Depresi Pada Post Infark Miokardium

1

DEPRESI PADA POST INFARK MIOKARDIUM
Wika Hanida Lubis, Habibah Hanum Nasution, Billy Siahaan
Divisi Psikosomatis, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK – USU/ RSUP. H. Adam Malik Medan / RS PIRNGADI

1. Pendahuluan
Depresi pada penyakit kardiovaskular merupakan hal yang umum , persisten , kurang
dikenali dan mematikan. Selama dua dekade terakhir , peneliti menemukan bahwa tidak
hanya depresi lebih sering terjadi pada pasien kardiak dibandingkan populasi umum, tetapi
depresi juga merupakan faktor resiko terhadap morbiditas dan mortalitas dari pasien dengan
gangguan kardiovaskular secara independen terhadap faktor resiko tradisional kardiak.
Hubungan antara depresi dan morbiditas kardiak tampaknya melibatkan keduanya efek
fisiologi dan perilaku dari orang dengan depresi.1
Lebih kurang 65 % pasien dengan infark miokard akut ( IMA)

melaporkan

pengalaman gejala depresi . Kebanyakan depresi terjadi pada 15 – 22 % dari pasien – pasien
ini. Depresi merupakan faktor resiko independen terhadap perkembangan dan mortalitas

sehubungan dengan penyakit kardiovaskular dalam keadaan lain pada orang sehat . Orang
yang mengalami depresi dan yang memiliki penyakit kardiovaskular sebelumnya memiliki
resiko kematian 3.5 kali lebih besar dibandingkan pasien yang tidak depresi dan memiliki
penyakit kardiovaskular .2
Meskipun begitu tampaknya gangguan depresi sering tidak terdiagnosa dan diobati
pada pasien – pasien dengan penyakit kardiovaskular. Diperkirakan bahwa hanya 25 % atau
kurang dari pasien- - pasien kardiovaskular dengan depresi mayor didiagnosa dengan depresi,
dan hanya sekitar 50 % dari pasien – pasien ini mendapatkan pengobatan untuk depresi.3
Untuk itu tulisan ini mencoba memberikan pengenalan terutama mengenai pendekatan
diagnostik serta penanganan depresi pada pasien pasien dengan kejadian infark miokardium
sebelumnya.
2. Prevalensi
Depresi memiliki prevalensi tinggi pada pasien dengan gangguan kardiovaskular.
Sekitar 31 – 45 % pasien dengan penyakit jantung koroner (CAD) , termasuk CAD stabil ,

2

angina tidak stabil atau infark miokardium mengalami gejala depresi klinis yang signifikan .
Lebih jauh , 15 -20 % pasien – pasien dengan infark miokardium


memiliki

kriteria

gangguan depresi mayor ( MDD) dimana nilai rerata MDD ini mencapai 3 kali lebih tinggi
dibandingkan populasi umum dan hal ini sama seperti yang terjadi pada pasien – pasien
dengan gagal ginjal kronis dan kanker.4 Sementara itu dari literatur keilmuwan mengatakan
bahwa persentase berkisar 14 – 47 % pasien – pasien dengan penyakit jantung iskemik
menderita gejala depresi , dimana populasi umum berkisar 4 – 7 %.5
3. Faktor Resiko
Terdapat beberapa inkonsistensi di literatur , dimana beberapa faktor resiko untuk
terjadinya depresi pada pasien – pasien kardiak. Kebanyakan studi menemukan pasien
dengan usia muda, wanita , dan pasien dengan riwayat depresi sebelumnya tampak lebih
memungkinkan memiliki depresi dalam konteks penyakit kardiovaskular.

