ARAHAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN BIDANG CIPTA KARYA

  

ARAHAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN

BIDANG CIPTA KARYA

  Dalam rangka mewujudkan kawasan permukiman yang layak huni dan berkelanjutan, konsep perencanaan pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya disusun dengan berlandaskan pada berbagai peraturan perundangan dan amanat perencanaan pembangunan. Untuk mewujudkan keterpaduan pembangunan permukiman, Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota perlu memahami arahan kebijakan tersebut, sebagai dasar perencanaan, pemrograman, dan pembiayaan pembangunan Bidang Cipta Karya.

Gambar 2.1.1 memaparkan konsep perencanaan pembangunan infrastruktur Bidang

  Cipta Karya, yang membagi amanat pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya dalam 4 (empat) bagian, yaitu amanat penataan ruang/spasial, amanat pembangunan nasional dan direktif presiden, amanat pembangunan Bidang Pekerjaan Umum, serta amanat internasional.

  Sumber: Direktorat Bina Program, 2014

Gambar 2.1.1 Konsep Perencanaan Pembangunan Infrastruktur Bidang Cipta Karya

  Dalam pelaksanaannya, pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya dihadapkan pada beberapa isu strategis, antara lain bencana alam, perubahan iklim, kemiskinan, reformasi birokrasi, kepadatan penduduk perkotaan, pengarusutamaan gender, serta green economy. Disamping isu umum, terdapat juga permasalahan dan potensi pada masing- masing daerah, sehingga dukungan seluruh stakeholders pada penyusunan RPI2-JM Bidang Cipta Karya sangat diperlukan.

  Infrastruktur permukiman memiliki fungsi strategis dalam pembangunan nasional karena turut berperan serta dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi angka kemiskinan, maupun menjaga kelestarian lingkungan. Oleh sebab itu, Ditjen Cipta Karya berperan penting dalam implementasi amanat kebijakan pembangunan nasional.

2.2.1 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025

  RPJPN 2005-2025 yang ditetapkan melalui UU No. 17 Tahun 2007, merupakan dokumen perencanaan pembangunan jangka panjang sebagai arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang akan dilakukan secara bertahap dalam jangka waktu 2005-2025. Dalam dokumen tersebut, ditetapkan bahwa Visi Indonesia pada tahun 2025 adalah “Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur”. Dalam penjabarannya RPJPN mengamanatkan beberapa hal sebagai berikut dalam pembangunan bidang Cipta Karya, yaitu: a. Dalam mewujudkan Indonesia yang berdaya saing maka pembangunan dan penyediaan air minum dan sanitasi diarahkan untuk mewujudkan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat serta kebutuhan sektor-sektor terkait lainnya, seperti industri, perdagangan, transportasi, pariwisata, dan jasa sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan melalui pendekatan tanggap kebutuhan (demand responsive approach) dan pendekatan terpadu dengan sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup, sumber daya air, serta kesehatan.

  b. Dalam mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan maka Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang berupa air minum dan sanitasi diarahkan pada (1) peningkatan kualitas pengelolaan aset (asset management) dalam penyediaan air minum dan sanitasi, (2) pemenuhan kebutuhan minimal air minum dan sanitasi dasar bagi masyarakat, (3) penyelenggaraan pelayanan air minum dan sanitasi yang kredibel dan profesional, dan (4) penyediaan sumber-sumber pembiayaan murah dalam pelayanan air minum dan sanitasi bagi masyarakat miskin.

  Salah satu sasaran dalam mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan c. adalah terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukungnya bagi seluruh masyarakat untuk mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh. Peran pemerintah akan lebih difokuskan pada perumusan kebijakan pembangunan sarana dan prasarana, sementara peran swasta dalam penyediaan sarana dan prasarana akan makin ditingkatkan terutama untuk proyek-proyek yang bersifat komersial.

  d. Upaya perwujudan kota tanpa permukiman kumuh dilakukan pada setiap tahapan RPJMN, yaitu:  RPJMN ke 3 (2015-2019): Pemenuhan kebutuhan hunian bagi seluruh masyarakat terus meningkat karena didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang dan berkelanjutan, efisien, dan akuntabel. Kondisi itu semakin mendorong terwujudnya kota tanpa permukiman kumuh.

   RPJMN ke 4 (2020-2024): terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukung sehingga terwujud kota tanpa permukiman kumuh.

