Analisis Gender dalam Pergeseran Komposi

Analisis Gender dalam Pergeseran Komposisi Gender Mahasiswa Farmasi
Selasa (27/10) lalu menjadi hari spesial untuk Fakultas Farmasi UGM. Sebab, pada
hari itu Farmasi UGM merayakan Lustrumnya yang ke-14. Perayaan ini terbilang cukup
besar, terlihat dari banyaknya tamu yang diundang dari jajaran para pejabat kampus hingga
para alumni yang sudah melanglang buana di dunia perobatan Indonesia.
Dari daftar undangan alumni kala itu, tersaji fakta yang mengusik nalar untuk
diterima mentah-mentah. Sesuatu yang baru kami sadari bahwa telah terjadi pergesaran
komposisi gender pada mahasiswa fakultas farmasi beberapa tahun belakangan ini. Sepuluh
hingga dua puluh tahun yang lalu, perbandingan persentase antara mahasiswa berkelamin
laki-laki dan perempuan berimbang. Sementara mulai sejak tahun 2010-an, perbandingan
tersebut sedikit demi sedikit tergeser. Tercatat, mahasiswa baru tahun ajaran 2016 memilik
rasio anatara mahasiswa laki – laki dan perempuan adalah 1:8.
Fenomena itu tidak hanya terjadi di Farmasi UGM saja. Septimawanto Dwi Prasetyo,
M.Si., S.Farm., Apt., dosen Farmasi UGM, juga menjelaskan bahwa rata-rata fakultas farmasi
di beberapa wilayah Indonesia mengalami fenomena yang serupa. Hal itu mengundang rasa
penasaran berbagai pihak, termasuk mahasiswa farmasi sendiri maupun mahasiswa sosial lain
seperti dilihat dari kaca mata Ilmu Filsafat.
Akan tetapi, terjadi fenomena lain dalam ranah kerja ketika mahasiswa farmasi lulus.
Banyak posisi penting dalam dunia kerja farmasi yang banyak didonimasi oleh laki-laki.
Banyak posisi - posisi penting, seperti kepala laboratorium perusahan farmasi atau kepala
farmasi rumah sakit, biasanya adalah seorang laki-laki. Sementara mahasiswa perempuan

masih kalah peranan jabatannya di dunia kerja. Pertanyaan muncul dalam benak kita, kenapa
bisa demikian ?
Fakta Lapangan
Setelah dilakukan penelitian, beberapa fakta mulai menjawab pertanyaan yang
terlontar sebelumnya. Dengan mengambil sampel jumlah mahasiswa dari beberapa
universitas dengan kriteria memiliki program srudi farmasi tertua dan termuda. Sampel
tersebut diwakili dari universitas negeri serta swasta dengan lingkup Daerah Istimewa
Yogyakarta serta Jawa Tengah (Jateng). Dengan kriteria tersebut, ditentukanlah Universitas
Gadjah Mada (UGM) selaku universitasn egeri dengan jurusan farmasi tertua di YogyaJateng, bahkan di Indonesia. Yakni, sejak UGM berdiri pada 1949, Farmasi selaku program
studi sarjana telah ada. Kemudian, ada Universitas Sanata Dharma (USD) yang program studi
farmasinya telah ada sejak 1995 sebagai wakil yang tertua dari kriteria universitas swasta.
Untuk barisan yang termuda ada Universitas Soedirman (Unsoed) sebagai yang termuda dari
kalangan universitas negeri, tepatnya pada tahun 2005. Sementara Universitas Islam Sultan
Agung (Unissula) selaku yang termuda dari universitas swasta, yakni tahun 2012.

