Pengaruh Sosialisasi Politik Komisi Pemilihan Umum Kota Pematangsiantar Terhadap Minat Kelompok Pemilih Pada Pemilu Legislatif 2014

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Penelitian Terdahulu
Penelitian yang baik selalu berhubungan dengan penelitian yang sudah

dilakukan. Terdapat penelitian – penelitian terdahulu yang ada hubungannya
dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti yang dapat dijadikan sebagai
pembanding. Adapun penelitian yang menjadi pembanding, yaitu :
Penelitian yang dilakukan oleh Yuli Adhani 2012 yaitu “Sosialisasi
Peraturan Dan Mekanisme Pemilukada Dalam Membentuk Kompetensi
Kewarganegaraan Pemilih Pemula”. Penelitian ini bertujuan memperoleh
gambaran faktual mengenai sosialisasi peraturan dan mekanisme pemilukada oleh
Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta dalam membentuk kompetensi
kewarganegaraan pemilih pemula. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif dengan metode studi kasus dan data diperoleh melalui teknik observasi,
wawancara, studi literatur, studi dokumentasi dan catatan lapangan. Hasil dari
sosialisasi tersebut pemilih pemula sudah mengetahui, memahami dan mampu
menganalisa tahapan Pemilukada DKI Jakarta 2012. Pengetahuan dan

pemahaman tersebut pemilih pemula dapatkan bukan hanya dari sosialisasi
Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta tetapi ada upaya dari pemilih
pemula untuk mencari tahu informasi Pemilukada DKI Jakarta 2012 melalui
media massa.

Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Sihabudin Zuhri 2010 yaitu
“Peranan Sekolah Dalam Sosialisasi Politik”. Untuk mendapatkan gambaran
tentang proses sosialisasi politik dan kunci pelaksanaan sosialisasi politik di SMA
Negeri 2 Semarang dapat dilihat dari sosialisasi politik secara langsung berupa
pembelajaran yang aktif, kreatif, inovatif dan menyenangkan. Sedangkan
sosialiasai politik secara tidak langsung dengan cara magang menjadi anggota
organiasasi yang ada di Sekolah. Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif, sedangkan untuk mendapatkan
informasi data penelitian, penulis menggunakan teknik sampling berimbang
(proportional sampling). Sampling berimbang selalu dikombinasikan dengan
teknik lain yang berhubungan dengan populasi yang tidak homogen. Hasil
penelitian ini menunjukkan; proses sosialisasi politik secara langsung melalui
metode pembelajaran politik yang inovatif, kreatif dan menyenangkan. Proses
sosialisasi politik secara tidak langsung merupakan upaya peningkatan pelayanan
kepada peserta didik melalui pengembangan diri baik melalui kegiatan

ekstrakurikuler maupun organisasi yang ada di sekolah.
Kemudian Agustinus Panca N. 2013 dalam penelitiannya tentang
“Dampak Sosialisasi Pemilu Oleh KPU Kota Surabaya Terhadap Partisipasi
Politik Masyarakat Pada Pilgub Jatim Tahun 2013” penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui sejauh mana dampak sosialisasi pemilu yang dilakukan oleh KPU
Kota Surabaya, penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif
sedangkan

untuk

mendapatkan

data

informasi

dan

penelitian


penulis

menggunakan metode area probabblilty dan cluster sample . Populasinya adalah
seluruh warga masyarakat kecamatan Gayungan yang terdaftar sebagai pemilih

tetap pada Pemilu Gubernur 2013 Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa
untuk kegiatan sosialisasi KPU Kota Surabaya pada pemilu 2013 dikategorikan
menunjukkan hasil yang cukup berarti.
2.2

Komunikasi Kelompok
Komunikasi kelompok adalah komunikasi yang berlangsung antara

beberapa orang dalam suatu kelompok “kecil” seperti dalam rapat, pertemuan,
konperensi dan sebagainya (Arifin, 1984). Michael Burgoon (dalam Wiryanto,
2005: 46) mendefinisikan komunikasi kelompok sebagai interaksi secara tatap
muka antara tiga orang atau lebih, dengan tujuan yang telah diketahui, seperti
berbagi informasi, menjaga diri, pemecahan masalah, yang mana anggotaanggotanya dapat mengingat karakteristik pribadi anggota-anggota yang lain
secara tepat. Kedua definisi komunikasi kelompok di atas mempunyai kesamaan,
yakni adanya komunikasi tatap muka, dan memiliki susunan rencana kerja

tertentu umtuk mencapai tujuan kelompok.
Komunikasi kelompok merupakan hubungan antara manusia dengan
masyarakat secara dialektis dalam eksternalisasi, obyektifitas, dan internalisasi.
Ekternalisasi adalah pencurahan kehadiran manusia, baik dalam aktifitas maupun
mentalitas. Melalui eksternalisasi, manusia mengekspresikan dirinya dengan
membangun dunianya. Obyektifitas adalah disandangnya produk-produk aktifitas
suatu realitas yang berhadapan dengan para produsennya (manusia) dalam suatu
kefaktaan yang eksternal terhadap yang lain, dari pada podusennya sendiri.
Internalisasi

adalah

peresapan

kembali

realitas

oleh


manusia

dan

mentranformasikannya sekali lagi struktur-struktur dunia obyektif ke dalam
struktur-struktur kesadaran subyektif. Komunikasi kelompok dapat dikatakan

sebagai disiplin karena komunikasi kelompok ini mempunyai ruang lingkup,
menunjukkan kemajuan dalam pengembangan teori serta mempunyai metodologi
riset, kritik, dan penerapan.
Adler dan Rodman (dalam Bungin, 2006: 272) mengemukakan empat
elemen komunikasi kelompok, yaitu:
1.

Interaksi, interaksi dalam komunikasi kelompok merupakan faktor
yang penting. Melalui interaksi kita dapat melihat perbedaan antara
kelompok dengan istilah yang disebut dengan Coact. Coact adalah
sekumpulan orang yang secara serentak terkait dalam aktivitas yang
sama namun tanpa komunikasi satu sama lain.


2.

Waktu, sekumpulan orang yang berinteraksi untuk jangka waktu yang
singkat tidak dapat digolongkan sebagai kelompok. Kelompok
mempersyaratkan interaksi dalam jangka waktu yang panjang karena
dengan interaksi ini akan dimiliki karakteristik atau ciri yang tidak
dipunyai oleh kumpulan yang bersifat sementara.

3.

Partisipasi, keikutsertaan atau keterlibatan anggota dalam interaksi.

4.

Tujuan, mengandung pengertian keanggotaan dalam suatu kelompok
akan membantu individu yang menjadi anggota kelompok dapat
mencapai tujuan yang diinginkan.

Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama
yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu

sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut
(Mulyana,2005: 43). Kelompok ini misalnya adalah keluarga, kelompok diskusi,
kelompok pemecahan masalah, atau suatu komite yang tengah berapat untuk

mengambil suatu keputusan. Dalam komunikasi kelompok, juga melibatkan
komunikasi antarpribadi. Karena itu kebanyakan teori komunikasi antarpribadi
berlaku juga bagi komunikasi kelompok.
Sendjaja (2004: 27) menyatakan kelompok yang baik adalah kelompok
yang dapat mengatur sirkulasi tatap muka yang intensif di antara anggota
kelompok, serta tatap muka itu pula akan mengatur sirkulasi komunikasi makna di
antara mereka, sehingga mampu melahirkan sentimen-sentimen kelompok serta
kerinduan di antara mereka. Kelompok dalam perspektif interaksional yang
dikemukakan Marvin Shaw sebagai dua orang atau lebih yang berinteraksi satu
sama lain dengan suatu cara tertentu, di mana masing masing mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh pihak lainnya.
2.2.1

Klasifikasi Kelompok dan Karakteristik Komunikasinya.
Terdapat banyak klasifikasi kelompok yang dilahirkan oleh para ilmuwan


sosiologi, namun dalam penelitian ini peneliti hanya membahas tiga klasifikasi
kelompok yaitu :
1. Kelompok primer dan sekunder.
Charles Horton Cooley (dalam Rakhmat,2004: 423) mengatakan bahwa
kelompok primer adalah suatu kelompok yang anggota-anggotanya berhubungan
akrab, personal, dan menyentuh hati dalam asosiasi dan kerja sama. Sedangkan
kelompok sekunder adalah kelompok yang anggota-anggotanya berhubungan
tidak akrab, tidak personal, dan tidak menyentuh hati kita.
Kelompok primer dalam kehidupan kita sehari-hari memiliki interaksi
yang tinggi dalam kehidupan. Kelompok primer ini yang biasa menjadi rujukan
kepada kita untuk melakukan kegiatan. Sementara kelompok sekunder adalah

orang-orang yang tidak terlalu akrab dengan kita dan memiliki interaksi yang
rendah. Namun orang-orang ini selalu berada di sekitar kita.
Rakhmat (2004: 141-149) menyatakan karakteristik komunikasinya,
kelompok primer dan kelompok sekunder dapat dibedakan sebagai berikut:
-

Kualitas komunikasi pada kelompok primer bersifat dalam dan meluas.
Dalam, artinya menembus kepribadian kita yang paling tersembunyi,

menyingkap unsur-unsur backstage (perilaku yang kita tampakkan dalam
suasana privat saja). Meluas, artinya sedikit sekali kendala yang
menentukan rentangan dan cara berkomunikasi. Pada kelompok sekunder
komunikasi bersifat dangkal dan terbatas.

-

Komunikasi pada kelompok primer bersifat personal, sedangkan kelompok
sekunder nonpersonal.

-

Komunikasi kelompok primer lebih menekankan aspek hubungan daripada
aspek isi, sedangkan kelompok primer adalah sebaliknya.

-

Komunikasi kelompok primer cenderung ekspresif, sedangkan kelompok
sekunder instrumental.


-

Komunikasi kelompok primer cenderung informal, sedangkan kelompok
sekunder formal.

2.2.2

Pengaruh Kelompok Pada Perilaku Komunikasi
Rakhmat (2004: 149-158) menyatakan keberadaan kelompok bagi

individu mempengaruhi beberapa hal, antara lain:
1. Konformitas adalah perubahan perilaku atau kepercayaan menuju (norma)
kelompok sebagai akibat tekanan kelompok-yang real atau dibayangkan.
Bila sejumlah orang dalam kelompok mengatakan atau melakukan

sesuatu, ada kecenderungan para anggota untuk mengatakan dan
melakukan hal yang sama. Jadi, kalau anda merencanakan untuk menjadi
ketua kelompok,aturlah rekan-rekan anda untuk menyebar dalam
kelompok. Ketika anda meminta persetujuan anggota, usahakan rekanrekan anda secara persetujuan mereka. Tumbuhkan seakan-akan seluruh
anggota kelompok sudah setuju. Besar kemungkinan anggota-anggota

berikutnya untuk setuju juga.
2. Fasilitasi menunjukkan kelancaran atau peningkatan kualitas kerja karena
ditonton kelompok. Kelompok mempengaruhi pekerjaan sehingga menjadi
lebih mudah. Robert Zajonz (1965) menjelaskan bahwa kehadiran orang
lain-dianggap-menimbulkan efek pembangkit energi pada perilaku
individu. Efek ini terjadi pada berbagai situasi sosial, bukan hanya didepan
orang yang menggairahkan kita. Energi yang meningkat akan mempertingi
kemungkinan dikeluarkannya respon yang dominan. Respon dominan
adalah perilaku yang kita kuasai. Bila respon yang dominan itu adalah
yang benar, terjadi peningkatan prestasi. Bila respon dominan itu adalah
yang salah, terjadi penurunan prestasi. Untuk pekerjaan yang mudah,
respon yang dominan adalah respon yang banar; karena itu, penelitipeneliti melihat melihat kelompok mempertinggi kualitas kerja individu.
3. Polarisasi adalah kecenderungan ke arah posisi yang ekstrem. Bila
sebelum diskusi kelompok para anggota mempunyai sikap agak
mendukung tindakan tertentu, setelah diskusi mereka akan lebih kuat lagi
mendukung tindakan itu. Sebaliknya, bila sebelum diskusi para anggota

kelompok agak menentang tindakan tertentu, setelah diskusi mereka akan
menentang lebih keras.

2.2.3

Fungsi-fungsi Komunikasi Kelompok
Keberadaan suatu kelompok dalam masyarakat dicerminkan oleh adanya

fungsi-fungsi yang akan dilaksanakannya. Fungsi-fungsi tersebut mencakup
fungsi hubungan sosial, pendidikan, persuasi, pemecahan masalah dan pembuatan
keputusan serta fungsi terapi. Sendjaja (2002: 3) menyatakan fungsi kelompok,
antara lain:
a. Fungsi hubungan sosial, kelompok memiliki fungsi

yang mampu

memelihara dan menetapkan hubungan sosial diantara para anggotanya,
seperti bagaimana suatu kelompok secara rutin memberikan kesempatan
kepada anggotanya untuk melakukan aktivitas yang informal, santai dan
menghibur.
b. Fungsi pendidikan, kelompok secara formal maupun informal bekerja
untuk mencapai dan mempertukarkan pengetahuan. Fungsi pendidikan ini
akan sangat efektif jika setiap anggota kelompok membawa pengetahuan
yang berguna bagi kelompoknya. Tanpa pengetahuan baru yang
disumbangkan masing-masing anggota, mustahil fungsi edukasi ini akan
tercapai.
c. Fungsi persuasi, seorang anggota kelompok berupaya mempersuasi
anggota lainnya supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Seseorang yang terlibat usaha persuasif dalam suatu kelompok, membawa
risiko untuk tidak diterima oleh para anggota lainnya. Misalnya, jika usaha

usaha persuasif tersebut terlalu bertentangan dengan nilai-nilai yang
berlaku dalam kelompok, justru orang yang berusaha mempersuasi
tersebut akan menciptakan suatu konflik, dengan demikian malah
membahayakan kedudukannya dalam kelompok.
d. Fungsi problem solving, kelompok juga dicerminkan dengan kegiatankegiatannya untuk memecahkan persoalan dan membuat keputusankeputusan.
e. Fungsi terapi. Kelompok terapi memiliki perbedaan dengan kelompok
lainnya, karena kelompok terapi tidak memiliki tujuan. Objek dari
kelompok terapi adalah membantu setiap individu mencapai perubahan
personalnya. Tentunya individu tersebut harusberinteraksi dengan anggota
kelompok lainnya guna mendapat manfaat, namun usaha utamanya adalah
membantu

dirinya

sendiribukan

membantu

kelompok

mencapai

konsensus. Contoh dari kelompok terapi ini adalah kelompok konsultasi
perkawinan, kelompok penderita narkoba dan sebagainya.
Sementara itu terdapat ahli lain yang juga mengemukakan pendapat
mengenai fungsi komunikasi kelompok. John Dewey (dalam Littlejhon,2011:
344) menjelaskan bahwa fungsi komunikasi kelompok itu terbagi menjadi 6,
antara lain:
1. Mengungkapkan kesulitan.
2. Menjelaskan permasalahan.
3. Menganalisis masalah.
4. Menyarankan solusi.

