BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori 1. Pembelajaran Kuantum - BAB II MESTI ANANI PGSD'16
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori 1. Pembelajaran Kuantum Menurut DePorter (2010:3)
“Model pembelajaran kuantum adalah orkestrasi bermacam-macam interaksi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar. Pembelajaran kuantum mencakup petunjuk spesifik untuk menciptakan lingkungan belajar yang efektif, merancang
”.
a. Asas Utama Pembelajaran kuantum bersandar pada konsep ini: “Bawalah
Dunia Mereka ke Dunia Kita, dan Antarkan Dunia Kita ke Dunia Mereka
”. Inilah asas utama dibalik segala strategi, model, dan keyakinan pembelajaran kuantum. Segala hal yang dilakukan dalam kerangka pembelajaran kuantum, setiap interaksi dengan siswa, setiap rancangan kurikulum, dan setiap metode instruksional dibangun di a tas prinsip “Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita, dan Antarkan Dunia Kita ke Dunia Mereka.”
b. Prinsip-Prinsip Pembelajaran kuantum memiliki lima prinsip, atau kebenaran tetap. Prinsip-prinsip ini mempengaruhi seluruh aspek pembelajaran kuantum.
Prinsip-prinsip pembelajaran kuantum menurut DePorter (2010:36) tersebut adalah: 1) Segalanya Berbicara
Segalanya dari lingkungan kelas hingga bahasa tubuh, dari kertas yang dibagikan hingga rancangan pelajaran, semuanya mengirim pesan tentang belajar. 2) Segalanya Bertujuan
Semua yang terjadi dalam penggubahan mempunyai tujuan semuanya.
Otak kita berkembang pesat dengan adanya rangsangan kompleks yang akan menggerakkan rasa ingin tahu. Oleh karena itu, proses belajar paling baik terjadi ketika siswa telah mengalami informasi sebelum mereka memperoleh nama untuk apa yang mereka pelajari. 4) Akui Setiap Usaha
Belajar mengandung risiko. Belajar berarti melangkah keluar dari kenyamanan. Pada saat siswa mengambil langkah ini, mereka patut mendapat pengakuan atas kecakapan dan kepercayaan diri mereka.
5) Jika Layak Dipelajari, maka Layak Pula Dirayakan Perayaan adalah sarapan pelajar juara. Perayaan memberikan umpan balik mengenai kemajuan dan meningkatkan asosiasi emosi positif dengan belajar.
c. Kerangka perancangan Kerangka perancangan pengajaran pembelajaran kuantum menurut DePorter (2010:127) adalah sebagai berikut:
1) Tumbuhkan
a) Mengapa atau kemampuan saling memahami. Penyertaan akan memanfaatkan pengalaman mereka, mencari tanggapan “Ya” dan mendapatkan komitmen untuk menjelajah.
b) Pertanyaan tuntunan Hal apa yang mereka pahami? Apa yang mereka setujui? Apakah manfaatnya bagi mereka (AMBAK)?
c) Strategi Sertakan pertanyaan, cerita lucu dan hal-hal yang bisa menumbuhkan motivasi.
2) Alami
a) Mengapa Unsur ini memberikan pengalaman kepada siswa, dan memanfaatkan hasrat alami otak untuk menjelajah.
Pengalaman dapat membuat kita mengajar melalui pintu belakang untuk memanfaatkan pengetahuan dan keingintahuan mereka.
b) Pertanyaan tuntunan Cara apa yang terbaik agar siswa memahami informasi? pengetahuan yang sudah mereka miliki? Permainan dan kegiatan apa yang memfasilitasi kebutuhan untuk mengetahui mereka? c) Strategi Menggunakan jembatan keledai, permainan, dan simulasi.
Memerankan unsur-unsur pelajaran baru dalam bentuk sandiwara. Memberi mereka tugas kelompok dan kegiatan yang mengaktifkan pengetahuan yang sudah mereka miliki.
