Pengaruh Intervensi Program Tuberkulosis (TB) Paru Terhadap Pengetahuan dan Sikap Masyarakat di Kecamatan Medan Maimun

6

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis (TB) Paru
2.1.1. Sejarah TB
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit kronis yang telah lama
dikenal, dibuktikan dengan penemuan kerusakan tulang vertebra torak
yang khas TB pada kerangka yang digali di Heidelberg dari kuburan
zaman neolitikum. Hipokrates telah memperkenalkan terminologi
phthisis yang diangkat dari bahasa Yunani yang menggambarkan
tampilan TB paru. Bukti lain, pada mumi-mumi dari Mesir yang berasal
dari tahun 3500 SM, Jordania (300 SM), Scandinavia (200 SM),
Nesperehan (1000 SM), Peru (700 SM), United Kingdom (200-400
SM) masing-masing dengan fosil tulang manusia yang melukiskan
adanya Pott’s Disease atau abses paru yang berasal dari tuberkulosis,
atau terdapatnya lukisan orang-orang dengan bongkok tulang belakang
karena sakit spondilitis TB (Amin dan Bahar, 2009).
Baru pada tahun 1882, Robert Koch menemukan kuman
penyebab TB yang merupakan bakteri basil berbentuk batang. Hasil

penemuannya dipresentasikan pada tanggal 24 Maret 1882 di Berlin,
yang kemudian setiap tanggal 24 Maret diperingati sebagai hari TB
sedunia (Putra, 2010).
2.1.2. Definisi dan Etiologi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang berkembang
dari infeksi sistemik yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis
complex (Lobue, et al., 2008). Sementara tuberkulosis (TB) paru adalah
tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura
(PDPI, 2006). Yang tergolong Mycobacterium tuberculosis complex
adalah M. tuberculosae, Varian Asian, Varian African I, Varian African
II, dan M. bovis. Pembagian tersebut berdasarkan perbedaan secara
epidemiologi. (Amin dan Bahar, 2009).

Universitas Sumatera Utara

7

Mycobacterium tuberculosis adalah salah satu mycobacteria
bersifat patogen. Bakteri ini berbentuk batang, ramping, termasuk
dalam ordo Actinomycetales, dan biasa ditemukan di tanah. Bakteri ini

mempunyai dinding sel yang kompleks kaya akan lipid (lemak) dan
lilin

yang

menyebabkannya

memiliki

beberapa

keistimewaan

diantaranya diwarnai dengan pewarnaan khusus (Ziehl-Neelsen) dan
pertumbuhannya sangat lambat. Mycobacteria diwarnai dengan carbol
fuchsin yang kemudian dipanaskan. Sekali diwarnai, zat warna akan
sulit dilunturkan bahkan dengan asam alkohol yang kuat. Hal ini
menyebabkan bakteri ini disebut bakteri tahan asam (BTA) (Doherty
dan Make,2006).
Mycobacterium tuberculosis memiliki lebar 0.4 µm dan panjang

3-4 µm, nonmotil, tidak berspora, dan bersifat obligat aerob. Bakteri ini
tumbuh pada media kultur dengan kadar lipid yang tinggi. Waktu
pembelahannya sekitar 12-18 jam dan harus diinkubasi selama 6-8
minggu pada suhu 37 derajat celcius (Kayser et al, 2005)
2.1.3. Cara Penularan (Transmisi) dan Patogenesis
Tuberkulosis (TB) ditularkan dari satu orang ke orang lain
melalui udara. Infeksi dapat terjadi setelah orang yang tidak terinfeksi
menghirup droplet pernafasan yang mengandung M. tuberculosis,
paling sering terjadi saat pasien dengan TB paru batuk (Lobue, et al.,
2008).

Gambar 2.1. Jumlah Droplet yang Dihasilkan dari Beberapa
Manuver (Gordon dan Mwandumba, 2008)

Universitas Sumatera Utara

8

Menurut Lobue, et al., (2008), beberapa faktor yang menentukan
probabilitas transmisi tuberkulosis adalah :

• Sumber penularan

Penderita dengan TB paru BTA positif atau adanya kavitas pada
pemeriksaan radiografi dada lebih berisiko besar menularkan kuman
TB

• Kerentanan host

• Lamanya pajanan/kontak dengan pasien TB

• Lingkungan dimana paparan terjadi
Lingkungan

yang

padat,

ruangan

dengan


ventilasi

buruk

menyebabkan resiko tinggi penularan TB
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang dikendalikan oleh
respon imunitas diperantarai sel. Sel efektor adalah makrofag,
sementara limfosit (biasanya sel T) adalah sel imunosupresif. Tipe
imunitas seperti ini biasanya lokal, melibatkan makrofag yang
diaktifkan di tempat infeksi oleh limfosit dan limfokinnya (Price dan
Stanridge, 2005).
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya
diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil.
Gumpalan basil yang lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung
dan cabang besar bronkus yang tidak menimbulkan penyakit. Setelah
berada di dalam alveolus, biasanya di bagian bawah lobus atas paru atau
di bagian atas lobus bawah paru, basil tuberkel akan menimbulkan
reaksi peradangan. Leukosit polimorfonukleat tampak pada tempat
tersebut dan memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme

tersebut. Berikutnya leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang
terserang akan mengalami konsolidasi. Basil juga menyebar melalui
getah bening menuju ke kelenjar getah bening regional. Makrofag yang
mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu
sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh
limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari.

