BAB II LANDASAN TEORI 2.1.Pajak 2.1.1.Pengertian Pajak - PENGARUH PERENCANAAN PAJAK DAN BEBAN PAJAK TANGGUHAN TERHADAP MANAJEMEN LABA PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR SEKTOR INDUSTRI BARANG KONSUMSI YANG TERDAFTAR DI BEI TAHUN 2012-2015 - UMBY repository

BAB II LANDASAN TEORI

2.1.Pajak

2.1.1.Pengertian Pajak

  Perusahaan yang melakukan kegiatan usaha harus memenuhi kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku pada negara di mana perusahaan itu menjalankan kegiatan usaha. Di Indonesia menganut sistem self assessment dalam pemungutan perpajakan. Sistem self assessment merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Pajak memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membangun semua pengeluaran, termasuk pengeluaran pembangunan.

  Bagi negara, pajak adalah salah satu sumber penerimaan penting yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Sebaliknya, bagi perusahaan, pajak merupakan beban yang akan mengurangi laba bersih.

  Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 1983 beberapa kali diubah terakhir disebut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 selanjutnya dalam tulisan ini disebut dengan UU KUP yaitu sebagai berikut: Pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

  2.1.2.Fungsi Pajak Adapun fungsi pajak menurut Thomas Sumarsam (2013) yaitu: a.

  Pajak sebagai sumber dana atau penerima (budgetair), yaitu pajak sebagai penghimpun dana dari masyarakat ke dalam kas negara, yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran pemerintah.

  b.

  Pajak sebagai pengatur (regulerend), yaitu pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur struktur pendapatan di tengah masyarakat dan struktur kekayaan antara pelaku ekonomi.

  2.1.3.Sistem Pemungutan Pajak

  Sistem pemungutan pajak dapat dibedakan menjadi: a.

  Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang.

  b.

  Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.

  c.

  Withholding System adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.

2.1.4.Asas Pengenaan Pajak

  Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak adalah: a.

  Asas domisili atau asas kependudukan, berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk atau berdomisili di negara atau apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu.

  b.

  Asas sumber, berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber- sumber yang berada di negara ini.

  c.

  Asas kebangsaan atau asas nasionalitas (asas kewarganegaraan), landasan dalam pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan. a.

  Pajak langsung adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung wajib pajak yang bersangkutan, contohnya Pajak Penghasilan.

  b.

  Pajak tidak langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan ke pihak lain, contohnya Pajak Pertambahan Nilai.

  Pembagian pajak menurut sifatnya dimaksudkan pembedaan dan pembagiannya berdasarkan ciri-ciri prinsip: a.

  Pajak subjektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pajak subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan dari wajib pajak, contohnya Pajak Penghasilan.

  b.

  Pajak objektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak, contohnya PPN dan PPNBM. Pembagian pajak menurut pemungutan: a

  Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak Penghasilan, PPN dan PPNBM, PBB dan Bea Materai. b

  Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contohnya: pajak reklame, pajak hiburan dan lain-lain.

2.1.5.Perlawanan Terhadap Pajak

   Perlawanan terhadap pajak dapat dibedakan menjadi:

  a Perlawanan pasif, berupa hambatan yang mempersulit pemungutan pajak dan mempunyai hubungan erat dengan struktur ekonomi. b

  Perlawanan aktif adalah semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada pemerintah (fiskus) dengan tujuan untuk menghindari pajak. Ada 3 cara perlawanan aktif terhadap pajak, yaitu: 1)

  Penghindaran pajak (tax avoidance) Penghindaran pajak terjadi sebelum SKP keluar. Dalam penghindaran pajak ini, wajib pajak tidak secara jelas melanggar undang-undang sekalipun kadang-kadang dengan jelas menafsirkan undang-undang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pembuat undang-undang. Contoh: di Indonesia diberikan keringanan bagi investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia bagian Timur. Oleh karena itu, pengusaha yang baru membuka usaha, atau perusahaan yang akan membuka cabang baru. Mereka membuka cabang baru di tempat yang tarif pajaknya lebih rendah. 2)

  Pengelakan pajak (tax evation) Pelanggaran terhadap undang-undang dengan maksud melepaskan diri dari pajak/mengurangi dasar penetapan pajak dengan cara menyembunyikan sebagian dari penghasilannya. Contoh: konsultan bebas menyembunyikan sebagian pendapatannya, kecil kemungkinan diketahui oleh fiskus karena dia sendiri yang mencatat penghasilannya.

  3) Melalaikan pajak adalah tidak melakukan kewajiban perpajakan yang seharusnya dilakukan. Contoh: menolak membayar pajak yang telah ditetapkan dan menolak memenuhi formalitas-formalitas yang harus dipenuhi oleh wajib pajak. Pengusaha yang telah memotong pajak karyawannya, tetapi pajak tersebut tidak disetorkan dan dilaporkan ke kantor pajak.

2.2.Perencanaan Pajak (Tax Planning)

2.2.1.Pengertian Perencanaan Pajak

  Perencanaan pajak (tax planning) adalah langkah awal dalam melakukan manajemen pajak. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan agar dapat diseleksi jenis tindakan penghematan yang akan dilakukan. Hal ini dapat dilihat dari dua definisi perencanaan pajak di bawah ini: a.

  Tax planning is the systematic analysis of deferring tax options aimed at

  the minimization of tax liability in current and future tax periods (Crumbley D. Larry, Friedman Jack P., Anders Susan B., 1994).

  b.

  Tax planning is arrangements of a person’s business and/or private affairs in order to minimize tax liability (Lyons Susan M., 1996).

  Jika tujuan perencanaan pajak adalah merekayasa agar beban pajak (tax

  burden ) dapat ditekan serendah mungkin dengan memanfaatkan peraturan perencanaan pajak sama dengan tax avoidance karena secara hakikat ekonomis keduanya berusaha untuk memaksimalkan penghasilan setelah pajak karena pajak merupakan unsur pengurang laba yang tersedia, baik untuk dibagikan kepada pemegang saham maupun untuk diinvestasikan kembali.

