1.P endahuluan - Mg 12 Lendutan

  Deflection) LENDUTAN ( 1. endahuluan P

  Dalam perancangan atau analisis balok, tegangan yang terjadi dapat ditentukan dari sifat penampang dan beban-beban luar. Pada prinsipnya tegangan pada balok akibat beban luar dapat direncanakan tidak melampaui suatu nilai tertentu, misalnya tegangan ijin. Perancangan yang berdasarkan batasan tegangan ini dinamakan perancangan berdasarkan kekuatan (design for strength).

  Pada umumnya lendutan/defleksi balok perlu ditinjau agar tidak melampaui nilai tertentu, karena dapat terjadi dalam perancangan ditinjau dari segi kekuatan balok masih mampu menahan beban, namun Iendutannya cukup besar sehingga tidak nyaman lagi. Perancangan yang mempertimbangkan batasan lendutan dinamakan perancangan berdasarkan kekakuan (design for stiffness).

  Selain didesain untuk menahan beban yang bekerja, suatu struktur juga dituntut untuk tidak mengalami lendutan yang berlebihan (over deflection) agar mempunyai kemampuan layan (serviceability) yang baik. Lendutan yang terjadi harus masih dalam batas yang diijinkan (permissible deflection). Pembatasan ini ditujukan untuk mencegah terjadinya retak atau kerusakan serta menjamin supaya gerak suatu peralatan (contoh : sistem rel pada crane seperti pada Gambar 1.1)

Gambar 1.1. Crane pada sistem portal

  Pada Gambar 1.1, roda crane terletak di atas suatu rel pada suatu portal dengan bentang L. Jika bentang L diperbesar, maka lendutan yang terjadi juga semakin besar, sehingga roda mungkin akan tergelincir dari rel dan crane menjadi tidak berfungsi karena tidak bisa dijalankan.

  S emua balok akan terdefleksi (atau melendut) dari posisi awalnya apabila

  terbebani (paling tidak disebabkan oleh berat sendirinya). Dalam struktur bangunan, seperti : balok dan plat lantai tidak boleh melendut terlalu berlebihan (over deflection) untuk mengurangi kemampuan layan (serviceability) dan keamanannya (safety) yang akan mempengaruhi psikologis (ketakutan) pengguna.

  Deformasi adalah salah satu kontrol kestabilan suatu elemen balok terhadap kekuatannya. Biasanya deformasi dinyatakan sebagai perubahan bentuk elemen struktur dalam bentuk lengkungan (

  ) dan perpindahan posisi dari titik di bentang balok ke titik lain, yaitu defleksi ( ) akibat beban di sepanjang bentang balok tersebut.

  A da beberapa metode yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan-

  persoalan defleksi pada balok. Di sini hanya akan dibahas 4 (empat) metode, yaitu : 1.

  Metode integrasi ganda (double integrations method) 2. Metode luas bidang momen (moment area method) 3. Metode balok padanan (conjugate beam method) 4. Metode beban satuan (unit load method)

  Asumsi yang dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan tersebut adalah hanyalah defleksi yang diakibatkan oleh gaya-gaya yang bekerja tegak-lurus terhadap sumbu balok, defleksi yang terjadi relatif kecil dibandingkan dengan panjang baloknya, dan irisan yang berbentuk bidang datar akan tetap berupa bidang datar walaupun terdeformasi (Prinsip Bernoulli).

  2. etode Integrasi Ganda ( Double Integration) M

  uatu struktur balok sedehana yang mengalami lentur seperti pada Gambar 2.1,

  S

  dengan y adalah defleksi pada jarak yang ditinjau x, adalahsudut kelengkungan (curvature angle), dan r adalah jari-jari kelengkungan (curvature radius).

