Hubungan Antara Perilaku dengan Intensitas Infeksi Soil Transmitted Helminths pada Siswa-Siswi SD Negeri 040470 Desa Lingga Julu Kabupaten Karo Tahun 2014

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perilaku
Perilaku

merupakan

suatu

aksi

dan

reaksi

organisme

terhadap


lingkungannnya. Hal ini berarti bahwa perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu
yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsang
(Notoatmodjo, 2003).
Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2007), membagi perilaku manusia ke
dalam tiga bagian yakni: kognitif (cognitive), afektif (affective), dan psikomotor
(psychomotor). Dalam perkembangannya, teori ini dimodifikasi untuk pengukuran
hasil pendidikan kesehatan yakni: pengetahuan, sikap, dan praktik atau tindakan.
Menurut Notoatmodjo (2003), perilaku kesehatan adalah sesuatu respon
(organisme) terhadap stimulus atau obyek yang berkaitan dengan sakit dan
penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan.
Dari batasan ini, perilaku pemeliharaan kesehatan ini terjadi dari 3 aspek:
1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintanance).
2. Perilaku pencarian atau penggunaan sistem atau fasilitas kesehatan, atau
sering disebut perilaku pencairan pengobatan (health seeking behavior).
3. Perilaku kesehatan lingkungan
Perilaku dapat diukur dengan cara mengukur unsur-unsur perilaku dimana
salah satu adalah pengetahuan dengan cara memperoleh data atau informasi
tentang indikator-indikator pengetahuan tersebut. Untuk dapat menentukan tingkat
pengetahuan terhadap sanitasi lingkungan dilakukan melalui wawancara,

Notoatmodjo (2003).

2.1.1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, yakni melalui

indera

penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba (Notoatmodjo, 2003).

Universitas Sumatera Utara

6

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang (Notoatmodjo,
2003) :
1. Faktor Internal : faktor dari dalam diri sendiri, misalnya intelegensia,
minat, kondisi fisik.
2. Faktor Eksternal : faktor dari luar diri, misalnya keluarga, masyarakat,
sarana.

3. Faktor pendekatan belajar : faktor upaya belajar, misalnya strategi dan
metode dalam pembelajaran.
Pengetahuan mempunyai enam tingkatan yaitu (Notoatmodjo, 2003) :
1. Tahu ( Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya.Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
2. Memahami ( Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterprestasikan materi
tersebut secara benar.
3. Aplikasi ( Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang riil (sebenarnya).
4. Analisis ( Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek
kedalam komponen-komponen tetapi masih didalam suatu struktur
organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis ( Synthesis)
menunjuk


kepada

suatu

kemampuan

untuk

meletakkan

atau

menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang
baru.
6. Evaluasi ( Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.

Universitas Sumatera Utara


7

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden (Notoatmodjo, 2003).

2.1.2. Sikap
Newcomb dalam Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa sikap merupakan
kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif
tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi adalah
merupakan “ pre- disposisi” tindakan atau perilaku. Sikap masih merupakan
reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka.
Menurut Notoadmodjo (2003), sikap terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu:
1. Menerima (Receiving), diartikan bahwa orang (subjek) mau dan mau
memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).
2.

Merespon (Responding), memberikan jawaban apabila ditanya,
mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu
indikasi dari sikap yang berarti orang (subjek) menerima ide tersebut.


3. Menghargai (Valuiting), indikasinya adalah adanya ajakan kepada orang
lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap
suatu masalah.
4. Bertanggung jawab (Responsible), bertanggung jawab atas segala sesuatu
yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling
tinggi.
Allport (1954) dalam Notoadmodjo (2007) menemukan sikap dapat bersifat
positif dan dapat bersifat negatif.Pada sikap positif kecendrungan tindakan adalah
mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu.Sedangkan sikap negatif
terdapat sikap menjauhi, menghindari, membenci tidak menyukai objek tertentu.
Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang
menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden (Notoatmodjo, 2003).

Universitas Sumatera Utara

8

2.1.3. Tindakan

Praktik merupakan tindakan seseorang dalam melaksanakan apa yang
diketahui atau yang disikapinya (dinilai baik). Praktik merupakan perilaku
terbuka, tetapi belum wujud otomatis dari suatu sikap (Notoatmodjo, 2007).
Tingat-tingkat praktik antara lain :
1. Persepsi (Perception), yakni mengenal dan memilih berbagai objek
sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.
2.