5. Membandingkan alternatif dan menguji mereka dengan tujuan dan kritertia
berlawanan.
6. Mengamalkan solusi yang terbaik.
Sedangkan Randy Y. Hirokawa (dalam Morissan 2010:142) mengatakan
bahwa kelompok harus mampu melaksanakan empat fungsi untuk dapat
menghasilkan keputusan yang efektif yang terdiri atas :
1. Analisis Masalah : Kelompok biasanya memulai proses pengambilan
keputusan dengan mengidentifikasi dan menilai suatu masalah (identifying
and assessing a problem).

2. Penentuan Tujuan : Kelompok harus mengumpulkan dan mengevaluasi
informasi (gathers and evaluates information ) terkait dengan masalah
yang tengah dihadapi.
3. Identifikasi Alternatif : Pada tahap ini, kelompok membuat berbagai
usulan alternative (alternative proposal) untuk mengatasi masalah.
4. Evaluasi Konsekuensi : Berbagai solusi alternatif yang tersedia kemudian
di evaluasi dengan tujuan akhirnya adalah untuk mengambil keputusan.

2.3

Teori S-O-R
Teori SOR sebagai singkatan dari Stimulus-Organism-Response. Objek

materialnya adalah manusia yang jiwanya meliputi komponen-komponen : sikap,
opini, perilaku, kognisi, afeksi dan konasi. Menurut model ini, organism
menghasilkan perilaku tertentu jika ada kondisi stimulus tertentu pula, efek yang
ditimbulkan adalah reaksi khusus terhadap stimulus khusus, sehingga seseorang

dapat mengharapkan dan memperkirakan kesesuaian antara pesan dan reaksi
komunikan (Effendy,2002:254).
Asumsi dasar dari model ini adalah : media massa menimbulkan efek yang
terarah, segera dan langsung terhadap komunikan. Stimulus Response Theory atau
S-R theory. Model ini menunjukkan bahwa komunikasi merupakan proses aksi reaksi.

Artinya model ini mengasumsi bahwa kata -kata verbal, isyarat non

verbal, symbol-simbol tertentu aka n merangsang orang lain memberika n respo n
de ngan cara tertentu. Pola S-O-R ini dapat berlangsung secara positif atau
negatif;misal jika orang tersenyum akan dibalas tersenyum ini merupakan reaksi
positif, namun jika tersenyum dibalas dengan palingan muka maka ini merupakan
reaksi negatif. Model inilah yang kemudian mempengaruhi suatu teori klasik
komunikasi yaitu Hypodermic needle atau teori jarum suntik. Asumsi dari teori
inipun tidak jauh berbeda dengan model S-O-R, yakni bahwa media secara
langsung dan cepat memiliki efek yang kuat terhadap komunikan. Artinya media
diibaratkan sebagai jarum suntik besar yang memiliki kapasitas sebagai
perangsang (S) dan menghasilkan tanggapan (R) yang kuat pula.
Menurut stimulus response ini, efek yang ditimbulkan adalah reaksi
khusus terhadap stimulus khusus, sehingga seseorang dapat mengharapkan dan
memperkirakan kesesuaian antara pesan dan reaksi komunikan. Jadi unsur-unsur
dalam model ini adalah :
a. Pesan (Stimulus,S)
b. Komunikan (Organism,O)
c. Efek (Response, R) (Effendy,2002:254).

Apabila kita berbicara tentang perubahan perilaku, maka ada banyak hal
pendukung yang dalam proses perubahan perilaku tersebut. Salah satunya yaitu
sikap seseorang hanya akan dapat berubah apabila stimulus yang menerpanya
benar-benar melebihi apa yang dialaminya. Proses komunikasi dalam model S-OR dapat dirumuskan sebagai berikut :
Gambar 2.1
Model S-O-R

Organism:

Stimulus

-

perhatian
pengertian
penerimaan

Response
Sumber: (Effendy, 2002: 253)
Pada gambar di atas dilihat bahwa response bergantung kepada proses
yang terjadi pada individu. Stimulus yang disampaikan kepada komunikan bisa
diterima atau mungkin ditolak. Komunikasi hanya dapat berlangsung apabila
komunikan memberikan respon

terhadap stimulus yang diberikan, yang

kemudian komunikan akan dapat memikirkan tentang arti, maksud ataupun tujuan
dari stimulus tersebut yang pada akhirnya akan timbul pengertian dan penerimaan
atau bahkan penolakan. Apabila komunikan telah menerima dan mengolah

stimulus tersebut, barulah akhirnya akan dapat terbentuk sikap atau perubahan
perilaku.
2.4

Sosialisasi Politik

2.4.1

Sosialisasi
Menurut Vander Zanden (dalam Ihromi,1999: 75) sosialisasi adalah proses

interaksi sosial melalui mana kita mengenal cara-cara berpikir, berperasaan dan
berperilaku, sehingga dapat berperan serta secara efektif dalam masyarakat.
Horton (1993: 99-100) menyatakan seorang bayi lahir kedunia ini sebagai suatu
organisme kecil yang egois yang penuh dengan segala macam kebutuhan fisik,
kemudian ia menjadi seorang manusia dengan seperangkat sikap dan nilai,
kesukaan, dan ketidaksukaan, tujuan serta maksud, pola reaksi dan konsep yang
mendalam serta konsisten tentang dirinya.
Setelah berinteraksi dengan individu lain yang berada di sekitarnya atau
bersosialisasi dengan lingkungannya barulah individu tadi dapat berkembang.
Dalam keadaan yang normal, maka lingkungan pertama yang berhubungan
dengan anaknya adalah orang tuanya. Melalui lingkungan itulah anak mengenal
dunia sekitarnya dan pola pergaulan hidup yang berlaku sehari-hari; melalui
lingkungan itulah anak mengalami proses sosialisasi awal.
Tanpa mengalami proses sosialisasi yang memadai tidak mungkin seorang
warga masyarakat akan dapat hidup normal tanpa menjumpai kesulitan dalam
masyarakat. jelas, bahwa hanya dengan menjalani proses sosialisasi yang cukup
banyak sajalah seorang individu warga masyarakat akan dapat meyesuaikan
segala tingkah pekertinya dengan segala keharusan norma-norma sosial. Hanya
lewat proses-proses sosialisasi ini sajalah generasi-genarasi muda akan dapat