Universitas Islam Sultan Agung Semarang
100
80
60
40

20
0

2012 2013 2014 2015 2016

Tahun Angkatan
Laki - laki Perempuan

Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
120
100
80
60
40
20
0

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Tahun Angkatan

Laki - laki

Perempuan

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
160
140
120
100
80
60
40
20
0
19

95

20


00

20

05

20

06

20

07

20

08

20


09

20

10

20

11

20

12

20

13

20


14

20

15

20

16

Tahun Angkatan
Laki - laki

Perempuan

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
250
200
150
100

50
0
19

95

20

00

20

05

20

06

20


07

20

08

20

09

20

10

20

11

20


12

20

13

20

14

20

15

20

16

Tahun Angkatan
Laki - laki


Perempuan

Dari data di atas dapat kita lihat bahwa perbandingan antara laki-laki dan perempuan
yang menjadi mahasiswa program studi farmasi UGM dan USD pada tahun ajaran 1995
sampai 2000 tidaklah terlalu timpang. Pada tahun tersebut di UGM hanya berkisar 1:3;
sementara USD malah hanya 1:2 saja. Sampai tahun 2010, ketimpangan tersebut tidaklah
terlalu berubah. Angka perbandingan satu banding dua atau tiga masih banyak mewarnai
tahun-tahun tersebut. Hanya untuk di UGM sempat menyentuh angka 1:4 pada tahun 2008.
Baru pada tahun setelah 2010 tadi, ketika kenaikan di rasio ketimpangan di USD masih
berkisar satu banding dua atau tiga, terjadi peningkatan yang berarti pada ketimpangan
tersebut di UGM. Pada tahun 2011, ketimpangan yang terjadi di UGM mencapai angka 1:5,
bahkan melonjak menjadi 1:8 pada tahun 2012.
Rasio angka tersebut menurun kembali untuk yang UGM setelah tahun 2012,
walaupun masih diatas angka tiga. Yakni, rasio 1:4 pada 2013; 1:6 pada 2014; 1:5 berturut-

turut pada 2015 dan 2016. Untuk USD baru pada tahun 2015 dan 2016 mengalami kenaikan
ke angka 1:4 secara berurutan setelah sebelumnya konstan diangka maksimal di 1:3.
Unissula yang baru terbentuk pada 2012 itu, juga mengalami tren ketimpangan
tersebut. Walaupun ketika berdiri sempat di rasio yang terbilang kecil, yakni 1:2 pada 2012.

Namun, setelahnya mengalami peningkatan, yakni 1:6 pada 2013 dan 2014; serta 1:7 pada
tahun 2015. Peningkatan terparah pada 2016, yakni sampai mencapai 1:12. Sementara itu,
Unsoed juga sejak tahun 2012 mengalami kenaikan yang sigifikan, tetapi tidak separah
Unissula. Pada 2012 hanya di angka 1:2; kemudian pada 2013 dan 2014 setelahnya berturutturut naik dari 1:4 dan 1:7. Angka itu turun lagi menjadi 1:6 pada 2015. Dan kembali turun ke
rasio 1:4 pada 2016.
Lalu, kenapa hal tersebut bisa terjadi ?
Sylvie Utami Tunjung Pratiwi, M,Si., selaku sekretaris prodi farmasi program sarjana
UGM, menyebutkan bahwa farmasi yang dasarnya adalah kimia, memerlukan ketelitian.
Namun, ia tidak lantas memberi cap bahwa disini perempuan lebih teliti dari laki-laki. Sylvie
menjelaskan bahwa semua itu kembali pada personal masing-masing individunya. “Laki-laki
pun juga banyak yang teliti,” tuturnya.
Walaupun begitu, Sylvie, sebagai seorang dengan latar belakang mikrobiologi,
mengungkapkan bahwa secara biologis sebenarnya ada faktor yang mempengaruhi sifat dasar
manusia. Hormonnya laki-laki, menurutnya, yakni testosteron yang tinggi menyebabkan
dirinya menjadi kurang teliti. Laki-laki menjadi lebih terkesan macho atau pemberani,
sementara perempuan lebih pemalu.
Akan tetapi, Sylvie sekali lagi menekankan bahwa hal itu bisa dirubah tergantung
individunya. Jika ada seseorang laki-laki memang minat di bidang seperti farmasi, dalam
artian bersedia juga berkorban untuk belajar dengan teliti. Maka mitos bahwa laki-laki kurang
teliti pun juga akan runtuh dengan sendirinya.
Di sisi lain, faktor budaya pun juga memiliki pengaruh tersendiri. Sylvie pun juga
mengakui hal tersebut, walaupun tetap menekankan faktor individu yang lebih kuat. Wimbuh
Dumadi, S. Si., Apt., ketua Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) daerah Yogyakarta, juga
mengamini hal itu. “Seperti yang kita tahu, kita hidup dalam adat ketimuran, dimana lelaki
yang memberi nafkah pada istri, bukan sebaliknya,” tegas Wimbuh. Jadi dengan asumsi dasar
tersebut, Wimbuh menjelaskan bahwa pekerjaan farmasi yang dianggap lebih fleksibel lebih
cocok dengan perempuan. (Tentang ‘kenapa lebih fleksibel’ akan dijelaskan di bawah). Dan
hal itulah, menurutnya, yang mendasari kenapa yang memilih jurusan farmasi kebanyakan
adalah perempuan.

