BAB II MENGHINDARI TERJADINYA KONFLIK ANTARA PIHAK YANG BERHAK ATAS TANAH DENGAN PIHAK YANG MEMERLUKAN TANAH DALAM PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM A. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Di Indonesia 1. Pengertian Pengadaan Tanah untu
BAB II MENGHINDARI TERJADINYA KONFLIK ANTARA PIHAK YANG BERHAK ATAS TANAH DENGAN PIHAK YANG MEMERLUKAN TANAH DALAM PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM A. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Di Indonesia
1. Pengertian Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
Secara garis besar dikenal ada 2 (dua) jenis pengadaan tanah, pertama pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan untuk kepentingan swasta.
Pengadaan tanah untuk kepentingan swasta sangat berbeda dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, baik secara peruntukannya maupun dari segi kemanfaatannya, serta tata cara perolehan atas tanahnya. Hal tersebut dikarenakan kepentingan swasta bertujuan untuk memperoleh keuntungan (komersil), peruntukan dan kemanfaatannya hanya dinikmati oleh pihak-pihak tertentu bukan masyarakat luas, tetapi sebaliknya pengadaan tanah baik peruntukan dan kemanfaatannya ditujukan untuk kepentingan umum.
Menurut Pasal 1 angka (1) Keppres 55/1993 mendefinisikan pengadaan tanah sebagai kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada pihak yang berhak atas tanah tersebut. Artinya, pengadaan tanah dilakukan dengan cara memberikan ganti kerugian kepada pihak yang berhak atas tanah tersebut, tidak dengan cara lain selain pemberian ganti kerugian. Definisi tersebut juga sangat umum bahwa siapa saja yang hendak
24
37 mendapatkan tanah dapat dikategorikan dalam pengadaan tanah.
Menurut Pasal 1 angka (3) Perpres 36/2005 mengartikan pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.
Artinya pengadaan tanah dapat dilakukan selain dengan memberikan ganti kerugian, juga dimungkinkan dilakukan dengan cara pelepasan hak dan pencabutan hak atas tanah. Kemudian setelah Perpres 36/2005 diubah oleh Perpres 65/2006, cara pengadaan tanah lewat pencabutan hak atas tanah sudah tidak dicantumkan lagi dalam Perpres 65/2006 tersebut. Menurut Pasal 1 angka (3) Perpres 65/2006 Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU 2/2012, pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat disimpulkan dengan berlakunya ketentuan terbaru tersebut dalam pengadaan tanah tidak ada lagi istilah “pencabutan hak atas tanah”. Hal ini berarti tidak ada lagi unsur-unsur pemaksaan kehendak untuk dilakukannya pencabutan hak atas tanah terhadap tanah yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. 37 Mohammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Pencabutan Hak, Pembebasan dan Pengadaan Tanah , (Bandung: Mandar Maju, cetakan 1, 2011), hal. 56.
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum merupakan salah satu manifestasi dari fungsi sosial hak atas tanah, pengadaan tanah dipandang sebagai langkah awal dari pelaksanaan pembangunan yang merata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat atau masyarakat itu sendiri.
Pengadaan tanah bagi kepentingan umum hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dari pemegang hak atas tanah mengenai dasar dan bentuk ganti rugi yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah itu sendiri. Karena merupakan perbuatan pemerintah untuk memperoleh tanah pada prinsipnya pengadaan tanah dilakukan dengan cara musyawarah antara pihak yang memerlukan tanah dan pemegang hak atas tanah yang tanahnya diperlukan untuk kegiatan pembangunan
38 untuk kepentingan umum.
Sehingga secara sederhana dapat dipahami bahwa pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum itu diartikan sebagai kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan maupun yang menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda- benda yang berkaitan dengan tanah, untuk digunakan bagi kepentingan umum.
Tujuan pengadaan tanah menurut Pasal 3 UU 2/2012, yaitu untuk menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak.
38 Lieke Lianadevi Tukgali, Fungsi Sosial Hak Atas Tanah Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum , Cetakan Pertama, (Jakarta: Kertas Putih Communication, 2010), hal 2.
2. Tinjauan Aspek Kepentingan Umum
Istilah kepentingan umum merupakan suatu konsep yang sifatnya begitu umum dan belum ada penjelasan secara lebih spesifik dan terinci untuk
39 operasionalnya sesuai dengan makna yang terkandung di dalam istilah tersebut.
Secara etimologis, kepentingan umum terdiri dari dua kata yaitu kepentingan dan
40
umum. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia , kata kepentingan berasal dari kata dasar “penting” yang berarti amat perlu, amat utama, sangat berharga, dan kata “kepentingan” mengandung arti keperluan, sesuatu yang penting. Sedangkan kata “umum” mempunyai arti keseluruhan, sekaliannya, untuk siapa saja, khalayak manusia, masyarakat luas. Walaupun secara etimologis pengertian tersebut diatas tersebut dapat dipahami menurut ilmu bahasa tersebut tetapi belum dapat dijadikan sebagai pengertian yuridis dari “kepentingan umum”.
Menurut Mertokusumo kepentingan umum menyangkut kepentingan bangsa dan negara, pelayanan umum dalam masyarakat luas, rakyat banyak dan
41
atau pembangunan. Tidak jauh berbeda dengan pendapat Mertokusumo, John Salindeho mendefenisikan kepentingan umum sebagai kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat atas dasar asas-asas pembangunan
42 nasional dengan mengindahkan ketahanan nasional serta wawasan nusantara.
