Jurnal HAM, Pemenuhan Hak ODMK (2009)

Vol. 5 n Tahun 2009

KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

JURNAL HAM

JURNAL HAM
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

MEWUJUDKAN PEMENUHAN

HAM ODMK
Komnas HAM
© 2009

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Jl. Latuharhary No.4B, Menteng, Jakarta Pusat
Telp. 021-3925230, Fax. 021-3912026
Email: info@komnasham.go.id
Website: www.komnasham.go.id


MEWUJUDKAN PEMENUHAN

HAM ODMK
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
© 2009

JURNAL HAM
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

Diterbitkan oleh:
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
©2009

JURNAL HAM
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

Penanggungjawab
Pimpinan Redaksi
Dewan Redaksi
Distribusi

Administrasi
Desain Cover & Tata Letak
Editor Bahasa
Foto Cover
Percetakan
Penerbit

: Yosep Adi Prasetyo
: Rusman Widodo
: Kurniasari Novita Dewi, Yuli Asmini, Hari Reswanto,
Ignas Triyono
: Banu Abdillah
: Ratnawati Tobing, Eri Rieika, Idin Korino, Fauzan
: Agus Solikin & Galih Ananda
: Andy Panca
: diadaptasi dari www.newsucanuse.org g/images/bigstockphoto
: MCU
: Komnas HAM

Alamat Redaksi

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
Jalan Latuharhary No. 4B Menteng, Jakarta Pusat 10310
Telepon (021) 392 5230, Faksimili (021) 391 2026
Email: info@komnasham.go.id
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan
ISBN: 978-979-26-1438-1
Jurnal HAM Komnas HAM
Mewujudkan Pemenuhan HAM ODMK
Jakarta: Jurnal HAM Komnas HAM, 2009, xvi + 142 Hal; 160 mm x 240 mm
Penerbitan ini dibagikan secara gratis, tidak diperjualbelikan. Penggandaan penerbitan ini untuk
kepentingan penyebarluasan nilai-nilai HAM harus mendapat persetujuan tertulis dari Komnas HAM.
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi jurnal ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Kutipan Pasal 72, Ayat 1 dan 2, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta.
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

ii

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009

Daftar Isi

Kata Pengantar
Yosep Adi Prasetyo .....................................................................................................................................................

vii

Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) & Pelanggaran
Hak Asasi Manusia
Rusman Widodo ........................................................................................................................................................


1

Kesehatan Jiwa dalam Perspektif Global
Hervita Diatri ................................................................................................................................................................

15

ODMK dan Pemenuhan HAM
Yosep Adi Prasetyo .....................................................................................................................................................

31

Masalah Bioetika dan HAM pada Layanan Kesehatan Jiwa
Irmansyah .....................................................................................................................................................................

51

Instrumen Internasional Terkait Hak Asasi Orang dengan
Masalah Kejiwaan

Albert Maramis ...........................................................................................................................................................

67

Sejarah Perlindungan ODMK (Orang dengan Masalah Kejiwaan)
dalam Hukum Indonesia
Pandu Setiawan .........................................................................................................................................................

81

Pembangunan Sistem Kesehatan Jiwa di Indonesia
Eka Viora .........................................................................................................................................................................

93

Menembus Kabut Kehidupan
Lili Suwardi ....................................................................................................................................................................

113


Tinjauan Buku ‘Kekuasaan di Tengah Kegilaan’
LR. Baskoro ....................................................................................................................................................................

127

Biodata para Penulis ........................................................................................................................................

135

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009

iii

Daftar Tabel Dan Lampiran

Lampiran Matrik Dimensi HAM Dalam Isyu ODMK ...............................................................

iv

49


Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009

Daftar Gambar

Bagan 1. Instrumen HAM Internasional...........................................................................................

36

Bagan 2. Instrumen HAM Nasional ....................................................................................................

36

Bagan 3. Alur hukum HAM .........................................................................................................................

37

Bagan 4. Segitiga Kekerasan SPS (Sikap-Perilaku-Sistem) ............................................

40


Bagan 5. Ragam kekerasan yang dialami ODMK ....................................................................

41

Bagan 6. Hubungan antara Dampak Ekonomi-Kemiskinan ..........................................

43

Gambar Perpaduan Optimal PelayananKesehatan Jiwa...................................................

103

Gambar Blog Skizofrenia ............................................................................................................................

122

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009

v


Kata Pengantar

S

eberapa sering kita menyaksikan orang telantar berkeliaran di
tengah jalan? Kita sering menjumpai mereka di berbagai kota.
Tapi, banyak di antara kita lupa bahwa mereka adalah manusia.
Namun, ada juga warga kota yang menganggap mereka adalah bagian
dari ikon kota. Umumnya rambut mereka panjang dan gimbal karena
tak pernah dicuci. Pakaian yang dikenakan lusuh, bahkan banyak di
antara mereka yang nyaris telanjang bulat. Di antara mereka banyak
yang mengais-ngais sampah mencari sisa makanan. Mereka tak punya
pekerjaan dan rumah. Mereka tinggal di sembarang tempat. Tatapan wajah mereka umumnya kosong dan tak mempedulikan situasi
sekitar.
Siapa mereka? Mereka adalah sebagian dari orang dengan masalah
kejiwaan (ODMK) yang memang berkeliaran di jalanan. Mereka adalah
orang yang dibuang oleh keluarganya. Mereka adalah orang yang bukan
tak mungkin akan menjadi pengelana seumur hidupnya. Sebagian
dari mereka hidup dalam pasungan dengan kondisi mengenaskan.

Sebagian lagi jadi penghuni berbagai panti sosial. Sebagian lagi lebih
beruntung, mereka dirawat di rumah sakit jiwa. Namun, tak banyak
orang yang sebenarnya tahu bahwa di antara mereka ada yang hidup
“normal” di tengah masyarakat.
Masyarakat pada umumnya memang memberikan stigma kepada
kelompok ODMK. Mereka ini oleh sebagian besar orang dianggap
telah kehilangan hak asasinya. ODMK sering diolok-olok dan diganggu oleh anak-anak. Dalam hukum di Indonesia, mereka ini tak dimasukkan sebagai subjek hukum. Barangkali kondisi inilah yang membuat hak-hak asasi mereka terlanggar. Pemantauan yang dilakukan
Komnas HAM pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2009 lalu