Universitas Sumatera Utara

9

Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif
padat dan seperti keju disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang
mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi sekitarnya yang
terdiri dari sel epiteloid dan fibroblast menimbulkan respon berbeda.
Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa, membentuk jaringan parut
kolagenosa yang akhirnya akan membentuk kapsul yang mengelilingi
tuberkel. (Price dan Stanridge, 2005).
Amin dan Bahar (2009) menjelaskan bahwa lesi primer paru yang
disebut fokus Ghon dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila

menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman juga
dapat masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring
dan kulit, terjadi limfadenopati regional, dan kemudian bakteri masuk
ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal,
dan tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran
keseluruh bagian paru dan menjadi TB milier. Dari lesi primer akan
timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus dan juga diikuti
pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional).
Gabungan terserangnya kelenjar getah bening (limfadenitis regional)
dan lesi primer disebut kompleks primer atau kompleks Ghon. Semua
proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer selanjutnya
akan menjadi:

• Sembuh tanpa meninggalkan cacat

• Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis
fibrotik, kalsifikasi di hilus. Keaadaan ini terdapat pada lesi yang
luasnya >5mm dan ± 10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi
karena kuman dormant.


• Berkomplikasi dan menyebar secara perkontinuitatum (menyebar ke
sekitarnya) atau secara bronkogen pada paru yang bersangkutan
maupun paru disebelahnya, menyebar ke organ tubuh lainnya secara
limfogen maupun hematogen. Kuman dapat juga tertelan bersama
sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus

Universitas Sumatera Utara

10

2.1.4. Klasifikasi
Menurut Amin dan Bahar (2009), belum ada kesepakatan diantara
para klinikus, ahli radiologi, ahli patologi, mikrobiologi dan ahli
kesehatan masyarakat tentang keseragaman klasifikasi tuberkuosis.
Berdasarkan patologinya, TB diklasifikasikan atas:
1. Tuberkulosis primer (childhood tuberculosis)
2. Tuberkulosis post-primer (adult tuberculosis)
Berdasarkan aktivitas radiologis dibagi atas TB paru (Koch Pulmonum)
aktif, non aktif dan quiescent (bentuk aktif yang mulai menyembuh).
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (2006) membuat

klasifikasi TB paru berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA) dan
tipe penderita.
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)
a. Tuberkulosis paru BTA (+) :

• Minimal 2 dari 3 pemeriksaan dahak menunjukkan BTA
positif

• Atau, salah satu pemeriksaan dahak menunjukkan BTA
positif dengan kelainan radiologi tuberkulosis aktif

• Atau, salah satu pemeriksaan dahak menunjukkan BTA
positif dengan biakan positif
b. Tuberkulosis paru BTA (-) :

• Pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif
meskipun gambaran klinis dan radiologi menunjukkan
tuberkulosis aktif

• Atau, hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA

negatif dan biakan M. tuberculosis
2. Berdasarkan tipe pasien
Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya ada beberapa tipe
pasien yaitu:
a. Kasus baru, adalah pasien yang belum pernah menelan OAT
atau sudah pernah tapi kurang dari satu bulan.
Universitas Sumatera Utara

11

b. Kasus kambuh (relaps), adalah pasien tuberkulosis yang pernah
menjalani pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, kemudian berobat kembali dengan
pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi radiologi dicurigai
lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka
kemungkinan harus dipikirkan:

• Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur,
keganasan dll)


• TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang
berkompeten menangani kasus tuberkulosis
c. Kasus defaulted atau drop out, adalah pasien yang telah
menjalani pengobatan TB > 1 bulan tetapi tidak mengambil
obat 2 bulan atau lebih berturut-turut sebelum masa
pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal, adalah pasien BTA positif yang pada akhir bulan
ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir
pengobatan, masih tetap positif atau kembali positif.
e. Kasus kronik, adalah pasien dengan BTA masih positif setelah
pengobatan ulang dengan kategori 2 dan pengawasan yang baik.
f. Kasus Bekas TB

• Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada)
dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang
tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang
menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih
mendukung.

• Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah
mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks
ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi.

Universitas Sumatera Utara

12

2.1.5. Gejala Klinis
1. Gejala utama:

• Batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih

2. Gejala tambahan:

• Dahak bercampur darah

• Batuk darah

• Sesak nafas

• Badan lemas

• Nafsu makan menurun
• Berat badan menurun
• Malaise

• Berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik
• Demam meriang lebih dari satu bulan

Gejala-gejala tersebut dapat pula dijumpai pada penyakit paru
selain TB, namun karena prevalensi TB di Indonesia saat ini masih
tinggi maka setiap orang yang datang ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan
dengan gejala tersebut dianggap sebagai seorang suspect (terduga)
pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung (Kemenkes RI, 2014).
2.1.6. Penemuan Kasus TB
1. Penemuan Pasien Tuberkulosis (TB) Dewasa
Kegiatan ini membutuhkan adanya pemahaman dan kesadaran
pasien akan keluhan dan gejala TB, akses terhadap fasilitas
kesehatan dan adanya tenaga kesehatan yang kompeten untuk
melakukan pemeriksaan terhadap gejala dan keluhan tersebut
(Kemenkes RI, 2014). Selain itu, partisipasi masyarakat dan modal
sosial yang meliputi dimensi kognitif, relasional dan struktural juga
berperan dalam penemuan penderita tuberkulosis (TB) BTA positif
(Reviono, et al., 2013)
Menurut Kemenkes RI (2014), penemuan pasien TB harus
dilakukan secara intensif pada kelompok populasi terdampak TB dan
Universitas Sumatera Utara

13

populasi rentan. Upaya penemuan secara intensif harus pula
didukung dengan kegiatan promosi yang aktif, sehingga semua
terduga TB dapat ditemukan secara dini. Penjaringan terduga pasien
TB hendaknya dilakukan di fasilitas kesehatan, didukung dengan
promosi secara aktif oleh petugas kesehatan bersama masyarakat.
Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat penemuan dan mengurangi
keterlambatan pengobatan. Tahap awal penemuan dilakukan dengan
menjaring mereka yang memiliki gejala. Penemuan secara aktif
dapat dilakukan terhadap:

 Kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB
seperti pada pasien dengan HIV, diabetes melitus dan malnutrisi

 Kelompok yang rentan karena berada di lingkungan yang
beresiko tinggi terjadinya penularan TB

 Anak dibawah umur lima tahun yang kontak dengan pasien TB

 Kontak erat dengan pasien TB dan pasien TB resisten obat
2. Penemuan Pasien Tuberkulosis (TB) Anak

Menurut Kemenkes RI (2013), pasien TB anak dapat
ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada :

• Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular, yaitu anak
yang tinggal serumah atau sering bertemu dengan pasien TB
terutama pasien dengan BTA positif

• Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai
dengan TB anak.
2.1.7. Diagnosa
1. Diagnosa TB pada Orang Dewasa
Dalam upaya pengendalian TB secara nasional, maka diagnosa
TB paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan
pemeriksaan

bakteriologis.

Pemeriksaan

bakteriologis

yang

dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan dan tes
cepat (Kemenkes RI, 2014).

Universitas Sumatera Utara

14

• Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh uji
dahak dalam dua hari kunjungan berurutan, berupa dahak
Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):

 S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB
berkunjung pertama kali ke fasyankes, kemudian pada saat
pulang membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak
pagi pada hari kedua.

 P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua,
segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri
kepada petugas di fasyankes.

 S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua,
saat menyerahkan dahak pagi.
Ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal satu dari
pemeriksaan contoh uji dahak SPS hasilnya BTA positif

• Pemeriksaan biakan
Pemeriksaan

biakan

untuk

identifikasi

Mycobacterium

tuberkulosis dimaksudkan untuk menegakkan diagnosa pasti TB
pada pasien tertentu, misal:
 Pasien TB ekstra paru.
 Pasien TB anak.

 Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis
langsung BTA negatif.
Pemeriksaan tersebut dilakukan di sarana laboratorium yang
terpantau mutunya.
Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes
cepat yang direkomendasikan WHO maka untuk memastikan
diagnosa dianjurkan untuk memanfaatkan tes cepat tersebut
(Kemenkes RI, 2014).
Apabila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif,
maka penegakan diagnosa TB dapat dilakukan secara klinis

Universitas Sumatera Utara

15

menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang (minimal foto
toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter yang terlatih TB.
Pada sarana terbatas, penegakan diagnosa secara klinis dilakukan
setelah pemberian terapi antibiotika spektrum luas (non OAT dan
non

kuinolon)

yang

tidak

memberikan

perbaikan

klinis.

Mendiagnosa TB dengan pemeriksaan serologis dan hanya dengan
pemeriksaan uji tuberkulin tidak dibenarkan. Tidak dibenarkan pula
mendiagnosa TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja.
Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada
TB paru, sehingga dapat menyebabkan overdiagnosa atau
underdiagnosa (Kemenkes RI, 2014).

Gambar 2.2.Alur Diagnosa dan Tindak Lanjut TB Paru pada Pasien Dewasa
(tanpa kecurigaan/bukti hasil tes HIV(+) atau terduga TB resisten obat)
(Kemenkes RI, 2014)
Universitas Sumatera Utara

16

2. Diagnosa TB pada Anak
Dalam

menegakkan

diagnosa

TB

pada

anak,

dapat

menggunakan sistem skoring. Sistem skoring ini diharapkan dapat
mengurangi terjadinya underdiagnosa maupun overdiagnosa TB
(Kemenkes RI, 2013)
Tabel 2.1. Sistem Skoring (Scoring System) Gejala dan Pemeriksaan
Penunjang TB di Fasilitas Kesehatan (Kemenkes RI, 2014)

Kontak dengan pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada
bukti tertulis hasil laboratorium BTA dari sumber penularan. Berat
badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien dating dengan
penentuan status gizi untuk anak usia 5 tahun menurut kurva
CDC 2000.

Universitas Sumatera Utara

17

Apabila jumlah skor ≥ 6 maka pasien harus ditatalaksana
sebagai pasien TB dan mendapat OAT. Selanjutnya harus dilakukan
pemantauan hasil pengobatan. Apabila respon klinis terhadap
pengobatan baik, maka OAT dapat dilanjutkan sedangkan apabila
didapatkan respons klinis tidak baik maka pasien harus segera
dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan untuk dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut (Kemenkes RI, 2013).

Gambar 2.3. Alur Diagnosa dan Tatalaksana TB Anak di
Puskesmas (Kemenkes RI, 2013)
2.1.8. Pengobatan
Menurut Kemenkes RI (2014), tujuan pengobatan TB adalah
untuk menyembuhkan, memperbaiki produktivitas dan kualitas hidup
pasien, mencegah terjadinya kematian karena TB atau dampak buruk
lainnya, mencegah terjadinya kekambuhan, menurunkan penularan TB,
serta mencegah terjadinya TB resisten obat dan penularannya.
Pengobatan diberikan dalam bentuk panduan OAT (Obat Anti
Tuberkulosis) yang mengandung minimal empat macam obat. Pasien
diawasi oleh PMO (Pengawas Menelan Obat) selama menjalani
pengobatan.
Tahapan dalam pengobatan TB meliputi:

• Tahap awal, yang bertujuan untuk menurunkan jumlah kuman yang
ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian
kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien

Universitas Sumatera Utara

18

mendapatkan pengobatan. Pengobatan pada tahap ini diberikan
setiap hari selama dua bulan.

