BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hakikat Partisipasi 2.1.1 Pengertian Partisipasi - Nur Rokhman Widiyoworo BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hakikat Partisipasi

2.1.1 Pengertian Partisipasi

  Menurut Raymond ( Taniredja,2010:22 ) partisipasi biasa diartikan sebagai ukuran keterlibatan anggota dalam aktivitas-aktivitas kelompok. Dalam persepektif psikologis, patisipasi biasa dimaknai sebagai kondisi mental yang menunjukan sejauh mana anggota kelompok menikmati posisinya sebagai anggota kolektivitas, sehingga konsepsi partisipasi sangat terkait dengan masalah kejiwaan.Semangkin tinggi tingkat kesehatan mental seseorang maka semakin tinggi kemampuan partisipasinya.

  Selain itu menurut Svinicki (Taniredja, 2010:22) dalam konteks pembelajaran di kelas, partisipasi didefinisikan sebagai keterlibatan aktif siswa dalam memunculkan ide-ide dan informasi, sehingga kesempatan belajar dan pengingatan materi lebih lama. Sedangkan menurut Tannenbaun dan Hahn ( dalam Sukidin, et, al., 2002: 159 ) Partisipasi merupakan suatu tingkat sejauh mana peran anggota meibatkan diri dalam kegiatan dan menyumbangkan tenaga dan pikirannya dalam melaksanakan kegiatan tersebut.

  Sedangkan menurut Dusseldor ( dalam sukidin.et.,al,, 2002 : 159 ) partisipasi diartikan sebagai kegiatan atau keadaan mengambil bagian dalam suatu aktivitas untuk mencapai kemanfaatan secra oktimal. Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa partisipasi adalah partisipasi siswa yang merupakan wujud tingkah laku siswa secara nyata dalam kegiatan pembelajaran yang merupakan totalitas dari suatu keterlibatan mental dan emosional siswa sehingga mendorong mereka untuk

  7 memberikan kontribusi dan bertanggung jawab terhadap pencapaian suatu tujuan yaitu tercapainya prestasi belajar yang memuaskan.

  Berdasarkan pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa partisipasi siswa adalah keikutsertaan siswa dalam suatu kegiatan yang ditunjuakan dengan prilaku fisik dan psikisnya secara langsung dalam proses pembelajara. Partsispasi siswa dapat terlihat misalanya mendengarkan, mendiskusikan, membuat sesuatu, menulis laporan dan sebagainya. Partisipasi siswa dikelas akan mempengaruhi proses pembelajaran itu sendiri, dimana dengan partisipasi yang tinggi akan tercipta suasana pembelajaran yang efektif.

  2.1.2 Macam – Macam Partisipasi

  a. Partisipasi Kontributuf, adalah termasuk partisipasi yang mendorong aktivitas untuk mengikuti pembelajaran dengan baik, mengerjakan tugas terstruktur baik dikelas maupun dirumah.

  b. Partisippasi Inisiatif, adalah lebih mengarahkan pada aktivitas mandiri dalam melaksanakan tugas yang tidak terstruktur .dalam hal ini siswa mempunyai inisiatif sediri dalam mempelajari materi pelajaran yang belum perah diajarkan dengan membuat catatan ringkas. (Sanjaya, 2006:21).

  Dengan demikian partisipasi kontributif dan inisiatif akan membentuk siswa untuk selalu aktif dan kreatif sehingga mereka sadar bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dapat diperoleh melalui usaha keras. Dengan demikian siswa juga menyadari makna dan arti penting belajar.

  2.1.3 Aspek Partisipasi

  Menurut Sudjana ( 2005:86 ) aspek

  • – aspek partisipasi yang perlu diamati adalah:
a. Memberikan pendapat untuk memecahkan masalah.

  b. Memberikan tanggapan terhadap pendapat orang lain.

  c. Mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru.

  d. Motivasi dalam mengerjakan tugas e. Toleransi dan mau menerima pendapat orang lain.

  f. Mempunyai tanggung jawab sebagai anggota kelompok.

  g. Merespon

  h. Memberikan kesimpulan/ komentar

2.1.4 Partisipasi dalam Pembelajaran

  Partisipasi siswa dalam pembelajaran sangat dibutuhkan, karena siswa tidak hanya pandai dalam mengerti atau memahami pelajaran, akan tetapi harus ditunjukkan partisipasinya dalam proses belajar mengajar. Menurut Mc Keachine (Djangi, 2005:21) ”Individu merupakan manusia belajar yang selalu ingin tahu”. Semakin besar partisipasi maka semakin besar pula rasa keingintahuan siswa pada pelajaran tersebut. Peran penting seorang guru untuk menumbuhkan rasa untuk berpartisipasi dari diri siswa didalam kegiatan belajar mengajar. Jika partisipasi siswa semakin baik, maka guru akan mudah mengetahui kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa dan mencari jalan terbaik untuk memberikan pemahaman kembali mata pelajaran yang sulit dimengerti. Sebaliknya jika siswa kurang berpartisipasi dalam pembelajaran, maka guru akan mengalami kesulitan dalam mengetahui kesulitan-kesulitan belajar yang dihadapi siswanya. Partisipasi siswa yang besar akan tercipta suasana keterbukaan antara guru dan Partisipasi siswa dalam pembelajaran sangat penting untuk menciptakan pembelajaran yangdan menyenangkan.

