MAkalah popo

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena denganlimpahan rahmat
dan hidayah-

Nya, akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ MANUSIA

KERAGAMAN, DAN KESEDERAJATAN “. Makalah yang kami susun inimerupakan salah satu tugas
matakuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar.Kami menyadari, makalah yang kami susun ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itukritik dan saran sangat kami harapkan dari berbagai pihak. Sebagai manusia
biasa, kamiberusaha dengan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin, dan sebagai manusia biasa juga
kamitidak luput dari segala kesalahan dan kekhilafan dalam menyusun makalah ini.Pada kesempatan ini
dengan penuh rasa hormat kami haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak
Fahrurrazi,Shi.M.si selaku dosen pembimbing yang telah membimbingdan sudi membagi ilmunya kepada
kami sehingga dapat terselesaikannya makalah ini. Tak lupa juga kami ucapakan terima kasih kepada
rekan-rekan seperjuangan dan semua pihak yang telahmembantu sehingga makalah ini dapat kami
selesaikan tepat pada waktunya.Untuk menyempurnakan makalah ini, kami dengan senang hati akan
menerima kritik dansaran yang sifatnya membangun dari berbagai pihak. Sehingga di kemudian hari kami
dapatmenyempurnakan makalah ini dan kami dapat belajar dari kesalahan-kesalahan yang telah
kamilakukan.Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat khusunya bagi kami
danumumnya bagi semua pihak yang berkepentingan. Amin.


Daftar Isi

KATA PENGANTAR........................................................................................................................................3
Daftar Isi......................................................................................................................................................4
BAB I............................................................................................................................................................5
PENDAHULUAN............................................................................................................................................5
A.Latar Belakang......................................................................................................................................5
B. Rumusan masalah...............................................................................................................................5
C. Tujuan..................................................................................................................................................6
D. Manfaat...............................................................................................................................................6
BAB II...........................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.............................................................................................................................................6
1. Inti sari dari keragaman dan kesedarajatan manusia...........................................................................6
2.

Manusia Beradab dalam Keragaman...............................................................................................7

3.


Makna Keragaman dan Keserajatan dalam Masyarakat..................................................................9

BAB III........................................................................................................................................................19
Penutup.....................................................................................................................................................19
1.KESIMPULAN......................................................................................................................................20
2.SARAN.................................................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................................20

BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Keragaman budaya atau “cultural diversity”dan kesedarajatan manusia adalah keniscayaan yang ada
di bumi Indonesia. Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yangtidak dapat dipungkiri
keberadaannya. Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, selainkebudayaan kelompok
sukubangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaandaerah bersifat kewilayahan yang
merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok sukubangsa yang ada didaerah tersebut.
Dengan jumlah penduduk 200 juta orang dimana merekatinggal tersebar dipulau- pulau di Indonesia.
Mereka juga mendiami dalam wilayah dengankondisi geografis yang bervariasi. Mulai dari pegunungan,
tepian hutan, pesisir, dataran rendah,pedesaan, hingga perkotaan. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat

peradaban kelompok-kelompok sukubangsa dan masyarakat di Indonesia yang berbeda. Pertemuanpertemuan dengankebudayaan luar juga mempengaruhi proses asimilasi kebudayaan yang ada di
Indonesiasehingga menambah ragamnya jenis kebudayaan yang ada di Indonesia.

B. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian di atas kami menentukan permasalahan sebagai berikut :
1) Jelaskan inti sari dari keragaman dan kesedarajatan manusia !
2) Deskripsikan tentang kasus sambas, kemudian di bandingkan dengan kasus konflik sosial yg ada
di lampung akhir-akhir ini!

3) Ambil apsinosis dari film "tanda tanya" dan tentukan jalan cerita tersebut kemudian ambil
kesimpulan ceritanya dan beri tanggapan secara kejadian social!

C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui tentang :
1) Mengetahui inti sari dari keragaman dan kesedarajatan manusia
2) Mengetahui tentang kasus sambas, kemudian di bandingkan dengan kasus konflik sosial yg
ada di lampung akhir-akhir ini.
3)Mengetahui jalan cerita film tersebut kemudian kesimpulan ceritanya dan tanggapan kejadian
social tesebut.