2.2.2 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015 – 2019

  RPJMN 2010-2014 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 menyebutkan bahwa infrastruktur merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial yang berkeadilan dengan mendorong partisipasi masyarakat Dalam rangka pemenuhan hak dasar untuk tempat tinggal dan lingkungan yang layak sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28H, pemerintah memfasilitasi penyediaan perumahan bagi masyarakat berpendapatan rendah serta memberikan dukungan penyediaan prasarana dan sarana dasar permukiman, seperti air minum, air limbah, persampahan dan drainase.

  Pembangunan infrastruktur dalam RPJMN 2015-2019 dihadapkan dengan berbagai masalah dan tantangan yang telah disebutkan sebelumnya. Adapun secara makro, sasaran umum yang hendak dicapai oleh sektor Infrastruktur pada RPJMN Tahun 2015-2019 adalah sebagai berikut:

  1. Terpenuhinya jaringan Infrastruktur yang sesuai dengan perencanaan tata ruang nasional;

  2. Terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat untuk bertempat tinggal yang layak dengan didukung prasarana, sarana dan utilitas yang memadai dalam mendorong peningkatan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional;

  3. Terwujudnya pertumbuhan bidang Infrastruktur minimal dua kali pertumbuhan ekonomi nasional dalam rangka memberikan sumbangan terhadap kesinambungan pertumbuhan ekonomi nasional (sustainable growth) dan perluasan lapangan kerja

  4. Terjaminnya kepastian dan stabilitas penyediaan jasa infrastruktur ke seluruh pelosok tanah air untuk meningkatkan kelancaran distribusi barang, jasa dan mobilitas penumpang dalam rangka memberikan kontribusi terhadap pengendalian laju inflasi

  5. Terwujudnya penghematan pengeluaran devisa dan peningkatan perolehan devisa dalam penyelenggaraan jasa infrastruktur dalam rangka memberikan kontribusi terhadap penyehatan neraca pembayaran.

  6. Terwujudnya peningkatan dan pemerataan pelayanan jasa Infrastruktur ke seluruh pelosok tanah air dalam rangka memberikan kontribusi terhadap pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia

  7. Tercapainya peran dan investasi swasta yang optimal dalam pembangunan infrastruktur guna meningkatkan efisiensi anggaran serta kuantitas dan kualitas layanan infrastruktur.

  Untuk mencapai sasaran tersebut maka kebijakan pembangunan diarahkan untuk meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap layanan air minum dan sanitasi yang memadai, melalui: Arah kebijakan dalam mendorong percepatan pembangunan perumahan rakyat selama lima tahun kedepan akan dicapai dengan upaya peningkatan akses masyarakat berpendapatan rendah terhadap hunian yang layak, aman, dan terjangkau serta didukung oleh penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas yang memadai melalui strategi: a. Peningkatan peran fasilitasi pemerintah dan pemerintah daerah dalam menyediakan hunian baru (sewa/milik) dan peningkatan kualitas hunian. Penyediaan hunian baru

  (sewa/milik) dilakukan melalui pengembangan sistem pembiayaan perumahan nasional yang efektif dan efisien termasuk pengembangan subsidi uang muka, kredit mikro perumahan swadaya, bantuan stimulant, memperluas program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan, sertaintegrasi sektor perumahan dalam sistem jaminan sosial nasional. Sementara peningkatan kualitas hunian dilakukan melalui penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas, pembangunan kampung deret, serta bantuan stimulan dan/atau kredit mikro perbaikan rumah termasuk penanganan permukiman kumuh yang berbasis komunitas.

  b. Peningkatan tata kelola dan keterpaduan antara para pemangku kepentingan pembangunan perumahan melalui: i) penguatan kapasitas pemerintah dan pemerintah daerah dalam memberdayakan pasar perumahan dengan mengembangkan regulasi yang efektif dan tidak mendistorsi pasar; ii) penguatan peran lembaga keuangan (bank/non- bank); serta iii) revitalisasi Perum Perumnas menjadi badan pelaksana pembangunan perumahan sekaligus pengelola Bank Tanah untuk perumahan.

  c. Peningkatan peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terkait dengan penyediaan perumahan untuk MBR melalui: i) peningkatan ekuitas Bank Tabungan Negara (BTN), Perum Perumnas, dan Sarana Multigriya Finansial (SMF) melalui Penyertaan Modal Negara (PMN); ii) mendorong BTN menjadi bank khusus perumahan, serta iii) melakukan perpanjangan Peraturan Presiden SMF terkait penyaluran pinjaman kepada penyalur Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan sumber pendanaan dari pasar modal dengan dukungan pemerintah.

