BAB I PENDAHULUAN - PENGARUH IMLPLEMENTASI KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH DAN KOMPETENSI PEJABAT STRUKTURAL TERHADAP EFEKTIVITAS ORGANISASI DINAS KABUPATEN SUMEDANG - repo unpas

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

  Pemerintah daerah otonomi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah berdasarkan asas desentralisasi. Menurut Undang-Undang yang berlaku, Pemerintah Daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain merupakan Badan Eksekutif Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan Badan Legislatif Daerah.

  Pelaksanaan otonomi daerah yang berasaskan desentralisasi pada hakekatnya merupakan pelimpahan tugas pemerintah yang disertai dengan kewenangan untuk pengambilan kebijakan dan pengelolaan dana publik, serta pengaturan kegiatan dalam rangka penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat.

  Kewenangan yang diberikan oleh pemerintah kepada daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal dan agama serta kewenangan bidang lain yang dilimpahkan oleh pusat.

  Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah Kabupaten dan daerah kota meliputi: pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja.

  Mengurus dan mengatur bidang-bidang pemerintahan tersebut, maka pemerintah daerah perlu memberdayakan masyarakat melalui upaya-upaya pelayanan yang lebih efektif, efisien, akuntabel, transparan, dan responsif.

  Penyelenggaraan otonomi daerah diharapkan memberikan manfaat yang besar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Manfaat ini dapat diperoleh dengan menumbuhkembangkan kehidupan yang demokratis, mendorong upaya pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan, memperkuat kedudukan dalam pembangunan, memperkuat kedudukan serta kemampuan pemerintah daerah, meningkatkan mutu pelayanan umum, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan daerah.

  Penyelenggaraan otonomi daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia juga memperhatikan prinsip-prinsip pengaturan kewenangan pemerintah sebagai berikut: a. Semua kewenangan pemerintah diserahkan kepada daerah, kecuali bidang pertahanan dan keamanan, politik luar negeri, moneter, dan fiskal, peradilan, agama, serta kewenangan pemerintahan lainnya yang secara nasional lebih berdaya guna dan berhasilguna jika diurus oleh pemerintah pusat.

  b. Penyerahan kewenangan dibidang pemerintah kepada daerah harus disertai dengan pembiayaan, SDM, sarana dan prasarana.

  c. Pelaksanaan kewenangan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah didasarkan pada norma, standar, kriteria dan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah.

  Disamping memperhatikan prinsip-prinsip seperti tersebut di atas, pelaksanaan otonomi daerah agar lebih efektif, juga harus didukung oleh unsur- unsur pokok yaitu: kelembagaan yang demokratis, efektif, dan efisien, serta tersedianya sumber daya aparatur daerah yang berkualitas, potensi ekonomi daerah yang dapat digerakan sebagai sumber pendapatan daerah, pemberian insentif fiskal dan non fiskal guna menciptakan iklim yang kondusif bagi dunia usaha di daerah dan pengaturan hubungan keuangan pusat dan daerah yang adil dan proporsional.

  Keinginan yang kuat untuk melaksanakan otonomi daerah sejak awal dilandasi oleh amanat dalam UUD 1945 pasal 18 dan penjelasannya yang antara lain mengamatkan sebagai berikut:

  a. Daerah Indonesia akan dibagi dalam Daerah Propinsi dan Daerah Propinsi akan dibagi pula dalam Daerah-daerah yang lebih kecil.

  b. Daerah-daerah itu bersifat otonom atau bersifat administrative belaka sesuai dengan aturan yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang.

  c. Daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan Badan Perwakilan Daerah.

  Landasan amanat UUD 1945 tersebut ditetapkan peraturan perundang- undangan sebagai pelaksanaannya, yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945, Undang-Undang Nomor 2 tahun 1948, yang selanjutnya diperbaharui sesuai dengan UUDS RI tahun 1950. kemudian melalui Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957, Perpres Nomor 6 tahun 1959, Perpres nomor 5 tahun 1960 dan setelah Undang Nomor 18 tahun 1965 dan selanjutnya diterbitkan Undang-Undang nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.

  Implementasi otonomi daerah selama orde baru mengacu pada UU Nomor 5 tahun 1974 sangat lambat dan tersendat-sendat sampai dengan dilibatkannya PP Nomor 45 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan titik berat pada DT II. Untuk lebih mendorong realisasi otonomi daerah tersebut, diterbitkan PP Nomor 8 tahun 1995 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada 26 DT II sebagai percontohan.