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009

vii

menyimpulkan bahwa puluhan ribu ODMK di Indonesia tak bisa ikut
memilih. Padahal, hak ini dijamin dalam konstitusi maupun hukum
perundangan yang ada.
Memang, ODMK di Indonesia belum dimasukkan dalam kelompok
sasaran yang perlu mendapatkan perhatian khusus oleh pemerintah
Indonesia. Padahal, sebetulnya kelompok ini bila dilihat lebih lanjut
bisa dimasukkan dalam jajaran kelompok rentan (vulnerable groups)
sebagaimana kelompok perempuan, anak, lanjut usia, dan pekerja
migran. Di Indonesia, sebagaimana juga terjadi di berbagai negara lain,
ODMK sering kali mengalami diskriminasi oleh keluarga, masyarakat
sekeliling, media maupun negara. Model diskriminasi yang dialami
oleh ODMK adalah secara berlapis-lapis.
Gangguan jiwa menimbulkan disfungsi dan penderitaan bagi diri
ODMK dan orang lain. Hal itu tentu saja berkaitan dengan kata
produktivitas. Berbagai data menunjukkan bahwa masalah kesehatan
jiwa memengaruhi tingkat produktivitas individu secara umum, bahkan
menimbulkan kecacatan. Hal tersebut tentu saja akan memengaruhi
indeks pembangunan manusia (human developmental index/HDI) dan
kemampuan daya saing bangsa Indonesia.
Beban terkait gangguan jiwa tidak hanya berdampak pada individu,
melainkan juga sistem lain (keluarga dan masyarakat). Sebagai
contoh kasus tata laksana gangguan jiwa yang tidak paripurna akan
berdampak pada meningkatnya risiko tindakan kekerasan yang sering
kali tidak disadari sepenuhnya oleh penderita, namun dicap sebagai
berbahaya bagi masyarakat. Bentuk lain adalah tindak kekerasan
terhadap diri sendiri yang salah satunya berupa tindakan bunuh
diri yang cukup sering terjadi akhir-akhir ini. Kondisi ini di satu
sisi semakin meningkatkan stigma dan diskriminasi terhadap orang
dengan gangguan jiwa, semakin menempatkan mereka sebagai orang
“tidak mampu”.
Stigma dan diskriminasi mengakibatkan hilangnya banyak
kesempatan, baik bagi penderita maupun keluarga. Kesempatan ini
meliputi banyak hal, mulai dari memperoleh pendidikan, pekerjaan,
berperan sebagai bagian dari masyarakat--misalnya kehilangan
hak suara dalam pemilihan umum, hingga kehilangan akses untuk

mendapat fasilitas layanan kesehatan yang memadai karena kurangnya perhatian terhadap masalah kesehatan jiwa.
Semua kondisi ini merujuk pada masalah pengangguran,
kemiskinan, gelandangan, dan berbagai macam perlakuan salah
dan tindak kekerasan. Beban yang diterima oleh keluarga tidak
jauh berbeda dengan apa yang dialami penderita, baik secara
ekonomi, sosial, maupun psikologis. Hal ini terasa lebih besar karena
ketidaktahuan keluarga untuk berperan untuk membantu, termasuk
ketidakmampuan untuk mengakses layanan kesehatan jiwa yang
lebih disebabkan karena ketidaksediaan sarana tersebut di tingkat
masyarakat.
Di masa lalu, di masa Orde Baru, beberapa kerusuhan yang
terjadi pada menjelang berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto
“konon” dipicu oleh orang-orang yang dituduh sebagai ODMK. Antara
lain kerusuhan Pekalongan pada 1996, kerusuhan Makassar pada
1996, serta pembunuhan dukun santet dan sejumlah “orang gila” di
Banyuwangi dan sejumlah kota di Jawa Timur pada 1996-1977. Namun,
dari semua kerusuhan itu tak ada satu pun yang diusut secara tuntas,
terutama apa yang menjadi faktor pemicu dan siapa yang bertanggung
jawab atas berbagai kerusuhan itu.
Komnas HAM melihat masalah penanganan ODMK berkaitan erat
dengan hak asasi manusia (HAM). Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia. Sedangkan HAM sepenuhnya merupakan kewajiban negara
(state obligation), mulai dari kewajiban untuk menghormati (obligation
to respect), kewajiban untuk melindungi (obligation to protect), hingga
kewajiban untuk memenuhi (obligation to fullil).
Jurnal HAM edisi ini secara khusus mengangkat persoalan
ODMK dari sisi HAM. Tulisan-tulisan yang disajikan dalam edisi
kali ini diharapkan bisa mendorong perbaikan kebijakan, implementasi, maupun anggaran yang lebih pro- HAM. Penerbitan jurnal ini

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009

ix

menunjukkan komitmen kuat Komnas HAM bagi pencapaian kondisi
HAM yang kondusif di Tanah Air.
Pada edisi jurnal ini, Rusman Widodo mengangkat masalah
pelanggaran HAM terhadap kelompok ODMK. Ia mengangkat faktafakta sesuai laporan yang pernah masuk ke Komnas HAM tentang
operasi ketertiban umum yang dilakukan sejumlah pemda. Pada
operasi ini para ODMK ditangkapi dengan paksa lantas dinaikkan

ke mobil dan ditampung di panti-panti sosial. Bila panti sosial
sudah penuh sesak, maka para ODMK ini dibuang ke daerah lain.
Namun, ternyata nasib ODMK di panti sosial tidak lebih baik
dari ODMK di jalanan. Banyak di antara mereka yang meninggal
dunia akibat kekurangan gizi, diare, dan anemia berat.
Hervita Diatri melakukan tinjauan tentang kesehatan jiwa dari
perspektif global. Pada saat ini ada banyak faktor psikososial yang
terjadi saat ini di masyarakat dan berpotensi besar untuk terjadinya
masalah kesehatan jiwa. Namun, perhatian terhadap aspek kesehatan
jiwa hingga saat ini masih minimal. Hal ini salah satunya terjadi akibat
kurangnya informasi dan pemahaman tentang masalah kesehatan
jiwa. Hal yang penting bagi Indonasia saat ini mengingat, terkait
banyaknya kejadian bencana, krisis ekonomi yang berkepanjangan
dan isu psikososial lainnya yang terjadi. Situasi ini memiliki potensi
masalah kesehatan jiwa yang cukup tinggi di masyarakat.
Irmansyah memberikan uraian menarik mengenai permasalahan
bioetika dan hak asasi pada layanan kesehatan jiwa. Bioetika adalah
hal yang mencakup berbagai disiplin untuk memberi pedoman dalam
menjawab berbagai masalah yang ditimbulkan dalam bidang biologi
dan ilmu kedokteran. Sedangkan etika kedokteran sendiri adalah
bagian dari bioetika. Sesuai dengan prinsip etika, tujuan bioetika
dalam layanan kesehatan adalah untuk memaksimalkan manfaat
medis dan meminimalkan risiko klinis dari penyakit. Bioetika dan
HAM dalam layanan kesehatan adalah pembicaraan mengenai isu
yang sama. Bioetika adalah pedoman moral dari profesi kesehatan
untuk memberikan yang terbaik bagi pasien, sekaligus menjamin
hormat pada martabat manusia serta melindungi HAM dan kebebasankebebasan dari pasien. Pelanggaran etika oleh profesional kesehatan
juga akan melanggar atau mengabaikan HAM penderita.