Apakah ada pertimbangan gender dalam memilih jurusan kuliah?

Ada; 48.57%

Tidak;
51.43%

Ada

Tidak

Padahal, dalam tingkat siswa SMA pandangan bahwa gender memengaruhi pemilihan
program studi tersebut belum terlalu tampak. Berdasarkan survey yang kami lakukan kepada
50 siswa yang baru saja lulus SMA tahun ini, dengan perbandingan 76% laki-laki, 24%
perempuan. Dari survey tersebut didapatkan bahwa hanya kurang dari separuh mereka yang
menyatakan bahwa gender mempengaruhi pemilihan progam studi kuliah, tepatnya 51%.
Sisanya, yakni 49%, tetap berpendapat ada pengaruh gender dalam pemilihan program studi
tersebut.

Menurut Anda, apakah ada pengaruh gender (jenis kelamin) terhadap pemilihan jurusan kuliah?
Tidak ada ;
26.00%

Ada; 74.00%

Ada Tidak ada

Menurut Anda, apakah benar ada persepsi gender pada suatu jurusan kuliah?
Tidak Ada;
23.00%

Ada; 77.00%

Ada Tidak Ada

Menurut Anda, apakah semua gender memiliki kesempatan yang sama dalam memilih jurusan kuliah?
Tidak Ada;
7.00%

Ada; 93.00%

Ada Tidak Ada

Menurut Anda, apakah semua gender memiliki kesempatan yang sama dalam memilih pekerjaan?
Tidak Ada;
23.00%

Ada; 77.00%

Ada Tidak Ada

Sebaliknya, data yang kami kumpulkan melalui survey terhadap 50 mahasiswa, yang
terdiri dari 50 mahasiswa UGM beserta 50 mahasiswa Non-UGM menunjukan hal yang
berlawanan. Dari responden yang terdiri dari 70% perempuan dan 30% laki-laki tersebut
mayoritas mengakui bahwa dalam mempertimbangkan pengambilan progam studi kuliah,
mereka dipengaruhi oleh pandangan gender. Dari 100 orang tadi, 77% dari mereka
mengatakan bahwa ada suatu persepsi gender dalam memandang sebuah program studi itu.
Walaupun mayoritas dari mereka, yakni 93% dari mereka mengakui bahwa tiap jenis kelamin
atau gender memiliki kesempatan yang sama dalam memilih atau mendaftar suatu program
studi. Bahkan, 77% dari mereka menganggap bahwa kesetaraan gender ini perlu juga
ditegakkan ketika mereka lulus dan memasuki dunia kerja.
Namun, entah itu dari siswa lulusan SMA ataupun mahasiswa. Mayoritas dari mereka
sama-sama berpendapat bahwa memang farmasi identik dengan jenis kelamin perempuan