3) Namai
a) Mengapa Penamaan memuaskan hasrat alami otak untuk memberikan identitas, mengurutkan, dan mendefinisikan. Penamaan di bangun atas pengetahuan dan keingintahuan siswa saat itu. Penamaan adalah saatnya untuk mengajarkan konsep, keterampilan berfikir, dan strategi belajar.
b) Pertanyaan tuntunan Perbedaan apa yang perlu dibuat dalam belajar?
c) Strategi Menggunakan susunan gambar, warna, alat bantu, kertas tulisan, poster dinding.
4) Demonstrasikan Memberi siswa peluang untuk menerjemahkan dan menerapkan pengetahuan mereka ke dalam pembelajaran yang lain dan kedalam kehidupan mereka.
b) Pertanyaan tuntunan Dengan cara apa siswa dapat memperagakan tingkat kecakapan mereka dengan pengetahuan yang baru ini? c) Strategi Sandiwara, video, permainan, lagu, penjabaran dalam grafik.
5) Ulangi
a) Mengapa Pengulangan memperkuat koneksi saraf dan menumbuhkan rasa “Aku tahu bahwa aku tahu ini!” jadi, pengulangan harus dilakukan secara multimodalitas dan multikecerdasan, lebih baik dalam konteks yang berbeda asalnya.
b) Pertanyaan tuntunan Cara apa yang terbaik bagi siswa untuk mengulangi
pelajaran ini? Dengan cara apa setiap siswa akan mendapat kesempatan untuk mengulang? c) Strategi
Memberi kesempatan bagi siswa untuk mengajarkan 6) Rayakan
a) Mengapa Perayaan merupakan upaya untuk menghormati suatu usaha, ketekunan, dan kesuksesan. Sekali lagi, jika layak dipelajari maka layak pula dirayakan.
b) Pertanyaan tuntunan Cara apa yang paling sesuai untuk merayaka?
c) Strategi Pujian, bernyanyi bersama (yel-yel). d. Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran kuantum memiliki kelebihan dan kelemahan yaitu sebagai berikut menurut Suyadi (2013:112) :
1) Kelebihan :
a) Melibatkan teknologi pendidikan terkini karena mempunyai basis neurosains (cara kerja otak) yang kuat.
b) Memberi kebebasan kepada peserta didik untuk melakukan eksplorasi pembelajaran sesuai modalitas belajar yang dimiliki masing- masing peserta didik.
c) Strategi pembelajaran kuantum memberi peluang kepada semua peserta didik untuk mencapai lompatan prestasi belajar secara menakjubkan.
d) Setiap upaya belajar peserta didik dihargai dengan reward yang sepadan, sehingga peserta didik semakin termotivasi 2) Kelemahan :
a) Kelemahan utama pembelajaran kuantum adalah lebih menekankan pada kompetisi individual dalam mencapai prestasi belajar, sehingga aspek sosial dan kerja sama kurang berkembang.
b) Pembelajaran kuantum lebih menekankan prestasi belajar dalam hal akademik intelektual, namun kurang menaruh perhatian pada aspek moral, karakter, kepribadian, maupun akhlak.
2. Percaya Diri
a. Pengertian Percaya Diri Percaya diri merupakan salah satu sikap yang perlu di miliki oleh siswa dalam proses pembelajaran. Menurut Agoes (2007:206) percaya diri adalah kemampuan individu untuk dapat memahami dan meyakini seluruh potensinya agar dapat dipergunakan dalam mengahadapi penyesuaian diri dengan lingkungan hidupnya. Orang yang percaya diri biasanya mempunyai inisiatif, kreatif dan optimis terhadap masa depan, mampu menyadari kelemahan dan kelebihan diri sendiri, berpikir positif, menganggap semua permasalahan pasti ada jalan keluarnya.