Jan Gijssel sebagaimana dikutip Gunanegara berpendapat bahwa “kepentingan umum tidak mudah dirumuskan, karena kepentingan umum itu 39 A.A.O.K. Mahendra, Menguak Masalah Hukum Demokrasi dan Pertanahan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal 279. 40 41 Poerwadarminta, W.J.S., Op.Cit., hal. 600. 42 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hal 45.
John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Cetakan Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 1998), hal 40. merupakan pengertian yang kabur (vage begriff) sehingga tidak mungkin diinstitusionalisasikan ke dalam suatu norma hukum, yang apabila dipaksakan
43 akibatnya akan menjadi norma kabur (vage normen).
Pasal 18 UUPA menyatakan bahwa: “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang- undang”.
Dalam penjelasan Pasal 18 UUPA menjelaskan kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak menurut cara yang diatur undang-undang. Dimana kemudian Pasal 18 UUPA tersebut yang melatarbelakangi lahirnya UU 20/1961.
Setelah berlakunya UU 2/2012, pengertian kepentingan umum tersebut lebih tegas sebagaimana ditegaskan lebih lanjut pada Pasal 1 angka (6) UU No.2/2012 jo. Perpres No.71/2012, yaitu kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, negara dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Lingkup kegiatan
44
pembangunan untuk kepentingan umum menurut undang-undang ini meliputi: pertahanan dan keamanan nasional; jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api; waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya; pelabuhan, bandar udara, dan terminal; 43 Gunanegara, Rakyat Dan Negara Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, (Jakarta: Tata Nusa, 2008), hal 11. 44 Pasal 10 UU 2/2012 infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi; pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik; jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah; tempat pembuangan dan pengolahan sampah; rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah; fasilitas keselamatan umum; tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah; fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik; cagar alam dan cagar budaya; kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa; penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa; prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah; prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan pasar umum dan lapangan parkir umum.
Lingkup kegiatan kepentingan umum yang terdapat dalam UU 2/2012 tersebut di atas cakupannya sangat luas dikarenakan semakin banyaknya kebutuhan pembangunan yang akan dilaksanakan pemerintah kedepannya, sebagai konsekuensinya adalah makin banyak juga tanah yang dibutuhkan untuk melaksanakan pembangunan tersebut.
Sehingga sebagai pemilik tanah yang tanahnya menjadi objek lokasi pembangunan terkadang diperhadapkan kepada dilema yaitu apakah harus mengutamakan kepentingan individu disatu sisi sebagai pemilik tanah yang sah yang dilindungi hukum dan di sisi lain harus berkorban demi kepentingan umum.
Alasan untuk digunakan bagi kepentingan umum itu acapkali adalah alasan pembenar yang dirasakan warga masyarakat sehingga menyerahkan tanahnya untuk digunakan bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Oleh karena itu, kepentingan umum dapat dikatakan sebagai kepentingan umum bila peruntukan dan manfaatnya dirasakan benar-benar oleh masyarakat secara keseluruhan atau secara langsung, termasuk oleh pemilik tanah sebelumnya, dimana kemudian kegiatan pembangunannya dilakukan dan dimiliki oleh pemerintah dan tidak digunakan untuk tujuan mencari keuntungan semata atau tidak bersifat komersil. Contoh kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum antara lain pembangunan jalan umum, jembatan layang, rumah sakit umum, saluran pembuangan air, tempat pemakaman umum dan lain-lain.
3. Regulasi Pengadaan Tanah di Indonesia
Kebijakan pengaturan mengenai pengadaan tanah di Indonesia telah mengalami proses perkembangan sejak unifikasi UUPA No. 5/1960. Diawali dengan diundangkannya UU 20/1961 yang mengatur tentang pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya. UU 20/1961 ini merupakan instruksi Pasal 18 UUPA No. 5/1960 untuk segera menerbitkan undang-undang tentang pencabutan hak atas tanah. Penggunaan UU 20/1961 dilakukan jika tanah yang bersangkutan diperlukan untuk menyelenggarakan kepentingan umum, dan tidak dimungkinkan menggunakan tanah yang lain, sedangkan musyawarah yang dilakukan tidak berhasil mencapai kesepakatan, dapat dilaksanakan pengambilan secara paksa, dalam arti tidak memerlukan persetujuan pemegang haknya.
Dalam praktek, penggunaan UU 20/1961 jarang sekali dilaksanakan disebabkan lamanya proses untuk mendapatkan tanah tersebut dan untuk
45
menghindari tindakan-tindakan yang bersifat memaksa . Dalam sejarahnya, pencabutan hak dengan menggunakan UU 20/1961 tersebut hanya sekali dilakukan, yaitu melalui Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 1970 tanggal 6 Januari 1970 atas daerah di Kecamatan Taman Sari atau disebut juga komplek
46 Yen Pin.
Selanjutnya, pada tahun 1975 diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah (untuk selanjutnya disebut “PMDN 15/1975”). Keberadaan PMDN 15/1975 ini sejak semula sudah diperdebatkan keabsahannya karena secara yuridis tidak mempunyai kekuatan hukum eksekutorial untuk dipaksakan kepada warga masyarakat, akibatnya pembebasan tanah yang dilakukan dengan cara penggusuran-penggusuran adalah batal demi hukum dan pihak warga masyarakat yang terkena pembebasan dapat menuntut ganti kerugian melalui
47 Pengadilan perdata.
Sehingga, akhirnya pada tanggal 17 Juni 1993 ditetapkan berlakunya Keppres 55/1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dengan pertumbuhan pembangunan yang semakin meningkat, Keppres 55/1993 ternyata sudah tidak dapat lagi dipakai sebagai aturan hukum yang memadai untuk mengakomodir dengan baik pengadaan tanah untuk kepentingan umum pada saat itu, akhirnya Presiden menerbitkan Perpres
45 Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan , Cet. Kedua. (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal 60. 46 A.P. Parlindungan, Pencabutan Dan Pembebasan Hak Atas Tanah Suatu Studi Perbandingan , (Bandung: Mandar Maju, 1993), hal 32. 47 Syafruddin Kalo, Op.Cit., hal 39.