Gambar 2.1. Lenturan pada balok sederhana Dari Gambar 2.1, dapat dihitung besarnya dx seperti Pers. 2.1 : (2.1)

  dx = r tg dθ

  karena nilai d  relatif sangat kecil, maka tg d = d saja, sehingga Pers. 2.1 dapat ditulis ulang menjadi :

  1 dθ

  (2.2)

  dx = r dθ atau = r dx

  Jika dx bergerak kekanan maka besarnya d akan semakin mengecil atau semakin berkurang sehingga didapat persamaan berikut :

  1 dθ

  (2.3)

   = − r dx dy

  Lendutan relatif sangat kecil sehingga , sehingga Pers. 2.3 berubah

   = tg = dx

  menjadi : (2.4)

  = − = − ( ) = − Diketahui bahwa persamaan tegangan adalah :

  (2.5) = − sehingga didapat persamaan :

  (2.6) = − kemudian bentuk akhir persamaannya adalah :

  (2.7) − = ( )

  Jika dilakukan operasi integral dua kali pada Pers. 2.7, akan didapatkan persamaan berikut :

  dy dM

  reaksi vertikal (2.8) EI ( ) = =V

  dx dx dV

  beban merata (2.9) EI(y)= =q

  dx

Pers. 2.7 merupakan persamaan deferensial, sehingga untuk menyelesaikannya

  diperlukan syarat batas sesuai dengan jenis struktur yang ada seperti ditunjukkan pada Gambar 2.2 dan 2.3.

  a.

  Tumpuan jepit

Gambar 2.2. Kondisi batas tumputan jepit

  untuk x = 0, maka y = 0

  dy

  untuk x = 0, maka =0

  dx b. Tumpuan sendi-roll

Gambar 2.3. Kondisi batas tumpuan sendi-roll

  untuk x = 0 dan x = L, maka y = 0

  dy

  untuk x = L/2, maka =

  dx

2.1. Balok kantilever dengan beban titik

Gambar 2.4. Balok kantilever dengan beban titik

  Dari Gambar 2.4, besarnya momen pada jarak x adalah : = −

  Persamaan tersebut disubstitusi ke dalam Pers. 2.7, sehingga didapat : ( ) =

  Persamaan tersebut diintegralkan terhadap x, sehingga didapat : ∫ ( ) = ∫ (

  • ) =
Dengan meninjau kondisi batas tumpuan, M maks terjadi pada x = L dan pada lokasi tersebut tidak terjadi rotasi = , sehingga persamaannya menjadi :

  = + = −

  Sehingga persamaannya akan menjadi : ( ) = −

  Persamaan tersebut kemudian diintegralkan kembali terhadap x, sehingga menjadi : ∫ (

  ) = ∫ − ∫ = − + = ( − ) +

  Pada x = L, lendutan y = 0, sehingga didapat C

  2 sebagai berikut :

  = ( − ) + =

  Persamaan tersebut menjadi : = ( − ) + = ( − +

  ) = ( − +

  ) Pada x = 0 akan terjadi rotasi maksimum sebesar :

  ( ) = − = .

  − = − dan lendutan maksimum :

  = (

  − + ) =

  ( − . . + )

  = =

2.2. Balok kantilever dengan beban merata

Gambar 2.5. Balok kantilever dengan beban merata

  Dari Gambar 2.5, besarnya momen pada jarak x adalah : = −

  Persamaan tersebut disubstitusi ke dalam Pers. 7, sehingga didapat : ( ) =

  Persamaan tersebut diintegralkan terhadap x, sehingga didapat : ∫ ( ) = ∫ (

  • ) =

  maks

  Dengan meninjau kondisi batas tumpuan, M terjadi pada x = L dan pada lokasi tersebut tidak terjadi rotasi = , sehingga persamaannya menjadi :

  • = = −

  Sehingga persamaannya akan menjadi : ( ) = −

  Persamaan tersebut kemudian diintegralkan kembali terhadap x, sehingga menjadi : ∫ (

  ) = ∫ − ∫

  • = − Pada x = L, lendutan y = 0, sehingga didapat C

  2 sebagai berikut :

  =

  • − =
Persamaan tersebut menjadi : = − + = − ) +

  ( Pada x = 0 akan terjadi rotasi maksimum sebesar :

  ( ) = − .

