Karakteristik Penderita Systemic Lupus Erythematosus (SLE) yang Dirawat Inap di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2011-2015
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
SLE adalah penyakit rematik autoimun dengan karakteristik berupa
perandangan yang tersebar luas, dapat menyerang semua organ atau sistem dalam
tubuh (Suarjana, 2009). Antibodi yang berbeda yang diproduksi pada penderita
SLE, menimbulkan gejala yang berbeda sesuai dengan spesifik organ yang
diserang (Tutuncu dkk, 2007).
2.2 Etiologi SLE
Penyakit autoimun seperti SLE tidak dapat dijelaskan dengan penyebab
tunggal atau mekanismenya. Sampai saat ini penyebab pasti SLE belum diketahui
pasti (Akil, 2012). Para pakar sependapat bahwa penyebabnya merupakan
multifactor, baik endogen maupun eksogen. Salah satu faktor endogen adalah
faktor genetik dan sebagian besar diinduksi oleh satu atu lebih faktor eksogen
(Kresno, 2003) akibat terbentuknya limfosit T dan B autoreaktif yang persisten
(Akib dkk, 2007).
2.3 Patogenesis SLE
Patogenesis SLE memiliki model seperti penyakit autoimun lainnya,
penyakit timbul pada individu yang rentan secara genetik dan cenderung menjadi
autoreaktif karena dipicu oleh agen lingkungan dan hormonal. Kejadian ini
menyebabkan gangguan sel B dan T yang menyebabkan produksi autoantibodi
(Pisetsky, 2012).
7
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
8
Penyebab terjadinya respons autoimun bermacam-macam, walaupun belum
ada bukti-bukti yang memastikan patogenesis penyakit autoimun tetapi diduga
kerusakan jaringan terjadi dengan beberapa mekanisme. Pada dasarnya kerusakan
akibat destruksi sel, kerusakan akibat pembentukan kompleks imun, dan
kerusakan akibat reaksi imunologik selular bekerja sama untuk menimbulkan
keadaan patologik (Kresno, 2003).
Pada penderita yang secara genetik menunjukkan predisposisi untuk SLE
dapat dijumpai gangguan sistem regulasi sel T dan fungsi sel B, yang dapat
diinduksi oleh berbagai faktor. Gejala awal yang menetap adalah adanya anergi
terhadap antigen yang umum. Diduga hal ini timbul akibat adanya anti-limfosit T
yang menyebabkan limfopenia dan kepekaan terhadap infeksi oportunistik.
Defisiensi sel T penekan (T cell suppressor/ Ts) merupakan gangguan imunitas
selular yang paling menonjol. Sebaliknya sel B menjadi hipeaktif karena tidak
adanya pengendali oleh Ts, atau aktivasi berlebihan melalui pembentukan B-cellgrowth-factor (BCGF) dan B-cell-differentiation-factor (BCDF) (Kresno, 2003).
Hiperaktivitas sel B dapat menjelaskan hipergamaglobulinemia dan adanya
sel B yang memproduksi immunoglobulin berlebihan di darah tepi. Hiperaktivitas
sel B tidak selalu merangsang pembentukan ANA atau anti-DNA, bila tidak ada
kelainan gen. Penderita SLE aktivasi sel B menyebabkan pembentukan ANA dan
anti-DNA secara tidak terkendali, yang kemudian berikatan dengan antigen yang
relevan. Kompleks yang terbentuk selanjutnya dapat mengaktivasi komplemen
yang mengakibatkan kerusakan jaringan, seperti kerusakan pembuluh darah
7
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
9
(vaskulitis), kerusakan glomerulus (glomeluronefritis), dan kerusakan jaringan
lainnya (Kresno, 2003).
Gambar 2.1 Patogenesis SLE
Sumber: Suarjana, 2009
2.4 Manifestasi Klinis SLE
2.4.1 Manifestasi Konstitusional
Manifestasi konstitusional yang sering dijumpai adalah kelelahan pada
penderita SLE dan biasanya mendahului manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini
sulit untuk dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan
seperti adanya anemia, meningkatnya beban fisik dan konflik kejiwaan. Kelelahan
yang disebabkan oleh aktifitas penyakit SLE dapat diketahui dengan pemeriksaan
7
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
10
penunjang, yaitu kadar C3 serum yang rendah. Pada kelelahan akibat SLE
memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan (Isbagio dkk, 2010).