  Meskipun demikian, rangkaian upaya penyelenggaraan otonomi daerah tetap saja belum mampu mewujudkan otonomi daerah diseluruh wilayah Indonesia yang sesuai dengan harapan masyarakat. Sebagai upaya untuk mengatasi kegagalan ini dan sejalan dengan semangat otonomi daerah di era reformasi ini telah ditetapkan UU nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU Nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang telah direvisi melalui undang-undang nomor 32 tahun 2004 serta ditindaklanjuti dengan berbagai peraturan pemerintah sebagai penjabaran teknis dari Undang-Undang yang baru tersebut, sebagai bagian dari upaya penyempurnaan dari kebijakan dan implementasi keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah.

  Penyelenggaraan otonomi daerah yang diharapkan memberikan manfaat yang besar dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara utamanya dalam menumbuhkan kehidupan yang demokratis, memperkuat kedudukan dan kemampuan pemerintah daerah, meningkatkan pelayanan umum dan meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan daerah.

  Sejalan dengan itu, peranan manajemen pemerintahan memainkan peranan penting dalam upaya mensukseskan pelaksanaan Undang-Undang nomor 32 tahun 2004. Organisasi atau birokrasi pemerintah harus efisien dan responsive terhadap kebutuhan masyarakat dan pembangunan daerah. Oleh karena itu perlu perubahan pola pikir tentang bagaimana pelaksanaan suatu tugas menjadi titik pengembangan pada realisasi Visi, Misi dan Tujuan yang harus dicapai oleh suatu pekerjaan (mission driven).

  Masyarakat modern yang ditandai dengan perubahan ke arah perbaikan disemua aspek kehidupan masyarakat, mendorong perubahan sikap pimpinan organisasi pemerintahan maupun swasta untuk melakukan penyesuaian dengan dinamika yang berkembang dalam era reformasi pengambilan keputusan tidak lagi berdasarkan hal-hal yang bersifat institusi tetapi harus didasarkan pada pertimbangan yang rasional dan didukung data yang akurat. Oleh karena itu cirri utama dari manajemen modern adalah rasional, akurat, cepat, transparan dan mengutamakan hasil (output) yang optimal.

  Era reformasi adalah era keterbukaan, oleh karena itu manajemen modern harus transparan, berarti bahwa dalam proses perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, perencanaan dan pengwasan perlu melibatkan pihak-pihak terkait, termasuk didalamnya masyarakat pemegang kebijakan Negara. Keterbukaan akan mendorong tumbuhnya kesadaran akan pentingnya akuntabilitas (tanggung dimensi. Oleh karena itu didalam pelaksaan manajemen modern perlu dilakukan melalui pendekatan sistem dalam arti bahwa permasalahan-permasalahan pembangunan harus dilihat secara total dan komprehensif.

  Berbagai pandangan tentang makna dan tujuan desentralisasi dan otonomi daerah, telah banyak dilontarkan yang pada intinya menyebutkan bahwa ide desentralisasi merupakan salah satu cara untuk mengembangkan kepastian lokal dalam pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan yang meliputi pelaksanaan pembangunan, pemberdayaan masyarakat dan pelayanan kepada masyarakat.

  Desentralisasi merupakan suatu modifikasi atau kepanjangan sentralisasi. Dekonsentrasi merupakan bagian-bagian atau subsistem dan sistem sentralisasi. Jadi desentralisasi dan dekonsentrasi merupakan sub-sub sistem dari sistem pemerintahan.

  Pengertian desentralisasi menurut Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 dapat mengandung pengertian: pertama, desentralisasi merupakan penyerahan kewenangan tertentu oleh pemerintah pusat kepada daerah. Kedua, penyerahan wewenang tersebut mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter, fiskal, agama, peradilan serta kewenangan bidang lain.

  Jika demikian halnya, maka pengertian desentralisasi sebagaimana uraian diatas, akan terkait dengan proses pembentukan daerah otonom. Dalam hal ini prakarsa sepenuhnya diserahkan kepada daerah, baik yang menyangkut pemerintahan, kebijakan, perencanaan, pelaksanaan maupun yang menyangkut segi pembiayaannya. Sedangkan perwujudan desentralisasi ditingkat daerah adalah otonomi daerah.