x

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009

Irmansyah menduga, meski jarang terungkapnya masalah
pelanggaran etik dan HAM serta dugaan malapraktik terhadap ODMK,
baik yang dilaporkan ke pengadilan maupun pada Komnas HAM, tidak
menutup kemungkinan telah terjadinya pelanggaran etik dan HAM
terhadap penderita gangguan jiwa. Hal ini lebih disebabkan para ODMK
dan keluarga tidak pernah mengetahui detail pelanggaran etik dan HAM.
Mereka juga tak menyadari tentang hak asasi mereka serta karena takut
akan mencemarkan nama baik penderita dan atau keluarga.
Albert Maramis dalam tulisannya lebih banyak menguraikan
sejumlah instrumen HAM yang berkaitan dengan ODMK. Peran
instrumen internasional HAM diperlukan dalam mendukung
perlindungan HAM orang dengan masalah kejiwaan karena
kelompok ini termasuk yang paling rentan. Mereka sering
dihadapkan pada keadaan yang tidak memungkinkan bagi mereka
untuk mempertahankan hak-hak mereka sehingga dengan mudah
mengalami eksploitasi, penghinaan, dan pelanggaran hak-hak dasar
mereka.
Sejarah perlindungan ODMK ditulis Pandu Setiawan secara
menarik. Dalam catatan sejarah, ternyata kolonial Belanda telah
meletakkan dasar-dasar hukum bagi penanganan ODMK di Hindia
Belanda. Pada 30 Desember 1865 dikeluarkan Koninlijk Besluit
(Keputusan Kerajaan) dan pada 14 Mei 1867 dikeluarkan Keputusan
Gubernur Jenderal untuk dibangunnya rumah sakit jiwa di Hindia
Belanda. Atas dasar itulah berdiri beberapa rumah sakit jiwa
yang hingga kini masih menjadi pilar bagi penanganan ODMK di
Indonesia. Antara lain RSJ Bogor pada 1876, RSJ Lawang pada 1902,
RSJ Solo pada 1919, RSJ Magelang pada 1923, RSJ Jakarta pada
1924, serta RSJ Surabaya dan RSJ Semarang pada 1929. Hingga
1940 terdapat 16 RSJ di 16 provinsi. Namun, pelayanan kesehatan
jiwa pada saat itu masih sangat tertutup, bahkan mirip seperti
penjara (custodial care). Dasar hukumnya adalah “het Reglemen op
het Krankzinnigenwezen” (STBL 1897 no. 54). Yang menarik adalah
bahwa salah satu pertimbangan kuat dalam suatu keputusan kerajaan
adalah banyaknya pasien gangguan jiwa yang didapat dalam satu
survei sehingga harus disatukan dalam satu fasilitas perawatan dan
tidak “berkeliaran” di masyarakat.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009

xi

Lebih lanjut, Eka Viora menyoroti masalah pembangunan sistem
kesehatan jiwa di Indonesia. ODMK pada dasarnya mempunyai
beragam kebutuhan agar mereka dapat pulih dan berfungsi kembali
di masyarakat. Pengobatan yang optimal, kepatuhan dan kontinuitas
berobat, intervensi psikososial, serta rehabilitasi berbasis masyarakat
merupakan faktor sangat berpengaruh untuk menstabilkan gejala,
meningkatkan kualitas hidup, dan kemandirian ODMK untuk
berfungsi kembali secara sosial di masyarakat. Namun demikian,
sistem pelayanan kesehatan jiwa yang tersedia di Indonesia saat ini
masih didominasi oleh pelayanan kesehatan jiwa di institusi rumah
sakit jiwa. Kondisi ini menyebabkan rumah sakit jiwa (RSJ) di
Indonesia bukan lagi berfungsi sebagai pelayanan tersier atau pusat
rujukan, tapi malah berfungsi sebagai puskesmas “besar” karena semua
penderita gangguan jiwa yang sebetulnya bisa dilayani di puskesmas
dan RSU kabupaten/kota tetap ditangani di RSJ.
Eka Viora melihat perlunya ada komitmen kuat untuk mereformasi
pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia. Hal ini membutuhkan
keterlibatan intens dari para perencana, manajer, dan klinikus untuk
mewujudkannya. Ada banyak pengalaman negara-negara yang berhasil
melakukan reformasi pelayanan kesehatan jiwa dengan melakukan
de-institusionalisasi. Perlunya Indonesia mengembangkan sebuah
pelayanan kesehatan jiwa yang terintegrasi dari tatanan rumah
sakit sampai ke komunitas adalah untuk menjamin kesinambungan
pelayanan.
Pengalaman hidup sebagai ODMK, ditulis Lili Suwardi dengan
menarik. Ia memulai ceritanya sebagai anak bungsu yang tidak
diinginkan kelahirannya. Namun, Tuhan menakdirkan lain. Ia terus
hidup dalam perut ibu yang tidak menginginkannya. Ketika di SLTA
ia mulai menemukan keanehan dirinya. Selulus SLTA, ia mulai
menghadapi problem riil, yaitu mencari pekerjaan yang cocok bagi
dirinya. Sebuah hal membuatnya mulai diserang kecemasan dan
dianggap sebagai “orang gila” yang tak dapat melakukan apa-apa. Yang
dilakukannya hanya minum obat, mengantuk, tidur, dan keluar-masuk
rumah sakit. Ia tak dapat mendapatkan dukungan yang memadai
dari keluarga. Sebuah hal yang kemudian membuatnya beberapa kali
mencoba bunuh diri. Sebuah obat antipsikotik berdosis 1.470 miligram
membuat dirinya tak sadarkan diri selama 4 hari. Namun, ia berhasil

xii

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009

keluar dari belitan masalah dan kini eksis sebagai blogger dan aktivis
dalam Gugus Tugas Nasional Pembangunan Sistem Kesehatan Jiwa di
Indonesia dan jadi pengurus ornop bernama Perhimpunan Jiwa Sehat,
sebuah organisasi konsumen dan keluarga orang dengan masalah
kejiwaan.
Pada bagian penutup, LR Baskoro membuat telaah buku Michel
Foucault yang legendaris. Buku berjudul Madness and Civilization ini
merupakan sebuah buku yang melihat kekuasaan di tengah kegilaan.
Buku ini memotret peradaban Eropa pada Abad Pertengahan, Abad
XV, hingga Abad XVIII, sebagai masa yang murung, yang kemudian
memengaruhi semua hasil budi dan daya manusia Eropa, baik seni,
politik, kesusasteraan, dan seterusnya.
Madness and Civilization ditulis Foucault saat ia menjadi dosen di
Swedia pada 1961. Foucault sendiri pernah berurusan dengan masalah
kejiwaan. Ia pernah depresi hingga harus melakukan konsultasi rutin
dengan psikiater--agaknya menjadi penyebab kenapa Foucaut demikian
tertarik dengan hal-hal yang berkaitan dengan kejiwaan. Madness
and Civilization, seperti bukunya yang lain, memang menunjukkan
­kekuatan--dalam­kerumitan­pikiran­Foucalt--ilsuf­terkemuka­Prancis­
ini mengenai pemahamannya atas sejarah.
Selamat membaca!

