ALI WARDHANA PEMIKIRAN EKONOMI TERBUKA U

ALI WARDHANA: PEMIKIRAN EKONOMI TERBUKA UNTUK BANGSA
Diena Qonita
Ilmu Ekonomi Islam
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

“How Do Crises Lead to Change?” oleh Jeffrey Chwieroth menyebutkan bahwa
perubahan arah ekonomi suatu negara dapat berganti pada saat terjadi krisis ekonomi. Indonesia
merupakan contoh dari pergantian sistem perekonomian yang disebabkan oleh krisis. Krisis yang
terjadi pada saat itu adalah sistem ekonomi Orde Lama, dengan ekonomi yang dikendalikan oleh
pemerintah, yang pada akhirnya menyebabkan hiperinflasi dan defisit anggaran.
Pada tahun 1966, saat berakhirnya pemerintahan Orde Lama dan awal pemerintahan Orde
Baru, Indonesia mengalami kondisi ekonomi yang kacau balau karena tingkat inflasi yang
mencapai angka sekitar 650%, langkanya makanan karena produksi sektor agrikultur tidak dapat
mencukupi kebutuhan rakyat, dan tingkat kemiskinan yang cukup tinggi. Sebelumnya, pada
masa Orde Lama, pemerintah banyak mengeluarkan anggaran yang ditujukan untuk
pembangunan-pembangunan proyek besar demi kepentingan politik luar negeri, politik ini
dikenal dengan Politik Mercusuar. Selain itu, kacaunya kondisi ekonomi saat itu menyebabkan
rendahnya investasi dan hal ini memperburuk keadaan ekonomi di Indonesia. Di akhir
pemerintahan Orde Lama, Indonesia menghindari hubungan dengan negara superpower, yaitu
Amerika Serikat dan Rusia, dan lebih memilih untuk bekerja sama dengan Inggris atau Jepang.
(Hollinger, 1996: 25)

Untuk mengatasi carut-marut ekonomi saat itu, Prof. Dr. Ali Wardhana, sebagai Menteri
Keuangan Republik Indonesia, memiliki beberapa kebijakan. Kebijakan-kebijakan yang beliau
lakukan antara lain yaitu melalui beberapa kebijakan anggaran, seperti menerapkan balance
budget policy, pengetatan anggaran, dan pembagian APBN menjadi dua, anggaran rutin dan
anggaran pembangunan. Selain kebijakan anggaran, beliau juga melakukan pendisiplinan
penarikan pajak untuk menambah pendapatan negara dan adanya kebijakan devaluasi beberapa
kali demi bertahannya industri ekspor tanah air. Kebijakan-kebijakan tersebut secara langsung
maupun tidak langsung, bertujuan untuk menumbuhkan iklim industri di Indonesia, dan di satu
titik, dapat terlihat kebijakan itu diambil untuk liberalisasi yang biasa disebut sebagai strategi
penyesuaian struktural oleh beliau (Malarangeng, 2002: 121). Kebijakan ekonomi masa Orde
1

Baru oleh Ali Wardhana dan kawan-kawannya, Mafia Berkeley 1, serta dukungan dari pemerintah
Indonesia saat itu membawa perubahan pada sistem ekonomi Indonesia.
Sebagai pemangku jabatan di bidang ekonomi, pemikiran ekonomi dari Ali Wardhana
memiliki pengaruh yang besar dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Salah satu hal dari Ali
Wardhana (1989 dalam Malarangeng, 2002: 119) mengenai pemikirannya dapat diketahui
melalui a simple chain of economic reasoning yang beliau sampaikan. Pokok-pokok
pemikirannya meliputi:
1. Pertumbuhan dan pembangunan ekonomi merupakan tujuan utama kebijakan pemerintah.