  Secara umum, implementasi kebijakan adalah menghubungkan antara tujuan-tujuan kebijakan terhadap realisasi dari hasil-hasil kegiatan pemerintah.

  Ketidakberhasilan implementasi suatu kebijakan antara lain disebabkan keterbatasan sumber daya manusia, struktur organisasi yang kurang memadai dan koordinasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan.

  Terdapat kesenjangan yang sering ditemukan dalam implementasi kebijakan, yaitu suatu keadaan dimana dalam proses kebijakan akan terbuka kemungkinan terjadinya perbedaan antara apa yang diharapkan oleh pembuat kebijakan dengan apa yang senyatanya dicapai. Pada dasarnya implementasi kebijakan adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang atau keputusan-keputusan eksekutif. Keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuannya, dan berbagai cara untuk mengatur proses implementasinya.

  Seringkali terjadi bahwa kegagalan pelaksanaan suatu program tidak lain adalah sebagai akibat langsung dari masalah-masalah yang timbul di masa implementasi program-program tersebut. Oleh karena itu, setelah implementasi kebijakan dilakukan perlu adanya analisis terhadap kebijakan yang terimplementasikan tersebut.

  Implementasi kebijakan publik pada umumnya diserahkan kepada lembaga-lembaga pemerintahan dalam berbagai jenjangnya sampai pemerintahan kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan publik. Secara garis besar, kita dapat mengatakan bahwa fungsi implementasi itu adalah untuk membentuk suatu hubungan yang memungkinkan tujuan-tujuan ataupun sasaran-sasaran kebijakan publik dapat diwujudkan, sebagai hasil akhir (outcome) dan kegiatan- kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah. Dengan demikian implementasi kebijakan merupakan suatu proses usaha untuk mewujudkan suatu kebijakan yang masih bersifat abstrak ke dalam realita nyata.

  Aktivitas pengorganisasian merupakan suatu upaya menetapkan dan menata kembali sumber daya (resources), unit-unit (units), dan metode-metode

  

(methods) yang mengarah pada upaya mewujudkan/merealisasikan kebijakan

  menjadi hasil (outcame) sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan. Aktivitas interprestasi merupakan aktivitas interprestasi (penjelasan) subtansi dari suatu kebijakan dalam bahasa yang lebih operasional dan mudah dipahami, sehingga subtansi kebijakan dapat dilaksanakan dan diterima oleh para pelaku dan sasaran kebijakan. Aktivitas aplikasi merupakan aktivitas penyediaan pelayanan secara rutin, pembayaran atau lainnya sesuai dengan tujuan dan sasaran kebijakan yang ada. Atas dasar ini, semakin jelas implementasi itu merupakan proses yang memerlukan tindakan-tindakan sistematis dari pengorganisasian, interprestasi dan aplikasi. Ketiga dimensi dalam penerapannya sangat simultan, saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Hubungan dari ketiga dimensi dalam aktivitas implementasi kebijakan, dapat digambarkan sebagai berikut:

  Aktivitas Pengorganisasian (Organization)

  Aktivitas Interpretasi Implementasi Kebijakan (Interpretation)

  Aktivitas Aplikasi (Application)

  Sumber : Jones (dalam Widodo, 2006: 119)

Gambar 1.1 Interaksi antar dimensi aktivitas dalam Implementasi kebijakan publik

  Penjelasan dan hubungan keterkaitan dari ketiga dimensi tersebut selengkapnya akan diuraikan sebagai berikut: 1) Tahap Pengorganisasian. Tahap ini lebih mengarah pada proses kegiatan pengaturan dan penetapan siapa yang menjadi pelaksana kebijakan

  (penentuan lembaga/organisasi mana yang akan melaksanakan dan siapa pelakunya), penetapan anggaran (berapa besar anggaran yang diperlukan, dari mana sumbernya, bagaimana menggunakan dan mempertanggungjawabkannya), penetapan prasarana dan sarana apa yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan, penetapan tata kerja (juklak dan juknis), penetapan manajemen pelaksanaan kebijakan termasuk didalamnya mencakup penetapan pola kepemimpinan dan koordinasi pelaksanaan kebijakan. Proses kegiatan dan penetapan tersebut sebagal indikator untuk mengukur variabel implementasi kebijakan dan dimensi aktivitas pengorganisasian.

