15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Religiusitas 2.1.1 Pengertian Religiusitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Religiusitas

  2.1.1 Pengertian Religiusitas

  Pengertian atau definisi dari setiap variabel penelitian tentunya akan berkembang dari tahun ke tahun, demikian pula dengan pengertian atau definisi dari religiusitas. Religiusitas menurut Mangunwijaya (1986) merupakan aspek yang telah dihayati oleh individu di dalam hati, getaran hati nurani pribadi dan sikap personal. Sedangkan menurut Glock & Stark (dalam Dister, 1988) religiusitas yaitu sikap keberagamaan yang berarti adanya unsur internalisasi agama ke dalam diri seseorang. Menurut Majid (1997) religiusitas adalah tingkah laku manusia yang sepenuhnya dibentuk oleh kepercayaan kepada kegaiban atau alam gaib, yaitu kenyataan-kenyataan supra-empiris.

  Jadi, dalam penelitian ini, pengertian yang dipakai untuk memaknai religiusitas adalah sebagai suatu penghayatan dan internalisasi ajaran-ajaran agama ke dalam hati dan sikap personal.

  2.1.2 Dimensi Religiusitas

  Menurut Glock & Stark (dalam Ancok & Suroso, 1994), religiusitas memiliki lima dimensi, yaitu :

  1. Dimensi keyakinan (ideologis), dimensi ini berkaitan dengan pengharapan-pengharapan, yaitu seseorang yang religius akan berpegang teguh kepada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran

  15 doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama memiliki seperangkat kepercayaan yang diharapkan ditaati oleh para penganutnya.

  2. Dimensi praktek agama (ritualistik), dimensi ini berkaitan dengan perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan oleh seseorang untuk menunjukkan komitmennya terhadap agama yang ia anut.

  3. Dimensi pengalaman (eksperiensial), dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan- pengharapan tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan subjektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir (kenyataan terakhir bahwa ia akan mencapai suatu kontak dengan kekuatan supranatural).

  Seperti yang telah dikatakan, dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang atau didefinisikan oleh suatu kelompok keagamaan (atau suatu masyarakat) yang melihat komunikasi, walaupun kecil, dalam suatu esensi ketuhanan, yaitu dengan Tuhan, kenyataan terakhir, dengan otoritas transendental.

  4. Dimensi pengetahuan agama (intelektual), dimensi ini berkaitan dengan harapan bahwa orang-orang yang beragama setidaknya memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi. Dimensi pengetahuan dan keyakinan jelas berkaitan satu sama lain, karena pengetahuan mengenai suatu keyakinan adalah syarat bagi penerimaannya. Walaupun demikian, keyakinan bisa saja tidak diikuti oleh pengetahuan . Oleh karena itu, seseorang bisa saja memiliki keyakinan yang sangat kuat terhadap agamanya meski memiliki pengetahuan yang minim tentang agamanya tersebut.

  5. Dimensi pengamalan (konsekuensial), konsekuensi komitmen beragama berbeda dari keempat dimensi lainnya. Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan , praktek, pengalaman, dan penge tahuan seseorang dari hari ke hari. Istilah ‘kerja’ dalam pengertian teologis digunakan di sini. Walaupun agama banyak menggariskan bagaimana pemeluknya seharusnya berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari, tidak sepenuhnya jelas sebatas mana konsekuensi-konsekuensi agama merupakan bagian dari komitmen keagamaan atau semata-mata berasal dari agama.

2.1.3 Religiusitas dalam Islam

  Menurut Ancok & Suroso (1994), lima dimensi keberagamaan yang diungkapkan oleh Glock & Stark, jika diterjemahkan ke dalam sudut pandang Islam, maka hasilnya adalah sebagai berikut : a.

  Dimensi keyakinan, bisa disebut juga akidah Islam menunjukkan bagaimana tingkat keyakinan seorang muslim terhadap kebenaran ajaran- ajaran agama Islam, terutama terhadap ajaran-ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatik. Di dalam agama Islam, dimensi ini berkaitan dengan keimanan, yaitu menyangkut keyakinan tentang Allah Swt, para malaikat, Nabi/Rasul, kitab-kitab Allah, surga dan neraka, serta qadha dan qadar.

  b.

  Dimensi peribadatan (atau praktek agama) atau syariah menunjuk pada bagaimana tingkat kepatuhan seorang muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana yang diperintahkan oleh agama. Dalam agama Islam, yang termasuk ke dalam dimensi ini adalah melaksanakan shalat, puasa, zakat, haji, membaca Al-Quran, berzikir, dll.

  c.