2. Pertumbuhan ekonomi memerlukan pertumbuhan ekspor untuk membiayai kebutuhan impor
serta membayar utang.
3. Dengan tingkat harga minyak yang tidak pasti, dan tingkat cadangan minyak Indonesia
sudah dapat diperkirakan, maka satu-satunya sumber yang bisa diandalkan bagi
pertumbuhan ekspor Indonesia adalah produk-produk ekspor nonminyak, baik di bidang
pertanian maupun manufaktur.
4. Ekspor nonminyak memerlukan efisiensi dan perekonomian yang produktif dengan biaya
rendah untuk memungkinkan perusahaan bersaing di pasar dunia. Semua itu dengan
sendirinya memerlukan pasar dalam negeri yang kompetitif.
5. Proteksi dan kontrol pemerintah yang telah menjadi pilihan bagi kebijakan ekonomi selama
ini bertentangan dengan tuntutan pasar dalam negeri yang kompetitif. Kebijakan lama telah
menciptakan ekonomi biaya-tinggi yang sekarang ini ingin dihindari.
6. Oleh karena itu, untuk mendorong ekspor dan pertumbuhan ekonomi, Indonesia perlu
meninggalkan kebijakan yang protektif dan pengawasan pemerintah, dan segera
“menderegulasi” perekonomiannya…
Pemikiran beliau itu diterapkan dalam berbagai kebijakan yang beliau terapkan untuk
Indonesia. Kebijakan Ali Wardhana yang mengarahkan Indonesia menjadi negara yang open
economy ditunjukkan dengan beberapa kebijakan yang memudahkan asing untuk berinvestasi di
Indonesia dan usaha untuk meningkatkan ekspor dalam negeri, di antaranya dengan devaluasi
rupiah, reformasi pajak, dan deregulasi. Namun, sebelum itu, diperlukan kondisi ekonomi yang

kondusif untuk berinvestasi setelah kekacauan ekonomi tahun 1960an.
1 Mafia Berkeley merupakan sebutan untuk murid-murid Sumitro Djojohadikusumo, yaitu
Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Ali Wardhana, Mohammad Sadli, JB Sumarlin yang dikirim
untuk menempuh pendidikan di University of California at Berkeley.

2

Kebijakan anggaran yang diterapkan oleh Ali Wardhana dilakukan untuk tujuan
menyelesaikan permasalahan tingginya tingkat inflasi yang terjadi saat awal Orde Baru. Selain
penurunan inflasi, kebijakan anggaran juga dilakukan untuk membiayai pembangunan nasional.
Untuk memperbaiki kondisi ekonomi, Ali Wardhana melakukan stabilisasi ekonomi dengan
merancang anggaran berimbang dan meningkatkan suku bunga riil untuk mengurangi jumlah
uang beredar di masyarakat.
Inflasi besar-besaran yang terjadi di masa Orde Lama salah satunya diakibatkan oleh
penerapan budget deficit pada anggaran belanja pemerintah. Budget deficit ini terjadi karena
pemerintah yang ingin membangun proyek-proyek besar, namun tidak ada dana yang cukup
untuk membiayai proyek. Akhirnya anggaran defisit dibiayai dengan pencetakan mata uang baru,
sehingga terjadilah inflasi. Hal yang dilakukan oleh Ali Wardhana untuk mengatasi hal tersebut
adalah dengan melakukan anggaran berimbang yang dilakukan dengan menyamakan pendapatan
nasional yang didapatkan dari pendapatan pajak dan bantuan pinjaman asing (foreign aid) dan

pengeluaran pemerintah. Dengan kata lain, pengeluaran yang dilakukan pemerintah tidak boleh
melebihi pendapatannya. Perubahan lain dari anggaran pemerintah yang dilakukan oleh Ali
Wardhana adalah pembagian anggaran menjadi dua, yaitu anggaran rutin untuk pembiayaan
belanja rutin negara, seperti penggajian pegawai, dan anggaran pembangunan.
Pada tahun 1970-an, ketika negara-negara yang tergabung dalam OPEC mengurangi
jumlah ekspornya, terjadilah oil boom, di mana harga minyak dunia naik, dan Indonesia sebagai
salah satu pengekspor minyak terbesar di dunia mengalami surplus. Ali Wardhana
mengalokasikan surplus dari penjualan minyak untuk membiayai berbagai proyek pembangunan
nasional. Pembangunan ini dipusatkan untuk peningkatan kualitas kesehatan dengan membangun
puskesmas, pendidikan melalui pembangunan sekolah-sekolah di seluruh penjuru negeri, dan
juga peningkatan produktivitas pertanian dengan memperbaiki infrastruktur yang penting bagi
pertanian, seperti irigasi.
Tahun 1978, oil boom terjadi lagi saat pecahnya Revolusi Iran menyebabkan pasokan
minyak dunia berkurang sehingga harga minyak dunia kembali naik. Pada saat oil boom yang
kedua ini, keluar kebijakan Ali Wardhana yang cukup mengejutkan, yaitu kebijakan devaluasi
rupiah.
Kebijakan devaluasi merupakan kebijakan penurunan nilai mata uang domestik, sehingga
harga mata uang dalam negeri menjadi lebih murah. Penurunan nilai ini bertujuan untuk
3