  d. Peningkatan efektifitas dan efisiensi manajemen lahan dan hunian di perkotaan melalui fasilitasi penyediaan rumah susun sewa dan rumah susun milik serta pengembangan instrumen pengelolaan lahan untuk perumahan seperti konsolidasi lahan (land consolidation), bank tanah (land banking), serta pemanfaatan lahan milik BUMN, tanah terlantar, dan tanah wakaf.

  e. Pemanfaatan teknologi dan bahan bangunan yang aman dan murah serta pengembangan implementasi konsep rumah tumbuh (incremental housing).

  f. Penyediaan sarana air minum dan sanitasi layak yang terintegrasi dengan penyediaan dan pengembangan perumahan. Sarana air minum dan sanitasi menjadi infrastruktur bingkai bagi terciptanya hunian yang layak. Arah kebijakan dalam mendorong pembangunan infrastruktur dasar air minum dan sanitasi dalam pencapaian universal access selama lima tahun kedepan yaitu:

  1. Menjamin ketahanan sumber daya air domestik melalui optimalisasi bauran sumber daya air domestik untuk memenuhi kebutuhan air minum dan sanitasi melalui strategi: a. Jaga Air, yakni strategi yang ditempuh melalui (1) pengarusutamaan pembangunan air minum yang memenuhi prinsip 4K (kualitas, kuantitas, kontinuitas dan keterjangkauan), (2) pengelolaan sanitasi melalui peningkatan pengelolaan air limbah di perdesaan dengan sistem on-site dan di perkotaan dengan sistem on-site melalui

  IPLT dan sistem off-site baik skala kawasan maupun skala kota, peningkatan kualitas TPA menjadi TPA sanitary landfill dengan prioritas skema TPA regional, pengelolaan sampah melalui penerapan prinsip 3R, serta (3) peningkatan kesadaran masyarakat akan hygiene dan sanitasi,

  b. Simpan Air, yakni strategi untuk menjaga ketersediaan dan kuantitas air melalui upaya konservasi sumber air baku air minum yakni perluasan daerah resapan air hujan, pemanfaatan air hujan (rain water harvesting) sebagai sumber air baku air minum maupun secondary uses pada skala rumah tangga (biopori dan penampung air hujan) dan skala kawasan (kolam retensi), serta pengelolaan drainase berwawasan lingkungan.

  c. Hemat Air, yakni strategi untuk mengoptimalkan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) yang telah ada melalui pengurangan kebocoran air hingga 20 persen, pemanfaatan idle capacity; dan pengelolaan kebutuhan air di tingkat penyelenggara dan skala kota.

  d. Daur Ulang Air, yakni strategi untuk memanfaatkan air yang telah terpakai melalui pemakaiaan air tingkat kedua (secondary water uses) daur ulang air yang telah dipergunakan (water reclaiming).

  2. Penyediaan infrastruktur produktif melalui penerapan manajemen aset baik di perencanaan, penganggaran, dan investasi termasuk untuk pemeliharaan dan pembaharuan infrastruktur yang sudah terbangun melalui strategi :

  a. Penerapan tarif atau iuran bagi seluruh sarana dan prasarana air minum dan sanitasi terbangun yang menuju prinsip tarif pemulihan biaya penuh (full cost recovery)/memenuhi kebutuhan untuk Biaya Pokok Produksi (BPP). Pemberian subsidi dari pemerintah bagi penyelenggara air minum dan sanitasi juga dilakukan sebagai langkah jika terjadi kekurangan pendapatan dalam rangka pemenuhan full cost recovery.

  b. Pengaturan kontrak berbasis kinerja baik perancangan, pembangunan, pengoperasian, dan pemeliharaan aset infrastruktur.

  c. Rehabilitasi dan optimalisasi sarana dan prasarana air minum dan sanitasi yang ada saat ini dan peningkatan pemenuhan pelayanan sarana sanitasi komunal.