belajar bagaimana seharusnya bertingkah laku di dalam kondisi-kondisi tertentu.
Bagaimanapun juga proses sosialisasi adalah suatu porses yang dilakukan secara
aktif oleh dua pihak: pihak pertama adalah pihak yang mensosialisasi atau disebut
dengan aktivitas melaksanakan sosialisasi dan pihak yang kedua adalah aktivitas
pihak yang disosialisasi atau aktivitas internalisasi.
Disamping itu menurut Mead, manusia yang baru lahir belum mempunyai
diri. Pada dasarnya diri adalah kemampuan untuk menerima diri sendiri sebagai
sebuah objek. Diri mensyaratkan proses sosial; komunikasi antar manusia. Diri
muncul dan berkembang melalui aktivitas dan antara hubungan sosial. Menurut
Mead adalah mustahil membayangkan diri yang muncul dalam ketiadaan
pengalaman sosial. Diri manusia ini berkembang secara bertahap melalui interaksi
dengan anggota masyarakat lain. Adapun tahap perkembangan diri manusia ini
menurut Mead (dalam Sunarto,1993: 28) adalah:
1. Play stage

Dalam tahap ini anak mengembangkan kemampuannya untuk melihat
dirinya sendiri. Kegiatan tidak konsisten, tidak terorganisir peranan berganti-ganti
karena belum ada konsepsi yang terpadu mengenai dirinya.
2. Game stage

Berbeda dengan play stage disini ada himpunan yang terorganisir. Anak
harus sudah mengetahui posisinya dalam konteks yang lebih luas, dan
memberikan tanggapan terhadap harapan-harapan orang lain; individu sudah
mampu menghubungkan dirinya dengan komunitas dimana ia menjadi
anggotanya. Mead mengungkapkan gagasan bahwa SELF (diri) mempunyai dua
komponen yaitu:

1. I, adalah faktor-faktor yang khas yang memasuki komunitas kita dengan
orang lain.
2. Me, segi yang memberikan tanggapan pada konvensi-konvensi sosial. Jadi
orang tua mengekspresikan dirinya kemudian diidentifikasikan dan
diinternalisasikan menjadi peran dan sikap oleh anak, akhirnya
terbentuklah Self anak.
3. Generalize other

Kemapuan anak untuk mengabstraksikan peran-peran dan sikap-sikap dari
significant

others nya

(semua

orang

lain

yang dianggap berarti)

serta

menggeneralisasikannya untuk semua orang, termasuk dirinya.
Menurut Vebrianto (dalam Khairuddin,1997: 63) menyimpulkan bahwa
sosialisasi:
1. Proses sosialisasi adalah proses belajar, yaitu proses akomodasi dengan
mana individu menahan, mengubah impul-impuls dalam dirinya dan
mengambil cara hidup atau kebudayaan masyarakat.
2. Proses sosialisasi itu mempelajari kebiasaan, sikap, ide-ide, pola-pola,
nilai dan tingkah laku, dan standar tingkah laku dalam masyarakat dimana
ia hidup.
3. Semua sifat dan kecakapan yang dipelajari dalam proses sosialisasi itu
disusun dan dikembangkan sebagai suatu kesatuan sistem dalam diri
pribadinya.
Dalam proses sosialisasi, kegiatan-kegiatan yang dicakup adalah:
a. Belajar (learning).
b. Penyesuaian diri dengan lingkungan.

c. Pengalaman mental.
Proses sosialisasi dalam keluarga dapat dilakukan baik secara formal
maupun informal. Proses sosialisasi formal dikerjakan melalui proses pendidikan
dan pengajaran, sedangkan proses sosialisasi informal dikerjakan lewat proses
interaksi yang dilakukan secara tidak sengaja. Corak hubungan orang tua-anak
akan

menetukan

proses

sosialisasi

serta

perkembangan

kepribadiannya

berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fels Research Institute yang
dikemukakan oleh Vebrianto (dalam Suyatno,2004: 73) terdapat tiga pola yaitu:
1. Pola menerima–menolak. Pola ini didasarkan atas taraf kemesraan orang
tua terhadap anak.
2. Pola memiliki–melepaskan. Pola ini bergerak dari sikap protektif orang tua
terhadap anak.
3.

Pola demokrasi–otokrasi. Pola ini didasarkan atas taraf partisipasi dalam
menentukan kegiatan-kegiatan dalam keluarga.
Menurut Berger dan Luckman (dalam Ihromi,1999: 32) sosialisasi

dibedakan atas dua tahap yakni:
1. Sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu
semasa kecil, melalui mana ia menjadi anggota masyarakat, dalam tahap
ini proses sosialisasi primer membentuk kepribadian anak kedalam dunia
umum dan keluargalah yang berperan sebagai agen sosialisasi.
2. Sosialisasi sekunder, didefinisikan sebagai proses berikutnya yang
memperkenalkan individu yang telah disosialisasikan ke dalam sektor baru
dunia objektif masyarakat; dalam tahap ini proses sosialisasi mengarah
pada terwujudnya sikap profesionalisme; dan dalam hal ini menjadi agen

sosialisasi adalah lembaga pendidikan, peer group, lembaga pekerjaan,
lingkungan yang lebih luas dari keluarga
Mead (dalam Ritzer,2007: 274) mengidentifikasi empat basis dan tahap
tindakan yang saling berhubungan. Keempat tahap itu mencerminkan satu
kesatuan organik. Tahapan-tahapan itu adalah; impuls tahap pertama adalah
dorongan hati/impuls yang meliputi “stimulus/rangsangan spontan yang
berhubungan dengan alat indera dan reaksi aktor terhadap rangsangan, kebutuhan
untuk melakukan sesuatu terhadap rangsangan misal lapar. Persepsi tahap kedua
yaitu aktor menyelidiki dan bereaksi terhadap rangsangan yang berhubungan
dengan impuls, dalam hal ini rasa lapar dan juga berbagai alat tersedia untuk
memuaskannya. Manipulasi yaitu segera setelah impuls menyatakan dirinya
sendiri dan objek telah dipahami, langkah selanjutnya adalah memanipulasi objek
atau mengambil tindakan berkenaan dengan objek. Konsumsi yaitu mengambil
tindakan yang memuaskan dorongan hati yang sebenarnya.
Suatu keluarga sebagai kelompok juga melaksanakan berbagai kegiatan
dalam berbagai bidang, dan karena itu pula mengerjakan kegiatan-kegiatan,
seperti ekonomi, pendidikan, agama, rekreasi, dan politik. Kartono (1996: 9)
membagi pengertian politik dalam lima kategori sebagai berikut:
1. Secara institusional dan hukum kenegaraan.
2. Menekankan kegiatan memerintah suatu teritorium.
3. Pengertian kekuasaan.
4. Penekanan pada individu.
5. Bersifat teoritis
Para anggota keluarga yang sudah berhak memilih ikut serta dalam proses

