Analisis Pola Konsumsi Remaja Yogyakarta

Analisis Pola Konsumsi Remaja Yogyakarta serta Dampaknya
terhadap Peningkatan Angka Penyalahgunaan Narkoba di
Yogyakarta dari Tinjauan Teori Masyarakat Konsumsi Jean
Baudrillard
Oleh : Abdul Hakam Najah, Izzaturrohmah Kusuma A., Sahlangtaratri Alifadani S.
Abstrak
Remaja Yogakarta terancam dengan budaya konsumsi yang semakin marak. Hal itu
didukung dengan semakin banyaknya mal-mal yang semakin menjamur di sudut
Yogyakarta. Di sisi lain, Yogyakarta juga menempati urutan pertama pengguna narkoba di
Indonesia, mengalahkan kota-kota besar lainnya. Lebih lanjut, mayoritas dari mereka adalah
remaja. Oleh karena itu, kami berniat meneliti keterkaitan antara pola konsumsi remaja
Yogyakarta dan pengaruhnya terhadap angka kenaikan pengguna narkoba di Yogyakarta.
Setelah melakukan penelitian dengan metode wawancara terhadap enam pasien
pengguna narkoba di Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta. Kami mendapat hasil bahwa
remaja Yogyakarta cenderung hidup dalam budaya konsumtif. Mereka hanya melihat simbol
dari konsumsi saja.
Hal itu juga berlaku terhadap konsumsi narkoba mereka. Narkoba dipandangnya
hanya sebagai simbol pengikat pertemanan. Jika tidak memakai mereka akan kehilangan
teman mereka. Dan begitulah hal tersebut menjadi menyebar di Yogyakarta.
Jean Baudrillard memandang hal itu sebagai sebuah simulacra dengan
menempatkan narkoba sebagai objek konsumsi. Remaja tadi tidak lagi mengenali mana citra

dan fakta dari narkoba. Akhirnya mereka mengenali narkoba sebagai citra saja, dan saat
itulah ia terjebak dalam hiperrealitas.
Kata kunci : Remaja, narkoba, Yogyakarta, konsumsi, Jean Baudrillard.

Pendahuluan
Yogyakarta yang dikenal dengan biaya hidup yang ramah bagi remaja,
khususnya mahasiswa, sekarang sedang terancam dengan menjamurnya mal-mal.
Dikutip dari tribunjogja.com, Hastangka, pengamat sosial perkotaan UGM,
menuturkan bahwa hal itu membuat budaya konsumsi di Yogyakarta meningkat.
"Meski itu harus ditunjukan dengan bukti kuantitatif data. Artinya apa? kita
bisa lihat dengan mobilitas masyarakat kita. Mobilitas masyarakat sangat tinggi
sekali di mal. Bisa kita lihat dengan jumlah lahan parkir, parkiran yang semakin
padat di mal, kemudian semakin penuh dan antri, orang mau masuk mal saja parkir

antri," ujarnya belum lama ini. Hal tersebut menurutnya mengindikasikan adanya
dampak sosial yang sangat signifikan, terkait dengan meningkatnya jiwa konsumtif,
atau konsumerisme di masyarakat.
Selain itu, menurutnya masalah yang paling besar adalah banyak kaum
intelektual di Yogya, baik pelajar dan mahasiswa sudah berubah orientasinya.
Mereka, menurut Hastangka orientasinya cenderung datang ke mal, daripada datang

ke perpustakaan, datang ke tempat-tempat ruang baca, mereka lebih menghabiskan
waktu hanya ke mal. Ini bisa menjadi masalah kedepannya terkait dampak sosial
bagi generasi muda. Terutama intelektualitas, karena bisa mempengaruhi dan
menurunnya minta baca pelajar dan mahasiswa dan ini menjadi persoalan.1
Di sisi lain, berdasarkan berita dari detik.com, Badan Narkotika Nasional
Provinsi (BNNP) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyatakan pengguna
narkoba di Yogyakarta menempati peringkat pertama di Indonesia. Kebanyakan para
pengguna narkoba adalah pelajar dan mahasiswa. Sementara pengedar narkoba
adalah residivis yang mendekam di LP. Menurut Kepala Bidang Pemberantasan
Narkoba BNNP DIY AKBP Mujiyana jumlah penduduk di DIY ada 3,6 juta.
Sebanyak 2,6 persen di antaranya pengguna narkoba
Yogyakarta diketahui menempati peringkat pertama pengguna narkoba,
setelah Badan