• Tahap lanjutan, yang bertujuan untuk membunuh sisa-sisa kuman
yang masih ada dalam tubuh sehingga pasien dapat sembuh dan
mencegah terjadinya kekambuhan.
Tabel 2.2. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Lini Pertama
(Kemenkes RI, 2014)

Tabel 2.3. Kisaran Dosis OAT Lini Pertama Bagi Pasien Dewasa
(Kemenkes RI, 2014)

Universitas Sumatera Utara

19

Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional
Pengendalian TB di Indonesia adalah:
• Kategori 1

: 2(HRE)/4(HR)3

Diberikan kepada pasien baru, termasuk pasien TB paru yang
terkonfirmasi dengan pemeriksaan bakteriologis, pasien TB paru
terdiagnosis klinis, dan pasien TB ekstra paru.

• Kategori 2

: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

Diberikan kepada pasien TB BTA positif dengan pengobatan
ulang/yang telah diobati sebelumnya termasuk pasien kambuh,
pasien gagal pada pengobatan dengan panduan OAT kategori 1, dan
pasien pengobatan setelah putus berobat.

• Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10HR
Diberikan kepada pasien TB anak

• Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat (TB
MDR) di Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin,
Kapreomisin,

Levofloksasin,

Etionamide,

Sikloserin,

Moksifloksasin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid dan
etambutol
Tabel. 2.4. OAT Anak yang Biasa Digunakan dan Dosisnya
(Kemenkes RI, 2014)

Universitas Sumatera Utara

20

Tabel. 2.5. OAT yang Digunakan dalam Pengobatan TB MDR
(Kemenkes RI, 2014)

Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan TB pada orang
dewasa dilakukan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis
pada akhir pengobatan tahap awal.
Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal negatif pada
pasien baru maupun pengobatan ulang, segera diberikan dosis
pengobatan tahap lanjutan, selanjutnya lakukan pemeriksaan ulang
dahak pada bulan kelima dan akhir pengobatan.
Pada pasien baru dengan hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal
positif, maka harus dilakukan penilaian apakah pengobatan teratur.
Pasien dapat segera diberikan dosis tahap lanjutan tanpa memberikan
OAT sisipan. Pemeriksaan ulang dahak dilakukan setelah pemberian
Universitas Sumatera Utara

21

OAT tahap lanjutan selama satu bulan dan apabila tetap positif maka
dilakukan

pemeriksaan

uji

kepekaan

obat.

Apabila

tidak

memungkinkan pemeriksaan uji kepekaan obat, pengobatan dilanjutkan
dan dahak diperiksa kembali pada akhir bulan kelima.
Pasien pengobatan ulang dengan hasil pemeriksaan pada akhir
tahap awal positif dinyatakan sebagai terduga pasien MDR TB, namun
penilaian apakah pengobatan teratur tetap harus dilakukan. Pada pasien
ini dilakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat
Rujukan TB MDR. Apabila hal tersebut tidak dapat dilakukan, OAT
tahap lanjutan dapat diberikan tanpa OAT sisipan dan dahak diperiksa
kembali pada akhir bulan kelima.
Pada bulan kelima atau lebih, apabila hasil pemeriksaan ulang
dahak hasilnya negatif, maka pengobatan tetap dilanjutkan sampai
seluruh dosis pengobatan selesai diberikan. Apabila hasil pemeriksan
ulang dahak hasilnya positif, maka pengobatan dinyatakan gagal dan
pasien dinyatakan sebagai terduga TB MDR dan selanjutnya dilakukan
uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR
(Kemenkes RI, 2014)
Pemantauan pengobatan pasien TB anak berbeda dengan pasien
TB dewasa. Pada fase intensif, pasien TB anak kontrol tiap minggu,
untuk melihat kepatuhan, toleransi dan kemungkinan adanya efek
samping obat. Pada fase lanjutan pasien kontrol tiap bulan. Setelah
diberi OAT selama 2 bulan, respon pengobatan pasien harus dievaluasi,
dimana respon pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis
berkurang, nafsu makan meningkat, berat badan meningkat, demam
menghilang, dan batuk berkurang. Apabila respon pengobatan baik
maka pemberian OAT dilanjutkan sampai dengan 6 bulan. Sedangkan
apabila respon pengobatan kurang atau tidak baik maka pengobatan TB
tetap dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke sarana yang lebih
lengkap.

Universitas Sumatera Utara

22

Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan
dengan melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang
lain seperti foto toraks. Meskipun gambaran radiologis tidak
menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila dijumpai perbaikan
klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan dan pasien
dinyatakan selesai. Namun, pada pasien TB anak yang pada awal
pengobatan hasil pemeriksaan dahaknya BTA positif, pemantauan
pengobatan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dahak ulang
(Kemenkes RI,2013)
2.1.9. Pencegahan
Menurut Francis (2011) dalam Astuti (2013), pencegahan TB
dapat dilakukan dengan penyediaan nutrisi yang baik, sanitasi yang
adekuat, perumahan yang tidak terlalu padat dan udara yang segar.
Agar tidak tertular penyakit TB, Perkumpulan Pemberantasan
Tuberkulosis Indonesia (PPTI) (2010) menjelaskan beberapa tindakan
pencegahan penularan TB yang harus dilakukan oleh masyarakat dan
pasien TB itu sendiri.
Masyarakat harus berperilaku hidup bersih dan sehat, antara lain
dengan:

• Makan makanan yang bergizi seimbang sehingga daya tahan tubuh
meningkat untuk membunuh kuman TB

• Tidur dan istirahat yang cukup

• Tidak merokok, minum alkohol dan menggunakan narkoba

• Lingkungan yang bersih baik tempat tinggal dan disekitarnya

• Membuka jendela agar masuk sinar matahari di semua ruangan
rumah karena kuman TB akan mati bila terkena sinar matahari