  2) Tahap Interpretasi. Tahap ini merupakan tahapan penjabaran sebuah kebijakan yang masih bersifat abstrak ke dalam kebijakan yang lebih bersifat teknis operasional. Kebijakan umum atau kebijakan stratejik

  (strategic policy) akan dijabarkan ke dalam kebijakan manajerial (managerial policy) dan kebijakan manajerial akan dijabarkan dalam kebijakan teknis

  operasional (operational policy). Kebijakan manajerial meliputi kebijakan dalam bentuk PERDA dan Keputusan Kepala Daerah, sedangkan kebijakan teknis operasional dalam bentuk Keputusan Kepala Dinas, Kepala Badan atau Kepala Kantor sebagai unsur pelaksana teknis Pemerintah Daerah. Aktivitas interprestasi kebijakan tersebut tidak sekedar menjabarkan sebuah kebijakan yang masih bersifat abstrak ke dalam kebijakan yang bersifat operasional, tetapi juga diikuti dengan kegiatan mengkomunikasikan kebijakan (sosialisasi), agar supaya seluruh masyarakat dapat mengetahui dan memahami apa yang menjadi arah, tujuan, dan sasaran kebijakan, bahkan yang lebih penting mereka dapat menerima, mendukung dan mengamankan pelaksanaan kebijakan tersebut. Aspek-aspek tersebut menjadi indikator untuk mengukur variabel implementasi kebijakan dan dimensi interprestasi. 3) Tahap Aplikasi. Tahap ini merupakan tahap penerapan rencana proses implementasi kebijakan ke dalam realita nyata. Tahap aplikasi merupakan perwujudan dari pelaksanaan masing-masing kegiatan dalam tahapan yang telah disebutkan sebelumnya.

  Proses keberhasilan implementasi kebijakan diperlukan tindakan-tindakan ketiga tahapan aktivitas tersebut, ternyata peranan sumber daya manusia memegang peranan kunci yang sangat penting. Keberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan sangat tergantung pada kualitas pelaksana kebijakan, dan dalam melaksanakan kebijakan haruslah orang-orang terpilih yang berpotensi dan memiliki kemampuan untuk mewujudkan/merealisasikan kebijakan yang telah ditetapkan.

  Penyelenggaraan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, telah bergulir di setiap daerah termasuk di Kabupaten Sumedang. Kehadiran Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah tersebut, telah mengubah sistem pemerintahan, paradigma pemerintahan sampai pada kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Namun demikian seiring dengan hal tersebut, tidak sedikit pula masalah. tantangan dan Kendala yang dihadapi oleh masing-masing daerah otonom. Dimana pemerintahan daerah dituntut memiliki kemampuan dalam memainkan peranan yang lebih dominan untuk memajukan daerahnya diberbagai aspek, seperti meningkatkan perekonomian masyarakat, menciptakan iklim kehidupan sesial masyarakat yang lebih baik. termasuk meningkatkan kemampuan kinerja perangkat daerahnya dalam upaya mewujudkan tata pemerintahan yang baik

  

(Good Governance). Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu diakui bahwa pada

  umumnya kemampuan daerah masih terbatas. Kondisi ini terjadi selain disebabkan oleh keterbatasan kemampuan sumber dana bagi pembiayaan disebabkan oleh rendahnya kualitas sumberdaya manusia aparatur pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.

  Sumberdaya manusia dapat dilihat dari dua aspek, yaitu: “kuantitas dan kualitas”. Kuantitas sumber daya manusia menyangkut jumlah atau banyaknya, sedangkan kualitas sumberdaya manusia menyangkut tentang mutunya yang berkaitan dengan kemampuannya baik kemampuan fisik maupun non fisik yakni kecerdasan dan mental. Oleh karena itu untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik, maka peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan suatu hal yang sagat penting dilakukan. Hal ini dikarenakan sumberdaya manusia atau pegawai pada setiap Satuan Kerja Kelompok Daerah (SKPD), sangat penting peranannya dalam mencapai keberhasilan tugas pokok dan fungsi organisasi unit kerjanya dilingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang.