Pada pasien

dengan sindrom koroner akut ( ACS) , sebagai tambahan faktor sebelumnya diantaranya
isolasi sosial dan dalam beberapa kasus adanya komorbid diabetes juga meningkatkan resiko
depresi. Pada pasien dengan coronary arterial bypass graft (CABG) , depresi pre – CABG

diprediksi oleh gender wanita, usia muda , tinggal sendiri , dan edukasi yang kurang dan
depresi post – CABG tampaknya menjadi prediktor terbaik untuk terjadinya gejala depresi. 6,7
4. Hubungan Depresi dan infark miokardium
Hubungan antara depresi dan infark miokardium telah diketahui, tetapi mekanisme
yang menjelaskan kejadian depresi setelah kejadian infark miokardium masih belum jelas.
Reaksi psikologis pasien setelah kejadian infark miokard akut dapat menyebabkan terjadinya
post miokardial infark depresi (PMID). Pasien dengan pemikiran repetitif mengenai aspek
negatif dari pengalaman IMA memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan mereka
dengan pemikiran positif. Telah diketahui bahwa kerusakan neuron membawa pada gejala
depresi dan diperlihatkan bahwa pada IMA protein S100B, penanda dari kerusakan cerebral ,
meningkat setelah kejadian IMA yang mensugestikan bahwa IMA menyebabkan kerusakan
cerebral. Pengeluran sitokin – sitokin inflamasi seperti Tumor Necrosis factor – alfa ( TNF
– alfa) juga dapat menyebabkan terjadinya PMID. TNF-alfa tampaknya meningkatkan
permeabilitas vaskular pada daerah korteks prefrontal dan lebih berat lagi pada daerah
korteks Cingulate anterior setelah kejadian IMA. Inflamasi dapat membawa pada kerusakan
jaringan neuron melalui aktifasi jalur ekstrinsik proses apoptosis. Inhibisi dari TNF – alfa
membawa pada pelemahan proses apoptosis. Adanya tingkah laku depresi pada infark

3


miokard pada tikus berhubungan dengan peningkatan protein apoptosis dan mengindikasikan
kerentanan untuk terjadinya kematian neuron pada korteks prefrontal dan hipotalamus. 8

Gambar 1. Infark miokardium menginduksi peningkatan sitokin proinflamasi di sirkulasi dan
sistem limbik.9
Beberapa mekanisme lain yang juga sempat dikemukakan diantaranya mekanisme
hipotalamus pituitary axis , dan neurotropik faktor tampaknya juga berperan dalam kejadian
depresi pada pasien – pasien dengan infark miokardium. 9

5. Proses Pro Inflamasi dan Infark Miokardium
Iskemia terjadi ketika aliran darah arteri koroner terganggu, dimana mengarah pada
perubahan reversible pada level selular ( pembengkakan matrix mitokondria, akumulasi
cairan intraselular , dsb) . Jika Iskemia persisten, akan terjadi kerusakan ireversibel dan
berafek pada integrasi membran

dan substansi intraseluler dilepaskan, hal ini berakibat

4

terjadinya reaksi inflamasi yang berhubungan dengan influx signifikan dari neutrophil pada

miokardial iskemik dan akhirnya akan diganti oleh makrofag. Setelah periode iskemia yang
lebih lama, hampir seluruh sel memperlihatkan daerah iskemi akan mati yang akan
menyebabkan gagal jantung jika kerusakan miokardial meluas. MI akut berhubungan dengan
tingginya produksi sitokin proinflamasi seperti TNF –α , IL-1β , IL-6 dan IL-6 dimana
nantinya sitokin –sitokin ini berperan dalam gejala – gejala depresi.10
6. Depresi post infark miokardium dan apoptosis
Otak post mortem pada pasien depresi menunjukkan fragmentasi DNA dan apoptosis
neuronal , mensugestikan peningkatan kerentanan neuronal pada depresi. Hilangnya neuron
dan penurunan neurogenesis juga telah diobservasi pada model hewan dengan gangguan
mood. Penurunan volume hippocampus , amygdala dan korteks prefrontal merupakan salah
satu tanda neuropatologi yang dideskripsikan pada depresi dimana apoptosis memainkan
peranan . Kematian sel neuronal mungkin terjadi via 2 mekanisme : 1. Bentuk akut , atau
nekrosis yang cepat dan 2. Melalui apoptosis.
Sel – sel apoptosis berkarakteristik dengan reduksi volume , pengkerutan sitoplasmik,
fragmentasi DNA , pembulatan sel. Sel apoptotik pada akhirnya akan pecah kedalam
membran yang terdiri dari badan apoptotik , dimana dapat difagositik oleh sel fagosit. 10
7. Apoptosis pada sistem limbik setelah infark miokardium
Apoptosis telah diobservasi pada sistem limbic setelah infark miokardium. Dimana
apoptosis sel didapatkan terutama di daerah amyglada yang ditandai dengan peningkatan
caspase -3 , suatu efektor yang berhubungan dengan regulasi protein – protein inhibitor

