PENGARUH PEMBERIAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL BEBERAPA VARIETAS PADI LOKAL (Oryza Sativa L.) DI LAHAN GAMBUT - Repository utu
II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Botani Tanaman Padi
II.1.1. Sistematika
Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman pangan rumput- rumputan. Berdasarkan taksonomi tanaman (Andoko, 2010), padi dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Division : Spermatophyta Sub Divisio : Angiospermae Kelas : Monokotyledoneae Ordo : Graminales Famili : Graminae Genus : Oryza Spesies : Oryza sativa L.
II.1.2. Morfologi Tanaman Padi
Secara morfologi tanaman padi termasuk golongan tanaman setahun atau semusim. Batang berbentuk bulat berongga, daun memanjang seperti pita yang berdiri pada ruas-ruas batang dan mempunyai sebuah malai yang terdapat pada ujung batang (AAK, 1990). Tanaman padi terdiri dari bagian vegetatif yang meliputi akar, batang, daun, dan bagian generatif meliputi malai yang terdiri dari bulir-bulir padi (Hirupbagja, 2009).
a. Akar
Akar padi digolongkan ke dalam akar serabut. Akar primer (radikula) yang tumbuh sewaktu berkecambah bersama akar seminal yang jumlahnya antara tumbuh dari buku terbawah batang (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 1988).
b. Batang
Batang padi tersusun dari rangkaian ruas-ruas dan antara ruas yang satu dengan yang lainnya dipisah oleh sesuatu buku. Daun dan tunas (anakan) tumbuh pada buku. Batang terdiri dari pelepah-pelepah daun dan ruas-ruas yang tertumpuk padat. Setelah memasuki stadia reproduktif ruas-ruas tersebut memanjang dan berongga. Dari atas ke bawah, ruas batang itu makin pendek. (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian /BP3 Bogor, 1988: Hirupbagja, 2009).
c. Daun
Daun tanaman padi tumbuh pada batang dalam susunan yang berselang- seling, satu daun pada tiap buku. Daun terdiri dari helaian daun yang terletak pada batang padi, berbentuk memanjang seperti pita, pelepah daun yang membungkus ruas dan telinga daun (auricle), lidah daun (ligule). Daun bendera mempunyai panjang daun terpendek dengan lebar daun yang terbesar. Jumlah daun dan besar sudut yang dibentuk antara daun bendera dengan malai, tergantung kepada varietas yang ditanam. Anakan (tunas) mulai tumbuh setelah tanaman padi memiliki 4 atau 5 helai daun dan tumbuh pada dasar batang. Tanaman padi memiliki pola anakan berganda (anak-beranak). Dari batang utama akan tumbuh anakan primer sampai anakan tersebut memiliki 6 daun dengan 4 - 5 akar. Dari anakan primer selanjutnya tumbuh anakan sekunder yang kemudian menghasilkan anakan tersier (Hirupbagja, 2009).
d. Malai
Malai merupakan sekumpulan bunga padi (spikelet) yang timbul dari buku paling atas. Ruas buku terakhir dari batang merupakan sumbu utama dari malai, sedangkan butir-butirnya terdapat pada cabang-cabang pertama maupun cabang- cabang kedua. Pada waktu berbunga, malai berdiri tegak kemudian terkulai bila butir telah terisi dan menjadi buah. Panjang malai ditentukan oleh sifat baka (keturunan) dari varietas dan keadaan keliling. Malai terdiri dari 8 - 10 buku yang menghasilkan cabang-cabang primer dan cabang primer selanjutnya menghasilkan cabang sekunder. Tangkai buah (pedicel) tumbuh dari buku-buku cabang primer maupun cabang sekunder (Hirupbagja, 2009).
e. Bunga Bunga padi adalah bunga telanjang artinya mempunyai perhiasan bunga.