Manifestasi lainnya adalah demam, yang dapat mencapai >40°C tanpa
bukti infeksi seperti leukositosis dan biasanya tidak disertai dengan menggigil
(Paypal, 2012). Selanjutnya, penurunan berat badan juga dapat terjadi akibat
demam dan menurunnya nafsu makan atau akibat gejala gastrointestinal (Isbagio
dkk, 2010).
2.4.2 Manifestasi Muskuloskeletal
Manifesatasi muskuloskeletal terjadi hampir pada semua penderita SLE
dalam bentuk artralgia dan mialgia sebagian besar menderita artritis intermiten
(Hahn, 2006). Artralgia terjadi pada 80-90% penderita SLE, tidak terdapat tandatanda radang obyektif, penderita hanya mengeluh nyeri saat diam maupun
bergerak. Artritis terjadi pada 50% penderita SLE, selain nyeri terjadi
kebengkakan pada sendi, kemerahan, sendi terasa hangat, kekakuan pada pagi hari
setelah bangun tidur (Wahono, 2012).
Mialgia terjadi pada 70% penderita sedangkan miositis pada 5-10%
penderita SLE. Selain itu osteopenia dan osteoporosis sering terjadi berupa radang
kronik karena aktivitas SLE serta obat-obatan yang dikonsumsi penderita SLE
(Wahono, 2012).
2.4.3
Manifestasi Kulit
Para peneliti membagi lesi kulit lupus menjadi tiga kelompok tersendiri
yaitu :
7
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
11
a. Lesi lupus eritematosus kulit akut (acute cutaneous lupus erythematosus,
ACLE) berkaitan erat dengan SLE aktif, namun lesi ACLE kadang ditemukan
pada
lupus
eritematosus
kulit
subakut
(subacute
cutaneous
lupus
erythematosus, SCLE).
b. SCLE bentuk kategori kedua
c. Lupus eritematosus kulit kronik (chronic cutaneous lupus erythematosus,
CCLE) biasanya disebut sebagai lupus eritematosus diskoid (discoid lupus
erythematous, DLE). Lesi DLE dapat di temukan baik pada SLE maupun
CCLE (Goodheart, 2009).
Sebanyak 4 dari 11 kriteria American Rheumatologic Association (ARA)
untuk lupus berkaitan dengan kulit dan dianggap lesi spesifik lupus yaitu :
a. Ruam “kupu-kupu” atau malar klasik adalah eritema menetap di pipi, kelainan
ini sering menjadi gejala awal lupus dan terjadi kekambuhan setelah pajanan
matahari.
Gambar 2.2 Ruam Kupu-kupu (malar rash)
b. Fotosensitifitas terjadi sebagai reaksi yang berlebihan atau tak lazim terhadap
sinar matahari.
c. Lesi diskoid merupakan lesi eritematosa yang berkembang menjadi plak
atrofik berskuama, mengenai 10-15% penderita SLE.
7
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
12
d. Ulkus oral sering terjadi di palatum durum atau nasofaring.
Lesi non-spesifik lupus juga mungkin terjadi pada penderita SLE seperti
talangiektasia, vaskulitis, fenomena Raynaud dan livedo retikulitis (Goodheart,
2009).
2.4.4 Manifestasi Kardiovaskuler
Perikarditis merupakan manifestasi yang paling umum terjadi dan
merupakan termasuk dalam manifestasi derajat sedang (Branch, 2000).
Manifestasi yang lebih berat adalah miokarditis dan endokarditis Libman-Sacks
yaitu endokarditis non-infeksi (Non Bacteril Thrombic Endokarditis/NBTE)
(Paypal, 2012). Miokarditis menyebabkan aritmia, kematian mendadak, dan/atau
gagal jantung (Hahn, 2006).
