Makalah Adalah - Makalah

MAKALAH
EUTHANASIA

Dosesn: Ns. Lili Fajria,S.Kep
Disusun oleh:
Kelompok IA
Irawati (1110324001)

Arini Elhuda (1110324008)

Febri Wendari (1110324003)

Armayanti (1110324009)

Dian Rilawati (1110324004)

Silvia Handayani (1110324010)

Riadhoh (1110324005)

Hafizatul Aini (1110324011)


Wisfi Desriyanti (1110324006)

Almira Ghandi (1110324012)

Rini Heldina (1110324007)

Maulida Rahmi (0810325060)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
TAHUN 2011

KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah, SWT, karena berkat rahmat
dan karuniaNYA penulis dapat menyelesaikan Makalah ini yang berkenaan dengan
kasus skenario 1 tentang “EUTHANASIA”
Penyusunan makalah ini merupakan salah satu metode pembelajaran pada mata

kuliah Etik dan Hukum Keperawatan di Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah memberikan masukan, dorongan dan bimbingan kepada penulis dalam
menyusun makalah ini baik dari segi moril dan materil. Ucapan terima kasih tersebut
ditujukan kepada:
1. Ibu Ns. Lili Fajria, S.Kep selaku dosen pengajar mata kuliah Etik dan Hukum
Keperawatan.
2. Rekan- rekan program B 2011 Program Studi Ilmu Keperawatan.
Dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari sempurna,
untuk itu sangat diharapkan saran dan kritik yang sifatnya konstruktif dari semua pihak
untuk perbaikan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi yang
membaca dan bagi pengembangan ilmu keperawatan.

Padang,

Oktober 2011

Penulis


DAFTAR ISI
COVER ..........................................................................................................

i

KATA PENGANTAR ...................................................................................

ii

DAFTAR ISI ..................................................................................................

iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................

1

B. Tujuan


........................................................................................

1

C. Manfaat .......................................................................................

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Brain Death
1. Pengertian ............................................................................

3

2. Kriteria Diagnostik Mati Otak .................................................

5

B. Euthanasia

1. Pengertian ..............................................................................

5

2. Euthanasia di Indonesia ..........................................................

6

3. Jenis- jenis Euthanasia .............................................................

7

4. Syarat Dilakukannya Euthanasia .............................................

8

5. Aspek- aspek dalam Euthanasia ...............................................

9


C. Kelalaian
1. Pengertian ............................................................................... 12
2. Bentuk Kelalaian ....................................................................

13

D. Malpraktek
1. Pengertian .............................................................................. 13
2. Unsur Malpraktek ................................................................... 14
BAB III PEMBAHASAN ...............................................................................

15

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................

19

B. Saran ............................................................................................


20

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, akan mengalami siklus kehidupan
yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan
berbagai permasalahannya, serta diakhiri dengan kematian. Dari proses siklus
kehidupan tersebut, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung
misteri besar dan ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya. Untuk dapat
menentukan kematian seseorang sebagai individu diperlukan kriteria diagnostik
yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah.
Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah merupakan hak dari
Tuhan. Tak seorangpun yang berhak menundanya sedetikpun, termasuk
mempercepat waktu kematian. Tetapi bagaimana dengan hak pasien untuk mati
guna menghentikan penderitaannya. Hal itulah yang masih menjadi pembahasan
hangat di Indonesia.

Hak pasien untuk mati, yang seringkali dikenal dengan istilah euthanasia,
sudah kerap dibicarakan oleh para ahli. Namun masalah ini akan terus menjadi
bahan perdebatan, terutama jika terjadi kasus-kasus menarik.
Untuk itulah masalah skenario pertama mengenai kasus euthanasia sangat
menarik untuk dibahas.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep dasar mengenai Brain Death, Euthanasia dan aspek
etika dan hukum dalam kasus tersebut.
2. Untuk mengetahui apa yang seharusnya dilakukan oleh keluarga dan tenaga
kesehatan baik dokter maupun perawat terhadap kasus Euthanasia.
3. Untuk mengetahui bagaimana peran masing- masing profesi yaitu perawat dan
tenaga kesehatan lainnya dalam menghadapi masalah Euthanasia jika dikaitkan
dengan etika dan hukum keperawatan.

4. Untuk mengetahui siapa yang memegang peranan penting dalam pengambilan
keputusan untuk kasus Euthanasia.
5. Untuk mencari dan menentukan solusi yang akan dilakukan dan siapa yang akan
memutuskan dalam penangan kasus Euthanasia.