Berkelamin dua jenis dengan bakal buah yang di atas. Jumlah benang sari ada 6 buah, tangkai sarinya pendek dan tipis, kepala sari besar serta mempunyai kandung serbuk. Putik mempunyai dua tangkai putik, dengan dua buah kepala putik yang berbentuk malai dengan warna pada umumnya putih atau ungu. Waktu padi hendak berbunga, lodicula menjadi mengembang karena ia mengisap air dari bakal buah. Pengembangan ini mendorong lemma dan palea terpisah dan terbuka. Hal ini memungkinkan benang sari yang sedang memanjang, keluar dari bagian atas atau samping bunga yang terbuka tadi. Terbukanya bunga diikuti dengan pecahnya kandung serbuk, yang kemudian menumpahkan tepung sarinya. Sesudah tepung sari ditumpahkan dari kandung serbuk maka lemma dan palea menutup kembali. Dengan berpindahnya tepung sari ke kepala putik maka menghasilkan lembaga dan endosperm sebagai sumber makanan cadangan bagi tanaman yang baru tumbuh (Hirupbagja, 2009).
f. Biji/Gabah
Buah padi, sehari-hari kita sebut biji padi atau butir/gabah, sebenarnya bukan biji melainkan buah padi yang tertutup oleh lemma dan palea. Buah ini terjadi setelah selesai penyerbukan dan pembuahan. Lemma dan palea serta bagian-bagian lain membentuk sekam (kulit gabah). Dinding bakal buah terdiri dari tiga bagian : bagian paling luar disebut epicarpium, bagian tengah disebut mesocarpium dan bagian dalam disebut endocarpium. Biji sebagian besar ditempati oleh endosperm yang mengandung zat tepung dan sebagian ditempati oleh embrio (lembaga) yang terletak di bagian sentral yakni di bagian lemma (Hirupbagja, 2009).
II.2. Syarat Tumbuh Tanaman Padi
II.2.1. Iklim
Tanaman padi secara umum membutuhkan suhu minimum 11°-25°C untuk perkecambahan, 22°-23 C untuk pembungaan, 20°-25°C untuk pembentukan biji, dan suhu yang lebih panas dibutuhkan untuk semua pertumbuhan karena merupakan suhu yang sesuai bagi tanaman padi khususnya di daerah tropika.
Suhu udara dan intensitas cahaya di lingkungan sekitar tanaman berkorelasi positif dalam proses fotosintesis yang merupakan proses pemasakan oleh tanaman untuk pertumbuhan tanaman dan produksi buah atau biji (AAK, 1990).
Tanaman padi dapat tumbuh dengan baik di daerah yang berhawa panas lebih, dengan distribusi selama 4 bulan, curah hujan yang dikehendaki sekitar 1500-2000 mm tahun-1 dengan ketinggian tempat berkisar antara 0-1500 m dpl dan tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman padi adalah tanah sawah dengan kandungan fraksi pasir, debu dan lempung dengan perbandingan tertentu dan diperlukan air dalam jumlah yang cukup yang ketebalan lapisan atasnya sekitar 18-22 cm dengan pH 4-7 (Surowinoto, 1982).
II.2.2. Tanah
Tanaman padi dapat tumbuh di berbagai jenis tanah, tetapi untuk padi yang ditanam di lahan persawahan memerlukan syarat-syarat tertentu, karena tidak semua jenis tanah dapat dijadikan lahan tergenang air. Sistem tanah sawah, lahan harus tetap tergenang air agar kebutuhan air tanaman padi tercukupi sepanjang musim tanam. Oleh karena itu jenis tanah yang sulit menahan air kurang cocok dijadikan lahan persawahan. Sebaiknya tanah yang sulit dilewati air sangat cocok dibuat lahan persawahan (Suparyono dan Agus, 1997).