D. Manfaat
Adapun manfaat dari makalah ini bagi mahasiswa dan seluruh orang yang membacanyayaitu menambah
pengetahuan dan wawasan mengenai materi keragaman dan kesederajatanmanusia.

BAB II
PEMBAHASAN
1. Inti sari dari keragaman dan kesedarajatan manusia.
a.

Diskriminasi di antara Demokrasi dan Hak Asasi

Manusia memiliki seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai mahluk
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia, hal ini disebut Hak Asasi Manusia.
Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung
didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, bahasa, dan keyakina
politik.
Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat
Negara baik disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi,

dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang
ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil
dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

b.

Integrasi dan Disentragrasi

Setiap orang bebas memilih kewarganegaraannya, setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh
perlindungan politik dari negara lain tanpa diskriminasi berhak menikmati hak-hak yang bersumber dan
melekat pada kewarganegaraannya serta wajib melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

c.

Bhinneka Tunggal Ika sebagai Salah Satu Upaya Mengatasi Keragaman Sosiokultural

Setiap bangsa di dunia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara senantiasa memiliki suatu
pandangan hidup, filsafat hidup, dan pegangan hidup agar tidak terombang-ambing dalam kancah
pergaulan masyarakat internasional.


2.

Manusia Beradab dalam Keragaman

a.

Keragaman Budaya dan Peradaban

Menurut pendapat Prof. Sutan Takdir Alisyahbana, apabila perwujudan budaya itu penekanannya pada
akal atau mind, akan timbul peradaban yang berbeda, akal biasanya selalu dihubungkan dengan
peradaban bukan kebudayaan. Dengan penekanan pada akal, timbul pernyataan bahwa ada peradaban
tinggi dan ada peradaban rendah karena diukur dengan tingkat berpikir manusia. Manusia yang berpikir
dikatakan berperadabn tinggi, bukan kebudayaan tinggi. Tingkat berpikir tinggi lebih dahulu muncul di
kalangan orang Barat yang mempunyai peradaban tinggi bukan kebudayaan tinggi.
Apabila perwujudan budaya itu penekanannya pada ketiga unsur akal, perasaan, dan kehendak, akan
timbul kebudayaan yang berbeda, akan timbul pernyataan bahwa ada peradaban tinggi dan ada peradaban
rendah karena diukur dengan faedahnya bagi manusia. Kebudayaan tinggi karena ada faeedahnya bagi
manusia, sedangkan kebudayaan rendah itu kurang ada manfaatnya bagi manusia.


b.

Faktor Penyebab Munculnya Keragaman Peradaban

·

Faktor Lingkungan

·

Faktor Filsafat dan Peradaban

·

Faktor Perekonomian

c.

Sikap Manusia Beradab dalam Keragaman


Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung, artinya dimanapun kita berada disitu adat-istiadat kita ikuti.
Jadi, sebagai manusia beradab, sikap kita terhadap kebudayaan yang beragam adalah mengikuti
perkembangan kebudayaan didaerahnya dan apabila kebudayaan itu tidak sesuai dengan kita, tidak bileh
menganggap remeh kebudayaan tersebut, walaupun kita tidak harus mengikutinya, tetapi kita wajib
menghormatinya.

d.

Problematika Keragaman Kultural dalam Perkembangan Peradaban dan Hidup Beradab

Keragaman Kultural (budaya) seringkali meyebabkan munculnya permasalahan dan kesalahpahaman
antarsuku tersebut. Contohnya konflik berbau SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) dan konflik
bersenjata di beberapa daerah, teror bom, dan berbagai kejahatan lainnya yang mengancam masa depan
peradaban.

e.

Pengaruh Keragaman dan Globalisasi trhadap Pengembangan Kepribadian Masyarakat

Dapat menimbulkan pengaruh dalam kehidupan dari segi hal positif maupun negatif. Pengaruh yang

positif, yaitu adanya IPTEKS yang sangat berguna dan berpengaruh dalam globalisasi dunia sehingga

ilmu pengetahuan dan tekhnologi pada zaman yang sekarang ini sangat bermanfaat, sedangkan pengaruh
yang negatif adalah kebudayaan luar yang masuk secara langsung atau tidak dapat menggeser kebudayaan
asli atau bahkan dapat menghilangkan budaya asli itu sendiri.

3.