36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
48 Kepentingan Umum.
Diterbitkannya Perpres 36/2005 ini kemudian ternyata memunculkan beragam kontroversi dan reaksi dari berbagai kalangan, disebabkan bermacam kelemahan yang ada di dalamnya, diantaranya makna kepentingan umum yang diartikan terlalu umum sehingga dapat melahirkan multi tafsir, bidang kegiatan yang bersifat kepentingan umum juga terlalu luas, dan lain sebagainya. Menanggapi kontroversi dan berbagai kritikan, akhirnya beberapa pasal dari Perpres 36/2005 tersebut direvisi dengan diterbitkannya Perpres 65/2006 yang mulai berlaku pada tanggal 05 Juni 2006.
Dalam prakteknya, pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum banyak menimbulkan gejolak, dimana adanya pemaksaan dari para pihak baik pemerintah yang menetapkan harga sepihak maupun pemilik tanah yang menuntut harga tidak wajar, sementara perangkat hukum yang ada belum mampu mengakomodir dua kepentingan yang berbeda tersebut, sehingga dibutuhkan adanya perangkat hukum yang setingkat undang-undang guna menjadi payung hukum yang kuat, oleh sebab itu setelah melewati perjalanan waktu yang cukup panjang, lahirlah UU 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang disahkan pada tanggal 14 Januari 2012.
Aturan pelaksana dari UU 2/2012 ini tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (untuk selanjutnya disebut 48 Gunanegara, Op.Cit., hal. 18.
“Perpres 71/2012”), serta untuk melaksanakan pengadaan tanah tersebut Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia menetapkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah (untuk selanjutnya disebut “Perkaban 5/2012”).
4. Asas-asas Pengadaan Tanah
Implementasi dari pengadaan tanah haruslah memperhatikan asas-asas (prinsip-prinsip) sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang terkait. Dalam Hukum Tanah Nasional dikemukakan mengenai asas-asas yang berlaku dalam penguasaan tanah dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah, yaitu:
49
1. Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah tanpa ada landasan haknya (illegal) tidak dibenarkan dan diancam dengan sanksi pidana.
2. Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah yang berlandaskan hak yang disediakan oleh hukum tanah nasional, dilindungi oleh hukum terhadap gangguan dari pihak manapun, baik oleh sesama anggota masyarakat maupun pihak penguasa sekalipun. Jika gangguan tersebut tidak ada landasan hukumnya.
3. Bahwa oleh hukum disediakan berbagai sarana hukum untuk menanggulangi gangguan yang ada, yaitu: a. Gangguan oleh sesama anggota masyarakat; gugatan perdata melalui
Pengadilan Negeri atau meminta perlindungan kepada Bupati/Walikotamadya menurut Undang-undang Nomor 51 Prp Tahun 1960.
b. Gangguan oleh Penguasa: gugatan melalui Pengadilan tata Usaha Negara.
4. Bahwa dalam keadaan biasa, diperlukan oleh siapapun dan untuk keperluan apapun (juga untuk proyek kepentingan umum) perolehan tanah yang dihaki seseorang harus melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan, baik mengenai penyerahan tanahnya kepada pihak yang memerlukan maupun mengenai imbalannya yang merupakan hak pemegang hak atas tanah yang bersangkutan untuk menerimanya. 49 Arie S. Hutagalung, Op.Cit., hal 377.
5. Bahwa hubungan dengan apa yang tersebut diatas, dalam keadaan biasa, untuk memperoleh tanah yang diperlukan tidak dibenarkan adanya paksaan dalam bentuk apapun dan oleh siapapun kepada pemegang haknya, untuk menyerahkan tanah kepunyaannya dan atau menerima imbalan yang tidak disetujuinya, termasuk juga penggunaan lembaga “penawaran pembayaran diikuti dengan konsinyasi pada Pengadilan Negeri” seperti yang diatur dalam Pasal 1404 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
6. Bahwa dalam keadaan yang memaksa, jika tanah yang bersangkutan diperlukan untuk kepentingan umum, dan tidak mungkin digunakan tanah lain, sedang musyawarah yang diadakan tidak berhasil memperoleh kesepakatan, dapat dilakukan pengambilan secara paksa, dalam arti tidak memerlukan persetujuan pemegang haknya, dengan menggunakan acara “pencabutan hak” yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya.
7. Bahwa dalam perolehan atau pengambilan tanah, baik atas dasar kesepakatan bersama maupun melalui pencabutan hak, pemegang haknya berhak memperoleh imbalan atau ganti kerugian, yang bukan hanya meliputi tanahnya, bangunan dan tanaman pemegang hak, melainkan juga kerugian- kerugian lain yang diderita sebagai akibat penyerahan tanah yang bersangkutan.
8. Bahwa bentuk dan jumlah imbalan atau ganti rugi tersebut, juga jika tanahnya diperlukan untuk kepentingan umum dan dilakukan pencabutan hak, haruslah sedemikian rupa, hingga bekas pemegang haknya tidak mengalami kemunduran, baik dalam bidang sosial maupun tingkat ekonominya.
Pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum mengandung beberapa prinsip lain yang harus diperhatikan dan ditaati agar pelaksanaannya
50
mencapai tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, antara lain:
1. Prinsip musyawarah Walaupun pengadaan tanah diselenggarakan untuk kepentingan umum, namun pelaksanaanya harus berdasarkan musyawarah antara instansi pemerintah yang akan membangun dengan pemilik atau penguasa tanah. Pengadaan tanah berbeda dengan pencabutan atas tanah yang dipaksakan walaupun tanpa musyawarah, apalagi untuk kebutuhan mendesak (Pasal 18 UUPA). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tiada pengadaan tanah tanpa musyawarah.
Karena itu, pengadaan tanah berbasis pada kesepakatan, tanpa kesepakatan pada prinsipnya tidak ada pengadaan tanah. Kesepakatan dimaksud adalah kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian. Adanya kata sepakat atau musyawarah dalam pengadaan tanah dimaksudkan untuk dapat 50 Yul Ernis, Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum , http://www.bphn.go.id/data/documents/lap._akihir_mbak_yul.pdf, diakses pada tanggal 20 Agustus 2014. memberikan rasa kesejahteraan bagi pemegang hak atas tanah dan yang
51 memerlukan tanah.
2. Prinsip Kepentingan Umum Pengadaan tanah hanya dilakukan untuk kepentingan umum, jika kegiatan pembangunan tersebut bukan untuk kepentingan umum, maka yang bersangkutan harus mengurus kepentingannya sendiri dengan menghubungi pemilik tanah secara langsung. Oleh karena itu pengertian kepentingan umum menjadi hal yang sangat penting ditegaskan dalam undang-undang.
3. Prinsip Pelepasan atau Penyerahan Hak Atas Tanah Karena pengadaan tanah tidak boleh dipaksakan, maka pelaksanaannya harus berdasarkan pelepasan hak atas tanah dari pemegang hak. Pengadaan tanah hanya bisa dilakukan jika pemegang hak bersedia melepaskan haknya dalam arti memutuskan hubungan hukum antara dia dengan tanahnya, untuk selanjutnya diserahkan ke negara untuk dibangun. Kesediaan ini biasanya dinyatakan setelah yang bersangkutan menerima ganti kerugian yang layak sesuai kesepakatan. Jika ada pemegang hak yang dengan sukarela memberikan tanah untuk pembangunan tanpa ganti kerugian, maka pengadaan tanah seperti itu dilakukan melalui penyerahan hak. Jadi dapat dikatakan tiada pengadaan tanah tanpa pelepasan hak, atau tidak boleh pengadaan tanah dengan pencabutan hak.
4. Prinsip Penghormatan Terhadap Hak Atas Tanah Setiap pengadaan tanah harus menghormati keberadaan hak atas tanah yang akan dijadikan tempat pembangunan. Oleh karena itu, setiap hak atas tanah baik yang sudah bersertifikat maupun belum atau tanah adat, wajib dihormati. Sekecil apapun hak orang atas tanah tersebut harus dihargai. Penghormatan itu tidak saja berlaku terhadap tanah yang dilepaskan haknya langsung untuk pembangunan, termasuk juga hak atas tanah yang terpengaruh oleh kegiatan pembangunan.
5. Prinsip Ganti Kerugian Pengadaan tanah dilakukan wajib atas dasar pemberian ganti kerugian yang layak kepada pemegang hak berdasarkan kesepakatan dalam prinsip musyawarah. Tiada pengadaan tanah tanpa ganti kerugian. Oleh karena itu penentuan bentuk dan besar ganti kerugian juga merupakan aspek penting dalam pengadaan tanah. Oleh karenanya pemberian ganti rugi harus mampu meningkatkan kesejahteraan pelepas hak secara ekonomi.
51 Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak - hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah di
Indonesia , (Bandung, Citra Aditya Bakti), 1991, hal. 10
6. Prinsip Rencana Tata Ruang Karena pembangunan untuk kepentingan umum ditujukan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat maka pelaksanaannya harus taat terhadap rencana tata ruang wilayah setempat.
Sebagaimana termaktub dalam UU 2/2012 Pasal 3, tujuan pengadaan tanah untuk kepentingan umum yaitu untuk menyediakan tanah bagi pelaksananaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum pihak pemilik tanah sebelumnya. Untuk mencapai tujuan tersebut maka dalam regulasi pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang diatur dalam UU 2/2012 mensyaratkan bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus dilaksanakan dengan berlandaskan kepada asas-asas: a. Kemanusiaan
Pengadaan tanah harus memberikan perlindungan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia, harkat, dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
b. Keadilan Memberikan jaminan penggantian yang layak kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah sehingga mendapatkan kesempatan untuk dapat melangsungkan kehidupan yang baik.
c. Kemanfaatan Hasil pengadaan tanah mampu memberikan manfaat secara luas bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
d. Kepastian Memberikan kepastian hukum tersedianya tanah dalam proses pengadaan tanah untuk pembangunan dan memberikan jaminan kepada pihak yang berhak untuk mendapatkan ganti kerugian yang layak.
e. Keterbukaan Pengadaan tanah untuk pembangunan dilaksanakan dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan pengadaan tanah. f. Kesepakatan Proses pengadaan tanah dilakukan dengan musyawarah para pihak tanpa unsur paksaan untuk mendapatkan kesepakatan bersama.
g. Keikutsertaan Dukungan dalam penyelenggaraan pengadaan tanah melalui partisipasi masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, sejak perencanaan sampai dengan kegiatan pembangunan.
h. Kesejahteraan Pengadaan tanah untuk pembangunan dapat memberikan nilai tambah bagi kelangsungan kehidupan Pihak yang berhak dan masyarakat secara luas. i. Keberlanjutan
Kegiatan pembangunan dapat berlangsung secara terus menerus, berkesinambungan, untuk mencapai tujuan yang diharapkan. j. Keselarasan
Pengadaan tanah untuk pembangunan dapat seimbang dan sejalan dengan kepentingan masyarakat dan Negara.