2.2.2.Tahapan Perencanaan Pajak

  

Dalam arus globalisasi dan tingkat persaingan yang semakin tinggi,

  seorang manajer dalam membuat suatu perencanaan pajak sebagaimana strategi perencanaan perusahaan secara keseluruhan harus memperhitungkan adanya kegiatan yang bersifat lokal maupun internasional. Agar perencanaan pajak dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan, maka rencana itu seharusnya dilakukan melalui berbagai urutan tahap-tahap berikut ini: a.

  Menganalisis informasi yang ada, yakni dengan menganalisis komponen yang berbeda atas pajak yang terlibat dalam suatu proyek dan menghitung seakurat mungkin beban pajak yang harus ditanggung. Selain itu, juga harus memperhatikan faktor-faktor baik internal maupun eksternal yaitu berupa : 1)

  Fakta yang relevan Perencanaan pajak disesuaikan dengan situasi yang dihadapi, baik dari segi internal maupun eksternal dan selalu dimutakhirkan dengan perubahan-perubahan yang terjadi agar perencanaan pajak dapat dilakukan secara tepat dan menyeluruh terhadap situasi maupun transaksi-transaksi yang mempunyai dampak dalam perpajakan. diidentifikasikan apakah suatu produk yang akan dijual tergolong sebagai objek pengenaan pajak penjualan barang mewah atau tidak.

  2) Faktor pajak

  Dalam menganalisis setiap permasalahan yang dihadapi dalam penyusunan perencanaan pajak tidak terlepas dari dua hal utama yang berkaitan dengan faktor-faktor berikut ini:

a) Sistem perpajakan nasional yang dianut oleh suatu negara.

  b) Sikap fiskus dalam menafsirkan peraturan perpajakan, baik undang-undang domestik maupun kebijakan perpajakan (Barry

  Spitz, 1983). 3)

  Faktor nonpajak lainnya Beberapa faktor nonpajak yang relevan untuk diperhatikan dalam penyusunan suatu perencanaan pajak antara lain sebagai berikut: a)

  Masalah badan hukum Badan hukum perusahaan terdiri atas berbagai bentuk seperti perseroan terbatas, perseroan terbuka, trust, persekutuan, dan badan hukum lainnya. Pemilihan bentuk badan usaha yang diusulkan sering dibuat sebagai fungsi dari seluruh peraturan (baik untuk pajak maupun non pajak), dalam rangka administrasi pembentukan dari pembubaran badan hukum yang bersangkutan b)

  Masalah mata uang dan nilai tukar Nilai tukar mata uang yang berfluktuasi atau tidak stabil memberikan risiko usaha yang cukup tinggi yang berakibat pada posisi laba rugi, terutama apabila terdapat banyak transaksi baik ekspor/impor maupun pinjaman dalam bentuk mata uang asing c)

  Masalah pengawasan devisa Suatu negara menganut pembatasan/larangan untuk mengadakan pertukaran atau transfer dana dari transaksi internasional, ataupun adanya larangan untuk meminjam uang atau menarik uang dari luar tanpa seizin bank sentral atau Menteri Keuangan.

  d) Masalah program insentif investasi

  Negara memberikan pilihan bagi wajib pajak untuk melakukan investasi/pemekaran usaha pada suatu lokasi/negara tertentu e)

  Masalah faktor nonpajak lainnya Faktor nonpajak lainnya seperti hukum dan sistem administrasi yang berlaku, kestabilan ekonomi dan politik, tenaga kerja, pasar, ada atau tidaknya tenaga profesional, fasilitas perbankan, iklim usaha, bahasa, sistem akuntansi, dan sebagainya.

  b.

  Membuat satu model atau lebih rencana kemungkinan besarnya pajak.

  c.

  Mengevaluasi pelaksanaan rencana pajak, yakni untuk melihat sejauh mana hasil pelaksanaan suatu perencanaan pajak terhadap beban pajak, perbedaan laba kotor dan pengeluaran selain pajak atas berbagai alternatif perencanaan. d.

  Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana pajak, dengan demikian keputusan yang terbaik atas suatu perencanaan pajak harus sesuai dengan bentuk transaksi dan tujuan operasi.

  e.

  Memutakhirkan rencana pajak, karena meskipun suatu rencana pajak telah dilaksanakan dan proyek juga telah berjalan, tetap perlu diperhitungkan setiap perubahan yang terjadi baik dari undang-undang maupun pelaksanaannya yang dapat berdampak terhadap komponen suatu perjanjian.

2.2.3.Motivasi Perencanaan Pajak

  Motivasi yang mendasari dilakukannya suatu perencanaan pajak umumnya bersumber dari tiga unsur perpajakan, yaitu:

1. Kebijakan perpajakan (tax policy), yaitu alternatif dari berbagai sasaran yang hendak dituju dalam sistem perpajakan.

  2. Undang-undang perpajakan (tax law), yaitu kenyataan yang menunjukkan bahwa di manapun tidak ada undang-undang yang mengatur setiap permasalahan secara sempurna. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya selalu diikuti oleh ketentuan-ketentuan yang lain. Tidak jarang pula ketentuan pelaksanaan tersebut bertentangan dengan undang-undang itu sendiri karena disesuaikan dengan kepentingan pembuat kebijakan dalam mencapai tujuan lain yang ingin dicapai. Akibatnya terbuka celah bagi wajib pajak untuk menganalisis kesempatan tersebut dengan cermat untuk perencanaan pajak yang baik.