pemilihan umum, umpamanya aktif dalam kampanye, memberikan iuran, atau
dana bagi partai politik lalu ikut memilih. Empat faktor yang mempengaruhi
perilaku politik seseorang aktor politik, antara lain :
1. Lingkungan sosial politik tak langsung, seperti sistem politik, sistem
ekonomi, sistem budaya dan media massa.
2. Lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk
kepribadian aktor, seperti keluarga, agama, sekolah, dan kelompok
pergaulan. Dari lingkungan sosial politik langsung seorang aktor
mengalami sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai dan norma masyarakat,
termasuk nilai dan norma kehidupan bernegara, dan pengalamanpengalaman hidup pada umumnya.
3. Struktur pribadi yang tercermin dalam sikap individu, untuk memahami
struktur kepribadian perlu diperhatikan tiga basis fungsional sikap, yaitu
kepentingan, penyesuaian diri, eksternalisasi, dan pertahanan diri.
4. Faktor lingkungan sosial pollitik langsung berupa situasi, yaitu keadaan
yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika hendak melakukan suatu
kegiatan, seperti cuaca, keadaan keluarga, keadaan ruang, kehadiran orang
lain,

suasana

kelompok,

dan

ancaman

dengan

segala

bentuk

(Sastroatmodjo,1995: 4)
Pola sosialisasi politik dapat berlangsung dalam dua bentuk yakni
sosialisasi represif yaitu sosialisasi yang menekankan pada kepatuhan anak dan
penghukuman terhadap perilaku keliru. Kedua sosialisasi partisipatif yaitu
sosialisasi yang menekankan pada otonomi anak dan memberikan imbalan
terhadap perilaku anak yang baik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat:

Tabel 2.1
Jenis Sosialisasi
Sosialisasi Represif

Sosialisasi Partisipatif

-

Menghukum perilaku yang keliru.

-

Hukuman dan imbalan material.

-

Kepatuhan anak.

-

Hukuman dan imbalan simbolis.

-

Komunikasi sebagai Perintah.

-

Otonomi anak.

-

Komunikasi non verbal.

-

Komunikasi sebagai interaksi.

-

Sosialisasi yang berpusat pada

-

Komunikasi verbal.

orang tua.

-

Sosialisasi yang berpusat pada

-

anak.
-

Keluarga merupakan significant
other.

Memberi imbalan bagi perilaku
yang baik.

Anak memperhatikan keinginan
orang tua.

-

-

Orang

tua

memperhatikan

keperluan anak.
-

Keluarga merupakan generalized
other.

Sumber : (Damsar,2010: 155)
Pihak-pihak yang selalu melakukan kegiatan politik ialah pemerintah
(lembaga dan peranannya) dan partai politik karena fungsi mereka dalam bidang
politik. Oleh karena itu, perilaku politik dibagi dua, yakni perilaku politik
lembaga-lembaga dan para pejabat pemerintah dan perilaku politik warga negara
biasa (baik individu maupun kelompok) yang pertama bertanggung jawab
membuat, melaksanakan dan menegakkan keputusan politik, sedangkan yang
kedua tidak berwenang seperti yang pertama, tetapi berhak mempengaruhi pihak

yang pertama dalam menjalankan fungsinya karena apa yang dilakukan pihak
pertama menyangkut kehidupan pihak kedua.
Maran (1999: 140) menyatakan terdapat tiga mekanisme pengalihan
elemen-elemen sosialisasi politik:
1. Imitasi adalah peniruan terhadap tingkah laku individu-individu lain, dan
merupakan hal yang amat penting dalam sosialisasi pada masa kanakkanak.
2. Instruksi mengacu pada proses pemecahan diri, termasuk didalamnya
proses belajar informal.
3. Motivasi lebih banyak diidentifikasikan dengan pengalaman pada
umumnya.
David Easton dan Dennis (dalam Syarbaini, A. Rahman dan Monang
Djihado, 2004: 72) mengutarakan empat tahap dalam sosialisasi politik dari anak,
yaitu sebagai berikut;
1. Pengenalan otoritas melalui individu tertentu, seperti orang tua anak,
presiden, dan polisi.
2. Perkembangan pembedaan antara otoritas internal dan eksternal, yaitu
antara pejabat swasta dan pejabat pemerintah
3. Pengenalan mengenai institusi-institusi politik yang impersonal, seperti
kongres (parlemen), mahkamah agung, dan pemungutan suara.
4. Perkembangan antara institusi-intitusi politik dan mereka yang terlibat
dalam aktivitas yang diasosiasikan dengan institusi-institusi ini.

2.5 Partisipasi Politik
2.5.1 Pengertian Politik
Partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Partisipasi
merupakan taraf partisipasi politik warga masyarakat dalam kegiatan-kegiatan
politik baik yang bersifat aktif maupun pasif dan bersifat langsung maupun yang
tidak langsung guna mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Pada abad 14, hak untuk berpartisipasi dalam hal pembuatan keputusan
politik, untuk memberi suara, atau menduduki jabatan pemerintah telah dibatasi
hanya untuk sekelompok kecil orang yang berkuasa, kaya dan keturunan orang
terpandang. Kecenderungan kearah partisipasi rakyat yang lebih luas dalam
politik bermula pada masa renaisance dan reformasi abad ke 15 sampai abad 17,
abad 18 dan 19. Tetapi cara-cara bagaimana berbagai golongan masyarakat
(pedagang, tukang, orang-orang professional, buruh kota, wiraswasta industri,
petani desa dan sebagainya), menuntut hak mereka untuk berpartisipasi lebih luas
dalam pembuatan keputusan politik sangat berbeda di berbagai negara.
Menurut Myron Weiner seperti dikutip oleh Mas‟oed (2001:45), paling
tidak terdapat lima hal yang menyebabkan timbulnya gerakan kearah partisipasi
lebih luas dalam proses politik, yaitu :
1. Modernisasi
Ketika penduduk kota baru (yaitu buruh dan pedagang, kaum profesional)
melakukan komersialisasi pertanian, industrialisasi, urbanisasi yang meningkat,
penyebaran kepandaian baca tulis, perbaikan pendidikan, dan pengembangan
media massa, mereka merasa dapat mempengaruhi nasib mereka sendiri, makin
banyak menuntut untuk ikut dalam kekuasaan politik.

2. Perubahan-perubahan structural kelas sosial
Begitu terbentuk suatu kelas pekerja baru dan kelas menengah yang
meluas dan berubah selama proses industrialisasi dan modernisasi, masalah
tentang siapa yang berhak berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik
menjadi penting dan mengakibatkan perubahan-perubahan dalam pola partisipasi
politik.
3. Pengaruh kaum intelektual dan komunikasi massa modern
Kaum

intelektual

(sarjana, filosof, pengarang,

wartawan)

sering

mengemukakan ide-ide seperti egaliterisme dan nasionalisme kepada masyarakat
untuk membangkitkan tuntutan akan partisipasi massa yang luas dalam
pembuatan keputusan politik. Sistem-sistem transportasi dan komunikasi modern
memudahkan dan mempercepat penyebaran ide-ide baru.
4. Konflik di antara kelompok-kelompok pemimpin politik.
Kalau timbul kompetisi memperebutkan kekuasaan, strategi yang biasa
digunakan oleh kelompok-kelompok yang saling berhadapan adalah mencari
dukungan rakyat. Dalam hal ini mereka tentu menganggap sah dan
memperjuangkan ide-ide partisipasi massa dan akibatnya menimbulkan gerakangerakan yang menuntut agar ”hak-hak” ini dipenuhi. Jadi kelas -kelas menengah
dalam perjuangannya melawan kaum buruh dan membantu memperluas hak pilih
rakyat.

5. Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi
dan kebudayaan
Perluasan kegiatan pemerintah dalam bidang-bidang kebijaksanaan baru
biasanya berarti bahwa konsekuensi tindakan-tindakan pemerintah menjadi
semakin menyusup pada kehidupan sehari-hari rakyat. Tanpa hak-hak sah atas
partisipasi politik, individu-individu betul-betul tidak berdaya menghadapi dan
dengan mudah dapat dipengaruhi oleh tindakan-tindakan pemerintah yang
mungkin dapat merugikan kepentingannya. Maka dari itu, meluasnya ruang
lingkup aktivitas pemerintah sering merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang
terorganisir untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik.
Menurut Rosenberg (dalam Rush:2010) ada 3 alasan mengapa orang
enggan sekali berpartisipasi politik : Pertama , bahwa individu memandang
aktivitas politik merupakan ancaman terhadap beberapa aspek kehidupannya. Ia
beranggapan bahwa mengikuti kegiatan politik dapat merusak hubungan sosial,
dengan lawannya dan dengan pekerjaannya karena kedekatannya dengan partaipartai politik tertentu. Kedua, bahwa konsekuensi yang ditanggung dari suatu
aktivitas politik mereka sebagai pekerjaan sia-sia. Mungkin disini individu merasa
adanya jurang pemisah antara cita-citanya dengan realitas politik. Karena jurang
pemisah begitu besarnya sehingga dianggap tiada lagi aktifitas politik yang
kiranya dapat menjembatani. Ketiga, beranggapan bahwa memacu diri untuk tidak
terlibat atau sebagai perangsang politik adalah sebagai faktor yang sangat penting
untuk mendorong aktifitas politik. Maka dengan tidak adanya perangsang politik
yang sedemikian, hal itu membuat atau mendorong kearah perasaan yang semakin
besar bagi dorongan apati. Disini individu merasa bahwa kegiatan bidang politik

diterima sebagai yang bersifat pribadi sekali daripada sifat politiknya. Dan dalam
hubungan ini, individu merasa bahwa kegiatan-kegiatan politik tidak dirasakan
secara langsung menyajikan kepuasan yang relative kecil. Dengan demikian
partisipasi politik diterima sebagai suatu hal yang sama sekali tidak dapat
dianggap sebagai suatu yang dapat memenuhi kebutuhan pribadi dan kebutuhan
material individu itu.
2.5.2 Tujuan Partisipasi Politik
Menurut Sudijono Sastroadmodjo (1995:67) partisipasi politik merupakan
kegiatan yang dilakukan warga negara untuk terlibat dalam proses pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh pemerintah. Bentuk partisipasi politik aktif dalam
masyarakat seperti apa yang diuraikan oleh Miriam Budiardjo adalah, Partisipasi
Politik dapat bersifat aktif dan pasif, bentuk paling sederhana dari partisipasi
politik adalah ikut memberikan suara dalam Pemilu, turut serta dalam demonstrasi
dan memberikan dukungan . Sama halnya dengan Samuel P. Hutington dan Joan
M. Nelson dalam partisispasi poltik di negara berkembang seperti dikutip oleh
Sudjiono Sastroadmodjo (1995:67), tujuan dari partisipasi politik adalah untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.
Secara umum partisipasi politik masyarakat merupakan indikator dalam
membuat atau melakukan perubahan kebijakan negara, dengan jalan menentukan
pilihan politiknya untuk memilih pemimpin yang memiliki platform yang
berdekatan denga kepentingan dan perilaku politik individu yang pada akhirnya
harus diasosiasikan dalam bentuk kebijakan publik.

2.5.3. Bentuk Partisipasi Politik
Bentuk partisipasi politik aktif dalam masyarakat seperti apa yang
diuraikan oleh Miriam Budiardjo (1982:10) adalah, Partisipasi Politik dapat
bersifat aktif dan pasif, entuk paling sederhana dari partisipasi politik adalah ikut
memberikan suara dalam Pemilu, turut serta dalam demonstrasi dan memberikan
dukungan keuangan dengan memberikan sumbangan. Sedangkan benttuk
partisipasi pasif adalah bentuk partisipasi yang hanya sebentar. Misalnya bentuk
diskusi, politik informal oleh individu dalam keluarga, tempat kerja atau di
lingkungan lainnya.
Menurut Ramlan Surbakti dalam Budiarjo (1982, bentuk partisipasi
dibedakan menjadi partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Partisipasi aktif adalah
mencakup kegiatan warganegara mengajukan usul mengenai suatu kebijakan
umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berbeda kepada pemerintah,
mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan kerjasama, membayar
pajak, dan ikut dalam kegiatan pemilihan pimpinan pemerintahan. Partisipasi
Pasif merupakan kegiatan mentaati peraturan pemerintah, memahami dan
melaksanakannya begitu saja setiap keputusan pemerintah
Sementara menurut Milbrath dan Goel dalam membedakan partisipasi
politik, kegiatan politik dapat dijadikan beberapa kategori, yakni :
1. Apatis, adalah orang yang menarik diri dalam proses politik.
2. Spektator, yaitu orang yang setidaknya pernah mengikuti media
pemilihan umum.
3. Gladiator, yaitu orang yang selalu aktif dalam kegiatan politik.

4. Pengkutik, yaitu orang yang mengikuti proses politik dalam bentuk yang
konvensional

2.6. Pemilihan Umum
2.6.1

Pengertian Pemilihan Umum
Di dalam studi politik, pemilihan umum dapat dikatakan sebagai sebuah

aktivitas politik dimana pemilihan umum merupakan lembaga sekaligus juga
praktis

politik

yang

memungkinkan

terbentuknya

sebuah

pemerintahan

perwakilan (Haris,1998: 7). Seperti yang telah dituliskan di atas bahwa di dalam
negara demokrasi, maka pemilihan umum merupakan salah satu unsur yang
sangat vital, karena salah satu parameter mengukur demokratis tidaknya suatu
negara adalah dari bagaimana perjalanan pemilihan umum yang dilaksanakan oleh
negara tersebut. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan oleh rakyat
(Sorensen, 2003: 1).
Implementasi dari pemerintahan oleh rakyat tersebut adalah dengan
memilih wakil rakyat atau pemimpin nasional melalui mekanisme yang
dinamakan dengan pemilihan umum. Jadi pemilihan umum adalah satu cara untuk
memilih wakil rakyat (Mashudi, 1993: 2).
Sebagai suatu bentuk implementasi dari demokrasi, pemilihan umum
selanjutnya berfungsi sebagai wadah yang menyaring calon-calon wakil rakyat
ataupun pemimpin negara yang memang benar-benar memiliki kapasitas dan
kapabilitas untuk dapat mengatasnamakan rakyat. Selain daripada sebagai suatu
wadah yang menyaring wakil rakyat ataupun pemimpin nasional, pemilihan
umum juga terkait dengan prinsip negara hukum ( Reichstaat), karena melalui