Makna Keragaman dan Keserajatan dalam Masyarakat

Masyarakat merupakan suatu kesatuan yang didasrkan oleh ikatan-ikatan yang sudah teratur dan boleh
dikatakan stabil. Individu dan masyarakat adalah suatu bagian komplementer atau saling melengkapi.
Masyarakat Indonesia digolongkan sebagi masyarakat majemuk, yaitu suaru masyrakat negara yang
terdiri atas beberapa suku bangsa atau golongan sosial yang dipersatukan oleh kekuatan nasional.
Kesamaan derajat warga negara di dalam hukum dan di muka pemerintah pada pasal 27 ayat 1
menetapkan bahwa “ segala warga negara bersama-sama kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

4.


Unsur Keragaman dan Kesederajatan di Masyarakat Indonesia yang Meliputi :

Ø Suku, Bangsa dan Ras
Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan lain serta kebiasaan yang di dapat
oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu, tiap suku bangsa mempunyai kebudayaan
sendiri-sendiri, maka di Indonesia juga terdapat sejumlah sistem budaya yang dipergunakan oleh
massing-masing suku bangsa.
Ø Agama dan Keyakinan

Sebelum kedatangan agama Hindu yang berasal dari India, orang-orang Indonesia sudah mempunyai
keyakinan atau kebudayaan sendiri yang biasa disebut dengan istilah animisme dan dinamisme. Agama
hindu datang di Indonesia dengan jalan damai. Kontak agama tersebut melalui jalan perdagangan. Setelah
agama Hindu mengalami kemunduran, datang agama lain, yatiu agama islam dan kristen. Kedua agama
tersebut juga diterima dengan cara-cara yang damai.
Ø Ideologi dan Politik
Belum terarahnya pendidikan politk di kalangan pemuda dan belum dihayatinya mekanisme demokrasi
pancasila maupun lembaga-lembaga kontitusi, tertib hukum, dan disiplin nasional merupakan hambatan
bagi penyaluran aspirasi generasi muda secara institusional dan konstitusional.
Ø Adat dan Kesopanan

Adat terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat yang fungsinya mengikat masyarakat
tersebut, sedangkan kesopanan berasal dari masyarakat itu sendiri yang dapat menilai baik dan buruknya
sikap lahir dan tingkah laku manusia.
Ø Kesenjangan Ekonomi
Pertambahan jumlah penduduk yang cepat dan belum meratanya pembangunan dan hasil-hasil
pembangunan mengakibatkan makin bertambahnya pengangguran di kalangan pemuda serta terjadinya
kesenjangan ekonomi.
Ø Kesenjangan Sosial
Perbedaan kondisi ekonomi pada kehidupan masyarakat dapat memicu terjadinya kesenjangan sosial.
Kesenjangan sosial dapat terjadi karena adanya pelapisan sosial.
Proses terjadinya pelapisan sosial ada dua, yaitu :
·

Pelapisan sosial yang terjadi dengan sendirinya.

·

Pelapisan sosial yang terjadi dengan sengaja ditujukan untuk mengejar tujuan bersama.

5.

Pengaruh Keragaman terhadap Kehidupan Beragama, Bermasyarakat, Bernegara, dan Kehidupan

Global
Dampak positif antara lain satu agama dengan agama lain yang berbeda dapat saling menghargai dan
menghormati, sedangkan dampak negatifnya antara lain mudah sekali terjadi ketegangan-ketegangan atau
konflik apabila antara pemeluk agama yang satu dengan agama yang lain terjadi kesalahpahaman.
6.

Problematika Diskriminasi dalam Masyarakat yang Beragam

a.

Kesederajatan versus Diskriminasi

Keserajatan artinya setiap orang sebagai anggota masyarakat mempunyai hak dan kewajiban, baik
terhadap masyarakat maupun pemerintah dan Negara. Diskriminasi lebih menunjukkan kepada suatu
tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Diskriminasi dihubungkan dengan prasangka dan seolah-olah
menyatu.

b.

