Hubungan Motivasi Perawat dengan Upaya Pencegahan Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Motivasi Kerja
Menurut Robbins et al (1999), motivasi merupakan kesediaan untuk

melaksanakan upaya tinggi untuk mencapai tujuan- tujuan keorganisasian, yang
dikondisikan oleh kemampuan upaya, untuk memenuhi kebutuhan individual
tertentu. Sedangkan menurut Gray et al (1984), motivasi merupakan hasil
sejumlah proses yang bersifat internal atau eksternal bagi seorang individu, yang
menyebabkan

timbulnya

sikap

antusiasme

dan


persistensi

dalam

hal

melaksanakan kegiatan- kegiatan tertentu (Winardi, 2011).
Chiselli dan Brown dalam Manullang (2004.193), menjelaskan motivasi
dianggap sebagai suatu proses dengan mana keinginan dan kebutuhan itu
ditimbulkan dan motif dianggap sebagai kebutuhan dan keinginan tertentu.
Winardi dalam Manullang (2004.193), menyatakan motivasi adalah keinginan
yang terdapat pada seseorang individu yang merangsangnya untuk melakukan
tindakan- tindakan. Dan pengertian motivasi menurut Hasibuan (2003.219) adalah
pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang, agar
mereka mau bekerja sama, bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala daya
upayanya untuk mencapai kepuasan.
Motivasi adalah karakteristik psikologi manusia yang memberi kontribusi
pada tingkat komitmen seseorang. Hal ini termasuk faktor-faktor yang
menyebabkan, menyalurkan dan mempertahankan tingkah laku manusia dalam


Universitas Sumatera Utara

arah tekad tertentu (Stoner & Freman, 1995). Ngalim Purwanto (2000)
menyatakan motivasi adalah segala sesuatu yang mendorong seseorang untuk
melakukan sesuatu. Motivasi adalah perasaan atau pikiran yang mendorong
seseorang melakukan pekeerjaan atau menjalankan kekuasaan terutama dalam
berprilaku (Shortell & Kaluzny, 1994).
Dari defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi sesuatu yang
bersifat dinamis dan merupakan suatu proses yang dapat menampilkan perilaku
untuk mencapai tujuan dalam merumuskan kebutuhan-kebutuhan dirinya, hingga
mendapatkan tujuan yang dikehendaki dan dapat selaras dengan waktu yang ada.

2.2. Aspek-Aspek Motivasi
Menurut Hasibuan (1996), motivasi dibagi menjadi dua aspek yaitu aspek aktif
atau dinamis dan aspek pasif atau statis. (1) aspek aktif atau dinamis yaitu
motivasi tampak sebagai usaha positif dalam menggerakkan dan mengarahkan
sumber daya manusia agar secara produktif berhasil mencapai tujuan yang
diinginkan; (2) aspek pasif atau statis yaitu motivasi akan tampak sebagai
kebutuhan dan juga sekaligus sebagai perangsang untuk dapat mengarahkan dan

menggerakkan potensi sumber daya manusia kearah tujuan yang diinginkan.

2.3. Motivasi Herzberg
2.3.1 Motivasi Intrinsik
Motivasi intrinsik adalah motivasi yang mendorong seseorang untuk berprestasi
yang bersumber dalam diri individu tersebut, yang lebih dikenal dengan faktor

Universitas Sumatera Utara

motivasional. Menurut Herzberg yang dikutip oleh Luthans (1992 : 160 ), yang
tergolong sebagai faktor motivasional antara lain ialah:
1. Achievement (Keberhasilan)
Keberhasilan seorang pegawai dapat dilihat dari prestasi yang diraihnya Agar
sesorang pegawai dapat berhasil dalam melakasanakan pekerjaannya, maka
pemimpin harus mempelajari bawahannya dan pekerjaannya dengan memberikan
kesempatan kepadanya agar bawahan dapat berusaha mencapai hasil yang baik.
Bila bawahan terlah berhasil mengerjakan pekerjaannya, pemimpin harus
menyatakan keberhasilan itu.
2. Recognition (pengakuan/penghargaan)
Sebagai lanjutan dari keberhasilan pelaksanaan, pimpinan harus memberi

pernyataan pengakuan trhadap keberhasilan bawahan dapat dilakukan dengan
berbagai cara yaitu:
a) Langsung menyatakan keberhasilan di tempat pekerjaannya, lebih baik
dilakukan sewaktu ada orang lain
b) Surat penghargaan
c) Memberi hadiah berupa uang tunai
d) Memberikan medali, surat penghargaan dan hadiah uang tunai
e) Memberikan kenaikan gaji promosi
3. Work it self (Pekerjaan itu sendiri)
Pimpinan membuat uasaha-usaha ril dan meyakinkan, sehingga bawahan mengerti
akan pentingnya pekerjaan yang dilakukannya dan usaha berusaha menghindar

Universitas Sumatera Utara

dari kebosanan dalam pekerjaan bawahan serta mengusahakan agar setiap
bawahan sudah tepat dalam pekerjaannya.
4. Responsibility (Tanggung jawab)
Agar tanggung jawab benar menjadi faktor motivator bagi bawahan, pimpinan
harus menghindari supervise yang ketat, dengan membiarkan bawahan bekerja
sendiri sepanjang pekerjaan itu memungkinkan dan menerapkan prinsip

partisipasi. Diterapkannya prinsip partisispasi membuat bawahan sepenuhnya
merencanakan dan melaksanakan pekerjaannya.
5. Advencement (Pengembangan)
Pengembangan merupakan salah satu faktor motivator bagi bawahan. Faktor
pengembangan ini benar-benar berfungsi sebagai motivator, maka pemimpin
dapat memulainya dengan melatih bawahannya untuk pekerjaan yang lebih
bertanggung jawab. Bila ini sudah dilakukan selanjutnya pemimpin member
rekomendasi tentang bawahan yang siap untuk pengembangan, untuk menaikkan
pangkatnya, dikirim mengikuti pendidikan dan pelatihan lanjutan.
2.3.2 Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang bersumber dari luar diri yang turut
menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang yang dikenal dengan
teori hygiene factor. Menurut Herzberg yang dikutip oleh Luthans (1992 : 160 ),
yang tergolong sebagai hygiene factor antara lain ialah berikut:
1. Policy and administration (Kebijakan dan administrasi)
Yang menjadi sorotan disini adalah kebijaksaan personalia. kantor personalia
umumnya dibuat dalam bentuk tertulis. Biasanya yang dibuat dalam bentuk