pemilihan umum rakyat dapat memilih wakil-wakilnya yang berhak menciptakan
produk hukum dan melakukan pengawasan atau pelaksanaan kehendak-kehendak
rakyat yang digariskan oleh wakil-wakil rakyat tersebut. Dengan adanya
pemilihan umum, maka hak asasi rakyat dapat disalurkan, demikian juga halnya
dengan hak untuk sama di depan hukum dan pemerintahan (Mahfud, 1999: 221222).
Pemilihan umum ternyata telah menjadi suatu jembatan

dalam

menentukan bagaimana pemerintahan dapat dibentuk secara demokratis. Rakyat
menjadi penentu dalam memilih pemimpin maupun wakilnya yang kemudian
akan mengarahkan perjalanan bangsa. Pemilihan umum menjadi seperti
transmision of belt , sehingga kekuasaan yang berasal dari rakyat dapat berubah

menjadi kekuasaan negara yang kemudian menjelma dalam bentuk wewenangwewenang pemerintah untuk memerintah dan mengatur rakyat. Dalam sistem
politik, pemilihan umum bermakna sebagai saran penghubung antara infrastruktur
politik dengan suprastruktur politik, sehingga memungkinkan terciptanya
pemerintahan dari oleh dan untuk rakyat (Mashudi, 1993: 23).
2.6.2

Fungsi Pemilihan Umum.
Sebagai sebuah aktivitas politik, pemilihan umum pastinya memiliki

fungsi-fungsi yang saling berkaitan atau interdependensi. Haris,1998: 7-10)
menyatakan fungsi-fungsi dari pemilihan umum itu sendiri adalah :
a. Sebagai sarana legitimasi politik
Fungsi legitimasi ini terutama menjadi kebutuhan pemerintah dan sistem
politik. Melalui pemilihan umum, keabsahan pemerintahan yang berkuasa dapat
ditegakkan, begitu pula program dan kebijakan yang dihasilannya. Dengan begitu,

pemerintah berdasarkan hukum yang disepakati bersama tak hanya memiliki
otoritas untuk berkuasa, melainkan juga memberikan sanksi berupa hukuman dan
ganjaran bagi siapapun yang melanggarnya. Menurut Ginsberg, fungsi legitimasi
politik ini merupakan konsekuensi logis dari pemilihan umum. Paling tidak ada
tiga alasan kenapa pemilihan umum dapat menjadi suatu legitimasi politik bagi
pemerintahan yang berkuasa.
Pertama,

melalui

pemilihan

umum, pemerintah

sebenarnya

bisa

meyakinkan atau setidaknya memperbaharui kesepakatan-kesepakatan politik
dengan rakyat. Kedua, melalui pemilihan umum pemerintahan dapat pula
mempengaruhi perilaku rakyat atau warga negara. Dan ketiga, dalam dunia
modern para penguasa dituntut untuk mengadakan kesepakatan dari rakyat
ketimbang pemaksaan (coercion) untuk mempertahankan legitimasinya. Gramsci
(1971) menunjukkan bahwa kesepakatan (Consent) yang diperoleh melalui
hegemoni oleh penguasa ternyata lebih efektif dan bertahan lama sebagai sarana
kontrol dan pelestarian legtimasi dari otoritasnya ketimbang penggunaan
kekerasan dan dominasi.
b. Fungsi Perwakilan Politik.
Fungsi ini terutama menjadi kebutuhan rakyat, baik untuk mengevaluasi
maupun mengontrol perilaku pemerintahan dan program serta kebijakan yang
dihasilkannya. Pemilihan umum dalam kaitan ini merupakan mekanisme
demokratis bagi rakyat untuk menentukan wakil-wakil yang dapat dipercaya yang
akan duduk dalam pemerintahan.

c. Pemilihan Umum Sebagai Mekanisme Bagi Pergantian atau Sirkulasi Elit
Penguasa.
Keterkaitan pemilihan umum dengan sirkulasi elit didasarkan pada asumsi
bahwa elit berasal dari dan bertugas mewakili masyarakat luas atau rakyat. Secara
teoritis, hubungan pemilihan umum dengan sirkulasi elit dapat dijelaskan dengan
melihat proses mobilitas kaum elit atau non elit yang menggunakan jalur institusi
politik, dan organisasi kemasyarakatan untuk menjadi anggota elit tingkat
nasional, yakni sebagai anggota kabinet dan jabatan yang setara. Dalam kaitan itu,
pemilihan umum merupakan saran dan jalur langsung untuk mencapai posisi elit
penguasa. Dengan begitu maka melalui pemilihan umum diharapkan bisa
berlangsung pergantian atau sirkulasi elit penguasa secara kompetitif dan
demokratis.
d. Sebagai Sarana Pendidikan Politik Bagi Rakyat
Pemilihan umum merupakan salah satu bentuk pendidikan politik bagi
rakyat yang bersifat langsung, terbuka dan massal, yang diharapkan bisa
mencerdaskan pemahaman politik dan meningkatkan kesadaran masyarakat
tentang demokrasi .
2.6.3

Elemen Sistem Pemilihan Umum
Didalam ilmu politik dikenal berbagai macam sistem pemilihan umum.

Sistem pemilihan umum merupakan serangkaian peraturan dimana suara dari para
pemilih diterjemahkan menjadi kursi-kursi keterwakilan politik masyarakat.
(http://www.geocities.com/benjuinotm/artikel/sistem_pemilu/index.html).
Sistem pemilihan umum yang umumnya dikenal dalam ilmu politik adalah

a.

Single Member Costituency (suatu daerah pemilihan memilih satu wakil;

biasanya disebut sistem distrik).
Sistem ini merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan didasarkan
atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (yang disebut dengan distrik)
mempunyai satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat. Untuk itu negara dibagi
kedalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam dewan perwakilan
rakyat ditentukan oleh jumlah distrik. Calon yang dalam satu distrik memperoleh
suara yang terbanyak akan menang, sedangkan suara-suara yang ditujukan kepada
calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi,
bagaimanapun kecilnya selisih kekalahannya (Budiardjo, 1992: 177).
Dikenal ada dua macam distrik dalam sistem pemilihan umum, yaitu :
1. Seluruh Negara menjadi satu distrik.
2. Daerah Negara dibagi kedalam beberapa distrik.
Didalam sistem satu distrik, daftar calon-calon dijadikan satu saja untuk
seluruh daerah negara, dan sedikit kemungkinan suara yang terbuang percuma.
Dalam sistem banyak distrik maka tiap-tiap satu distrik menetapkan caloncalonnya sendiri dan hanya dipilih oleh pemilih dari distrik itu saja. Dalam sistem
ini bisa saja terjadi banyak suara yang terbuang percuma (Kansil,1986: 17-18).
Sistem Distrik ini memiliki beberapa kelebihan, yaitu :
1. Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh
penduduk distrik, sehingga hubungannya dengan penduduk distrik tersebut
dapat terjalin lebih erat. Kedudukan wakil tersebut akan lebih bebas
terhadap partainya, karena pemilihan ini faktor personalitas dan
kepribadian seseorang sangat penting (Budiardjo, 1992: 178).