Yosep Adi Prasetyo

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009

xiii

xiv

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009

Orang dengan Masalah
Kejiwaan (ODMK) & Pelanggaran
Hak Asasi Manusia
Rusman Widodo
Jumlah ODMK setiap tahun berkecenderungan meningkat.
Tetapi, upaya penanganan ODMK masih minimal. Walhasil,
banyak ODMK yang mengalami pelanggaran HAM. Tulisan ini
fokus pada pemaparan kasus-kasus pelanggaran HAM yang
menimpa ODMK di berbagai tempat: jalanan, rumah sakit
jiwa, panti sosial, rumah tangga, dan lain-lain. Tulisan ini juga
memberikan saran tentang upaya-upaya yang perlu ditempuh
untuk mengeliminasi pelanggaran HAM terhadap ODMK.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009



Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK)
& Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Pendahuluan
Sehat, menurut World Health Organization (WHO) atau
Organisasi Kesehatan Dunia, adalah suatu keadaan yang sempurna,
baik­isik,­mental­maupun­sosial,­tidak­hanya­bebas­dari­penyakit­atau­
kelemahan. Pengertian tersebut mengandung 3 karakteristik, yaitu 1)
Mereleksikan­perhatian­pada­individu­sebagai­manusia,­2)­Memandang­
sehat dalam konteks lingkungan internal dan eksternal, dan 3) Sehat
diartikan sebagai hidup yang kreatif dan produktif. Intinya sehat,
menurut standar WHO, adalah suatu kondisi sejahtera jasmanirohani serta sosial dan ekonomi.
Pasal 1 UU No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan menyatakan
kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial
yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan
ekonomis.
Kesehatan mental (jiwa) diambil dari konsep mental hygiene,
kata mental berasal dari bahasa Yunani yang berarti kejiwaan. Kata
mental memiliki persamaan makna dengan kata psyhe yang berasal
dari bahasa Latin yang berarti psikis atau jiwa. Jadi, dapat diambil
kesimpulan bahwa mental hygiene berarti mental yang sehat atau
kesehatan mental. Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang
dari keluhan dan gangguan mental, baik berupa neurosis maupun
psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial).
Mental yang sehat tidak akan mudah terganggu oleh stressor
(penyebab terjadinya stres). Orang yang memiliki mental sehat berarti
mampu menahan diri dari tekanan-tekanan yang datang dari dirinya

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009



ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM

sendiri dan lingkungannya. Menurut WHO Expert Committee on
Mental Health, ada delapan ciri-ciri mental yang sehat, yaitu:
1. Mampu menyesuaikan diri terhadap kenyataan secara konstruktif,
meskipun kenyataan itu buruk dan pahit.
2. Mampu memperoleh kepuasan dari upaya dan perjuangan
hidupnya.
3. Merasa lebih puas memberi daripada menerima.
4. Relatif bebas dari ketegangan dan kecemasan (stres).
5. Mampu berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong
dan saling memuaskan.
6. Mampu menerima kekecewaan untuk dipakai sebagai pelajaran.
7. Mampu mengarahkan rasa permusuhan menuju penyelesaian
yang kreatif dan konstruktif.
8. Memiliki daya kasih sayang yang besar.
Gangguan mental (jiwa) dapat dikatakan sebagai perilaku abnormal
atau menyimpang dari norma-norma yang berlaku di masyarakat,
baik yang berupa pikiran, perasaan maupun tindakan. Stres,
depresi, dan alkoholik tergolong sebagai gangguan mental karena
adanya penyimpangan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa gangguan
mental memiliki titik kunci, yaitu menurunnya fungsi mental dan
berpengaruhnya pada ketidakwajaran dalam berperilaku.
Seseorang yang gagal dalam beradaptasi secara positif dengan
lingkungannya dikatakan mengalami gangguan mental. Proses
adaptif ini berbeda dengan penyesuaian sosial, karena adaptif lebih
aktif dan didasarkan atas kemampuan pribadi, sekaligus melihat
konteks sosialnya. Atas dasar pengertian ini tentu tidak mudah untuk
mengukur ada tidaknya gangguan mental pada seseorang, karena
selain harus mengetahui potensi individunya, juga harus melihat
konteks sosialnya.
Menurut Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, penyakit
mental, disebut juga gangguan mental, penyakit jiwa, atau gangguan
jiwa, adalah gangguan yang mengenai satu atau lebih fungsi mental.
Penyakit mental adalah gangguan otak yang ditandai oleh terganggunya
emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi (penangkapan panca
indra). Penyakit mental ini menimbulkan stres dan penderitaan bagi
penderita (dan keluarganya). Penyakit mental dapat mengenai setiap



Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009

ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM

orang, tanpa mengenal umur, ras, agama, maupun status sosialekonomi.
ODMK atau orang dengan masalah kejiwaaan adalah orang yang
mengalami gangguan mental (jiwa). Istilah ODMK dipakai untuk
menggantikan sebutan orang gila yang sering dipakai masyarakat
awam ketika menyebut orang yang mengalami gangguan mental (jiwa).
Pemakaian istilah orang gila dianggap memberikan stigma negatif,
diskriminatif, dan tidak sesuai dengan nilai-nilai hak asasi manusia.
Setiap tahun jumlah ODMK terus bertambah di seluruh dunia.
Data World Health Organization (WHO) pada 2001 menyebutkan
jumlah ODMK di dunia mencapai sekitar 450 juta orang. Di Indonesia,
berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional, seperti
gangguan kecemasan dan depresi, sebesar 11,6% dari populasi orang
dewasa. Artinya, dengan jumlah populasi orang dewasa di Indonesia
lebih kurang 150 juta, maka terdapat sekitar 17,4 juta penduduk
dewasa menjadi ODMK.
Menurut data Kelompok Kerja Advokasi Kesehatan Jiwa
Universitas Indonesia, pada 2007 terdapat 12 persen----sekitar 24 juta
dari total penduduk Indonesia yang mencapai sekitar 200 juta----dari
total penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa berat, sedang,
dan ringan. Sedangkan menurut Profesor Dadang Hawari, jumlah
ODMK di Indonesia mencapai sekitar 50 juta orang.
Pertambahan jumlah ODMK dipicu banyak faktor, seperti stres,
kecewa, kena PHK, tidak memiliki pekerjaan, korban kekerasan, dan
trauma bencana alam. Jumlah yang sangat besar itu berpengaruh
signiikan­ terhadap­ perekonomian­ dunia.­ Sebab,­ produktivitas­ kerja­
orang yang menjadi ODMK akan menurun. Selain berpengaruh secara
ekonomi, ODMK juga memengaruhi tata kehidupan sosial politik dan
budaya.
Meskipun­ keberadaan­ ODMK­ berpengaruh­ signiikan­ terhadap­
perekonomian negara, tapi penanganan terhadap para ODMK masih
sangat tidak memuaskan. Di Indonesia stigma dan diskriminasi
terhadap ODMK terjadi merata di seluruh pelosok negeri.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009



ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM

Pelanggaran HAM terhadap ODMK
Di mana pun ODMK memijakkan kakinya, dia selalu mendapat
stigma negatif. Para ODMK yang menjadi gelandangan di jalanjalan--karena keluarganya tidak mampu mengurusnya--hampir
selalu menjadi bahan ejekan, cemoohan, dicaci maki, bahkan dalam
beberapa kasus diludahi, dilempari batu, dan disuruh pergi. Beberapa
ODMK perempuan yang berparas lumayan cantik sering menjadi
objek pemerkosaan. Biasanya ODMK perempuan ini disuruh mandi
dulu, lalu diberi pakaian yang rapi, diberi makan, setelah itu beramairamai para preman jalanan memerkosanya. Pemerkosaan dilakukan
berulang kali sehingga ODMK perempuan tersebut hamil. Setelah
melahirkan, anaknya diambil oleh yayasan-yayasan sosial.
Para ODMK di jalanan ini hidup dari satu tempat sampah ke
tempat sampah lainnya. Mereka mengais makanan sisa, berebut
dengan kucing atau anjing. Tidur di mana pun dia inginkan. Bahkan,
ada ODMK yang tergilas kereta api karena tertidur di rel kereta api.
Soal pakaian mereka tak peduli lagi, banyak ODMK di jalanan yang
bertelanjang bulat.
Sesekali bila pemerintah daerah menggelar operasi ketertiban
umum, maka para ODMK ditangkapi dengan paksa, dinaikkan ke
mobil, dan ditampung di panti-panti sosial. Bila panti sosial sudah
penuh sesak, maka para ODMK ini dibuang ke daerah lain. Tak aneh
bila antar-kabupaten kadang bersitegang karena tidak mau daerahnya
menjadi tempat penampungan atau tempat pembuangan ODMK dari
daerah lain.
Ternyata nasib ODMK di panti sosial tidak lebih baik dari ODMK
di jalanan. Panti sosial yang menampung ODMK terdapat di daerah
Cengkareng, Cipayung, Ceger, dan Kalideres. Kondisi di tempat
penampungan ini memprihatinkan. Selain ruangan yang terbatas
dan makanan yang tak memenuhi syarat gizi, kiriman obat-obatan
dari Departemen Kesehatan juga tak lancar. Dampaknya selama
2007 dilaporkan ada 257 orang yang meninggal dunia, sedangkan
pada 2008 ada 381 orang yang mati. Bila dihitung rata-rata ada satu
orang meninggal setiap hari. Sebagian besar dari mereka meninggal
dikarenakan kekurangan gizi, diare, dan anemia berat.



Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009

ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM

Selain kurangnya gizi ODMK di penampungan karena makanannya
yang tidak memenuhi syarat gizi, juga karena banyak di antara ODMK
yang enggan makan. Terkadang ODMK yang menolak makan dipukuli
sehingga mereka menjadi tambah sakit. Jatah makan ODMK di panti
sosial adalah Rp 15 ribu untuk 3 kali makan. Dana yang disediakan itu
hanya untuk 200 ODMK. Tapi, kenyataannya jumlah ODMK di panti
jumlah bisa mencapai 433 orang.
Diare menerpa ODMK karena kesehatan lingkungan panti sosial
yang tidak terjaga dengan baik. Kapasitas ruangan yang overload
membuat ruangan yang ditempati ODMK berjubel, jorok, dan kumuh.
Dalam ruangan dengan ukuran 8 x 11 meter persegi bisa berisi 20
orang. Contohnya Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2, Jalan
Bina Marga, Cipayung, Jakarta Timur, ini yang mampu menampung
230 orang. Namun kenyataannya, ODMK yang ditampung sudah mencapai 433 orang.
ODMK yang sakit di panti sosial----misalnya diare----biasanya dirujuk ke
rumah sakit (RS) rujukan. Tapi celakanya, RS rujukan sering overload
kapasitasnya. Jika pihak RS menyatakan tidak mampu menampung,
maka pihak panti sosial hanya bisa pasrah sambil menunggu antrean
ruang kosong. Akhirnya ODMK yang sakit dapat meninggal karena
kehabisan cairan.
Nasib ODMK di rumah sakit jiwa (RSJ) konon lebih beruntung.
Benarkah? Ternyata tidak juga. Kondisi RSJ di Indonesia masih serba
terbatas, mirip dengan panti-panti penampungan: ruangan terbatas,
makanan kurang bergizi, suasana mirip penjara, dan jumlah ODMK
melebihi kapasitas.
Di Indonesia saat ini jumlah RSJ hanya ada 34 buah. Pada 2010
menjadi tinggal 32 buah. Dan RSJ itu tidak tersebar merata di seluruh
provinsi di Indonesia. Artinya, ada beberapa provinsi yang tidak
memiliki RSJ.
Di Jakarta sekitar 50 persen pasien RSJ dibiarkan telantar di
bangsal rumah sakit. Para pasien itu telantar karena bila RSJ sudah
menyatakan sembuh, para keluarga pasien cuek; tidak ada niat untuk
membawa kembali ke rumah. Sekitar 30-50 persen dari jumlah pasien

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009



ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM

RSJ di Jakarta tidak diambil keluarganya. Akibatnya, kapasitas rumah
sakit menjadi tidak mencukupi. Apalagi, dari tahun ke tahun jumlah
ODMK terus bertambah. Perbandingan (rasio) penderita gangguan
jiwa di Indonesia adalah 18,5 orang dari setiap 1.000 orang Indonesia
mengalami gangguan jiwa. Angka tersebut jauh lebih tinggi dari rasio
menurut Survei Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/
WHO) yang menunjukkan bahwa satu (1) dari setiap 1.000 penduduk
dunia mengalami gangguan jiwa.
Para ODMK di RSJ yang tidak dijemput keluarganya, maka bisa
tinggal seumur hidup di RSJ. Bahkan, ada ODMK yang kemudian
bekerja di RSJ ketika sudah sembuh karena tidak tahu harus ke
mana dan bekerja apa. Banyak dari ODMK yang tidak berani pulang
ke rumah karena di rumah sering tidak mendapat perlakuan yang
manusiawi. Mereka memilih tetap di RSJ walaupun kondisinya serba
terbatas.
Lantas bagaimana nasib ODMK yang tinggal bersama keluarganya?
Di Indonesia setidaknya ada 4 tipe keluarga dalam menghadapi ODMK.
Pertama adalah keluarga kaya dan peduli pada ODMK. Kedua adalah
keluarga kaya, tapi tidak peduli pada ODMK. Ketiga adalah keluarga
miskin dan peduli pada ODMK. Keempat, keluarga miskin dan tidak
peduli pada ODMK.
Beruntunglah ODMK yang memiliki keluarga yang kaya dan
peduli pada nasibnya. Biasanya keluarga seperti ini akan terus
berjuang mencari obat untuk kesembuhan anggota keluarganya yang
menjadi ODMK. Mereka akan menempuh segala cara untuk mencari
pengobatan, baik alternatif, mistis, herbal, maupun ilmiah. Mereka
tidak malu dan tidak merasa ODMK sebagai aib. Mereka percaya
ODMK bisa diobati, dan mereka sangat percaya dukungan keluarga
menjadi sarana utama untuk menunjang kesembuhan ODMK. Tapi,
keluarga yang seperti itu sangat sedikit jumlahnya.
Mayoritas keluarga di Indonesia masih menganggap ODMK
sebagai aib. Maka, bila ada anggota keluarganya yang menjadi ODMK,
mereka memilih menyembunyikannya, mengucilkannya, atau bahkan
menelantarkannya, membuangnya, atau tidak mengakuinya sebagai
anggota keluarganya. Dengan dalih untuk menjaga keselamatan



Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009

ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM

semua pihak, maka bila ada anggota keluarganya yang menjadi
ODMK, keluarga di Indonesia memilih untuk memasungnya, terutama
bila tidak mampu membawanya ke RSJ atau tidak mampu membiayai
pengobatannya.
Pasung terjadi hampir di seluruh pelosok Tanah Air. Di Jombang,
Jawa Timur, ada cerita memiriskan yang dialami Luluk Komariyah.
Perempuan berusia 33 tahun ini tinggal di Dusun Kucung, Desa
Banyuarang, Kecamatan Ngoro, Jombang, Jawa Timur. Luluk dipasung
oleh ayahnya, Imam Mansyur atau Surdi, sejak usia 18 tahun garagara mengalami gangguan jiwa. Alasan pemasungan adalah untuk
memudahkan mengontrol dan menjaga hal terburuk apabila Luluk
tiba-tiba mengamuk. Selama dipasung Luluk mengalami tindakan
pemerkosaan. Tercatat Luluk pernah melahirkan hingga empat kali.
Belum diketahui lelaki yang menghamili Luluk. Anak-anak Luluk
diasuh oleh orang lain.
Berkat dorongan dari media massa dan Woman Crisis Centre
Jombang, Pemerintah Kabupateng Jombang bersedia turun tangan.
Luluk akhirnya dirawat di Rumah Sakit Syaiful Anwar, Malang.
Setelah­menjalani­perawatan­intensif,­kondisi­isik­dan­psikologi­Luluk­
membaik. Kini Luluk dirawat di Rumah Sakit Jiwa Lawang.
Kisah pasung lainnya berasal dari Aceh. Cut Manyak, 56 tahun,
warga Rhing Krueng, Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya,
memasung suaminya, Mahmud, 68 tahun, hampir 30 tahun lamanya.
Mahmud dipasung di sebilah kayu besar. Di kayu itu terdapat dua
lubang untuk memasung kedua kaki suaminya. Pemasungan itu
dilakukan karena Mahmud mengalami gangguan jiwa yang muncul
secara tiba-tiba. Menurut Cut Manyak, tindakannya bertujuan untuk
mencegah agar suaminya tidak diganggu atau dipukul orang lain.
Kondisi seperti yang dialami Mahmud juga dialami ratusan warga
Aceh lainnya. Di Aceh ada sekitar 200 penderita gangguan jiwa yang
dipasung oleh keluarganya.
Di Depok, Provinsi Jawa Barat, dua orang pemuda kakak beradik
bernama Asmadi, 26 tahun, dan Ahmad, 21 tahun, dipasung karena
mengalami gangguan jiwa. Mereka dipasung karena sering mengamuk
dan membahayakan warga sekitarnya. Asmadi dan Ahmad dipasung

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009

9

ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM

dalam kondisi bugil di tempat yang berbeda. Asmadi dipasung di kebun
milik warga yang terletak di samping rumahnya, sedangkan Ahmad
dipasung tepat di depan rumah.
Asmadi dipasung dengan rantai yang dipaku ke dalam tanah,
sedangkan Ahmad hanya dirantai di samping amben atau kasur kayu.
Ayah kedua pemuda tersebut, Yahya, mengatakan, Asmadi, anak
pertamanya, sudah dipasung selama tiga tahun.
Di Nusa Tenggara Barat (NTB), Mahyidin dipasung keluarganya
selama satu setengah tahun. Kakinya dijepit bongkahan balok kayu.
Tangannya kadang juga dirantai. Pemuda berusia 21 tahun warga Desa
Jago, Kecamatan Praya, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara
Barat (NTB), itu dipasung karena mengalami gangguan jiwa setelah
pulang kerja dari Malaysia.
Mahyidin hanyalah satu dari puluhan eks tenaga kerja Indonesia
(TKI) yang mengalami gangguan jiwa setelah pulang dari Malaysia.
Banyak TKI yang mengalami gangguan jiwa karena mereka
mengalami tekanan di semua tahap pengiriman TKI, mulai rekrutmen,
penampungan, pemberangkatan, penempatan, pemulangan, hingga
pasca-pemulangan. Pemerintah tidak memberikan dukungan
fasilitas yang memadai terhadap para TKI. Padahal, mereka adalah
penyumbang devisa terbesar kedua setelah sektor migas.
Bila TKI mengalami masalah di luar negeri, pemerintah tidak
menyediakan tenaga konseling kejiwaan. Bahkan, ketika TKI diburu
seperti anjing oleh aparat Pemerintah Malaysia atau negara lain
di mana dia berada, pemerintah malah tutup mata. TKI dibiarkan
mengurus nasibnya sendiri: yang kuat akan tetap hidup, yang tidak
kuat akan mati atau mengalami gangguan jiwa. TKI yang menderita
gangguan jiwa ini, antara lain, dapat ditemui di daerah Nunukan.
Mereka dibiarkan berkeliaran di jalan-jalan. Mereka adalah mantan
TKI yang bekerja di Malaysia. Di beberapa daerah transit lainnya juga
sering ditemui TKI yang mengalami gangguan jiwa.
Selain TKI yang menjadi ODMK, di penjara juga banyak narapidana
yang mengalami gangguan jiwa. Kondisi penjara di Indonesia yang
overload, tidak memenuhi standar kesehatan, makanan yang tidak