Respon terpimpin (Guided Respon), yakni melakukan sesuatu sesuai
dengan urutan yang benar.

3. Mekanisme (Mecanism), yakni apabila seseorang telah dapat melakukan
sesuatu dengan benar secara otomatis ataupun sesuatu itu sudah menjadi
kebiasaan.
4. Adaptasi (Adaption), yakni suatu praktek atau tindakan yang sudah
berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya
sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakannya tersebut.
Pengukuran tindakan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang
menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden (Notoatmodjo, 2003).


2.2. Soil Transmitted Helminths
Soil-transmitted helminths merupakan satu kelompok parasit kelas nematoda
yang menginfeksi manusia melalui kontak dengan telur ataupun larva parasit yang
terdapat ditanah lembab daerah tropis dan subtropis (Bethony, et al.,2006).
Menurut Soedarto (2008) nematoda yang tergolong dalam STH diantaranya
Ascaris lumbricoides, Trichiuris trichiura, dan Enterobius vermicularis.

2.2.1 Ascaris lumbricoides
Cacing Ascaris lumbricoides secara umum dikenal sebagai cacing gelang.
Sebanyak 60% penduduk Indonesia yang diperiksa tinjanya, terinfeksi cacing ini.
Hospes defenitifnya adalah manusia ( Soedarto, 2008).

Universitas Sumatera Utara

9

a.

Morfologi

Ascaris lumbricoides berbentuk gilig (silindris) memanjang hingga mencapai

40 cm. Cacing ini berwarna krem atau merah muda keputihan. Ukuran cacing
betina 20-35 cm, sementara cacing jantan 15-31 cm. Mulutnya tediri dari tiga
tonjolan bibir berbentuk segitiga dengan satu tonjolan di bagian dorsal dan dua
lainnya berda di ventrolateral. Bagian ujung posterior cacing jantan agak
melengkung ke ventral seperti kait, dengan 2 buah copulatory spicule yang
panjangnya 2 mm. Cacing betina memiliki ujung posterior tidak melengkung
tetapi lurus. Vulvanya sangat kecil dan terletak di ventral antara pertemuan bagian
anterior dan tengah tubuh (Ideham dan Pusarawati, 2007).
Telur Ascaris terdiri dari dua bentuk, yaitu telur yang dibuahi (fertilized) dan
tidak dibuahi (unfertilized). Telur yang dibuahi (fertilized) berbentuk bulat
lonjong, ukuran panjang 45-75 mikron dan lebarnya 35-50 mikron. Telur ini
terdiri dari tiga lapis.Lapisan dalam dari bahan lipoid, lapisan tengah dari bahan
glikogen dan lapisan paling luar dari bahan albumin. Telur yang tidak dibuahi
(unfertilized) memiliki ukuran panjang 88-94 mikron dan lebarnya 44 mikron.
Telur ini berasal dari cacing betina yang belum mengalami fertilisasi. Telur
unfertilized terkadang mengalami pelepasan lapisan albumin, proses ini disebut
sebagai decorticated eggs (Ideham dan Pusarawati, 2007).


Gambar 2.1. Telur Ascaris lumbricoides
Dikutip dari: Centers for Disease Control and Prevention ( CDC)

Universitas Sumatera Utara

10

b. Siklus hidup
Setelah keluar bersama tinja penderita, telur Ascaris yang jatuh di tanah
lembab akan tumbuh menjadi telur infektif berisi larva cacing. Apabila tertelan,
telur infektif ini akan menetas di dalam usus. Larva keluar dari telur, menembus
dinding usus dan masuk ke vena porta hati.Lalu bersama aliran darah masuk ke
jantung, menuju paru-paru. Larva akan melakukan penetrasi pada dinding alveoli,
ke cabang bronkus, kerongkongan hingga akhirnya tertelan dan berakhir di usus
halus menjadi cacing dewasa. Peredaran larva cacing bersama aliran darah
memasuki organ jantung, paru-paru, sampai ke usus halus disebut lung migration.
Dalam waktu dua bulan, telur infektif akan menjadi cacing dewasa yang mampu
menghasilkan telur hingga 200.000 butir perhari (Soedarto, 2009).

Gambar 2.2 Siklus hidup Ascaris lumbricoides

Dikutip dari: Centers for Disease Control and Prevention ( CDC)

c.