Bandura (Yusuf, 2011:135) self-afficacy merupakan “elemen kepribadian yang krusial”. Self-afficacy ini merupakan keyakinan diri atau sikap percaya diri terhadap kemampuan sendiri untuk menampilkan tingkah laku yang akan mengarahkannya kepada hasil yang diharapkan. Ketika self-afficacy tinggi, maka akan merasa
reinforcement. Sebaliknya apabila rendah, maka akan merasa cemas
dan tidak mampu melakukan respon tersebut.Percaya diri menurut Mustari (2014:51) adalah “keyakinan bahwa orang mempunyai kemampuan untuk melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu. Percaya diri juga merupakan keyakinan orang atas kemampuannya untuk menghasilkan level-level pelaksanaan yang mempengaruhi kejadian-kejadian yang mempengaruhi kehidupan mereka
”. Memiliki keyakinan pada dirinya berarti percaya diri, Erich
Fromm (Mustari, 2014:53) menyatakan “bahwa untuk memiliki keyakinan diperlukan keberanian, kemampuan untuk mengambil risiko, kesediaan untuk menerima penderitaan dan kekecewaan”.
Dengan demikian masalah percaya diri ini adalah masalah diri sendiri, bagaimana sang diri itu percaya pada dirinya.
b. Fase Perkembangan Percaya Diri Percaya diri akan menghasilkan berbagai perasaan atau emosi dalam mengantisipasi suatu tindakan. Setiap tindakan yang dilakukan oleh seseorang akan berbeda-beda tergantung usia seseorang, hal tersebut dipengaruhi adanya perkembangan setiap individu. Menurut Montesori (Desmita, 2009:22) pembagian fase-fase perkembangan anak mempunyai arti biologis, sebab perkembangan itu adalah vital (masa peka), dan asas kesibukan sendiri. Fase-fase perkembangan itu diantaranya : 1) Periode I, umur 0-7 tahun, yaitu periode penangkapan dan pengenalan dunia luar dengan pancaindra.
2) Periode II, umur 7-12 tahun, yaitu periode abstrak dimana anak mulai menilai perbuatan manusia atas dasar baik-buruk dan mulai timbul insan kamil. 3) Periode III, umur 12-18 tahun, yaitu periode penemuan diri dan kepekaan sosial.
4) Periode IV umur 18 ke atas, yaitu periode pendidikan perguruan tinggi.
Dari individu yang satu dengan yang lain memiliki percaya diri yang berbeda-beda, tergantung dari fase perkembangannya. Usia rata-rata anak Indonesia saat masuk Sekolah Dasar adalah 6 atau 7 tahun, ini menunjukkan bahwa fase perkembangan anak pada periode
II, pada usia ini anak akan senang bermain, senang bergerak, senang bekerja dalam kelompok dan senang melakukan sesuatu secara langsung.
Menurut Havighurts (Desmita, 2009:35) tugas perkembangan anak usia sekolah dasar meliputi : 1) menguasai ketrampilan fisik yang diperlukan dalam permainan dan aktivitas fisik, 2) membina hidup sehat, 3) belajar bergaul dan bekerja dalam kelompok, 4) dalam masyarakat, 5) memperoleh sejumlah konsep yang diperlukan untuk berpikir efektif, 6) mengembangkan kata hati, moral dan nilai- nilai, 7) mencapai kemandirian pribadi. Upaya untuk mencapai setiap tugas perkembangan tersebut, guru dituntut untuk memberikan bantuan berupa :
1) Menciptakan lingkungan teman sebaya yang mengajarkan keterampilan fisik.
2) Melaksanakan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar bergaul dan bekerja dengan teman sebaya, sehingga kepribadian sosialnya berkembang. 3) Mengembangkan kegiatan pembelajaran yang memberikan pengalaman yang konkret atau langsung dalam membangun konsep.
4) Melaksanakan pembelajaran yang dapat mengembangkan nilai- nilai, sehingga siswa mampu menentukan pilihan yang stabil dan pegangan bagi dirinya.
Di sekolah, guru-guru dapat mendidik siswanya agar dapat yakin akan kemampuan dirinya sendiri. Siswa harus bisa berani menyatakan pendapat, harus bisa berani tampil dihadapan orang lain, harus yakin, tidak ragu-ragu akan tindakan yang dipilihnya, jangan mencontek pekerjaan orang lain, dan lain-lain.
c. Indikator Percaya Diri memberikan pertimbangan tentang perilaku peserta didik, untuk nilai tertentu yang telah menjadi perilaku yang dimiliki peserta didik. Indikator percaya diri dapat dilihat pada tabel 2.1 dibawah ini:
Tabel 2.1 Indikator Percaya DiriKarakter Indikator Kemauan dan usaha
Percaya Diri Optimis Tidak mudah menyerah 3.