  Dengan demikian tujuan pembelajaran yang sudah direncakan bisa dicapai semaksimal mungkin.Tidak ada proses belajar tanpa partisipasi dan keaktifan anak didik yang belajar. Setiap anak didik pasti dalam belajar, hanya yang membedakannya adalah kadar/bobot keaktifan anak didik dalam belajar. Ada keaktifan itu dengan kategori rendah, sedang dan tinggi. Disini perlu kreatifitas guru dalam mengajar agar siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Penggunaan strategi dan metode yang tepat akan menentukan keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Metode belajar mengajar yang bersifat partisipatoris yang dilakukan guru akan mampu membawa siswa dalam situasi yang lebih kondusif karena siswa lebih berperan serta lebih terbuka dan sensitif dalam kegiatan belajar mengajar.

  Menurut pendapat Hounston (Djangi,2005:23 ), aspek-aspek dari partisipasi yang dapat dijadikan alat ukur tingkat partisipasi siswa dalam proses pembelajaran, antara lain: 1. kerja sama dan keterlibatan dalam kelompok. siswa yang terlihat berpartisipasi pasti terlibat dan turut serta dalam diskusi-diskusi dan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam kelompok dengan harapan tercapainya tujuan dalam kelompok tersebut. 2. mengajukan pertanyaan. siswa yang terlihat berpartisipasi pasti mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan pertanyaan tersebut mengenai materi yang belum jelas yang telah diterangkan oleh guru. 3. berani memberikan tanggapan terhadap jawaban siswa lain. siswa yang terlihat berpartisipasi pasti turut serta dalam menanggapi jawaban siswa lain, hal ini bisa dilakukan dalam diskusi kecil maupun diskusi besar dalam kelas

  4. memberikan kesimpulan, siswa yang terlihat berpartisipasi pasti dapat menyimpulkan materi yang telah dipelajari. Dengan bisa menyimpulakan materi, siswa tersebut dianggap mengusai materi dengan baik dan berpartisipasi dalam proses pembelajaran.

  5. menjawab pertanyaan yang diajukan guru maupun siswa lain. siswa yang terlihat berpartisipasi pasti bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari guru maupun siswa mengenai materi pelajaran yang diajarkan dalam proses pembelajaran di kelas

  6. mengerjakan soal di depan kelas. siswa yang terlihat berpartisipasi pasti berani mengerjakan soal di depan kelas. Hal ini baik untuk melatih keberanian siswa dalam hal maju di depan siswa lain

  Menurut Hanif (Anonim, 2010:13) tinggi rendahnya partisipasi siswa dalam pembelajaran di kelas dapat dilihat dari keadaan atau aktivitas yang terjadi dalam pembelajaran. Partisipasi siswa dikatakan tinggi jika lebih dari 70% siswa terlibat dalam proses pembelajaran. Partisipasi siswa dikatakan sedang jika 40% - 70% siswa terlibat dalam proses pembelajaran. Partisipasi siswa dikatakan rendah jika kurang dari 40% siswa terlibat dalam proses pembelajaran.

2.2 Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan

2.2.1 Pengertian pendidikan kewarganegaraan

  Secara bahasa, istilah

  “Civic Education” pakar diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Pendidikan Kewargaan dan menjadi Pendidikan Kewarganegaraan.

  Istilah “Pendidikan Kewargaan” diwakili oleh Azra dan Tim ICCE (Indonesia Center for

  Civic Education) dari Universitas Islam Negri (UIN) Jakarta, sebagai pengembang Civic

  Education pertama di perguruan tinggi. Penggunaan istilah ” Pendidikan Kewarganegaraan” diwakili oleh Winaputa dkk dari Tim CICED (Center Indonesia for

  Civic Education), Tim ICCE (2005:6)

  Menurut Kerr ( Winataputra dan Budimansyah, 2004:4), mengemukakan bahwa Citizenship education or civics education di definisikan sebagai berikut:

  Citizenship or civics education is construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles and responsibilities as citizens and, in particular, the role of education (trough schooling, teaching, and learning ) in that preparatory process.

  Dari definisi tersebut dapat di jelaskan bahwa pendidikan kewarganegaraan dirumuskan secara luas untuk mencakup proses penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawab sebagai warganegara, dan secara khusus, peran pendidikan termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran dan belajar, dalam proses penyiapan warganegara tersebut. Cogan (1999:4) mengartikan civic education sebaga i “

  the foundational course work in the school designed to prepare young citizens for an active role in their adult lives”,maksudnya adalah suatu mata pelajaran dasar disekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warganegara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakat.

  Menurut Zamroni ( Tim ICCE, 2005: 7) pengertian pendidikan kewarganegaraaan adalah: “Pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru, bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak- hak warga masyarakat”. Diharapakan dapat mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang memiliki komitmen yang kuat dan konsisten untuk mempertahankan Negara Kesatuan Rebuplik Indonesia. Hakekat NKRI adalah negara kebangsaan modern”.

  Sementara itu, PKn di Indonesia dapat diharapkan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang memiliki komitmen yang kuat dan konsisten untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hakikat negara kesatuan republik indonesia adalah negara kesatuan modern. Negara kebangsaan adalah negara yang pembentuknya didasarkan pada pembentukan semangat kebangsaan dan nasionalisme yaitu pada tekad suatu masyarakt untuk membangun masa depan bersama dibawah satu negara yang sama.

  Walaupun warga masyarakaat itu berbeda-beda agama, ras, etnik, atau golongannya Pendidikan Kewarganegaraan dijelaskan dalam Depdiknas (2006:49),

  Pendidikan kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang mefokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajiban untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Lebih lanjut Somantri (2001: 154) menyatakan bahwa:

  “PKn merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasaryang berkenan dengan hubungan antar warga negara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara menjadi warga negara agar dapat diandalkan oleh bangsa dan negara”.