  = − = − dan lendutan maksimum :

  = − ) + (

  = − . + ) (

  = =

2.3. Balok sederhana dengan beban titik

Gambar 2.6. Balok sederhana dengan beban titik

  Dari Gambar 2.6, besarnya reaksi dukungan dan besarnya momen pada jarak x adalah : dan

  = = untuk x a = untuk x a = − ( − )

  • ( − ) ( ) = − +
  • untuk x a

  • Dengan meninjau kondisi batas tumpuan : → untuk x = 0, maka y = 0, sehingga nilai C
  • karena L
    • – a = b, maka persamaan tersebut dapat ditulis :

  • ( / )

  → untuk x = L, maka y = 0, sehingga persamaannya menjadi : = − +

  ( − )

  = − + + + = − = ( −

  ) Sehingga setelah C

  1

  disubtitusi, persamaannya akan menjadi : =

  = (

  ( − − ) untuk x a

  − − ) +

  ( − )

  untuk x a Pada kasus beban titik terletak di tengah bentang (a = b = L/2), maka rotasi maksimum akan terjadi di x = 0 atau x = L, sehingga diperoleh :

  ( ) = − + (

  − ) untuk x a = − ( / ).

  ( − ( / ) )

  4 = 0

  3 = C

  ( − )

  persamaannya menjadi : = − +

  1 harus sama dengan C 2 (C 1 = C 2 ) dan C 3 = C 4 , sehingga

  Pada x = a, maka nilai C

   untuk x a

  ( − )

   a = − +

  Pada x = a, dua persamaan tersebut hasilnya akan sama, dan jika diintegralkan lagi terhadap x akan didapatkan persamaan berikut : = − + + untuk x

  ( − )

  ) = ∫ = −

  ( ) = − + untuk x a ∫ (

  ∫ ( ) = ∫ −

  Persamaan tersebut diintegralkan terhadap x, sehingga didapat :

   a ( ) = − + ( − ) untuk x a

  Persamaan tersebut disubstitusi ke dalam Pers. 2.7, sehingga didapat : ( ) = − untuk x

  = ( − ) = Pada kasus beban titik terletak di tengah bentang (a = b = L/2), maka lendutan maksimum akan terjadi di x = L/2, sehingga diperoleh : untuk x a

  = − − ) (

  ( )( )

  = ( − ( ) − ( ) ) = ( ) =

2.4. Balok sederhana dengan beban merata

Gambar 2.7. Balok sederhana dengan beban merata

  Dari Gambar 2.7, besarnya reaksi dukungan dan besarnya momen pada jarak x adalah :

  = = = − = −

  Persamaan tersebut disubstitusi ke dalam Pers. 2.7, sehingga didapat :

  • ( ) = −

  Persamaan tersebut diintegralkan terhadap x, sehingga didapat :

  • ∫ ( ) = ∫ −

  ( ) = − + + Dengan meninjau kondisi batas tumpuan, M maks terjadi pada x = L/2 dan pada lokasi tersebut tidak terjadi rotasi

  = , sehingga persamaannya menjadi :

  • = − ( ) ( )
  • = − + = =
Sehingga persamaannya akan menjadi : ( ) == − + +

  Persamaan tersebut kemudian diintegralkan kembali terhadap x, sehingga menjadi : ∫ ( ) = − ∫ + ∫ + ∫

  • = −

  2 Pada x = 0, lendutan y = 0, sehingga didapat C sebagai berikut :

  = − . + . + . + =

  Persamaan tersebut menjadi : = − + +

  • = − ) (

  Pada kasus merata terletak penuh di sepanjang bentang, maka rotasi maksimum akan terjadi di x = 0 atau x = L, sehingga diperoleh : ( + ) = − +