Universitas Sumatera Utara


tertulis adalah baik, karena itu yang utama adalah bagaimana pelaksanaan dalam
praktek. Pelaksanaan kebijakasanaan dilakukan masing masing manajer yang
bersangkutan. Dalam hal ini supaya mereka berbuat seadil-adilnya.
2. Quality supervisor (Supervisi)
Dengan technical supervisor yang menimbulkan kekecewaan dimaksud adanya
kurang mampu dipihak atasan, bagaimana caranya mensupervisi dari segi teknis
pekerjaan yang merupakan tanggung jawabnya atau atasan mempunyai kecakapan
teknis yang lbih rendah dari yang diperlukan dari kedudukannya. Untuk
mengatasi hal ini para pimpinan harus berusaha memperbaiki dirinya dengan jalan
mengikuti pelatihan dan pendidikan.
3. Interpersonal relation (Hubungan antar prbadi)
Inteprsonal relation menunjukkan hubungan perseorangan antara bawahan dengan
atasannya, dimana kemungkinan bawahan merasa tidak dapat bergaul dengan
atsannya. Agar tidak menimbulkan kekecewaaan pegawai, maka minimal ada tiga
kecakapan harus dimiliki setiap atasan yakni:
a. Technical skill (kecakapan terknis). Kecakapan ini sangat bagi pimpinan
tingkat

terbawah


dan

tingkat

menengah,

ini

meliputi

kecakapan

menggunakan metode dan proses pada umumnya berhubungan dengan
kemampuan menggunakan alat.
b. Human skill (kecakapan konsektual) adalah kemampuan untuk bekerja
didalam atau dengan kelompok, sehinnga dapat membangun kerjasama dan
mengkoordinasikan berbagai kegiatan.

Universitas Sumatera Utara


c. Conseptual skill (kecakapan konseptual) adalah kemampuan memahami
kerumitan organisasi sehingga dalam berbagai tindakan yang diambil
tekanan selalu dalam uasaha merealisasikan tujuan organisasi keseluruhan.
4. working condition (Kondisi kerja)
Masing-masing manejer dapat berperan dalam berbagai hal agar keadaan masingmasing bawahannya menjadi lebih sesuai. Misalnya ruangan khusus bagi unitnya,
penerangan, perabotan suhu udara dan kondsi fisik lainnya. Menurut Hezberg
seandainya kondisi lingkungan yang baik dapat tercipta, prestasi yang tinggi dapat
tercipta, prestasi tinggi dapat dihasilkan melalui kosentrasi pada kebutuhankebutuhan ego dan perwujudan diri yang lebih tinggi.
5. wages (Gaji)
Pada umumnya masing-masing manajer tidak dapat menentukan sendiri skala gaji
yang berlaku didalam unitnya. Namun demikian masing-masing manajer
mempunyai kewajiban menilai apakah jabatan-jabatan dibawah pengawasannya
mendapat kompensasi sesuai pekerjaan yang mereka lakukan. Para manajer harus
berusaha untuk mengetahui bagaimana jabatan didalam kantor diklasifikasikan
dan elemen-elemen apa saja yang menentukan pengklasidikasian itu (Brantas.
2009).

2.4 Motivasi Kerja Perawat
Motivasi adalah proses kesediaan melakukan usaha tingkat tinggi untuk
mencapai sasaran organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan usaha tersebut

memuaskan kebutuhan sejumlah individu. Meskipun secara umum motivasi

Universitas Sumatera Utara

merujuk ke upaya yang dilakukan guna mencapai setiap sasaran, disini kita
merujuk ke sasaran organisasi karena fokus kita adalah perilaku yang berkaitan
dengan kerja. Unsur upaya merupakan ukuran intensitas atau dorongan. Seseorang
yang termotivasi berusaha keras. Namun tingkat upaya yang tinggi tidak selalu
menghasilkan kinerja yang menguntungkan, kecuali jika usaha disalurkan kearah
yang menguntungkan organisasi. Oleh karena itu, kita harus mempertimbangkan
mutu usaha itu beserta intensitasnya. Usaha yang diarahkan ke sasaran organisasi
dan konsisten dengan sasaran organisasi merupakan jenis usaha yang harus kita
cari. Akhirnya, kita akan memperlakukan motivasi sebagai proses memuaskan
kebutuhan (Robbins & Coulter, 2007).
Motivasi kerja merupakan faktor utama individu dalam melakukan segala
tindakan atau pekerjaan untuk mencapai hasil seoptimal mungkin. Motivasi kerja
disini merupakan suatu kondisi atau keadaan yang mempengaruhi seseorang
untuk terus meningkatkan, mengarahkan serta memelihara perilakunya yang
berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan lingkungan
kerjanya (Badi'ah & dkk, 2009).

Motivasi perawat dalam bekerja dengan adanya tujuan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan tersebut menjadikan perawat bekerja lebih giat dan lebih
semangat, karena dengan bekerja ia akan mendapat imbalan baik materil dan
nonmaterial yang ia harap dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Kebutuhan yang terpenuhi akan menjadi pemotivator bagi perawat untuk bekerja
lebih giat lagi. Masalah-masalah yang muncul pada staf keperawatan seperti
kurang semangat, tidak disiplin, dan datang terlambat, maka manager sangat

Universitas Sumatera Utara

berperan penting untuk meninjau permasalahan tersebut menurut teori kebutuhan
dasar Maslow. Apakah kebutuhan tersebut sudah terpenuhi atau belum. Jika
kebutuhan tersebut belum terpenuhi maka kemungkinan motivasi kerja menjadi
buruk (Suyanto, 2009).

2.5 Perawat
Keperawatan adalah kegiatan pemberian asuhan kepada individu,
keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik dalam keadaan sakit maupun sehat.
Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi Keperawatan,
baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah sesuai dengan

ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Pelayanan Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang
merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu
dan kiat Keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, atau
masyarakat, baik sehat maupun sakit.
Praktik Keperawatan adalah pelayanan yang diselenggarakan oleh Perawat
dalam bentuk Asuhan Keperawatan.
Asuhan Keperawatan adalah rangkaian interaksi Perawat dengan Klien
dan lingkungannya untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan dan
kemandirian Klien dalam merawat dirinya.
Uji Kompetensi adalah proses pengukuran pengetahuan, keterampilan, dan
perilaku peserta didik pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan program
studi Keperawatan.