apoptosis. Setelah 3 hari post MI, caspase – 3 dan 8 teraktivasi pada hippocampus dan regio
amyglyda. 10

8. Sitokin , depresi dan Post Infark Miokardium
Dikatakan bahwa sitokin pro inflamasi terlibat dalam patofisiologi depresi pada post
infark miokardium. Sitokin memiliki efek pielotropik tidak hanya pada sistem imun tetapi
juga pada sistem saraf pusat. Mereka berkontribusi terhadap respon imun tubuh dan

5

membantu meregulasi homeostasis dan mediasi inflamasi. Sitokin berikatan dengan reseptor
pada konsentrasi pikomolar sampai nanomolar untuk mengaktifasi dan memodulasi fungsi
selular dan jaringan. Reseptor sitokin memiliki struktur berbeda pada sistem limbic. Sebagai
contoh, reseptor IL-1 ditemukan di hipotalamus dan hipokampus; IL-6 berlokasi di
hipokampus , hipotalamus , girus dentate dan korteks piriform ; TNF berlokasi di
hipokampis, kortex , amyglada , ganglia basalis dan mengekspresi oligodendrocytes.10
Pada tikus , sitokin proinflamasi menginduksi perilaku sickness menyangkut aspek
depresi seperti penurunan nafsu makan , penurunan berat badan , fatik , hilangnya libido ,
gangguan tidur dan penurunan kontak sosial. Pada manusia pemberian langsung sitokin
proinflamasi seperti TNF – alfa , INF – gamma , IL-1β , membawa pada gejala depresi

seperti fatik , letargi , hilangnya nafsu makan , retardasi psikomotor dan gangguan tidur. Aksi
potensial lain dari sitokin proinflamasi adalah aksi dari indoleamine 2,3-dioxygenase ( IDO)
; suatu enzim yang diinduksi oleh sitokin proinflamasi ( IL-1 , IFN - ɤ , TNF –α) dan terkait
dengan katabolisme triptofan , suatu precursor serotonin, sehingga menurunkan sintesis dan
ketersediaan serotonin diotak.10
9. Mekanisme terkait axis hipotalamus – pituitari – adrenal
Regulasi Hipotalamus – pituitary adrenal (HPA) axis memiliki peranan mayor dalam
homeostasis metabolik dan overaktifasi oleh stress terkait dengan efek yang merusak pada
otak. Disregulasi axis HPA merupakan bagian dari patofisiologi depresi. Deskripsi klasik axis
HPA menyangkut 3 komponen utama :
1. Hipotalamus , yang mengsekresi corticotropin-releasing hormone (CRH) pada situasi stres
2. Kelenjar pituitary yang bereaksi pada CRH melalui produksi growth hormone , prolactin
dan ACTH
3. Kelenjar adrenal yang bereaksi pada ACTH melalui produksi dan pelepasan
glukokortikoid, terutama kortisol pada manusia dan kortikosteron, epinefrin dan norepinefrin.
Mekanisme umpan balik membuat hipotalamus mampu memonitor level kortisol
darah dan menginhibisi pengeluaran CRH ketika level kortisol terlalu tinggi, pada depresi ,
mekanisme umpan balik ini dapat terganggu sehingga CRH tetap dilepaskan meskipun
sejumlah besar kortisol di sirkulasi. Hiperaktifitas dari HPA axis akan menyebabkan depresi
oleh karena disregulasi glukokortikoid dapat berafek pada region otak melibatkan