Diskriminatif sebagai Realitas yang Problematik

Dalam kehidupan masyarakat, ada sesuatu yang dihargai, yaitu kekayaan, kekuasaan, ilmu pengetahuan,
dan sebagainya. Hal itu merupakan awal terbentuknya pelapisan sosial yang dapat menimbulkan
diskriminasi sosial. Mereka yang banyak memiliki sesuatu yang dihargai dianggap oleh masyarakat
sebagai orang yang menduduki lapisan atas. Sebaliknya, mereka yang hanya sedikit memiliki atau bahkan
sama sekali tidak memiliki sesuatu yang dihargai, dianggap oleh masyarakat sebagai orang-orang yang
menempati lapisan bawah.

c.

Persaingan, Tekanan atau Intimidasi dan Ketidakberdayaan sebagai Faktor Terjadinya Diskriminasi

Sosial.
Diskriminasi karena faktor tekanan atau intimidasi, biasnya terjadi karena pihak yang ditekan oleh pihak
yang kuat. Dan karena merupakan pihak yang tertekan, umumnya tidak berdaya sehingga tidak dapat
melepaskan belenggu diskriminasi tersebut dari kehidupan mereka.
Sebab-sebab lain yang menyebabkan terjadinya diskriminasi antara lain :
·

Latar belakang sejarah

·

Dilatarbelakangi oleh perkembangan sosiokultural dan situasional

·

Bersumber dari faktor kepribadian

·

Berlatar belakang dari perbedaaan keyakinan, kepercayaan, dan agama

Usaha mengurangi atau menghilangkan prasangka dan diskriminasi antara lain dengan cara :
·

Perbaikan kondisi sosial ekonomi

·

Perluasan kesempatan belajar

·

Sikap terbuka dan sikap lapang

·

Menghilangkan sikap etnosentrsme

2. Deskripsikan tentang kasus sambas, kemudian di bandingkan dengan kasus konflik sosial yg ada di
lampung akhir-akhir ini
Kasus Sambas

Kerusuhan Sambas adalah pecahnya kerusuhan antar etnis di wilayah Kabupaten Sambas dan sekitarnya.
Kerusuhan di Sambas sudah berlangsung sekitar tujuh kali sejak 1970, namun yang terakhir ini (tahun
1999) merupakan terbesar dan akumulasi dari kejengkelan suku Dayak dan Melayu terhadap ulah oknumoknum pendatang dari Madura. Akibatnya, orang-orang keturunan Madura yang sudah bermukim di
Sambas sejak awal 1900-an itu ikut menanggung dosa perusuh.[1] Korban akibat kerusuhan Sambas
terdiri dari, 1.189 orang tewas, 168 orang luka berat, 34 orang luka ringan, 3.833 rumah dibakar dan
dirusak, 12 mobil dan 9 motor dibakar/dirusak, 8 masjid/madrasah dirusak/dibakar, 2 sekolah dirusak, 1
gudang dirusak, dan 29.823 warga Madura mengungsi.
Kronologi :
Pada tanggal 17 Januari 1999 pukul 01.30 WIB telah ditangkap dan dianiaya pelaku pencurian ayam
warga suku Madura oleh warga suku Melayu.
Pada tanggal 19 Januari 1999 sekitar 200 orang suku madura dari suatu desa menyerang warga suku
Melayu desa lainnya.
Hari berikutnya terjadi perkelahian antara warga suku Madura dan warga suku Melayu karena tidak
membayar ongkos angkot. Kejadian ini berkembang menjadi perkelahian antara kelompok dan antara
desa yang disertai pembakaran, pengrusakan dan tindak kekerasan lainnya.
Warga suku Melayu dibantu suku Dayak melakukan penyerangan, pembakaran, pengrusakan,
penganiayaan dan pembunuhan terhadap warga suku Madura dan selanjutnya saling membalas.
Peristiwa berkembang dengan terjadinya pengungsian warga Madura dalam jumlah cukup besar menuju
Singkawang dan Pontianak.