atau lebih spesifik gender feminin. Termasuk ketika lulusan dari farmasi tersebut memasuki
dunia kerja.
Dalam dunia kerja, para lulusan farmasi bisa menjadi apoteker, dosen, atau bekerja di
industri farmasi. Kondisi dunia kerja farmasi juga hampir sama ketika di kampus-kampus,
yakni didominasi oleh perempuan. Seperti kata Wimbuh, “mayoritas lulusan lebih banyak
perempuan, sedangkan laki-lakinya ada namun presentasenya kecil.”
Menurut Wimbuh, untuk dunia kerja alasannya sedikit berbeda. Ia tidak menganggap
bahwa lelaki kurang teliti. Namun, ia lebih melihat bahwa pekerjaan di farmasi tidaklah
memerlukan energi ekstra yang digunakan, dalam artian ini kerja fisik. Jadi menurutnya di
farmasi tidaklah memerlukan banyak kerja fisik jika dibandingkan seperti pekerjaan di
bidang teknik. Sekalipun itu di industri farmasi. Dengan demikian, Wimbuh menyebut kerja
di farmasi lebih cocok untuk perempuan.
Wimbuh menambahkan alasan lain kenapa farmasi lebih cocok untuk perempuan,
yakni terbatasnya mobilitas perempuan dalam dunia kerja. Seperti dijelaskan sebelumnya,
Wimbuh menyebut bahwa kita hidup di adat ketimuran dimana laki-laki harus menafkahi
perempuan, tepatnya dalam hubungan suami istri. Laki-laki lebih memiliki fleksbilitas dalam
hal kerja dibanding perempuan. Semisal suami ABRI, kemudian dipindahtugaskan ke daerah
lain, maka otomatis istrinya mau tidak mau ikut. Sebaliknya, jika istri yang bekerja dan harus
dipindahtugaskan, maka prosesnya akan berbeda, bisa suami ikut pindah setelah dilakukan
negosiasi panjang. Namun, Wimbuh mengungkapkan bahwa biasanya sang istri yang tidak
jadi pindah, atau malah diminta mundur dari pekerjaannya. Hal itu pula yang menurutnya
membuat laki-laki lebih mudah naik jabatan dibanding perempuan.
Oleh karena itu, kerja di farmasi cocok dengan perempuan penganut adat ketimuran
tersebut. Karena farmasi kerja praktisi yang khusus persyaratannya, jadi dimanapun
persyaratannya sama dan selalu dibutuhkan. Bahkan, jika memiliki cukup modal bisa
membangun apotek sendiri. Hal itu menurut Wimbuh semakin mengukuhkan bahwa farmasi
cocok dengan perempuan
Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa pergeseran komposisi laki-laki dan
perempuan di program studi Farmasi memang benar terjadi adanya. Lebih jauh daripada itu,
sebenarnya stereotip bahwa program studi farmasi adalah identik dengan perempuan hal itu
benar adanya. Itu semua tampak dari data yang kita ambil sejak tahun 1995 tersebut,
ketimpangan antara jumlah proporsi lelaki dan perempuan sudah terjadi walau dalam jarak
yang sempit. Seiring berjalannya waktu malah ketimpangan itu semakin lebar terutama
setelah tahun 2010. Bahkan sampai diakui Tito Gumelar, mahasiswa Farmasi UGM 2013,
bahwa mahasiswa lelaki farmasi pun juga sebagian telah memilki sifat yang tergolong
feminim. Hal itu malah semakin mengarahkan bahwa pergeseran juga telah terjadi dalam
ranah gender dalam program studi farmasi.
Gender yang dimaskud disini yakni seperti penjelasan Ann Oakley dalam bukunya
Sex, Gender and Society (1972). Ia membedakan secara mendasar antara pengertian jenis
kelamin dan gender. Jenis kelamin menurutnya, lebih bersifat perbedaan secara biologis, atau
biasa disebut sebagai takdir Tuhan yang tidak dapat diubah. Sementara itu, gender merupakan