2.4.5 Manifestasi Paru
Kelainan paru-paru pada LES seringkali bersifat subklinik sehingga foto
toraks dan spirometri harus dilakukan pada pasien LES dengan batuk, sesak nafas
atau kelainan respirasi lainnya (D’Cruz, 2010).
Manifestasi pada paru-paru dapat terjadi baik berupa radang interstitial
parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonal, perdarahan paru,
atau shrinking lung syndrome (Isbagio dkk, 2010).
Pleuritis dan efusi pleura juga merupakan gejala yang sering ditemukan
pada penderita SLE, sedangkan hipertensi pulmonal jarang terjadi, sindroma
diatres pernapasan dan perdarahan intraalveolar masif adalah manifestasi berat
SLE yang jarang terjadi, namun mempunyai angka mortalitas yang tinggi (Hahn,
2006).
7
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
13
Pneumonitis pada SLE dapat terjadi secara akut atau berlanjut menjadi
kronik. Pada kedaan akut perlu dibedakan dengan pneumonia bakteri, biasanya
penderita akan merasa sesak, batak kering, dan dijumpai ronkhi di basal. Keadaan
ini terjadi sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh
darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak (Isbagio dkk, 2010).
2.4.6
Manifestasi Ginjal
Keterlibatan ginjal pada penderita SLE sering disebut dengan lupus neftritis
yang dibagi kedalam 6 kelas (WHO, 2003), yaitu :
Tabel 2.1 Kelas Lupus Neftritis
Kelas I
Belum ada kelainan atau ringan
Kelas II
Kelainan ringan atau minimal, antibodi anti-dsDNA mungkin
meningkat, kadar komplemen turun, sedimen urin inaktif,
hipertensi jarang, proteinuria 1
gram/24 jam, 25-30% menunjukkan sindrom nefrotik. Mayoritas
pasien menunjukkan peningkatan serum kreatinin
Kelas IV Gambaran klinis lebih berat dan aktif dengan proteinuria >1
gram/24 jam. Hampir 50% pasien menunjukkan sindrom nefrotik.
Kelas V
Didapatkan 40% pasien dengan proteinuria
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
SLE adalah penyakit rematik autoimun dengan karakteristik berupa
perandangan yang tersebar luas, dapat menyerang semua organ atau sistem dalam
tubuh (Suarjana, 2009). Antibodi yang berbeda yang diproduksi pada penderita
SLE, menimbulkan gejala yang berbeda sesuai dengan spesifik organ yang
diserang (Tutuncu dkk, 2007).
2.2 Etiologi SLE
Penyakit autoimun seperti SLE tidak dapat dijelaskan dengan penyebab
tunggal atau mekanismenya. Sampai saat ini penyebab pasti SLE belum diketahui
pasti (Akil, 2012). Para pakar sependapat bahwa penyebabnya merupakan
multifactor, baik endogen maupun eksogen. Salah satu faktor endogen adalah
faktor genetik dan sebagian besar diinduksi oleh satu atu lebih faktor eksogen
(Kresno, 2003) akibat terbentuknya limfosit T dan B autoreaktif yang persisten
(Akib dkk, 2007).
2.3 Patogenesis SLE
Patogenesis SLE memiliki model seperti penyakit autoimun lainnya,
penyakit timbul pada individu yang rentan secara genetik dan cenderung menjadi
autoreaktif karena dipicu oleh agen lingkungan dan hormonal. Kejadian ini
menyebabkan gangguan sel B dan T yang menyebabkan produksi autoantibodi
(Pisetsky, 2012).
7
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
8
Penyebab terjadinya respons autoimun bermacam-macam, walaupun belum
ada bukti-bukti yang memastikan patogenesis penyakit autoimun tetapi diduga
kerusakan jaringan terjadi dengan beberapa mekanisme. Pada dasarnya kerusakan
akibat destruksi sel, kerusakan akibat pembentukan kompleks imun, dan
kerusakan akibat reaksi imunologik selular bekerja sama untuk menimbulkan
keadaan patologik (Kresno, 2003).