C. Manfaat
Mampu menerapkan dan melaksanakan peran sebagai perawat dan apa saja yang
seharusnya dilakukan oleh seorang perawat atau tenaga kesehatan lainnya dalam
pengambilan keputusan mengenai masalah Euthanasia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. BRAIN DEATH
1. PENGERTIAN
Tahun 1950 kematian otak didefinisikan sebagai terhentinya sirkulasi
darah secara total, dan terhentinya fungsi vital seperti pernapasan, pulsasi.
Dengan berkembangnya ilmu dan teknologi Cardiopulmonary resuscitation
(CPR), fungsi vital dapat dipertahankan meskipun ada gangguan sistem saraf
pusat irrevesible. Definisi kematian otak mengalami perubahan dari segi medis
dan hukum. Kematian otak tanpa kematian organ tubuh yang lain
memungkinkan transplantasi organ bila penderita tidak mungkin pulih.
Tahun 1967 American Electroencephalographic Society meneliti 1665
penderita dengan electrocerebral silence. Aktivitas listrik otak tidak lebih dari 2
μV antara pasangan elektrode yang berjarak 10 cm atau lebih. Penderita

mengalami koma dengan berbagai stadium. Hanya 3 penderita yang pulih fungsi
cerebralnya. Penderita ini koma akibat obat, 2 penderita koma akibat barbiturat
dan 1 penderita akibat meprobamat. Electrocerebral silence dengan tanda apnea,
tidak ada respons, tidak ada refleks cephalic, dan tidak bisa mempertahankan
sirkulasi tanpa bantuan alat, didiagnosis koma irreversible (cerebral death), yang
disebut electrocerebral inactivity.
Tahun 1968 konsensus Ad Hoc Committee dari Harvard Medical School
mendefinisikan koma ireversibel sebagai tiadanya respons dari rangsangan luar,
tidak ada pergerakan, tidak ada napas, tidak ada refleks, dan EEG datar. Tahun
1975 American Neurological Association memperbarui definisi koma Harvard
karena tidak sesuai untuk anak usia di bawah 5 tahun. Sistem saraf immature
dapat bertahan pada periode electrocerebral silence.
Definisi kematian otak dibahas oleh beberapa organisasi seperti
American Bar Association, American Medical Association, dan National
Conference of Commissioners on Uniform State Laws. Pada tahun 1981
kematian otak didefinisikan sebagai tidak berfungsinya sirkulasi dan pernapasan

ireversibel, atau tidak berfungsinya semua fungsi otak ireversibel termasuk
batang otak. Definisi ini berdasarkan fakta bahwa fungsi otak tidak bisa kembali
sesudah 6 jam tidak berfungsi, berdasarkan pemeriksaan fisik dan EEG. Bila

tidak ada tes-tes konfirmasi, observasi dilakukan sedikitnya selama 12 jam. Pada
kasus jejas anoksia, observasi dilakukan sampai 24 jam. Pedoman ini tidak
melibatkan kriteria usia penderita (Yunan: 2000)
Definisi tersebut yaitu:
Seseorang dengan otak tidak berfungsi ireversibel dinyatakan meninggal dunia
bila:
- Diketahui semua fungsi otak tidak berfungsi.
- Tidak ada fungsi serebral, misal tidak ada respons
- Tidak berfungsi batang otak, seperti refleks cahaya pupil, refleks kornea,
refleks

okulosefalik/ okulovestibuler, refleks orofaringeal, pernapasan

seperti apnea.
- Diketahui tidak berfungsinya otak bersifat ireversibel
- Penyebab koma diketahui dan bermakna sebagai penyebab kehilangan fungsi
otak, faktor peluang pemulihan fungsi otak disingkirkan.
- Kegagalan fungsi otak menetap selama masa observasi atau percobaan terapi.
- Komplikasi disingkirkan, seperti keracunan obat dan metabolik
- Hipotermia
- Usia di bawah 5 tahun
- Syok sirkulasi
- Observasi sudah dilakukan dengan waktu yang cukup, tanpa tes-tes
konfirmasi 12 jam sejak penyebab kondisi ireversibel diketahui
- Jejas anoksia otak
- Dengan tes-tes konfirmasi (mempersingkat waktu observasi), diagnosis
kematian otak ditentukan dengan Electroencephalography (EEG): tidak ada
fungsi korteks, bersifat ireversibel, dengan ditandai electrocerebral silence,
dan klinis tidak ada fungsi batang otak. Cerebral Blood Flow (CBF): tidak
ada aliran darah otak yang ditunjukkan dengan pemindai radionuklida
(radionuclide scanning) atau angiografi serebral 4 pembuluh darah

intrakranial, dan klinis tidak ada fungsi otak selama minimal 6 jam. (Suyono:
2010)

2.