Padi sawah ditanam di tanah berlempung yang berat atau tanah yang memiliki lapisan keras 30 cm di bawah permukaan tanah. Menghendaki tanah lumpur yang subur dengan ketebalan 18 - 22 cm. Keasaman tanah antara pH 4,0- 7,0. Pada padi sawah, penggenangan akan mengubah pH tanam menjadi netral (7,0). Pada prinsipnya tanah berkapur dengan pH 8,1 - 8,2 tidak merusak tanaman padi. Karena mengalami penggenangan, tanah sawah memiliki lapisan reduksi yang tidak mengandung oksigen dan pH tanah sawah biasanya mendekati netral. Untuk mendapatkan tanah sawah yang memenuhi syarat diperlukan pengolahan tanah yang khusus (Suparyono dan Agus, 1997).
II.3. Varietas
Varietas unggul baru merupakan salah satu komponen teknologi utama yang dapat meningkatkan produksi padi. dan apabila di integrasikan dengan teknologi pengairan dan pemupukan maka kontribusi penggunaan varietas unggul dalam meningkatkan produktivitas padi padi mencapai 75 % . Hingga saat ini Kementrian Pertanian telah melepas lebih dari 233 varietas unggul yang terdiri atas 144 varietas unggul padi sawah inbrida, 35 varietas unggul padi hibrida, 30 varietas unggul padi gogo, dan 24 varietas unggul padi rawa, Sebagian besar dari varietas unggul tersebut dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian (Sembiring, 2010).
Upaya untuk terus menemukan dan mengembangkan varietas yang lebih unggul (kualitas dan kuantitas, termasuk aromatik) dan mempunyai daya adaptasi yang lebih baik terhadap lingkungan tumbuh tertentu (spesifik) merupakan salah satu kebijakan yang tepat untuk pengembangan usahatani padi yang produktif, efektif dan efisien di masa yang akan datang. Makarim & Las (2005) mengemukakan bahwa untuk mencapai hasil maksimal dari penggunaan penggunaan varietas baru, diperlukan lingkungan tumbuh yang sesuai agar potensi hasil dan keunggulannya dapat terwujudkan (Imran et al. 2003).
Penggunaan varietas lokal dalam program pemuliaan telah sering dianjurkan, dengan tujuan untuk memperluas latar belakang genetik varietas unggul yang akan dihasilkan (Cooper et al. 2001).
II.4. Tanah Gambut
Lahan gambut di Indonesia diperkirakan mencapai 20 juta ha. Lokasi tanah gambut tersebar luas terutama di pulau Sumatera 6, 8 juta ha, dan sebagian besar diantaranya berada di Kepulauan Riau (4 juta ha). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa di Kepulauan Riau sebanyak 200.000 ha lahan gambut sudah diusahakan untuk penanaman kelapa sawit (Lim Kim Huan, 2007).
Penggunaan lahan gambut telah dimulai pada tahun 1900-an. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan keterbatasan lahan pertanian menyebabkan pilihan diarahkan pada lahan gambut baik untuk kepentingan pertanian maupun untuk pemukiman penduduk. Lahan gambut merupakan suatu ekosistem khas dari segi struktur, fungsi, dan kerentanan. Pemanfaatan lahan gambut yang tidak bertanggung jawab akan menyebabkan kehilangan salah satu sumber daya yang berharga karena sifatnya yang tidak dapat diperbaharui (nonrenewable). Seperti yang dilaporkan, di Kalimantan Tengah banyak dijumpai lahan bongkor yaitu lahan gambut yang terdegradasi (rusak) karena mengalami subsidensi dan dibiarkan atau ditinggalkan oleh pengelolanya. Lahan gambut memerlukan pengelolaan yang berbeda dengan lahan lain (Notohadiprawiro, 2006).