Narkotika

Nasional (BNN) dengan Universitas

Indonesia


melakukan penelitian pada akhir 2016 lalu. Dengan jumlah penduduk sedikit
dibandingkan provinsi lain, DIY menempati urutan pertama di atas Jakarta atau
Surabaya.Pengguna narkoba didominasi pelajar dan mahasiswa, dengan sabu-sabu
dan ganja paling banyak dikonsumsi
Menurut Kepala Bidang Pemberantasan Narkoba BNNP DIY AKBP
Mujiyana penyebab membeludaknya jumlah pengguna narkoba di Yogyakarta
karena banyak mahasiswa/pelajar kurang mendapat perhatian orangtuanya.
1 Dwi Nourma Handito, “Keberadaan Mal Picu Masyarakat Jogja Jadi Konsumtif”,
(http://jogja.tribunnews.com/2016/08/30/keberadaan-mal-picu-masyarakat-yogya-jadi-konsumtif ,
diakses pada 15 November 2017 pukul 18.17 WIB).

Sementara rata-rata mahasiswa yang belajar di Yogyakarta adalah masyarakat
kalangan mampu.2
Atas dasar hal tersebut, kami mencoba menindaklanjutinya dalam sebuah
penelitian sosial. Namun, bukan melihat korelasi peningkatan penggunaan narkoba
karena permasalahan hubungan dengan orang tua. Melainkan, kami melihat
hubungannya dengan pola konsumsi pelajar pengguna Narkoba tadi.
Mengenai arti dari konsumsi sendiri, kami merujuk Jean Baudrillad dalam
memaknai konsumsi di era kontemporer ini. Konsumsi tidak lagi diatur oleh
kebutuhan atau hasrat mendapat kenikmatan, namun oleh seperangkat hasrat untuk

mendapatkan kehormatan, prestise, status dan identitas melalui sebuah mekanisme
penandaan.3
Jadi apa yang akan kami teliti adalah hubungan kasat mata antara pola
konsumsi mahasiswa/pelajar Jogja dengan kenaikan pengguna narkoba di Jogja.
Permasalah itu kami pandang dari teori masyarakat konsumsi Jean Baudrillad.
Pola Konsumsi Mahasiswa/Pelajar Pengguna Narkoba Jogja
Kami mengambil sampel penelitian dari Rumah Sakit Grhasia. Di sana, kami
mewawancarai enam pasien pengguna narkoba yang sedang di rehabilitasi. Kesemua
pasien yang kami wawancara, memenuhi kriteria yang kami cari. Yaitu, dia sedang
dalam usia remaja, menempuh pendidikan SMA/perguruan tinggi, serta pengguna
narkoba.
Pertanyaan yang kami ajukan berada seputar pemasukan yang dia dapatkan,
untuk apa saja ia menghabiskan uang sakunya, kesesuaian antara pemasukan dan
pengeluaran, hubungan dengan orang tuanya, serta alasan ia menggunakan narkoba.
Hasil ringkasnya akan kami tampilkan pada tabel berikut ini :
Tabel 1

2 Usman Hadi, “Awas! Yogyakarta Urutan Pertama Pengguna Narkoba Terbanyak“,
(https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-3550865/awas-yogyakarta-urutan-pertama-penggunanarkoba-terbanyak , diakses pada 27 Oktober 2017 pukul 20.37 WIB).
3 Baudrillard, Consumer Society, 1970


Dari tabel di atas, kita dapat melihat bagaimana pola konsumsi dari
pelajjar/mahasiswa pengguna narkoba.
Keenam responden yang kami wawancarai mendapatkan pemasukan tiap
bulannya dari orang tua mereka. Rata-rata mereka mendapat pemasukan sebesar Rp
500.000,- sampai Rp 1.500.000,- per bulannya. Hanya satu orang yang mendapat
pemasukan di atas satu setengah juta.
Dari pemasukan itu, setengah dari responden merasa tidak cukup dengan
pemasukan jika dibanding dengan pengeluarannya. Hal itu karena kebutuhan mereka
tidak hanya pada hal-hal yang menjadi kebutuhan utama mereka saja sebagai
mahasiswa. Mereka banyak menghabiskan pada hal-hal lain di luar kebutuhan
utama, seperti rokok, modif motor, futsal, serta narkoba yang mereka konsumsi.
Semisal RAA (21), sebagai mahasiswa ia juga rutin melakukan futsal
bersama teman-temannya. Ia bisa menghabiskan sekitar 200 ribu sebulannya untuk
futsal. Awal ia mulai menggunakan narkoba juga karena teman-teman satu tim