Universitas Sumatera Utara

Sertifikat Kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kompetensi
Perawat yang telah lulus Uji Kompetensi untuk melakukan Praktik Keperawatan.
Sertifikat Profesi adalah surat tanda pengakuan untuk melakukan praktik
Keperawatan yang diperoleh lulusan pendidikan profesi.
Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap Perawat yang telah memiliki
Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat Profesi dan telah mempunyai kualifikasi
tertentu lainnya serta telah diakui secara hukum untuk menjalankan Praktik
Keperawatan.
Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti
tertulis yang diberikan oleh Konsil Keperawatan kepada Perawat yang telah
diregistrasi (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014).
2.5.1. Peran Perawat
Peran perawat merupakan tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain
terhadap seseorang sesuai dengan kedudukan dalam sistem, dimana dapat
dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari profesi perawat maupun dari luar
profesi keperawatan yang bersifat konstan. Peran perawat menurut konsorsium
ilmu kesehatan tahun 1989 terdiri dari peran sebagai pemberi asuhan keperawatan,
advokat pasien, pendidik, koordinator, kolaborator, konsultan dan peneliti
(Hidayat, 2004).
Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan ini dapat dilakukan perawat
dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan
melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses
keperawatan sehingga dapat ditentukan

Universitas Sumatera Utara

diagnosis keperawatan agar bisa direncanakan dan dilaksanakan tindakan yang
tepat sesuai dengan tingkat kebutuhan dasar manusia, kemudian dapat dievaluasi
tingkat perkembangannya. Pemberian asuhan keperawatan ini dilakukan dari yang
sederhana sampai dengan kompleks (Hidayat, 2004).
Peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien dan keluarga dalam
menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan atau informasi
lain khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang
diberikan kepada pasien, juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi
hak-hak pasien yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya hak atas
informasi tentang penyakitnya, hak atas privasi, hak untuk menentukan nasibnya
sendiri dan hak untuk menerima ganti rugi akibat kelalaian (Hidayat, 2006).
2.5.2. Fungsi Perawat
Fungsi perawat dalam melakukan pengkajian pada individu sehat maupun
sakit dimana segala aktivitas yang dilaksanakan berguna untuk pemulihan
kesehatan berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, aktifitas ini dilakukan dengan
berbagai cara untuk melakukan kemandirian pasien secara mungkin dalam bentuk
proses keperawatan yang terdiri dari tahap pengkajian, identifikasi masalah,
perencanaan, implementasi dan evaluasi.
Fungsi merupakan suatu pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan
perannya. Fungsi tersebut dapat berubah disesuaikan dengan keadaan yang ada.
Dalam menjalankan perannya, perawat akan melaksanakan berbagai fungsi
diantaranya: fungsi independen, fungsi dependen dan fungsi interdependen
(Hidayat, 2004).

Universitas Sumatera Utara

2.5.3. Tugas Perawat
2.5.3.1. Tugas perawat di rumah sakit
Seorang perawat mempunyai tugas dan bertanggungjawab penuh selama
24 jam terhadap asuhan keperawatan pasien mulai dari pasien masuk sampai
keluar rumah sakit.
2.5.3.2. Tugas perawat di ruangan
Pelaksana perawatan di ruangan adalah tenaga perawat profesional yang
diberi wewenang untuk melaksanakan pelayanan keperawatan di ruangan dengan
persyaratan berijazah pendidikan formal keperawatan, semua jenjang yang
disahkan oleh pemerintah atau yang berwenang (Dep.Kes RI, 1994).
Pelaksana perawatan bertanggungjawab secara administrasi fungsional
kepada

kepala

ruangan,

sedangkan

secara

teknis

medis

operasional

bertanggungjawab kepada dokter ruang rawat / dokter penanggung jawab ruangan
(Dep.Kes RI, 1994).
Tugas pokoknya adalah melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien di
ruangan, dengan uraian tugas sebagai berikut :
1. Memelihara kebersihan ruang rawat dan lingkungannya.
2. Menerima pasien baru sesuai prosedur dan ketentuan yang berlaku.
3. Memelihara peralatan perawatan dan medis agar selalu dalam keadaan siap
pakai.
4. Melaksanakan program orientasi kepada pasien tentang ruangan dan
lingkungan, peraturan / tata tertib yang berlaku, fasilitas yang ada dan cara
penggunaannya, serta kegiatan rutin sehari-hari di ruangan.

Universitas Sumatera Utara

5. Menciptakan hubungan kerjasama yang baik dengan pasien dan
keluarganya.
6. Mengkaji kebutuhan dan masalah kesehatan pasien, sesuai batas
kemampuannya.
7. Menyusun rencana keperawatan sesuai dengan kemampuannya.
8. Melaksanakan tindakan keperawatan kepada pasien sesuai kebutuhan dan
batas kemampuannya.
9. Berperan serta melaksanakan latihan mobilisasi pada pasien agar dapat
segera mandiri.
10. Melakukan pertolongan pertama kepada pasien dalam keadaan darurat
secara tepat dan benar sesuai kebutuhan.
11. Melaksanakan

evaluasi

tindakan

keperawatan

sesuai

batas

kemampuannya.
12. Memantau dan menilai kondisi pasien.
13. Menciptakan dan memelihara suasana yang baik antara pasien dan
keluarganya, sehingga tercipta ketenangan.
14. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan di bidang keperawatan,
antara lain, melalui pertemuan ilmiah dan penataran.
15. Melaksanakan sistem pencatatan dan pelaporan asuhan keperawatan yang
tepat dan benar, sehingga tercipta sistem informasi rumah sakit yang dapat
dipercaya (akurat) (Dep.Kes RI, 1994).