• Imunisasi BCG bagi balita, yang tujuannya untuk mencegah agar
kondisi balita tidak lebih parah bila terinfeksi TB

• Menyarankan apabila ada yang dicurigai sakit TB agar segera
memeriksakan diri dan berobat sesuai aturan sampai sembuh

Universitas Sumatera Utara

23

Seorang pasien TB sebaiknya sadar dan berupaya untuk tidak
menularkan penyakitnya kepada orang lain, antara lain dengan :
• Tidak meludah di sembarang tempat

• Menutup mulut saat batuk atau bersin
• Berperilaku hidup bersih dan sehat

• Berobat sesuai aturan sampai sembuh

• Memeriksakan balita yang tinggal serumah agar segera diberikan
pengobatan pencegahan
2.1.10. Komplikasi dan Prognosis
Menurut Amin dan Bahar (2009), penyakit TB paru apabila tidak
ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi
dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut.

• Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus,
Poncet’s arthropathy

• Komplikasi lanjut: obstruksi jalam nafas → SOPT (Sindrom
Obstruksi Pasca Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat → fibrosis
paru, kor pulmonal, amyloidosis, karsinoma paru, sindroma gagal
nafas dewasa (ARDS)
Selain itu, TB juga dapat menyerang organ lain seperti kelenjar
getah bening, selaput otak, tulang, dll.
Pasien yang menderita TB dapat disembuhkan apabila:

• Patuh meminum obat secara rutin dan teratur

• Rutin kontrol (memeriksakan diri) ke dokter untuk memantau
kesehatan diri

• Berhenti minum obat hanya bila dianjurkan oleh dokter.
2.1.11. Program Pengendalian TB
Pengendalian TB di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman
penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah
perang kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan
Penyakit Paru (BP4). Sejak tahun 1969 pengendalian dilakukan secara
nasional melalui Puskesmas. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang
Universitas Sumatera Utara

24

digunakan adalah paduan (regimen) standar adalah isoniazid (INH),
asam para amino salisilat (PAS) dan streptomisin selama satu sampai
dua tahun. Asam para amino salisilat kemudian diganti dengan
pirazinamid. Sejak 1977 mulai digunakan paduan OAT jangka pendek
yang terdiri atas isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol
selama 6 bulan (Menkes RI, 2014).
Pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD mengembangkan
strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly
Observed Treatment Short-course). Fokus utama DOTS adalah
penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien
TB menular. Strategi ini akan memutuskan rantai penularan TB dan
dengan demikian menurunkan insidensi TB di masyarakat. Menemukan
dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya
pencegahan penularan TB (Kemenkes RI, 2014).
Pada tahun 1995 Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis
mulai menerapkan strategi Directly Observed Treatment Short Course
(DOTS) dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun
2000 strategi DOTS dilaksanakan secara nasional di seluruh fasilitas
pelayanan

kesehatan

(fasyankes)

terutama

Puskesmas

yang

diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar (Menkes RI, 2014)
Wibowo et al. (2014) menjelaskan, dalam peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 565/Menkes/PerIII/2011 tentang
Strategi Nasional Pengendalian Tuberkulosis Tahun 2011-2014 yang
mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN),
Kementerian Kesehatan menetapkan empat misi, yaitu:
1. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan
masyarakat termasuk swasta dan masyarakat madani
2. Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya
upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan.
3. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan
4. Menciptakan tata kelola pemerintah yang baik

Universitas Sumatera Utara

25

Berdasarkan misi tersebut Kementerian Kesehatan telah merumuskan
enam strategi utama, yaitu:
1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, swasta dan masyarakat
madani dalam pembangunan kesehatan melalui kerja sama nasional
dan global
2. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, bermutu dan
berkeadilan serta berbasis bukti dengan menggunakan upaya
promotif dan preventif
3. Meningkatkan pembiayaan pembangunan kesehatan, terutama untuk
mewujudkan jaminan sosial kesehatan nasional
4. Meningkatkan pengembangan dan pendayagunaan Sumber Daya
Manusia (SDM) kesehatan yang merata dan bermutu
5. Meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat
dan alat kesehatan serta menjamin keamanan, khasiat, kemanfaatan,
dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan
6. Meningkatkan manajemen kesehatan yang akuntabel, transparan,
berdaya guna, dan berhasil guna untuk memantapkan desentralisasi
kesehatan yang bertanggung jawab
Tantangan dalam program pengendalian TB adalah pelibatan
masyarakat dalam program TB. Belum banyak pendekatan yang
komprehensif dan terkoordinasi untuk melibatkan masyarakat dalam
mendukung pelayanan TB, termasuk membantu pasien agar tetap
melakukan pengobatan, proaktif mengidentifikasi kasus TB, dan
advokasi peningkatan kualitas layanan untuk TB. Tantangan lain,
masyarakat sendiri masih ada yang meyakini bahwa TB adalah penyakit
keturunan, sehingga memalukan memiliki anggota keluarga dengan
TB. Selain itu, masih ada stigma yang memandang TB adalah penyakit
orang miskin, serta TB adalah penyakit yang berhubungan dengan sihir
(JKM,2014)
Program TB CEPAT yang akan didilakukan JKM dengan support
dari USAID fokus pada kasus TB yang ada pada kelompok masyarakat