Prestasi Belajar
a. Definisi Prestasi Belajar Menurut Arifin (2011:12) Prestasi belajar pada umumnya berkenaan dengan aspek pengetahuan, sedangkan hasil belajar meliputi aspek pembentukan watak peserta didik. Prestasi belajar banyak digunakan dalam berbagai bidang dan kegiatan antara lain dalam kesenian, olahraga, dan pendidikan khususnya pembelajaran.
b. Fungsi Prestasi Belajar Prestasi belajar (achievement) mempunyai beberapa fungsi utama menurut Arifin (2011:12) antara lain :
1) Prestasi belajar sebagai indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan yang telah dikuasai peserta didik.
2) Prestasi belajar sebagai lambang pemuasan hasrat ingin tahu. 3) Prestasi belajar sebagai bahan informasi dalam inovasi pendorong bagi peserta didik dalam meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan berperan sebagai umpan balik (feedback) dalam meningkatkan mutu pendidikan.
4) Prestasi belajar sebagai indikator intern dan ekstern dari suatu institusi pendidikan. Indikator intern dalam arti bahwa prestasi belajar dapat dijadikan indikator tingkat produktivitas suatu institusi pendidikan. Asumsinya adalah kurikulum yang digunakan relevan dengan kebutuhan masyarakat dan anak didik. Indikator ekstern dalam arti bahwa tinggi rendahnya prestasi belajar dapat dijadikan indikator tingkat kesuksesan peserta didik di masyarakat. Asumsinya adalah kurikulum yang digunakan relevan pula dengan kebutuhan masyarakat.
5) Prestasi belajar dapat dijadikan indikator daya serap (kecerdasan) peserta didik. Dalam proses pembelajaran, peserta didik menjadi fokus utama yang harus diperhatikan, karena peserta didiklah yang diharapkan dapat menyerap seluruh materi pelajaran.
Menurut Kemendikbud (2013:99) prestasi belajar adalah hasil yang diperoleh seseorang setelah menempuh kegiatan belajar, sedangkan belajar pada hakekatnya merupakan usaha sadar yang dilakukan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya. Setiap kegaiatan belajar yang perubahan perilaku, dan dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotor.
c. Faktor-faktor Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar menurut Kemendikbud (2014:100) diantaranya faktor internal dan faktor eksternal : 1) Faktor Internal
Prestasi belajar seseorang akan ditentukan oleh faktor diri, baik secara fisiologis, berkaitan dengan kondisi jasmani atau fisik seseorang, yang dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu kondisi jasmani pada umumnya dan kondisi yang berkaitan dengan fungsi-fungsi jasmani tertentu terutama pacaindera, sedangkan faktor psikologis, berasa dari dalam diri seseorang seperti intelegensi, minat, dan sikap.
Intelegensi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tinggi rendahnya prestasi belajar. Intelegensi merupakan dasar potensial bagi pencapaian hasil belajar, artinya hasil belajar yang dicapai akan bergantung pada tingkat intelegensi, dan hasil belajar yang dicapai tidak akan melebihi tingkat intelegensinya. Semakin tinggi tingakt intelegensi, makin tinggi pula kemungkinan tingkat hasil belajar yang dapat dicapai. Jika intelegensinya rendah, maka kecenderungan hasil yang dicapainyapun rendah.
Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa dapat digolongkan ke dalam faktor sosial dan non-sosial.
Faktor sosial menyangkut hubungan antar manusia yang terjadi dalam berbagai situasi sosial. Faktor sosial ini termasuk lingkungan keluarga, sekolah, teman dan masyarakat pada umumnya. Sedangkan faktor non-sosial adalah faktor-faktor lingkungan yang bukan sosial seperti lingkungan alam dan fisik.