Tindakan aparat keamanan antara lain :

- Melokalisir dan mencegah meluasnya kejadian,
- Membantu mengevakuasi para pengungsi, melakukan pencarian dan penyelamatan suku Madura yang
melarikan diri kehutan,
- Membantu para pengungsi ditempat penampungan,
- Mengadakan dialog dengan tokoh masyarakat dan pemuka agama, serta
- Melakukan upaya penegakan hukum terhadap para pelaku kriminal.
Kasus Lampung
Munculnya berbagai kasus kerusuhan di beberapa tempat di Indonesia menunjukkan bahwa potensi
konflik tak segera selesai dengan terbukanya keran demokratisasi. Dalam konteks Indonesia, Baladas
Goshal (2004) telah memperingatkan, terlepas sisi positif yang dibawanya, demokratisasi juga
memberikan peluang bagi meluasnya potensi konflik.
Belum lama ini konflik besar kembali terjadi. Kali ini menimpa Lampung Selatan, tepatnya di wilayah
Kalianda. Dalam kasus ini, soal pelecehan seksual yang diduga sebagai pemicu konflik, yang telah
menelan belasan korban jiwa ini, sebenarnya hanyalah puncak dari gunung es.
Dilihat dari akar penyebabnya, kasus Lampung—dalam batas-batas tertentu— dapat dikatakan bersifat
klasik. Di dalamnya melibatkan tipe konflik yang bernuansa primordial, yang mengingatkan kita pada
konflik yang terjadi di Sampit, Sambas, Kalbar, dan sejumlah daerah pascareformasi. Meski sebagian
kalangan melihat konflik antarkampung di Lampung ini tak terkait masalah etnisitas, mengabaikan faktor
ini juga kurang tepat. Hal ini mengingat secara kasat mata pihak-pihak yang berkonflik memiliki
keterkaitan kuat dengan kedua etnis yang terlibat, yakni etnis Lampung dan Bali.
Sejak kehadirannya, etnis Bali—berbeda dengan orang Jawa—dipandang membawa persoalan tersendiri
bagi sebagian masyarakat Lampung. Gugus persoalan ini mencakup ”legitimasi kehadiran” masyarakat

Bali yang dipandang masih bermasalah karena menempati wilayah yang belum sepenuhnya diizinkan
ataupun karena perbedaan adat kebiasaan dan agama. Kenyataan pula bahwa kedua etnis relatif hidup
terpisah dalam nuansa yang eksklusif (enclave). Tidak mengherankan jika kedua etnis itu kerap masih
merasa asing satu dan lainnya. Hal ini terjadi terutama di Lampung Selatan dan Lampung Utara.
Meski secara kultural sebenarnya kedua etnis itu memiliki kearifan lokal yang dapat diandalkan untuk
menciptakan kerukunan dan mencegah konflik, tetapi dalam berbagai kasus konflik terlihat bahwa
kearifan lokal itu seolah sirna.
Masyarakat Lampung punya kearifan lokal berupa Piil Pesenggiri (Piil), yang di dalamnya terkait soal
kehormatan diri yang muncul karena kemampuan mengolah kedewasaan berpikir dan berperilaku. Di sini
kemampuan hidup berdampingan dengan berbagai kalangan, termasuk pendatang, merupakan salah satu
inti ajaran Piil itu. Begitu juga masyarakat Bali dengan ajaran Bhinneka Tunggal Ika, Tatwam Asi (kamu
adalah aku dan aku adalah kamu) dan Salunglung Sabayantaka, yang mengajarkan demikian dalam arti
penting hidup berdampingan secara damai.
Situasi di Lampung ini cerminan bahwa nilai-nilai kearifan lokal makin terpinggirkan. Setidaknya
mengalami pergeseran makna. Konsep Piil, misalnya, mengalami penyempitan makna sekadar membela
harga diri. Alih-alih dikaitkan keharusan kedewasaan berperilaku, masalah ”kehormatan diri” justru jadi
alasan pembenaran untuk menempuh cara apa pun sejauh itu dianggap dapat menjaga harga diri.
Sementara respons dari kalangan Bali menunjukkan bahwa nilai-nilai kedamaian dan toleransi yang
dianut juga tidak mampu bekerja dengan sempurna.
Tentu saja, persoalan primordial ini tidak berdiri sendirian. Dalam kasus Lampung, persoalan ini
berkelindan dengan kenyataan adanya disparitas ekonomi, yang bagi sementara kalangan sudah makin
terlihat nyata. Kaum pendatang, terutama Bali, merupakan komunitas yang cukup sejahtera, sementara
etnis Lampung tidak cukup baik kondisinya sebagai ”tuan rumah”. Di sini, persoalan klasik kecemburuan