  Pemerintah secara umum telah memberikan perhatian yang besar dalam pengembangan sumberdaya manusia, sebagaimana telah ditetapkan dalam program pembangunan nasional yaitu terciptanya kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang maju dan mandiri. Dalam tujuan program pembangunan nasional disebutkan bahwa pemerintah berupaya menumbuhkan sikap dan tekad kemandirian manusia dan masyarakat Indonesia dalam rangka meningkatkan kualitas sumberdaya manusia untuk mewujudkan kesejahteraan lahir bathin yarg selaras, adil, dan merata. Hal ini menunjukan adanya penitikberatan pada semangat dan tekad kemandirian yang bertumpu pada kulitas

  Secara khusus pemerintah juga telah memberikan perhatian yang besar terhadap kualitas sumberdaya manusia aparatur pemerintahan. Faktor kualitas sumberdaya manusia aparatur pemerintahan adalah faktor yang esensial dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, pentingnya faktor ini karena manusia merupakan subyek dalam setiap aktivitas pemerintahan. Manusialah yang merupakan pelaku dan penggerak proses mekanisme dalam sistem pemerintahan, oleh sebab itu agar mekanisme pemerintahan tersebut berjalan dengan sebaik- baiknya maka dibutuhkan faktor manusia yang memiliki perilaku yang baik dan berkualitas. Dalam arti, memiliki mentalitas/moral yang baik, jujur, mempunyai rasa tanggungjawab yang besar terhadap tugas pekerjaannya, serta dapat bersikap sebagai abdi masyarakat atau public servent. Apalagi pada era globalisasi dan era informasi yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat dibutuhkan sumberdaya manusia aparatur yang dapat mengimbangi kondisi tersebut. Keadaan ini memaksa pemeritah daerah untuk mengelola sumberdaya manusia aparatur pemerintahan agar dapat mengantisipasi segala perubahan yang terjadi, sehingga sumberdaya manusia aparatur pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan perkembangan dan keinginan masyarakat.

  Keberhasilan pemerintah daerah dalam mengelola sumberdaya manusia aparaturnya, sangat tergantung pada penyelenggaraan manajemen kepegawaian yang mengacu pada sistem merit. Akan tetapi, berbagai prasyarat bagi penerapan sistem manajemen yang berorientasi kepada sistem merit pada setiap Satuan Kerja urutan tugas. standar kompetensi serta sistem penilaian kinerja yang obyektif masih belum sepenuhnya dapat dilakukan. Akibatnya pengadaan pegawai masih belum sepenuhnya didasarkan pada standar kompetensi jabatan, penilaian kinerja pegawai masih belum didasarkan pada prestasi. Disamping itu pelaksanaan program pendidikan dan latihan masih belum sejalan dengan rencana pengembangan pegawai dan kebutuhan organisasi. Selain itu, manajemen kepegawaian pada umumnya masih bersifat ketatausahaan, yang antara lain berupa kegiatan pencatatan, pembuatan surat keputusan, yang umumnya bersifat rutin. Sedangkan kegiatan perencanaan kepegawaian, pengembangan pegawai, dan lain-lain kegiatan yang berkaitan dengan manajemen sumber daya manusia pada umumnya sedikit sekali dilakukan.

  Kompetensi adalah kemapuan kerja setiap individu yang mencakup setiap pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan standar yang ditetapkan.

  Kompetensi sebagai kemampuan seseorang untuk menghasilkan pada tingkat yang memuaskan di tempat kerja ternasuk diantaranya seseorang untuk mentransfer dan mengaplikasikan keterampilan dan pengetahuan tersebut dalam situasi yang baik.

  Peningkatan beban kerja dan persaingan dalam tugas memerlukan pegawai yang berkemampuan dan cakap dalam mengambil tanggung jawab kerja yang dibebankan, dengan kompetensi meungkinkan seorang pegawai, mampu bekerja secara maksimal dalam pekerjaannya, maka kompetensi mengandung kepribadian yang mendalam dan melekat pada seseorang dengan perilaku yang Bila mengikuti teori efektivitas organisasi, maka perspektifnya tidak akan terlepas dari penilaian yang kita buat sehubungan dengan prestasi individu, kelompok dan organisasi. Karena memang, keefektifan organisasi merupakan fungsi individu dan kelompok. Terdapat dua pendekatan dalam mengidentifkasi keefektifan, yaitu: pendekatan menurut tujuan, dan pendekatan menurut teori sistem.

  Pendekatan menurut tujuan adalah untuk merumuskan dan mengukur keefektivan melalui pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dengan usaha kerjasama, sedangkan pendekatan teori sistem menekankan pada pentingnya adaptasi terhadap tuntutan ekstern sebagai kriteria penilaian keefektivan.