meningkatkan ekspor karena harga komoditas yang dianggap lebih murah dan penurunan impor
karena mahalnya harga-harga barang produksi luar negeri, keduanya akan berimplikasi pada
penguatan devisa, dengan meningkatnya nilai neraca pembayaran. Saat itu, pemerintah
menyatakan peningkatan daya saing ekspor merupakan alasan utama dari dikeluarkannya
kebijakan devaluasi rupiah dari Rp 415 per dolar AS menjadi Rp 625 per dolar AS pada 15
November, sehingga dikenal dengan sebutan KENOP 15 atau Kebijakan November 15.
Berkaitan dengan tingkat ekspor Indonesia, devaluasi ini terutama diturunkan untuk
menghindari kerugian akibat turunnya penjualan minyak. Devaluasi pada tahun 1978 bertepatan
momen dengan terjadinya oil boom kedua. Saat terjadi oil boom kedua ini, rupiah dianggap
memiliki kurs yang dinilai terlalu tinggi (overvaluation), sehingga pemerintah merasa Indonesia
harus melakukan devaluasi. Devaluasi ini, pertama, untuk mempertahankan jumlah cadangan
devisa melalui penguatan ekspor dan kedua, agar harga minyak Indonesia dapat bersaing dengan
tingkat harga minyak yang ditawarkan negara lain, sehingga ketika terjadi penurunan harga
minyak dunia, Indonesia tidak mengalami kerugian yang lebih besar lagi.
Kebijakan lain Ali Wardhana yang berkaitan dengan anggaran adalah kebijakan reformasi
pajak atau tax reform pada tahun 1983 (namun baru diberlakukan pada 1984), saat beliau
menjabat sebagai Menteri Koordinator Ekonomi, Industri, dan Pembangunan Ekonomi. Latar
belakang dilaksanakannya reformasi pajak adalah karena sistem pemungutan pajak yang selama
ini dilakukan merupakan peninggalan Belanda dan sudah tidak cocok lagi digunakan. Selain itu,
reformasi pajak juga bertujuan untuk membiayai pembangunan yang akan dimulai pada Repelita

IV. Pembiayaan proyek ini tidak dapat bergantung pada penerimaan negara yang bersumber dari
surplus penjualan minyak dan utang luar negeri, namun demi pembangunan yang lebih
berkelanjutan, diperlukanlah pajak sebagai sumber penerimaan negara.
Terdapat pendapat reformasi pajak dipengaruhi oleh adanya penurunan harga minyak
pada tahun 1983. Namun, tujuan yang lebih penting dari reformasi pajak seperti yang diambil
dari uraian Radius Prawiro adalah terciptanya sistem perpajakan yang kompetitif dan sistem
perpajakan yang sehat, yaitu kesederhanaan, keadilan, dan kepastian. Dengan adanya reformasi
pajak ini, diharapkan efek disinsentif masyarakat untuk membayar pajak dapat dikurangi, dan
jumlah wajib pajak di Indonesia mengalami peningkatan. Di akhir tahun 1985, jumlah wajib
pajak berjumlah 995.000 orang, mengalami peningkatan dari tahun 1983/84 yang hanya
berjumlah 550.000 orang (Hollinger, 1996) dan peningkatan ini meningkatkan pendapatan
4

negara dari sektor nonmigas secara dramatis (Wardhana, 2002). Selain peningkatan jumlah wajib
pajak, reformasi pajak diharapkan dapat meningkatkan minat investasi asing ke Indonesia karena
adanya sistem pajak yang lebih mudah dan jelas.
Beberapa kebijakan anggaran yang telah dilakukan oleh Ali Wardhana mungkin bisa
dianggap sebagai dari tindakan golongan monetaris, yaitu golongan yang menganggap bahwa
inflasi sebagai permasalahan ekonomi dapat diatasi dengan melakukan berbagai kebijakan
moneter yaitu dengan penyesuaian nilai tukar dan tingkat bunga. Namun demikian, apabila