6

patofisologi depresi. Aktifasi reseptor glukokortikoid oleh agonis dexametason menginduksi
apoptosis pada neuron, sedangkan aktifasi reseptor mineralokortikoid akan cenderung
menginduksi pertahanan neuronal. Hipotesis yang menjelaskan efek antidepresan pada HPA
bahwa pengobatan dapat meningkatkan ekspresi dan fungsi reseptor glukokortikoid dan
mempromosikan translokasi nuklear. Sedangkan pada reseptor mineralokortikoid tidak
berpengaruh. Pemberian SSRI akan menyebabkan

peningkatan mRNA pada reseptor

glukokortikoid pada berbagai jaringan dan neuron. Depresi terkait dengan peningkatan
sekresi IL-1β, TNF –α dan IFN –α. Hiperaktifitas axis HPA akan sejalan dengan fenomena
ini dan selanjutnya sitokin – sitokin ini akan mengaktifasi axis HPA. 10
10. Pendekatan Diagnostik
Meskipun tersedia pengobatan yang efektif dan aman untuk depresi pada pasien –
pasien kardiak, depresi masih sering tidak dikenali dan diterapi . Satu studi pasien – pasien
dengan post infark miokard, kurang dari 15 % pasien depresi yang diidentifikasi akurat dan
hanya 11 % mendapatkan pengobatan antidepresan. Oleh karena peningkatan morbiditas dan

mortalitas sehubungan dengan depresi maka menjadi penting bagi klinisi untuk secara
konsisten mengidentifikasi depresi pada pasien- pasien dengan IMA.11
11. Penyaringan
Penyaringan rutin pada pasien – pasien kardiak terhadap depresi menjadi salah satu
cara yang potensial memperbaiki deteksi depresi

pada populasi ini. American Heart

Association ( AHA) merekomendasikan penyaringan menggunakan 2 dan 9 item Patient
Health Questionnaires ( PHQ -2 dan PHQ 9 ). Dimana PHQ-2 memberi keterangan terhadap
adanya dan frekuensi mood depresi dan anhedonia, sedangkan PHQ-9 mencakup pertanyaan
tentang 9 kriteria diagnostic untuk MDD ( 2 dari pertanyaan ertama pada PHQ 9 adalah
PHQ2). Kedua alat penyaringan ini memberi efisiensi waktu dan memiliki potensial integrasi
pada evaluasi standar pasien rawat jalan dan rawat inap.11
Lebih jauh , peningkatan skor dalam skala ini memiliki nilai prognostik ; sebagai
contoh , penyaringan positif mengunakan 2 langkah metode ini secara bebas berhubungan
dengan kejadian kardiak subsekuen pada pasien rawat jalan dengan penyakit jantung koroner
( CAD) , dan PHQ-2 yang positif berhubungan dengan mortalitas subsekuen pada pasien
dengan gagal jantung.11


7

Minimal PHQ – 2 memiliki 2 pertanyaan yang direkomendasikan untuk
mengidentifikasi pasien – pasien depresi (Tabel 1). Jika jawabannya “YA” untuk salah satu
atau kedua pertanyaan , direkomendasikan untuk menanyakan seluruh item pada PHQ-9.
Kebanyakan pasien dapat menyelesaikan kuesioner ini tanpa bantuan sekitar 5 menit atau
kurang.12,13 Keduanya menghasilkan diagnosis depresi sementara dan skor keparahan yang
dapat digunakan untuk seleksi dan monitoring pengobatan.Pada pasien dengan gejala ringan ,
follow up selama subsekuen kunjungan dianjurkan. 12,13
Tabel 1. Patient Health Questionnaire – 2 ( PHQ-2) 12

Tabel 2. Patient Health Questionnaire 9 ( PHQ-9) 12

8

Gambar 2. Penyaringan Depresi pada pasien dengan Penyakit Jantung Koroner
12. Diagnosis