Universitas Sumatera Utara

2.6 Infeksi Nosokomial
2.6.1 Pengertian Infeksi Nosokomial
Infeksi nosokomial atau yang disebut sebagai hospital acquired infection
(HAI) adalah infeksi yang didapatkan dan berkembang selama pasien dirawat di
rumah sakit (WHO, 2002). Seseorang mendapatkan Infeksi nosokomial apabila
penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda-tanda klinis infeksi
tersebut (Depkes, 2003). Pada saat penderita dirawat di rumah sakit tidak sedang
dalam masa inkubasi penyakit, tanda-tanda klinis infeksi tersebut baru timbul
sekurangkurangnya setelah 3x24 jam sejak mulai perawatan. Infeksi tersebut
bukan merupakan infeksi sisa dari infeksi sebelumnya. Apabila saat pasien
dirawat di rumah sakit sudah terlihat adanya tanda-tanda infeksi dan terbukti
infeksi didapat bukan dari rumah sakit, tidak bisa disebut sebagai infeksi
nosokomial. Menurut Djojosugito (2001), suatu infeksi dikatakan didapat di
rumah sakit apabila :
a. Waktu mulai dirawat tidak didapatkan tanda klinis infeksi dan tidak sedang
dalam masa inkubasi infeksi tersebut
b. Infeksi sekurang-kurangnya 72 jam sejak mulai dirawat
c. Infeksi terjadi pada pasien dengan masa perawatan lebih lama dari waktu
inkubasi infeksi tersebut
d. Infeksi terjadi setelah pasien pulang dan dapat dibuktikan berasal dari rumah
sakit
e. Infeksi terjadi pada neonatus yang didapatkan dari ibunya pada saat
persalinan atau selama perawatan di rumah sakit.

Universitas Sumatera Utara

Infeksi nosokomial mudah terjadi karena kondisi tertentu (Widodo, 2006),
misalnya :
a. Rumah sakit merupakan tempat berkumpulnya orang sakit sehingga jumlah
dan jenis kuman penyakit yang ada lebih banyak daripada di tempat lain
b. Orang sakit mempunyai daya tahan tubuh yang rendah sehingga mudah
tertular
c. Di rumah sakit, seringkali penderita dilakukan tindakan invasif mulai dari
yang sederhana, misalnya pemberian obat suntikan sampai dengan tindakan
yang lebih invasif misalnya operasi
d. Mikroorganisme yang ada cenderung lebih resisten terhadap antibiotika,
akibat penggunaan berbagai macam antibiotika yang seringkali tidak rasional
e. Adanya kontak langsung antar pasien, atau petugas dengan pasien yang dapat
menularkan kuman patogen
f. Penggunaaan alat/peralatan kedokteran yang telah terkontaminasi oleh
kuman.

2.6.2 Sejarah Infeksi Nosokomial
Infeksi nosokomial atau yang biasa disebut hospital acquired infection adalah
infeksi yang didapat saat klien dirawat di rumah sakit (WHO, 2002). Infeksi ini
bukan merupakan infeksi baru yang terjadi di rumah sakit, namun kasus infeksi
nosokomial ini telah dilaporkan oleh negara-negara di seluruh dunia, baik di
negara maju maupun negara berkembang. Seperti yang terjadi sebelumnya yaitu :

Universitas Sumatera Utara

a. Tahun 1818 – 1865 rumah sakit di Wina yang digunakan sebagai lahan
praktik mahasiswa kedokteran didapatkan data peningkatan angka kematian
ibu post partum, setelah diteliti ternyata diakibatkan karena tidak
dilakukannya tindakan cuci tangan sebelum menolong persalinan (Widodo,
2006).
b. Tahun 1982 di Jepang, terjadi epidemi oleh kuman Staphylococcus aureus
yang resisten terhadap antibiotika tertentu. Dugaan yang ada akibat
penggunaa cephalosporine yang berlebihan (Widodo, 2006);
c. Tahun 1982, Halley dan kawan-kawan melaporkan adanya peningkatan
kejadian infeksi oleh Methicillin Resistance Staphylococcus Aureus (MRSA).
Di rumah sakit yang ada di Amerika Serikat yang kemungkinan terjadi karena
transfer pasien dan karyawan rumah sakit ke rumah sakit lainnya (Widodo,
2006).

2.6.3 Insiden
Angka kejadian infeksi nosokomial sekitar 36% pada akhir abad 20.
Angka kejadian infeksi nosokomial di tahun 1975 adalah 7.2 per 1000 pasien/hari
pada tahun 1995 naik menjadi 9.8 per 1000 pasien/hari (Burke, 2003). Angka
kejadian infeksi nosokomial cukup tinggi yaitu 5% pertahun atau 9 juta dari 190
juta pasien yang dirawat. Angka kematian akibat infeksi nosokomial ini juga
cukup tinggi yaitu 1 juta per tahunnya. Survey yang dilakukan WHO terhadap 55
rumah sakit di 14 negara menunjukkan 8.7% dari rumah sakit tersebut terdapat
pasien dengan infeksi nosokomial. Selain itu survey mengatakan bahwa 1.4 juta

Universitas Sumatera Utara

orang diseluruh dunia menderita infeksi akibat perawatan di rumah sakit (WHO,
2002).
Hasil survey point prevalensi dari 11 Rumah Sakit di DKI Jakarta yang
dilakukan oleh Perdalin Jaya dan Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti
Saroso Jakarta pada tahun 2003 didapatkan angka infeksi nosokomial untuk
Infeksi Luka Operasi (ILO) 18.9%, Infeksi Saluran Kemih (ISK) 15.1%, Infeksi
Aliran Darah Primer (IADP) 26.4%, Pneumonia 24.5%, Infeksi Saluran Nafas lain
15.1% serta infeksi lain 32.1%. Namun angka kejadian nasional infeksi
nosokomial belum diketahui secara pasti (Depkes R.I, 2008). Sedangkan pada
tahun 2000 Departemen Kesehatan Inggris melaporkan 10% dari seluruh rumah
sakit di Inggris terjangkit infeksi nosokomial. Angka rata-rata infeksi nosokomial
terjadi 10% di rumah sakit umum, ICU 15-20% , PICU 20-30% (Chen & Chiang,
2007).