  = − . + . + = + + =

  Pada kasus beban merata terletak penuh di sepanjang bentang, maka lendutan maksimum akan terjadi di x = L/2, sehingga diperoleh :

  • = − ) (

  ( )

  = ( − ( ) + ( ) )

  • = ( − ) = ( ) =

  3. etode Luas Bidang Momen ( Moment Area Method) M

  Pada metode dobel integrasi telah dijelaskan dan dihasilkan persamaan lendutan dan rotasi untuk beberapa contoh kasus. Hasil tersebut masih bersifat umum, namun mempunyai kelemahan apabila diterapkan pada struktur dengan pembebanan yang lebih kompleks dan dirasa kurang praktis karena harus melalui penjabaran secara matematis. Metode luas bidang momen inipun sebenarnya juga mempunyai kelemahan yang sama apabila dipakai pada konstruksi dengan pembebanan yang lebih kompleks. Namun Demikian, metode ini sedikit lebih praktis karena proses hitungan dilakukan tidak secara matematis tetapi bersifat numeris (untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.1)

Gambar 3.1. Balok yang mengalami lentur

  Dari Gambar 3.1 dapat diperoleh persamaan berikut : (3.1)

  = = atau yang dapat ditulis menjadi : (3.2)

  = dari Pers. 3.2, dapat dibuat teorema berikut :

  Teorema I :

  yang dibentuk oleh dua tangen arah pada dua titik yang berjarak dx, Elemen sudut d besarnya sama dengan luas bidang momen antara dua titik tersebut dibagi dengan EI.

  Dari Gambar 3.1, apabila dx adalah panjang balok AB, maka besarnya sudut yang dibentuk adalah : (3.3)

  = ∫ Berdasarkan garis singgung m dan n yang berpotongan dengan garis vertikal yang melewati titik B akan diperoleh : (3.4)

  ′ " = = = dengan :

  M.dx = luas bidang momen sepanjang dx M.x.dx = statis momen luas bidang M terhadap titik yang berjarak x dari

  elemen M Sehingga dari Pers. 3.4 dapat dibuat teorema berikut :

  Teorema II :

  Jarak vertikal pada suatu tempat yang dibentuk dua garis singgung pada dua titik suatu balok besarnya sama dengan statis momen luas bidang momen terhadap tempat tersebut dibagi dengan EI.

  (3.5) ′ = = ∫

  Untuk menyelesaikan Pers. (3.5) yang menjadi permasalahan adalah letak titik berat suatu luasan, karena letak titik berat tersebut diperlukan dalam menghitung statis momen luas M.dx.x. Letak titik berat dari beberapa luasan dapat dilihat pada Gambar 3.2.

Gambar 3.2. Letak titik berat luasan penampang

  3.1. Balok kantilever dengan beban titik

Gambar 3.2. Balok kantilever dengan beban titik

  

A

  Momen di A akibat beban titik sebesar M = PL Letak titik berat ke titik B sebesar = 2L/3 Berdasarkan Teorema I, besarnya sudut terhadap titik B adalah sebesar :

  = . = =

  Berdasarkan Teorema II, besarnya lendutan vertikal di B adalah sebesar : = . .

  = =

  3.2. Balok kantilever dengan beban merata

Gambar 3.2. Balok kantilever dengan beban merata Momen di A akibat beban merata sebesar =

  Letak titik berat ke titik B sebesar = 3L/4 Berdasarkan Teorema I, besarnya sudut terhadap titik B adalah sebesar :

  = . = =

  Berdasarkan Teorema II, besarnya lendutan vertikal di B adalah sebesar : = . .

  = =

3.3. Balok sederhana dengan beban titik

Gambar 3.4. Balok sederhana dengan beban titik

  

C

  Momen di C akibat beban titik sebesar M = PL/4 Letak titik berat ke titik A sebesar = L/3 Berdasarkan Teorema I, besarnya sudut terhadap titik C adalah sebesar :

  = . . = =

  Berdasarkan Teorema II, besarnya lendutan vertikal di C adalah sebesar : = .