Faktor eksternal dalam lingkungan keluarga baik langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap pencapaian hasil belajar siswa. Beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi proses dan prestasi belajar ialah peranan faktor guru atau fasilitator. Sistem pendidikan dan khususnya dalam pembelajaran yang berlaku ini peranan guru dan keterlibatannya masih menempati posisi yang penting. Hal ini, efektivitas pengelolaan faktor bahan, lingkungan, dan instrumen sebagai faktor-faktor utama yang mempengaruhi proses dan prestasi belajar, hampir seluruhnya bergantung pada guru.
4. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
a. Definisi Matematika Matematika merupakan disiplin ilmu yang mempunyai sifat khas bila dibandingkan dengan disiplin ilmu yang lain. Menurut
Ruseffendi (Heruman, 2007:1) “Matematika adalah bahasa simbol, ilmu deduktif yang tidak menerima pembuktian secara induktif, ilmu tentang pola keteraturan dan struktur yang terorganisasi mulai dari unsur yang tidak didefinisikan ke unsur yang didefinisikan dan akhirnya ke dalil ”.
Johnson dan Rising (Suwangsih, E. Et.al, 2006:4) menyebutkan bahwa “matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan pembuktian yang logis, matematika adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas dan akurat representasinya dengan simbol dan padat, lebih berupa bahasa simbol mengenai ide daripada mengenai bunyi
”. Matematika adalah pengetahuan struktur yang terorganisasi, sifat-sifat dalam teori-teori yang dibuat secara deduktif berdasarkan kepada unsur yang tidak didefinisikan, aksioma, sifat dan teori yang telah dibuktikan kebenarannya dan matematika itu adalah suatu seni keindahannya terdapat pada keteraturan dan keharmonisannya. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tentang pengertian matematika dapat disimpulkan bahwa matematika adalah disiplin ilmu yang mempunyai ciri-ciri yang kahs dimana pada pembelajaran matematika menggunakan pola pikir dan pembuktian yang secara logis dan menggunakan bahasa simbol mulai dari unsur yang tidak terdefinisi ke unsur yang terdefinisi. Dengan belajar matematika akan membantu seseorang untuk mampu berfikir secara logis, sistematis, dan obyektif. Pembelajaran matematika dimulai sejak pendidikan dasar, yaitu mulai dari pengenalan simbol-simbol dari suatu angka.
b. Fase Pembelajaran Matematika Siswa Sekolah Dasar pada dasarnya umurnya berkisar antara 6 atau 7 tahun sampai 12 atau 13 tahun. Kemampuan yang tampak pada fase ini adalah kemampuan dalam proses berfikir untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika, meskipun masih terkait dengan objek yang bersifat konkrit. Proses pembelajaran pada fase konkrit dapat melalui tahap konkrit, semi konkrit, semi abstrak, dan selanjutnya abstrak. Dalam pembelajaran matematika yang abstrak, siswa memerlukan alat bantu berupa media, dan alat peraga yang dapat memperjelas apa yang akan disampaikan oleh guru sehingga lebih cepat dipahami dan dimengerti oleh siswa.
Tahapan aktivitas dalam rangka penguasaan materi pelajaran matematka di dalam pembelajaran menurut Depdiknas (2009:1) yaitu: 1) Tahap penanaman konsep
Penanaman konsep merupakan tahap pengenalan awal tentang konsep yang akan dipelajari siswa. Pada tahap ini pengajaran memerlukan penggunaan benda konkrit sebagai alat peraga.
2) Tahap pemahaman konsep Pemahaman konsep merupakan tahap lanjutan setelah konsep ditanamkan. Pada tahap ini penggunaan alat peraga mulai dikurangi dan bentuknya semi konkrit sampai pada akhirnya tidak diperlukan lagi.
3) Tahap pembinaan keterampilan Pembinaan keterampilan merupakan tahap yang tidak boleh dilupakan dalam rangka membina pengetahuan siap bagi siswa.