13


9

Pada pasien dengan hasil positif dilanjutkan dengan penegakan diagnosa depresi pada
pasien kardiak. Kontroversi signifikan tampaknya masih ada terkait hal ini. Hal ini terutama
pada pasien dengan kejadian kardiak akut. Pasien ini kemungkinan memiliki ansietas yang
signifikan dan mood depresi transient yang segera mengikuti kejadian kardiak tetapi mungkin
tidak berkembang menjadi MDD. Lebih jauh gejala terkait kejadian kardiak ( fatik ,
konsentrasi yang buruk, penurunan nafsu makan) mungkin tumpang tindih secara signifikan
dengan gejala klinis depresi . Sebagai hasilnya, beberapa berpendapat untuk memperlama
jumlah waktu yang dibutuhkan untuk episode depresi untuk mengidentifikasi pasien dengan
kejadian kardiak akut , atau untuk mengeksklusikan gejala somatik yang mungkin akibat dari
penyakit kardiak.14
Meskipun begitu studi pada umumnya tetap merekomendasikan penggunaan kriteria
DSM IV ( termasuk kriteria durasi 2 minggu) untuk diagnosis depresi, meskipun pada pasien
yang memiliki kejadian kardiak. Diagnosis gangguan depresi mayor membutuhkan adanya 5
atau lebih gejala seperti yang direkomendasikan oleh DSM IV : 15
1. Mood depresi
2. Berkuranganya minat yang nyata atau kesenangan pada hampir seluruh aktivitas
3. Penurunan berat badan yang signifikan atau penurunan atau peningkatan nafsu makan
4. Insomnia atau hiperinsomnia
5. Agitasi psikomotor atau retardasi
6. Fatik atau hilangnya energi
7. Perasaan tidak berharga atau berlebihan atau rasa bersalah yang tidak tepat
8. Hilangnya kemampuan untuk berpikir atau konsentrasi atau keraguan
9. Pemikiran untuk mati yang rekuren, ide bunuh diri atau usaha bunuh diri
Gejala ini harus ada hampir setiap hari selama 2 minggu dan salah satu gejala mood
depresi atau hilangnya ketertarikan atau kesenangan dalam aktifitas. Gejala ini harus
merepresentasikan perubahan dari fungsional sebelumnya

yang menyebabkan gangguan

sosial , pekerjaan , atau gangguan hidup lainnya , dan hal ini tidak boleh secara langsung
sebagai hasil penggunaan narkoba , kondisi medis atau kematian. Untuk membantu ingatan
dapat dilihat SIG E CAPS + mood (Tabel 3) dapat digunakan untuk mengingat kriteria ini. 15
Tabel 3. Singkatan untuk kriteria depresi15

10

13. Tatalaksana
Pilihan pengobatan untuk tatalaksana depresi pada umumnya termasuk obat – obat
anti depresan, terapi perilaku kognitif dan aktifitas fisik seperti latihan aerobic dan
rehabilitasi kardiak masih menjadi pilihan.16
13.1 Obat anti depresan
Meskipun penggunaan anti depresan berhubungan dengan keduanya peningkatan dan
penurunan resiko kardiak pada beberapa studi epidemiologi. Suatu uji coba klinis acak
mendemonstrasikan bahwa 2 anti depresan selective serotonin reuptake inhibitor ( SSRI) ,
sertraline dan citalopram , aman pada pasien dengan penyakit jantung coroner dan efektif
untuk moderat – berat atau depresi rekuren. Suatu non randomisasi post hoc analisa studi
Enhancing Recovery in Coronary Heart Disease Patients ( ENRICHD) mendapatkan bahwa
pasien yang diterapi dengan SSRI , apakah diberikan terapi perilaku kognitif atau layanan
biasa , memperoleh penurunan 42 % kematian atau rekurensi MI dibandingkan dengan pasien
– pasien depresi yang tidak mendapatkan anti depresan. Pengobatan dengan SSRI segera
setelah IMA tampak aman dan relatif tidak mahal dan mungkin efektif pada depresi post MI.
Tampaknya tepat untuk menyaring dan mengobati depresi. Tidak hanya pengobatan
memperbaiki mood dan kualitas hidup , tetapi studi –studi menunjukkan bahwa depresi
mempengaruhi kepatuhan dan pengobatan gejala depresi dapat memperbaiki kepatuhan
pengobatan pada pasien setelah IMA.16
Sertraline dan citalopram merupakan anti depresan lini pertama untuk pasien dengan
penyakit jantung koroner. Pasien dengan depresi rekuren yang sebelumnya toleransi dan
berespon baik terhadap anti depresan lain mungkin dapat melanjutkan dengan obat itu kecuali