  Menurut Branson (1999:4) civic education dalam demokrasi adalah pendidikan untuk mengembangkan dan memperkuat dalam pemerintahan otonom (self goverman).

  Pemerintah otonom demokratis berarti bahwa negara aktif terlibat dalam pemerintahannya sendiri mereka tidak hanya menerima dikte orang lain dengan pengembangan PKn, antara lain.

  Beberapa unsur yang terkait dengan pengembangan PKn antara lain (Somantri, 2001:158) : 1) Hubungan pengetahuan interseptif dengan pengembangan ekstraseptif atau antara agama dengan ilmu. 2) Kebudayaan Indonesia dan tujuan pendidikan nasional. 3) Disiplin ilmu atau pendidikan, terutama psikologi pendidikan.

4) Displin ilmu- ilmu sosial, khususnya “ide fundamental” ilmu kewarganegraaan.

  5) Dokumen negara, khususnya Pancasila, UUD 1945 dan perundangan negara serta sejarah perjuangan bangsa. 6) Kegiatan dasar manusia. 7) Pengertian pendidikan IPS.

  Sehubungan dengan itu, PKn sebagai salah satu tujuan pendidikan IPS yang menekankan pada nilai-nilai untuk menumbuhkan warga negara yang baik dan patriotik, maka batasan pengertian PKn dapat dirumuskan sebagai berikut (Somantri, 2001:159):

  “Pendidikan Kewarganegaraan adalah seleksi dan adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial, ilmu kewarganegaraan, humaniora, dan kegiatan dasar manusia, yang diorganisasikan dan disajikan secara psikologis dan ilmiah untuk ikut mencapai salah satu tujuan pendidikan IPS”.

  Beberapa faktor yang lebih menjelaskan mengenai pendidikan kewarganegraaan antara lain (Somantri, 2001: 161):

  1) PKn merupakan bagian atau salah satu tujuan pendidikan IPS, yaitu bahan pendidikan diorganisasikan secara terpadu dari berbagai disiplin ilmu sosial.

  Humaniora, dokumen negara, terutama pancasila, UUD 1945, GBHN, dan perundangan negara, dengan tekanan bahan pendidikan pada hubungan warga negara dan bahan pendidikan yang berkenan dengan bela negar. 2) Pkn adalah seleksi dan adaptasi dari berbagai displin ilmu sosial, humaniora, pancasila, UUD 1945 dan dokumen negara lainnya yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan. 3) PKn dikembangkan secara ilmiah dan psikologis baik untuk tingkat jurusan

  PMPKN FPIPS maupun dikembangkan untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah serta perguruan tinggi. 4) Dalam mengembangkan dan melaksnakan PKn, kita harus berfikir secara integratif, yaitu kesatuan yang utuh dari hubungan antara hubungan pengetahuan intraseptif (agama, nilai-nilai) dengan pengetahuan ekstaseptif (ilmu), kebudayaan Indonesia, tujuan pendidikan nasional, pancasila, UUD 1945, GBHN, filsafat pendidikan, psikologi pendidikan, pengembangan kurikulum disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, kemudian dibuat program pendidikannya yang terdiri atas unsur: (i) tujuan pendidikan, (ii) bahan pendidikan, (iii) metode pendidiken, (iv) evaluasi. 5) PKn menitikberatkan pada kemampuan ketrampilan berpikir aktif warga negara, terutama generasi muda, dalam mengintemalisasikan nilai-nilai warga negara yang baik (good citizen) dalam suasana demokratis dalam berbagai masalah kemasyarakatan (civic affairs). 6) Dalam keputusan asing PKn sering disebut civic education, yang salah satu batasnya ialah “seluruh kegiatan sekolah, rumah, dan masyarakat yang dapat menumbuhkan demokrasi”.

  Pendapat di atas menjelaskan bahwa betapa pentingnya PKn untuk siswa sebagai generasi penerus, karena PKn menggiring untuk menjadikan siswa sadar akan politik, sikap demokratis dan sebagai mata pelajaran yang wajib dibelajarkan di sekolah.

  PKn sebagai pendidikan nilai dapat membantu para siswa membantu siswa memilih sistem nilai yang dipilihnya dan mengembangkan aspek afektif yang akan ditampilkan dalam prilakunya. Seperti yang diungkapkan Suwarna Al-Muctar dalam hand out Strategi Belajar Mengajar (2001:33), mengemukakan bahwa:

  “Pendidikan nilai bertujuan untuk membantu perilaku peserta didik menumbuhkan dan memperkuat sistem nilai dipilihnya untuk dijadikan pengembangan sikap (afektif) oleh karena itu berbeda dengan belajar mengajar dengan pendidikan kognitif atau psikomotor. pendidikan nilai secara formal di Indonesia diberikan pada mata pelajaran PPKn yang merupakn pendiidkan nilai pancasila agar dapat menjadi kepribadian yang fungsional”.