  3. Administrasi perpajakan (tax administration), yaitu tujuannya agar terhindar dari sanksi administrasi maupun pidana karena adanya perbedaan penafsiran antara aparat fiskus dengan wajib pajak akibat luasnya peraturan perpajakan yang berlaku dan sistem informasi yang masih belum efektif. Secara umum motivasi dilakukannya perencanaan pajak adalah untuk memaksimalkan laba setelah pajak karena pajak ikut mempengaruhi pengambilan keputusan atau suatu tindakan dalam operasi perusahaan untuk melakukan investasi melalui analisis yang cermat dan pemanfaatan peluang atau kesempatan yang ada dalam ketentuan peraturan yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk memberikan perlakuan yang berbeda atas objek yang secara ekonomi hakikatnya sama dengan memanfaatkan: a) Perbedaan tarif pajak.

  b) Perbedaan perlakuan atas objek pajak sebagai dasar pengenaan pajak.

  c) Loopholes, shelters, dan havens.

2.3.Pajak Tangguhan

2.3.1.Akuntansi Pajak Penghasilan (PSAK NO. 46)

  PSAK No. 46 merupakan standar yang mengatur perlakuan akuntansi pajak penghasilan dengan menerapkan pendekatan neraca. Pendekatan neraca mengakui adanya kewajiban dan aktiva pajak tangguhan terhadap konsekuensi fiskal masa depan sebagai akibat adanya perbedaan waktu dan

  Apabila perusahaan belum menerapkan PSAK No. 46 sehingga perubahan penerapan kebijakan yang baru menyebabkan laporan keuangan harus disajikan kembali. Dari hasil penyajian kembali tersebut diketahui bahwa penerapan PSAK No. 46 mengakibatkan munculnya akun baru yaitu aktiva pajak tangguhan yang menambah jumlah aktiva perusahaan sebagai akibat dari adanya manfaat pajak tangguhan yang mengurangi beban pajak perusahaan. Adanya manfaat pajak tangguhan mengakibatkan bertambahnya laba perusahaan sehingga meningkatkan ekuitas perusahaan.

2.3.2.Beban Pajak Tangguhan (deferred tax expense)

  Beban pajak tangguhan timbul akibat perbedaan temporer antara laba akuntansi (laba dalam laporan keuangan menurut SAK untuk kepentingan pihak eksternal) dengan laba fiskal (laba menurut aturan perpajakan Indonesia yang digunakan sebagai dasar penghitungan pajak). Perbedaan antara laporan keuangan akuntansi dan fiskal disebabkan dalam penyusunan laporan keuangan, standar akuntansi lebih memberikan keleluasaan bagi manajemen dalam menentukan prinsip dan asumsi akuntansi dibandingkan yang diperbolehkan menurut peraturan pajak.

  Suandy (2016) mengungkapkan bahwa “apabila pada masa mendatang akan terjadi pembayaran yang lebih besar, maka berdasarkan SAK harus diakui sebagai suatu kewajiban

  ”. Sebagai contoh apabila beban penyusutan tetap yang diakui secara komersial sebagai akibat adanya perbedaan metode penyusutan aktiva tetap, maka selisih tersebut akan mengakibatkan pengakuan beban pajak yang lebih besar secara komersial pada masa yang akan datang. Dengan demikian selisih tersebut akan menghasilkan kewajiban pajak tangguhan.

  “Apabila pembayaran pajak lebih kecil pada masa yang akan datang maka berdasarkan SAK dianggap sebagai suatu aset”. Contohnya, rugi fiskal yang masih dapat dikompensasi berdasarkan peraturan perpajakan atau kemungkinan adanya manfaat ekonomi pada masa yang akan datang yang akan mengurangi beban pajak, maka dapat diakui sebagai suatu aset pajak tangguhan.

2.4.Laba

  Laba (keuntungan) merupakan salah satu tujuan utama perusahaan dalam menjalankan aktivitasnya. Laba yang diperoleh perusahaan akan digunakan untuk berbagai kepentingan, laba akan digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan perusahaan tersebut atas jasa yang diperolehnya. Adapun pengertian laba menurut para ahli yaitu yang pertama, menurut M. Nafarin (2007: 788) dalam Herdawati (2015)

  “Laba (income) adalah perbedaan antara pendapatan dengan keseimbangan biaya-biaya dan pengeluaran untuk periode tertentu”. Adapun menurut Halim & Supomo (2005:139) dalam Herdawati (2015)

  “laba merupakan pusat pertanggungjawaban yang masukan dan keluarannya diukur dengan menghitung selisih antara pendapatan dan biaya”. Selanjutnya menurut committee produksi, biaya lain dan kerugian dari penghasilan atau penghasilan operasi.”Sedangkan, menurut Kuswadi (2005:135) dalam Herdawati (2015), menyatakan bahwa “perhitungan laba diperoleh dari pendapatan dikurangi semua biaya”. Berdasarkan uraian diatas tentang pengertian laba, maka dapat disimpulkan bahwa laba adalah keseluruh total pendapatan yang dikurangi dengan total biaya-biaya. Analisis laba merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting bagi manajemen guna mengambil keputusan untuk masa sekarang dan masa yang akan datang. Artinya analisis laba akan memberi manfaat dan akan banyak membantu manajemen dalam melakukan tindakan apa yang akan diambil ke depan dengan kondisi yang terjadi sekarang atau untuk mengevaluasi apa penyebab turun atau naiknya laba tersebut sehingga target tidak tercapai. Dengan demikian, analisis laba memberikan manfaat yang cukup banyak bagi pihak manajemen. Adapun menurut Kasmir (2011:303) dalam Herdawati (2015) menyatakan bahwa ada dua jenis laba yakni : a.

  Laba Kotor (Gross Profit) artinya laba yang diperoleh sebelum dikurangi biaya-biaya yang menjadi beban perusahaan. Artinya laba keseluruhan yang pertama sekali perusahaan peroleh.

  b.

  Laba bersih (Net Profit) merupakan laba yang telah dikurangi biaya-biaya yang merupakan beban perusahaan dalam suatu periode tertentu termasuk pajak.