Universitas Sumatera Utara

26

yang rentan, dengan cara memberdayakan masyarakat yang ada di
sekitarnya untuk mengurangi kekakuan pada sistem kesehatan agar
pasien mendapat pelayanan yang berkualitas. Program ini, tidak
bermaksud untuk memberikan pelatihan tentang teknik diagnostik,
yang telah dilakukan Program Nasional TB. Sebaliknya, program ini
untuk memberdayakan masyarakat agar mampu mencari akses ke
laboratorium diagnostik berkualitas, serta bersama-sama melakukan
advokasi untuk lebih banyak penyediaan dana guna meningkatkan
kemampuan laboratorium dan aksesibilitas. Rancangan program
dimulai dari elemen terkecil di masyarakat, seperti keluarga pasien,
kader posyandu, kader RW Siaga, dewan RT/RW, sehingga akhirnya
ada peningkatan komitmen masyarakat untuk terlibat secara aktif untuk
membantu program TB (JKM, 2014)
2.2. Pengetahuan
2.2.1. Pengertian
Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan adalah hasil dari
‘tahu’ dan terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap
suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia,
yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian
besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior).
Berdasarkan pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang
didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku
yang tidak didasarkan oleh pengetahuan. Menurut Rogers (1974) dalam
Notoatmodjo (2007), sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru,
dalam diri seseorang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni:
a. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
b. Interest (merasa tertarik), terhadap stimulus atau objek tersebut.
Disini sikap subjek sudah mulai timbul.
Universitas Sumatera Utara

27

c. Evaluation (menimbang-nimbang), terhadap baik dan tidaknya
stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah
lebih baik lagi.
d. Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai
dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.
e. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus
2.2.2. Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan yang dicakup dalam
domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu:
a. Tahu
Tahu sebagai tingkatan yang paling rendah diartikan sebagai
mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk
ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)
sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima. Kata kerja untuk mengukur bahwa
orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan,
menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.
b. Memahami
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan
tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar. Dengan kata lain harus dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya.
c. Aplikasi
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada suatu kondisi sebenarnya. Aplikasi disini
dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum,
rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi
yang lain.
d. Analisis
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

Universitas Sumatera Utara

28

suatu objek ke dalam komponen-komponen dalam suatu struktur
organisasi yang masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan
ini dilihat dari penggunaan kata kerja seperti dapat menggambarkan,
membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
e. Sintesis
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan
yang baru.
f. Evaluasi
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian
itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau
menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.
2.2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Budiman (2013), beberapa faktor yang mempengaruhi
pengetahuan seseorang diantaranya:
a. Pendidikan
Pendidikan merupakan usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan mempengaruhi proses
belajar, makin tinggi pendidikan seeorang, makin mudah orang
tersebut untuk menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi, maka
seseorang akan cenderung lebih banyak memperoleh informasi.
Semakin banyak informasi yang diperoleh semakin banyak pula
pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan sangat erat kaitannya
dengan pendidikan dimana diharapkan semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang, akan semakin tinggi pula pengetahuannya.
Namun, perlu ditekankan bahwa seorang dengan tingkat pendidikan
rendah tidak berarti mutlak rendah pula tingkat pengetahuannya
karena peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di
pendidikan formal, akan tetapi juga dapat diperoleh pada pendidikan
nonformal.

Universitas Sumatera Utara

29

b. Informasi / Media Massa
Informasi dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, yang
diperoleh dari data dan pengamatan terhadap dunia sekitar, serta
diteruskan melalui komunikasi. Informasi mencakup data, teks,
gambar, suara, kode, program komputer, dan basis data. Informasi
yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun nonformal dapat
memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) sehingga
menghasilkan

perubahan

atau

peningkatan

pengetahuan.

Berkembangnya teknologi akan menyediakan bermacam-macam
media

massa sebagai penyalur informasi. Sebagai sarana

komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio,
surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh besar
terhadap pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam
penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa juga
membawa pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan
pengetahuan dan opini seseorang.
c. Sosial, Budaya, dan Ekonomi.
Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui
penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian,
seseorang akan bertambah pengetahuannya walaupun tidak
melakukan. Status ekonomi seseorang akan menentukan tersedianya
suatu fasilitas tertentu akan memengaruhi pengetahuan seseorang.
d. Lingkungan
Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan
terhadap individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini
terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak, yang akan
direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu.
e. Pengalaman
Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk
memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang

Universitas Sumatera Utara

30

kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah
yang dihadapi masa lalu.
f. Usia
Usia mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin
bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan
pola pikirnya sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin
membaik.
2.2.4. Pengetahuan Masyarakat tentang TB
Sebagian masyarakat telah mengetahui bahwa penyakit TB paru
merupakan penyakit menular dan berbahaya. Sedangkan sebagian
masyarakat lainnya beranggapan penyakit TB paru tidak berbahaya dan
merupakan penyakit biasa. Menurut persepsi sebagian masyarakat
penyebab TB adalah karena kuman yang ditularkan oleh penderita TB
paru, kiriman/guna-guna, dan karena faktor keturunan dari orang tua.
Ada juga yang menganggap penyebab penyakit TB paru adalah
kebiasaan keluar malam atau kena angin malam, merokok, minum kopi,
dan alkohol, lingkungan rumah yang kurang bersih, bekerja di
lingkungan yang banyak mengeluarkan debu, bekerja terlalu berat dan
makan tidak teratur (Media, 2011).
Sementara menurut Buregyeya, et al. (2010) pada penelitiannya,
sebagian besar responden sadar bahwa TB adalah penyakit yang serius.
Sebagian besar dari mereka mengatakan bahwa TB disebabkan oleh
merokok. Pekerjaan yang berat seperti mengangkat benda-benda yang
berat dikatakan meningkatkan kerentaan menderita TB. Salah seorang
penyembuh tradisional mengatakan bahwa TB disebabkan oleh sihir
sehingga hanya dapat disembuhkan dengan pengobatan tradisional.
Gejala penyakit TB Paru menurut sebagian masyarakat adalah
batuk yang tidak sembuh-sembuh lebih dari tiga minggu, kadangkadang sesak nafas, badan panas dingin pada malam hari, nafsu makan
berkurang, dan berat badan makin lama makin menurun. Masyarakat
lainnya menyatakan bahwa gejala penyakit TB paru adalah batuk yang