11

dikontraindikasikan. Sebagai contoh , anti depresan trisiklik dan monoamine oxidase
inhibitor dikontradindikasikan pada pasien dengan penyakit jantung karena efek samping
kardiotoksiknya. Bila pengobatan farmakologi diinisiasi, pasien harus diobservasi secara
ketat dalam 2 bulan pertama dan secara regular sesudahnya untuk memantau resiko bunuh
diri, memastikan kepatuhan pengobatan dan mendeteksi dan menatalaksana efek merugikan.
Sekitar 15 -25 % pasien – pasien memberhentikan antidepresannya selama 6 bulan pertama
pengobatan oleh karena efek samping atau kurangnya efikasi. Oleh karena itu interaksi obat
yang potensial atau efek samping harus dimonitoring secara ketat. 16
Pengobatan antidepresan dipertimbangkan pada kondisi : 17
1. Depresi berat
2. Depresi kronis atau rekuren
3. Adanya gejala psikotik
4. Respon sebelumnya terhadap medikasi positif
5. Adanya riwayat keluarga depresi
6. Pasien tidak dapat melakukan aktifitas yang dibutuhkan untuk psikoterapi
Ketika memilih antidepresan pertimbangkan point STEPS , Keamanan ( Safety),
kemampuan toleransi ( Tolerability) , Efikasi , Biaya ( Payment) , dan Sederhana (
Simplicity). Kombinasi terapi perilaku kognitif dan medikasi mungkin yang paling tepat
ketika gejala depresi berat, kronis , gagal membak dengan salah satu terapi sendiri , dan jika
adanya masalah psikososial signifikan.17
13.2 Terapi perilaku kognitif
Terapi psikosial paling efektif untuk pasien depresi pada infark miokardium adalah
terapi perilaku kognitif. Terapi ini menerima pasien yang berpartisipasi aktif pada pengobatan
dan interaksi resiprokal terjadi melalui 5 elemen kunci terapi yaitu lingkungan , pikiran ,
emosi , perilaku dan fisiologi.17
Terapi perilaku kognitif dapat menguntungkan bagi pasien kardiak dengan depresi.
Terapi ini dapat menjadi alternatif pada pasien yang tidak dapat mentoleransi antidepresan
atau lebih menyukai terapi non farmakologi atau pendekatan konseling. Juga, banyak pasien

12

dengan depresi sedang sampai berat berespon lebih baik terhadap kombinasi antidepresan dan
psikoterapi

daripada salah satu terapi sendirian. Rujukan kepada psikoterapis yang

berkualifikasi dibutuhkan. ENRICHD , uji kontrol acak pada setidaknya 12 – 16 sesi terapi
perilaku kognitif selama 12 minggu didapatkan remisi untuk depresi sedang dan berat. Pada
praktis klinis , durasi dan frekuensi dapat disesuaikan dengan memperlakukan terapis untuk
bertemu dengan kebutuhan individual pasien dimana beberapa pasien lebih memilih dan
dapat melakukan dengan baik dengan regimen intensif yang lebih sedikit. 17-19
Penggunaan terapi perilaku kognitif harus dipertimbangkan pada kondisi :