2.2.2 Tujuan dan Fungsi Pendidikan Kewarganegaraan

  Menurut Branson (1997:7) tujuan Civic Education adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik tingkat lokal, negara, dan nasional. Tujuan pembelajaran PKn dalam Depdiknas (2006:49) adalah untuk memberikan kompetensi sebagai berikut:

  1) Berfikir kritis rasional dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan. 2) Berpartisipasi secara cerdas dan tanggung jawab, serta bertindak secara sadar dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

  3) Berkembanga secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat di Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain. 4) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam peraturan dunia secara langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

  Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan pembelajaran PKn secara umum mempersiapkan generasi bangsa yang unggul dan berkepribadian, baik dalam lingkungan lokal, regional, maupun global. Sedangkan Tujuan PKn menurut Djahiri (1994/1995:10) adalah sebagai berikut:

  1) Secara umum tujuan PKn ajeg dalam mendukung keberhasilan pencapaian Pendidikan Nasional, yaitu :” Mencerdaskan kehidupan bangsa yang mengembangkan manusia Indonesia yang seutuhnya. Yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME dan berbudi pekerti yang luhur, memiliki kemampuan pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab masyarakat dan kebangsaan”.

  2) Secara khusus. Tujuan PKn yaitu membina moral yang diharapkan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu prilaku yang memancarkan iman dan takwa terhadap Tuhan YME dalam masyarakat yang terdiri dari golongan agama, prilaku yang bersifat, kemanusiaan yang adil dan beradap, prilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama diatas kepentingan perseorangan dan golongan sehingga perbedaan dan pemikiran pendapat ataupun kepentingan diatasi melalui musyawarah mufakat, serta prilaku yang mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia.

  Berdasarkan tujuan PKn yang telah dikemukakan di atas, di amsumsikan pada hakekatnya setiap tujuan membekali kemampuan

  • –kemampuan kepada peserta didik dalam hal tanggung jawabnaya sebagai warga negara, yaitu warga negara yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME berfikir kritis, rasional dan keratif, berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat, berbangsa dan bernegara membentuk diri berdasarkan karakter- karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa lain.

  Sedangkan menurut Sapriya (2000), tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah : “Partisipasi yang penuh nalar dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dari warga negara yang taat kepada nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar demokrasi konstitusional Indonesia. Partisipasi warga negara yang efektif pengetahuan dan keterampilan intelektual serta keterampilan untuk berperan serta. Partisipasi yang efektif dan bertanggung jawab itu pun ditingkatkan lebih lanjut untuk dikembangkan disposisi atau watak-watak tertentu yang meningkatkan kemampuan individu berperan serta dalam proses politik dan mendu kung berfungsinya sistem politik yang sehat serta perbaikan masyarakat”.

  W arga negara yang baik, yang dapat di lukiskan “ warga negara yang patiotik, toleran, setia terhadap bangsa dan negara, beragama, demokratis pancasila sejati” (Somantri, 2001:279). Fungsi dari pelajaran PKn adalah sebagai wahana untuk membentuk warga negara yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berfikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945.

  Upaya agar tujuan PKn tersebut tidak hanya bertahan sebagai slogan saja, maka harus dirinci menjadi tujuan kurikuler (Somantri, 1975:30 ), yang meliputi: 1) Ilmu pengetahuan, meliputi hirarki: fakta, konsep dan generalisasi teori 2) Keterampilan intelektual 3) Sikap:nilai, kepekaan dan perasaan. Tujuan PKn banyak mengandung soal-soal efektif, karena itu tujuan PKn yang seperti slogan harus dijabarkan.

  4) Keterampilan sosial: tujuan umum PKn harus bisa di jabarkan dalam ketermpilan sosial yaitu keterampilan yang dapat memberikan kemungkinan kepada siswa untuk secra terampil dapat melakukan dan bersikap cerdas serta bersahabat dalam pergaulan kehidupan sehari-hari, Dufty (Nauman Somantri, 1975:30 ). Mengkerangkakan agar kita memperoleh bimbingan dalam merumuskan(a) konsep dasar, generalisasi, konsep atau topik PKn: (b) tujuan instruksionsal, (c) konstruksi tes beserta penilaiannya. Secara umum, menurut Bunyamin M dan Sapriya (2005:30) bahwa : “Tujuan negara mengembangkan Pendidikan Kewarganegaraan agar setiap warga negara menjadi warga negara yang baik ( to be good citizens ) yakni warga negara yang memiliki kecerdasan ( civics intelegence ) baik intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual: memiliki rasa bangga dan tanggung jawab ( civics responsibility ) dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat”.

  Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa PKn sebagai program pengajaran yang tidak hanya sosok programan pola KBM yang mengaju pada aspek kognitif saja, melainkan secara utuh dan menyeluruh yakni mencakup aspek afektif dan psikomotor. Selain aspek-aspek tersebut PKn juga mengembangkan pendidikan nilai.

2.2.3 Kurikulum dan Bahan Ajar Pendidikan Kewarganegaraan Persekolahan

  Kurikulum sebagai salah satu subtansi pendidikan perlu didisentralisasikan terutama dalam pengembangan silabus dan pelaksanaan yang disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan siswa, sarana dan prasarana sekolah. Dengan demikian, sekolah memiliki kewenangan untuk merancang dan menentukan materi ajar, pengalaman belajar, dan penilaian hasil belajar.

  Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dijelaskan:

  1) Kurikulum dan silabus SD/MI/SDLB/Paket A, atau bentuk lain yang sederajat menekankan pentingnya kemampuan membaca, dan menulis, kecakapan berhitung serta kemampuan berkomunikasi ( pasal 6 Ayat 6)

  2) Sekolah dan komite sekolah, atau madrasah dan komite madrasah, mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan di bawah supervisi Dinas Pendidikan Kabupaten/kota yang bertanggung jawab terhadap pendidikan untuk TK/SD/SMP/SMA/SMK, serta Departemen yang menangani urusan pemerintah di bidang agama untuk MI, MTs, MA, dan MAK (Pasal 17 ayat 2 )

  3) Perencanaan pembelajaran meliputti silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pembelajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar ( Pasal 20 ).