UU 2/2012 memiliki nilai lebih dibandingkan regulasi-regulasi sebelumnya, dikarenakan mulai dari Kepres 55/1993 hingga Perpres 65/2006 yang mengatur mengenai pengadaan tanah bagi pelaksaan pembangunan untuk kepentingan umum, tidak ada satupun pencantuman pasal-pasal yang mengatur masalah prinsip-prinsip atau asas yang melandasi pelaksanaan pengadaan tanah tersebut. Artinya semua regulasi terdahulu yang berkaitan dengan masalah pengadaan tanah minim asas.
Asas-asas dalam pengadaan tanah ini menjadi acuan dan pengingat bagi pemerintah dalam melaksanakan kegiatan pengadaan tanah bagi kepentingan umum, sehingga pengadaan tanah tidak dilakukan sewenang-wenang tanpa melindungi hak dan kepentingan dari pemilik tanah yang menjadi korban atas pengadaan tanah walaupun kelak akan digunakan untuk kepentingan umum.
5. Keberadaan UU 2/2012 Dengan Peraturan Perundang-Undangan Sebelumnya
Seperti yang telah dirinci pada sub-bab di atas, bahwa pengaturan mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum telah mengalami beberapa kali perubahan. Bahkan penyebutan istilah “pengadaan tanah” pun adalah istilah yang sudah diperhalus maknanya daripada istilah pencabutan tanah atau pembebasan tanah yang disebutkan dari peraturan-peraturan yang terdahulu. Walaupun “pencabutan” hak atas tanah itu sendiri masih tetap berlaku karena UU 20/1961 masih tetap berlaku, termasuk Perpres 36/2005 Jo. Perpres 65/2006.
Dengan diterbitkannya UU 2/2012 tidak serta merta menghapuskan peraturan yang sebelumnya sebagaimana ditentukan dalam Ketentuan Peralihan Pasal 58 yang menyatakan:
“Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku: 1) Proses pengadaan tanah yang sedang dilaksanakan sebelum berlakunya Undang-undang ini diselesaikan berdasarkan ketentuan sebelum berlakunya Undang-undang ini;
2) Sisa tanah yang belum selesai pengadaannya dalam proses pengadaan tanah sebagaimana dimaksud dalam huruf a, pengadaannya diselesaikan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam
Undang-undang ini; dan 3) Peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pengadaan tanah dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan ketentuan Undang-undang ini.”
Dari rumusan pasal diatas diketahui bahwa dalam masa transisi, aturan yang lama masih dapat dipergunakan dalam proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan tata cara pengadaan tanah sebelumnya dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru.
Dalam masa transisi tersebut, proses pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum yang sudah berjalan terdapat dua pilihan, tetap memakai aturan yang lama atau kalau dirasa lebih baik menggunakan UU 2/2012, maka dapat menggunakan UU 2/2012, namun mesti mulai proses dari awal jadi tergantung dari keinginan instansi pemerintah yang menggunakan. Berdasarkan Pasal 123 ayat (3) Perpres 71/2012 menyebutkan bahwa batas akhir penyelesaian proses pengadaan tanah yang menggunakan aturan lama adalah tanggal 31 Desember 2014, dan sesudah tanggal ini, maka setiap sisa tanah yang masih belum diselesaikan pengadaan tanahnya maka harus sudah menggunakan aturan tahapan pengadaan tanah yang terdapat dalam UU 2/2012 jo. Perpres 71/2012.
B. Konflik Dalam Pelaksanaaan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum 1) Definisi Konflik
Pengertian konflik adalah perbedaan pendapat, perselisihan paham, sengketa antara dua pihak tentang hak dan kewajiban pada saat dan keadaan yang
52
sama. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, konflik diartikan sebagai
53
pertentangan atau percekcokan. Merujuk pada pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa kata “konflik” mempunyai pengertian yang lebih luas, oleh karena istilah konflik tidak hanya digunakan dalam kasus pertanahan yang terkait dengan proses pidana juga terkait dalam proses perkara perdata dan proses perkara tata usaha negara.
52 53 Ramli Zein, Hak Pengelolaan Dalam Sistem UUPA, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), hal 37.
Poerwadarminta, Op.Cit., hal 518.
Dalam penelitian ini konflik yang dimaksudkan adalah konflik pertanahan yang terkait dengan materi dan mekanisme pengadaan tanah yang terjadi antara pihak yang berhak atas tanah dengan pihak yang memerlukan tanah, dalam hal ini adalah pemerintah.
2) Konflik Kepentingan Antara Pemerintah Dan Pemilik Tanah
Kebutuhan akan tanah tidak pernah lepas dari berbagai kepentingan, seperti kepentingan negara, kepentingan pemilik modal (swasta), maupun kepentingan rakyat. Perebutan kepentingan tersebut selalu menempatkan rakyat sebagai pihak lemah. Terbatasnya akses masyarakat dalam mempertahankan hak dan kepentingannya dan posisi tawar (bargaining position) yang tidak seimbang merupakan contoh klasik dalam kasus-kasus konflik kepentingan tersebut. UUPA dan kebijakan pertanahan secara de facto menempatkan masyarakat berada dalam posisi yang lemah akibatnya selalu terjadi pelanggaran hak asasi dan hak-hak keperdataan masyarakat.