Tahap ini diwarnai dengan latihan-latihan seperti mencongak dan berlomba. Pada tahap pengajaran ini alat peraga sudah tidak boleh digunakan lagi. 4) Tahap penerapan konsep
Penerapan konsep yaitu penerapan konsep yang sudah dipelajari ke dalam bentuk soal-soal terapan (cerita) yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Tahap ini disebut juga sebagai pembinaan kemampuan memecahkan masalah. Dalam pembelajaran matematika di Sekolah Dasar penanaman konsep dasar dalam pembelajaran sangatlah berpengaruh untuk hasil belajar selanjutnya, dengan adanya penanaman konsep yang benar maka siswa akan jauh lebih memahami konsep dan dapat memiliki ketrampilan dalam belajar matematika misalnya ketrampilan berhitung, memecahkan masalah, mengolah data dan lain sebagainya. Karena pada dasarnya matematika merupakan ilmu pengetahuan yang menggunakan pola pikir secara logis.
c. Materi Pelajaran Matematika mengambil materi pecahan dikelas IV semester 2. Standar kompetensi dan Kompetensi dasar yang sesuai dengan materi yang diajukan bahan penelitian adalah sebagai berikut :
Tabel 2.2 Standar Kompetensi dan Kompetensi DasarStandar Kompetensi Kompetensi Dasar
6.1 Menjelaskan arti pecahan dan urutannya.
6.2 Menyederhanakan berbagai bentuk pecahan.
6. Menggunakan pecahan 6.3 Menjumlahkan pecahan. dalam pemecahan masalah.
6.4 Mengurangkan pecahan.
6.5 Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pecahan.
Sumber : Silabus KTSP
Berdasarkan data di atas dapat diketahui materi yang akan dipakai untuk penelitian yaitu pecahan. d. Pecahan Pecahan merupakan salah satu materi pada mata pelajaran matematika yang diajarkan di Sekolah Dasar. Menurut Heruman
(2007:43) pecahan dapat diartikan sebagai bagian dari sesuatu yang utuh. Dalam ilustrasi gambar, bagian yang dimaksud adalah bagian yang diperhatikan, yang biasanya ditandai dengan arsiran. Bagian tersebut yang dinamakan pembilang, sedangkan bagian yang utuh adalah bagian yang dianggap sebagai satuan, dan dinamakan penyebut.
Pecahan merupakan bagian dari keseluruhan. Pecahan dapat ditulis dengan lambang , ∶ , ∶
. Perhatikan contoh gambar potongan martabak berikut:
1
1
1
2
4 Gambar 2.1 Lingkaran Pecahan Pecahan adalah bilangan berbentuk , b tidak sama dengan 0.
Pada bentuk pecahan dibaca a per b a dan b bilangan bulat. a disebut pembilang. b disebut penyebut.
Contoh:
1 dibaca satu perdua atau setengah.
2
1 dibaca satu perempat atau seperempat.
4
2 dibaca dua pertiga.
3 Untuk mempermudah mempelajari pecahan, bisa menggunakan garis bilangan.
1
1
2 Jika garis bilangan di atas dibagi menjadi 2 bagian yang sama,
1 maka tiap bagian nilainya .
2
2) Menyederhanakan pecahan Pecahan-pecahan senilai mempunyai nilai yang sama, pecahan-pecahan yang mempunyai nilai setengah dengan lingkaran berikut.
Gambar 2.2 Lingkaran Pecahan Bagian yang diarsir dari masing-masing lingkaran adalah sama. Maka dari itu pecahan-pecahan tersebut dikatakan senilai.Contoh operasi hitung :