2. Sistem ini lebih mendorong kepada integrasi partai-partai politik, karena
kursi yang diperebutkan dalam distrik pemilihan hanya satu. Partai partai
politik akan mencoba untuk mengesampingkan perbedaan. Disamping itu
juga dalam hal kecenderungan untuk membentk partai-partai baru akan
menurun atau dibendung, dan dapat dilakukan pensederhanaan

partai

politik tanpa paksaan (Budiardjo, 1992: 178).
3. Pelaksanaan sistem distrik ini sederhana dan mudah dilakukan. Disamping
itu juga biaya yang dibutuhkan dalam pelaksanaannya relatif murah
(Hermawan, 2001: 78).
4. Parlemen hasil pemilihan umum sistem distrik ini akan lebih efektif dan
bertaggung jawab terhadap pemilihnya. Dan sistem distrik ini juga lebih
mampu menciptakan pemerintahan yang efektif dan bertanggung jawab
(Dhuroradin, 2004: 91).
Sistem distrik di samping memiliki kelebihan-kelebihan, juga memiliki
kelemahan-kelemahan. Adapaun kelemahan-kelemahan dari sistem ini adalah:
1. Sistem ini kurang memperhitungkan adanya partai-partai kecil dan
golongan minoritas, apalagi jika golongan ini terpencar kedalam beberapa
distrik (Budiardjo,1992: 177).
2. Sistem ini kurang representatif, dalam arti bakal calon yang kalah dalam
suatu distrik, kehilangan suara-suara yang telah mendukungnya. Hal ini
berarti bahwa ada sejumlah suara yang tidak diperhitungkan sama sekali ;
kalau ada beberapa partai yang mengadu kekuatan, maka jumlah suara
yang hilang dapat mencapai jumlah yang besar. Hal ini akan dianggap
tidak adil bagi golongan-golongan yang dirugikan (Budiardjo,1992: 177).

3.

Terjadinya fenomena over representation dan under representation yang
adanya ketidakseimbangan antara jumlah suara yang diperoleh dan jumlah
kursi yang diperoleh partai-partai politik pada tingkat nasional. Over
representation adalah dimana partai politik tertentu dapat memperoleh

kursi yang lebih banyak daripada partai lain yang sebenarnya suaranya
lebih banyak, sehingga partai tersebut dipandang memperoleh berkah
over representation , sebaliknya partai politik yang suaranya lebih banyak,

tapi jumlah kursinya pada tingkat nasional lebih

sedikit

disebut

menderita under representation (Hermawan, 2001: 224-225).
b. Multy Member Constituency (Satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil;
biasanya dinamakan proportional representation atau system perwakilan
berimbang.
Sistem ini dimaksudkan untuk menghilangkan beberapa kelemahan yang
ada pada sistem distrik. Gagasan pokoknya adalah bahwa jumlah kursi yang
diperoleh oleh suatu golongan atau partai adalah sesuai dengan jumlah suara yang
diperolehnya. Untuk keperluan ini ditentukan suatu perimbangan, misalnya
1:400.000, yang berarti bahwa sejumlah pemilih tertentu (dalam hal ini 400.000
pemilih) mempunyai satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat. Jumlah total
anggota dewan perwakilan rakyat ditentukan atas dasar perimbangan (1:400.000)
tersebut (Budiardjo,1992: 178).
Dalam sistem ini semua suara dihitung, dalam arti bahwa suara lebih yang
diperoleh suatu partai poltik atau golongan dalam suatu daerah pemilihan dapat
ditambahkan pada jumlah suara yang diterima oleh partai politik atau golongan itu
dalam daerah pemilihan lain. Sistem perwakilan berimbang ini juga sering

dikombinasikan dengan beberapa prosedur lain, antara lain dengan sistem daftar
(List System). Dalam sistem daftar setiap partai politik atau golongan mengajukan

satu daftar calon dan si pemilih memilih salah satu daftar darinya, dan dengan
demikian memilih satu partai politik dengan semua calon yang diajukan oleh
partai itu untuk bermacam-macam kursi yang sedang diperebutkan (Budiardjo,
1992: 178).
Dalam sistem perwakilan berimbang ini ada beberapa keunggulan
dibandingkan dengan sistem lain, yaitu :
1. Tidak ada suara yang terbuang percuma, karena perhitungan dilakukan
atau digabungkan secara nasional, dan kelebihan suara dapat dipindahkan
kepada calon lain. sistem ini umumnya sangat disenangi oleh partai-partai
kecil, dan sebaliknya umumnya tidak menyukai system ini (Mashudi,1993:
29).
2. Parlemen yang terpilih akan bersifat nasional dan tidak bersifat
kedaerahan (Mashudi,1993: 29).
3. Sistem ini dianggap representatif karena jumlah wakil partai politik yang
terpilih dalam suatu pemilihan umum sesuai dengan imbangan jumlah
suara yang diperolehnya (Rahman,2002: 29).
4. Mengakomodir semua golongan maupun partai-partai politik yang kecil
untuk dapat memiliki wakil di parlemen.
Kelebihan-kelebihan yang ada pada sistem perwakilan berimbang memang
menjadi suatu tersendiri dari sitem ini, akan tetapi disamping kelebihan-kelebihan
tersebut sistem ini juga memiliki kelemahan-kelemahan juga seperti:

1. Untuk melaksanakan pemilihan umum dengan sistem perwakilan
berimbang mmbutuhkan biaya yang besar dan mahal (Mashudi,1993:29).
2. Hubungan yang terjalin antara wakil dan yang diwakilinya (pemilih)
kurang erat, karena dalam pemilihan umum para pemilih hanya memilih
partai politiknya saja, sehingga terkadang para pemilih tidak mengetahui
siapakah wakil yang berasal dari daerahnya yang duduk di parlemen
(Mashudi,1993: 29). Kemudian wakil

yang terpilih dalam pemilihan

umum tersebut lebih memiliki keterikatan terhadap partai politik yang
mengusungnya daripada loyalitas terhadap daerah yang memilihnya
(Saragih,1988: 180).
3. Banyaknya partai politik yang memiliki wakil di parlemen akan
mempersulit terbentuknya pemerintahan yang stabil, karena pembentukan
pemerintahan tersebut didasarkan pada koalisi dua partai atau lebih. Dan
hal ini juga akan mempersulit perumusan dan pengambilan kebijakan
maupun keputusan di parlemen (Saragih,1988: 180).
4. Sistem ini mempermudah fragmentasi partai politik dan timbulnya partaipartai politik baru. Sistem ini menjurus kepada mempertajam perbedaanperbedaan yang ada di antara golongan maupun partai-partai politik.
Karena itu sistem ini kurang mendorong partai-partai politik untuk
bekerjasama apalagi berintegrasi (Hermawan,2001: 81).
5. Sistem ini kemudian memberikan kedudukan yang sangat kuat kepada
pimpinan

partai

(Hermawan,2001: 81).
2.7 Minat

politik

dalam

penentuan

calon-calonnya

Minat merupakan sumber motivasi yang mendorong individu untuk
melakukan apa yang meraka inginkan bila mereka bisa memilih. Bila mereka
melihat sesuatu akan menguntungkan mereka merasa berminat. Seseorang
mempunyai minat terhadap sesuatu maka perhatianya akan sendirinya tertarik
pada objek tersebut. Minat juga merupakan s