  3. Penyelenggaraan sinergi air minum dan sanitasi yang dilakukan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan masyarakat melalui strategi: a. Peningkatan kualitas rencana dan implementasi Rencana Induk-Sistem Penyediaan Air

  Minum (RI-SPAM) dan Strategi Sanitasi Kota/Kabupaten (SSK) melalui pengarusutamaan dalam proses perencanaan dan penganggaran formal. Penyusunan RI-SPAM didasari optimalisasi bauran sumber daya air domestik kota/kabupaten dan telah mengintegrasikan pengelolaan sanitasi sebagai upaya pengamanan air minum; b. Upaya peningkatan promosi hygiene dan sanitasi yang terintegrasi dengan penyediaan sarana dan prasarana air minum dan sanitasi; c. Peningkatan peran, kapasitas, serta kualitas kinerja Pemerintah Daerah di sektor air minum dan sanitasi.

  d. Advokasi kepada para pemangku kepentingan di sektor air minum dan sanitasi, baik eksekutif maupun legislatif serta media.

  4. Peningkatan efektifitas dan efisiensi pendanaan infrastruktur air minum dan sanitasi melalui sinergi dan koordinasi antar pelaku program dan kegiatan mulai tahap perencanaan sampai implementasi baik secara vertikal maupun horizontal melalui strategi:

  a. Pelaksanaan sanitasi sekolah dan pesantren, sinergi pengembangan air minum dan sanitasi dengan kegiatankegiatan pelestarian lingkungan hidup dan upaya-upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta integrasi pembangunan perumahan dan penyediaan kawasan permukiman dengan pembangunan air minum dan sanitasi. b. Pelaksanaan pelayanan dasar berbasis regional dalam rangka mengatasi kendala ketersediaan sumber air baku air minum dan lahan serta dalam rangka mendukung konektivitas antar wilayah yang mendukung perkembangan dan pertumbuhan ekonomi. Sinergi pendanaan air minum dan sanitasi dilaksanakan melalui (i) pemanfaatan alokasi dana pendidikan untuk penyediaan sarana dan prasarana air minum dan sanitasi di sekolah; (ii) pemanfaatan alokasi dana kesehatan baik untuk upaya preventif penyakit dan promosi hygiene dan sanitasi serta pemanfaatan jaminan kesehatan masyarakat; serta (iii) sinergi penyediaan air minum dan sanitasi dengan Dana Alokasi Khusus (DAK), Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan (TP) dan sumber dana lain yang dapat dimanfaatkan untuk bidang kesehatan, lingkungan hidup, perumahan, dan pembangunan desa tertinggal.

2.2.3 Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia

  Dalam rangka transformasi ekonomi menuju negara maju dengan pertumbuhan ekonomi 7-9 persen per tahun, Pemerintah menyusun MP3EI yang ditetapkan melalui Perpres No. 32 Tahun 2011. Dalam dokumen tersebut pembangunan setiap koridor ekonomi dilakukan sesuai tema pembangunan masing-masing dengan prioritas pada kawasan perhatian investasi (KPI MP3EI). Ditjen Cipta Karya diharapkan dapat mendukung penyediaan infrastruktur permukiman pada KPI Prioritas untuk menunjang kegiatan ekonomi di kawasan tersebut. Kawasan Perhatian Investasi atau KPI dalam MP3EI adalah adalah satu atau lebih kegiatan ekonomi atau sentra produksi yang terikat atau terhubung dengan satu atau lebih faktor konektivitas dan SDM IPTEK. Pendekatan KPI dilakukan untuk mempermudah identifikasi, pemantauan, dan evaluasi atas kegiatan ekonomi atau sentra produksi yang terikat dengan faktor konektivitas dan SDM IPTEK yang sama.

  2.2.4 Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengentasan Kemiskinan Indonesia

  Sesuai dengan agenda RPJMN 2010-2014, pertumbuhan ekonomi perlu diimbangi dengan upaya pembangunan yang inklusif dan berkeadilan. Untuk itu, telah ditetapkan MP3KI dimana semua upaya penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk mempercepat laju penurunan angka kemiskinan dan memperluas jangkauan penurunan tingkat kemiskinan di semua daerah dan di semua kelompok masyarakat. Dalam mencapai misi penanggulangan kemiskinan pada tahun 2025, MP3KI bertumpu pada sinergi dari tiga strategi utama, yaitu: a. Mewujudkan sistem perlindungan sosial nasional yang menyeluruh, terintegrasi,dan mampu melindungi masyarakat dari kerentanan dan goncangan, b. Meningkatkan pelayanan dasar bagi penduduk miskin dan rentan sehingga dapat terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di masa mendatang,

  c. Mengembangkan penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood) masyarakat miskin dan rentan melalui berbagai kebijakan dan dukungan di tingkat lokal dan regional dengan memperhatikan aspek.