sosial antara ”pribumi” dengan ”pendatang” telah cukup membutakan akal sehat dan menjadi rumput
kering yang berpotensi membara manakala menemukan pemantiknya.
Di mana negara?
Lepas dari itu, kasus kerusuhan Lampung ini sebenarnya dapat segera tertanggulangi dengan baik jika
aparat keamanan, dalam hal ini kepolisian, dapat memainkan peran yang lebih signifikan. Sebagai
institusi yang menetapkan peran preventif (pencegahan) sebagai bagian tugas pokoknya, kepolisian
seharusnya sejak dini dapat mendeteksi dan mengantisipasi potensi apa yang akan terjadi ke depan.
Dengan sederet institusi pelengkap untuk mendeteksi segenap potensi negatif yang ada di masyarakat,
kepolisian jelas salah satu institusi yang seharusnya dapat memimpin dalam soal-soal yang terkait dengan
keresahan masyarakat. Apalagi kenyataan bahwa kasus Lampung terakhir ini bukanlah kasus yang benarbenar baru sebab memiliki preseden di awal tahun ini yang cukup terang benderang.
Namun, justru di sinilah letak persoalan lain dari kasus Lampung—juga berbagai kasus konflik horizontal
akar rumput lainnya—di mana peran aparat keamanan terlihat demikian kedodoran. Dengan demikian,
tidak aneh jika kemudian masyarakat mempertanyakan kualitas SDM, efektivitas strategi atau bahkan
komitmen dari aparat keamanan kita.
Persoalan lain adalah sikap pemerintah, khususnya pemerintah daerah, yang masih memercayakan
kemampuan masyarakat dan tokoh-tokohnya dalam menyelesaikan persoalan konflik secara mandiri.
Dalam hal ini resolusi konflik sebenarnya belum terlembaga secara memadai. Untuk itu, diperlukan upaya
membentuk dan merevitalisasi lembaga-lembaga, baik adat maupun pemerintahan, yang terkait dengan
persoalan primordial itu secara lebih serius. Tujuan utamanya jelas agar potensi konflik yang melibatkan
unsur etnis dapat menemukan jalur penyelesaian secara lebih cepat, berkeadilan, dan komprehensif.
Solusi jangka pendek adalah segera menyelesaikan persoalan itu secara tepat, dengan sesedikit mungkin
menimbulkan resistensi dari kalangan yang terlibat. Di sini diperlukan kerja sama banyak pihak. Tidak

saja dari kalangan masyarakat, tokoh-tokoh, ataupun ormas, tetapi juga aparat dan pemerintah, termasuk
pengadilan. Dalam perspektif manajemen resolusi konflik pihak ketiga, dalam hal ini pengadilan atau
institusi yang dipercaya dapat memainkan peran itu, memainkan peran yang amat krusial. Kegagalan pada
level ini kerap akan cenderung memberikan preseden negatif dan memperburuk situasi.
Dalam konteks jangka menengah, solusi yang mungkin adalah memperbaiki kinerja dan profesionalisme
aparat keamanan agar dapat lebih sensitif dan efektif mencegah serta menyelesaikan rangkaian konflik
sejak dini. Dibutuhkan pula sebuah desain besar dan pelembagaan pencegahan dan penyelesaian konflik
yang lebih kontekstual dengan melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan dan masyarakat di
dalamnya.
Dalam konteks jangka panjang, jelaslah bahwa persoalan segregasi primordial dan disparitas ekonomi
yang selalu jadi biang keladi kemunculan konflik harus dapat direduksi semaksimal mungkin.

Para tokoh adat Lampung Selatan dan masyarakat Bali melakukan pertemuan dengan bantuan mediasi
oleh Pemerintah Provinsi Lampung. Mereka sepakat untuk berdamai dan mengakhiri konflik yang
mengakibatkan 14 orang tewas dan ratusan rumah dibakar. "Dalam pertemuan itu mereka sama-sama
membahas apa yang menjadi akar persoalan konflik yang berujung bentrok itu," kata Wakil Gubernur
Lampung Joko Umar Said di ruang kerjanya, Selasa, 30 Oktober 2012.