  Dimensi pengamalan atau akhlak, menunjukkan bagaimana tingkatan seorang muslim dalam berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agama Islam, yaitu bagaimana individu berelasi dengan dunianya terutama dengan manusia lain. Dalam kagama Islam, dimensi ini meliputi perilaku suka menolong, berkerjasama, berderma, menyejahterakan orang lain, menegakkan keadilan dan kebenaran, berlaku jujur, memaafkan, menjaga lingkungan hidup, menjaga amanat, tidak menipu, tidak mencuri, mematuhi norma-norma Islam dalam perilaku seksual, berjuang untuk hidup sukses menurut ukuran Islam, dan sebagainya.

  d.

  Dimensi pengalaman / penghayatan, menunjuk pada bagimana tingkat seorang muslim dalam merasakan dan mengalami perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman religius. Dalam agama Islam, dimensi ini terwujud dalam perasaan dekat/akrab dengan Allah Swt, perasaan doa- doanya sering terkabul, perasaan tenteram bahagia karena menuhankan Allah Swt, perasaan bertawakkal (pasrah diri kepada Allah Swt), perasaan khusyuk ketika melaksanakan shalat atau berdoa, perasaan tergetar ketika mendengar azan atau ayat-ayat Al- Qur’an, prasaan bersyukur kepada Allah Swt, perasaan mendapat peringatan dan pertolongan dari Allah Swt.

  e.

  Dimensi pengetahuan atau ilmu menunjuk pada bagaimana tingkat pengetahuan dan pemahaman seorang muslim terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama mengenai ajaran-ajaran pokok dari agamanya. Dalam keberislaman, ini meliputi pengetahuan tentang isi Al-Quran, pokok- pokok ajaran yang harus diimani dan dilaksanakan (rukun Islam dan rukun Iman), hukum-hukum Islam, dan sebagainya.

2.2 Gay

2.2.1 Pengertian Gay

  Gay adalah ketertarikan seksual yang dimiliki oleh pria terhadap jenis kelamin yang sama (Feldmen,1990). Selain itu, menurut Kendall dan Hammer (1998), gay bukanlah hanya kontak seksual antara seseorang pria dengan pria, tetapi juga menyangkut pria yang memiliki kecenderungan psikologis, emosional, dan sosial terhadap sesama pria.

  Gay menurut Dede Oetomo (2001) merupakan orang-orang yang orientasi atau pilihan seks pokok atau dasarnya, entah diwujudkan ataupun tidak, diarahkan pada sesama jenis kelaminnya. Berdasarkan pengertian tersebut berarti ketertarikan yang muncul bisa secara emosional dan seksual.

  Berdasarkan beberapa pengertian yang disebutkan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa gay adalah bentuk ketertarikan yang dimiliki oleh seorang kepada pria, dan ketertarikan yang muncul tersebut semata-mata bukan hanya dalam hal perilaku seksual saja, melainkan juga yang masih berwujud emosional / belum dilanjutkan ke dalam bentuk perilaku.

2.2.2 Faktor yang Dapat Menyebabkan Individu Menjadi Gay

  Menurut Kartono (1989) ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan individu menjadi seorang gay, yaitu : a.

  Faktor herediter.

  Akibat adanya ketidakseimbangan hormon-hormon seks selama masa kehamilan Ibu.

  b.

  Lingkungan.

  Ada pengaruh yang buruk dari lingkungan yang membahayakan kematangan seksual yang normal.

  c.

  Pengalaman gay di masa lalu.

  Seseorang bisa saja mencari kepuasan melalui hubungan gay karena ia telah pernah menghayati pengalaman gay yang menggairahkan di masa lalu.

  d.

  Pengalaman traumatis.

  Seorang anak laki-laki yang mempunyai pengalaman traumatis dengan ibunya bisa membuat timbulnya rasa kebencian atau antipati terhadap ibunya dan akhirnya digeneralisasikan kepada seluruh wanita sehingga muncul dorongan menjadi gay yang menetap.

  Menurut penelitian yang dilakukan oleh Iskandar Dzulkarnain (2011) , salah satu penyebab seseorang menjadi gay adalah karena situasi tempat tinggal yang mengharuskan mereka hidup terpisah dari pergaulan dengan wanita selama bertahun-tahun.