disimak lebih jauh lagi, Ali Wardhana juga melakukan kebijakan yang mungkin akan dilakukan
oleh golongan strukturalis, yaitu pembangunan nasional untuk memperbaiki infrastruktur negara
sehingga perekonomian dapat berjalan, baik dengan adanya proyek pembangunan infrastruktur,
maupun setelah jadinya infrastruktur, seperti jalan, untuk memudahkan transportasi dan
distribusi barang. Serta, kebijakan-kebijakan yang dilakukan sebelumnya ditujukan untuk
penstabilan ekonomi negara agar terbentuk iklim investasi dan pembangunan yang kondusif.
Antara golongan monetaris atau strukturalis, tampaknya Ali Wardhana tidak memiliki
kecondongan khusus terhadap keduanya. Hal ini dapat disimpulkan dari tulisan beliau yang
berjudul “Inflasi dan Ketegangan Struktural”2, di dalam tulisan tersebut, beliau menjelaskan
mengenai pemikiran golongan monetaris dan strukturalis dalam memahami penyebab dan cara
mengatasi inflasi. Yang satu berpandangan bahwa kebijakan moneter yang akan menyelesaikan
inflasi, namun pihak yang lain berkata pengendalian inflasi melalui kebijakan moneter hanyalah
bersifat sementara dan cara untuk mengendalikan inflasi adalah dengan pembangunan ekonomi,
melalui kenaikan penawaran dan produksi. Menurut beliau, keduanya dibutuhkan untuk
stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi.
Warisan pemikiran berkesan lainnya dari Ali Wardhana adalah value-adding economy
yang berkaitan dengan status Indonesia sebagai negeri yang kaya dengan sumber daya alam dan
memiliki tingkat kesuburan tanah yang tinggi. Dengan status itu, Indonesia dapat dengan
mudahnya terkena the Dutch disease atau natural resources curse. Hal ini, menunjukkan bahwa
dari kebijakan-kebijakan moneter yang beliau lakukan pada akhirnya dimaksudkan untuk

membangun Indonesia sebagai negara dengan sektor industri dan manufaktur yang berkembang,
sehingga komoditas ekspor Indonesia memiliki nilai lebih. Tidak hanya Indonesia memiliki
sumber daya alam yang berlimpah dan mampu mengekspor banyak komoditas, seperti karet dan
2 Diterbitkan oleh Lembaga Ekonomi dan Kemsyarakatan Nasional Majelis Ilmu Pengetahuan
Indonesia (MIPI), Juli 1965

5

hasil tambang, namun juga dapat mengelolanya sehingga yang diekspor adalah barang jadi, atau
paling tidak, bukan lagi barang mentah yang hanya diekstrak dari Indonesia kemudian
pengelolaannya atau kegiatan produksinya dilakukan di luar negeri.
Salah satu pemikiran beliau dalam a chain of economic reasoning, poin ketiga, bahwa
Indonesia perlu menemukan sumber ekspor baru selain minyak yaitu sumber ekspor dari sektor
agrikultur dan manufaktur. Melalui pernyataan tersebut, beliau menunjukkan bahwa minyak
seharusnya tidak menjadi sumber utama dalam peningkatan ekspor, selain merupakan sumber
daya alam yang tidak bisa diperbarui karena pembentukannya memerlukan jutaan tahun, namun
juga karena rentannya harga minyak dunia yang berfluktuatif. Hal ini terbukti saat awal 1970 di
mana terjadi oil boom dan menghasilkan surplus bagi Indonesia, namun beberapa tahun
berikutnya, harga minyak dunia turun karena dan Pertamina mengalami kerugian yang
menyebabkan Indonesia mengalami penurunan jumlah cadangan devisa dalam jumlah yang

besar. Saat ini, harga minyak juga terus mengalami penurunan. Mirip dengan Ali Wardhana,
Jusuf Panglaykim berpendapat bahwa Indonesia perlu menemukan comparative advantage untuk
bersaing dalam ekspor (Panglaykim: 2002). Selain itu, Gubernur Bank Indonesia saat ini, Agus
Martowardojo, juga mengakui bahwa peningkatan ekspor diperlukan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat (The Jakarta Post, 15 September 2015).
Mengenai fenomena the Dutch, Muhammad Chatib Basri menjelaskan dalam, “Penyakit
Belanda”?, melalui kutipan obrolan dengan Max Corden, seorang ekonom Australia, “kenaikan
harga komoditas primer (seperti tambang dan komoditas) akan mendorong produksi di sektor
tersebut. Kenaikan produksi akan membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak. Akibatnya,
tenaga kerja harus diambil dari sektor lain, seperti manufaktur. Implikasinya: tingkat upah
pekerja di sektor manufaktur meningkat karena sebagian pekerjanya berpindah ke sektor
tambang dan komoditas.” Kenaikan harga komoditas ekspor akan menyebabkan terapresiasinya
nilai tukar riil. Kemudian, terjadi resource movement effect, yang ditunjukkan dengan adanya
perpindahan karyawan dari sektor manufaktur ke sektor komoditas ekspor. Akibat adanya
resource movement effect ini adalah deindustrialisasi, karena sektor industri produktivitasnya
menurun. Ali Wardhana dianggap berhasil menghindarkan Indonesia dari penyakit yang biasa
menyerang negara dengan sumber daya alam besar itu (The Jakarta Post, 19 Oktober 2015).
Lamanya jabatan sebagai salah seorang pengambil kebijakan ekonomi di Indonesia, Ali
Wardhana telah dikenal luas sebagai orang yang aliran liberalisme. Hal ini ditunjukkan dari
6