1 1 × 2
2 1 1 × 4
4 = = = =
2 2 × 2
4 2 2 ×4
8 1 1×2 3 1 1×5
5 = = = =
2 2×2
6 2 2×5
10 Sebuah pecahan tidak akan berubah nilainya jika pembilang dan penyebutnya dikalikan dengan bilangan yang sama.
2 2÷2
1 4 4÷4
1 = = = =
4 4÷2
2 8 8÷4
2 3 3÷3 1 5 5÷5
1 = = = =
6 6÷3
2 10 10÷5
2 Sebuah pecahan tidak akan berubah nilainya jika pembilang
dan penyebutnya dibagi dengan bilangan yang sama. Sehingga pecahan yang senilai dapat kita tentukan dengan mengalikan atau membagi pembilang dan penyebutnya dengan bilangan yang sama. Setiap pecahan mempunyai pecahan lain yang senilai, maka aturan penulisan pecahan yang baku adalah menggunakan pecahan yang
1
paling sederhana. Pecahan merupakan bentuk paling sederhana dari
2
2
3
4
5
1
pecahan-pecahan karena tidak dapat dibagi lagi dengan , , ,
4
6
8
10
2
bilangan yang sama. Suatu pecahan dikatakan sederhana bila pembilang dan penyebutnya tidak mempunyai faktor persekutuan lagi, kecuali 1.
Pecahan yang bukan paling sederhana dapat dibagi dengan bilangan yang sama, sehingga pembilang dan penyebut dari pecahan tersebut mempunyai faktor persekutuan. Untuk memperoleh pecahan yang paling sederhana maka pembilang dan penyebutnya harus dibagi dengan faktor persekutuan yang paling besar. Sehingga pembaginya merupakan faktor persekutuan terbesar (FPB) dari pembilang dan penyebutnya. Pecahan sederhana diperoleh dengan membagi pembilang dan penyebutnya dengan FPB kedua bilangan tersebut.
U ntuk menjumlahkan pecahan berpenyebut sama cukup
menjumlahkan pembilang dengan pembilang, sedangkan
penyebutnya tetap.Contoh:
1 2 1+2
3
- = = = 1
3
3
3
3
1
2 3 1+2+3
6
3 = = = + +
4
4
4
4
4
2 Penjumlahan dengan penyebut tidak sama dilakukan dengan
mengubah ke bentuk pecahan lain yang senilai sehingga penyebutnya menjadi sama.
Contoh:
1
1
- 2
3 Jawab:
1
2
3
4
5 Bentuk yang senilai dengan adalah , , , , …
2
4
6
8
10
1
2
3
4
5 Bentuk yang senilai dengan adalah , , , , …
3
6
9
12
15
1
1 Pecahan yang senilai dengan dan yang berpenyebut sama
2
3
3
2
adalah dan
6
6
1
1
3 2 3+2
5
- = = =
2
3
6
6
6
6
1
1
5
- Jadi, =
2
3
6
4) Pengurangan pecahan Operasi hitung pengurangan dalam pecahan mempunyai aturan serupa dengan penjumlahan dalam pecahan. Aturan pengurangan pecahan yang berpenyebut sama yaitu dilakukan dengan mengurangkan pembilang-pembilangnya, sedangkan penyebutnya tidak dikurangkan. Contoh:
3
1
- 4
4 Jawab:
3 1 3−1
2
1 = = - =
4
4
4
4
2 Pengurangan dengan penyebut tidak sama dilakukan dengan
mengubah ke bentuk pecahan lain yang senilai sehingga penyebutnya menjadi sama. Contoh:
5
1
- 8
6 Jawab:
5
10
15
20
25 Bentuk senilai adalah , , , , …
8
16
24
32
40
- 1
- 4
- 1
16 bagian kue.
4
16 =
2+2
16 =
16
2
2
1
Menik makan
16 bagian kue.
2
Ema makan
1. Kue dibagi menjadi 16 potong, kemudian dimakan Ema 2 potong dan dimakan Menik 2 potong.
2. Berapa bagian kue yang masih tersisa? Penyelesaian:
16 =
4 Jadi, kue yang dimakan Ema dan Menik
5. Menyelesaikan masalah pecahan Operasi hitung penjumlahan dan pengurangan pecahan digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan bilangan pecahan. Berikut ini contoh masalah beserta penyelesaiannya: Ibu Ema membuat sebuah kue yang cukup besar. Kue tersebut dipotong-potong menjadi 16 bagian yang sama besar. Pulang sekolah Ema mengajak Menik ke rumahnya. Ema dan Menik masing-masing makan 2 potong kue.
4
3
4 Jadi, kue yang masih tersisa ada
3
4
=
4−1
4 =
4
1
4 =
1
Sisa kue =
4 bagian.