Pihak pemerintah juga mengalami kesulitan dalam melakukan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, baik yang dilakukan oleh pemerintah sendiri maupun yang dilakukan oleh pihak swasta. Regulasi mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum telah beberapa kali dikeluarkan pemerintah, ternyata keberadaan semua peraturan tersebut kurang mengakomodir kepentingan masyarakat yang terkena pengadaan tanah. Bahkan, dalam pelaksanaan peraturan tersebut banyak menimbulkan konflik antara masyarakat dengan pemerintah atau pihak-pihak yang membutuhkan tanah.
Perselisihan mengenai tanah antara rakyat dan pemerintah secara umum telah terjadi karena pandangan yang berbeda mengenai konsep hak atas tanah.
Perbedaan pandangan tersebut bukanlah hal yang baru, karena telah terjadi sejak masa dahulu. Frekuensi perselisihan telah meningkat sehubungan dengan
54 pertumbuhan penduduk, sementara luas tanah relatif tetap atau terbatas.
Persoalan pengadaan tanah dengan cara pencabutan, pembebasan dan pelepasan hak-hak atas tanah selalu menyangkut dua dimensi yang harus ditempatkan secara seimbang, yaitu kepentingan pemerintah dan kepentingan rakyat. Jika hal ini tidak diindahkan, maka sengketa antara rakyat dan penguasa atau pihak yang memerlukan tanah tidak dapat dihindarkan, akibatnya proyek pembangunan menjadi terbengkalai, begitu juga tujuan pembangunan yaitu kemakmuran rakyat tidak tercapai.
Setidaknya ada dua kepentingan yang saling bertentangan, yaitu kepentingan pemerintah dan kepentingan pemilik tanah (rakyat). Pemerintah sangat memerlukan tanah untuk pelaksanaan pembangunan sedangkan rakyat juga memerlukan tanah untuk tempat tinggal dan mencari nafkah. Kedua kepentingan yang berbeda antara pemerintah dan rakyat dapat menimbulkan ketegangan dalam masyarakat dimana mungkin saja pemerintah dengan kekuasaannya, memaksakan kehendak untuk membebaskan tanah-tanah rakyat dengan cara-cara bertentangan dengan hak asasi dan ketentuan hukum yang berlaku. Sedangkan di lain pihak, rakyat dengan segala kewenangannya tetap
54 Erman Rajagukguk, Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup, (Jakarta: Chandra Pratama, 1995), hal 35.
mempertahankan hak-hak atas tanah mereka dengan mengabaikan fungsi sosial dari tanah yang mereka miliki.
3) Fungsi Sosial Hak Atas Tanah Pasal 6 UUPA menegaskan bahwa semua hak atas tanah berfungsi sosial.
Hal ini berarti bahwa hak atas tanah dalam bentuk apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanah itu akan digunakan semata- mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Prinsip fungsi sosial yang dinyatakan dalam Pasal 6 UUPA mengandung makna bahwa kepentingan umum harus didahulukan daripada kepentingan pribadi. Tetapi tidak dibenarkan untuk digunakan sebagai pembenaran mengabaikan kepentingan yang mempunyai tanah.
Elemen ‘kepentingan umum’ adalah sebagai legitimasi perbuatan pemerintah untuk melakukan pengadaan tanah atas tanah masyarakat, tetapi hal ini menimbulkan masalah tentang ukuran sampai sejauh manakah suatu perbuatan pemerintah itu telah memenuhi adanya persyaratan kepentingan
55 umum yang dimaksud.
Kecenderungan pemerintah mengabaikan faktor-faktor juridis dalam pembebasan atau pelepasan hak-hak atas tanah masyarakat, disebabkan instansi pemerintah tersebut lebih mementingkan jadwal usulan proyek sesuai dengan tahap-tahapnya. Oleh karena jadwal yang lebih diutamakan, maka pemerintah cenderung tidak teliti dalam memeriksa dokumen-dokumen kepemilikan dan hak-hak rakyat yang memiliki tanah, misalnya bukti kepemilikan dan hak-hak 55 Syafruddin Kalo, Op.Cit, hal 126. rakyat yang memiliki tanah, misalnya bukti kepemilikan, tentang siapa yang berhak menerima ganti rugi dan lain-lain. Di samping itu selalu terjadi pemaksaan kehendak, sehingga musyawarah tidak berjalan, bentuk dan besarnya ganti rugi hanya ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah.
Begitu juga halnya, jika pemerintah melaksanakan pembangunan proyek untuk kepentingan umum, tetapi dalam hal ini pemerintah tidak mempunyai dana yang cukup untuk membiayai proyek tersebut. Kemudian proyek tersebut dibangun dengan bantuan swasta, seperti contohnya pembangunan jalan tol, pembangkit listrik dan lain-lain. Apakah pelaksanaan pengadaan tanahnya tetap dilakukan dengan cara pembebasan secara paksa dengan ganti rugi, atau melalui kesepakatan para pihak dengan transaksi jual beli. Kenyataan ini sering menimbulkan konflik antara pemerintah dengan rakyat pemilik tanah.
Dengan adanya berbagai peraturan dan kebijakan mengenai pengadaan tanah yang berlaku di negara kita, semestinya peraturan pengadaan tanah menjadi landasan bagi pemerintah untuk membebaskan tanah rakyat, sedangkan bagi rakyat, menjadi suatu jaminan hukum bagi rakyat agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh pemerintah atau penguasa. Tetapi ternyata keberadaan peraturan itu tidak dapat menjamin adanya perlindungan bagi rakyat dari tindakan sewenang-wenang oleh pihak pemerintah.