kebijakan-kebijakan yang langsung dan tidak langsung sebenarnya dapat dirasakan mengundang
investor asing untuk masuk ke Indonesia. Kebijakan tersebut dilakukan melalui open account
capital atau liberalisasi ekonomi yang terdiri dari capital flows (penanaman modal), kebijakan
nilai tukar mata uang, perdagangan, dan sebagai tambahan, memperbaiki hubungan baik dengan
dunia internasional, terutama pendonor. (Hollinger, 2002: 25)
Investasi asing di Indonesia dimulai sejak awal Orde Baru dengan keluarnya Undangundang Penanaman Modal Asing Nomor 1 Tahun 1967. Dengan adanya hukum yang mengatur
tentang investasi asing ini, para investor dapat berinvestasi dengan mudah dan nyaman di
Indonesia. Namun demikian, ada ketentuan bagi investor asing yang akan menanamkan
modalnya untuk bekerja sama dengan partner lokal. Freeport Sulfur, Kaiser Cement, dan
Weyerhaeuser termasuk perusahaan-perusahaan Amerika pertama yang mengambil kesempatan
untuk berinvestasi di Indonesia. Namun, investasi di sektor minyak memiliki kerangka hukum
yang berbeda dengan kerangka hukum investasi secara umum dengan menggunakan kontrak
bagi hasil (production-sharing contracts). Dalam perkembangannya, investasi asing dapat
dikatakan tumbuh subur di Indonesia.
Penanaman modal asing ini membawa Indonesia dalam peningkatan pendapatan negara,
sehingga semasa Orde Baru, tingkat pertumbuhan ekonomi selalu berada di atas 5%. Sementara
pertumbuhan ekonomi berjalan cukup baik, rupanya respon masyarakat atas bebasnya investasi
asing di Indonesia tidak selalu positif, karena dianggap hanya menguntungkan etnis China di
Indonesia yang memiliki modal besar. Puncaknya, saat terjadi Peristiwa Malapetaka 15 Januari

1974 (Malari), mahasiswa melakukan demonstrasi saat kedatangan Perdana Menteri Jepang,
memprotes dominasi asing. Akhirnya, regulasi diubah, setiap investasi asing harus bekerja sama
dengan perusahaan domestik, pengetatan izin bagi ekspatriat, dan beberapa sektor ditutup dari
investasi asing (Hollinger, 2002: 27).
Sebagai kesimpulan, Ali Wardhana, selama menjabat baik sebagai Menteri Keuangan
maupun Menko Ekuin dan menjadi orang yang berpengaruh dalam ekonomi Indonesia, diketahui
mengembangkan pemikiran mengenai pertumbuhan dan pembangunan ekonomi dalam a simple
chain of economic reasoning. Selain itu, Ali Wardhana juga merupakan salah satu orang yang
mengarahkan Indonesia sebagai negara open economy dengan melakukan berbagai kebijakan
untuk menarik investor asing dan meningkatkan pertumbuhan ekspor Indonesia.

7

DAFTAR PUSTAKA
Farid, Muhammad. (2015, Oktober 19). Ali Wardhana: The Legacy of Indonesia's Economic
Legend. Retrieved April 2, 2016, from The Jakarta Post:
http://www.thejakartapost.com/news/2015/10/19/ali-wardhana-the-legacy-indonesia-seconomic-legend.html
Hollinger, W. C. (1996). In Economic Policy Under President Soeharto: Indonesia's Twenty-Five
Year Record (p. 36). The Unites States-Indonesia Society.
Malarangeng, R. (2002). Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia, 1986-1992. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Sugianto, D. (2015, September 15). Gubernur BI Akan Contek Cara Ali Wardhana Dorong
Ekonomi 7%. Retrieved from Okezone:
http://economy.okezone.com/read/2015/09/15/20/1214326/gubernurbiakancontekcaraaliwardhanadorongekonomiri7
Wardhana, A. (2002). ECONOMIC REFORM IN INDONESIA: THE TRANSITION FROM
RESOURCE DEPENDENCE TO INTERNATIONAL COMPETITIVENESS. Behind
East Asian Growth: The Political and Social Foundations of Prosperity, 128-129.

8