  Teori yang paling sederhana ialah teori yang berpendapat bahwa efektivitas organisasi sama dengan prestasi organisasi secara keseluruhan.

  Menurut pandangan ini efektivitas organisasi diukur berdasarkan seberapa besar keuntungan yang diperolehnya. Dalam hal ini, misalnya keuntungan lebih besar, maka berarti makin efektif. Dari sisi lain organisasi dapat dikatakan efektif bila sejumlah pengeluaran makin lama makin menurun.

  Efektivitas organisasi merupakan akhir (ultimate criteria) baik atau buruknya suatu manajemen. Tanpa adanya efektivitas, kesejahteraan organisasi dan kemauannya berada dalam bahaya. Para ahli manajemen sependapat, bahwa efektivitas merupakan tugas utama suatu manajemen.

  Berdasarkan hasil pengamatan awal yang dilakukan peneliti, menunjukan bahwa efektivitas organisasi Dinas, belum berhasil secara maksimal hal ini terlihat

  1. Tingkat akuntabilitas capaian kinerja pada setiap SKPD belum optimal hal ini terlihat dari, masih terdapatnya ketidak sesuaian antara hasil kegiatan yang dilaksanakan SKPD dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Strategi (Renstra) SKPD yang menyusun program dan kegiatan tidak memperhatikan indikator kinerja pembangunan (RPJMD). Diketahui dari jumlah indikator sasaran RPJMD yang telah direalisasikan oleh SKPD pada tahun 2011 adalah 385 indikator, sedangkan jumlah indikator sasaran RPJMD yang telah direalisasikan oleh RPJMD 295 indikator atau 76, 62 % sedangkan jumlah indikator sasaran RPJMD yang belum direalisasikan oleh SKPD ada 90 indikator atau 23,38 %. Rata-rata realisasi capaian kinerja indikator sasaran pembangunan secara komulatif 92,18 %. Seperti contoh dibawah ini :

  a. T

  arget kegiatan yang tidak dapat direalisasikan secara maksimal, seperti tabel di bawah ini :

Tabel 1.1

  

REKAPITULASI TARGET

PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD)

DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN KABUPATEN SUMEDANG

TAHUN 2011

  

NO JENIS RETRIBUSI TARGET REALISASI %

  321.300.000 317.034.700 98,67

  1 Retribusi Pelayanan Sampah 545.000.000 510.050.150 93,59

  2 Retribusi Pelayanan Pasar

  3 Retribusi Pemakaian Kekayaan 184.505.000 170.020.300 92,15 daerah

  Jumlah 1.050.805.000 997.105.150 94,89 Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan (2011)

  Tabel. 1.2

REALISASI PENDAPATAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG

BIDANG PELAYANAN PERIJINAN TAHUN 2011

  

NO JENIS RETRIBUSI TARGET REALISASI %

  1 Izin Gangguan/Keramaian 125.500.750 117.600.500 93,71

  2 Izin Gangguan Besar 54.441.828 49.300.225 90,56

  3 Izin Gangguan Sedang 112.430.080 97.500.117 86,72

  4 Izin Gangguan Kecil 157.669.736 120.750.250 76,58

  Jumlah 292.372.658 264.400.842 90,43 Sumber : Badan Penanaman Modal dan Palayanan Perijinan Kab.

  Sumedang 2011

  b. Kompetensi sumber daya aparatur masih belum optimal, hal ini terlihat dari kemampuan melaksanakan tugas pokok dan fungsi di masing-masing SKPD, diduga karena tidak sesuainya antara formasi jabatan dengan kompetensi yang dimiliki oleh masing-masing SKPD serta adanya kesan pemaksaan terhadap kenaikan eselonering pada pegawai yang sebenarnya pada aspek normatif belum saatnya menduduki jabatan tersebut.

  2. Transparansi penyelenggaraan tugas pemerintah masih belum optimal, hal ini terlihat dari kurangnya sosialisasi pada masyarakat, tentang perumusan- perumusan kebijakan pemerintah, seperti kebijakan pemerintah tentang penataan organisasi perangkat Daerah yang masih belum efektif, karena dalam pelaksanaan kewenangannya , masih tumpang tindih, seperti ada Dinas

  Pangan, Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Sumedang.