4) Penyebab Timbulnya Konflik Dalam Pengadaan Tanah Menteri Perindustrian RI di Kabinet Indonesia Bersatu ke-II, M. S.
Hidayat mengemukakan adanya sejumlah masalah yang timbul dalam pengadaan
56
tanah, antara lain:
a. Dalam bidang hukum sering terjadi tumpang tindih kepentingan antar sektor (industri dengan pertanian, kehutanan dengan pertambangan, pertanian dan kehutanan, dan sebagainya).
b. Dalam hal harga tanah, kadang-kadang dengan ditetapkannya peruntukan lokasi suatu proyek melalui keputusan bupati atau walikota, sering dimanfaatkan oleh spekulan tanah untuk menguasai sementara, yang kemudian akan dijual kembali dengan harga yang tinggi dan tidak wajar.
c. Masalah pembebasan tanah masih kesulitan karena masyarakat sering menolak wilayahnya dijadikan lokasi pembangunan pabrik, karena secara psikologis takut kehilangan tanah atau memiliki nilai historis dan budaya, serta sering adanya provokasi dari pihak-pihak yang mencari keuntungan.
d. Di sisi lain sering terjadi adanya ketidaksepakatan harga yang dituntut pemilik tanah dengan panitia pengadaan. Panitia mempunyai kecenderungan menggunakan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebagai acuan, sementara pemilik tanah menggunakan harga pasar, bahkan sering menuntut harga tiga atau empat kali lebih besar dari NJOP.
e. Terkait dengan administrasi pertanahan dimana beragamnya status penggunaan tanah oleh masyarakat seperti ada yang bersertifikat, ada yang menggunakan tanah negara dalam kurun waktu yang lama, menggunakan tanah milik adat, tanah wakaf, yang dipandang masih menyulitkan pengadaan tanah, karena akan makan waktu lama dalam membuktikan status tanah tersebut.
Syafruddin Kalo menyatakan bahwa problem mendasar dari pengadaan
57
tanah dapat diamati setidaknya dari keadaan sebagai berikut :
a. masyarakat terkadang tidak mempunyai posisi runding (bargaining position) yang seimbang, secara psikologis masyarakat berada di bawah tekanan pihak penguasa.
b. Penentuan bentuk dan besarnya ganti rugi dianggap oleh masyarakat tidak layak, dalam arti bahwa ganti rugi itu tidak dapat digunakan untuk mempertahankan tingkat kesejahteraan sosial ekonominya, bahkan tingkat kesejahteraan sosial ekonominya menjadi lebih buruk jika dibandingkan keadaan sebelum tanahnya dicabut atau dibebaskan haknya.
c. Penggantian kerugian hanya terbatas bagi masyarakat pemilik tanah ataupun penggarap tanah, yang berarti ahli warisnya. Ketentuan ini tanpa memberikan 56 Sinauterus, Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum “Antara
Regulasi dan Implementasi”, http://sinaugeomatika.wordpress.com/2011/12/30/pengadaan-tanah- bagi-pembangunan-untuk-kepentingan-umum-antara-regulasi-dan-implementasi/, diakses pada tanggal 25 September 2014. 57 Syafruddin Kalo, Reformasi Peraturan Dan Kebijakan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum , (Jakarta: Pustaka Bangsa Press, 2004), hal 4-10.
perlindungan terhadap warga masyarakat yang bukan pemilik, seperti penyewa atau orang yang mengerjakan tanah, yang menguasai dan menempati serta yang menggunakan tanah. Di samping itu terhadap hak ulayat yang dibebaskan untuk kepentingan umum, bagi masyarakat adat tersebut belum dilindungi dan belum mendapat kontribusi dari pembangunan itu, serta recognisi sebagai ganti pendapatan, pemanfaatan dan penguasaan hak ulayat mereka yang telah digunakan untuk pembangunan.
d. Musyawarah untuk mencapai kesepakatan, harus dilakukan dengan perundangan yang benar, saling mendengar dan saling menerima pendapat, berdasarkan alur dan patut, berdasarkan sukarela antara para pihak tanpa adanya tekanan psikologis yang dapat menghalangi proses musyawarah tersebut.
e. Pengaturan tentang permukiman kembali tidak diatur lebih lanjut, sehingga permukiman kembali itu dilaksanakan hanya sekedar memindahkan warga masyarakat yang terkena proyek pembebasan dari tempat yang lama ke tempat yang baru, tanpa diikuti dengan kegiatan untuk memulihkan kehidupan sosial ekonomi mereka. Upaya untuk memulihkan kegiatan ekonomi mereka dengan memperhitungkan kerugian yang dialami oleh warga yang terkena dampak pembebasan tanahnya, bagi warga masyarakat yang sebelumnya tanah adalah merupakan aset yang berharga, sebagai tempat usaha, bertani, berkebun dan sebagainya, terpaksa kehilangan aset ini, karena mereka dipindahkan ke tempat permukiman yang baru.
f. Setiap perselisihan yang terjadi dalam pelaksanaan tentang menentukan bentuk dan besarnya ganti rugi perlu adanya pemikiran bahwa penyelesaiannya yang paling utama harus dilakukan dengan penyelesaian ADR (Alternative Dispute Resolution), yaitu melalui musyawarah, negosiasi dan mediasi, jika cara ini tidak membuahkan hasil, maka penyelesaian baru melalui proses yudisial ke pengadilan.