2.5.Manajemen Laba (Earning Management)

  Menurut Sulistyanto (2014), beberapa definisi-definisi manajemen laba yang menggunakan terminologi berbeda namun secara garis besar definisi- definisi mempunyai pengertian serupa adalah sebagai berikut: 1.

  Davidson, Stickney, dan Weil (1987) Manajemen laba merupakan proses untuk mengambil langkah tertentu yang disengaja dalam batas-batas prinsip akuntansi berterima umum untuk menghasilkan tingkat yang diinginkan dari laba yang dilaporkan.

  2. Schipper (1989) Manajemen laba adalah campur tangan dalam proses penyusunan pelaporan keuangan eksternal, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi (pihak yang tidak setuju mengatakan bahwa hal ini hanyalah upaya untuk memfasilitasi operasi yang tidak memihak dari sebuah proses).

  3. National Association of Certified Fraud Examiners (1993) Manajemen laba adalah kesalahan atau kelalaian yang disengaja dalam membuat laporan mengenai fakta material atau data akuntansi sehingga menyesatkan ketika semua informasi itu dipakai untuk membuat pertimbangan yang akhirnya akan menyebabkan orang yang membacanya akan mengganti atau mengubah pendapat atau keputusannya.

  4. Fisher dan Rosenzweig (1995) Manajemen laba adalah tindakan-tindakan manajer untuk menaikkan (menurunkan) laba periode berjalan dari sebuah perusahaan yang dikelolanya tanpa menyebabkan kenaikan (penurunan) keuntungan ekonomi perusahaan jangka panjang.

  5. Lewitt (1998) Manajemen laba adalah fleksibilitas akuntansi untuk menyetarafkan diri dengan inovasi bisnis. Penyalahgunaan laba ketika public memanfaatkan hasilnya. Penipuan mengaburkan volatilitas keuangan sesungguhnya. Itu semua untuk menutupi konsekuensi dari keputusan- keputusan manajer.

  6. Healy dan Wahlen (1999) Manajemen laba muncul ketika manajer menggunakan keputusan tertentu dalam pelaporan keuangan dan mengubah transaksi untuk mengubah laporan keuangan untuk menyesatkan stakeholder yang ingin mengetahui kinerja ekonomi yang diperoleh perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil kontrak yang menggunakan angka-angka akuntansi yang dilaporkan itu.

  Menurut Ahmed dan Belkaoui (2000) dalam Handayani dan Rachadi (2009) dalam Margaretha (2016) menyatakan bahwa informasi laba penting bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan alasan, yaitu:

  1. Laba menjadi dasar bagi perusahaan dalam menentukan kebijakan deviden.

  2. Laba merupakan dasar dalam memperhitungkan kewajiban perpajakan perusahaan.

  3. Laba dipandang sebagai petunjuk dalam menentukan arah investasi dan pembuat keputusan ekonomi.

  4. Laba diyakini sebagai sarana prediksi yang membantu dalam memprediksi laba dan kejadian ekonomi di masa mendatang.

  5. Laba dijadikan pedoman dalam mengukur kinerja manajemen.

2.5.2.Teori Manajemen Laba a.

  Teori Keagenan (Agency Theory) Konsep manajemen laba dapat dimulai dari pendekatan teori agensi (agency theory). Jensen dan Meckling (1976) dalam Herdawati (2015) menyatakan bahwa hubungan keagenan merupakan sebuah kontrak antara manajemen (agent) dengan investor (principal). Pandangan agency theory yakni adanya pemisahan antara pihak principal dan agent yang menyebabkan munculnya potensi konflik yang dapat mempengaruhi kualitas laba yang dilaporkan. Maksud dengan principal dalam teori keagenan ini, yakni pemegang saham atau pemilik yang menyediakan fasilitas dan dana untuk kebutuhan operasi perusahaan sedangkan agent adalah manajemen yang memiliki kewajiban mengelola perusahaan sebagaimana yang telah diamanahkan principal kepadanya.

  Teori keagenan memiliki asumsi bahwa masing-masing individu semata-mata termotivasi oleh kesejahteraan dan kepentingan dirinya sendiri. Pihak principal termotivasi mengadakan kontrak untuk menyejahterakan dirinya melalui pembagian dividen atau kenaikan harga meningkatkan kesejahteraannya melalui peningkatan kompensasi. Konflik kepentingan semakin meningkat ketika principal tidak memiliki informasi yang cukup tentang kinerja agent karena ketidakmampuan

  principal memonitor aktivitas agent dalam perusahaan. Ditambah lagi agent mempunyai lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri,

  lingkungan kerja, dan perusahaan secara keseluruhan. Hal inilah yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh

  principal dan agent dan dikenal dengan istilah asimetri informasi.

  Asimetri informasi dan konflik kepentingan yang terjadi antara principal dan agent mendorong pihak agent untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui oleh principal dan menyajikan informasi yang tidak sebenarnya kepada principal, terutama informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja agent. Konflik kepentingan yang terjadi antara manajer dengan pemegang saham akan mengakibatkan biaya keagenan (agency cost). Biaya keagenan dapat diminimalkan dengan suatu mekanisme pengawasan yang dapat mensejajarkan kepentingan yang terkait tersebut. Pemegang saham akan berusaha menjaga agar pihak manajemen tidak terlalu banyak memegang kas karena kas yang banyak akan merangsang pihak manajemen untuk menikmati kas tersebut bagi kepentingan dirinya sendiri.

  b.