  Berdasarkan masalah di atas, peneliti menduga penyebab masalahnya Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah dengan Kompetensi Pejabat Struktural belum dijalankan sesuai target dan sasaran organisasi. Selanjutnya peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang keterkaitan antara Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah dan Kompetensi Pejabat Struktural terhadap Efektivitas Organisasi Dinas dengan mengambil judul penelitian “ Pengaruh Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah dan Kompetensi Pejabat Struktural terhadap Efektivitas Organisasi Dinas di Kabupaten Sumedang “.

  Selanjutnya perlu disampaikan alasan-alasan empirik pemilihan objek penelitian pada Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang, antara lain : 1) Pemerintah Kabupaten Sumedang sedang berupaya meningkatkan kompetensi pejabat struktural yang andal dan berkualitas untuk meningkatkan efektivitas organisasi. 2) Pemerintah Kabupaten Sumedang sedang berusaha meningkatkan pelayanan yang prima kepada masyarakat/publik dengan transparan dan akuntabel.

  3) Pemerintah Kabupaten Sumedang sedang berupaya agar kebijakan-kebijakan yang dibuat selalu berorientasi kepada kepentingan publik dan mampu mencari solusi dari berbagai masalah yang ada di masyarakat. Alasan-alasan akademik yaitu (1) Penelitian tentang implementasi kebijakan otonomi Daerah dan kompetensi pejabat struktural terhadap efektivitas organisasi

  (2) Kompetensi pejabat struktural terhadap efektivitas organisasi merupakan salah satu bentuk model administrative manajerial, (3) Secara akademik penelitian di Pemerintahan Daerah Kabupaten Sumedang merupakan kajian ilmu Administrasi Negara, karena Instansi tersebut merupakan institusi pemerintah.

1.2 Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka dalam penelitian ini dapat diidentifikasi rumusan masalah melalui pernyataan masalah (problem

  

statement)” bahwa dalam mewujudkan efektivitas Organisasi Dinas yang baik di

  Kabupaten Sumedang penyelenggaraannya belum optimal, hal ini diduga antara lain disebabkan dari lemahnya implementasi kebijakan otonomi daerah yang menyebabkan efektivitas organisasi belum meningkat. Berkaitan dengan hal tersebut pertanyaan masalah (problem question) utamanya adalah “ Adakah pengaruh Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah dan Kompetensi Pejabat Struktural terhadap Peningkatan Efektivitas Organisasi Dinas di Kabupaten Sumedang ? “

  Selanjutnya pertanyaan masalah utama tersebut dirumuskan kedalam sub- sub pertanyaan masalah sebagai berikut: 1) Bagaimanakah Implementasi otonomi daerah, Kompetensi Pejabat Struktural, dan efektivitas organisasi Dinas di Kabupaten Sumedang.

  2) Berapa besar pengaruh Implementasi kebijakan otonomi daerah dan Kompetensi Pejabat Struktural, terhadap efektivitas organisasi pada Dinas di Kabupaten Sumedang.

  3) Berapa besar pengaruh Implementasi otonomi daerah melalui, Isi kebijakan, Konteks Implementasi, Relasi antar Organisasi, Sumberdaya Implementasi Kebijakan, Karekteristik pelaksanaan kebijakanterhadap efektivitas organisasi pada Dinas di Kabupaten Sumedang.

  4) Berapa besar pengaruh Kompetensi Pejabat Struktural melalui Berorientasi prestasi dan tindakan, Membantu dan melayani orang lain, Kemampuan mempengaruhi dan menciptakan dampak, Kemampuan Manajerial, Kemampuan Kognisi, Kemampuan Efektivitas Pribadi terhadap efektivitas organisasi pada Dinas di Kabupaten Sumedang.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

  1.3.1 Maksud Penelitian

  Maksud penelitian ini adalah untuk mengkaji dan melakukan analisis pengaruh implementasi kebijakan otonomi daerah dan kompetensi pejabat struktural terhadap efektifitas organisasi Dinas di Kabupaten Sumedang.