futsalnya menawari dia. Teman-temannya mengatakan bahwa permainannya lebih
bagus setelah memakai narkoba. Akhirnya, sampai sebelum direhabilitasi ia rutin
memakai narkoba ketika futsal.
Berbeda dengan RAA, AWW (20) menyatakan sudah memakai narkoba

sejak kelas dua SMP. Awalnya, ia hanya minum minuman keras sejak kelas lima SD.
Lalu, sejak SMP ia mulai diajak temannya untuk memakai narkoba. Sampai sebelum
rehabilitasi, ia rutin mengkonsumsi narkoba ditemani miras.
Selain dua hal itu, ia juga mempunya hobi memodifikasi motor. Dana yang
sudah ia habiskan untuk hobinya itu sudah tidak bisa hitung lagi. Setiap mengganti
salah bagian motornya ia harus merogoh kocek lebih dari seratus ribu. Dengan
demikian, ia selalu merasa kekurangan tiap bulannya walau sudah mendapat uang
saku.
Begitu juga dengan yang dialami MRH (25), ia menghabiskan dana banyak
untuk motornya. Jika AWW menggemari berbagai jenis motor, MRH lebih spesifik
pada vespa klasik. Biaya perawatannya pun tidak murah, malah kadang ia
melakukan tukar tambah vespa. Hal itu ditambah dengan pemakaian rutin
narkobanya. Ia juga sama seperti RAA, rutin bermain futsal. Ia pun merasa
keberatan menanggung biaya untuk berbagai kebutuhannya itu.
Satu hal yang sama-sama mereka nikmati ketika mengalami kekurangan
uang itu adalah kesempatan untuk meminta tambahan pada orang tua mereka. Jika
uang saku mereka habis, mereka bisa meminta uang tambahan untuk menutupi
kebutuhan mereka itu.
Tiga orang lainnya, yakni RE (22), MM (22), dan FRA (25), walaupun
seringnya merasa cukup dengan uang saku mereka. Namun, mereka menyatakan jika

ada kondisi yang membuat mereka kekurangan juga akhirnya meminta lagi uang
tambahan pada orang tua mereka. Hal itu seperti yang dituturkan MM, “Kalau
kurang ya minta lagi orang tua.”

Bahkan, AWW menyatakan bahwa ia pernah menjual motornya ketika dalam
kondisi kekurang semacam ini. Walaupun, pada akhirnya ia dibelikan motor lagi
oleh orang tuanya setelah meminta.
Dua orang yang merasa sudah cukup dengan uang saku mereka, yakni RE
dan FRA, kebanyakan karena kebutuhan mereka yang tidak terlalu banyak.
Kebutuhan yang memberatkan hanya futsal serta narkoba. Hal itu berbeda dengan
MM yang juga merasa cukup dengan uang sakunya. Namun, itu karena memang
uang saku yang diberikan orang tuanya terbilang banyak, yakni berkisar Rp
1.500.000,- sampai Rp 3.000.000,-.
Alasan Mengkonsumsi Narkoba
Dari keenam pengguna narkoba, ketika ditanya alasan untuk menggunakan
narkoba, mereka memiliki jawaban yang berbeda-beda. Ada yang karena untuk
fokus ketika futsal, seperti RAA. Untuk lebih menghayati ketika bermusik seperti
MRH. Untuk menghilangkan stres seperti FRA. Bahkan, ada juga untuk
meningkatkan rasa percaya diri terhadap kekasihnya, seperti MM.
Akan tetapi, alasan yang paling umum adalah karena faktor pergaulan

mereka. Semua responden mengaku pada awalnya mereka diajak teman untuk
memakai narkoba. Namun, pada waktu setelahnya mereka memanfaatkannya untuk
hal lain seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Narkoba disini sebagai semacam tanda kehormatan dalam pertemanan.
Walau tidak ada paksaan, tapi narkoba membuat mereka menjadi semakin dekat
dengan temannya. Seperti penuturan AWW, “Teman-teman saya bilang kalau ada
teman lain yang tidak mau pakai, dia tidak keren.”
Sekilas Pandangan Baudrillad tentang Masyarakat Konsumer
Jean Baudrillard dilahirkan di kota Reims, Perancis Barat, pada 5 Januari
1929. Ia merupakan penganut dan kritikus tajam pemikiran Marx. Secara jelas ia