  Teori Akuntansi Positif (Positive Accounting Theory) Teori akuntansi positif merupakan teori yang mencoba untuk membuat prediksi yang bagus dari kejadian dunia nyata. Teori akuntansi positif berkaitan dengan memprediksi tindakan seperti pilihan kebijakan akuntansi oleh manajer perusahaan dan bagaimana respon manajer tersebut terhadap standar akuntansi baru yang diusulkan (Scott, 2003) dalam Herdawati (2015). Menurut Watts dan Zimmerman (1990) dalam Herdawati (2015), Teori akuntansi positif yaitu berusaha untuk menjelaskan fenomena akuntansi yang diamati berdasarkan pada alasan- alasan yang menyebabkan terjadinya suatu peristiwa. Maksudnya, teori akuntansi positif dimaksudkan untuk menjelaskan dan memprediksi konsekuensi yang terjadi jika manajer menentukan pilihan tertentu. Penjelasan dan prediksi dalam teori akuntansi positif didasarkan pada proses kontrak atau hubungan keagenan antara manajer dengan kelompok lain seperti investor, kreditor, auditor, pihak pengelola pasar modal dan institusi pemerintah. Selain itu, Watt dan Zimmerman (1986) dalam Herdawati (2015) juga mengaitkan positive accounting theory dengan fenomena perilaku oportunistik manajer dengan membentuk tiga hipotesis yang melatarbelakangi perilaku oportunistik manajer tersebut, yaitu: 1)

  Bonus Plan Hypothesis, menyatakan bahwa rencana bonus atau kempensasi manajerial akan cenderung memilih dan menggunakan metode-metode akuntansi yang akan membuat laba yang dilaporkan menjadi lebih tinggi.

  2) Debt (Equity) Hypothesis, menyatakan bahwa perusahaan yang mempunyai rasio antara utang dan ekuitas lebih besar, cenderung memilih dan menggunakan metode-metode akuntansi dengan laporan laba yang lebih tinggi serta cenderung melanggar perjanjian utang apabila ada manfaat dan keuntungan tertentu yang dapat diperolehnya.

  3) Political Cost Hypothesis, menyatakan bahwa perusahaan cenderung memilih dan menggunakan metode-metode akuntansi yang dapat memperkecil atau memperbesar laba yang dilaporkannya. Konsep ini membahas bahwa manajer perusahaan cenderung melanggar regulasi pemerintah, seperti undang-undang perpajakan, apabila ada manfaat dan keuntungan tertentu yang dapat diperolehnya , manajer akan mempermainkan laba agar kewajiban pembayaran tidak terlalu tinggi sehingga alokasi laba sesuai dengan kemauan perusahaan.

2.5.3.Motivasi Manajemen Laba

  Terdapat beberapa motivasi yang mendorong manajer untuk melakukan manajemen laba yang dikemukakan oleh Scott (2000) dalam Herdawati (2015), yaitu :

  a) Bonus purposes, yakni manajer yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak secara oportunistic untuk melakukan manajemen laba dengan memaksimalkan laba saat ini.

  b) Kontrak utang jangka panjang, yakni semakin dekat perusahaan dengan perjanjian kredit, maka manajer akan cenderung memilih prosedur yang dapat memindahkan laba periode mendatang ke periode berjalan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami kegagalan dalam pelunasan hutang. c) Political motivations, yakni manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada perusahaan publik. Jadi perusahaan cenderung mengurangi laba yang dilaporkan karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat.

  d) Taxation motivations, yakni saat ini motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan dengan tujuan penghematan pajak pendapatan.

  e) Pergantian CEO, yakni CEO yang mendekati masa pensiun akan cenderung menaikkan pendapatan untuk meningkatkan bonus mereka.

  Apabila kinerja perusahaan buruk, mereka akan memaksimalkan pendapatan agar tidak diberhentikan.

  f) Initital Public Offering (IPO), yakni perusahaan yang akan go public belum memiliki nilai pasar, sehingga mendorong manajer perusahaan yang akan go public melakukan manajemen laba dalam prospectus mereka dengan harapan dapat menaikkan harga saham perusahaan.

  g) Pentingnya memberi informasi kepada investor, yakni informasi mengenai kinerja perusahaan harus disampaikan kepada investor sehingga pelaporan laba perlu disajikan agar investor tetap menilai bahwa perusahaan tersebut dalam kinerja yang baik.

2.5.4.Bentuk-bentuk Manajemen Laba

  Dalam melakukan manajemen laba, Pemilihan metode akuntansi harus dilakukan dengan penuh kecermatan oleh manajer agar tidak diketahui oleh pemakai laporan keuangan. Oleh karena itu manajer harus memiliki strategi agar manajemen laba yang dilakukan tidak diketahui pihak luar. Adapun bentuk-bentuk manajemen laba yang dikemukakan oleh Scott (2003) dalam Herdawati (2015), yaitu:

  a) Taking a bath, yakni dilakukan manajer dengan cara menggeser biaya akrual discretionary periode mendatang ke periode kini atau menggeser pendapatan akrual discretionary periode kini ke periode mendatang. Hal ini dilakukan manajer untuk memaksimumkan kompensasi atau bonus yang akan diterimanya pada tahun berikutnya karena menghadapi kenyataan bahwa bonus tahun ini tidak dapat diterima.

  b) Income minimization (minimisasi laba), yakni dimaksudkan untuk keperluan pertimbangan pajak dengan meminimumkan kewajiban pajak perusahaan.

  c) Income maximization (maksimisasi laba), yakni dimaksudkan untuk memaksimumkan bonus manajer, menciptakan kinerja perusahaan yang baik sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan (pertimbangan pasar modal), menunda pelanggaran perjanjian utang, dan manajer dapat memperoleh kendali atas perusahaan.

  d) Income smoothing (perataan laba), yakni tindakan dimana manajemen memperhalus fluktuasi laba dari periode ke periode dengan cara memindahkan laba dari periode yang memiliki laba tinggi ke periode yang memiliki laba rendah.