KRITERIA DIAGNOSIS MATI OTAK
Beberapa perkara utama perlu diperhatikan sebelum sesuatu kasus kematian otak
ditentukan, yaitu:
a. Koma, pasien perlu dilakukan pemeriksaan gerakan tindakan balas spontan
terhadap rangsangan yang menyakitkan atau tidak menyenangkan. Pasien
yang telah mati otak tidak menunjukkan sembarang tindakan balas terhadap
semua rangsangan yang kuat maupun menyakitkan.
b. Apnea, tidak ada pernafasan secara spontan dan pasien hanya mampu
bernafas dengan bantuan alat pernafasan. Jika alat bantuan pernafasan
dicabut, pernafasan tidak ada setelah dilepas selama 10 menit.
c. Tindakan balas pangkal otak, pangkal otak disahkan telah berhenti berfungsi
berdasarkan tindak-balas refleks seperti:
1) Pupil mata tidak mengecil apabila disinarkan cahaya ke arah mata.
Kedua belah mata hendaklah diuji. Pastikan midriasis atau miotik.
2) Tidak ada refleks kornea.
Tidak ada respon kelipan mata paada kedua apabila permukaan kornea
disentuh.
3) Rangsangan terhadap saluran udara.
Kateter dimasukkan ke dalam mulut melintasi laring dan trakea sampai ke
carina. Gangguan reflek ataupun batuk tidak ada jika pasien telah mati
otak. (Yunan: 2000)

B. EUTHANASIA
1.

PENGERTIAN
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah,
bagus, terhormat atau gracefully and with dignity dan Thanatos yang berarti
mati. Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan
baik. Sedangkan secara harafiah, euthanasia tidak dapat diartikan sebagai
pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang.

Menurut Philo (50-20 SM), euthanasia berarti mati dengan tenang dan
baik, sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam bukunya Vita Caesarum
mengatakan bahwa euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita”.
Masalah euthanasia biasanya dikaitkan dengan masalah bunuh diri.
Dalam hukum pidana, masalah bunuh diri yang perlu dibahas adalah apakah
seseorang yang mencoba bunuh diri atau membantu orang lain untuk
melakukan bunuh diri itu dapat dipidana, karena dianggap telah melakukan
kejahatan.
Di beberapa Negara seperti Amerika Serikat, seseorang yang gagal
melakukan bunuh diri dapat dipidana. Juga di Israel, perbuatan percobaan
bunuh diri merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam pidana. Pernah
ada amandemen agar larangan ini dicabut, tetapi Prof.Amos Shapira
berpendapat bahwa dengan konsep perbuatan percobaan bunuh diri sebagai
tindakan yang tidak terlarang, merupakan gerakan kearah diakuinya „hak
untuk mati‟.
Dilihat dari segi agama Samawi, euthanasia dan bunuh diri merupakan
perbuatan yang terlarang. Sebab masalah kehidupan dan kematian seseorang
itu berasal dari Sang Pencipta yaitu Tuhan. Jadi, perbuatan yang menjurus
kepada tindakan penghentian hidup yang berasal dari Tuhan merupakan
perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, oleh karenanya tidak
dibenarkan.

2.

EUTHANASIA DI INDONESIA
Apakah hak untuk mati dikenal di Indonesia? Indonesia melalui pasal
344 KUHP jelas tidak mengenal hak untuk mati dengan bantuan orang lain.
Banyak orang berpendapat bahwa hak untuk mati adalah hak azasi manusia,
hak yang mengalir dari “hak untuk menentukan diri sendiri” (the right of self
determination/TROS) sehingga penolakan atas pengakuan terhadap hak atas
mati, adalah pelanggaran terhadap hak azasi manusia yang tidak dapat
disimpangi oleh siapapun dan menuntut penghargaan serta pengertian yang
penuh pada pelaksanaannya.

Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti:
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan,
buat yang beriman dengan nama Tuhan di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan
memberi obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri maupun keluarganya.