Epidemiologi
Ascaris lumbricoides tersebar di seluruh dunia. Cacing ini menginfeksi 1300

juta orang terinfeksi. Di daerah tropis , tanah lembab dan terlindung dari sinar
matahari sangat mendukung berlangsungnya siklus hidup Ascaris lumbricoides
secara terus menerus. Prevalensi Ascaris lumbricoides meningkat di daerah
dengan sanitasi yang buruk dan berpenduduk padat. Kasusnya lebih sering pada
anak- anak terutama umur 5-9 tahun (Ideham dan Pusarawati, 2007).

Universitas Sumatera Utara

11

d.

Patologi dan Gejala Klinis
Pada infeksi berat, Larva Ascaris dapat menyebabkan reaksi hipersensitif

pulmonum, reaksi inflamasi, dan pada individu sensitif dapat menyebabkan gejala
seperti asma misalnya batuk, demam, dan sesak napas. Migrasi larva akan
mensensinitasi jaringan dalam bentuk inflamasi eosinofilik (sindrom Loffler’s).
Inflamasi ini akan meningkatkan sekresi mucus, inflamasi bronkiolar, dan eksudat
serosa (Ideham dan Pusarawati, 2007).
Sekresi metabolik cacing dewasa dapat menimbulkan gejala alergi seperti
urtikaria, kemerahan di kulit, nyeri pada mata dan insomnia. Sementara pada
intestinal, cacing dewasa dapat membentuk bolus atau massa yang dapat
menyebabkan obstruksi intestinal dan menimbulkan rasa sakit pada abdomen,
muntah, dan kadang-kadang massa dapat di raba. Komplikasi serius akibat
migrasi cacing dewasa pada saluran pencernaan atas akan menyebabkan cacing
keluar lewat mulut dan hidung. Hal ini dipicu oleh rangsangan panas (38,9 C).
Cacing dewasa dapat menyebabkan kolangitis, pankreatitis, dan apendiksitis.
Askariasis dapat mengakibatkan protein energy malnutrition. Pada anak-anak
yang mengalami infeksi oleh 13-14 cacing dewasa dapat kehilangan 4 gram
protein dari diet yang mengandung 35-50 gram protein/ hari (Ideham dan
Pusarawati, 2007)

e.

Pengobatan
Beberapa obat yang efektif dalam mengatasi askariasis adalah pirantel

pamoat dengan dosis 11 mg/ kg BB, mebendazol dengan dosis 100 mg, piperasin
sitrat 75 mg/kg BB dan albendazol 400 mg ( Soedarto, 2009).

2.2.2. Trichiuris trichiura
Trichiuris trichiura disebut sebagai cacing cambuk (whip worm) karena
bentuknya mirip cambuk.Infeksi cacing ini disebut sebagai trikuriasis.Trichiuris
trichiura hanya dapat ditularkan dari manusia ke manusia sehingga cacing ini
bukan parasit zoonosis (Soedarto, 2008).

Universitas Sumatera Utara

12

a.

Morfologi
Cacing ini memiliki bentuk tubuh yang khas yaitu sperti cambuk, dengan

bagian depan halus seperti benang sepanjang 3/5 dari seluruh tubuh. Bagian
belakang tubuhnya tebal seperti gagang cambuk, namun batas antara bagian depan
dan belakang tidak jelas. Cacing jantan berukuran 30-45 mm, sementara cacing
betina 35-50 mm. Ujung ekor cacing betina membulat dan cacing jantan
mempunyai ujung posterior kekuningan yang melengkung dan spikula tunggal
( Ideham dan Pusarawati, 2007)
Telur Trichiuris trichiura berbentuk guci atau sitron dengan dua
kutub.Lapisan

luar

berwarna

kekuning-kuningan

dan

bagian

dalam

transparan.Pertumbuhan telur ini berlangsung dengan baik di daerah panas,
dengan kelembapan tinggi terutama di tempat yang berlindung (Irianto, 2009).

Gambar 2.3. Telur Trichiuris triciura
Dikutip dari: Centers for Disease Control and Prevention ( CDC)

b.

Siklus Hidup
Telur Trichiuris trichiura akan mengalami pematangan di tanah dalam waktu

3-4 minggu lamanya. Bila telur infektif tertelan oleh manusia, maka dinding telur
pecah dan larva akan keluar menembus vili usus, dan berdiam selama 3-10 hari
dekat kripta Lieberkuhn. Setelah dewasa, cacing ini turun ke sekum.Bagian depan
yang kecil menembus mukosa usus dan mengambil makanan di sana (Irianto,
2009).