Universitas Sumatera Utara

31

mengeluarkan darah dan sesak nafas (Media, 2011). Pada penelitian
lain, Buregyeya, et al. (2010), menyampaikan bahwa mayoritas
responden menghubungkan TB dengan batuk lama dan kadang nyeri
dada, penurunan berat badan, demam, sulit bernafas, dan batuk
berdarah.
Di beberapa negara istilah TB tidak digunakan, dan digunakan
nama-nama seperti ‘chebuonit’ atau ‘kifua kikuu’ di Kenya, penyakit
‘paru lemah’ di Filiphina, dan ‘lay category bird’ di Ethiopia. Di
Rwanda, Uganda, dan Ethiopia, TB dipercaya disebabkan oleh
kekuatan supranatural dan disebut sebagai ‘evil eye’ (Chang dan
Cataldo, 2013)
Mayoritas masyarakat pedesaan telah memiliki pengetahuan
dasar tentang TB, namun ada perbedaan tentang penyebab, cara
penularan, dan cara pencegahan TB (Melaku et al., 2014). Sementara
pengetahuan tentang penyebab dan pengobatan pada pasien TB di
daerah perkotaan sudah cukup baik meskipun kesalahpahaman juga
ada. Kesalahpahaman tentang penyebab dan transmisi penyakit umum
terjadi. Di beberapa tempat, TB dipercaya disebabkan oleh faktor
keturunan. Beberapa penelitian menunjukkan penyebab TB dikaitkan
dengan merokok dan minum alcohol, berbagi peralatan makan dan
minum serta tidur dengan pasien TB. (Tasnim, et al., 2012).
2.3. Sikap
2.3.1. Pengertian
Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih
tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak
dapat langsung dilihat tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu
dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi
adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Dalam kehidupan
sehari-hari sikap merupakan reaksi yang berifat emosional terhadap
stimulus sosial. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas,

Universitas Sumatera Utara

32

akan

tetapi

merupakan

predisposisi

tindakan

atau

perilaku

(Notoatmodjo, 2007). Menurut Azwar (2005) dalam Wahyudi (2010),
sikap merupakan evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya
sendiri, orang lain, objek atau isu yang merupakan keteraturan tertentu
dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi) dan predisposisi
tindakan (konasi) .
2.3.2. Tingkat Sikap
Menurut Notoatmodjo (2007), sikap terdiri dari berbagai
tingkatan yakni:
a. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek).
b. Merespon (responding)
Memberikan

jawaban

apabila

ditanya,

mengerjakan

dan

menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi sikap
karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau
mengerjakan tugas yang diberikan. Lepas dari pekerjaan itu benar
atau salah, berarti orang itu menerima ide tersebut.
c. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan suatu hal atau
mendiskusikan dengan orang lain suatu masalah adalah suatu
indikasi sikap tingkat tiga.
d. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilih dengan
segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
2.3.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap
Menurut Azwar (2013) dalam Astuti (2013), faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi sikap adalah:
a. Pengalaman Pribadi
Apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan
mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial. Untuk

Universitas Sumatera Utara

33

dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi
haruslah meninggalkan kesan yang kuat.
b. Pengaruh Orang Lain Yang Dianggap Penting
Orang lain di sekitar kita merupakan salah satu di antara komponen
sosial yang ikut mempengaruhi sikap kita. Seseorang yang kita
anggap penting akan banyak mempengaruhi pembentukan sikap kita
terhadap sesuatu. Orang-orang yang biasanya dianggap penting bagi
individu adalah orang tua, orang yang status sosialnya lebih tinggi,
teman sebaya, teman dekat, guru, teman kerja, istri atau suami, dan
lain-lain.
c. Pengaruh Kebudayaan
Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan, berpengaruh besar
terhadap pembentukan sikap kita. Kebudayaan menanamkan garis
pengarah sikap kita terhadap berbagai masalah. Hanya kepribadian
individu yang telah mapan dan kuatlah yang dapat memudarkan
dominansi kebudayaan dalam pembentukan sikap individual.
d. Media Massa
Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti
televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai
pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan
seseorang. Pesan-pesan sugestif yang dibawa, apabila cukup kuat
akan memberi dasar dalam menilai suatu hal sehingga terbentuklah
sikap tertentu.
e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama
Konsep moral dan ajaran lembaga pendidikan dan agama sangat
menentukan sistem kepercayaan, yang pada akhirnya konsep
tersebut akan mempengaruhi sikap
f. Faktor Emosional
Suatu bentuk sikap juga dapat merupakan pernyataan yang didasari
oleh emosi yang berfungsi sebagai penyaluran atau pengalihan
bentuk mekanisme ego.