konstruksi sosial yang diciptakan oleh manusia melalui proses kurtular dan sosial yang
panjang. Jadi farmasi disini telah mendapat cap sebagai gender feminim atau yang secara
khusus diidentikkan dengan sifat-sifat keperempuanan.
Solusi
Dalam menghadapi permasalahan farmasi dan ketidaksetaraan gender ini dapat
terselesaikan jika melihatnya melalui kacamata feminisme, lebih tepatnya perspektif
feminsme marxis-sosialis. Feminisme, menurut Mansour Fakih, berarti sebuah gerakan yang
muncul sebagai respon atas ketertindasan dan pengeksploitasian perempuan. Dengan tujuan
untuk mengakhiri penindasan tersebut. Juga, untuk memperjuangkan kesamaan derajat,
martabat, serta kebebasan untuk mengontrol raga dan kehidupan, baik dalam maupun luar
rumah bagi perempuan. (Fakih, 2008)
Ada berbagai macam jenis cara yang ditempuh dalam feminisme ini, salah satunya
feminsme sosialis tadi. Berbeda dengan feminisme lainnya, feminisme ini menempuh jalan
perjuangan kesetaraan gender dari sudut pandang marxis. Yakni dengan melihat peran ganda
perempuan dalam dunia kapitalisme sekarang ini. Selain harus bekerja dalam dalam ranah
publik, semisal di pabrik atau perusahaan. Mereka juga harus mengerjakan pekerjaan rumah
tangga mereka sebagai seorang Ibu.
Kedua pekerjaan perempuan tersebut memiliki pandangan yang berbeda dalam dunia
industri sekarang ini. Kerja yang pertama, yang dikerjakan dalam pabrik dianggap sebagai
kerja produktif. Sementara kerja dalam rumah –memasak, membersihkan rumah,
mengandung serta mengasuh anak- dianggap sebagai pekerjaan non-produktif. Sehingga
hanya pekerjaan luar rumah tadi yang mendapat apresiasi, yakni berupa upah. (Tong, 1987:
155)
Pandangan semacam itu menurut Engels adalah salah. Faktor penentu dalam sejarah,
mneurutnya, adalah produksi dan reproduksi dari kehidupan yang paling dekat. Ada dua sisi,
pertama produksi alat untuk eksistensi, makanan, pakaian, dan rumah beserta alat-alat penting
unutk produksinya. Sisi lainnya, produksi manusia itu sendiri untuk kelangsungan hidup
spesies. Dengan demikian, pekerjaan rumah para perempuan tadipun juga sama-sama
termasuk kerja dalam istilah ‘produksi’. (Engels, 1884: 71-72)
Bahkan, ketika perempuan mulai memasuki industri publik, ia cenderung untuk
melakukan pekerjaan perempuan, seperi : mengajar, merawat, tugas adminstrasi, memasak,
menjahit, dan yang serupa lainnya. Lebih dari itu, sebagaimana dalam pekerjaan rumah
tangga, pekerjaan tadi juga tidak dihargai. Wujud dari tidak adanya penghargaan itu tampak
dalam masalah pengupahan. Perempuan dalam pekerjaan yang didominasi perempuan
mendapat upah lebih kecil dibanding laki-laki yang bekerja pada pekerjaan laki-laki.
Walaupun, jika perbedaan upah ini disesuaikan dengan faktor-faktor seperti persiapan
pendidikan, pengalaman kerja, atau komitmen terhadap pekerjaan. Setengah dari
ketimpangan upah tadi tetap tidak dapat dijelaskan.
Feminis marxis menawarkan gerakan yang disebutnya sebagai gerakan nilai setara.
Gerakan ini tidak saja memberi kesempatan kepada perempuan untuk mendapatkan upah