2.6.4 Jenis-Jenis Infeksi Nosokomial
Infeksi

nosokomial

yang terjadi

pada

pasien berpedoman

dengan

menggunakan kriteria yang dikeluarkan oleh CDC Atlanta (Boyce dan Pittet,
2003 dalam Astuti, 2004), meliputi:
a. Infeksi Luka Operasi (ILO)
Infeksi luka operasi terdiri dari 2 jenis infeksi yaitu infeksi insisi superfisial,
infeksi yang terjadi pada daerah insisi dalam waktu 30 hari pasca bedah dan hanya
meliputi kulit, sub kutan atau jaringan lain di atas fascia, dan infeksi insisi

Universitas Sumatera Utara

profunda, infeksi yang terjadi pada daerah insisi dalam waktu 30 hari atau sampai
dengan satu tahun pasca bedah, meliputi jaringan lunak yang dalam dari insisi.
b. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Adalah infeksi saluran kemih yang didapat sewaktu pasien dirawat atau
sesudah pasien dirawat. Saat masuk rumah sakit pasien belum ada atau tidak
dalam masa inkubasi.
c. Infeksi Saluran Pernafasan/ Pneumonia
Infeksi saluran pernafasan/ pneumonia adalah infeksi saluran nafas bagian
bawah yang didapat penderita selama penderita dirawat di rumah sakit. Infeksi ini
tidak ada sebelumnya atau tidak dalam masa inkubasi pada saat penderita masuk
rumah sakit. Angka kejadian nosokomial pneumonia menduduki urutan pertama
infeksi nosokomial yang menyebabkan kematian di Intensive Care Unit (ICU) dan
penyebabnya adalah penggunaan ventilator yang lama. Sedangkan untuk seluruh
rumah sakit, infeksi saluran napas/pneumonia menduduki urutan kedua/ketiga dari
semua jenis infeksi nosokomial. Tindakan medis yang dapat menyebabkan
terjadinya nosokomial pneumonia antara lain pemberian enteral feeding, prosedur
suction, penggunaan ventilator pada saat intubasi yang memungkinkan terdorong
flora kuman di orofaring ke trakea, dan trauma pada saat tindakan suction.
d. Infeksi luka infus
Adalah infeksi yang terjadi sewaktu atau selama dilakukan tindakan
pemasangan infus saat pasien dirawat di rumah sakit.

Universitas Sumatera Utara

2.6.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial
Secara umum faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi
nosokomial pada diri pasien terdiri dari 2 (dua) faktor, yaitu faktor endogen dan
faktor eksogen. Faktor endogen meliputi usia, jenis kelamin, penyakit penyerta,
daya tahan tubuh, kondisi-kondisi lokal. Faktor eksogen meliputi lama penderita
dirawat, kelompok yang merawat, alat medis, serta lingkungan (Parhusip, 2005).
WHO (2004) faktor yang berhubungan dengan kejadian infeksi nosokomial
adalah tindakan invasif yang dapat menembus barier, contohnya pemasangan
infus, kateterisasi, intubasi, ruangan yang terlalu penuh dengan pasien, kurangnya
staf perawat, penyalahgunaan antibiotik, prosedur sterilisasi yang tidak sesuai
prosedur, dan ketidakpatuhan petugas kesehatan terhadap prosedur pencegahan
infeksi, khususnya mencuci tangan.
Secara umum, faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian infeksi
nosokomial adalah sebagai berikut :
1.

Usia
Yelda (2003) dalam penelitiannya tentang faktor risiko yang berpengaruh

terhadap kejadian infeksi nosokomial di beberapa rumah sakit di DKI Jakarta
menemukan tidak adanya hubungan yang bermakna antara usia terhadap kejadian
infeksi nosokomial.
2. Jenis kelamin
Pada neonatus, bayi dengan berat badan rendah dan berjenis kelamin lakilaki memiliki risiko untuk mendapatkan infeksi nosokomial sebanyak 1,7 kali

Universitas Sumatera Utara

dibandingkan dengan bayi dengan berat badan rendah yang berjenis kelamin
perempuan (Nguyen, 2009).
3.

Lama hari rawat
Menurut Yelda (2003) lama hari rawat inap merupakan faktor yang cukup

dominan yang dapat mempengaruhi angka kejadian infeksi nosokomial di RSUP
Haji Adam Malik Medan.
4. Kelas ruang rawat
Kelas ruang rawat merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan
kejadian infeksi. Hal ini terjadi kemungkinan disebabkan oleh latar belakang dan
kondisi kemampuan ekonomi pasien. Lingkungan rumah sakit yang buruk, seperti
ventilasi yang tidak adequat, kerapatan antara satu pasien ke pasien lainnya yang
tidak sesuai standar, cahaya yang kurang bisa menjadi sumber infeksi nosokomial
(Ahmad, 2002).
5. Komplikasi dan penyakit penyerta
Pasien dengan komplikasi penyakit penyerta sangat rentan mendapatkan
infeksi nosokomial, hal ini dihubungkan dengan penurunan daya tahan tubuh
(Parhusip, 2005).
6. Penggunaan alat invasif
Semakin lama pemakaian ventilator mekanik, kateter urine, terapi intravena
dan infus akan meningkatkan risiko untuk terkena infeksi nosokomial di ruang
PICU dan NICU antara lain adalah dengan pemasangan kateter arteri umbilikal,
pemberian nutrisi parenteral dan penggunaan ventilasi mekanik (Mireya, 2007).

Universitas Sumatera Utara

7. Pemakaian antibiotik
Penggunaan antibiotik baik jenis maupun jumlah yang irasional tanpa
menunggu hasil kultur dapat menyebabkan timbulnya infeksi nosokomial.
Penelitian Sax (2002, dalam Yelda, 2003) menemukan bahwa terdapat hubungan
yang bermakna antara infeksi nosokomial dan pemaparan antibiotika. Ada
hubungan bermakna antara kejadian infeksi nosokomial dengan pemaparan
terhadap antibiotik beresiko mendapatkan infeksi 3,45 kali (Yelda, 2003). Adanya
organisme patogen yang resisten terhadap antibiotik tertentu akan meningkatkan
risiko terjadinya infeksi nosokomial.
8. Mikroorganisme
Dari sisi organisme hal yang harus diperhatikan adalah virulensi dari
organism tersebut karena tidak semua organisme memberikan akibat yang sama
dan juga kolonisasi, dosis dan infeksi sekunder pada terapi antibiotik dan
rendahnya pertahanan tubuh. Kemampuan mikroorganisme untuk dapat
menyebabkan infeksi nosokomial tergantung pada virulensi, ketahanan host dan
lokasi bagian tubuh yang diakibatkannya (Potter & Perry, 1993).