  Kementerian Pekerjaan Umum, khususnya Ditjen Cipta Karya, berperan penting dalam pelaksanaan MP3KI, terutama terkait dengan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat (PNPM- Perkotaan/P2KP, PPIP, Pamsimas, Sanimas dsb) serta Program Pro Rakyat.

  2.2.5 Kawasan Ekonomi Khusus

  UU No. 39 Tahun 2009 menjelaskan bahwa Kawasan Ekonomi Khusus adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional. Di samping zona ekonomi, KEK juga dilengkapi zona fasilitas pendukung dan perumahan bagi pekerja. Ditjen Cipta Karya dalam hal ini diharapkan dapat mendukung infrastruktur permukiman pada kawasan tersebut sehingga menunjang kegiatan ekonomi di KEK.

  2.2.6 Direktif Presiden Program Pembangunan Berkeadilan

  Dalam Inpres No. 3 Tahun 2010, Presiden RI mengarahkan seluruh Kementerian, Gubernur, Walikota/Bupati, untuk menjalankan program pembangunan berkeadilan yang meliputi Program pro rakyat, Keadilan untuk semua, dan Program Pencapaian MDGs. Ditjen Cipta Karya memiliki peranan penting dalam pelaksanaan Program Pro Rakyat terutama program air bersih untuk rakyat dan program peningkatak\n kehidupan masyarakat perkotaan. Sedangkan dalam pencapaian MDGs, Ditjen Cipta Karya berperan dalam peningkatan akses pelayanan air minum dan sanitasi yang layak serta pengurangan permukiman kumuh.

  Ditjen Cipta Karya dalam melakukan tugas dan fungsinya selalu dilandasi peraturan perundangan yang terkait dengan bidang Cipta Karya, antara lain UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, UU No. 7 tahun 2008 tentang Sumber Daya Air, dan UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Persampahan.

2.3.1 UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman

  UU Perumahan dan Kawasan Permukiman membagi tugas dan kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan permukiman mempunyai tugas:

  a. Menyusun dan melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat kabupaten/kota di bidang perumahan dan kawasan permukiman dengan berpedoman pada kebijakan dan strategi nasional dan provinsi.

  b. Menyusun dan rencana pembangunan dan pengembangan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.

  c. Menyelenggarakan fungsi operasionalisasi dan koordinasi terhadap pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota dalam penyediaan rumah, perumahan, permukiman, lingkungan hunian, dan kawasan permukiman.

  d. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan, kebijakan, strategi, serta program di bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.

  e. Melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat kabupaten/kota. f. Melaksanakan melaksanakan peraturan perundang-undangan serta kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.

  g. Melaksanakan peningkatan kualitas perumahan dan permukiman.

  h. Melaksanakan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman berpedoman pada kebijakan nasional. i. Melaksanakan pengelolaan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan dan kawasan permukiman. j. Mengawasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dan provinsi di bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota. k. Menetapkan lokasi Kasiba dan Lisiba. Adapun wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menjalankan tugasnya yaitu:

  a. Menyusun dan menyediakan basis data perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.

  b. Menyusun dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.

  c. Memberdayakan pemangku kepentingan dalam bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.

  d. Melaksanakan sinkronisasi dan sosialisasi peraturan perundang-

  e. Undangan serta kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.

  f. Mencadangkan atau menyediakan tanah untuk pembangunan perumahan dan permukiman bagi MBR.

  g. Menyediakan prasarana dan sarana pembangunan perumahan bagi MBR pada tingkat kabupaten/kota.

  h. Memfasilitasi kerjasama pada tingkat kabupaten/kota antara pemerintah kabupaten/kota dan badan hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman. i. Menetapkan lokasi perumahan dan permukiman sebagai perumahan kumuh dan permukiman kumuh pada tingkat kabupaten/kota. j. Memfasilitasi peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh pada tingkat kabupaten/kota.

  Di samping mengatur tugas dan wewenang, UU ini juga mengatur penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, pemeliharaan dan perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan tanah pendanaan dan pembiayaan, hak kewajiban dan peran masyarakat.

  UU ini mendefinisikan permukiman kumuh sebagai permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Untuk itu perlu dilakukan upaya pencegahan, terdiri dari pengawasan, pengendalian, dan pemberdayaan masyarakat, serta upaya peningkatan kualitas permukiman, yaitu pemugaran, peremajaan, dan permukiman kembali.