yang lebih baik. Namun, juga memaksa masyarakat untuk mempertimbangkan ulang
mengapa masyarakat membayar sebagian orang dengan upah yang sangat tinggi, dan
sebagian lainnya dengan upah yang sangat rendah. (Tong, 1987: 164-165)
Apa yang didesakkan oleh feminis marxis dengan “gerakan nilai setara”-nya kepada
para majikan, yakni dilakukannya evaluasi ulang pekerjanya secara objektif dengan fokus
pada empat komponen sebuah pekerjaan. (1) Pengetahuan dan keahlian, atau total jumlah
informasi serta keahlian yang diperlukan untuk melakukan suatu pekerjaan. (2) Tuntutan
mental, atau sejauh mana pekerjaan membutuhkan mengambil keputusan. (3)
Pertanggungjawaban, atau jumlah pengawasan yang dituntut dari pekerjaan itu. (4) Kondisi
kerja, atau seberapa amannya pekerjaan itu terhadap fisik pekerja.
Gerakan ini dicanangkan feminis marxis dengan dua alasan. Satu alasan berhubungan
dengan akses terhadap kemiskinan, yang lain berkaitan dengan akses terhadap nilai kerja.
Karena jika perempuan yang mempunyai upah dibayar sesuai dengan nilai kerjanya, maka
dia mungkin bisa menghidupi diri dan keluarganya secara layak tanpa dipaksa untuk
menggantungkan diri mereka kepada laki-laki sebagai sumber pendapatan tambahan.
Selain itu, gerakan ini pula menjadikan pekerjaan tradisional perempuan, atau
pekerjaan rumah tangga tadi, lebih dihargai sesuai nilai kerjanya. Dengan demikian,
pekerjaan tersebut juga akan mendapatkan upahnya sesuai nilainya tadi. Dampak lain dari
diakuinya pekerjaan tradisional perempuan ini akan menjadikan laki-laki tertarik kepadanya.
Sehingga pada akhirnya banyak juga laki-laki juga tertarik melakukan ‘pekerjaan
perempuan’. Pada akhirnya, secara perlahan-lahan adanya ‘gerakan nilai setara’ akan
menghapuskan pembagian kerja secara seksual di tempat kerja. (Tong, 1987: 166-167)
Satu hal yang belum dijelaksan, yakni bahwa gerakan itu dapat tercapai dengan suatu
pra-kondisi. Seperti telah disebutkan bahwa feminis marxis-sosialis menyerang peran ganda
perempuan. Atau malah disini bisa disebut subordinasi ganda dari perempuan. Yakni,
perempuan sebagai buruh dalam industri kapitalisme, dan perempuan sebagai gender
teropresi dalam budaya patriarkal.
Selain sistem kerja dalam kapitalisme yang membelenggu perempuan. Budaya
patriarki juga turut mengekangnya. Budaya patriarki yang dimaksud disini yakni budaya
mayoritas yang didominasi oleh laki-laki. Dari pembentuk, pelaksana, sampai pihak yang
diuntungkan disini ialah laki-laki. Sementara perempuan dipaksa untuk menyesuaikan dengan
budaya tersebut.
Alison Jaggar, seorang feminis sosialis, menuturkan bahwa budaya patriarki telah
membuat perempuan teralienasi sama seperti buruh pabrik kapitalis. Jika buruh teralienasi
menjadi seperti mesin pekerja semata, perempuan teralienasi menjadi sekedar objek bagi lakilaki belaka. Perempuan melakukan diet, latihan, berpakaian, berias, seakan-akan untuk
menyenangkan diri sendiri, tetapi pada kenyataannya yang mendapat kenikmatan malah lakilaki. Dalam budaya patriarki sedikit sekali memiliki hak bicara mengenai kapan, dimana,
bagaimana, atau oleh siapa tubuhnya digunakan. (Jaggar, 1983: 309-310)

Alienasi lebih lanjut, menurut Jaggar, terjadi dalam tataran motherhood. Perempuan
dialienasi dalam produk reproduksinya, tepatnya perempuan dikekang dalam memutuskan
berapa jumlah anak yang seharusnya ia kandung dan lahirkan. Jika menginginkan tenaga
produktif, perempuan dipaksa untuk melahirkan sebanyak mungkin anak. Sebaliknya, jika
anak dipandang sebagai beban ekonomi, perempuan dicegah untuk memiliki anak, bahkan
sampai dipaksa untuk melakukan aborsi dan sterilisasi. (Jaggar, 1983: 311)
Dalam kerja reproduksinya juga perempuan dialienasi. Perempuan dialienasi dalam
tahap mengandung serta mengasuh anaknya. Berkembangnya teknologi membuat ahli
kandungan memegang kendali selama proses mengandung dan mengasuh ini tadi. Hingga
akhirnya seorang Ibu akan teralienasi sendiri dari anaknya. Hal itu tampak ketika anaknya
tidak mampu lagi melihat dirinya sebagai seorang manusia, melainkan sebagai objek yang
melakukan terlalu sedikit atau terlalu banyak bagi mereka. (Jaggar, 1983: 315)
Jika sudah demikian, akhirnya perempuan, bagi Jaggar, telah teralienasi dari kapasitas
intelektualnya. Hal ini merupakan akumulasi setelah perempuan teralienasi dari tubuh dan
peran motherhood-nya. Ia merasa tidak yakin dengan dirinya sendiri, serta ragu untuk
mengungkapkan gagasannya kepada publik. Ia takut pandangannya tidak cukup layak untuk
untuk diungkapkan. Itu semua karena selama ini perempuan selalu di bawah bayang-bayang
laki-laki yang selalu menetapkan kerangka pemikiran dan wacananya. (Jaggar, 1983: 316)
Setelah perempuan memahami kondisi kultural yang mengopresi mereka ini,
dimungkinkan mereka untuk melawannya. Dengan demikian pra-konidisi untuk gerakan nilai
setara tadi telah lengkap. Yakni, dengan lenyapnya kapitalisme dan budaya patriarki.
Kembali kepada permasalahan kita, prespektif gerakan nilai setara ini bisa diterapkan
dalam kasus stereotip pada farmasi. Farmasi disini dipandang sebagai sebuah pekerjaan,
yakni seorang apoteker atau ahli kimia obat-obatan. Seperti dalam kajian feminis marxissosialis tadi, pekerjaan yang identik dengan perempuan tersebut dikonstruksi oleh budaya
patriarki juga dieksploitasi oleh sistem kapitalis.
Sederhananya, kerja-kerja farmasi diidentikan dengan kerja-kerja perempuan,
terutama dalam hal merawat dan mengobati. Kemudian peran ganda seorang perempuan yang
berkerja di bidang farmasi juga mempermudah opresi mereka dalam bidang kerja. Mereka
banyak bekerja terutama sebagai apoteker, walau juga ada yang bekerja di farmasi industri,
riset farmasi, dan juga sebagai dosen farmasi. Namun ada satu ciri khusus pada lulusan
perempuan farmasi tersebut.
Hal itu ada hubungannya dengan peran ganda tadi, karena menanggung peran
motherhood, perempuan teralienasi dari dirinya sendiri. Sebagai perempuan dan Ibu ia
dituntut untuk selalu bisa mengawasi dan dekat dengan keluarganya. Tidak seperti bidang
lainnya yang memerlukan tenaga dan waktu lebih banyak. Dengan bekerja di bidang farmasi
ia dianggap akan mendapat pekerjaan yang ringan.
Kondisi itu dimanfaatkan oleh kapitalisme dalam industri farmasi untuk
mengeksploitasi perempuan. Pekerja perempuan mendapat gaji rendah, dengan perhitungan
bahwa kerja mereka sangat terbatas. Tidak banyak perempuan yang bersedia bekerja seperti