3. JENIS- JENIS EUTHANASIA
Dari penggolongan Euthanasia, yang paling praktis dan mudah
dimengerti adalah:
a. Euthanasia aktif
Tindakan secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga
kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.
Merupakan tindakan yang dilarang, kecuali di negara yang telah
membolehkannya lewat peraturan perundangan.
b. Euthanasia pasif
Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak lagi
memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien,
misalnya menghentikan pemberian infus, makanan lewat sonde, alat bantu
nafas, atau menunda operasi.
c. Auto euthanasia
Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima
perawatan medis dan dia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek
atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah
codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto euthanasia pada dasarnya adalah
euthanasia pasif atas permintaan.

Karena masih banyak pertentangan mengenai definisi euthanasia, diajukan
berbagai pendapat sebagai berikut:
a. Voluntary euthanasia
Permohonan diajukan pasien karena, misalnya gangguan atau penyakit
jasmani yang dapat mengakibatkan kematian segera yang keadaannya
diperburuk oleh keadaan fisik dan jiwa yang tidak menunjang.
b. Involuntary euthanasia
Keinginan yang diajukan pasien untuk mati tidak dapat dilakukan
karena, misalnya seseorang yang menderita sindroma Tay Sachs. Keputusan
atau keinginan untuk mati berada pada pihak orang tua atau yang
bertanggung jawab.
c. Assisted suicide
Tindakan ini bersifat individual dalam keadaan dan alasan tertentu
untuk menghilangkan rasa putus asa dengan bunuh diri.
d. Tindakan langsung menginduksi kematian
Alasan tindakan ini adalah untuk meringankan penderitaan tanpa izin
individu yang bersangkutan dan pihak yang berhak mewakili. Hal ini
sebenarnya pembunuhan, tapi dalam pengertian agak berbeda karena
dilakukan atas dasar belas kasihan. (Billy: 2008)

4.

SYARAT DILAKUKANNYA EUTHANASIA
Sampai saat ini, kaidah non hukum yang manapun, baik agama, moral
dan kesopanan menentukan bahwa membantu orang lain mengakhiri hidupnya,
meskipun atas permintaan yang bersangkutan dengan nyata dan sungguhsungguh adalah perbuatan yang tidak baik. Di Amerika Serikat, euthanasia
lebih populer dengan istilah “physician assisted suicide”. Negara yang telah
memberlakukan euthanasia lewat undang-undang adalah Belanda dan di negara
bagian Oregon-Amerika Serikat.
Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, antara lain:
a. Orang yang ingin diakhiri hidupnya adalah orang yang benar-benar sedang
sakit dan tidak dapat diobati misalnya kanker.

b. Pasien berada dalam keadaan terminal, kemungkinan hidupnya kecil dan
tinggal menunggu kematian.
c. Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga penderitaannya
hanya dapat dikurangi dengan pemberian morfin.
d. Yang boleh melaksanakan bantuan pengakhiran hidup pasien, hanyalah
dokter keluarga yang merawat pasien dan ada dasar penilaian dari dua
orang dokter spesialis yang menentukan dapat tidaknya dilaksanakan
euthanasia.
Semua persyaratan itu harus dipenuhi, baru euthanasia dapat dilaksanakan.
Indonesia sebagai negara berasaskan Pancasila, dengan sila pertamanya
„Ketuhanan Yang Maha Esa‟, tidak mungkin menerima tindakan
“euthanasia aktif”.
Mengenai “euthanasia pasif” merupakan suatu “daerah kelabu” karena
memiliki nilai bersifat “ambigu” yaitu di satu sisi bisa dianggap sebagai
perbuatan amoral, tetapi di sisi lain dapat dianggap sebagai perbuatan
mulia karena dimaksudkan untuk tidak memperpanjang atau berjalan
secara alamiah. (Fadli: 2000)B

5. ASPEK- ASPEK DALAM EUTHANASIA
a. Aspek Hukum
Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi
dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan
dianggap

sebagai

pembunuhan

berencana,

atau

dengan

sengaja

menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter
selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa
melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli
apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau
keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat
atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di
lain pihak, hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang
masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, & tidak menghendaki

kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat
pasal-pasal dalam undang-undang dalam KUHP.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebenarnya telah cukup antisipasif
dalam