mengkritik pemikiran marx terkait nilai-guna (use-value) dan nilai-tukar (exchagevalue). Ia mencoba menggabungkan pemikiran Marx dengan strukturalisme Prancis.
Ia meminjam dan mempergunakan beberapa istilah stukturalisme dalam pemikiranya.
Disamping itu juga Baudrillard mengambil alih pemikiran Barthes mengenai
semiologi.
Dalam bukunya yang berjudul The System of Object (1969) yang sangat
dipengaruhi oleh Roland Barthes, ia menyatakan bahwa kejayaaan era kapitalisme
lanjut, mengubah mode of production menjadi mode of consumtion.4 Konsumsi inilah
yang kemudian mejadikan seluruh aspek kehidupan tak lebih sebagai objek, yakni
objek konsumsi yang berupa komoditi. Sistem objek sendiri merupakan sebuah

sistem klasifikasi yang membentuk makna dalam kehdupan kapitalisme lanjut.
melalui objek-objek atau komditi-komoditi itulah seseorang dalam masyarakat
konsumer menemukan makna dan eksistensi dirinya.
Fungsi utama objek konsumsi bukanlah pada kegunaan atau manfaatnya,
melainkan lebih pada fungsi sebagai nilai-tanda atau nilai-simbol yang disebarluaskan
melalui iklan-iklan gaya hidup berbagai media. 5 Apa yang kita beli tidak lebih dari
upaya untuk mengkonsumsi nilai simbol dan nilai tanda. Dimana didalamnya
terdapat, tema tentang gaya hidup tertentu, kelas dan prestise tertentu. Dengan kata
lain objek-objek konsumsi kini telah menjelma menjadi seperangkat sistem klasifikasi
status, prestise bahkan tingkah laku masyarakat.
Lebih jauh dalam bukunya yang berjudul Consumer Society (1970),
Baudrillad mengembangkan gagasannya lebih jauh tentang masyarakat konsumer.
Menurutnya dalam masyarakat konsumer, konsumsi tidak lagi diatur oleh kebutuhan
atau hasrat mendapat kenikmatan, namun oleh seperangkat hasrat untuk mendapatkan
kehormatan, prestise, status dan identitas melalui sebuah mekanisme penandaan.
Dalam masyarakat konsumer, tanda adalah cerminan aktualisasi diri individu paling

4 Bertens, The Idea of The Postmodern, 1995, hlm. 146
5 Baudrillard, The System of Object, 1969, hlm. 19


meyakinkan. Melalui kedua buku ini Baudrillard dengan tegas menolak prinsip nilai
guna dan nilai tukar.6
Tahun 1983, karya utama dari Baudrillard diterbitkan, sebuah buku berjudul
Simulations. Dalam buku tersebut, ia menyatakan kebudayaan barat dewasa ini
adalah sebuah representasi dari dunia simulasi, yakni dunia yang terbentuk dari
hubungan berbagai tanda dan kode secara acak, tanpa referensi relasional yang jelas.
Hubungan ini melibatkan tanda (real) sebagai fakta yang tercipata melalui proses
produksi, serta tanda (citra) yang tercipata melalui proses reproduksi. Proses
reproduksi yang dimaksud adalah dengan teknologi informasi, komunikasi dan
industri pengetahuan, yang kesemuanya itu telah memainkan peranan untuk
membentuk tanda dan citra hampir diseluruh proses komunikasi manusia.7
Dalam kebudayaan simulasi, baik citra dan fakta saling menumpuk dan
berjalin kelindan membentuk kesatuan. Sehingga tidak dapat dikenali lagi mana yang
asli, yang real, dan mana yang palsu, yang semu. Semuanya menjadi bagian realitas
yang dijalankan dan dihidupi masyarakat barat dewasa ini. kesatuan inilah yang
disebut Baurillard sebagai simulacra atau simulacrum. Suatu dunia yang terbangun
dari sengkarut nilai, fakta, tanda, citra dan kode. Realitas tidak punya referensi
kecuali simulacra itu sendiri.8
Tahun 1989 terbit karyanya yang berjudul Simulacra and Simulacrum. Yang
merupakan kelanjutan dari pemikiranya. Dalam bukunya ini ia melahirkan gagasan

baru tentang hiperrealitas. Menurutnya, realitas baru yang dihasilkan dari bebagai
teknologi baru mampu mengalahkan realitas yang sesungguhnya dan menjadi model
acuan yang baru bagi masyarakat. Citra lebih meyakinkan ketimbang fakta dan
mimpi lebih dipercaya ketimbang kenyataan sehari-hari. Inilah dunia hiperrealitas,
suatu realitas yang lebih nyata dari yang nyata, semu dan meledak-ledak. 9