  Bahan ajar memiliki peran yang penting dalam pembelajaran termasuk dalam pembelajaran PKn. Ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan meliputi aspek-aspek sebagai berikut (Depdiknas, 2006:49) : 1) Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan, Cinta lingkungan, Kebangsaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, Keutuhan

  Negara Kesatuan Republik Indonesia, Partisipasi dalam pembelaan negara, Sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Ketrbukaan dan Jaminan Keadilan. 2) Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga, Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku dalam bermasyarakat, Peraturan-Peraturan daerah, Norama-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sistem hukum dan peradilan nasional, Hukum dan peradilan internasional. 3) Hak asasi manusia meliputi : Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional HAM, pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM. 4) Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri, Persamaan kedudukan warga negara

  5) Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi Kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, Hubungan dasar negara dengan konstitusi. 6) Kekuasaan dan Politik, meliputi: pemerintahan desa dan pemerintahan kecamatan, pemerintahan daerah dan otonomi, pemerintahan pusat, Demokrasi dan madani, Sistem pemerintahan, Pers dalam masyarakat dmokrasi. 7) Pancasila meliputi: Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan idiologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan nilai-nilai

  Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka. 8) Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, politik luar negeri Indonesia era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional dan organisasi internasional, dan mengevaluasi globalisasi.

2.2.4 Konteks Kelahiran dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia.

  Istilah pendidikan kewarganegaraan di indonesia mengaami perkembangan dan perubahan dari tahun ke tahun. Pertumbuhan pendidikan kewarganegaraan yang lebih dikenal dengan nama civic educationdi USA menunjukan adanya perluasan dari waktu ke waktu.

  Secara historis pertumbuhan Civic Education dapat digambarkan sebagai berikut (Sumantri, 1975:31): 1) Civics (1790) 2) Community Civics (1970, A.W.Dunn) 3) Civic Education (1901, Harold Wilson) 4) Civic-citizenship Education (1945, John mahoney) 5) Civic-citizenship Education (1971, NCSS)

  Pelajaran Civicmulai diperkenalkan pada tahun, 1790 di Amerika Serikat dalam rangka “meng-Amerikakan “ bangsa amerika terkenal dengan “Teory of

  Amercanization” penerbit majalah “The Citizen” dan “Civic”pada tahun 1886,

  Henry Randall Waite merumuskan Civic dengan “the science of citizenship the

  relation of man, the individual, to man in organized collection-the individual in the relation to the state, Creshore, Education”(Somantri, 1975:31).

  Penjelasan mengenai Civic mempunyai kesamaan yang sama yaitu membahas mengenai

  “goverman” hak dan kewajiban sebagai warga negara. Akan

  tetapi, arti Civic dalam perkembangan selanjutnya bukan hanya meliputi “goverman” saja, kemudian dikenal dengan istilah Community Civics, Ekonomic Civics, dan Vocational Civics .

  Gerakan “Community Civics” pada tahun 1970 dipelopori oleh W.A Dunn adalah untuk menghadapkan pelajar pada lingkungan atau kehidupan sehari-hari dalam hubungnnya dengan ruang lingkup lokal, nasional maupun internasional. Gerakan “Community Civics” disebabkan pula karena pelajaran civics pada waktu itu hanya mempelajari konstitusi dan pemerintah saja, akan tetapi kurang memperhatikan lingkungan sosial.

  Selain gerakan Community civics, timbul pula gerakan civic education atau banyak disebut pula sebagai Citizenship Education. Ruang lingkup Civics Education (Somantri, 1975:33), antara lain: 1) Civic Education meliputi seluruh program dari sekolah. 2) Civics Education meliputi berbagai macam kegiatan belajar mengajar, yang dapat menumbuhkan hidup dan tingkah laku yang lebih baik dalam masyarakat demokratis. 3) Dalam Civic Education termasuk pul hal-hal yang menyangkut, pengalaman, kepentingan masyarakaat, pribadi dan syarat-syarat obyektif hidup bernegara.

  NCSS (Somantri, 1975:33 ) merumuskan mengenai Citizenship Education sebagai berikut:

  “Citizenship Education is aproses comprising all the positive influences which are intended to shape a citizhen view to his role in society. It comes partly from formal schooling, partly from parental influences and partly from learning outside the classroom and the home. Trough Citizhenshhip Education, our youth are helped to gain an understanding of our national ideas, the common good, and the prosess of the self goverman”.

  Dari defenisi tersebut dapat ditarik kesimpulan cakupan PKn lebih luas, karena bahannya selain mencakup program sekolah juga meliputi pengaruh belajar diluar kelas, dan pendidikan di rumah. Selanjutnya PKn digunakan untuk membantu generasi muda memperoleh pemahamn cita-cita nasional/tujuan negara dan dapat mengambil keputusan-keputusan yang bertanggung jawab dalam menyelesaikan masalah pribadi, masyarakat dan negara. Unsur-unsur Civiv Education yang dapat menjadi acuan bagi para pelajar, antara lain: mengetahui, memahami dan mengapresiasikan cita-cita nasional; dan dapat membuat keputusan-keputusan yang cerdas.