2.6.6 Pengendalian Infeksi Nosokomial
Menyadari akan bahaya dan masalah yang dihadapi akibat terjadinya
infeksi nosokomial, maka diperlukan suatu program pengendalian yang bertujuan
untuk menurunkan angka kejadian infeksi nosokomial, mencegah terjadinya
infeksi nosokomial dan untuk menjaga keselamatan pasien maupun karyawan
rumah sakit. Dukungan jajaran manajemen sampai staf merupakan hal yang

Universitas Sumatera Utara

penting mengingat infeksi nosokomial ini merupakan masalah utama yang harus
dicegah karena angka nosokomial yang tinggi menunjukkan indikator mutu rumah
sakit yang buruk.
Selain itu program pengendalian infeksi merupakan program yang
kontinue yang sangat bergantung pada kesadaran dan minat yang terus menerus
dari seluruh karyawan rumah sakit.
Menurut Depkes (2009) kewaspadaan standar untuk pelayanan bagi pasien,
kategori I artinya sangat direkomendasikan untuk seluruh rumah sakit. Kategori I
meliputi :
1. Kebersihan tangan/ hand hygiene
2. Penggunaan alat pelindung diri, meliputi penggunaan sarung tangan,
masker, goggle (kaca mata pelindung), face shield (pelindung wajah),
gaun
3. Kebersihan peralatan perawatan pasien
4. Pengendalian lingkungan
5. Pemrosesan peralatan pasien dan penatalaksanaan linen
6. Kesehatan karyawan/ perlindungan petugas kesehatan
7. Penempatan pasien
8. Hygiene respirasi/ etika batuk
9. Praktek menyuntik yang aman
10. Praktek untuk lumbal punksi

Universitas Sumatera Utara

2.6.7 Peran Perawat Dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial
Menurut Depkes (1998), upaya pencegahan terhadap terjadinya infeksi
nosokomial di rumah sakit dimaksudkan untuk menghindarkan kejadian infeksi
selama pasien dirawat di rumah sakit. Dibutuhkan peran petugas kesehatan
khususnya perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial dengan menerapkan
kewaspadaan umum yang dilakukan melalui tindakan perawat dalam mencuci
tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan, penggunaan alat pelindung diri,
dekontaminasi alatalat, dan pengelolaan limbah padat di ruang rawat inap.
Untuk mengetahui

betapa

pentingnya

upaya

pencegahan infeksi

nosokomial, berikut ini dijelaskan peran perawat dalam melaksanakan tindakan
pencegahan infeksi nosokomial yaitu antara lain mencuci tangan, proses
dekontaminasi, dan pengelolaan limbah padat (Depkes, 2009).
2.6.7.1 Cuci tangan
Dari sudut pandang pencegahan dan pengendalian infeksi, cuci tangan adalah
cara sederhana pencegahan infeksi yang penting dilakukan pada saat sebelum dan
sesudah melakukan kegiatan. Cuci tangan merupakan proses secara mekanik
melepaskan kotoran dan debris dari kulit tangan dengan menggunakan sabun dan
air (Depkes, 2009). Berikut ini dijelaskan tujuan, indikasi, dan prosedur standar
cuci tangan.
1. Tujuan :
a.

Menghilangkan seluruh kotoran dan debris serta menghambat atau
membunuh mikroorganisme pada kulit

b.

Menekan pertumbuhan bakteri pada tangan

Universitas Sumatera Utara

c.

Menurunkan jumlah kuman yang tumbuh dibawah sarung tangan

2. Indikasi :
a. Segera : setelah tiba di tempat kerja
b. Sebelum : kontak langsung dengan pasien, menggunakan sarung tangan,
menyiapkan obat-obatan, menyiapkan makanan, memberi makan pasien,
dan meninggalkan rumah sakit
c. Setelah : kontak dengan pasien, melepas sarung tangan, melepas alat
pelindung diri, kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi,
eksudat, luka, kontak dengan peralatan yang diketahui atau mungkin
terkontaminasi dengan darah, cairan tubuh, menggunakan toilet
3. Prosedur standar :
a. Basahi tangan setinggi pertengahan lengan bawah dengan air mengalir
b. Tuangkan sabun cair 3-5 cc di bagian telapak tangan yang basah
c. Ratakan dengan kedua telapak tangan
d. Gosok punggung tangan dan sela-sela jari tangan kiri dan tangan kanan
dan sebaliknya
e. Gosok kedua telapak dan sela-sela jari
f. Jari-jari sisi dalam dari kedua tangan saling mengunci
g. Gosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman tangan kanan dan lakukan
sebaliknya
h. Gosok dengan memutar ujung jari-jari di telapak tangan kiri dan
sebaliknya.
i. Bilas kedua tangan dengan air mengalir

Universitas Sumatera Utara

j. Keringkan dengan handuk sekali pakai atau tissue towel sampai benarbenar kering
k. Gunakan handuk sekali pakai atau tissue towel untuk menutup kran
l. Pada cuci tangan aseptik dilarang menyentuh permukaan tidak steril,
waktu yang dibutuhkan untuk mencuci tangan antara 5-10 menit
Untuk menghindari tumbuhnya mikroorganisme berkembang biak pada keadaan
lembab, maka :
a. Dispenser sabun harus dibersihkan terlebih dahulu sebelum pengisian
ulang
b. Jangan menambahkan sabun cair kedalam tempatnya bila masih ada
isinya, penambahan ini dapat menyebabkan kontaminasi bakteri pada
sabun yang dimasukkan
c. Jangan gunakan baskom isi air untuk mencuci tangan walaupun
didalamnya telah diberikan antiseptik, karena mikroorganisme dapat
bertahan dan berkembang biak dalam larutan ini.
2.6.7.2 Penggunaan Alat Pelindung Diri
Peran perawat dalam upaya pencegahan infeksi nosokomial dilakukan melalui
penggunaan alat pelindung diri saat melakukan tindakan atau kontak dengan
pasien. Alat pelindung diri ini meliputi sarung tangan, masker, alat pelindung
mata (pelindung wajah dan kaca mata), topi, gaun, apron dan pelindung lainnya.
2.6.7.3 Dekontaminasi
Adalah menghilangkan mikroorganisme patogen dan kotoran sehingga aman
untuk pengelolaan selanjutnya (Depkes, 2009). Agar seorang perawat dapat