2.5.5.Peluang Manajemen Laba

  Dalam proses pelaporan yang dilakukan oleh manajemen, terdapat berbagai motivasi yang mendorong manajemen melakukan manajemen laba dan terdapat peluang dari kondisi dan keadaan yang timbul saat manajemen melakukan penyusunan laporan. Peluang dari kondisi dan keadaan yang timbul, yaitu (Setiowati, 2007) dalam (Ferry, 2013):

  a) Kelemahan yang inheren dalam akuntansi itu sendiri. Fleksibilitas dalam menghitung angka laba disebabkan oleh:

  1) Metode akuntansi memberikan peluang bagi manajemen untuk mencatat suatu fakta tertentu dengan cara yang berbeda.

  2) Metode akuntansi memberikan peluang bagi manajemen untuk melibatkan subyektivitas dalam menyusun estimasi.

  b) Informasi asimetri antara manajer dengan pihak luar manajemen relatif lebih tinggi. Mustahil bagi pihak luar (termasuk investor) untuk dapat mengawasi semua perilaku dan semua keputusan manajer secara detail.

2.5.6.Teknik Manajemen Laba

  Semakin banyak manajer mendapatkan pengetahuan atau pelatihan tentang akuntansi, maka semakin mudah pula bagi manajemen tersebut untuk melakukan praktik akuntansi yang dapat digunakan untuk melakukan manajemen laba. Adapun teknik-teknik umum yang digunakan dalam manajemen laba (Stice, 2006) dalam Herdawati (2015), yakni :

  a) Penentuan waktu transaksi yang tepat, yaitu dilakukan dengan mengatur transaksi dilakukan pada periode yang tepat atau paling menguntungkan. Pada teknik ini, ketika terjadi kerugian yang besar atas suatu transaksi, maka dengan sengaja manajer akan mempercepat transaksi lainnya yang dapat memberikan keuntungan untuk menutup kerugian atas transaksi sebelumnya pada periode yang sama. Sebaliknya, apabila terdapat keuntungan yang besar atas suatu transaksi, maka dengan sengaja manajer akan mempercepat transaksi yang berpotensi merugikan.

  b) Perubahan dalam metode atau estimasi akuntansi, yaitu dilakukan dengan memanfaatkan fleksibilitas standar akuntansi yang tidak secara tegas menyatakan metode atau estimasi yang harus diterapkan ataupun tidak boleh diterapkan. Adapun perubahan metode akuntansi yang dapat meningkatkan laba seperti, penilaian biaya persediaan dari LIFO ke FIFO pada periode inflasi. Menurunkan laba dapat dilakukan dengan mengubah metode penyusutan dari garis lurus ke saldo menurun ganda. Selain itu, perubahan estimasi akuntansi juga mengakibatkan naik turunnya laba. Contohnya untuk meningkatkan laba, dilakukan perpanjangan umur ekonomi aktiva tetap atau merendahkan persentase jumlah piutang yang tidak dapat ditagih, sehingga jumlah yang dibebankan lebih rendah.

  c) Akuntansi tidak sesuai standar, yaitu teknik manajemen laba dengan melakukan penyimpangan secara sengaja terhadap standar akuntansi.

  Teknik ini dapat dikategorikan sebagai kecurangan dalam pelaporan keuangan. Contohnya melakukan kapitalisasi terhadap beban operasional perusahaan sehingga laba menjadi lebih besar.

  d) Transaksi fiktif, yaitu teknik manajemen laba yang memanipulasi informasi dengan mengakui transaksi yang sebenarnya tidak terjadi ataupun tidak mengakui transaksi yang telah terjadi. Hal ini juga dapat dikategorikan sebagai kecurangan, misalnya mengakui penjualan fiktif atau menyembunyikan barang dagangan yang diretur untuk menghindari pengurangan penjualan.

2.5.7.Faktor-faktor Manajemen Laba

  a) Ukuran Perusahaan Brigham dan Houston (2006:117) dalam Siti (2016) menyatakan bahwa ukuran perusahaan adalah perusahaan dengan rata-rata total penjualan bersih untuk tahun yang bersangkutan sampai beberapa tahun. Perusahaan yang berada pada pertumbuhan penjualan yang tinggi membutuhkan dukungan sumber daya perusahaan yang tingkat pertumbuhan penjualan rendah kebutuhan terhadap sumber daya perusahaan juga. Apabila perusahaan dihadapkan pada kebutuhan dana yang semakin meningkat akibat pertumbuhan penjualan, dan sumber intern sudah digunakan semua, maka tidak ada pilihan lain bagi perusahaan untuk menggunakan dana yang berasal dari luar perusahaan. Hal ini akan berpengaruh terhadap manajemen laba.

  Pihak manajer akan cenderung melakukan manajemen laba dengan pola berasal dari luar perusahaan, baik dengan tujuan untuk memperoleh pinjaman atau menarik investor baru.

  b) Kepemilikan Manajerial

  Shleifer dan Vishny (1997) dalam Dewa dan Made (2016), menyatakan bahwa kepemilikan saham yang besar dari segi nilai ekonomisnya memiliki insentif untuk memonitor. Secara teoritis ketika kepemilikan manajemen rendah, maka insentif terhadap kemungkinan terjadinya perilaku oportunistik manajer akan meningkat. Kepemilikan manajemen terhadap saham perusahaan dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan antara pemegang saham luar dengan manajemen (Jansen dan Meckling, 1976) dalam Dewa dan Made (2016). Sehingga permasalahan keagenen diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer adalah juga sekaligus sebagai seorang pemilik.

  c) Perencanaan Pajak

  Pada teori akuntansi positif dalam hipotesis ketiga yaitu The Political Cost Hypothesis (Scott, 2003) dalam Ratna dan Titik (2016), menjelaskan bahwa perusahaan yang berhadapan dengan biaya politik, cenderung melakukan rekayasa penurunan laba dengan tujuan meminimalkan biaya politik yang harus mereka tanggung, misal: melakukan pergeseran pajak, dengan mentransfer beban pajak dari subjek pajak kepada pihak lain, dengan demikian orang atau badan yang dikenakan pajak mungkin sekali tidak menanggungnya, sama dengan jumlah pajak yang akan dibayarkan kemudian oleh pembeli. Merekayasa usaha dan transaksi wajib pajak supaya kewajiban perpajakan berada dalam jumlah yang minimal tetapi masih dalam bingkai peraturan perpajakan. Hal tersebut merupakan tindakan manajemen dalam meminimalisasi laba.