2.3 Pandangan Islam terhadap Gay Ditinjau dari Perilakunya

  Berdasarkan observasi, pada kenyataannya, ternyata ada beberapa kondisi gay ditinjau dari bagaimana mereka menjalani kehidupan sebagai gay. Salah satunya adalah kondisi gay yang aktif dalam menjalankan kehidupannya sebagai gay, yaitu dengan menjalin hubungan dengan sesama jenis, mengajak dan memperbolehkan melakukan hubungan seksual sesama jenis. Di sisi lain, ternyata ada gay dengan kondisi yang berbeda, yaitu gay yang menganggap bahwa keadaannya sebagai gay merupakan cobaan yang harus dijalani, sehingga dalam kehidupannya ia tidak mau menjalin hubungan sesama jenis dan juga tidak mau melakukan hubungan seksual sesama jenis, serta berusaha agar tidak ada yang mengetahui orientasinya sebagai gay.

  Kondisi yang pertama, yaitu gay yang mau menjalin hubungan dengan sesama jenis, dan melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis. Pandangan Islam terhadap kondisi ini adalah yang secara mutlak menganggap gay seperti itu berdosa. Hal tersebut berdasarkan ayat-ayat Al-

  Qu’ran sebagai berikut :

  “ Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia Berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu sedang kamu memperlihatkan(nya), Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu). Maka tidak lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan: “Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu; Karena Sesungguhnya mereka itu orang- orang yang (menda’wakan dirinya) bersih”. Maka kami selamatkan dia beserta keluarganya, kecuali isterinya. Kami telah mentakdirkan dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan kami turunkan hujan atas mereka (hujan batu), Maka amat buruklah hujan yang ditimpakan atas orang-or ang yang diberi peringatan itu”

  (Q.S Naml: 54-58)

  “ Mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji (homoseks) itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kamu “

  (Q.S Al- A’raf : 8)

  “Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (dibalikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tidak jauh dari orang- orang zalim”

  (Q.S Hud : 82-83) Berdasarkan pandangan dari ayat Al-

  Qur’an tersebut,maka ditetapkanlah hukuman bagi para pelaku perilaku seksual gay, yaitu Sabiq (1981) menjelaskan bahwa para para ulama fiqh berbeda pendapat tentang hukuman bagi pelaku hubungan seksual sesama jenis. Ada tiga pendapat, yaitu dibunuh secara mutlak, dihad sebagaimana had zina. Bila pelakunya belum menikah, ia harus didera, bila pelakunya muhsan ia harus dihukum rajam, dan yang terakhir dikenakan hukuman

  ta

’zir. Pendapat pertama dikemukakan oleh sahabat Rasul, Nashir, Qasim bin

  Ibrahim, dan Imam Syafi‟ i (dalam suatu pendapat) mereka menyatakan bahwa para pelaku hubungan seksual sesama jenis dikenakan hukum bunuh, baik ia seorang bikr (perjaka) atau muhsan (sudah menikah). Yang menjadi dasar hukumnya adalah hadis Rasulullah:

  “ Dari Ikrimah, bahwa Ibn Abbas berkata, “Rasulullah saw. bersabda, „Barangsiapa orang yang berbuat sebagaimana perbuatan kaum Nabi Luth (homoseks), maka bunuhlah pelakunya dan yang diperlakukan

  Hadis ini dimuat pula dalam kitab al-Nail yang dikeluarkan oleh Hakim dan Baihaqi. Al-Hafizh mengatakan bahwa para rawi hadis ini dapat dipercaya, akan tetapi hadisnya masih diperselisihkan kebenarannya. Malikiyah, Hanabilah dan Syafi‟ iyah, berpendapat bahwa had bagi pelaku hubungan seksual sesama jenis adalah rajam dengan batu sampai mati, baik pelakunya seorang bikr (jejaka) maupun muhsan (orang yang telah menikah). Yang menjadi dasar pendapatnya adalah sabda Rasulullah SAW : “Bunuhlah pelakunya dan pasangannya”.

  Hadis ini juga dikeluarkan oleh Baihaqi dari Sa‟ id Ibn Jabir, dan Mujahid dari Ibnu Abbasr.a. bahwa ia ditanya tentang bikr yang melakukan hubungan seksual sesama jenis, maka ia menjawab bahwa hukumannya adalah rajam, berdasarkan hadis Rasulullah :

  “ Bahwa had homoseks adalah rajam, baik pelakunya jejaka maupun orang yang telah menikah”.

  Berdasarkan keterangan di atas, had yang dikenakan kepada pelaku hubungan seksual sesama jenis adalah hukum bunuh. Akan tetapi para sahabat Rasul berbeda pendapat dalam menetapkan cara membunuhnya.