Universitas Sumatera Utara

melakukan dekontaminasi dengan benar, berikut ini dijelaskan tujuan, indikasi,
dan prosedur standar dekontaminasi alat kesehatan.
1. Tujuan :
a. Mencegah penyebaran infeksi melalui alat kesehatan
b. Mematikan mikroorganisme misalnya HIV, HBV, dan kotoran lain yang
tidak tampak
c. Melindungi petugas dan pasien dari kuman patogen
2. Indikasinya adalah sebagai proses awal :
a. Alat kesehatan bekas pakai sebelum dicuci dan diproses lebih lanjut
b. Penanganan tumpahan darah atau cairan tubuh lain
c. Dekontaminasi meja atau permukaan lain yang mungkin tercemar darah
atau cairan tubuh lain
3. Prosedur standar :
a. Cuci tangan
b. Kenakan sarung tangan rumah tangga, masker, kaca mata/ pelindung
wajah
c. Rendam alat kesehatan segera setelah dipakai dalam larutan desinfektan
(klorin 0.5%) selama 10 menit. Seluruh alat harus terendam dalam larutan
klorin
d. Segera bilas dengan air sampai bersih
e. Lanjutkan dengan pembersihan
f. Buka sarung tangan, masukkan dalam wadah sementara menunggu
dekontaminasi sarung tangan dan proses selanjutnya

Universitas Sumatera Utara

g. Cuci tangan
2.6.7.4 Pengelolaan limbah padat
Pengelolaan limbah padat di ruang perawatan merupakan bagian dari pencegahan
infeksi nosokomial. Berikut ini dijelaskan tentang jenis limbah, cara pengelolaan
dan penanganan limbah.
1. Jenis limbah
Limbah yang ada di rumah sakit dapat dibagi dua yaitu limbah padat dan
limbah cair. Limbah padat yang berasal dari rumah sakit secara umum dibedakan
atas :
a. Limbah medis, yaitu limbah yang kontak dengan darah atau cairan tubuh
pasien dan dikategorikan sebagai limbah risiko tinggi. Limbah medis
terdiri dari limbah klinis dan limbah laboratorium. Contoh limbah klinis
antara lain kasa, pembalut wanita, potongan tubuh, jarum bekas pakai dan
alat infuse bekas pakai, dan kantong drain bekas pakai
b. Limbah non medis atau limbah rumah tangga yaitu limbah yang tidak
kontak dengan darah atau cairan tubuh pasien, sehingga disebut sebagai
limbah risiko rendah
2. Cara pengelolaan limbah
Untuk mengetahui bagaimana cara mengelola limbah padat yang ada di
ruangan rawat inap, berikut ini akan dijelaskan mengenai cara penanganan limbah
klinis, prosedur pengelolaan limbah, dan indikator penanganan limbah tajam.

Universitas Sumatera Utara

3. Cara penanganan limbah
a. Sebelum dibawa ke tempat pembuangan akhir semua jenis limbah klinis
ditampung dalam kantong kedap air, biasanya kantong berwarna kuning
b. Ikat rapat kantong yang sudah terisi 2/3 penuh
4. Prosedur pengelolaan limbah
a. Pemilahan limbah sesuai jenis risiko limbah
b. Semua limbah risiko tinggi harus dilabelkan dengan jelas
c. Menggunakan kode kantong plastic berbeda warna untuk setiap jenis
limbah, misalnya kuning untuk limbah medis dan hitam untuk limbah non
medis
d. Penyimpanan limbah
e. Apabila 2/3 kantong telah terisi maka kantong harus diikat kuat dan diberi
label
f. Kantong dikelompokkan pada tempat pengumpulan kantong sewarna
g. Semua tempat sampah yang digunakan untuk meletakkan limbah harus
dikosongkan dan dicuci setiap hari
5. Pemisahan limbah
Untuk memudahkan pengelolaan limbah padat maka limbah dipilah-pilah
untuk dipisahkan (Djojosugito, 2001). Untuk memisahkan limbah padat ini
digunakan kantong berwarna, yaitu kantong kuning untuk limbah medis dan
kantong hitam untuk limbah non medis.

Universitas Sumatera Utara

6. Indikator penanganan limbah tajam yang aman dan benar, adalah sebagai
berikut :
a. Selalu dibuang ke tempat penampungan sementara
b. Tidak menyerahkan limbah tajam secara langsung dari orang ke orang
c. Lindungi jari tangan terhadap bahaya tusukan, contoh dengan
menggunakan penjepit
d. Tidak menyarungkan kembali jarum suntik bekas pakai
e. Menempatkan segera jarum suntik setelah dipakai pada wadah tahan
tusukan sebelum siap dibawa ke tempat pembuangan akhir
f. Letakkan wadah penampung jarum bekas dekat dengan lokasi
tindakan misalnya di ruang tindakan
g. Tidak meletakkan limbah tajam kedalam wadah lain selain yang tahan
tusukan
h. Menjauhkan tempat penampungan limbah tajam jauh dari jangkauan
anak-anak
i. Agar jangan sampai tumpah, kirim wadah penampung limbah sebelum
penuh (2/3 penuh) untuk didekontaminasi atau untuk diinserasi

2.6.8 Pencegahan Infeksi Nosokomial
Menurut Djojosugito (2001) Pencegahan infeksi nosokomial dilakukan
dengan penerapan prosedur kewaspadaan standar (universal precaution) terhadap
semua petugas rumah sakit, meliputi :

Universitas Sumatera Utara

1. Cuci tangan
Cuci tangan merupakan standar utama bagi pencegahan infeksi
nosokomial.
Kegiatan cuci tangan ini dilakukan pada saat :
a. Sebelum dan sesudah kontak dengan pasien, dalam hal ini saat melakukan
tindakan medik dan tindakan keperawatan
b. Setelah menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi dan benda-benda
yang terkontaminasi (baik menggunakan sarung tangan maupun tidak)
c. Gunakan sabun biasa untuk cuci tangan secara rutin selama sedikitnya 15
detik dengan menggunakan air mengalir
d. Gunakan antiseptik dalam keadaan tertentu, misalnya pada saat kejadian
luar biasa.
2. Penggunaan sarung tangan
Sarung tangan adalah alat yang melindungi tangan dari bahan yang dapat
menularkan penyakit dan melindungi pasien dari mikroorganisme yang berada
ditangan petugas kesehatan. Gunakan sarung tangan pada prosedur yang kontak
dengan darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi dan benda-benda

yang

terkontaminasi. Setelah sarung tangan dilepas, segera lakukan cuci tangan.
3. Penggunaan masker, pelindung mata dan pelindung wajah
Masker adalah alat penutup hidung mulut dan bagian bawah dagu untuk
menahan cipratan yang keluar sewaktu petugas kesehatan atau petugas bedah
berbicara, batuk, atau bersin serta untuk mencegah percikan darah atau cairan
tubuh lainnya memasuki hidung atau mulut petugas kesehatan. Masker harus

