Masalah Ketahanan Pangan

Masalah Ketahanan Pangan
Ahmad Erani Yustika
Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan FE Unibraw
Ekonom Indef, Jakarta
Dalam beberapa tahun terakhir, masalah ketahanan pangan menjadi isu penting
di Indonesia, lebih-lebih bila dikaitkan bencana alam. Seolah bencana alam
merupakan sumber penyebab kerapuhan pangan. Bagaimanapun, bencana alam
merupakan salah satu sumber kerentanan pangan. Tetapi, bencana jelas bukan yang
paling mencemaskan. Setiap bencana alam, seberapa pun besar dan massifnya, tetap
tidak pernah terjadi secara serentak dan di semua tempat sekaligus. Dengan demikian,
dampak bencana alam terhadap ketahanan pangan bersifat insidental, temporer, dan
lokatif.
Sampai di sini, justru ada faktor lain yang jauh lebih sistematis sebagai mata air
kerentanan pangan, yang celakanya tidak diperhatikan dan diantisipasi secara
memadai. Sumber itu tidak lain adalah perubahan kelembagaan (aturan main).
Perubahan kelembagaan di sini dimaknai sebagai pergeseran pola interaksi
antarpelaku dalam mendesain aktivitas ekonomi.
Segitiga perubahan
Dalam kaitan dengan ketahanan pangan, pembicaraan harus dikaitkan dengan
masalah pembangunan pedesaan dan sektor pertanian. Pada titik inilah dijumpai
realitas bahwa kelembagaan di pedesaan setidaknya dipangku oleh tiga pilar, yaitu

kelembagaan penguasaan tanah, kelembagaan hubungan kerja, dan kelembagaan
perkreditan. Tanah/lahan masih merupakan aset terpenting bagi penduduk pedesaan
untuk menggerakkan kegiatan produksi. Sedangkan relasi kerja akan menentukan
proporsi nisbah ekonomi yang akan dibagi kepada para pelaku ekonomi di pedesaan.
Terakhir, aspek perkreditan/pembiayaan berperan amat penting sebagai pemicu
kegiatan ekonomi di pedesaan karena biasanya di wilayah itu ketersediaan modal
amat terbatas.
Ketiga pilar perubahan kelembagaan itu akan amat menentukan keputusan
pelaku di sektor pertanian (baca: petani) sehingga turut memengaruhi derajat
ketahanan pangan. Sayang, perubahan kelembagaan di pedesaan mengarah kepada
situasi yang menciptakan disinsentif bagi petani untuk meningkatkan produksi.
Kepemilikan tanah sebagai pilar terpenting kegiatan produksi semakin lama kian tidak
ramah dengan kebutuhan sektor pertanian. Rata-rata kepemilikan lahan rumah tangga
petani semakin menciut, bahkan kini di Jawa rata-rata kepemilikan lahan itu hanya
0,25 hektar. Penciutan kepemilikan lahan itu bisa bersumber dari pola warisan yang
membuat lahan terfragmentasi, infiltrasi sektor industri/jasa yang lapar lahan, dan
kebijakan pemerintah yang meninggalkan sektor pertanian.
Menurut BPS dan BPN (Badan Pertanahan Nasional), setiap lima tahun
konversi lahan pertanian untuk pemanfaatan lain (industri, jasa, permukiman)
mencapai 106.000 hektar. Akumulasi atas soal itu mengakibatkan produksi komoditas

pertanian merosot meski mungkin saja produktivitas per hektar mengalami kenaikan,
seperti komoditas beras dan jagung. Selanjutnya, serangan perubahan datang dari
kelembagaan hubungan kerja. Dulu, kelembagaan relasi kerja di sektor pertanian
mengandaikan pembagian risiko maupun nisbah ekonomi antarpelaku. Misalnya,

1

konsep maro atau mertelu antara pemilik lahan dan petani penggarap merupakan jalan
tengah antara kelangkaan modal dan risiko tinggi kegiatan produksi di sektor
pertanian.
Dengan desain kelembagaan semacam itu jika terjadi gagal panen, beban bisa
dibagi di antara pelaku. Sebaliknya, bila panen berhasil, masing-masing pihak akan
mendapat bagian. Masalahnya, kelembagaan hubungan kerja seperti itu sudah
ditinggalkan, di mana yang kini tersedia hanya hubungan antara pemilik lahan dan
penyewa (jika pemilik lahan tidak mengusahakan sendiri). Pada situasi ini, petani
tunalahan enggan menyewa karena biayanya amat mahal, sementara pemilik lahan
kurang berminat untuk mengolah tanah sendiri akibat insentif laba yang amat tipis.
Desain perubahan kelembagaan
Selain itu, salah satu penyebab penting kerawanan kegiatan produksi di sektor
pertanian adalah perubahan kelembagaan perkreditan. Kebijakan peningkatan akses

kredit yang dilakukan secara gencar oleh pemerintah sejak dekade 1980-an telah
menyebabkan penetrasi lembaga keuangan formal dan semiformal (bank, koperasi,
dan lain-lain) yang intensif di wilayah pedesaan. Kenyataannya, kebijakan itu
bukannya mendekatkan petani (kecil) kepada sumber dana, tetapi justru kian
menjauhkan. Lembaga keuangan formal itu tidak bisa dijangkau petani (justru ketika
dari segi fisik jarak di antara mereka amat dekat) karena persyaratan agunan.
Akibatnya, lembaga keuangan itu cuma dapat diakses petani skala besar. Celakanya,
petani kecil juga sulit mengambil kredit dari lembaga keuangan informal (rentenir)
karena keberadaannya sedikit demi sedikit tergerus oleh penetrasi lembaga keuangan
formal. Inilah titik yang amat mematikan daya hidup petani kecil.
Segitiga perubahan kelembagaan itu dengan jelas mendeskripsikan betapa
secara sistematis perubahan kelembagaan yang diintroduksi pemerintah menjadi
penyebab kemerosotan sektor pertanian. Dengan demikian, dari perspektif produksi,
perubahan kelembagaan itu akan menjadi sumbu peledak persoalan ketahanan pangan
di masa mendatang. Karena itu, secara hati-hati dan matang pemerintah kembali
diminta mendesain atau menggeser perubahan kelembagaan di wilayah pedesaan dan
sektor pertanian dengan mengandaikan derajat kemanfaatan yang lebih besar bagi
para pelaku, khususnya petani kecil. Sebagian isu perubahan kelembagaan itu sudah
dimengerti secara baik oleh pemerintah, yakni reforma agraria. Selain itu, pemerintah
harus terus bergerak dengan mengupayakan desain hubungan kerja dan akses kredit

yang lebih adil di antara pelaku di sektor pertanian. Tanpa kesadaran semacam ini, isu
ketahanan pangan hanya akan berhenti menjadi rintihan lirih.

2