2.3.2 UU No.28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

  Undang-Undang Bangunan Gedung menjelaskan bahwa penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran. Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung. Persyaratan administratif meliputi persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan bangunan gedung, dan izin mendirikan bangunan. Sedangkan persyaratan teknis meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan gedung. Persyaratan tata bangunan meliputi persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung, arsitektur bangunan gedung, dan persyaratan pengendalian dampak lingkungan, yang ditetapkan melalui Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).

  Disamping itu, peraturan tersebut juga mengatur beberapa hal sebagai berikut:

  a. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan gedung, ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya. Di samping itu, sistem penghawaan, pencahayaan, dan pengkondisian udara dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip penghematan energi dalam bangunan gedung (amanat green building). b. Bangunan gedung dan lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar budaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan harus dilindungi dan dilestarikan. Pelaksanaan perbaikan, pemugaran, perlindungan, serta pemeliharaan atas bangunan gedung dan lingkungannya hanya dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah nilai dan/atau karakter cagar budaya yang dikandungnya.

  c. Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung.

  2.3.3 UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air

  UU Sumber Daya Air pada dasarnya mengatur pengelolaan sumber daya air, termasuk didalamnya pemanfaatan untuk air minum. Dalam hal ini, negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif.

  Pemenuhan kebutuhan air baku untuk air minum rumah tangga dilakukan dengan pengembangan sistem penyediaan air minum dimana Badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah menjadi penyelenggaranya. Air minum rumah tangga tersebut merupakan air dengan standar dapat langsung diminum tanpa harus dimasak terlebih dahulu dan dinyatakan sehat menurut hasil pengujian mikrobiologi Selain itu, diamanatkan pengembangan sistem penyediaan air minum diselenggarakan secara terpadu dengan pengembangan prasarana dan sarana sanitasi.

  2.3.4 UU No. 18 tentang Pengelolaan Sampah

  UU No. 18 Tahun 2008 menyebutkan bahwa pengelolaan sampah bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. Pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga dilakukan dengan pengurangan sampah, dan penanganan sampah. Upaya pengurangan sampah dilakukan dengan pembatasan timbulan sampah, pendauran ulang sampah, dan pemanfaatan kembali sampah. Sedangkan kegiatan penanganan sampah meliputi: a. Pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah, b. Pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber sampah ke tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah terpadu, c. Pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari tempat penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir,

  d. Pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik,komposisi, dan jumlah sampah,

  e. Pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman.

  Undang-undang tersebut juga melarang pembuangan sampah secara terbuka di tempat pemrosesan akhir. Oleh karena itu, Pemerintah daerah harus menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka dan mengembangkan TPA dengan sistem controlled landfill ataupun sanitary landfill.

  2.3.5 UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun

  Dalam memenuhi kebutuhan hunian yang layak, Ditjen Cipta Karya turut serta dalam pembangunan Rusunawa yang dilakukan berdasarkan UU No. 20 Tahun 2011. Dalam undang- undang tersebut Rumah susun didefinisikan sebagai bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Peraturan ini juga mengatur perihal pembinaan, perencanaan, pembangunan, penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan, pengelolaan, peningkatan kualitas, pengendalian, kelembagaan, tugas dan wewenang, hak dan kewajiban, pendanaan dan sistem pembiayaan, dan peran masyarakat.

  Pemerintah Indonesia secara aktif terlibat dalam dialog internasional dan perumusan kesepakatan bersama di bidang permukiman. Beberapa amanat internasional yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kebijakan dan program bidang Cipta Karya meliputi Agenda Habitat, Konferensi Rio+20, Millenium Development Goals, serta Agenda Pembangunan Pasca 2015.

  2.4.1 Agenda Habitat

  Pada tahun 1996, di Kota Istanbul Turki diselenggarakan Konferensi Habitat II sebagai kelanjutan dari Konferensi Habitat I di Vancouver tahun 1976. Konferensi tersebut menghasilkan Agenda Habitat, yaitu dokumen kesepakatan prinsip dan sasaran pembangunan permukiman yang menjadi panduan bagi negara-negara dunia dalam menciptakan permukiman yang layak dan berkelanjutan.