Namun demikian, lahan gambut apabila dikelola dengan baik tetap dapat diusahakan sebagai lahan pertanian. Pengembangan pertanian pada lahan gambut harus mempertimbangkan sifat tanah gambut. Menurut Mawardi et al, (2001), secara umum sifat kimia tanah gambut didominasi oleh asam-asam organik yang merupakan suatu hasil akumulasi sisa-sisa tanaman. Asam organik yang dihasilkan selama proses dekomposisi tersebut merupakan bahan yang bersifat akan berakibat langsung terhadap produktifitasnya. Sementara itu secara fisik tanah gambut bersifat lebih berpori dibandingkan tanah mineral sehingga hal ini akan mengakibatkan cepatnya pergerakan air pada gambut yang belum terdekomposisi dengan sempurna sehingga jumlah air yang tersedia bagi tanaman sangat terbatas.
Tanah gambut alami merupakan tanah gambut yang belum dikelola sehingga kondisinya masih jenuh air sepanjang tahun. Dengan kondisi yang selalu basah, maka proses perombakan atau pematangan tanah gambut menjadi terhambat (Noor, 2001). Selain itu gambut alami juga dicirikan oleh vegetasinya yang terdiri dari kayu-kayuan yang berbatang besar yang berasal dari vegetasi yang tumbuh sebelumnya. Vegetasi seperti ini mengandung banyak lignin dan sedikit selulosa, hemiselulosa, dan protein. Lignin dan selulosa tidak mudah didegradasi secara kimia maupun mekanis sehingga terjadi penumpukan bahan organik. Dalam mempercepat proses penguraian bahan organik yang menumpuk di lahan gambut, peranan mikroorganisme tanah sangatlah penting. Prasetyo (1996) menyatakan bahwa produktivitas tanah gambut dapat ditingkatkan melalui biodegradasi hara-hara yang tidak larut menjadi larut dan tersedia bagi mikroorganisme dan tanaman.
Banyak upaya yang telah dilakukan untuk memperbaiki kondisi lahan gambut. Upaya perbaikan kondisi tanah agar sesuai untuk penggunaan tertentu disebut reklamasi. Upaya perbaikan yang telah dilakukan adalah secara kimia dan secara fisik. Secara kimia adalah dengan pengapuran.
II.5. Amelioran Abu Janjang Sawit
Abu janjang kelapa sawit bisa berasal dari hasil limbah padat janjang kosong kelapa sawit yang telah mengalami pembakaran di dalam incenerator di pabrik kelapa sawit dan bisa juga dengan melakukan pembakaran secara manual. Limbah janjang kosong merupakan limbah dengan volume yang paling banyak dari proses pengolahan tandan buah segar (TBS) pada pabrik Kelapa Sawit yang menurut Surono (2009) mencapai 21% dari TBS yang diolah.
Abu janjang kelapa sawit memiliki kandungan 30-40 % K2O, 7 % P, 9 % CaO, dan 3 % MgO. Selain itu juga mengandung unsur hara mikro yaitu 1.200 ppm Fe, 100 ppm Mn, 400 ppm Zn, dan 100 ppm Cu (Bangka, 2009). Soepardi (1983) menyatakan bahwa abu cenderung meningkatkan jumlah ketersediaan unsur hara P, K, Ca dan Mg serta meningkatkan unsur hara N bagi tanaman.
Menurut Istina dan Syam (2005) bahwa abu tandan kosong kelapa sawit memiliki potensi hasil tidak berbeda dengan hasil pemberian K anorganik. Hasil pengujian Istina dan Syam (2005) dengan memberikan abu tandan kosong kelapa sawit sebesar 212 kg ha terhadap tanaman padi yang ditanam pada gambut dihasilkan jumlah gabah hampa lebih sedikit, bobot 1000 biji lebih besar, dan hasil lebih besar dibandingkan jumlah gabah bernas, bobot 1000 biji dan hasil tanaman padi yang tidak diberi abu tandan kosong kelapa sawit. Hasil lain yang menarik dari penelitian Istina dan Syam tersebut dengan memberikan 212 kg abu tandan kosong kelapaa sawit ha adalah hasil ha-1, yang dalam hal ini tanaman padi yang tidak diberi abu TKS menghasilkan 2,8 ton dan tanaman yang diberi abu TKS menghasilkan 3,85 ton.