laki-laki yang terjun di bidang farmasi. Perempuan biasanya mudah mengikuti kemana
suaminya pergi. Jika suaminya dipindah tugaskan ke kota lain, ia akan mudah untuk keluar
dari pekerjaannya tadi dan mencari apotek baru karena apotek di setiap tempat ada dan
dibutuhkan. Sebaliknya, jika ia yang harus diminta untuk pindah tugas ke tempat lain, ia akan
memilih untuk melepaskan pekerjaannya itu dengan alasan yang sama seperti sebelumnya.
Selain itu, jika laki-laki berani mengambil tugas shift malam, sebaliknya perempuan tidak
berani dengan alasan motherhood tadi. Dengan demikian laki-laki akan lebih mudah untuk
mendaki puncak industri farmasi. Terbukti dalam industri farmasi, banyak pemimpin
perusahaan yang tak lain adalah seorang laki-laki. Bahkan ada rahasia publik bahwa laki-laki
lebih mudah naik jabatan jika dibanding perempuan. Seperti yang diungkap Wimbuh di atas.
Oleh karena itu gerakan nilai setara pantas jika diterapkan dalam dunia farmasi.
Pertama-tama, ia harus melawan budaya patriarki untuk menghapus segala alienasi mereka
sebagai perempuan. Untuk selanjutnya, mereka harus melawan sistem kapitalisme industri
farmasi untuk memperbaiki kondisi kerja mereka. Sehingga, lelaki pun tahu bahwa farmasi
tidak hanya untuk perempuan saja. Sehingga pembagian kerja secara seksual hilang. Dengan
demikian stereotip farmasi yang identik dengan perempuan juga terhapuskan.

Referensi
Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Insist Press.
Jaggar Alison M. 1983. Feminist Politics and Human Nature. Lanham: Rowman &
Littlefield Publishers Inc.
Oakley, Ann. 1972. Sex, Gender and Society. London: Maurice Temple Smith Ltd.
Tong, Rosemarie. 1989. Feminist Thought. Boulder and San Fransisco: Westview Press.

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Komposisi Struktur Modal Pada PT Bank Syariah Mandiri (The Analysis of Capital Structure Composition at PT Bank Syariah Mandiri)

23 288 6

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

Diskriminasi Perempuan Muslim dalam Implementasi Civil Right Act 1964 di Amerika Serikat

3 55 15