkan pengujian dependabilitas, dan konfirmabilitas data dilakukan dengan cara audit
oleh dewan pakar.

DAFTAR PUSTAKA

17[17] Bogdan, R.C., and Biklen, S.K. (1982). Qualitative Research for Education an
Introduction to Theori and Methods. London: Allyn and Bacon. Inc.hal 59

Abdurrahman, 1990, Masalah perwakafan tanah milik dan kedudukan tanah wakaf di negara kita,
Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 5.
Bogdan, R.C., and Biklen, S.K. (1982). Qualitative Research for Education an Introduction to
Theori and Methods. London: Allyn and Bacon. Inc
Danim, Sudarwan. (2002). Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia.
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam, Analisa Hukum Islam Bidang Wakaf, (Jakarta. 1997/1998)
Jazuni, Hukum Islam di Indonesia, Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam dan penerapan,
(Jakarta: Hanya Press, 2006)
Noel

J Coulso, Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah ( The History of Islamic Law ),
diterjemahkan oleh Hamid Ahmad, cetakan pertama ( Jakarta : P3M, 1987 )

Sholeh Hayat dkk , Buku Panduan Wakaf Nahdlatul Ulama, Lajnah Auqof NU Jawa Timur 2002
Sudarsono, Heri. 2007. Bank dan Lembaga Keungan Syari’ah Deskripsi dan Ilustrasi. Yogyakarta:
Ekonisia.
Tamaddun, 2002, Bait Al Ashy, Rumah Wakaf Aceh di Tanah Suci Mekkah,
www.al-islam.or.id
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, cetakan keenam,
( Jakarta: LP3S, 1994)