  Kuhn (Winataputra dan Budimansyah, 2007:71) menyatakan bahwa perkembangan istilah Civics Education di Indonesia terjadi pada tahun: 1) Kewarganegaraan (1957), membahas cara memperoleh dan kehilangan kewarganegaran. 2) Civics (1962), tampil dalam bentuk indoktrinasi politik. 3) Pendidikan Kewargaan Negara (1968) sebagai unsur dari pendidikan kewargaan negara yang bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial. 4) Pendidikan Kewargaan Negara (1960) tampil dalam bentuk pengajaran konstitusi dan ketetapan MPRS. 5) Pendidikan Kewargaan Negara (1973) yang diidentikan dengan pengajaran IPS. 6) Pendidikan moral pancasila (1975 dan 1984) tampil menggantikan PKN dengan isi pembahasan P4. 7) Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan (1994) sebagai penggabungan bahan kajian pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang tampil dalam bentuk pengajaran konsep nilai yang disaripatikan dari pancasila dan P4.

2.3 Hakikat Metode Excample non Excample

2.3.1 Pengertian Metode Examples non Examples

  Metode adalah salah satu bagian terpenting dalam proses belajar mengajar dimana merupakan faktor penunjang keberhasilan dalam kegiatan pembelajaran. Menurut pendapat Riyanto (2002:32) menyatakan bahwa metode adalah”Seperangkat komponen yang telah dikombinasikan secara optimal untuk kwalitas pembelajaran.

  Metodeadalah metode yang menggunakan media gambar dalam penyampaian materi pembelajaran yang bertujuan mendorong siswa untuk belajar berfikir kritis dengan jalan memecahkan permasalahan-permasalahan yang terkandung dalam contoh-contoh gambar yang disajikan.

  Mejuga merupakan metode yang mengajarkan pada siswa untuk belajar mengerti dan menganalisis sebuah konsep. Konsep pada umumnya dipelajari melalui dua cara. Paling banyak konsep yang kita pelajari di luar sekolah melalui pengamatan dan juga dipelajari melalui definisi konsep itu sendiri

  dalah taktik yang dapat digunakan untuk mengajarkan definisi konsep.

  Menurut pendapat Menurut Buehl (Nurul, 2012:63) keuntungan dari metode

  ntara lain:

  1. Siswa berangkat dari satu definisi yang selanjutnya digunakan untuk memper- luas pemahaman konsepnya dengan lebih mendalam dan lebih komplek.

  2. Siswa terlibat dalam satu proses discovery (penemuan), yang mendorong mereka untuk membangun konsep secara progresif melalui pengalaman dari

  3. Siswa diberi sesuatu yang berlawanan untuk mengeksplorasi karakteristik dari suatu konsep dengan mempertimbangkan bagian non example yang dimungkinkan masih terdapat beberapa bagian yang merupakan suatu karakter dari konsep yang telah dipaparkan pada bagian example.

  Sementara itu menurut Rochyandi, Yadi (2004:11) model pembelajaran kooperatif tipe example non example adalah: “Tipe pembelajaran yang mengaktifkan siswa dengan cara guru menempelkan contoh gambar-gambar yang sesuai dengan tujuan pembelajaran dan gambar lain yang relevan dengan tujuan pembelajaran, kemudian siswa disuruh untuk menganalisisnya dan mendiskusikan hasil analisisnya sehingga siswa dapat membuat konsep yang esensial.”Gambar juga mempunyai peranan penting dalam proses belajar mengajar, yakni untuk mempermudah dan membantu siswa dalam membangkitkan imajinasinya dalam belajar. Selain itu dengan mengggunakan gambar siswa dapat melatih mencari dan memilih urutan yang logis sesuai dengan materi yang diajarkan. Dengan demikian dalam Model Pembelajaran Examples tercakup teori belajar konstruktivisme.

  Non Examples

  Teori konstruktivisme menyatakan siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan- aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan segala sesuatu untuk dirinya, berusahadengan susah payah dengan ide -i de (Slavin dalam Nur dan Wikandari,2002: 8).

  Penggunaan Model Pembelajaran Examples Non Examples ini lebih menekankan pada konteks analisis siswa. Biasa yang lebih dominan digunakan di kelas tinggi, namun dapat juga digunakan di kelas rendah dengan menenkankan aspek psikologis dan tingkat perkembangan siswa kelas rendah seperti ; kemampuan berbahasa tulis dan lisan, kemampuan analisis ringan, dan kemampuan berinteraksi dengan siswa lainnya.

  Selanjutnya Slavin dan Chotimah (Depdiknas, 2007 : 1) dijelaskan bahwa examples non examples adalah model pembelajaran yang menggunakan contoh-contoh.

  Contoh-contoh dapat diperoleh dari kasus atau gambar yang relevan dengan Kompetensi Dasar.Konsep model pembelajaran ini pada umumnya dipelajari melalui dua cara. Paling banyak konsep yang kita pelajari di luar sekolah melalui pengamatan dan juga dipelajari melalui definisi konsep itu sendiri. Example Non Examples adalah taktik yang dapat digunakan untuk mengajarkan definisi konsep. Taktik ini bertujuan untuk mempersiapkan siswa secara cepat dengan menggunakan 2 hal yang terdiri dari Example dan non-

  

Examples dari suatu definisi konsep yang ada, dan meminta siswa untuk

  mengklasifikasikan keduanya sesuai dengan konsep yang ada. Example memberikan gambaran akan sesuatu yang menjadi contoh akan suatu materi yang sedang dibahas, sedangkan non-Examples memberikan gambaran akan sesuatu yang bukanlah contoh dari suatu materi yang sedang dibahas. Dengan memusatkan perhatian siswa terhadap example dan non-example diharapkan akan dapat mendorong siswa untuk menuju pemahaman yang lebih dalam mengenai materi yang ada. (Hamzah, 2005:113).Metode

  

Example Non Example dianggap perlu dilakukan karena suatu definisi konsep adalah

  suatu konsep yang diketahui secara primer hanya dari segi definisinya daripada dari sifat fisiknya. Dengan memusatkan perhatian siswa terhadap example dan non-example diharapkan akan dapat mendorong siswa untuk menuju pemahaman yang lebih dalam mengenai materi yang ada.