17

1. Depresi yang tidak berat
2. Depresi tidak kronis
3. Gejala psikotik tidak dijumpai
4. Respon sebelumnya terhadap terapi perilaku kognitif cukup positif
5. Tersedianya pelayanan terapi perilaku kognitif
6. Kontraindikasi terhadap pengobatan
7. Perbaikan tidak diperoleh dengan obat-obatan sendiri
8. Adanya keadaan psikososial kompleks
13.3 Latihan / aktifitas fisik
Latihan aerobik dan rehabilitasi kardiak dapat menurunkan gejala depresi sebagai
tambahan perbaikan kebugaran kardiovaskular. Meskipun depresi dapat menjadi penghambat
partisipasi dari rehabilitasi kardiak dan program latihan, kita dapat membantu pasien depresi
yang datang dengan barrier dengan menyediakan encouragement dan kontak untuk followup. Mereka harus mendapat pertolongan pasangan , teman atau keluarga untuk memperbaiki
kepatuhan. Kegiatan latihan membutuhkan penilaian individu berbasis status kardiak dan
kapasitas latihan dari individu.20
Panduan depresi untuk populasi pelayanan primer mendapatkan bahwa pengobatan
agen farmakologi yang tepat vs intervensi perilaku sama efektifnya. Kombinasi keduanya
memiliki keuntungan menurunkan rerata relaps. Tidak ada bukti bahwa pengobatan untuk
depresi berbeda efektifitasnya pada pasien kardiak vs pasien lain. Tidak ada bukti langsung

13

menunjukkan bahwa pengobatan depresi memperbaiki keluaran kardiak ; pasien masih
memiliki resiko kejadian kardiak mayor dan mortalitas meskipun telah diterapi untuk depresi.
Bukti mensugesti bahwa pasien depresi yang tidak respon terhadap pengobatan untuk depresi
memiliki resiko lebih untuk kejadian kardiak yang merugikan. Pasien depresi juga
membutuhkan tatalaksana klinis tambahan untuk memastikan kepatuhan dengan regimen
pengobatan kardiak dan untuk promosi perubahan perilaku gaya hidup.20
Tabel 4. Efek obat – obat Anti Depresi terhadap Jantung 18

Tabel 5. Interaksi Obat 18

14. Prognosis

14

Studi Meta-analisa mendapatkan bahwa pasien dengan depresi post infark
miokardium berhubungan dengan 2 – 2.5 kali resiko peningkatan keluaran yang buruk
gangguan kardiovaskular. Studi di India menemukan keduanya penurunan rerata depresi dan
kejadian kardiak pada pasien depresi pada post infark miokardium yang mendapatkan
pengobatan antidepresan. Studi ENRICHD menemukan penurunan 43 % pada kematian , MI
tidak fatal dan seluruh penyebab mortalitas pada pasien yang mendapatkan SSRI. 20
15. Kesimpulan
Depresi pada penyakit kardiovaskular merupakan hal yang umum , persisten , kurang
dikenali dan mematikan. Tetapi gangguan depresi sering tidak terdiagnosa dan diobati pada
pasien – pasien dengan penyakit kardiovaskular. Penyaringan rutin pada pasien – pasien
kardiak terhadap depresi menjadi salah satu cara yang potensial memperbaiki deteksi depresi
ini . Inflamasi dan produknya menjadi komponen penting terjadinya depresi pada post infark
miokardium. SSRI merupakan pengobatan lini pertama pada pasien depresi dengan Infark
miokardium . Pasien depresi juga membutuhkan tatalaksana klinis tambahan untuk
memastikan kepatuhan dengan regimen pengobatan kardiak dan untuk promosi perubahan
perilaku gaya hidup.