0

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009

ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM

bergizi, dan aparat yang kurang bersahabat menyebabkan banyak
narapidana menjadi stres. Celakanya ketika stres, pihak pengelola
penjara tidak menyediakan tenaga konseling kejiwaan (psikiater).
Malahan, narapidana yang stres sering mendapat perlakuan yang
tidak manusiawi, seperti dipukuli, dicaci maki, dan diisolasi.
ODMK sepertinya tak mendapat tempat yang layak untuk
mempertahankan hak-haknya sebagai manusia dan untuk memulihkan
dirinya. Hampir di semua lingkungan dia mendapat perlakuan yang
tidak manusiawi.
Hak-hak ODMK di bidang sipil politik (sipol) dan ekonomi sosial
budaya (ekosob) tak lagi diabaikan oleh negara. Di bidang politik, pada
Pemilu 2009 hak pilih ODMK tidak diakomodasi oleh Komisi Pemilihan
Umum (KPU) Indonesia. KPU tidak menyediakan tempat pemungutan
suara (TPS) di RSJ. Jangankan RSJ, di rumah sakit umum (RSU) saja
KPU tidak menyediakan TPS.
KPU menganggap ODMK tidak memiliki hak pilih karena Pasal
14 (a) UU Pemilu menyatakan bahwa syarat untuk menjadi pemilih
harus nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya. Pasal
ini seharusnya tidak diterapkan secara otomatis terhadap semua
ODMK. Karena, menurut catatan klinik-klinik perawatan, lebih dari
80 persen ODMK mengerti dan mampu membedakan mana perilaku
sosial yang baik dan mana yang buruk. Tentunya, mereka tidak akan
mengalami kesulitan kalau sekadar mencontreng tanda gambar pada
pemilu.
Di bidang kesehatan, ODMK sering tidak mendapat layanan jika
berobat menggunakan kartu asuransi keluarga miskin (gakin). Mereka
juga tidak dilayani di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) terdekat.
Padahal, puskesmas adalah ujung tombak layanan kesehatan yang
sangat diandalkan masyarakat. Hanya ada beberapa puskesmas yang
menyediakan layanan khusus ODMK. Yang jelas, layanan kesehatan
untuk ODMK dari segi availability (ketersediaan), accessibility (adanya
akses), acceptability (dapat diterima menurut etika dan kebudayaan),
dan quality (kualitas) masih sangat memprihatinkan.
Di bidang ekonomi, ODMK atau mantan ODMK juga kesulitan

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009



ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM

untuk mendapatkan pekerjaan. Mereka dianggap tidak cakap
bekerja dan berbahaya bagi orang lain. Di bidang yang lain, ODMK
atau mantan ODMK masih terus mendapatkan perlakuan yang
diskriminatif.
Penutup
Nasib ODMK yang terpinggirkan dan memprihatinkan akan
terus terjadi bila tidak ada upaya-upaya konkret untuk menghapus
stigma dan diskriminasi terhadap mereka. Penghapusan stigma dan
diskriminasi merupakan langkah awal untuk mengeliminasi segala
bentuk pelanggaran HAM terhadap ODMK.
Upaya eliminasi pelanggaran HAM terhadap ODMK dapat
dilakukan melalui berbagai upaya. Pertama, adalah upaya pencegahan.
Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan kampanye dan
penyuluhan kepada masyarakat tentang ODMK. Persepsi publik yang
selama ini keliru terhadap ODMK perlu diluruskan. Masyarakat harus
diedukasi secara aktif untuk lebih peduli kepada ODMK. Program
penyuluhan ini harus terus berkelanjutan, terarah, dan terpadu.
Kedua, upaya pengobatan. Untuk mengobati ODMK, negara
wajib menyediakan layanan kesehatan sesuai dengan standar WHO.
Penyediaan layanan tersebut dapat dilakukan secara bertahap,
terarah, dan terpadu. Negara harus memperbaiki sarana dan
prasarana kesehatan untuk ODMK yang saat ini sudah ada. Negara
juga harus menyediakan anggaran yang memadai, memperbanyak
tenaga medis dan memperbaiki kualitasnya, serta menyediakan obatobatan yang memadai. Dan yang tak kalah penting, negara harus
segera menyediakan layanan kesehatan untuk ODMK di puskesmaspuskesmas. Puskesmas memiliki peran vital karena jumlahnya lebih
dari 8.000 di seluruh Indonesia dan mudah dijangkau masyarakat.
Ketiga, upaya rehabilitasi. Rehabilitasi harus dilaksanakan sebagai
program yang terintegral dengan pengobatan. Sebab, selama ini banyak
ODMK yang sudah ditetapkan sembuh kemudian kambuh lagi karena
tidak adanya upaya rehabilitasi secara konkret. Upaya rehabilitasi
akan sangat efektif bila melibatkan peran serta masyarakat dan
keluarga secara aktif.

2

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009

ORANG DENGAN MASALAH KEJIWAAN (ODMK) DAN PELANGGARAN HAM

Selain tiga upaya di atas, negara sebagai pemangku kewajiban
untuk pemenuhan HAM ODMK juga harus segera membenahi sektor
kebijakan yang menyangkut ODMK. Kebijakan-kebijakan terkait
ODMK perlu dibenahi, ditata ulang, dan diselaraskan dengan semangat
penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM ODMK.

Kepustakaan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.

Hasyim dkk, M. Fuad., Agama dan Kesehatan Mental, http://yodisetyawan.wordpress.com/2008/05/19/agama-dankesehatan-mental/.
Irmansyah, ahli kesehatan jiwa di Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. ”Biarkan Penderita Gangguan
Jiwa Ikut Pemilu”. Kompas.
http://www.tugaskuliah.info/2009/10/bahan-kuliah-konsep-sehat-sakit-menurut.html.
http://www.forumbebas.com/thread-55139.html.
“Perawatan Orang Gila di Panti Tak Manusiawi, Tak Mau Makan, Kurang Gizi, Dipukuli, Tewas”, http://www.metrobalikpapan.
co.id/index.php?mib=berita.detail&id=15609.
“Panti Laras Krisis Obat dan Kekurangan Obat Sakit Gila”, http://www.hupelita.com/baca.php?id=71367.
Nograhany Widhi K. “50% Orang Gila Terlantar di RSJ”, http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/10/
tgl/08/time/143537/idnews/839391/idkanal/10.
Melly Febrida. “Overload-nya Panti Rehabilitasi Pasien Gangguan Jiwa”, http://www.detiknews.com/read/2007/10/02/181121/8
36992/10/overload-nya-panti-rehabilitasi-pasien-gangguan-jiwa.
“Nasib Jadi TKI di Malaysia, Mereka Teraniaya hingga Gila”, http://www.gatra.com/2002-06-10/artikel.php?id=18148.
“Orang Gila Berkeliaran”, http://www.tribunkaltim.co.id/read/artikel/46507.
“Jumlah Orang Gila Menggila”, http://hariansib.com/?p=45980.
“Sakit Jiwa (1) Pasung di Kampung Stres”, http://www.vhrmedia.com/Pasung-di-Kampung-Stres-kisah1784.html.
Kunjungan Staf RSJ & Mahasiswa Norwegia, “Pasung, Antara Cinta dan Pelanggaran HAM”, http://serambinews.com/news/
view/16207/pasung-antara-cinta-dan-pelanggaran-ham.
“Orang Tua Pasung Kakak Beradik Tiga Tahun di Depok”, http://cilacap-online.com/berita-nasional/198-orangtua-pasung-ka
kak-beradik-tiga-tahun-di-depok.pdf.
Wikipedia bahasa Indonesia, “Penyakit mental”, http://id.wikipedia.org/wiki/Penyakit_jiwa.
“Sakit Jiwa = Aib?”, http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=1045.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009