  d) Beban Pajak Tangguhan

  Beban pajak tangguhan timbul akibat perbedaan temporer antara laba akuntansi (laba dalam laporan keuangan menurut SAK untuk kepentingan pihak eksternal) dengan laba fiskal (laba menurut aturan perpajakan Indonesia yang digunakan sebagai dasar penghitungan pajak). Hal tersebut merupakan tindakan manajemen dalam melakukan motivasi penghematan pajak.

  e) Aset Pajak Tangguhan

  Menurut Waluyo (2014) dalam Inasa (2015) menyatakan bahwa aset pajak tangguhan (deferred tax asset) adalah jumlah pajak penghasilan yang terpulihkan (recovered) pada periode mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dan sisa kerugian yang dapat dikompensasi. Hal tersebut merupakan tindakan manajemen dalam melakukan motivasi penghematan pajak.

2.5.8.Pengukuran Manajemen Laba

  Menurut Sulistyanto (2014), manajemen laba biasanya diteliti dengan cara pembentukan hipotesa oleh peneliti kemudian manajemen laba penggunaan metode yang tepat. Secara umum ada tiga pendekatan untuk mendeteksi manajemen laba yakni: a)

  Model berbasis aggregate accrual merupakan model yang menggunakan

  discretionary accruals sebagai proksi manajemen laba. Model ini

  dikembangkan oleh Healy (1985), DeAngelo (1986), Jones (1991), serta Dechow, Sloan dan Sweeney (1995).

  b) Model berbasis specific accruals, yaitu pendekatan yang menghitung akrual sebagai proksi manajemen laba dengan menggunakan item laporan keuangan tertentu dari industri tertentu pula. Model ini dikembangkan oleh McNichols dan Wilson, Petroni, Beaver dan Engel, Beneish, serta Beaver dan McNichols.

  c) Model berbasis distribution of earnings, yaitu pendekatan dengan melakukan pengujian secara statistik terhadap komponen-komponen laba untuk mendeteksi faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan laba.

  Model ini dikembangkan oleh Burgtahler dan Dichev, Degeorge, Patel, dan Zeckhauser, serta Myers dan Skinner. Pendekatan distribusi laba mengidentifikasikan batas pelaporan laba (earnings thresholds) dan menemukan bahwa perusahaan yang berada di bawah earnings thresholds akan berusaha untuk melewati batas tersebut dengan melakukan manajemen laba. Philips et al. ( 2003) dalam Ferry Aditama (2013) menyatakan bahwa para manajer melakukan manajemen laba dengan pendekatan distribusi laba dikarenakan manajer sadar bahwa pihak pelaporan laba dalam menilai kinerja manajer. Philips et al. (2003) dalam Ferry Aditama (2013) menyatakan bahwa terdapat dua macam earnings

  thresholds , yaitu:

  1) Titik pelaporan laba nol, yang menunjukkan usaha manajemen laba untuk menghindari pelaporan kerugian. Philips et al. (2003) dalam

  Ferry Aditama (2013) menggunakan pendekatan ini dengan membandingkan antara tahun perusahaan yang memiliki tingkat laba berskala nol atau positif dengan sampel tahun perusahaan yang memiliki laba negatif. Hasil penelitian Philips et al. (2003) dalam Ferry Aditama (2013) menyatakan bahwa peningkatan dalam beban pajak tangguhan dan perencanaan pajak meningkatkan peluang pengelolaan laba untuk menghindari pelaporan kerugian. 2)

  Titik perubahan laba nol, yang menunjukkan usaha manajemen laba untuk menghindari penurunan laba. Philips et al. (2003) dalam Ferry Aditama (2013) menggunakan titik perubahan nol untuk mengetahui indikasi praktik manajemen laba. Adanya upaya praktik manajemen laba dilakukan dengan membandingkan perusahaan yang perubahan labanya negatif. Philips et al. (2003) dalam Ferry Aditama (2013) menunjukkan bahwa peningkatan beban pajak tangguhan dan perencanaan pajak meningkatkan peluang pengelolaan laba untuk menghindari penurunan laba, yang mendukung bahwa beban pajak tangguhan berguna dalam memprediksi manajemen laba. Akan tetapi dari ketiga model diatas hanya model berbasis aggregate

  

accrual yang dinilai sebagai model yang memberikan hasil paling kuat dalam

  mendeteksi manajemen laba. Alasannya karena model empiris ini sejalan dengan akuntansi berbasis akrual yang digunakan oleh dunia usaha dan model empiris ini menggunakan semua komponen laporan keuangan dalam mendeteksi rekayasa keuangan. Adapun beberapa model empiris berbasis

  aggregate accrual untuk mendeteksi manajemen laba yakni :

  1) Model Healy (1985), yaitu mendeteksi manajemen laba dengan menghitung nilai total akrual dengan cara mengurangi laba akuntansi yang diperoleh selama satu periode tertentu dengan arus kas operasi periode yang bersangkutan. Perhitungan nondiscretionary accruals model Healy dengan membagi rata-rata total akrual dengan total aktiva periode sebelumnya. Ada kelemahan mendasar dalam model Healy yang diindikasikan oleh Dechow et al. (1995) yaitu bahwa total akrual yang digunakan sebagai proksi manajemen laba mengandung

  nondiscretionary accruals . Padahal nondiscretionary accruals

  merupakan komponen total akrual yang tidak bisa dikelola atau diatur oleh manajer seperti halnya komponen discretionary accruals.