15

Daftar Pustaka
1. Huffman JC, Celano CM, Beach SR . Depression and Cardiac Disease: Epidemiology,
Mechanisms, and Diagnosis. Cardiovascular Psychiatry and Neurology.2013 ;13 123-28
2. Musselman DL, Evans DL, Nemeroff CB. The relationship of depression to cardiovascular
disease: epidemiology, biology, and treatment. Arch Gen Psychiatry 1998;55:580-92.
3. Rojo. Pathogenesis of depression after myocardial infarction: rationale, state of the art and
perspectives.
4. P. J. Tully , R. A. Baker, “Depression, anxiety, and cardiac morbidity outcomes after
coronary artery bypass surgery: a contemporary and practical review,” Journal of Geriatric
Cardiology, vol. 9, no. 2, pp. 197–208, 2012.
5. Van Melle JP, de Jong P, Spijkerman TA, et al. Prognostic association of depression
following myocardial infarction with mortality and cardiovascular events: a meta-analysis.
Psychosom Med 2004;66:814–22.
6. G. Magyar-Russell, B. D. Thombs, J. X. Cai et al., “The prevalence of anxiety and
depression in adults with implantable cardioverter defibrillators: a systematic review,”
Journal of Psychosomatic Research, vol. 71, no. 4, pp. 223–231, 2011
7. V. Freedenberg, SA. Thomas, and E. Friedmann, “Anxiety and depression in implanted
cardioverter-defibrillator recipients and heart failure: a review,” Heart Failure Clinics, vol. 7,
no. 1, pp. 59–68, 2011.
8. Kaloustian S, Bah TM, Rondeau I, Mathieu S, Lada -Moldovan L, Ryvlin P, Godbout R,
Rousseau G . Tumor necrosis factor –alpha participates in apoptosis in the limbic system
after myocardial infarction. Apoptosis. 2009 29; 14(1):1308 -16.
9. Guy R, Bah TM, Godbout R.Post-Myocardial Infarction Depression. Intech .2012. Dapat
Diunduh dii www.intechopen.com
10. Guy R ,Thierno Madjou Bah TM Roger Godbout R. Post-Myocardial Infarction
Depression in : Novel Strategies in Ischemic Heart Disease.2012. tersedia di
www.intechopen.com
11. B. L. Rollman, B. H. Belnap, S. Mazumdar et al., “A positive 2-item patient health
questionnaire depression screen among hospitalized heart failure patients is associated with
elevated 12-month mortality,” Journal of Cardiac Failure, vol. 18, no. 3, pp. 238–245, 2012.
12. Gilbody S, Richards D, Brealey S, Hewitt C. Screening for depression in medical settings
with the Patient Health Questionnaire (PHQ): a diagnostic meta-analysis. J Gen Intern Med.
2007;22:1596 –1602.

16

13. McManus D, Pipkin SS, Whooley MA. Screening for depression in patients with
coronary heart disease (data from the Heart and Soul Study). Am J Cardiol. 2005;96:1076 –
1081
14. Y. W. Leung, D. B. Flora, S. Gravely, J. Irvine, R. M. Carney, and S. L. Grace, “The
impact of premorbid and postmorbid depression onset on mortality and cardiac morbidity
among patients with coronary heart disease: meta-analysis,” Psychosomatic Medicine, vol.
74, no. 8, pp. 786–801, 201
15. American Psychiatric Association. Task Force on DSM-IV. Diagnostic and statistical
manual of mental disorders. 4th ed. Washington, D.C.: American Psychiatric Association,
1994.
16. Lespérance F, Frasure-Smith N. Depression in patients with cardiac disease: a practical
review. J Psychosom Res. 2000;48:379 –391.
17. United States Department of Health and Human Services, Public Health Service, Agency
for Health Care Policy and Research. Depression in primary care. Vol 2. Detection and
diagnosis. Rockville, Md.: Government Printing Office, 1993: AHCPR publication no. 930550.
18. Roose SP, Laghrissi-Thode F, Kennedy JS, Nelsen JC, Bigger JT Jr., Pollock BG, et al.
Comparison of paroxetine and nortriptyline in depressed patients with ischemic heart disease.
JAMA 1998;279:287-91
19.Thase ME, Friedman ES, Biggs MM, Wisniewski SR, Trivedi MH, Luther JF, Fava M,
Nierenberg AA, McGrath PJ, Warden D, Niederehe G, Hollon SD, Rush AJ. Cognitive
therapy versus medication in augmentation and switch strategies as second-step treatments: a
STAR report. Am J Psychiatry. 2007;164:739 –752.
20. Carney RM, Blumenthal JA, Freedland KE, Youngblood M, Veith RC, Burg MM,
Cornell C, Saab PG, Kaufmann PG, Czajkowski SM, Jaffe AS; ENRICHD Investigators.
Depression and late mortality after myocardial infarction in the Enhancing Recovery in
Coronary Heart Disease (ENRICHD) study. Psychosom Med. 2004;66:466–474.