menghadapi

perkembangan

iptekdok,

antara

lain

dengan

menyiapkan perangkat lunak berupa SK PB IDI no.319/PB/4/88 mengenai
“Pernyataan Dokter Indonesia tentang Informed Consent”. Disebutkan di
sana, manusia dewasa dan sehat rohani berhak sepenuhnya menentukan apa
yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan
tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walau untuk
kepentingan pasien itu sendiri. Kemudian SK PB IDI no.336/PB/4/88
mengenai “Pernyataan Dokter Indonesia tentang Mati”. Sayangnya SKPB
IDI ini tidak atau belum tersosialisasikan dengan baik di kalangan IDI
sendiri maupun di kalangan pengelola rumah sakit. Sehingga, tiap dokter
dan rumah sakit masih memiliki pandangan serta kebijakan yang berlainan.
Apabila diperhatikan lebih lanjut, pasal 338, 340, & 344 KUHP, ketiganya
mengandung makna larangan untuk membunuh. Pasal 340 KUHP sebagai
aturan khususnya, dengan dimasukkannya unsur “dengan rencana lebih
dahulu”, karenanya biasa dikatakan sebagai pasal pembunuhan yang
direncanakan atau pembunuhan berencana. Masalah euthanasia dapat
menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 & 344 KUHP. Dalam hal
ini terdapat apa yang disebut „concursus idealis‟ yang diatur dalam pasal 63
KUHP, yang menyebutkan bahwa:
1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka
yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbedabeda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling
berat.
2) Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum
diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus
itulah yang dikenakan. Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas „lex
specialis derogat legi generalis‟, yaitu peraturan yang khusus akan
mengalahkan peraturan yang sifatnya umum.

b. Aspek Hak Azazi
Hak azasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak
damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum jelas adanya hak seseorang
untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran HAM,
terbukti dari aspek hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga
medis dalam pelaksanaan euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak
untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya
terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri
dari segala ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi dari segala penderitaan
yang hebat.
c. Aspek Ilmu Pengetahuan
Iptekdok dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya
tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan
pasien. Apabila secara iptekdok hampir tidak ada kemungkinan untuk
mendapat

kesembuhan

ataupun

pengurangan

penderitaan,

apakah

seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi
hidupnya. Segala upaya yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya
dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa
kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam habisnya keuangan.
d. Aspek Agama
Kelahiran & kematian merupakan hak prerogatif Tuhan dan bukan
hak manusia sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai
hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Atau
dengan kata lain, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa
seseorang menguasai dirinya sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemilik
penuh atas dirinya. Ada aturan-aturan tertentu yang harus kita patuhi & kita
imani sebagai aturan Tuhan.
Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja
ia tidak boleh membunuh dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli
agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya.
Dokter dapat dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak
Tuhan dengan memperpendek umur seseorang. Orang yang menghendaki

euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang-kadang
dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa dan putus asa tidak
berkenan di hadapan Tuhan.Tetapi putusan hakim dalam pidana mati pada
seseorang yang segar bugar dan tentunya sangat tidak ingin mati dan tidak
sedang dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan
pernyataan

agama

yang

satu

ini.

Aspek

lain

dari

pernyataan

memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis dapat
menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus ke dokter untuk berobat
mengatasi penyakitnya. Kalau memang umur berada di tangan Tuhan, bila
memang belum waktunya, ia tidak akan mati. Hal ini dapat diartikan
sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi
upaya medis dapat pula dipermasalahkan sebagai upaya melawan kehendak
Tuhan. Pada kasus-kasus tertentu, hukum agama memang berjalin erat
dengan hukum positif. Sebab di dalam hukum agama juga terdapat
dimensi-dimensi etik & moral yang juga bersifat publik. Misalnya tentang
perlindungan terhadap kehidupan, jiwa atau nyawa. Hal itu jelas
merupakan ketentuan yang sangat prinsip dalam agama. Dalam hukum
positif manapun, prinsip itu juga diakomodasi. Oleh sebab itu, ketika kita
melakukan perlindungan terhadap nyawa atau jiwa manusia, sebenarnya
kita juga sedang menegakkan hukum agama, sekalipun wujud materinya
sudah berbentuk hukum positif atau hukum negara. (Ismail: 2005)
C. KELALAIAN
1. PENGERTIAN
Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktek medis,
sekaligus merupakan bentuk malpraktek medis yang paling sering terjadi. Pada
dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang melakukan sesuatu yang seharusnya
tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh
orang lain yang memiliku kulifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi
yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian ynag dilakukan orang
perorang bukanlah merupakan perbuatan ynag dapat dihukum, kecuali apabila
dilakukan oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat profesi) bertindak

berhati- hati dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.
(Hanafiah & Amir: 1999)
Kelalaian adalah petindak/pelaku tidak menduga terhadap timbulnya
akibat dari tindakannya. Akibat yang terjadi adalah diluar kehendak dari
petindak dan tidak ada motif dari petindak untuk menimbulkan akibat tersebut.
Kelalaian dalam arti pidana adalah suatu sikap yang sifatnya lebih serius
yaitu sikap yang sangat sembarangan atau sikap sangat tidak hati- hati terhadap
kemungkinan timbulnya resiko yang bisa menyebabkan orang lain terluka atau
mati, sehingga harus bertanggung jawab terhadap tuntutan kriminal oleh negara
(Hanafiah & Amir: 1999)