g. Panitia pencabutan hak-hak atas tanah harus juga bertanggung jawab terhadap upaya pemulihan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang terkena dampak pembebasan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum telah menimbulkan nuansa konflik antara masyarakat pemilik tanah dengan pemerintah. Pada umumnya penyebab pertama timbulnya konflik dalam pengadaan tanah adalah permasalahan yang terkait dengan nilai ganti rugi. Besarnya perhitungan nilai ganti rugi dari sudut pandang pihak pemerintah dan pemilik tanah sering tidak sama, dimana pemerintah pada umumnya memilih harga NJOP untuk dijadikan dasar perhitungan ganti rugi, sedangkan pemilik tanah lebih memilih harga pasar yang ada pada saat itu. Hal tersebut sering terjadi karena adanya benturan kepentingan (conflict of interest) antara pemilik tanah dengan pihak pemerintah sehingga tak jarang hal tersebut
58 berujung pada ketegangan konflik.
Lebih lanjut, pelaksanaan ganti rugi ternyata tidak layak dan adil, menjadikan rakyat lebih miskin dari sebelumnya, karena uang ganti rugi itu tidak cukup untuk membeli tempat tinggal yang baru ataupun untuk mencari nafkah tidak sesuai lagi dengan keadaan semula. Dari sudut ekonomi sangat merugikan bagi rakyat. Meskipun pemerintah selalu menganggap penetapan ganti rugi tersebut diambil atas dasar musyawarah.
Dalam menghitung ganti rugi, pada umumnya Pemilik tanah mempertimbangkan atau dipengaruhi faktor-faktor antara lain cara pandang secara sosial, pengaruh adat atau nilai historis, nilai ekonomi dan kondisi fisik tanah yang dimilikinya, sedangkan pemerintah seringkali dihadapkan dengan kondisi terbatasnya anggaran dana alokasi pembebasan lahan yang disiapkan
59
pemerintah. Penetapan tentang bentuk dan besarnya ganti rugi hanya dilakukan atas dasar kesepakatan antara anggota panitia, dengan memperhatikan kehendak dari pemegang hak atas tanah, tetapi pemegang hak atas tanah tidak ikut dalam kepanitiaan tersebut. Kenyataan ini tentunya meletakkan kedudukan pemilik hak atas tanah berada dalam posisi runding (bargaining position) yang lemah. 58 Penyebab kedua timbulnya konflik pengadaan tanah untuk kepentingan 59 Ibid.
Melia Yusri, Analisis Yuridis, Ekonomi dan Politik Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum , Jurnal IPTEK Pertanahan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Vol 2, No.1, Mei 2012, hal 59-60. umum adalah masyarakat menganggap bahwa kepentingannya tidak terlindungi dalam undang-undang dan telah terjadi pelanggaran terhadap hak asasi dan hak- hak keperdataan masyarakat, yang pada akhirnya kebijakan dan keputusan pemerintah dianggap telah melanggar rasa keadilan masyarakat. Serta, berkurangnya rasa kepercayaan masyarakat kepada aparat pemerintahan akibat adanya penyalahgunaan dana pengadaan tanah oleh oknum panitia pengadaan tanah, sehingga masyarakat terkesan sensitif dan menolak apabila harga ganti rugi tanahnya tidak sesuai permintaan mereka.
Penyebab ketiga timbulnya konflik adalah musyawarah yang dilakukan dalam praktek pada dasarnya tidak sesuai dengan prinsip musyawarah yang dipahami oleh masyarakat. Musyawarah yang terjadi dalam praktek sering berubah makna menjadi pengarahan, briefing dan instruksi dari pemerintah dan sering merupakan pernyataan kehendak secara sepihak dari pihak yang membutuhkan tanah, serta adanya unsur-unsur paksaan yang terselubung yaitu dengan ikut campur tangan instansi keamanan/militer dalam proses musyawarah tersebut, sehingga masyarakat merasa khawatir dan takut apabila adanya unsur paksaan dan kekerasan yang akan menimpa mereka.
Penyebab keempat munculnya konflik dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah tentang pengertian kepentingan umum yang mengandung arti berbeda-beda dan tergantung pada penafsiran masing-masing dan tidak jarang hal ini banyak merugikan masyarakat. Terlebih lagi proyek pembangunan untuk kepentingan umum yang pembangunannya dilakukan oleh pihak swasta, contohnya seperti pembangunan jalan tol, walaupun mencakup kriteria kepentingan umum yang dibutuhkan oleh masyarakat, tetapi proyek tersebut lebih bersifat komersial atau mencari keuntungan, lain dari proyek untuk kepentingan umum yang tidak bersifat mencari keuntungan. Hal tersebut menimbulkan konflik kepentingan dikarenakan tidak semua masyarakat memiliki kendaraan roda empat yang dapat memanfaatkan jalan tol tersebut.
Lebih lanjut, nuansa konflik dapat terjadi dalam area antara perbedaan proyek pembangunan untuk kepentingan umum atau yang bersifat tidak mencari keuntungan/non komersil dengan proyek kepentingan umum yang bersifat mencari keuntungan/komersial (contohnya pembangunan jalan tol). Dengan adanya perbedaan yang hakiki, antara proyek pembangunan untuk kepentingan umum yang dilakukan oleh pihak pemerintah maupun swasta, yang bersifat mencari keuntungan dan tidak mencari keuntungan, maka prosedur untuk menempuh pengadaan tanah untuk proyek pembangunan seharusnya berbeda antara proyek pembangunan untuk kepentingan umum yang non komersial dengan proyek pembangunan yang bersifat komersial.