Universitas Sumatera Utara

13

Gambar 2.4 Siklus hidup Trichiuris trichiura
Dikutip dari: Centers for Disease Control and Prevention ( CDC)

c.

Epidemiologi
Angka infeksi cacing cambuk di dunia diperkirakan 1300 juta yang pada

umumnya di daerah tropis dan subtropis.Penyebaran cacing ini disertai dengan
penyebaran Ascaris lumbricoides.Trichiuris trichiura sering menginfeksi anakanak umur 5-14 tahun, dikarenakan anak lebih sering bermain dengan tanah
(Ideham dan Pusarawati, 2007).

d.

Patologi dan Gejala Klinis
Cacing dewasa yang menembus dinding usus menimbulkan trauma dan

kerusakan

pada

jaringan

usus.Cacing

juga

menghasilkan

toksin

yang

menimbulkan iritasi dan peradangan. Pada penderita infeksi berat akan mengalami
gejala berupa anemia berat, diare berdarah, nyeri perut, mual muntah, berat badan
menurun, dan kadang terjadi proplaps rectum. Melalui proroskopi dapat dilihat
adanya cacing-cacing dewasa pada kolon atau rectum penderita. Pemeriksaan

Universitas Sumatera Utara

14

darah pada infeksi berat, hemoglobin dapat berada di bawah 3 g% dan
menunjukkan gambaran eosinifilia (eosinophil > 3%)( Soedarto, 2008).

e.

Pengobatan
Pengobatan dengan mengkombinasikan beberapa obat cacing akan memiliki

efek maksimal. Pirantel pamoat (10 mg/kgBB) dapat dikombinasikan dengan
oksantel pamoat (10-20 mg/ kgBB) diberikan dalam bentuk dosis tunggal. Selain
itu pirantel pamoat dapat di kombinasikan dengan mebendazol ( Ideham dan
Pusarawati, 2007).

2.2.3. Ancylostoma duodenale dan Necator americanus
a.

Morfologi
1. Cacing dewasa
Ancylostoma duodenale mempunyai ukuran kecil, relatif gemuk,
silindris dengan bagian depan lebih langsing dan bagian servikal
melengkung kearah dorsal-anterior membentuk huruf C. Cacing jantan
berukuran 8-11 mm dan cacing betina panjangnya 10-13 mm. Bagian
mulut mengandung bahan chittine dan terdiri dari dua pasang gigi ventral.
Pada bagian ekor cacing jantan terdapat bursa copulatric dan sepasang
spikula yang panjang, sedangkan pada cacing betina tumpul.Necator
americanus berbentuk gilig dengan bagian anterior menekuk kearah dorsal
sehingga tampak seperti huruf S. Bagian mulut berbentuk semilunar
cutting plate.Cacing jantan mempunyai ukuran 7-9 mm dan cacing betina
9-11 mm ( Ideham dan Pusarawati, 2007).
2. Telur
Telur Ancylostoma duodenale dan Necator americanus sangat mirip
sehingga

sulit

dibedakan.Telur

cacing

ini

berdinding

tipis

dan

mengandung 2-8 sel dengan ukuran 60 x 40 mikron ( Ideham dan
Pusarawati, 2007).

Universitas Sumatera Utara

15

Gambar 2.5. Telur Hookworm
Dikutip dari: Centers for Disease Control and Prevention ( CDC)

3. Larva
- Larva rhabditiform
Memiliki panjang 0,25-0,30 mm dan diameter 17 mikron. Mulut larva
rhabditiform panjang dan sempit, esophagus berbentuk tabung dan
terletak di sepertiga anterior .( Ideham dan Pusarawati, 2007).
- Larva filariform
Pada fase ini.Larva tidak makan. Pada larva Necator americanus
mempunyai selubung dari bahan kutikula dan terdapat garis-garis
transversal yang sangat tampak.( Ideham dan Pusarawati, 2007).

b.

Siklus hidup
Telur yang keluar bersama tinja, apabila jatuh di lingkungan optimal akan

menetas dalam 1-2 hari. Larva rhabditiform berkembang di dalam tinja, dan
setelah 5-10 hari larva akan mengalami dua kali pergantian kulit. Setelah ganti
kulit, larva akan menjadi larva filariform yang merupakan stadium infektif. Larva
infektif dapat tetap hidup selama 3-4 minggu pada lingkungan yang mendukung.
Larva ini menginfeksi manusia melalui sela jari kaki , bagian lateral punggung
kaki, atau melalui tangan. Penetrasi pada kulit didukung oleh kutikula larva.
Setelah melalui subkutan, larva akan mengikuti aliran darah kejantung dan paruparu melalui vena-vena superfisial. Larva menembus alveoli pulmonum,
percabangan bronki, ke faring dan selajutnya tertelan. Setelah sampai di usus
halus, larva akan mengalami pergantian kulit dan berkembang menjadi cacing

Universitas Sumatera Utara

16

dewasa. Di perlukan waktu 5 minggu atau lebih untuk larva filariform menjadi
cacing dewasa yang produktif ( Ideham dan Pusarawati, 2007).