Dalam pertemuan tertutup yang dihadiri oleh tokoh masyarakat Bali, tokoh adat Lampung Selatan, dan
Forum Masyarakat Adat Lampung itu, semua pihak bersepakat untuk menahan diri. Dalam dua hingga
tiga hari ke depan, Joko berharap ada format perdamaian yang melibatkan semua pihak. "Acara
perdamaian itu akan digelar di sebuah tempat di mana ribuan orang bisa hadir dan saling memaafkan serta
melakukan rekonsiliasi, serta akan dihadiri Gubernur Bali dan Lampung," kata Joko.

Para tokoh adat kedua belah pihak yang bertikai sebenarnya sudah menandatangani perdamaian di
hadapan bupati, polisi, dan TNI usai bentrok di desa Napal, Kecamatan Sidomulyo, Lampung Selatan,
pada 23 Januari 2012 lalu.

Bentrokan dipicu oleh rebutan lahan parkir antara warga Kota Dalam dan Dusun Napal, Sidomulyo, yang
menyebabkan 63 rumah dibakar dan 23 lainnya dirusak.

Saat ini, sebanyak 2100 warga Desa Balinuraga, Kecamatan Way Panji, Lampung Selatan, telah
dievakuasi ke Sekolah Polisi Negara Kemiling, Bandar Lampung. Mereka ditampung di aula sekolah.
"Sekarang kami fokus menangani pengungsi agar kondisi mereka pulih," kata Ketua Parisade Hindu
Darma Bandar Lampung, Putu Suwarte.

Warga Balinuraga hingga saat ini masih terus mendatangi SPN Kemiling dengan menggunakan kendaraan
milik polisi. Mereka diungsikan sejak kerusuhan meletus. Diperkirakan masih banyak warga yang tersisa
dan bersembunyi di dalam desa yang kini luluh lantak.

Data dari Polres Lampung Selatan menyatakan sebanyak 14 orang tewas, 9 luka parah, 166 unit rumah
dibakar massa, 26 unit rusak berat, serta 11 sepeda motor dan 2 kendaraan roda empat turut dibakar.

Sepuluh korban tewas belum bisa diidentifikasi karena kondisinya hancur. "Kami masih terus menyisir
semak belukar untuk menemukan korban akibat bentrokan kemarin," kata Kepala Polres Lampung
Selatan Ajun Komisaris Besar Tatar Nugroho.
3. Sinopsis film “tanda Tanya” dan kesimpulan.
Kisah film berputar di sekitar keluarga yang tinggal di sebuah wilayah tua kota di Jawa Tengah bila
mendengar logat yang dipakai. Tan Kat Sun (Henky Solaiman), pemeluk Konghucu/Buddha dan pemilik

restoran masakan Cina yang sudah sakit-sakitan, sangat sadar lingkungan, hingga cara masak dan
peralatan masak dipisah secara tajam antara yang halal dan haram. Ia bermasalah dengan anaknya, Ping
Hen alias Hendra (Rio Dewanto), yang memiliki visi tersendiri dalam bisnis.
Soleh (Reza Rahadian), Islam dan pengangguran yang rajin menjalankan ibadah, selalu gundah akan
keadaan dirinya, sementara istrinya, Menuk (Revalina S Temat), yang berjilbab bekerja di restoran Tan
Kat Sun. Menuk yang praktis menjadi tiang keluarga, tampil sebagai istri teladan.
Rika (Endhita), janda berputra tunggal, meneruskan usaha keluarga: toko buku. Atas pilihannya sendiri, ia
belajar agama Katolik dan ingin dibaptis, sementara mendorong putranya untuk memperdalam agama
Islam di mesjid setempat. Ia juga bersahabat dengan Surya (Agus Kuncoro), yang bercita-cita menjadi
aktor hebat tapi bernasib masih mendapat kesempatan peran-peran kecil. Saking tidak punya uang, ia
menginap di mesjid.
Kisah yang berputar pada permasalahan masing-masing keluarga dan perorangan tadi, berkelindan
dengan masalah sosial masyarakat: kebencian antaretnis/agama, radikalisme agama dalam bentuk
peristiwa penusukan pastor dan bom di gereja, perusakan restoran, juga usaha-usaha untuk
menengahinya.
Mengapa saya menilai film ini berkualitas dan realistis?
Pertama, dalam film ini ditunjukkan bahwa konflik yang terjadi di berbagai daerah tidak disebabkan oleh
faktor tunggal belaka. Banyak variabel sekunder yang jarang diperhitungkan, yang “nunut” dalam
peristiwa-peristiwa tersebut, seperti faktor politik, dendam, ekonomi, dan bahkan faktor cinta. Faktorfaktor itu akan selalu ada (takkan bisa dihilangkan) dan absurb di dalam sebuah kehidupan bermasyarakat
yang kompleks. Dari nilai ini, masyarakat diharapkan paham bahwa hujatan-hujatan dan sumpah-serapah
berlebihan terhadap suatu kelompok/pihak/orang/hal tunggal bukanlah hal yang bijak. Karena tidak
mustahil, sang faktor sekunderlah yang justru menyulut terjadinya konflik.