  2) Model DeAngelo (1986), yaitu mengukur manajemen laba dengan

  nondiscretionary accrual dengan cara menghitung total akrual sebagai

  selisih antara laba akuntansi yang diperoleh suatu perusahaan selama satu periode dengan arus kas atau dihitung dengan menggunakan total sebelumnya. Seandainya nondisdretionary accrual selalu konstan setiap saat dan discretionary accruals mempunyai rata-rata sama dengan nol selama periode estimasi, maka kedua model ini akan mengukur discretionary accrual tanpa kesalahan. Akan tetapi, apabila

  nondiscretionary accrual berubah dari periode ke periode, maka kedua model ini akan mengukur discretionary accrual dengan kesalahan.

  3) Model Jones (1991), yaitu dalam model ini tidak lagi menggunakan asumsi bahwa nondiscretionary accrual adalah konstan. Namun, model ini menggunakan dua asumsi sebagai dasar pengembangan yaitu akrual periode berjalan (current accruals) dan gross property, plant,

  and equipment. Secara implisit model Jones mengasumsikan bahwa

  pendapatan merupakan nondiscretionary. Apabila laba dikelola dengan menggunakan pendapatan discretionary accrual, maka model ini akan menghapus bagian laba yang dikelola untuk proksi discretionary accrual .

  4) Model Jones Dimodifikasi (Dechow, Sloan dan Sweeney,1995), yaitu modifikasi dari model Jones yang didesain untuk mengeliminasi kecenderungan untuk menggunakan perkiraan yang bisa salah dari model Jones untuk menentukan discretionary accruals ketika melebihi pendapatan. Sama halnya dengan model

  discretion

  manajemen laba berbasis aggregate accrual yang lain, model ini menggunakan discretionary accrual sebagai proksi manajemen laba.

  Kelebihannya, model ini memecah total akrual menjadi empat komponen utama akrual, yaitu discretionary current accrual,

  discretionary long term accrual, dan nondiscretionary long term accruals . Discretionary current accrual dan nondiscretionary current accrual merupakan akrual yang berasal dari aktiva lancar. Sedangkan discretionary long term accrual dan nondiscretionary long term accruals merupakan akrual dari aktiva tidak lancar.

2.6.Tinjauan Pustaka/Tinjauan Penelitian Sebelumnya

  Berikut beberapa peneliti terdahulu yang pernah melakukan penelitian dengan topik yang sama dengan penelitian ini, antara lain: 1. : Ferry Aditama (2013)

  Nama Peneliti Judul Penelitian : Pengaruh perencanaan pajak terhadap manajemen laba pada perusahaan nonmanufaktur yang terdaftar di BEI. Tahun Penelitian : 2009-2012 Variabel Penelitian : a. Variabel Independen:

   Perencanaan pajak (X)

  b. Variabel Dependen:  Manajemen Laba (Y) Hasil Penelitian : Analisis data menunjukkan bahwa perencanaan pajak tidak berpengaruh positif terhadap manajemen laba. Sedangkan, hasil pada analisis deskriptif menunjukkan bahwa 77 perusahaan yang menjadi sampel dalam penelitian melakukan perencanaan pajak dengan cara menghindari penurunan laba. 2. : Inasa Singkianti (2015)

  Nama Peneliti Judul Penelitian : Pengaruh aset pajak tangguhan, beban pajak tangguhan dan perencanaan pajak terhadap manajemen laba (studi empiris pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia). Tahun Penelitian : 2011-2014 Variabel Penelitian : a. Variabel Independen:

  1 )

   Aset pajak tangguhan (X

  2 )

   Beban pajak tangguhan (X

  3 )

   Perencanaan pajak (X

Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGARUH BEBAN PAJAK KINI DAN PAJAK TANGGUHAN TERHADAP LABA BERSIH PADA PERUSAHAAN AGRIBISNIS YANG TERDAFTAR DI BEI PERIODE TAHUN 2012-2014

0 0 18

PENGARUH BEBAN PAJAK TANGGUHAN TERHADAP MANAJEMEN LABA PADA PERUSAHAAN LQ 45

1 0 84

KEMAMPUAN BEBAN PAJAK TANGGUHAN DALAM MEMPREDIKSI MANAJEMEN LABA PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BEI - Perbanas Institutional Repository

0 0 18

KEMAMPUAN BEBAN PAJAK TANGGUHAN DALAM MEMPREDIKSI MANAJEMEN LABA PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BEI - Perbanas Institutional Repository

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN - KEMAMPUAN BEBAN PAJAK TANGGUHAN DALAM MEMPREDIKSI MANAJEMEN LABA PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BEI - Perbanas Institutional Repository

0 0 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - KEMAMPUAN BEBAN PAJAK TANGGUHAN DALAM MEMPREDIKSI MANAJEMEN LABA PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BEI - Perbanas Institutional Repository

0 0 20

PENGARUH PERENCANAAN PAJAK DAN BEBAN PAJAK TANGGUHAN TERHADAP MANAJEMEN LABA PADA PT LIONMESH PRIMA, Tbk YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA PERIODE 2004-2016

0 0 14

PENGARUH BEBAN PAJAK TANGGUHAN DAN PERENCANAAN PAJAK TERHADAP MANAJEMEN LABA PADA INDUSTRI PERTAMBANGAN YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA

0 0 15

PENGARUH PERENCANAAN PAJAK, BEBAN PAJAK TANGGUHAN DAN BEBAN PAJAK KINI TERHADAP MANAJEMEN LABA PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR SUB SEKTOR OTOMOTIF DAN KOMPONEN YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA PERIODE 2013-2017 Skripsi

0 0 21

PENGARUH RASIO KEUANGAN TERHADAP PERTUMBUHAN LABA PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR SEKTOR INDUSTRI BARANG KONSUMSI YANG TERDAFTAR DI BEI SKRIPSI

0 1 113