Pada penderita yang secara genetik menunjukkan predisposisi untuk SLE
dapat dijumpai gangguan sistem regulasi sel T dan fungsi sel B, yang dapat
diinduksi oleh berbagai faktor. Gejala awal yang menetap adalah adanya anergi
terhadap antigen yang umum. Diduga hal ini timbul akibat adanya anti-limfosit T
yang menyebabkan limfopenia dan kepekaan terhadap infeksi oportunistik.
Defisiensi sel T penekan (T cell suppressor/ Ts) merupakan gangguan imunitas
selular yang paling menonjol. Sebaliknya sel B menjadi hipeaktif karena tidak
adanya pengendali oleh Ts, atau aktivasi berlebihan melalui pembentukan B-cellgrowth-factor (BCGF) dan B-cell-differentiation-factor (BCDF) (Kresno, 2003).
Hiperaktivitas sel B dapat menjelaskan hipergamaglobulinemia dan adanya
sel B yang memproduksi immunoglobulin berlebihan di darah tepi. Hiperaktivitas
sel B tidak selalu merangsang pembentukan ANA atau anti-DNA, bila tidak ada
kelainan gen. Penderita SLE aktivasi sel B menyebabkan pembentukan ANA dan
anti-DNA secara tidak terkendali, yang kemudian berikatan dengan antigen yang
relevan. Kompleks yang terbentuk selanjutnya dapat mengaktivasi komplemen
yang mengakibatkan kerusakan jaringan, seperti kerusakan pembuluh darah
7
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
9
(vaskulitis), kerusakan glomerulus (glomeluronefritis), dan kerusakan jaringan
lainnya (Kresno, 2003).
Gambar 2.1 Patogenesis SLE
Sumber: Suarjana, 2009
2.4 Manifestasi Klinis SLE
2.4.1 Manifestasi Konstitusional
Manifestasi konstitusional yang sering dijumpai adalah kelelahan pada
penderita SLE dan biasanya mendahului manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini
sulit untuk dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan
seperti adanya anemia, meningkatnya beban fisik dan konflik kejiwaan. Kelelahan
yang disebabkan oleh aktifitas penyakit SLE dapat diketahui dengan pemeriksaan
7
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
10
penunjang, yaitu kadar C3 serum yang rendah. Pada kelelahan akibat SLE
memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan (Isbagio dkk, 2010).
Manifestasi lainnya adalah demam, yang dapat mencapai >40°C tanpa
bukti infeksi seperti leukositosis dan biasanya tidak disertai dengan menggigil
(Paypal, 2012). Selanjutnya, penurunan berat badan juga dapat terjadi akibat
demam dan menurunnya nafsu makan atau akibat gejala gastrointestinal (Isbagio
dkk, 2010).
2.4.2 Manifestasi Muskuloskeletal
Manifesatasi muskuloskeletal terjadi hampir pada semua penderita SLE
dalam bentuk artralgia dan mialgia sebagian besar menderita artritis intermiten
(Hahn, 2006). Artralgia terjadi pada 80-90% penderita SLE, tidak terdapat tandatanda radang obyektif, penderita hanya mengeluh nyeri saat diam maupun
bergerak. Artritis terjadi pada 50% penderita SLE, selain nyeri terjadi
kebengkakan pada sendi, kemerahan, sendi terasa hangat, kekakuan pada pagi hari
setelah bangun tidur (Wahono, 2012).
Mialgia terjadi pada 70% penderita sedangkan miositis pada 5-10%
penderita SLE. Selain itu osteopenia dan osteoporosis sering terjadi berupa radang
kronik karena aktivitas SLE serta obat-obatan yang dikonsumsi penderita SLE
(Wahono, 2012).
2.4.3
Manifestasi Kulit
Para peneliti membagi lesi kulit lupus menjadi tiga kelompok tersendiri
yaitu :
7
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
11
a. Lesi lupus eritematosus kulit akut (acute cutaneous lupus erythematosus,
ACLE) berkaitan erat dengan SLE aktif, namun lesi ACLE kadang ditemukan
pada
lupus
eritematosus
kulit
subakut
(subacute
cutaneous
lupus
erythematosus, SCLE).
b. SCLE bentuk kategori kedua
c. Lupus eritematosus kulit kronik (chronic cutaneous lupus erythematosus,
CCLE) biasanya disebut sebagai lupus eritematosus diskoid (discoid lupus
erythematous, DLE). Lesi DLE dapat di temukan baik pada SLE maupun
CCLE (Goodheart, 2009).