6 Baudrillard, Consumer Society, 1970
7 Baudriilard, Simulation, 1983
8 Ibid
9 Baudrillard, Simulacra and Simulacrum, 1989

Misalnya tokoh-tokoh seperti yang terdapat dalam Disneyland. Semuanya
merupakan citra-citra buatan. Sehingga dapat kita temui suatu realitas tanpa
referensi, namun nampak seolah-oleh lebih dekat dan nyata ketimbang keberadaan
dari orang-orang disekitar kita. Kemudian, Baudrillard secara tidak langsung
mengucapkan selamat datang pada era dimana model-model realitas tanpa asal-usul
dan referensi. Yang nyata disini tidak hanya akan direproduksi, namun selalu dan
selalu akan direproduksi.
Analisis
Pandangan Baudrillard tentang konsumsi tadi menjadi landasan kami
mengidentifikasi hubungan kenaikan remaja pengguna narkoba di Yogyakarta
dengan pola konsumsi mereka.
Narkoba jika diidentifikasi dari teori Baudrillard, dapat ditarik dengan definisi
objek konsumsi yang telah dirumuskannya. Objek konsumsi, menurut Baudrillard,
tidak dilihat dari kegunaan dan manfaatnya, melainkan sebagai nilai-tanda atau nilaisimbol tentang gaya hidup tertentu, kelas dan prestise tertentu. Dengan kata lain,
objek-objek konsumsi kini telah menjelma menjadi seperangkat sistem klasifikasi
status, prestise bahkan tingkah laku masyarakat. 10
Hal itu sejalan dengan pandangan keenam responden tentang narkoba. Mereka
menganggap narkoba sebagai sebuah penanda sosial yang mengikatnya dengan
teman-temannya. Mereka mulai menggunakan narkoba dari tawaran temannya. Walau
tawaran itu tidak dengan paksaan, tapi hal itu menjadi penanda kedekatan pertemanan
mereka.
Berdasarkan keterengan mereka, jika mereka tidak memakai narkoba, mereka
menyadari bahwa tidak mungkin bisa bersama teman-teman dekat mereka sekarang.
Sebab, narkobalah yang mengawali kedekatan mereka. Memori tentang saling
berbagi narkoba, iuran untuk membeli narkoba, sampai saat-saat bersama kehabisan
narkoba menjadi rutinitas mereka selama beberapa tahun.
10 Op.Cit, 1969, hlm. 19

Lalu bagaimana bisa hal itu berkembang ?
Lingkaran pengguna narkoba menyebar seperti gaya hidup populer lain.
Gambaran singkatnya bisa kami tampilkan seperti berikut ini. Lingkaran pertemanan
1 (LT1) belum terkena narkoba sama sekali, lalu lingkaran pertemanan 2 (LT2) sudah
terkena semua. Salah satu orang dari LT1 memiliki teman dari LT2. Orang dari LT2
menawarkan narkoba pada orang dari LT1. Orang dari LT1 tidak dipaksa untuk
menggunakan narkoba, tapi untuk menjaga kedekatan pertemanan dengan orang LT2,
ia harus menerimanya terlebih dahulu. Lalu, penawaran ini berulang sampai akhirnya
zat adiktif dalam narkoba bekerja pada orang LT1. Akhirnya, orang LT1 pun menjadi
pengguna aktif narkoba.
Orang LT1 tadi karena telah merasakan kenyamanan dari narkoba, ingin
membagi kenyamanan itu pada salah satu temannya di LT1 lainnya. Lalu proses yang
terjadi sebelumnya pun terulang pada teman itu. Kemudian, penyebaran itu menjalar
ke seluruh LT1. Ketika ada salah satu orang yang menolak menggunakan dari LT1, ia
tidak dimusuhi. Namun, akhirnya ia menyingkir secara perlahan dari LT1. Hal itu
karena intensitas pertemuan antara yang memakai narkoba dengan yang tidak
memakai akan berbeda. Teman-teman yang memakai narkoba akan selalu berkumpul
untuk memakai bersama. Teman yang tidak memakai narkoba, tidak mungkin hadir
dalam pertemuan itu. Maka dari itu, ia merasa kedekatan dengan lingkarannya
semakin berkurang.
Proses seperti itulah yang terjadi pada penyebaran narkoba. Dari lingkaran
pertemanan satu menyebar ke lingkaran pertemanan lain. Akhirnya, semakin lama
semakin besar. Maka, wajar jika angka pengguna narkoba tiap tahunnya bertambah.
Hal itu selaras dengan gambaran Baudrillard tentang simulacra. Simulacra
dideskripsikan Baudrillard sebagai saling tumpuknya antara citra dan fakta sehingga
tidak bisa dibedakan lagi mana yang nyata dan palsu di antara keduanya. 11 Narkoba
posisinya menjadi simulacra dalam lingkaran pengguna narkoba tadi. Mereka tidak
bisa membedakan lagi mana yang menjadi citra dan fakta narkoba. Citra yang
11 Op.Cit., 1983