  . . .

  .

  = =

3.4. Balok sederhana dengan beban merata

Gambar 3.5. Balok sederhana dengan beban merata

  Momen di C akibat beban merata sebesar =

  Letak titik berat ke titik A sebesar = 5L/16 Berdasarkan Teorema I, besarnya sudut terhadap titik C adalah sebesar :

  = . . = =

  Berdasarkan Teorema II, besarnya lendutan vertikal di C adalah sebesar : = . . .

  = =

  4. etode Balok Padanan ( Conjugate Beam Method) M

  Dua metode yang sudah dibahas sebelumnya mempunyai kekurangan yang sama, yaitu apabila konstruksi dan pembebanan cukup kompleks. Metode balok padanan (conjugate beam method) yang menganggap bidang momen sebagai beban dirasa lebih praktis untuk digunakan. Metode ini pada pada prinsipnya sama dengan metode luas bidang (moment area method), hanya sedikit terdapat modifikasi. Untuk penjelasannya dapat dilihat pada Gambar 4.1, sebuah konstruksi balok sederhana dengan beban titik P, kemudian bidang momen yang terjadi dianggap sebagai beban.

Gambar 4.1. Balok sederhana dan garis elastika beban titik

  Dari Gambar 4.1, W adalah luas bidang momen yang besarnya :

  (4.1)

  = . = Berdasarkan Teorema II yang telah dibahas pada metode luas bidang momen (moment area method), maka didapat :

  =

  ( + )

  (4.2) = ( ) ( ( + )) =

  Dengan menganggap bahwa lendutan yang terjadi cukup kecil, maka berdasarkan pendekatan geometris akan diperoleh : atau

  = =

  ( + )

  (4.3) = =

  Analog dengan cara yang sama, akan diperoleh :

  ( + )

  (4.4) = =

  Dari Pers. (4.3) dan (4.4), dapat dibuat kesimpulan bahwa rotasi di A dan B besarnya sama dengan reaksi perletakan dibagi EI ( = atau = ). Berdasarkan

  

Gambar 4.1, sebenarnya yang akan dicari adalah defleksi pada titik sejauh x meter

x dari tumpuan A (potongan i-j-k) yaitu sebesar  . x = ij = ik

  (4.5)

  • – jk A

  Berdasarkan geometri, maka besarnya ik = x, sehingga :

  (4.6)

  = Sedangkan berdasarkan Teorema II adalah statis momen luasan Amn terhadap bidang m-n dibagi dengan EI, maka akan diperoleh :

  .

  (4.7) =

  x

  Sehingga lendutan  yang berjarak x dari A, adalah :

  (4.8) = ( − . )

  Berdasarkan Pers. (4.8) dapat dibuat sebuah teorema.

  Teorema III :

  Lendutan disuatu titik dalam suatu bentang balok sederhana besarnya sama dengan momen di titik tersebut dibagi dengan EI, apabila bidang momen dianggap sebagai beban.

4.2. Balok kantilever dengan beban titik

Gambar 4.2. Balok kantilever dengan beban titik

  Untuk penyelesaiannya adalah dengan mencari bidang momen terlebih dahulu, hasilnya ditunjukkan pada Gambar 4.2.b. Hasil bidang momen tersebut kemudian dijadikan sebagaimana beban, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.2.c. Kemudian

  A

  dicari besarnya reaksi tumpuan dan momennya. Nilai   adalah sebesar R akibat

  B

  beban momen dibagi dengan EI, sedangkan nilai   adalah sebesar M akibat beban momen dibagi dengan EI. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada perhitungan berikut :

   besarnya : =

  Berdasarkan Gambar 4.2.a, didapat momen di A seperti pada Gambar 4.2.b yang

   dijadikan beban seperti pada Gambar 4.2.c, kemudian dihitung reaksi tumpuan yang besarnya : (besarnya sama dengan Amn = W)