  Salah satu pesan inti yang menjadi komitmen negara-negara dunia, termasuk Indonesia, adalah penyediaan tempat hunian yang layak bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali, serta meningkatkan akses air minum, sanitasi, dan pelayanan dasar terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan kelompok rentan.

  2.4.2 Konferensi Rio+20

  Pada Juni 2012, di Kota Rio de Janeiro, Brazil, diselenggarakan KTT Pembangunan Berkelanjutan atau lebih dikenal dengan KTT Rio+20. Konferensi tersebut menyepakati dokumen The Future We Want yang menjadi arahan bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di tingkat global, regional, dan nasional. Dokumen memuat kesepahaman pandangan terhadap masa depan yang diharapkan oleh dunia (common vision) dan penguatan komitmen untuk menuju pembangunan berkelanjutan dengan memperkuat penerapan Rio Declaration 1992 dan Johannesburg Plan of Implementation 2002.

  Dalam dokumen The Future We Want, terdapat 3 (tiga) isu utama bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, yaitu: (i) Ekonomi Hijau dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan, (ii) pengembangan kerangka kelembagaan pembangunan berkelanjutan tingkat global, serta (iii) kerangka aksi dan instrumen pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Kerangka aksi tersebut termasuk penyusunan Sustainable Development Goals (SDGs) post- 2015 yang mencakup 3 pilar pembangunan berkelanjutan secara inklusif, yang terinspirasi dari penerapan Millennium Development Goals (MDGs). Bagi Indonesia, dokumen ini akan menjadi rujukan dalam pelaksanaan rencana pembangunan nasional secara konkrit, termasuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2014-2019, dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (2005- 2025).

  2.4.3 Millenium Development Goals

  Pada tahun 2000, Indonesia bersama 189 negara lain menyepakati Deklarasi Millenium sebagai bagian dari komitmen untuk memenuhi tujuan dan sasaran pembangunan millennium (Millenium Development Goals). Konsisten dengan itu, Pemerintah Indonesia telah mengarusutamakan MDGs dalam pembangunan sejak tahap perencanaan sampai pelaksanaannya sebagaimana dinyatakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-

  2025, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014 serta Rencana Kerja Tahunan berikut dokumen penganggarannya.

  Sesuai tugas dan fungsinya, Ditjen Cipta Karya memiliki kepentingan dalam pemenuhan target 7C yaitu menurunkan hingga setengahnya proporsi rumah tangga tanpa akses berkelanjutan terhadap sumber air minum layak dan fasilitas sanitasi dasar layak hingga tahun 2015. Di bidang air minum, cakupan pelayan air minum saat ini (2013) adalah 61,83%, sedangkan target cakupan pelayanan adalah 68,87% yang perlu dicapai pada tahun 2015. Di samping itu, akses sanitasi yang layak saat ini baru mencapai 58,60%, masih kurang dibandingkan target 2015 yaitu 62,41%. Selain itu, Ditjen Cipta Karya juga turut berperan serta dalam pemenuhan target 7D yaitu mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh (minimal 100 juta) pada tahun 2020. Pemerintah Indonesia menargetkan luas permukiman kumuh 6%, padahal data terakhir (2009) proporsi penduduk kumuh mencapai 12,57%.

  Untuk memenuhi target MDGs di bidang permukiman, diperlukan perhatian khusus dari seluruh pemangku kepentingan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota perlu melakukan optimalisasi kegiatan penyediaan infrastruktur permukiman dalam rangka percepatan pencapaian target MDGs.

2.4.4 Agenda Pembangunan Pasca 2015

  Pada Juli 2012, Sekjen PBB membentuk sebuah Panel Tingkat Tinggi untuk memberi masukan kerangka kerja agenda pembangunan global pasca 2015. Panel ini diketuai bersama oleh Presiden Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Ellen Johnson Sirleaf dari Liberia, dan Perdana Menteri David Cameron dari Inggris, dan beranggotakan 24 orang dari berbagai negara. Pada Mei 2013, panel tersebut mempublikasikan laporannya kepada Sekretaris Jenderal PBB berjudul

  “A New Global Partnership: Eradicate Poverty and Transform Economies Through Sustainable Development”. Isinya adalah rekomendasi arahan kebijakan pembangunan global pasca-2015 yang dirumuskan berdasarkan tantangan pembangunan baru, sekaligus pelajaran yang diambil dari implementasi MDGs.