Kesehatan Jiwa
dalam Perspektif Global
Hervita Diatri
Meskipun banyak faktor psikososial yang terjadi saat ini pada
masyarakat dan berpotensi besar menyebabkan masalah
kesehatan jiwa, namun perhatian terhadap aspek kesehatan
jiwa hingga saat ini masih minimal. Hal ini salah satunya terjadi
akibat kurangnya informasi dan pemahaman tentang masalah
kesehatan jiwa. Akibatnya manajemen yang komprehensif,
melibatkan banyak sektor, dan mampu melindungi hak asasi
orang dengan gangguan jiwa menjadi sulit untuk diciptakan.
Hal tersebut berujung pada tidak tertatalaksananya masalah
kesehatan jiwa dengan baik dan membawa dampak negatif bagi
individu, keluarga, masyarakat, maupun negara.
Tulisan ini dibuat dengan cara mengelaborasikan beberapa
sumber pustaka, baik lokal maupun internasional, untuk membandingkan kondisi yang ada
di Indonesia dengan kondisi yang ada secara global. Beberapa data penelitian digabungkan
dengan pendapat kualitatif dari beberapa ahli di bidang kesehatan jiwa juga disajikan.
Data-data tersebut diharapkan akan mampu memberikan gambaran tentang besarnya
masalah kesehatan jiwa, termasuk dampak yang diakibatkan. Tulisan ini juga akan
memberikan pemahaman mengenai apa itu kesehatan jiwa dan gangguan jiwa beserta
klasiikasinya. Kesemuanya ditujukan untuk semakin meningkatkan pemahaman dan
kesadaran bahwa masalah kesehatan jiwa tidak bisa dipisahkan dari masalah kesehatan,
dan merupakan masalah kompleks yang membutuhkan kerja sama setiap unit dalam
struktur masyarakat dan berbagai sektor terkait.

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009



Kesehatan Jiwa
dalam Perspektif Global

No Health without Mental Health1

K

enyataan bahwa tidak ada kesehatan tanpa kesehatan jiwa
sesuai dengan slogan di atas memang nyata menjadi sebuah
kebutuhan bagi semua orang. Slogan lain seperti Men Sana in
Corpore Sano, ”di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat”,
menunjukkan bahwa masalah kesehatan tidak dapat dipisahkan dari
kesehatan jiwa.
Kesehatan merupakan kebutuhan hidup setiap manusia. Karena,
kesehatan memungkinkan seseorang untuk dapat hidup produktif.
­Deinisi­kesehatan­yang­dianut­sampai­sekarang­pada­dasarnya­mengacu­
pada preambule dari WHO Constitution 1948 yang menyebutkan bahwa:
Health is a state of complete physical, mental, and social wellbeing,
not­merely­the­absence­of­diseases­or­inirmity.­The­enjoyment­of­the­
highest attainable standard of health is one of the fundamental rights
of every human being without distinction of race, religion, political
belief, economic or social condition.
Berdasarkan­deinisi­di­atas,­jelaslah­bahwa­kebutuhan­akan­“sehat”­
yang­ dimaksud­ tidak­ hanya­ meliputi­ kesehatan­ isik,­ melainkan­
juga kesehatan mental/jiwa dan sosial dengan porsi yang seimbang,
memandang manusia secara utuh.2
Hal serupa juga diakomodasi dalam UU RI tentang Kesehatan No. 23
Tahun 2009 yang menyatakan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat,

Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009



KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL

baik­secara­isik,­mental,­spritual­maupun­sosial,­yang­memungkinkan­
setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Jadi,
sebenarnya tersirat di sini bahwa kesehatan jiwa adalah bagian yang
tidak terpisahkan dari kesehatan (bagian integral) dan unsur utama
dalam menunjang terwujudnya kualitas hidup yang utuh. Sejahtera
sebenarnya tidak dapat diukur semata-mata hanya secara sosial maupun ekonomis.1,3
Memperhatikan secara khusus kondisi di Indonesia yang masih
terus berlangsung hingga saat ini terkait banyaknya kejadian
bencana, krisis ekonomi yang berkepanjangan, dan isu psikososial
lainnya, masyarakat memiliki potensi masalah kesehatan jiwa yang
cukup tinggi. Potensi tersebut tidak secara eksklusif berdampak bagi
sekelompok orang, namun seluruh masyarakat Indonesia, terutama
kelompok masyarakat yang rentan, seperti anak, perempuan, usia
lanjut, para pengungsi, dan kelompok minoritas lainnya. Data Riset
Kesehatan Dasar tahun 20074 di 33 provinsi dan 440 kabupaten/
kota menunjukkan bahwa gangguan mental emosional (depresi dan
anxietas) dialami oleh sekitar 11,6% populasi usia di atas 15 tahun
(24.708.000 orang). Sedangkan sekitar 1.065.000 orang (0,48% populasi)
mengalami gangguan jiwa berat (psikosis).
Meskipun data menunjukkan angka kebutuhan yang cukup besar
dan mendesak, ironisnya masalah kesehatan jiwa masih dipandang
sebelah mata dan termarginalkan dalam rencana pembangunan
kesehatan manusia Indonesia. Banyak faktor yang berpengaruh untuk
terciptanya kondisi ini. Salah satunya adalah kurangnya pengertian
dan informasi mengenai apa itu kesehatan jiwa dan gangguan jiwa,
faktor potensial yang menjadi latar belakang timbulnya masalah
kesehatan jiwa, dampak yang akan ditimbulkan pada kehidupan
individu tersebut, serta bagaimana seharusnya masalah kesehatan
jiwa dapat dikelola. Tulisan ini akan membahas keseluruhan aspek
informasi yang diperlukan tersebut.
Apa Itu Kesehatan Jiwa
Berbicara tentang kesehatan jiwa artinya bukan sekadar terbebas
dari gangguan jiwa, namun merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh
semua­orang.­Deinisi­kesehatan­jiwa­menurut­WHOe adalah perasaan



Jurnal HAM • Vol. 5 • Tahun 2009

KESEHATAN JIWA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL

sehat dan bahagia, serta mampu menghadapi tantangan hidup, dapat
menerima orang lain sebagaimana adanya, dan mempunyai sikap positif
terhadap diri sendiri dan orang lain. Jadi, kesehatan jiwa meliputi:
a. Bagaimana perasaan seseorang terhadap dirinya. Perasaan nyaman
terhadap diri sendiri dapat dilihat dari kemampuan seseorang untuk:
• menghadapi berbagai perasaan, seperti rasa marah, takut,
cemas, cinta, iri, rasa bersalah, dan rasa senang,
• mengatasi kekecewaan dalam kehidupan,
• mempunyai harga diri yang waj