  Pandangan Islam terhadap kondisi yang kedua, yaitu gay yang bersabar dengan orientasinya, tidak mau menjalin hubungan dengan sesama jenis, apalagi melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis, adalah gay tersebut belum tentu berdosa. Menurut seorang ustad yang diwawancarai oleh peneliti, Jika seorang gay mampu menahan diri untuk tidak melanjutkan orientasinya ke dalam bentuk hubungan yang lebih jauh dengan sesama jenisnya dan jika ia mau dibimbing untuk tetap berada di jalan yang lurus, maka dia belum tentu berdosa bahkan hal tersebut bisa menjadi bentuk jihadnya di dunia ini, sehingga bisa saja di akhirat kelak kadar keimanannya menjadi lebih tinggi di sisi Allah SWT dibandingkan dengan pria heteroseksual namun jauh dari ketaatan.

  “Jadi intinya, selama dia sanggup menahan dirinya untuk tidak melakukan perilaku seksual dengan sesama laki-laki , maka dia tidak berdosa, bahkan itu bisa jadi jihad dia di dunia ini “

  ((Komunikasi personal, 18 Mei 2015)

2.3. Paradigma Teoritis

  Kurang dalam hal Menjalankan erintah menjalankan perintah agama dengan baik agama, dan mau dan menjauhkan diri melakukan hal-hal dari larangan Tuhan yang dilarang oleh agama

  

Memiliki religiusitas Memiliki religiusitas

yang baik yang kurang baik

  

Religiusitas

Keyakinan Peribadatan Pengamalan Pengalaman Pengetahuan

Keyakinan Shalat, Menolong Pengabulan Pokok-pokok

ajaran agama kepada puasa, orang lain, doa,

  Allah , Al- membaca jujur, perasaan Qur’an, Al- Qur’an, memegang kedekatan Malaikat, dll amanah, dll dengan rasul, hari

  Allah, dll kiamat, takdir Merasa Ibadahnya Kurang Kurang

  Kurang kurang yakin masih mengamalkan merasakan memiliki

kurang ajaran agama kedekatan

pengetahuan dengan Allah agama

  Gay

2.4. Kerangka Teoritis

  Religiusitas Remaja Awal Memilih pasangan untuk dibawa ke jenjang hubungan yang lebih intim

  Dimiliki oleh orang yang beragama

  Kenyataannya ada yang dengan sesama jenis Seharusnya dengan lawan jenis

  Terjadi konflik antara keinginan untuk patuh terhadap nilai-nilai dan aturan agama dengan dorongan atau hasrat yang ditujukan kepada sesama jenis

  Masyarakat menganggap gay tidak memiliki religiusitas

  Mempengaruhi religiusitas Jadi bagaimanakah sebenarnya religiusitas yang dimiliki oleh seorang gay ?

Dokumen yang terkait

Hubungan antara Diabetes Melitus Tipe II dengan Burning Mouth Syndrome di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 1 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus - Hubungan antara Diabetes Melitus Tipe II dengan Burning Mouth Syndrome di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 1 17

BAB II - Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Milik Pt.Kereta Api Indonesia Dengan Masyarakat (Studi Kasus Desa Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang)

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Milik Pt.Kereta Api Indonesia Dengan Masyarakat (Studi Kasus Desa Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang)

0 0 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Penggunaan Bahan Additive Silicafume Dan Superplasticizer Terhadap Perilaku Fisis Dan Mekanis Beton Mutu Tinggi Pasca Bakar

0 0 57

BAB 1 PENDAHULUAN - Pengaruh Penggunaan Bahan Additive Silicafume Dan Superplasticizer Terhadap Perilaku Fisis Dan Mekanis Beton Mutu Tinggi Pasca Bakar

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Bank - Determinan Efisiensi BUMD RegionalSumatera Berdasarkan Data Envelopment Analysis (DEA) Studi Kasus: Bank Aceh, Bank Nagari, dan Bank Sumut

0 0 19

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Determinan Efisiensi BUMD RegionalSumatera Berdasarkan Data Envelopment Analysis (DEA) Studi Kasus: Bank Aceh, Bank Nagari, dan Bank Sumut

0 0 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Kredit Menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998, “Kredit - Analisis Pengaruh Kredit Usaha Rakyat (KUR) Terhadap Tingkat produktivitas Hasil Panen Padi di Kecamatan Air Putih Kabupaten Batu Bara

0 0 25

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan ekonomi diartikan sebagai suatu proses kegiatan yang - Analisis Pengaruh Kredit Usaha Rakyat (KUR) Terhadap Tingkat produktivitas Hasil Panen Padi di Kecamatan Air Putih Kabupaten Batu Bara

0 0 8