1
2. Kue yang dimakan Ema dan Menik
4 bagian.
1. Berapa bagian kue yang dimakan Ema dan Menik?
24
4 bagian.
30 , …
24
15
senilai
8
5
Pecahan
5
1
24 ,
4
18
,
3
12 ,
2
Bentuk senilai adalah
dan pecahan
6
11
15−4
6 =
8
5
24 Jadi,
11
24 =
24 =
senilai
24
15
6 =
8
5
24
4
- 2
- – 1
- – 1
B. Hasil Penelitian Relevan
Keberhasilan pembelajaran yang dicapai dengan menggunakan model pembelajaran kuantum ini telah dibuktikan oleh beberapa peneliti sebelumnya, diantaranya:
1. Ketut Susiani, dkk. (2013) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dasar Universitas Pendidikan Ganesha, dalam jurnal artikel yang berjudul Pengaruh Model Pembelajaran Quantum Terhadap Kecerdasan Sosio- Emosional dan Prestasi Belajar IPA Kelas V SD Banyuning. Pengujian hipotesis pertama melalui hasil analisis manova (test betweensubject prestasi belajar IPA (y) memberikan harga F sebesar 17,774 dengan signifikansi 0,000 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis pertama yang diajukan dalam penelitian ini dapat diterima, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan prestasi belajar IPA yang signifikan antara kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran model
quantum dengan kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional di kelas V SDN Banyuning.
2. Dewi Margadhyta, dkk. (2013) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Pendidikan Ganesha, dalam jurnal artikel yang berjudul Pengaruh Model Pembelajaran Quantum Teaching Terhadap Prestasi Belajar IPA Siswa Kelas IV Di SD Gugus VI Kecamatan Buleleng. Berdasarkan analisis data secara deskriptif diperoleh mean (M), median (Md), Modus (Mo), dan standar deviasi (s) untuk kedua kelompok. Pada kelas model pembelajaran quantum
teaching M = 20,9; Md = 20,86; Mo = 22,5; dan s = 4,49. Nilai Mo > Md
> M (kurva juling negatif) pada kelompok model pembelajaran quantum
teaching ini menunjukkan sebagian besar skor cenderung tinggi (lebih
banyak siswa berada pada kelompok atas pada kurva normal). Pada kelas model pembelajaran konvensional M = 17; Md = 16,5; Mo = 15,375 dan s = 4,39. Nilai Mo < Md < M pada kelas konvensional, ini menunjukkan sebagian besar skor cenderung rendah pada kurva normal. Berdasarkan hasil analisis secara deskriptif dapat disimpulkan bahwa rata-rata skor tinggi dibandingkan dengan kelas konvensional (20,9 > 17).
C. Kerangka Berpikir
Prestasi belajar yang diperoleh dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling mendukung, salah satunya adalah ketepatan mengorganisir siswa. Guru sebagai pengendali kelas dituntut untuk mencari model pembelajaran yang dapat membawa pengaruh besar dalam meningkatkan prestasi belajar siswa khususnya pada mata pelajaran matematika di kelas IV Sekolah Dasar, yaitu dengan menggunakan model pembelajaran kuantum.
Proses pembelajaran yang melibatkan siswa, diharapkan akan memberikan pemahaman konsep materi pelajaran. Siswa akan dituntut aktif dalam menumbuhkan interaksi dalam suatu pembelajaran yang ada disekitarnya sehingga mampu menanamkan suatu konsep. Hal ini dapat dirumuskan dengan skema gambar sebagai berikut :
Model Pembelajaran Kuantum Postes Pretes
Gambar 2.3 Skema Kerangka Berpikir D. HipotesisBerdasarkan deskripsi teori dan kerangka berfikir diatas dirumuskan hipotesis penelitian, sebagai berikut : pada mata pelajaran matematika materi pecahan di kelas IV Sekolah Dasar.
2. Terdapat pengaruh pembelajaran kuantum terhadap prestasi belajar siswa pada mata pelajaran matematika materi pecahan di kelas IV Sekolah Dasar.