Universitas Sumatera Utara

dikenakan bila diperkirakan ada percikan atau semprotan dari darah atau cairan
tubuh ke

wajah. Selain itu, masker menghindari perawat

menghirup

mikoorganisme dari saluran pernapasan klien dan mencegah penularan patogen
dari saluran pernapasan perawat ke klien. Masker bedah melindungi pemakai dari
menghirup partikel-besar aerosol yang melintas dalam jarak yang pendek.
Pelindung mata dan pelindung wajah digunakan untuk melindungi petugas
dari percikan darah atau cairan tubuh lain. Pelindung mata umumnya terbuat dari
plastik bening yang di bagian sisi kanan kirinya terdapat pelindung untuk
memastikan tidak ada cairan yang dapat terpercik ke mata petugas.
4. Penggunaan gaun atau apron
Gaun pelindung adalah gaun yang digunakan untuk menutupi atau
mengganti pakaian biasa atau seragam lain, pada saat merawat pasien yang
diketahui atau dicurigai menderita penyakit menular. Pemakaian gaun pelindung
berfungsi melindungi kulit dan mencegah cipratan pada baju selama melakukan
tindakan atau aktivitas perawatan pasien yang berpotensi mencipratkan darah,
cairan tubuh, sekresi atau ekskresi. Petugas kesehatan harus menggunakan gaun
pada saat kontak dengan pasien yang dicurigai menderita penyakit menular.
Lepaskan gaun dengan hati-hati untuk meminimalkan kontaminasi terhadap
tangan dan seragam dan kemudian menanggalkannya. Setelah gaundilepas
pastikan bahwa pakaian dan kulit petugas kesehatan tidak kontak dengan bagian
yang potensial tercemar. Segera lakukan cuci tangan untuk mencegah perpindahan
organisme.

Universitas Sumatera Utara

5. Pengelolaan peralatan pasien
Peralatan pasien, linen yang terkontaminasi dengan darah, cairan tubuh,
sekresi dan ekskresi harus diperlakukan dengan hati-hati untuk mencegah
perpindahan mikroorganisme dari pasien ke petugas dan lingkungan. Sebelum
dibawa ke tempat pencucian linen dibersihkan terlebih dahulu dari sampah padat
yang menempel, di klasifikasikan sesuai dengan tingkat infeksi, dimasukkan ke
dalam kantong tertutup dan diantar ke tempat pencucian linen.
6. Pengelolaan benda tajam yang terkontaminasi
Semua benda tajam yang terkontaminasi dengan darah, harus diperlakukan
dengan hati-hati. Hal ini untuk mencegah terlukanya diri sendiri oleh tusukan
jarum atau sejenisnya. Jangan biarkan jarum tanpa tutup, dilepaskan dari semprit
atau jangan bengkokan jarum, melainkan harus dibuang ke dalam sharp
containers yang disediakan.
7. Teknik steril
Semua prosedur steril harus menggunakan teknik aseptik tanpa sentuh
(non touch).
8. Pengelolaan sampah medik
Pembuangan sampah dibedakan menjadi sampah biasa (non infeksi) yang
dibuang di kantong hitam dan sampah infeksius ke dalam kantong kuning.

Universitas Sumatera Utara

2.7 Landasan Teori
Teori motivasi dua faktor dikembangkan oleh Frederick Herzberg dimana
dia meyakini bahwa karyawan dapat termotivasi oleh pekerjaannya sendiri dan
didalamnya terdapat kepentingan yang disesuaikan dengan tujuan organisasi. Dari
penelitiannya, Herzberg menyimpulkan bahwa ketidakpuasan dalam bekerja
muncul dari dua faktor yang terpisah.
Faktor yang paling penting adalah kebijakan perusahaan yang dinilai oleh
banyak orang sebagai penyebab utama ketidakefisienan dan ketidakefektifan.
Penilaian positif terhadap berbagai faktor ketidakpuasan ini tidak menyebabkan
kepuasan kerja tetapi hanya menghilangkan ketidakpuasan. Secara lengkap,
beberapa faktor yang membuat ketidakpuasan adalah kebijakan perusahaan dan
administrasi, supervisi, hubungan dengan supervisor, kondisi kerja, gaji,
hubungan dengan rekan sejawat, kehidupan pribadi, hubungan dengan bawahan,
status, dan keamanan.
Faktor penyebab kepuasan ( faktor yang termotivasi ) termasuk prestasi,
pengakuan, tanggung jawab, dan kemajuan, semuanya berkaitan dengan isi
pekerjaan dan imbalan prestasi kerja. Berbagai faktor lain yang membuat
kepuasan yang lebih besar, yaitu : berprestasi, pengakuan, bekerja sendiri,
tanggung jawab, kemajuan dalam pekerjaan dan pertumbuhan.

Universitas Sumatera Utara

2.5 Kerangka Konsep
Kerangka konseptual adalah kerangka hubungan antarvariabel yang ingin
diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo,2003).
Kerangka konsep terdiri dari variabel independent dan variabel dependent.
Adapun kerangka konsep penelitian tentang hubungan motivasi dengan
upaya pencegahan infeksi nosokomial di RSUP Haji Adam Malik Tahun 2016.

Variabel Independent
Motivasi Perawat
1. Motivasi Intrinsik
a. Tanggung jawab
b. Prestasi
c. Hasil kerja
d. Kemungkinan
pengembangan
2. Motivasi Ekstrinsik
a. Gaji
b. Kondisi kerja
c. Hubungan kerja
d. Prosedur kerja

Variabel Dependent
Upaya pencegahan infeksi
Nosokomial :
1. Cuci tangan sebelum
melakukan tindakan
2. Penggunaan
alat
pelindung diri
3. Tekhnik steril
4. Dekontaminasi alat
5. Pengelolaan
sampah
medik
6. Cuci tangan setelah
melakukan tindakan

.

Universitas Sumatera Utara