  1.3.2 Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian adalah sebagai berikut; 1) Mengetahui Pelaksanaan Implementasi otonomi daerah,

  Kompetensi Pejabat Struktural, dan efektivitas organisasi Dinas di Kabupaten Sumedang

  2) Mengkaji dan menganalisis seberapa besar pengaruh implementasi otonomi daerah dan kompetensi pejabat struktural terhadap efektifitas organisasi Dinas di Kabupaten Sumedang. 3) Mengkaji dan menganalisis besar pengaruh dimensi-dimensi Implementasi otonomi daerah melalui, Isi kebijakan, Konteks Implementasi, Relasi antar

  Organisasi, Sumberdaya Implementasi Kebijakan, Karekteristik pelaksanaan kebijakanterhadap efektivitas organisasi pada Dinas di Kabupaten Sumedang.

  4) Mengkaji dan menganalisis besar pengaruh dimensi-dimensi Kompetensi Pejabat Struktural melalui Berorientasi prestasi dan tindakan, Membantu dan melayani orang lain, Kemampuan mempengaruhi dan menciptakan dampak, Kemampuan Manajerial, Kemampuan Kognisi, Kemampuan Efektivitas Pribadi terhadap efektivitas organisasi pada Dinas di Kabupaten Sumedang.

1.4 Kegunaan Penelitian

  Kegunaan penelitian ini bermanfaat bagi bidang keilmuan (akademis) dan gunalaksana (praktis) sebagai berikut:

  1. Bagi ilmu pengetahuan atau teoritik, penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan dalam mengembangkan dan menggabungkan konsep-konsep baru dalam bidang ilmu administrasi negara, khususnya tentang kebijakan publik dalam Implementasi otonomi daerah, Kompetensi Pejabat Struktural, dan efektivitas organisasi.

  2. Bagi aspek guna laksana atau praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten

  Kompetensi Pejabat Struktural, dan efektivitas organisasi Dinas di Kabupaten Sumedang.

Dokumen yang terkait

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS - ANALISIS PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN SITUASIONAL DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP EFEKTIVITAS ORGANISASI DINAS DAERAH DI KOTA BEKASI - repo unpas

0 0 104

BAB I PENDAHULUAN - STRATEGI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERIZINAN PADA BADAN PENANAMAN MODAL DAN PERIZINAN TERPADU KABUPATEN SUMEDANG ( Studi Tentang Perizinan Bidang IPPT, IMB, Hotel, Hiburan dan Rekreasi) - repo unpas

0 3 75

ANALISIS PENGARUH PENATAAN ORGANISASI TERHADAP KINERJA PEGAWAI PADA DINAS KESEHATAN KOTA BANJAR - repo unpas

0 1 140

BAB I PENDAHULUAN - ANALISIS PENGARUH DISIPLIN KERJA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN DI DINAS PERUMAHAN PENATAAN RUANG DAN KEBERSIHAN UPTD WILAYAH SOREANG KABUPATEN BANDUNG - repo unpas

0 0 10

BAB I PENDAHULUAN - PENGARUH PELATIHAN DAN MOTIVASI TERHADAP KOMPETENSI DAN DAMPAKNYA TERHADAP KINERJA KARYAWAN OPERASIONAL PT. SINAR TERANG LOGAM JAYA - repo unpas

0 1 14

BAB I. PENDAHULUAN - PENGARUH KOMPETENSI PEGAWAI TERHADAP KINERJA PEGAWAI DI INSPEKTORAT KOTA BANDUNG - repo unpas

0 0 33

KATA PENGANTAR - PENGARUH IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TERHADAP EFEKTIVITAS KERJA PEGAWAI PADA UPTD PARKIR DINAS PERHUBUNGAN, KOMUNIKASI, INFORMATIKA DAN PARIWISATA KOTA BANJAR - repo unpas

0 1 23

BAB I PENDAHULUAN - PENGARUH IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TERHADAP EFEKTIVITAS KERJA PEGAWAI PADA UPTD PARKIR DINAS PERHUBUNGAN, KOMUNIKASI, INFORMATIKA DAN PARIWISATA KOTA BANJAR - repo unpas

0 0 10

BAB I PENDAHULUAN - ANALISIS PENGARUH IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DAN KUALITAS SUMBER DAYA APARATUR TERHADAP KINERJA ORGANISASI DINAS DAERAH DI KOTA BEKASI (Studi Perda Nomor 13 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Kota Bekasi) - repo unpas

0 0 147

PENGARUH IMLPLEMENTASI KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH DAN KOMPETENSI PEJABAT STRUKTURAL TERHADAP EFEKTIVITAS ORGANISASI DINAS KABUPATEN SUMEDANG - repo unpas

0 0 22