dimaksud adalah simbol menuju kedekatan pertemanan tadi. Sementara, faktanya
adalah barang yang membuat kecanduan dan menghabiskan banyak uang.
Akhirnya, mereka terjebak dalam hiperrealitas seperti gambaran Baudrillard.
Hiperrealitas digambarkan olehnya sebagai kondisi dimana citralah yang menjadi
acuan seseorang untuk dipercaya. Sebab, citra dianggap lebih nyata dari yang nyata. 12
Narkoba menjadi realitas dari orang-orang dalam lingkaran pengguna narkoba. Citra
narkoba lebih nyata dibanding fakta narkoba yang saya sebut sebelumnya.
Satu pelajaran yang kami dapat ketika wawancara dengan salah satu petugas
yang menangani pasien pengguna narkoba yaitu, “Pengguna narkoba tidak bisa
sembuh dari narkoba, mereka hanya bisa dihentikan kecanduannya.” Selama narkoba
masih ada di dunia, pengguna akan selalu ada. Lalu, lingkaran penggunanya akan
terus melebar.
Kesimpulan
Perilaku konsumsi pelajar Yogyakarta berada dalam posisi yang tumbuh
perlahan, namun tidak akan pernah berhenti. Dari data responden yang kami
wawancari, lebih banyak memandang berbagai hal secara simbolik atau dilihat dari
tren dan gaya hidup yang berkembang sekarang.
Hal itu juga berlaku dalam penggunaan narkoba. Narkoba dilihat sebagai
simbol kedekatan pertemanan di antara mereka. Jika tidak memakai mereka akan
kehilangan teman mereka. Konsekuensi itu tidak adil secara sosial dan psikologis.
Dari pandangan Jean Baudrillad, narkoba menjadi objek konsumsi yang hanya
dilihat citranya saja. Ia menjadi simulacra yang tidak bisa mereka bedakan mana
yang nyata dan palsu. Akhirnya, mereka terjebak dalam hiperrealitas yang melihat
narkoba sebagai citranya saja. Mereka tidak melihat fakta narkoba yang membuat
kecanduan serta menghabiskan banyak ongkos untuk membelinya.

12 Op.Cit., 1989

Dengan demikian, pengguna narkoba menjadi semakin marak di Yogyakarta.
Hal itu karena lingkaran pertemanan narkoba akan terus tercipta karena proses
penyebaran mengambil posisi psikologis pada kondisi pertemanannya. Mereka ingin
diterima oleh temannya, jika tidak mereka akan kehilangan temannya tanpa
disadarinya.
Daftar Pustaka
Baudrillard, Jean. 1983. Simulations. New York : Semiotext(e)
--------------------. 1994. Simulacra and Simulacrum. Ann Arbor : The University of
Michigan Press
--------------------. 1996. System of Objects. London:Verso.
--------------------. 1998. The Consumer Society. Paris : Gallimard.
Bertens, Hans. 1995. The Idea of the Posmodern : A Histoy. London : Routledge.
Hadi, Usman. 2017. Awas Yogyakarta Urutan Pertama Pengguna Narkoba
Terbanyak. Diakses pada 26 Oktober 2017. Tersedia pada
https://m.detik.com/news/berita-jawa-tengah/d-3550865.
Handito, Dwi N. 2017. Keberadaan Mal Picu Masyarakat Jogja Jadi Konsumtif.
Diakses pada 15 November 2017 pukul 18.17. Tersedia pada
http://jogja.tribunnews.com/2016/08/30/keberadaan-mal-picu-masyarakatyogya-jadi-konsumtif.

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Komposisi Struktur Modal Pada PT Bank Syariah Mandiri (The Analysis of Capital Structure Composition at PT Bank Syariah Mandiri)

23 288 6

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Hubungan Antara Kepercayaan Diri DenganMotivasi Berprestasi Remaja Panti Asuhan

17 116 2

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63