Universitas Sumatera Utara

34

2.3.4. Sikap Masyarakat terhadap TB
Masyarakat yang menderita TB cenderung terlambat mencari
pengobatan. Ketika mereka terbaring di tempat tidur, batuk darah, atau
terlalu lemah untuk melakukan tugas sehari-hari barulah mereka
terdorong untuk mencari pengobatan. Beberapa alasannya adalah
penggunaan obat-obat sendiri, kurangnya biaya, dan ketakutan dicap
sakit (Buregyeya et al., 2010)
Sebagian masyarakat yang mengalami gejala TB paru kurang
peduli dan membiarkan batuk yang dideritanya lebih dari tiga minggu.
Mereka tidak menganggap hal tersebut sebagai penyakit yang serius,
sehingga tidak segera mencari pengobatan. Sebagian masyarakat ini
biasanya hanya meminum obat yang dibeli di warung, jika tidak
sembuh dan cukup parah barulah mereka akan mencari pengobatan ke
pelayanan kesehatan atau pengobatan tradisional (Media, 2011). Alasan
mencari pengobatan tradisional diantaranya adalah kepercayaan bahwa
penyebab TB oleh karena sihir/gaib, perbaikan yang segera dengan
pengobatan tradisional, lebih ramah dan bersahabat, tradisi keluarga,
kurangnya uang untuk transportasi, dan kurangnya obat di fasilitas
kesehatan (Buregyeya et al., 2010).
Upaya pencegahan TB yang dilakukan oleh masyarakat
diantaranya adalah dengan membiasakan pola hidup bersih dan sehat,
jika batuk harus menutup mulut dan tidak meludah di sembarang
tempat, serta mengisolasi secara langsung peralatan makan dan minum
penderita dan mengurangi komunikasi dengan penderita (Media, 2011).
Menurut Media (2011), di Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten
Tanah Datar, Propinsi Sumatera Barat, sikap keluarga atau masyarakat
sekitar tentang TB biasa saja, dimana dalam pergaulan sehari-hari tetap
menunjukkan hal yang wajar, walaupun ada sebagian keluarga
penderita yang melakukan pemisahan pemakaian alat-alat untuk makan
dan minum dan ada sebagian masyarakat yang berupaya menghindari
penderita untuk berkomunikasi.

Universitas Sumatera Utara

35

TB merupakan penyakit yang dapat mempengaruhi hubungan
sosial dan keluarga serta menimbulkan konsekuensi kerugian tidak
hanya dalam masalah kesehatan namun juga sosial ekonomi. Penderita
TB dan keluarga mereka akan memperoleh prasangka dan sikap negatif
dari masyarakat (Chang dan Kataldo, 2013). Diagnosa TB dihubungkan
dengan

peningkatan

kecemasan,

ketakutan

akan

kehilangan

penghasilan, dan stigma yang mengancam harga diri dan kualitas hidup
(Tasnim, et al., 2012).
Sikap masyarakat terhadap penderita TB di beberapa negara
cenderung buruk. TB dianggap memalukan di Congo, Zambia, United
States dan Malaysia. TB dipercaya mengenai masyarakat miskin.
Pasien dengan TB merasa kurang dihargai oleh orang lain di Ethiopia
dan Vietnam, serta Bangladesh. Diskriminasi dilaporkan di Afrika
Selatan, Indonesia, dan Nepal. Di Brazil, TB dianggap menyulitkan dan
mengisolasi penderitanya serta mengubah persepsi seseorang terhadap
mereka. Ketakutan terinfeksi dilaporkan di Ghana, Afrika Selatan,
Zambia, Colombia, Carolina Utara, dan United States. Stigma TB lebih
besar dialami oleh pasien di Thailand jika mereka memiliki gejala yang
lebih banyak, oleh pasien di Ghana jika mereka mengalami kelemahan
fisik, dan pasien di Nigeria jika mereka mengalami penurunan berat
badan atau dengan riwayat merokok atau minum alkohol (Chang dan
Kataldo, 2013).
Menurut Kipp et al. (2011) dalam Hidayati (2014), timbulnya
stigma

pada

TB diantaranya

disebabkan oleh

penularannya,

pengetahuan yang kurang tepat akan penyebabnya, perawatannya, serta
hubungannya

dengan

kelompok-kelompok

marjinal

seperti

kemiskinan, ras minoritas, pekerja seks, tahanan penjara, dan orang
yang terinfeksi HIV/AIDS. Beberapa pasien TB melaporkan adanya
diskriminasi dari orang lain disebabkan karena orang-orang merasa
takut tertular penyakitnya.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Perilaku Penderita Tuberkulosis Paru (TB-Paru) Dalam Program Pengobatan dengan Strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) di Puskesmas Pasar Merah Tahun 2000

2 35 85

Gambaran Pengetahuan Penderita Tuberkulosis Paru tentang Penyakit dan Pengobatan Tuberkulosis di RSUP. Adam Malik Medan 2010

0 39 49

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP PASIEN TUBERKULOSIS (TB) DENGAN KEPTUHAN PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS (TB) DI KECAMATAN UMBULHARJO YOGYAKARTA

0 2 108

Pengaruh Intervensi Program Tuberkulosis (TB) Paru Terhadap Pengetahuan dan Sikap Masyarakat di Kecamatan Medan Maimun

0 13 124

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TENTANG PENCEGAHAN TUBERKULOSIS PARU DI DUSUN KAYANGAN KECAMATAN KARANGANYAR KABUPATEN KARANGA

0 2 15

Pengaruh Intervensi Program Tuberkulosis (TB) Paru Terhadap Pengetahuan dan Sikap Masyarakat di Kecamatan Medan Maimun

0 0 13

Pengaruh Intervensi Program Tuberkulosis (TB) Paru Terhadap Pengetahuan dan Sikap Masyarakat di Kecamatan Medan Maimun

0 0 2

Pengaruh Intervensi Program Tuberkulosis (TB) Paru Terhadap Pengetahuan dan Sikap Masyarakat di Kecamatan Medan Maimun

0 0 5

Pengaruh Intervensi Program Tuberkulosis (TB) Paru Terhadap Pengetahuan dan Sikap Masyarakat di Kecamatan Medan Maimun

0 0 4

Pengaruh Intervensi Program Tuberkulosis (TB) Paru Terhadap Pengetahuan dan Sikap Masyarakat di Kecamatan Medan Maimun

0 0 42