Gambar 2.6. Siklus Hidup Hookworm
Dikutip dari: Centers for Disease Control and Prevention ( CDC)

c.

Epidemiologi
Infeksi oleh hookworm diperkirakan mencapai 1200 juta kasus per tahun.

Beberapa faktor yang yang mempengaruhi penyebaran infeksi hookworm yakni
sanitasi yang jelek dengan kebiasaan buang air besar di tanah lembab dan tidak
menggunakan alas kaki ( Ideham dan Pusarawati, 2007).

d.

Patologi dan Gejala klinis
Gejala yang tampak pada tempat penetrasi larva ialah dermatitis lokal dan

ikuti inflamasi beruo papula eritematosa yang bias berubah bentuk menjadi suatu
vesikel (ground itch). Migrasi larva pada saluran pernafasan dapat menimbulkan
gejala seperti batuk, faringitis, dan laringitis. Sementara pada saluran pencernaan,
larva akan menimbulkan nyeri di daerah epigastrium, hilangnya nafsu makan,
diare, dan kadang-kadang konstipasi (Irianto, 2009).

Universitas Sumatera Utara

17

Cacing dewasa dapat menimbulkan erosi dan ulserasi pada usus, dengan
adanaya gigi atau cutting plate yang digunakan untuk untuk menempel pada vilivili usus. Penempelan ini akan menyebabkan keluarnya darah dari kapiler, yang
sebagian akan diserap oleh usus. Perdarahan kronis ialah dapat menimbulkan
anemia sehingga penderita akan mengalami pusing, cepat lelah, pucat dan
penurunan kadar Hb. Infeksi Necator americanus lebih ringan bila dibandingkan
Ancylostoma duodenale ( Ideham dan Pusarawati, 2007).

e.

Pengobatan
Terapi pada pasien yang mengalami infeksi tanpa anemia, dapat diberikan

antihelmintik

yaitu

Bephenium

hydroxynapthhaloat,

Phenylen

-

1.4

-

diisothiocyanat, dan Thiabendazol. Sementara pada pasien yang terinfeksi dengan
anemia, dapat diberikan terapi patogenik dengan memberikan preparat besi
(Irianto, 2009).

2.3. Upaya Pencegahan Penyakit Cacing
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk pencegahan penyakit cacing, antara
lain (Tumanggor, 2008):
1. Biasakan mencuci tangan sebelum makan atau memegang makanan.
Gunakan sabun dan bersihkan bagian kuku jemari yang kotor.
2. Biasakan mencuci tangan dengan sabun sehabis Buang Air Besar.
3. Biasakan menggunting kuku secara teratur seminggu sekali.
4. Tidak membiasakan diri menggigiti kuku jemari tangan atau menghisap
jempol.
5.

Tidak membiasakan anak bermain-main di tanah.

6. Menggunakan alas kaki saat berjalan kaki di luar, terutama bila berjalan di
tanah.
7.

Tidak membuang feses di kebun, parit, sungai, atau danau. Biasakan
buang feses di jamban.

8.

Biasakan tidak jajan panganan yang tidak tertutup saji atau yang
terpegang-pegang tangan.

Universitas Sumatera Utara

18

9. Di wilayah yang banyak terjangkit penyakit cacing, periksakan diri ke
Puskesmas secara teratur terutama ada tanda atau gejala cacingan.
10. Segera mengobati penyakit cacing sampai tuntas.
11. Sebelum memakan sayuran mentah (lalapan) atau buah-buahan, harus
sudah dicuci bersih dengan air yang mengalir terlebih dahulu.

2.4.

Intensitas Infeksi Cacing

Intensitas infeksi merupakan angka serangan dari masing-masing jenis
cacing. Intensitas infeksi Soil Transmitted Helminths dapat diukur secara
langsung melalui penghitungan jumlah cacing yang terbuang setelah pemberian
obat cacing atau secara tidak langsung yaitu melalui penghitungan jumlah telur
cacing yang terdapat di feses (jumlah telur per gram tinja). Metode secara tidak
langsung lebih efektif dan lebih sering digunakan ( WHO, 2012).