2. BENTUK KELALAIAN
Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk:
a. Malfeasance
Melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat (improper
unawful) atau tidak layak. Mis: melakukan tindakan medis tanpa indikasi
yang memadai, pilihan tindakan medis tersebut sudah improper.
b. Misfeasance
Melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan
tidak tepat (improper performance). Mis: melakukan tindakan medis dengan
menyalahi prosuder.
c. Nonfeasance
Tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya.
(Hanafiah & Amir: 1999)
D. MALPRAKTIK
1. PENGERTIAN
Malpraktik adalah tindakan yang dilakukan secara sadar, dengan
tujuan yang sudah mengarah kepada akibat yang ditimbulkan atau petindak
tidak peduli kepada akibat dari tindakannya yang telah diketahuinya
melanggar UU.
Malpraktek

medik

adalah

kelalaian

seorang

dokter

untuk

mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim

dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut
ukuran di lingkungan yang sama. (Hanafiah & Amir: 1999)

2. UNSUR MALPRAKTEK
Menurut kepustakaan hukum pidana yang dimaksud Medical
Malpractice yang mengandung unsur-unsur:
a. Neglegent Medical Care, dalam arti kealpaan besar.
b. Standard of care / standard profession yang menjadi ukuran sebagai
petunjuk menurut ilmu pengetahuan dalam menjalankan profesi.
c. Tidak ada accident, risk in treatment, error in judgement sebagai resiko
medik.
d. Adanya informed consent yang terkait dengan medical record.
e. Medical liability baik yang bersifat strict liability, vicarious liability,
corporate liability.
Dokter dikatakan melakukan malpraktek jika:
a. Dokter kurang menguasai iptek kedokteran yang sudah berlaku umum
dikalangan profesi kedokteran.
b. Memberikan pelayanan kedokteran dibawah standar profesi.
c. Melakukan kealpaan yang berat atau memberikan pelayanan yang tidak
hati- hati.
d. Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum. (Hanafiah
& Amir: 1999)
Berkaitan dengan malpraktik ketentuan pidana baik berupa ketidaksengajaan
(professional misconducts ataupun akibat lupa / kelalaian) sebagai berikut:
a. Menyebabkan mati atau luka karena kelalaian (pasal 359 KUHP, pasal 360
KUHP, pasal 361 KUHP).
b.

Penganiayaan (pasal 351 KUHP) untuk tindakan medis tanpa persetujuan
dari pasien (Informed Consent).

c.

Aborsi (pasal 341 KUHP, pasal 342 KUHP, pasal 346 KUHP, pasal 347
KUHP, pasal 348 KUHP, pasal 349 KUHP).

d.

Euthanasia (pasal 344 KUHP, pasal 345 KUHP).

e.

Keterangan palsu (pasal 267-268 KUHP).

BAB III
PEMBAHASAN

SKENARIO I
Seorang ibu Ny.T, umur 36 tahun, diantar oleh tenaga kesehatan ke RS. C, klien
melahirkan anak pertama, ibu dilakukan tindakan operasi ceaser oleh dokter. Pada saat
operasi tiba-tiba TD menurun, dokter memberikan obat untuk meningkatkan TD, tapi
kondisi klien malah sebaliknya, kesadaran menurun, keadaan umum memburuk dan
akhirnya klien dirawat di ruangan ICU, bayi klien selamat. Saat ini sudah lebih 1 bulan
klien di ICU dengan diagnosa Braindeath. Keluarga tidak sanggup membayar biaya
perawatan dan keluarga meminta tindakan euthanasia saja.
PERTANYAAN:
1. Apa yang seharusnya dilakukan oleh keluarga, tenaga kesehatan dan dokter
dalam kasus ini?
2. Bagaimana peran masing-masing profesi jika dikaitkan dengan etik dan hukum
dalam kasus tersebut?
3. Siapa yang memegang peranan penting?
4. Apa solusi yang akan dilakukan dan siapa yang berhak mamutuskannya?
Berikan alasan!