Kedua, ada adegan di mana dua orang pemerannya berpindah agama berdasarkan keyakinan hati mereka
masing-masing. Adegan ini memberikan penekanan bahwa hak-hak setiap individu untuk memilih, tak
perlu diperdebatkan, apalagi dipermasalahkan. Dalam ajaran agama pun sebenarnya hal ini sudah
memiliki dasar, seperti ayat yang ada dalam Al Quran di bawah ini, hanya saja individu-individunya
terkadang tidak memahaminya, tidak menjalankannya, atau tidak memedulikannya atau bahkan tidak
mengetahui sama sekali!.
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku” (Al-Kafiruun:6)
**bahwa perbedaan itu memang akan selalu ada, dan hak itupun melekat pada setiap individu, mengapa
harus memaksakan keseragaman yang mustahil sampai-sampai menimbulkan perpecahan?
Ketiga, perbedaan antarkomunitas beragama dan antarindividu memang nyata adanya dan kerap
menimbulkan konflik yang pelik, bahkan terkadang hingga menimbulkan perpecahan, pertikaian, dan
pertumpahan darah yang menelan korban. Namun, di film ini penonton disodorkan harapan baru bahwa
hal-hal tersebut ternyata TIDAK MUSTAHIL untuk tidak terjadi. Dan penonton pun bisa paham bahwa
toleransi dalam masyarakat yang hetero adalah mutlak. Wajib dan harus, tidak bisa tidak! Jika kita
mendambakan kehidupan yang damai.
Menarik dan menghibur
Singkat kata, dalam opini saya, Hanung Bramantyo memang pandai mengemas film ini agar tetap
menarik dan memunculkan unsur hiburan di tengah-tengah bobot cerita yang cukup berat. Celotehancelotehan Surya yang diperankan oleh Agus Kuncoro merupakan salah satu “kunci” munculnya tawa
dalam film ini. Gelak tawa terus terdengar dalam ritme tertentu sepanjang film ini diputar. Sungguh
menarik! Walaupun tidak dapat dikatakan sempurna, namun perpaduan yang dituangkan dalam film ini
cukup menjadikan film ini patut ditonton oleh masyarakat Indonesia dan patut masuk dalam kategori film
“bermutu” dalam daftar panjang film Indonesia.

BAB III
PENUTUP
1.KESIMPULAN
Di tengah arus reformasi dewasa ini, agar selamat mencapai Indonesia Baru, maka idiom yang harus lebih
diingat-ingat dan dijadikan landasan kebijakan mestinya harus berbasis pada konsep Bhinneka Tunggal
Ika. Artinya, sekali pun berada dalam satu kesatuan, tidak boleh dilupakan, bahwa sesungguhnya bangsa
ini berbeda-beda dalam suatu Keragaman. Kesetaraan bisa di wujudkan dengan pemerataan pembangunan
di seluruh wilayah NKRI dan juga keadilan di dalam bidang hukum ( bahwa semua sama di di hadapan
hukum ). Namun, jangan sampai kita salah langkah, yang bisa berakibat yang sebaliknya: sebuah konflik
yang berkepanjangan. Oleh karena itu Keragaman dan Kesetaraan harus di tanamkan sejak dini kepada
generasi muda penerus bangsa.
2.SARAN

Sebagai makhluk individu yang menjadi satuan terkecil dalam suatu organisasi / kelompok manusia harus
memiliki kesadaran diri terhadap realita yang berkembang di tengah masyarakat sehingga dapat
menghindari masalah yang berpokok pangkal dari keragaman dan keserataan sebagai sifat dasar manusia.

DAFTAR PUSTAKA
www.google.com
www.wikipedia.com