  Berdasarkan uraian di atas, maka menyiapkan pengalaman dengan contoh dan non-contoh akan membantu siswa untuk membangun makna yang kaya dan lebih mendalam dari sebuah konsep penting. Joyce and Weil (Suyanto, 2009:1) telah memberikan kerangka konsep terkait strategi tindakan, yang menggunakan metode

  Example Non example , sebagai berikut:

  1. Menggeneralisasikan pasangan antara contoh dan non-contoh yang menjelas- kan beberapa dari sebagian besar karakter atau atribut dari konsep baru. Menya- jikan itu dalam satu waktu dan meminta siswa untuk memikirkan perbedaan apa yang terdapat pada dua daftar tersebut. Selama siswa memikirkan tentang tiap

  Examples dan non-Examples tersebut, tanyakanlah pada mereka apa yang membuat kedua daftar itu berbeda.

  2. Menyiapkan Examples dan non Examples tambahan, mengenai konsep yang lebih spesifik untuk mendorong siswa mengecek hipotesis yang telah dibuatnya sehingga mampu memahami konsep yang baru.

  3. Meminta siswa untuk bekerja berpasangan untuk menggeneralisasikan konsep

  Examples dan non-Examples mereka. Setelah itu meminta tiap pasangan untuk

  menginformasikan di kelas untuk mendiskusikannya secara klasikal sehingga tiap siswa dapat memberikan umpan balik.

  4. Sebagai bagian penutup, adalah meminta siswa untuk mendeskripsikan konsep yang telah diperoleh dengan menggunakan karakter yang telah didapat dari

  Examples dan Non-Examples.

  Berdasarkan hal di atas, maka penggunaan metode example non example pada prinsipnya adalah upaya untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk menemukan konsep pelajarannya sendiri melalui kegiatan mendeskripsikan pemberian contoh dan bukan contoh terhadap materi yang sedang dipelajari. Pembelajaran kooperatif model Examples Non Examples memberi ruang dan kesempatan yang luas kepada setiap anggota kelompok untuk bertatap muka saling memberikan informasi dan saling membelajarkan. Interaksi tatap muka akan memberikan pengalaman yang berharga kepada setiap anggota kelompok untuk bekerja sama, menghargai setiap perbedaan, memanfaatkan kelebihan masing-masing anggota dan mengisi kekurangan masing-masing. Pembelajaran kooperatif model Examples Non

  Examples melatih siswa untuk dapat mampu berpartisipasi aktif dan berkomunikasi.

  Kemampuan ini sangat penting sebagai bekal mereka dalam kehidupan di masyarakat kelak. Oleh sebab itu, sebelum melakukan kooperatif, guru perlu membekali siswa dengan kemampuan berkomunikasi. Tidak setiap siswa mempunyai kemampuan berkomunikasi, misalnya kemampuan mendengarkan dan kemampuan berbicara, padahal keberhasilan kelompok ditentukan oleh partisipasi setiap anggotanya.

2.3.2 Prinsip Model Pembelajaran Examples Non Examples

  1. Metode Example non Example juga merupakan metode yang mengajarkan pada siswa untuk belajar mengerti dan menganalisis sebuah konsep. Konsep pada umumnya dipelajari melalui dua cara. Paling banyak konsep yang kita pelajari di luar sekolah melalui pengamatan dan juga dipelajari melalui definisi konsep itu sendiri. Examples and Non

  exampls adalah taktik yang dapat digunakan untuk mengajarkan definisi konsep.

  2. Strategi yang diterapkan dari metode ini bertujuan untuk mempersiapkan siswa secara cepat dengan menggunakan 2 hal yang terdiri dari Examples dan Non-Examples dari suatu definisi konsep yang ada, dan meminta siswa untuk mengklasifikasikan keduanya sesuai dengan konsep yang ada. memberikan gambaran akan sesuatu yang menjadi contoh akan suatu materi yang

  3. Example

  sedang dibahas, sedangkan

  

4. Non-Example memberikan gambaran akan sesuatu yang bukanlah contoh dari suatu materi

yang sedang dibahas.

  5. Metode Examples non Examples penting dilakukan karena suatu definisi konsep adalah suatu konsep yang diketahui secara primer hanya dari segi definisinya daripada dari sifat fisiknya. Dengan memusatkan perhatian siswa terhadap example dan non-example diharapkan akan dapat mendorong siswa untuk menuju pemahaman yang lebih dalam mengenai materi yang ada.

  6. Prinsip Reaksi model pembelajaran Examples Non Examples adalah Guru memberi satuan informasi yang besar menjadi komponen-komponen yang lebih kecil. Selanjutna guru membagi siswa kedalam kelompok belajar 2-3 orang siswa, sehingga setiap anggota bertanggung jawab atas setiap penguasaan komponen-komponen yang di tugaskan sebaik-baiknya. Sehingga menyebabkan tumbuhnya rasa senang dalam proses belajar mengajar, serta dapat menjadikan siswa lebih semangat belajar karena dapat melihat secara langsung.