  Dari bidang momen yang ditunjukkan pada Gambar 4.2.b, kemudian dibalik dan

  = Dengan demikian rotasi di B dapat dihitung, yaitu sebesar :

   = = Dari Gambar 4.2.c, dapat dihitung momen di A, yaitu sebesar :

   = . = Besanya lendutan di B dapat dihitung, yaitu sebesar :

   = =

4.3. Balok kantilever dengan beban merata

Gambar 4.3. Balok kantilever dengan beban merata

  Untuk penyelesaiannya adalah dengan mencari bidang momen terlebih dahulu, hasilnya ditunjukkan pada Gambar 4.3.b. Hasil bidang momen tersebut kemudian dijadikan sebagaimana beban, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.3.c. Kemudian

   A

  dicari besarnya reaksi tumpuan dan momennya. Nilai  adalah sebesar R akibat

   B

  beban momen dibagi dengan EI, sedangkan nilai  adalah sebesar M akibat beban momen dibagi dengan EI. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada perhitungan berikut :

   besarnya : =

  Berdasarkan Gambar 4.3.a, didapat momen di A seperti pada Gambar 4.3.b yang

   dijadikan beban seperti pada Gambar 4.3.c, kemudian dihitung reaksi tumpuan yang besarnya : (besarnya sama dengan Amn = W)

  Dari bidang momen yang ditunjukkan pada Gambar 4.3.b, kemudian dibalik dan

  = . = Dengan demikian rotasi di B dapat dihitung, yaitu sebesar :

   = = Dari Gambar 4.3.c, dapat dihitung momen di A, yaitu sebesar :

   = . = Besanya lendutan di B dapat dihitung, yaitu sebesar :

   = =

4.4. Balok sederhana dengan beban titik

Gambar 4.4. Balok sederhana dengan beban titik

  Untuk penyelesaiannya adalah dengan mencari bidang momen terlebih dahulu, hasilnya ditunjukkan pada Gambar 4.4.b. Hasil bidang momen tersebut kemudian dijadikan sebagaimana beban, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.4.c. Kemudian

   A

  dicari besarnya reaksi tumpuan dan momennya. Nilai  adalah sebesar R akibat

   A

  beban momen dibagi dengan EI, sedangkan Nilai  adalah sebesar R akibat beban

  C C

  momen dibagi dengan EI, dan nilai  adalah sebesar M akibat beban momen dibagi dengan EI. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada perhitungan berikut : Berdasarkan Gambar 4.4.a, didapat momen di C seperti pada Gambar 4.4.b yang

   besarnya : =

   dijadikan beban seperti pada Gambar 4.4.c, kemudian dihitung reaksi tumpuan yang besarnya : (besarnya sama dengan Amn = W)

  Dari bidang momen yang ditunjukkan pada Gambar 4.4.b, kemudian dibalik dan

  = = . . = Dengan demikian rotasi di A dan B dapat dihitung, yaitu sebesar :

   = = = = Dari Gambar 4.4.c, dapat dihitung momen di C, yaitu sebesar :

   = . . = . . = Besanya lendutan di C dapat dihitung, yaitu sebesar :

   = =

4.5. Balok sederhana dengan beban merata

Gambar 4.5. Balok sederhana dengan beban merata Untuk penyelesaiannya adalah dengan mencari bidang momen terlebih dahulu, hasilnya ditunjukkan pada Gambar 4.5.b. Hasil bidang momen tersebut kemudian dijadikan sebagaimana beban, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.5.c. Kemudian dicari besarnya reaksi tumpuan dan momennya. Nilai  adalah sebesar R A akibat

   beban momen dibagi dengan EI, sedangkan Nilai  adalah sebesar R A akibat beban 

  C C

  momen dibagi dengan EI, dan nilai akibat beban momen dibagi  adalah sebesar M dengan EI. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada perhitungan berikut :

   besarnya : =

  Berdasarkan Gambar 4.5.a, didapat momen di C seperti pada Gambar 4.5.b yang

   dijadikan beban seperti pada Gambar 4.5.c, kemudian dihitung reaksi tumpuan yang besarnya : (besarnya sama dengan Amn = W)