Tabel 2.1. Klasifikasi Intensitas Infeksi Menurut Jenis Cacing

Jenis Cacing
No.

2.5.

Klasifikasi

Cacing

Cacing

Cacing

Gelang

Cambuk

Tambang

1.

Ringan

1 - 4.999

1 – 999

1 – 1.999

2.

Sedang

5.000 - 49.999

1.000 – 9.999

2.000 – 3.999

3.

Berat

> 50.000

> 10.000

> 4.000

Pemeriksaan Feses

Tujuan pemeriksaan feses adalah untuk menegakkan diagnosis pasti, ada
tidaknya infeksi cacing, menentukan berat ringannya infeksi serta jenis telur
cacing yang ada. Setelah dilakukan wawancara tentang pengetahuan mengenai
kecacingan dan kebiasaan hidup sehat, pot tinja dapat dibagikan kepada
responden. Jumlah feses yang akan diteliti sekitar 100 mg (sebesar kelereng atau

Universitas Sumatera Utara

19

ibu jari tangan). Spesimen harus diperiksa pada hari yang sama, namun bila
kondisi tidak mendukung maka dapat diberi formalin 5-10% sampai terendam
(Depkes, 2006).
Pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu ( Depkes, 2006):
a)

Cara Pemeriksaan Kualitatif (modifikasi teknik Kato)
Hasil pemeriksaan feses kualitatif berupa positif atau negatif cacingan.
Prevalensi cacingan dapat berupa prevalensi seluruh jenis cacing atau per
jenis cacing. Pemeriksaan kualitatif dilakukan dengan menggunakan:


Metode Natif



Metode Apung



Metode Harada Mori



Metode Kato

b) Cara Pemeriksaan Kuantitatif
Pemeriksaan kuantitatif diperlukan untuk menentukan intensitas infeksi atau
berat ringannya penyakit dengan mengetahui jumlah telur per gram feses
(EPG) pada setiap jenis cacing. Pemeriksaan kuantitatif dilakukan dengan
menggunakan metode kato.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Hubungan Antara Higiene dengan Infeksi Cacing Soil Transmitted Helminths pada Siswa-siswi SD Negeri No. 101837 Suka Makmur, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang Tahun 2011

0 38 78

Hubungan Antara Perilaku dengan Intensitas Infeksi Soil Transmitted Helminths pada Siswa-Siswi SD Negeri 040470 Desa Lingga Julu Kabupaten Karo Tahun 2014

1 18 100

Hubungan Infeksi Soil Transmitted Helminths Dengan Status Gizi pada Siswa/I Sekolah Dasar Negeri 060839 Medan Tahun 2016

1 16 79

HUBUNGAN ANTARA INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS (STH) DENGAN KADAR EOSINOFIL DARAH TEPI PADA SISWA SD BARENGAN DI KECAMATAN TERAS BOYOLALI.

0 0 12

Hubungan Antara Perilaku dengan Intensitas Infeksi Soil Transmitted Helminths pada Siswa-Siswi SD Negeri 040470 Desa Lingga Julu Kabupaten Karo Tahun 2014

0 0 13

Hubungan Antara Perilaku dengan Intensitas Infeksi Soil Transmitted Helminths pada Siswa-Siswi SD Negeri 040470 Desa Lingga Julu Kabupaten Karo Tahun 2014

0 0 2

Hubungan Antara Perilaku dengan Intensitas Infeksi Soil Transmitted Helminths pada Siswa-Siswi SD Negeri 040470 Desa Lingga Julu Kabupaten Karo Tahun 2014

0 0 4

Hubungan Antara Perilaku dengan Intensitas Infeksi Soil Transmitted Helminths pada Siswa-Siswi SD Negeri 040470 Desa Lingga Julu Kabupaten Karo Tahun 2014

0 0 3

Hubungan Antara Perilaku dengan Intensitas Infeksi Soil Transmitted Helminths pada Siswa-Siswi SD Negeri 040470 Desa Lingga Julu Kabupaten Karo Tahun 2014

0 0 38

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG KECACINGAN (INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS) DENGAN ANGKA KEJADIAN INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS PADA MURID SD NEGERI 3 BAJUR, KECAMATAN LABUAPI, KABUPATEN LOMBOK BARAT - Repository UNRAM

0 0 18