JAWABAN:
1. Hal yang seharusnya dilakukan oleh:


Keluarga
Tindakan euthanasia yang diminta oleh keluarga adalah hak pasien dan
keluarga, tetapi sebaiknya pasien atau keluarga tidak meminta tindakan
euthanasia tersebut.



Tenaga kesehatan dan Dokter
Menolak permintaan pasien atau keluarga terhadap tindakan euthanasia
tersebut.
 Dari segi agama kematian adalah semata-mata hak dari Tuhan,
sehingga manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan tidak
mempunyai hak untuk menentukan kematiannya.
 Dari segi hukum mengenai masalah ini berbeda-beda di tiap
negara dan seringkali berubah seiring dengan perubahan normanorma budaya, di beberapa negara euthanasia di anggap legal,
sedangkan di negara lain di anggap melanggar hukum. Di negara
maju seperti Amerika Serikat, Belanda di akui hak untuk mati
walaupun tidak mutlak. Dalam keadaan tertentu euthanasia
diperbolehkan untuk dilakukan di Amerika S erikat, namun di
Indonesia masalah euthanasia tetap di larang.

2. Peran masing-masing profesi:


Peran perawat
Memberikan asuhan keperawatan seoptimal dan semaksimal mungkin
dan tidak melakukan tindakan yang mengarah kepada tindakan
euthanasia, seperti: melepas alat ventilator, melepas selang oksigen, dll.



Peran dokter
Memberikan penjelasan kepada keluarga pasien tentang penyakit dan
perkembangan kesehatan pasien tersebut.

3. Yang memegang peranan penting:
Dokter, perawat dan tenaga kesehatn lainnya memegang peranan penting
dalam pengambilan keputusan, akan tetapi keluarga adalah penentu dan
pemegang peranan yang paling penting dalam pengambilan keputusan tersebut.
Dokter memberikan masukan kepada keluarga untuk memikirkan kembali
niatnya meminta tindakan euthanasia, sebabajal ada di tangan Tuhan. Bisa jadi
keadaan pasien sekarang yang berada di ruangan ICU dengan dilakukannya

perawatan secara intensif maka akan mengalami kemajuan secara perlahan-lahan
dalam pemulihan kesehatannya.

4. Solusi yang dilakukan:
Memberikan penjelasan kepada keluarga bahwa tindakan euthanasia iti di
larang di Indonesia, jika masalah pasien adalah biaya perawatan, masalah
tersebut bisa di cari solusinya. Seperti, meminta bantuan ke Dinas Sosial untuk
mendapatkan jaminan kesehatan.
Pertanyaan:
1. Apakah ada unsur kelalaian dalam kasus euthanasia?
2. Apakah ada tindakan malpraktek?
3. Bagaimana tindakan yang professional?
Jawaban:
-

Tidak ada unsur kelalaian dan malpraktek karena karena

selama operasi

berlangsung sudah sesuai dengan standar operasional prosedur SC, tenaga
kesehatan sudah melakukan tindakan medis yang benar pada saat kondisi pasien
menurun dengan memberikan obat untuk menaikkan tekanan darah. Tetapi kondisi
pasien tidak juga membaik dan akhirnya pasien di kirim ke ICU.
-

Dalam kasus ini perawat mempunyai peran dalam memberikan asuhan
keperawatan. Peran advokat (pelindung) serta sebagai counselor yaitu membela dan
melindungi pasien tersebut untuk hidup dan menyelamatkan jiwanya dari ancaman
kematian.
- Perawat diharapkan mampu memberikan pengarahan dan penjelasan kepada
keluarga pasien bahwa pasien berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
yang optimal dan tidak melakukan euthanasia.
- Perawat hendaknya menyarankan kepada keluarga untuk mencari alternative
jalan keluar dalam hal mencari sumber biaya yang lain seperti melalui BAZDA,
DINAS SOSIAL, JAMKESDA, JAMKESMAS dll.
- Perawat berusaha menjadi jembatan penghubung diantara dokter, tenaga
kesehatan lain dan keluarga sehingga keluarga akan mendapatkan informasi

yang sejelas- jelasnya tentang kondisi pasien, seberapa besar kemungkinan
untuk sembuh dan berapa besar biaya yang telah dan akan dikeluarkan.
- Perawat memberikan pertimbangan- pertimbangan yang positif pada keluarga
dalam hal pengambilan keputusan untuk membawa pulang pasien Ny. T atau
dilakukannya euthanasia pasif.
- Perawat tetap memberikan perawatan pada pasien, pemenuhan kebutuhan dasar
pasien selama perawatan di ICU.
- Membantu keluarga dalam hal permohonan atau peringanan biaya perawatan
Rumah Sakit.

BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Euthanasia merupakan menghilangkan nyawa orang atas permintaan dirinya
sendiri. Aturan mengenai masalah ini berbeda- beda di tiap- tiap Negara dan
seringkali berubah seiring dengan perubahan norma- norma budaya. Di beberapa
Negara euthanasia dianggap legal tetapi di Indonesia tindakan euthanasia tetap
dilarang karena tidak ada dasar hukum yang jelas. Sebagaiman tercantum dalam
pasal KUHP 338, pasal 340, pasal 344, pasal 355 dan pasal 359. Sehingga pada
kasus Ny. T euthanasia tidak dibenarkan.
Euthanasia ini ditentang untuk dilakukan atas dasar etika, agama, moral dan
legal

dan

juga

pandangan

bahwa

apabila

dilegalisir

euthanasia

dapat

disalahgunakan.
- Sebagai perawat berperan dalam memberikan advokasi. serta sebagai counselor
yaitu membela dan melindungi pasien tersebut untuk hidup dan menyelamatkan
jiwanya dari ancaman kematian. Perawat diharapkan mampu memberikan
pengarahan dan penjelasan kepada keluarga pasien bahwa pasien berhak untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal dan tidak melakukan
euthanasia. Menyarankan kepada keluarga untuk mencari alternative jalan keluar
dalam hal mencari sumber biaya yang lain, menjadi jembatan penghubung
diantara dokter, tenaga kesehatan lain dan keluarga sehingga keluarga akan
mendapatkan informasi yang sejelas- jelasnya tentang kondisi pasien, seberapa
besar kemungkinan untuk sembuh dan berapa besar biaya yang telah dan akan
dikeluarkan. Memberikan pertimbangan- pertimbangan yang positif pada
keluarga dalam hal pengambilan keputusan untuk membawa pulang pasien Ny.
T atau dilakukannya euthanasia pasif. Perawat tetap memberikan perawatan
pada pasien, pemenuhan kebutuhan dasar pasien selama perawatan di ICU. Dan
membantu keluarga dalam hal permohonan atau peringanan biaya perawatan
Rumah Sakit.

B. SARAN
1. Bagi keluarga
Keluarga sebaiknya memikirkan kembali keputusan untuk mengajukan
euthanasia. Dan permasalahan biaya agar mencari alternatif keringanan biaya melalui
Jamkesmas, Jamkesda dll.

2. Bagi Petugas (perawat, dokter dan tenaga kesehatan lainnya)
Tetap memberikan perawatan terbaik kepada pasien selama dirawat,
memberikan perlindungan kepada pasien sebagai advokat.

3. Bagi Pemerintah
Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan euthanasia
sebagai

salah

satu

materi

pembahasan,

semoga

dipertimbangkan sisi nilai etika, social maupun moral.

teap

diperhatikan

dan

DAFTAR PUSTAKA

Billy, N. 2008. Aspek Hukum dalam Pelaksanaan Euthanasia di Indonesia.
Tersedia:http//www.hukum_kesehatan.web.id. diakses tanggal 14 Oktober 2011
Fadli,

Ahmad.

2000.

Euthanasia

dalam

Medis

dan

Hukum

Indonesia.

Tersedia:Hukum_kesehatan.web.id. teknosehat in biotik dan bio hukum. Diakses
tanggal 14 Oktober 2011
Hanafiah, Jusuf dan Amir. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Edisi 3.
Buku Kedokteran EGC: Jakarta
Ismail,

Ilham.

Konsep

Mati

Otak

dan

Euthanasia.

Tersedia:http://www.emedicine.medscape.com. diakses tanggal 14 Oktober 2011
Suyono, Handi. 2008. Brain Death (Kematian Otak). Departemen Fisiologi dan
Kedokteran Hiperbarik, Fakultas Keperawatan Universitas Katolik Widya Mandala.
Surabaya.Tersedia:http://www.emedicine.medscaape.com/article/1177999overview. Diakses tanggal 12 Oktober 2011.
Yunan, Nagat. 2000. Fisiologi Medis dan Sistem Saraf Pusat. Buku Kedokteran EGC:
Jakarta