Sebanyak 4 dari 11 kriteria American Rheumatologic Association (ARA)
untuk lupus berkaitan dengan kulit dan dianggap lesi spesifik lupus yaitu :
a. Ruam “kupu-kupu” atau malar klasik adalah eritema menetap di pipi, kelainan
ini sering menjadi gejala awal lupus dan terjadi kekambuhan setelah pajanan
matahari.
Gambar 2.2 Ruam Kupu-kupu (malar rash)
b. Fotosensitifitas terjadi sebagai reaksi yang berlebihan atau tak lazim terhadap
sinar matahari.
c. Lesi diskoid merupakan lesi eritematosa yang berkembang menjadi plak
atrofik berskuama, mengenai 10-15% penderita SLE.
7
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
12
d. Ulkus oral sering terjadi di palatum durum atau nasofaring.
Lesi non-spesifik lupus juga mungkin terjadi pada penderita SLE seperti
talangiektasia, vaskulitis, fenomena Raynaud dan livedo retikulitis (Goodheart,
2009).
2.4.4 Manifestasi Kardiovaskuler
Perikarditis merupakan manifestasi yang paling umum terjadi dan
merupakan termasuk dalam manifestasi derajat sedang (Branch, 2000).
Manifestasi yang lebih berat adalah miokarditis dan endokarditis Libman-Sacks
yaitu endokarditis non-infeksi (Non Bacteril Thrombic Endokarditis/NBTE)
(Paypal, 2012). Miokarditis menyebabkan aritmia, kematian mendadak, dan/atau
gagal jantung (Hahn, 2006).
2.4.5 Manifestasi Paru
Kelainan paru-paru pada LES seringkali bersifat subklinik sehingga foto
toraks dan spirometri harus dilakukan pada pasien LES dengan batuk, sesak nafas
atau kelainan respirasi lainnya (D’Cruz, 2010).
Manifestasi pada paru-paru dapat terjadi baik berupa radang interstitial
parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonal, perdarahan paru,
atau shrinking lung syndrome (Isbagio dkk, 2010).
Pleuritis dan efusi pleura juga merupakan gejala yang sering ditemukan
pada penderita SLE, sedangkan hipertensi pulmonal jarang terjadi, sindroma
diatres pernapasan dan perdarahan intraalveolar masif adalah manifestasi berat
SLE yang jarang terjadi, namun mempunyai angka mortalitas yang tinggi (Hahn,
2006).
7
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
13
Pneumonitis pada SLE dapat terjadi secara akut atau berlanjut menjadi
kronik. Pada kedaan akut perlu dibedakan dengan pneumonia bakteri, biasanya
penderita akan merasa sesak, batak kering, dan dijumpai ronkhi di basal. Keadaan
ini terjadi sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh
darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak (Isbagio dkk, 2010).
2.4.6
Manifestasi Ginjal
Keterlibatan ginjal pada penderita SLE sering disebut dengan lupus neftritis
yang dibagi kedalam 6 kelas (WHO, 2003), yaitu :
Tabel 2.1 Kelas Lupus Neftritis
Kelas I
Belum ada kelainan atau ringan
Kelas II
Kelainan ringan atau minimal, antibodi anti-dsDNA mungkin
meningkat, kadar komplemen turun, sedimen urin inaktif,
hipertensi jarang, proteinuria 1
gram/24 jam, 25-30% menunjukkan sindrom nefrotik. Mayoritas
pasien menunjukkan peningkatan serum kreatinin
Kelas IV Gambaran klinis lebih berat dan aktif dengan proteinuria >1
gram/24 jam. Hampir 50% pasien menunjukkan sindrom nefrotik.
Kelas V
Didapatkan 40% pasien dengan proteinuria