  Dari bidang momen yang ditunjukkan pada Gambar 4.5.b, kemudian dibalik dan

  = = . . = Dengan demikian rotasi di A dan B dapat dihitung, yaitu sebesar :

   = = = =

   Dari Gambar 4.5.c, dapat dihitung momen di C, yaitu sebesar : = . . = . =

   = =

  Besanya lendutan di C dapat dihitung, yaitu sebesar :

  5. etode Beban Satuan ( Unit Load Method) M

  Metode Energi Regangan (Strain Energy Method) adalah metode yang sangat baik (powerful) untuk memformulasi hubungan gaya dan perpindahan pada suatu struktur. Pembahasan metode energi regangan (strain energy method) termasuk didalamnya adalah kekekalan energi dan metode beban satuan (unit load method) atau yang juga dikenal dengan metode kerja maya (virtual work method). Sebagai ilustrasi dari kekekalan energi, misal sebuah elemen struktur dibebani gaya P dan Q, maka pada struktur akan terdapat :

   L

  ) Kerja luar (external work) : produk gaya luar (K

   D

  ) Kerja dalam (internal work) : produk gaya dalam (K

   Kerja dalam (internal work) merupakan respon terhadap kerja luar (external

  L = K D

  → kondisi keseimbangan (equilibrium) K

  D

work ) akibat adanya beban yang diaplikasikan pada struktur dan deformasinya. K

  mempunyai kapasitas untuk menghasilkan kerja dan menjaga struktur pada konfigurasi asalnya, karena perilaku dari struktur masih dalam batas kondisi elastis.

  

D

  Untuk lebih dapat memahami tentang K yang juga sering disebut dengan energi regangan (strain energy) dan dinotasikan dengan U dapat dilihat pada Gambar 5.1.

Gambar 5.1. Energi regangan pada balok

  Dari Gambar 5.1.b, dapat dihitung besarnya d seperti Pers. 5.1 : (5.1)

  =

  Energi regangan balok sepanjang dx dapat dihitung dengan persamaan berikut : (5.2)

  dU=

  Jadi energi regangan balok secara keseluruhan merupakan hasil integral dari dU seperti berikut : (5.3)

  U= ∫ = ∫

  Selanjutnya akan dijelaskan tentang energi potensial pada struktur yang dinotasikan dengan

  Π yang terbentuk atas dua komponen, yaitu U (energi regangan) dan Ω (kerja luar).

  (5.4) = + dengan :

  (5.5) =

  (5.6) = − jadi :

  (5.7) = −

  Pers. (5.7) merupakan persamaan fungsi Δ dan jika diturunkan terhadap , maka :

  (5.8) = −

  Pada kondisi seimbang (equilibrium) atau = , maka :

  (5.9) =

  Pers. (5.9) menunjukkan hubungan antara gaya (F) dan perpindahan ( Δ) dengan k

  sebagai nilai kekakuan dari suatu struktur.

  Teorema Castigliano I :

  Potential energi (

  Π) sering ditunjukkan dalam fungsi dari Degree of Freedom, DoF (derajat kebebasan) seperti pada Pers. (5.10).

  (5.10) )

  = ( , , , … , Pada kondisi seimbang (equilibrium) atau

  = , maka : (5.11)

  = + ⋯ + = + + sehingga dari Pers. (5.11) dapat ditulis ulang dalam bentuk matriks seperti berikut :

  F 1 = K

  11 D

  1 K

  12 D

  2 K

  13 D

  3 K 1n D n

  2

  21

  1

  22

  2

  23 3 2n n F = K D K D K D K D

  3

  31

  1

  32

  2

  33 3 3n n F = K D K D K D K D … = … … … … … n n1 1 n2 2 n3 n nn n F = K D K D K D K D

  (5.12) [ ] = [ ] [ ] Pers (5.12) identik dengan Pers. (5.9).

  Teorema Castigliano II :

  Untuk struktur yang berperilaku linier ‐elastik, lendutan pada suatu titik dalam struktur merupakan turunan parsial dari energi regangan terhadap gaya (Pers. 5.13) dan rotasi merupakan turunan parsial dari energi regangan terhadap kopel pada garis kerja (Pers.

  5.14).

  (5.13) ∆ =

  (5.14) =

  Untuk lebih memahami tentang Teorema Castigliano II, dapat ditinjau sebuah balok sederhana yang diberi beban seperti pada Gambar 5.2.

Gambar 5.2. Energi regangan pada balok sederhana

  Dari Gambar 5.2, energi regangan pada balok = kerja luarnya, yaitu : (5.15)

  = = ∆ + ∆ ∆ +

  

Pers. (5.15), energi regangan dapat juga ditulis dalam bentuk fungsi beban atau gaya

  seperti berikut : (5.16)

  ) = ( , ,

  2

2 Jika P ditingkatkan sebesar dP yang akan menyebabkan lendutan di titik 2 juga

  meningkat sebesar d

  2 , maka energi regangan juga meningkat menjadi : Δ

  (5.17) = + atau = +

  (5.18) = ∆ + + + + ∆ ∆ ∆ ∆

  Jika suku pertama pada Pers. (5.18) dapat diabaikan, sehingga persamaannya dapat ditulis menjadi :

  • = ∆ ∆ + + ∆ ∆

  = ∆ Dengan memperhatikan bahwa Pers. (5.17) identik dengan Pers. (5.19), maka dapat ditulis dalam bentuk :

  • (5.19)
  • = ∆ + = ∆

  = ∆ atau identik dengan Pers. (5.13). ∆ = Jadi lendutan di suatu titik adalah merupakan hasil turunan energi regangan ke gaya di titik tersebut pada arah kerjanya. Dengan cara yang sama juga dapat diperoleh rotasi di suatu titik seperti pada Pers. (5.14).

  =

5.1. Balok kantilever dengan beban titik

Gambar 5.3. Balok kantilever dengan beban titik

  Dengan menggunakan Pers. (5.13) dapat dihitung lendutan di titik B seperti berikut : ∆

  = ∫ = ∫ =

  = ∫ [ ] = Sedangkan rotasi di titik B dapat dihitung dengan menggunakan Pers. (5.14) seperti berikut :

  = ∫ = ∫

  = ∫ = [ ] =

5.2. Balok kantilever dengan beban merata

Gambar 5.4. Balok kantilever dengan beban merata

  Dengan menggunakan Pers. (5.13) dapat dihitung lendutan di titik B seperti berikut : ∆

  = ∫ = ∫ =

  = ∫ [ ] = Sedangkan rotasi di titik B dapat dihitung dengan menggunakan Pers. (5.14) seperti berikut :

  = ∫ = ∫ =

  = ∫ [ ] =

5.3. Balok sederhana dengan beban titik

Gambar 5.5. Balok sederhana dengan beban titik

  Dengan menggunakan Pers. (5.13) untuk interval 0 x L/2 dapat dihitung lendutan di titik C seperti berikut :

  /

  ∆ = ∫

  / /

  = ∫ = ] / ] = = ∫ [ = [

  Sedangkan rotasi di titik A untuk interval 0 x L/2 dapat dihitung dengan menggunakan Pers. (5.14) seperti berikut :

  /

  = ∫

  / /

  = ∫ = ] / ] = = ∫ [ = [