  7. Dalam sistem sosial guru selalu mengamati semua yang di lakukan tiap kelompok agar kegiatan berjalan lancar. Dalam model ini guru tidak banyak mejelaskan tentang materi.

  Guru hanya menyiapkan materi yang berupa gambar-gambar untuk memfasilitasi anak dalam mendiskusikan sebuah materi dan dilakukan secara kelompok. Dalam kelompok tersebut tidak hanya materi yang di bahas saja melainkan juga member arti penting dari kerjasama, persaingan sehat antar kelompok, keterlibatan belajar dan tanggung jawab.(Slameto, 2003:44)

2.3.3 Kelebihan Metode Example non Examples

  Menurut Buehl (Nurul, 2012:21) mengemukakan keuntungan metode examplenon example antara lain:

  1. Siswa berangkat dari satu definisi yang selanjutnya digunakan untuk memperluas pemahaman konsepnya dengan lebih mendalam dan lebih kompleks.

  2. Siswa terlibat dalam satu proses discovery (penemuan), yang mendorong mereka untuk membangun konsep secara progresif melalui pengalaman dari example dan non example

  3. Siswa diberi sesuatu yang berlawanan untuk mengeksplorasi karakteristik dari suatu konsep dengan mempertimbangkan bagian non example yang dimungkinkan masih terdapat beberapa bagian yang merupakan suatu karakter dari konsep yang telah dipaparkan pada bagian example.

  4. Siswa lebih berfikir kritis dalam menganalisa gambar yang relevan dengan Kompetensi Dasar (KD)

  5. Siswa mengetahui aplikasi dari materi berupa contoh gambar yang relevan dengan Kompetensi Dasar (KD)

  6. Siswa diberi kesempata mengemukakan pendapatnya yang mengenai analisis gambar yang relevan dengan Kompetensi Dasar (KD) Sementara itu Tennyson dan Pork (Ismail, 2003) menyarankan bahwa jika guru akan menyajikan contoh dari suatu konsep maka ada tiga hal yang seharusnya diperhatikan, yaitu: a. Urutkan contoh dari yang gampang ke yang sulit.

  b. Pilih contoh-contoh yang berbeda satu sama lain.

  c. Bandingkan dan bedakan contoh-contoh dan bukan contoh.

2.3.4 Langkah-Langkah Penggunaan metode Examples non examples

  Menurut (Agus Suprijono, 2009 : 125) Langkah

  • – langkah model pembelajaran

  examples non examples diantaranya :

  1. Guru mempersiapkan gambar-gambar sesuai dengan tujuan pembelajaran. Gambar yang digunakan tentunya merupakan gambar yang relevan dengan materi yang dibahas sesuai dengan Kompetensi Dasar.

  2. Guru menempelkan gambar di papan atau ditayangkan melalui LCD atau OHP, jika ada dapat pula menggunakan proyektor. Pada tahapan ini guru juga dapat meminta bantuan siswa untuk mempersiapkan gambar yang telah dibuat dan sekaligus pembentukan kelompok siswa.

  3. Guru memberi petunjuk dan memberi kesempatan pada peserta didik untuk memperhatikan/menganalisis gambar. Biarkan siswa melihat dan menelaah gambar yang disajikan secara seksama, agar detil gambar dapat difahami oleh siswa. Selain itu, guru juga memberikan deskripsi jelas tentang gambar yang sedang diamati siswa.

  4. Melalui diskusi kelompok 2-3 orang peserta didik, hasil diskusi dari analisis gambar tersebut dicatat pada kertas. Kertas yang digunakan akan lebih baik jika disediakan oleh guru.

  5. Tiap kelompok diberi kesempatan membacakan hasil diskusinya. Siswa dilatih untuk menjelaskan hasil diskusi mereka melalui perwakilan kelompok masing-masing.

  6. Mulai dari komentar/hasil diskusi peserta didik, guru mulai menjelaskan materi sesuai tujuan yang ingin dicapai. Setelah memahami hasil dari analisa yang dilakukan siswa, maka guru mulai menjelaskan materi sesuai tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.

  7. Guru dan peserta didik menyimpulkan materi sesuai dengan tujuan pembelajaran 2.4 Hakikat Ham .

2.4.1 Pengertian Hak Asasi Manusia

  Lopa (2010:144) menyatakan secara singkat bahwa Hak Asasi Manusia adalah “Hak-hak yang melekat pada manusia,yang tanpa dengannya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia”.Sedangkan menurut pemikiran Ubaidilah et el.(2010:144) mendefinisikan bahwa HAM adalah:

  “Hak-hak dasar atau hak pokok manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa bukan pemberian manusia atau penguasa”. Hak ini bersifat mendasar bagi hidup dalam kehidupan manusia. HAM juga berarti sebagai hak dasar(asasi), yang di miliki dan melekat pada manusia, karena kedudukannya sebagai manusia .Tanpa adanya hak tersebut manusia akan kehilangan harkat dan martabatnya sebagai manusia”.

  Sejalan dengan pemikiran Budiarjo, (2009:122) menyatakan bahwa “HAM merupakan hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya didalam kehidupan masyarakat”. Disisi lain dalam Tap MPRRI No.XVII/MPR/1 998 Tentang HAM, bahwa “Hak asasi merupakan hak sebagai anugrah Tuhan yang Maha Esa yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati, universal, dan abadi”. Dinegara indonesia Ham lebih terperinci ditegaskan dalam UU No.39 Tahun 1999 bahwa HAM adalah merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi oleh negara,hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

2.4.2 Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia