BAHASA TOLAKI DARI GENERASI KE GENERASI

BAHASA TOLAKI DARI GENERASI KE GENERASI:
Pergeseran Penggunaan Bahasa Daerah dalam
Kegiatan Mendongeng pada Keluarga Suku Tolaki
Heksa Biopsi Puji Hastuti
Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara

Abstrak
Salah satu indikator masih digunakannya sebuah bahasa ialah
kegiatan bercerita atau mendongeng. Kegiatan ini dapat
dilakukan dalam lingkup keluarga ataupun kelompok sosial yang
lebih luas seperti lingkungan desa atau komunitas yang lebih
besar lainnya. Sebagaimana dalam keluarga pada suku lain,
dalam keluarga suku Tolaki pun biasa dilakukan kegiatan
mendongeng. Biasanya orang-orang tua suku Tolaki memiliki
waktu-waktu tertentu untuk mendongengi anaknya. Pada
kenyataannya, terdapat pergeseran penggunaan bahasa dalam
kegiatan mendongeng pada keluarga suku Tolaki. Pergeseran
terjadi dari generasi ke generasi, dan terletak pada penerapan
kaidah stratifikasi tuturan ketika bercerita dan bahasa yang
digunakan secara umum.
Kata-kata

kunci:
pergeseran,
bahasa
Tolaki,
kegiatan
mendongeng.

PENDAHULUAN
Suku Tolaki ialah suku asli yang mendiami wilayah
daratan Sulawesi Tenggara. B a h a s a To l a k i a d a l a h b a h a s a
yang masih berfungsi sebagai alat untuk berkomunikasi
di antara para penuturn ya. Sekitar 92.6 % penduduk
Kota mad ya Kendari, Kabupaten Konawe, Konawe Selatan
d a n K o n a w e U t a r a me n g g un a k an n ya s e b a g a i s a r an a
ko munikasi lisan dengan tujuan men ya takan rasa inti m
dan rasa hor ma t, me mbicarakan hal yang bersifat lokal

-63-

maupun yang berhubungan dengan per aturan adat

s e t e m p a t , ( Wa w a n M a r h a n j o n o : h t t p : / / s a s t r a . u m . a c . i d /
w p - c o n t e n t / u p l o a d s / 2 0 1 0 / 0 1 / 0 4 4 ) . Terlepas dari terbukti
atau tidaknya data angka di atas, yang ingin disampaikan di sini
ialah bahasa Tolaki masih digunakan untuk berkomunikasi
walaupun mengalami penurunan jumlah penuturnya.
Tidak ada pihak lain yang mampu memberikan kontribusi
yang lebih besar terhadap pemertahanan sebuah bahasa daripada
mas yarakat penutur bahasa yang bersangkutan. Friberg
(2010:91) mengatakan bahwa pelestarian bahasa (boleh juga
dikatakan pemeliharaannya) tidak mungkin dicapai kecuali
melalui penggunaan. Dari pernyataan ini terkandung maks ud,
semaju apa pun penelitian dilakukan terhadap sebuah bahasa,
tidak akan memberikan banyak arti jika tidak ada lagi penutur
yang menggunakan bahasa tersebut.
Banyak penelitian yang telah dilakukan sebagai upaya
pemertahanan bahasa Tolaki di Sulawesi Ten ggara. Beberapa
penelitian awal terhadap bahasa Tolaki dikemukakan oleh
Tarimana (1993:66), yakni H. van der Klift dengan tulisan
berjudul Mededeelingen over e taal van Mekongga (1918), yang
artinya “catatan-catatan tentang bahasa Mekongga”, Mekongga

ialah suku Tolaki yang tinggak di daerah Kolaka. Peneliti lain
bernama M.J. Gouveloos dengan tulisannya yang tidak
diterbitkan berjudul Spraakkunst der Tolaki (Tata Bahasa Tolaki).
Tarimana sendiri pernah melakukan penelitian yang terhimpun
dalam tulisan berjudul Imbuhan Bahasa Tolaki (1973) dan J.F.
Pattasiana dkk. menulis buku berjudul Struktur Bahasa Tolaki
(1978) dan Morfologi Bahasa Tolaki (1982). Beberapa peneliti
lain membuahkan karya pada periode selanjutnya, antara lain:
peneliti SIL yang menulis buku berjudul Powuku Ndolaki,
diterbitkan oleh Badan Pemberdaya SULTRA pada tahun 2006,
Firman A.D. yang menulis “Bentuk Kala dalam Bahasa Tolaki:
Sebuah Pengantar”, dimuat dalam Jurnal Kandai Volume 1 Juli
2006, dan Hilaluddin Hanafi yang menulis “klitika Bahas a
Tolaki”, dimuat dalam jurnal yang sama. A da juga buku bahan

-64-

ajar sebagai pegangan siswa sekolah dalam pelajaran Muatan
Lokal (mulok) bahasa Daerah Tolaki. Hasil penelitian yang
sudah dilakukan tersebut menghasilkan beberapa simpulan dalam

beberapa hal, di antaranya yaitu ciri-ciri fonologi bahasa Tolaki,
sistem pembentukan kata dalam bahasa Tolaki, adanya perubahan
morfofonemis dalam proses pembentukan kata, ciri struktur
kalimat bahasa Tolaki yang menunjukkan gejala inversi dan
reduplikasi.
Selain ciri-ciri linguistik sebagaimana disebutkan di atas,
bahasa Tolaki pun mempunyai ciri khas sehubungan dengan
kondisi sosial budaya masyarakat penuturnya. Banyak kenyataan
budaya yang tidak bisa dilepaskan dari permasalahan bahasa,
mengingat bahasa merupakan inti kebudayaan. Penggolongan
kelas masyarakat berdampak nyata pada bahasa yang digunakan,
bahasa Tolaki termasuk bahasa yang mengalami hal ini.
Dinamika masyarakat yang kian hari kian dinamis memicu
terjadinya pergeseran-pergeseran pada berbagai aspek kehidupan,
termasuk di antaranya dalam pemilihan bahasa untuk
berkomunikasi. Derasnya arus urbanisasi dan globalisasi
memberikan dampak yang tidak sedikit pada proses bergesernya
penggunaan media komunikasi dalam masyarakat. Indikasi
pergeseran penggunaan bahasa Tolaki ini dapat juga dilihat dari
perubahan bahasa yang digunakan ketika bercerita atau

mendongeng. Permasalahan yang ingin penulis ungkapkan dalam
makalah ini ialah pergeseran penggunaan bahasa Tolaki dari
generasi ke generasi, yang terjadi dalam kegiatan mendongeng.
BAHASA TOLAKI PADA MASA LALU
Suku Tolaki mengenal pembedaan stratifikasi dalam
berbahasa, yaitu:
a. Tulura anakia (bahasa golongan bangsawan).
Tulura anakia penuh dengan aturan sopan santun. Ragam
tuturan anakia juga dikenal dengan sifatnya: mombe’owose
(membesarkan), mombokulaloi (melebihkan, meninggikan),

-65-

metabea (memohon), dan mombona’ako (menghargai).
b. Tulura lolo (bahasa golongan menengah).
Tulura lolo digunakan sehari-hari secara umum di dalam
masyarakat
suku Tolaki.
c. Tulura ata (bahasa golongan budak).
Pembedaan ini tidak terlepas dari kenyataan sosial

budaya suku Tolaki yang mengenal stratifgikasi mas yarakat
berdasarkan
darah
kebangsawanan.
Dalam
praktiknya,
mas yarakat
bangsawan
(golongan
anakia)
berbicara
menggunakan ragam tulura anakia yang derajatnya dipandang
lebih tinggi. Sementara itu, golongan masyarakat biasa atau
kelas rendahan menggunakan ragam tulura lolo dan tulura ata.
Berbicara mengenai suku Tolaki, tidak bisa terlepas dari
membicarakan masalah kalo, tidak terkecuali ketika membahas
bahasa sebagai lambang ekspresi. Pada masa lalu, individu atau
keluarga yang mengutamakan penggunaan kalo sebagai alat
ekspresi dimasukkan ke dalam golongan merou, meirou (sopan,
berakhlak terpuji). Sebaliknya, mereka yang men gabaikan kalo

dipandang sebagai te’oha-oha (sombong, tidak tahu adat, dan
sok pintar). Tarimana (1993:77) menyebutkan, hal ini
menunjukkan bahwa kalo memiliki fungsi sebagai asas dari adat
istiadat berbahasa pada suku Tolaki. Suku Tolaki juga mengenal
gaya berbahasa ragam tulura ndonomotuo (bahasa orang tua-tua).
Ragam gaya bahasa tulura ndonomotua ini biasa digunakan saat
orang tua memberikan nasihat atau petuah kepada anak -anak
mereka.
Pada masa lalu, penggunaan bahasa Tolaki sangat taat
aturan. Perbedaan beberapa ragamnya dapat dirasakan dengan
jelas oleh penuturnya. Hal ini terkait dengan masih kentalnya
stratifikasi masyarakat dalam konteks kehidupan sosial ekonomi
dan
nilai-nilai
kebangsawanan.
Penyekatan
kehidupan
antargolongan pun berandil dalam ragam tuturan yang digunakan.
Tidak mungkin seorang ata (budak) berbicara sembarangan
kepada golongan anakia (bangsawan).


-66-

BAHASA TOLAKI PADA MASA SEKARANG
Mobilitas manusia yang semakin dinamis menyebabkan
mereka mau tidak mau menyesuaikan diri dengan lingkungan
baru yang dihadapinya. Mereka yang tidak berpindah pun harus
beradaptasi dengan orang baru yang datang dan bermukim di
wilayahnya. Di desa-desa yang awalnya berpenduduk satu suku
dan berkomunikasi dengan bahasa daerah yang sama, ketika
hadir pendatang dari suku lain dengan bahasa yang berbeda,
tentunya akan berusaha mencari alternatif bahasa yang bisa
menjadi media bagi komunikasi di antara mereka. Suku asli yang
menghuni wilayah daratan Sulawesi Tenggara ialah suku Tolaki.
Mereka berkomunikasi antar sesaman ya dengan menggunakan
bahasa Tolaki. Ketika pendatang dari suku lain memasuki
desa-desa suku Tolaki, mereka mencari alternatif bahasa yang
bisa menjembatani kebutuhan komunikasi.
Di Indonesia, kehadiran bahasa Indonesia sebagai bahasa
negara yang sekaligus berfungsi sebagai bahasa persatuan

menawarkan alternatif mudah dalam mengatasi permasalahan
kesenjangan komunikasi antarsuku. Bangsa Indonesia men yadari
arti penting bahasa Indonesia karena banyaknya suku -suku
tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan memiliki bahasa
daerah beragam. Dalam ethnologue (2010) yang dikutip oleh
Yamaguchi (2010:74) disebutkan bahwa 10 persen dari seluruh
bahasa yang ada di dunia ini terdapat di wilayah negara
Indonesia. Sebuah
realitas yang tidak menampik urgensi
kehadiran satu sarana komunikasi universal bagi seluruh
penduduk di Indonesia.
Sebagaimana masyarakat penutur bahasa daerah lainnya
yang ada di Indonesia, penutur bahasa Tolaki di Sulawesi
Tenggara pun menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa
yang bergengsi. Mereka merasa lebih modern dan berkelas ketika
berbicara dalam bahasa Indonesia daripada bahasa Tolaki.
Fenomena kawin campur (perkawinan antarsuku) pun membuat
penggunaan bahasa Indonesia semakin dipilih sebagai alat
komunikasi yang bisa dimengerti oleh sua mi dan istri. Umumn ya,


-67-

anak-anak yang terlahir dari perkawinan antarsuku akan
menggunakan dan hanya mengerti bahasa Indonesia dalam
keseharian mereka. Jika ada anak-anak yang mengerti akan
bahasa daerah, biasanya hanya kemampuan pasif atau mampu
mengucapkan dan mengerti kalimat-kalimat tertentu saja.
Keluarga suku Tolaki zaman sekarang, seperti juga
keluarga muda dari suku lain, tampak tidak meminati kegiatan
mendongeng untuk anak-anaknya, terlebih dongeng dalam
bahasa daerah. Banyaknya kemudahan akses medi a dan semakin
sibuknya orang tua dalam mencari nafkah menyebabkan aspek
pembinaan hubungan dengan anak-anak melalui aktivitas
bercerita dianggap tidak efektif lagi. Kebersamaan biasanya
lebih sering dilakukan dengan bermain bersama baik di rumah
maupun di tempat rekreasi. Di antara yang jarang, masih ada
juga orang tua yang masih bisa dan berusaha menyempatkan diri
mendongengkan cerita-cerita kepada anak-anaknya. Namun,
umumnya mereka mendongeng dalam bahasa Indonesia walaupun
cerita yang dipilih merupakan dongeng Tolaki.

Secara umum bisa dikatakan, kemajuan yang dicapai umat
manusia pada bidang informasi dan teknologi juga turut berandil
dalam menurunnya minat masyarakat penutur kepada bahasa
lokalnya.
Kehadiran
tayangan-tayangan
televisi
yang
menjangkau hingga ke wilayah pedesaan memberikan alternatif
tontonan yang disadari atau tidak, dijadikan panutan dalam
bersikap dan berperilaku. Peniruan dilakukan termasuk dalam
hal berbahasa. Tayangan televisi nasional tidak ada yang
men yuguhkan acara dalam bahasa Tolaki. Semua dibawakan
dalam bahasa Indonesia. Kalau pun ada terselip bahasa daerah,
biasanya bahasa daerah Jawa atau Sunda. Apa yang te rsaji di
televisi dianggap sebagai kehidupan yang ideal. Bahasa
Indonesia diposisikan sebagai bahasa modern yang keren d an
bisa menaikkan citra diri seseorang di desanya sehingga tidak
sedikit yang menjadi malu ataupun merasa kampungan ketika
berbicara menggunakan bahasa Tolaki.
Masyarakat Tolaki bukannya tidak menyadari adanya

-68-

perubahan dalam sarana komunikasi yang terjadi pada mereka,
yakni lebih memilih bahasa Indonesia dari bahasa Tolaki.
Seorang pengguna jejaring sosial facebook bernama Hapri
menuliskan keresahannya akan hal ini pada sebuah forum diskusi
yang mengangkat topik Bahasa Tolaki Menuju Kepunahan.
Setelah membaca laporan penelitian yang dilakukan oleh T.
David Andersen yang terbit dalam prosiding Kongres
Bahasa-Bahasa Daerah di Baubau, Hapri menganalogikan hasil
penelitian Andersen terhadap bahasa Moronene dengan realitas
yang terjadi pada bahasa Tolaki. Hapri menyimpulkan,
sebagaimana yang terjadi pada bahasa Moronene menurut
andersen, ada beberapa faktor yang meyebabkan bahasa Tolaki
dapat dikatakan menuju kepunahannya, faktor-faktor tersebut
yaitu:
1 . A n a k - a n a k d i k o t a s u d a h t i d a k t a h u b a h a s a To l a k i .
2 . B a h a s a To l a k i s u d a h b a n y a k d i c a m p u r i d e n g a n
kata-kata bahasa Indonesia.
3. Kata-kata
halus
bahasa
To l a k i
sudah
jarang
dimengerti.
4. Pe muda yang pernah sekolah dikota pulang ke
kampung tetap menggunakan bahasa Indonesia ketika
bertemu sesama suku tolaki di luar daerah, sudah malu
m e m a k a i b a h a s a To l a k i .
Akan tetapi, ada satu gejala yang yang akan menjadi
p e n ye b a b u t a ma k ep un a h an b aha s a t ol a ki , ya i t u : O r a n g
tua dikampung tidak me makai bahasa tolaki dengan
anakn ya.
Poin-poin tersebut adalah hasil analisis seorang
p e n u t u r m u d a b a h a s a To l a k i b e r d a s a r k a n r e a l i t a s y a n g
dilihatn ya dan
hasil penelitian terhadap bahasa
Moronene yang dibacan ya . Pada poin tiga disebutkan
f a k t o r p e n y e b a b b a h a s a To l a k i b e r a d a d i a m b a n g
k e p u n a h a n i a l a h k a r e n a k a t a - k a t a h a l u s b a h a s a To l a k i

-69-

sudah jarang di mengerti. Hal ini sesuai dengan yang
disa mpaikan oleh narasu mber penulis yang masih dala m
usia muda (kisaran 19 —25 tahun). Mereka mengatakan
tidak lagi bisa membedakan antara tuturan tulura anakia,
tulura lolo, dan tulura ata. Dalam praktiknya, suku
To l a k i g e n e r a s i m u d a y a n g m a s i h m a m p u b e r k o m u n i k a s i
dala m bahasa daerahn ya tidak terlalu me merhatikan
stratifikasi tuturan ini. Faktor pen yebab me mudarn ya
pengaruh tingkatan-tingkatan tuturan dalam penggunaan
b a h a s a To l a k i i a l a h b e r u b a h n y a t a t a n a n k e h i d u p a n s o s i a l
m a s y a r a k a t To l a k i . S a a t i n i , t i d a k h a n y a o r a n g k a u m
bangsawan (kaum anakia) yang me rasa berhak dihor mati.
Orang-orang dari golongan rendah pun sudah ban yak yang
me mpun yai pangkat dan kedudukan dala m ma s yarakat.
Orang anakia ya ng sedian ya bisa berbicara dengan
menggunakan tulura ata kepada golongan ata, tidak bisa
lagi melakukann ya setelah orang golongan ata tersebut
memiliki kedudukan tinggi.
H a p r i t i d a k s e n d i r i , a d a s e o r a n g p e m u d a To l a k i
berna ma M. Sabri Matasala yan g peduli dengan apa yang
terjadi pada bahasa luluhurn ya. Ia putra seorang tokoh
a d a t To l a k i . S a b r i b e g i t u r e s a h m e l i h a t m e n u r u n n y a
p e n g g u n a a n b a h a s a To l a k i ( t e r u t a m a g e n e r a s i m u d a S u k u
To l a k i ) b a i k d a l a m k o m u n i k a s i d a l a m k e l u a r g a , d i
lingkungan desa, atau dala m k egiatan -kegiatan yang
s i f a tn ya a k s i de n t a l. K e r e s aha n n ya i n i me mb e r i k a n
inspirasi untuk me mbentuk sebuah komunitas dengan
n a m a “ S a y a C i n t a B a h a s a To l a k i ” . K o m u n i t a s i n i t e r b e n t u
tanggal 26 Juni 2008. Saat ini, sekretariat “Saya Cinta
B a h a s a To l a k i ” b e r a d a d i J a l a n D I . P a n j a i t a n , L r.
Al-Mukhlis No. 3, Kendari.
G r u p “ S a y a C i n t a B a h a s a To l a k i ” d i b e n t u k p u l a
dalam jejaring sosial facebook. Di dalamnya tertulis
pemberitahuan mengenai profil grup dari pengurus
( a d m i n ) s e b a g a i b e r i k u t : “ Kelompok ini bertujuan untuk

-70-

mengakrabkan kembali bahasa, budaya dan atribut-atribut sosial
budaya Tolaki kepada anggotanya, masyarakat Tolaki, atau
mereka yang hanya tertarik untuk mempelajari. Kelompok Ini
tidak memiliki afiliasi dengan entitas politik atau pribadi, dan
berusaha untuk menjembatani kolaborasi penelitian/proyek
kolaborasi pihak luar. Anggota kelompok bervariasi dan terdiri
dari pemimpin tradisional, peneliti universitas dan mas yarakat
umum dari berbagai kelompok umur dan latar belakang sosial
ekonomi.” Pemberitahuan ini tertulis dalam bahasa Inggris dan
bahasa Indonesia.
Sementara itu, praktik keseharian penutur bahasa Tolaki
yang tinggal di desa yang masih relatif homogen komposisi
penduduknya memperlihatkan kurangnya minat dan motivasi
mereka untuk berkomunikasi dalam bahasa Tolaki. Hal ini
terutama terlihat di kota-kota yang sudah bersifat heterogen.
Pendatang dari suku lain yang mengharapkan bisa belajar bahasa
daerah setempat (bahasa Tolaki) harus kecewa karena sulitnya
mendapati orang berkomunikasi dalam bahasa ini. Kalaupun ada,
hanya sesekali dan tidak cukup untuk membuat telinga terbiasa
dan mengenali setiap kata yang diucapkan.
Desa Wawonggole, Kabupaten Unaaha,
mayoritas
penduduknya suku Tolaki walaupun telah bercampur dengan
pendatang dari suku lain. Ketika berkomunikasi dengan sesama
penutur bahasa Tolaki, orang-orang di desa ini yang berusia di
atas 16 tahun (usia SMA dan yang di atasnya) umumn ya masih
murni menggunakan bahasa Tolaki walaupun sudah tidak lagi
terlalu mempermasalahkan tingkatan -tingkatan tuturan (tulura),
sedangkan anak-anak usia 12—15 tahun (usia SMP) mereka
berkomunikasi dengan menggunakan bahasa campuran antara
bahasa Indonesia dan bahasa Tolaki, baik dalam lingkungan
keluarga maupun pergaulan dengan teman-teman di sekolah.
Akan tetapi, anak-anak di bawah usia 12 tahun (usia balita dan
sekolah dasar) sudah banyak yang tidak dibiasakan berbahasa
Tolaki. Mereka hanya menggunakan bahasa Indonesia karena
itulah yang dibiasakan oleh orang tua di rumah dan guru -guru di

-71-

sekolah.
BAHASA TOLAKI PADA MASA YANG AKAN DATANG
Munculnya komunitas/organisasi “Saya Cinta Bahasa
Tolaki”. Komunitas ini membuka sekretariat tidak hanya di
Kendari, tetapi juga di daerah lain yang banyak suku Tolakinya
seperti di Unaaha, Kabupaten Konawe. Kemunculan komunitas
ini memberikan harapan positif terhadap pemertahanan bahasa
Tolaki sebagai bahasa suku asli di daratan Sulawesi Tenggara.
Ke masa depannya, diharapkan komunitas ini menyelenggarakan
kegiatan yang memiliki kontribusi aktif terhadap upaya
pelestarian bahasa Tolaki. Agenda terdekat yang akan diadakan
oleh organisasi ini ialah lomba pidato dalam bahasa Tolaki
antarpelajar sekota Kendari. Kegiatan ini rencananya akan
diadakan pada bulan Maret 2012, bertepatan dengan momen
ulang tahun Kota Kendari.
Pemanfaatan media informasi dan teknologi semacam
jejaring sosial facebook di internet menjadi terobosan positif
mengingat kebanyakan generasi muda menyukai cara seperti ini.
Selain facebook, media berupa blog, twitter, dan fasilitas media
lainnya bisa lebih menyemarakkan upaya pelestarian bahasa
Tolaki karena akses layanan internet yang kian hari kian mudah
dan meluas hingga ke pelosok pedesaan. Munculnya
artikel-artikel informatif tentang bahasa Tolaki, baik dalam
bahasa Tolaki maupun tentang bahasa Tolaki, di internet
memudahkan peminat bahasa mendapatkan sumber pengetahuan.
Perlu juga dipikirkan kemungkinan membuka kelas bahasa
Tolaki dengan menggunakan media yang sudah ada sekarang.
Misalnya, dalam grup facebook “Saya Cinta Bahasa Tolaki”
diadakan pelajaran bahasa Tolaki sehingga orang non-Tolaki
yang ingin mempelajarinya pun bisa ikut berpartisipasi dalam
upaya pelestarian ini. Pelajaran bisa dimulai dengan
mengenalkan stratifikasi tuturan bahasa Tolaki yang sudah
tampak memudar ciri-cirinya bagi penutur asli sekalipun.
Bentuk pelajaran lain ialah dengan memperkenalkan

-72-

bahasa melalui cerita. Cerita atau dongeng yang dimi liki suku
Tolaki
sangat
beragam.
Melalui
grup
facebook,
dongeng-dongeng ini bisa disebarluaskan dan dibuka forum
diskusi tentang isi cerita serta kaitannya dengan bahasa yang
digunakan di dalamnya sehingga lebih banyak orang yang
mengenal dan membahasnya, baik secara substantif maupun
format penyampaiannya.
Selain internet, media massa bisa juga menjadi alternatif
dalam melaksanakan misi pelestarian b ahasa Tolaki. Media cetak
seperti surat kabar yang ada di Sulawesi Tenggara bisa diminta
men yisihkan satu kolom untuk kepentingan ini. Satu kolom kecil
dalam satu hari bisa jadi efektif apabila dilakukan secara kontinu.
Faktor kontinuitas ini biasanya terbentur pada ketersediaan dana
dan sumber daya manusia, tetapi tampaknya hal itu bisa
dimusyawarahkan antarpihak terkait. Upaya pelestarian bahasa
daerah sebagai kekayaan budaya nasional menjadi tanggung
jawab pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Pelajaran
tentang
pengenalan
dan
pengakraban
tuturan-tuturan dalam bahasa Tolaki bisa dilakukan melalui
media elektronik, baik audio maupun audio -visual. Banyak
sumber daya manusia baik yang berasal dari suku Tolaki maupun
non-Tolaki yang bisa mencurahkan kemampuannya dengan
berekspresi menciptakan rekaman (audio/visual) jika diberi
kesempatan dan kepercayaan. Siaran yang ditayangkan harus
dibungkus dengan kemasan yang menarik dan tidak
membosankan sehingga diminati oleh khalayak.
Ketika bahasa Tolaki sudah mendapatkan tempat yang
bergengsi di mata penuturnya, tidak kalah dari bahasa Indonesia
maupun bahasa daerah lainnya yang ada di Indonesia, bisa
dikatakan harapan hidup bahasa Tolaki sangat baik. Orang tidak
segan
mempelajari
dan
menggunakannya
sebagai
alat
komunikasi.

-73-

KEGIATAN MENDONGENG MASYARAKAT TOLAKI DARI
GENERASI KE GENERASI
Berbagai ajaran yang disampaikan oleh leluhur suku
Tolaki diteruskan kepada generasi penerus dengan media bahasa
ragam. Salah satu aktivitas yang erat kaitannya dengan
penyampaian nasihat ini ialah kegiatan mendongeng. Para orang
tua dalam keluarga suku Tolaki memiliki kebiasaan mendongeng
untuk anak-anak mereka, baik menjelang tidur maupun sekadar
mengisi waktu senggang saat beristirahat. Dongeng Tolaki
memberikan gambaran mengenai ajaran-ajaran yang diyakini
berasal dari kearifan leluhur mereka. Sebagai contoh, dongeng
Kolopua dan O hada (Kura-kura dan Kera). Penanaman
nilai-nilai baik dan buruk, benar dan salah dilakukan melalui
penyampaian dongeng fabel ini. Kolopua merepresentasikan
tokoh pelaku kebaikan dan kebenaran, sebaliknya, o hada
mencerminkan tokoh pelaku keburukan. Sebagaimana layaknya
tradisi lisan sebuah masyarakat, dongeng Tolaki pun men yebar
dalam komunitasnya melalui aktivitas lisan. Mendongeng bagi
mas yarakat Tolaki juga menjadi sarana pengenalan dan
penanaman norma yang terkandung dalam istilah tertentu yang
berlaku dan diakui dalam masyarakatnya seperti kata tombalaki.
Tombalaki sebagai konsep citra lelaki terhadap keluarganya
dalam wacana kesetaraan dan relasi gend er muncul melalui mitos
Oheo (Laxmi, 2010:92).
Tinggal dalam wilayah dengan komposisi penduduk yang
cenderung homogen membuat bahasa Tolaki menjadi bahasa
utama untuk berkomunikasi, termasuk dalam hal menyampaikan
dongeng. Selain isi cerita yang berasal dari kisah-kisah lokal,
medianya pun selalu dalam bahasa aslinya, yakni bahasa Tolaki
(untuk mendongeng biasanya digunakan bahasa Tolaki ragam
tulura ndonomotua. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, ragam
tulura ndonomotua ini merupakan ragam bahasa Tolaki yang
digunakan ketika orang-orang tua memberikan nasihat atau
petuah kepada anak-anaknya, termasuk ketika menceritakan
dongeng untuk anak-anaknya.

-74-

Pada masa lalu, orang Tolaki memiliki saat -saat tertentu
yang
dipandang
tepat
untuk
mendongeng.
Anak -anak
mendengarkan cerita rakyat Tolaki dalam bahasa yang masih
terjaga keasliannya. Kaidah tuturan masih diterapkan dalam
setiap aliran kisah yang keluar dari lisan orang tua mereka.
Menurut penuturan narasumber penulis (seorang penutur asli
bahasa Tolaki di desa Wawonggole berusia sekitar 25 tahun),
waktu ia masih kecil, orang tuanya (berusia antara 50 —60 tahun)
masih suka mendongeng cerita-cerita tradisional untuk
anak-anaknya. Akan tetapi, orang tua setelah generasi orang
tuanya (sekarang berusia sekitar 40 tahunan) sudah tidak lagi
memelihara kelas tuturan ketika bercerita. Pada saat bercerita,
mereka mengombinasikan antara tulura anakia dengan tulura
lolo dan tulura ata. Pada cerita narasi biasanya digunakan tulura
ata atau tulura lolo, tetapi ketika mengucapkan percakapan
dalam dongeng mereka menggunakan tulura anakia.
Terjadinya pengombinasian di atas menunjukkan bias
dalam memosisikan tokoh-tokoh dalam dongeng yang dikisahkan.
Bila dihubungkan dengan keterangan narasumber lain mengenai
tidak lagi berlakunya stratifikasi tradisional dalam mas yarakat
duku Tolaki, hal ini wajar saja terjadi. Anak -anak tidak lagi
diajari mengenal siapa yang termasuk di dalam golongan anakia,
atau golongan ata. Kesetaraan yang diajarkan oleh pendidikan
modern telah menggeser pengelasan yang sebelumnya sudah
terbina dalam masyarakat suku Tolaki.
Perkembangan yang terjadi kemudian dalam kegiatan
mendongeng orang tua suku Tolaki ialah hilangnya penggunaan
bahasa Tolaki dalam dongeng-dongeng mereka. Orang tua muda
(berusia sekitar 25—35 tahun) lebih suka mendongeng dalam
bahasa Indonesia karena anak-anak mereka tidak dibiasakan
mendengarkan tuturan dalam bahasa Tolaki. Walaupun mereka
bercerita tentang Kolopua dan O hada, tetapi cerita itu
disampaikan dalam bahasa Indonesia. Pada generasi ini bahasa
Tolaki seolah lenyap, hanya digunakan sesekali saja pada
perkumpulan tertentu.

-75-

SIMPULAN
Kegiatan mendongeng bisa menjadi indikator penggunaan
bahasa daerah pada masyarakat penuturnya. Melalui pengamatan
dalam kegiatan mendongeng, bisa dilihat p ergeseran bahasa
daerah yang terjadi dalam masyarakat penutur sebuah bahasa.
Suku Tolaki memiliki kebiasaan mendongeng untuk
anak-anak mereka pada saat-saat tertentu. Berdasarkan aktivitas
mendongeng yang mereka lakukan dari generasi ke generasi
dapat disimpulkan bahwa ada perubahan bahasa ketika
mendongeng. Generasi masa lalu, ketika mendongeng masih
dalam bahasa Tolaki yang asli dan sesuai dengan tata aturan yang
sudah diakui secara adat, yakni menerapkan stratifikasi tuturan
tulura anakia, tulura lolo, dan tulura ata. Generasi selanjutnya
masih menggunakan bahasa Tolaki ketika mendongeng, tetapi
sudah tidak seperti aslinya. Mereka mencampurkan antara tulura
anakia, tulura lolo, dan tulura ata. Tulura anakia lebih banyak
digunakan dalan dialog, sedangkan tulura lolo dan tulura ata
digunakan saat narasi cerita. Orang tua generasi termuda (di
bawah 35 tahun) umumnya tidak lagi menggunakan bahasa
Tolaki ketika mendongeng untuk anaknya. Mereka mendongeng
dalam bahasa Indonesia karena anak -anak mereka tidak
dibiasakan berbahasa Tolaki.

DAFTAR PUSTAKA
Andersen, T. David. 2010. Pelestarian dan Pengembangan
Bahasa Moronene. Prosiding Kongres Internasional
Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Tenggara:139—145.
Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara.
Friberg, Timothy. 2010. Peran Media Massa dalam Pelestarian
dan Pembinaan Bahasa dan Sastra Daerah: Surat
Kabar Bahasa Daerah sebagai Strategi untuk
Mempertahankan
Bahasa
dan
Sastra
Daerah.
Prosiding Kongres Internasional Bahasa -Bahasa

-76-

Daerah Sulawesi Tenggara: 91—99. Kendari: Kantor
Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara.
M a r h a n j o n o , Wa w a n . h t t p : / / s a s t r a . u m . a c . i d / w p - c o n t e n t /
u p l o a d s / 2 0 1 0 / 0 1 / 0 4 4 - Wa w a n - M a r h a n j o n o - U n i v
. - H a l u o l e o - M o r f o f o n e m i k - B a h a s a - To l a k i - . - . - . .
pdf
Peneliti Summer Language Institute. 2006. Powuku Ndolaki.
Kendari: Badan Pemberdayaan SULTRA.
Laxmi. 2010. Tombalaki: Studi Kekerasan Laki -laki pada Suku
Tolaki di Sulawesi Tenggara. Yogyakarta: Penerbit
Ombak.
Yamaguchi, Masao. 2010. Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi
Tenggara dalam Kaitannya dengan Genealogi.
Prosiding Kongres Internasional Bahasa -Bahasa
Daerah Sulawesi Tenggara:74--90. Kendari: Kantor
Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara.
Tarimana, Abdurrauf. 1993. Kebudayaan Tolaki. Jakarta: Balai
Pustaka.

-77-