  Dalam dokumen tersebut, dijabarkan 12 sasaran indikatif pembangunan global pasca 2015, sebagai berikut:

  a. Mengakhiri kemiskinan

  b. Memberdayakan perempuan dan anak serta mencapai kesetaraan gender

  c. Menyediakan pendidikan yang berkualitas dan pembelajaran seumur hidup d. Menjamin kehidupan yang sehat

  e. Memastikan ketahanan pangan dan gizi yang baik

  f. Mencapai akses universal ke Air Minum dan Sanitasi

  g. Menjamin energi yang berkelanjutan

  h. Menciptakan lapangan kerja, mata pencaharian berkelanjutan, dan pertumbuhan berkeadilan i. Mengelola aset sumber daya alam secara berkelanjutan j. Memastikan tata kelola yang baik dan kelembagaan yang efektif k. Memastikan masyarakat yang stabil dan damai l. Menciptakan sebuah lingkungan pemungkin global dan mendorong m. pembiayaan jangka panjang

  Dari sasaran indikatif tersebut, Ditjen Cipta karya berkepentingan dalam pencapaian sasaran 6 yaitu mencapai akses universal ke air minum dan sanitasi. Adapun target yang diusulkan dalam pencapaian sasaran tersebut adalah: a.

  Menyediakan akses universal terhadap air minum yang aman di rumah, dan di sekolah, puskesmas, dan kamp pengungsi, b. Mengakhiri buang air besar sembarangan dan memastikan akses universal ke sanitasi di sekolah dan di tempat kerja, dan meningkatkan akses sanitasi di rumah tangga sebanyak x%,

  c. Menyesuaikan kuantitas air baku (freshwater withdrawals) dengan

  d. Pasokan air minum, serta meningkatkan efisiensi air untuk pertanian sebanyak x%, industri sebanyak y% dan daerah-daerah perkotaan sebanyak z%, e. Mendaur ulang atau mengolah semua limbah cair dari daerah perkotaan dan dari industri sebelum dilepaskan.

  Selain memperhatikan sasaran dan target indikatif, dokumen laporan tersebut juga menekankan pentingnya kemitraan baik secara global maupun lokal antar pemangku kepentingan pembangunan. Kemitraan yang dimaksud memiliki prinsip inklusif, terbuka, dan akuntabel dimana seluruh pihak duduk bersama-sama untuk bekerja bukan tentang bantuan saja, melainkan juga mendiskusikan kerangka kebijakan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.

2.4.5 World Economic Forum (WEF) 2015

  Forum Ekonomi Dunia Asia Timur diselenggarakan di Jakarta untuk kedua kalinya sejak 2011. Selain membicarakan Asia Timur, pertemuan ini juga memfasilitasi konferensi untuk Eropa Tengah dan Timur, Timur Tengah, serta Afrika Utara. Konferensi ini akan diteruskan di Davos, resort ski Alpine yang terkenal di dunia, serta mempertemukan semua orang-orang paling berpengaruh di dunia: kepala negara dan pemerintahan, para pebisnis dunia, ilmuwan dan ekonom terkemuka, serta pakar politik selama beberapa hari.

  Delegasi Forum Ekonomi Dunia juga akan mendiskusikan perubahan yang terjadi sehubungan didirikannya Komunitas Ekonomi ASEAN yang bertujuan membentuk pasar barang dan tenaga kerja bersama di sepuluh negara kunci. Komunitas Ekonomi ini diperkirakan mulai beroperasi pada akhir tahun 2015 ini.

  Daya saing Indonesia naik empat peringkat menjadi 34 dari 144 negara dengan nilai rata-rata melampaui negara berkembang di kawasan Asia meskipun masih di bawah Singapura, Thailand dan Malaysia.

  WEF rutin menggelar riset kompetisi global ini sejak 1979. Pada periode 2014-2015 ini ada 144 negara yang disurvei dengan dilandasi 12 pilar penentu kompetisi global yang ditetapkan WEF.

  Pilar-pilar itu adalah efisiensi institusi, infrastruktur, situasi ekonomi makro, kesehatan dan pendidikan dasar, pendidikan atas dan riset, efisiensi pasar, efisiensi tenaga kerja, perkembangan pasar finansial, kesiapan teknologi maju, ukuran pasar, lingkungan bisnis, dan inovasi.

  Indeks kompetisi global ini mencerminkan keadaan produktivitas dan kesejahteraan sebuah bangsa secara umum. Semakin tinggi indeks yang diraih semakin bagus tingkat kompetitif negara tersebut.