Dari Massa Mengambang Ke Massa Partisipatif

1

Dari Massa Mengambang Ke Massa Partisipatif
Oleh Asep Purnama Bahtiar*
Jika negara memerlukan adanya rakyat, maka partai politik (parpol) juga
membutuhkan adanya dukungan massa. Tanpa massa, parpol sulit untuk bisa eksis dan
berperan dalam dunia politik. Bisa dikatakan mati-hidupnya sebuah parpol bukan hanya
ditentukan oleh kepiawaian elite politik yang menjadi pimpinan partai, tetapi juga
keberadaan massa dari partai yang bersangkutan turut berpengaruh.
Fungsi massa bagi parpol paling tidak bisa berperan dalam dua hal. Pertama,
sebagai basis legitimasi dan sumber pengabsahan yang riil bagi parpol. Hal ini secara
kuantitatif biasanya terlihat dari banyaknya massa yang masuk menjadi anggota dan
kader partai politik atau sebagai konstituen ketika pemilihan umum diselenggarakan
dengan memberikan suara dan hak pilihnya.
Kedua, menjadi sumber rekruitmen kader atau calon pimpinan parpol yang
berperan dalam proses regenerasi atau suksesi kepemimpinan. Bagi parpol yang
demokratis dan terbuka, fungsi ini lazimnya dikelola secara serius dan terprogram. Dari
sistem dan pola rekruitmen yang terbuka itu akan bisa melahirkan bakal-bakal pemimpin
yang kompetitif dan bermutu. Mau tidak mau, dalam sistem seperti ini aspek kualitatif,
kapabilitas, dan akseptabilitas akan sangat menonjol.
Dengan demikian, keberadaan dan fungsi massa bagi sebuah parpol tidak bisa

diabaikan keterkaitannya. Sekali lagi, parpol membutuhkan dukungan riil yang kuat dari

2

bawah, dan itu terdapat pada massa. Agenda selanjutnya, tinggal bagaimana mengelola
dan mempedulikan keberadaan massa tersebut?
Dalam percaturan politik di tanah air, tampaknya keberadaan massa kurang
mendapat perhatian yang layak dari parpol. Massa hanya dibutuhkan ketika menjelang
atau pada saat pemilihan umum berlangsung untuk mendulang suara sebanyakbanyaknya. Pada saat-saat seperti itu biasanya massa dielu-elukan dan dimanja
sedemikian rupa. Tetapi, sesudah pemilu usai, maka berakhir juga hubungan mesra
antara parpol dengan massa. Bisa dikatakan, massa itu ibarat “sapi pembajak” atau
“tukang dorong” mobil mogok partai. Massa hanya berperan atau dimanfaatkan (secara
manipulatif) ketika momen pemilihan umum saja, habis itu massa kembali menjadi
massa mengambang (floating mass).
Anehnya, di era --yang katanya-- reformasi ini pun massa mengambang masih
tetap ada, atau proyek pengambangan massa selalu terjadi. Ironis juga, apakah massa
mengambang itu merupakan hasil dari program kerja partai politik? Jadi, sepertinya
tidak ada bedanya antara zaman Orde Baru dengan zaman multipartai ini yang
meniscayakan parpol untuk semakin intens berperan bagi pendewasaan politik massa
dan elitenya.

Mungkin ada bedanya, meski hanya sedikit. Di zaman rezim Orde Baru, massa
mengambang diciptakan oleh pemerintah sebagai bagian dari rekayasa politiknya
melalui undang-undang dan peraturan resmi. Dulu, PPP dan PDI hanya boleh
menjalankan fungsi politiknya secara rill sampai ke tingkat kabupaten atau kotamadya;
serta secara semu di tingkat kecamatan dibentuk komisariat. Tetapi Golongan Karya

3

--yang sering tidak diakui oleh rezim penguasa sebagai partai politik-- bisa
mengembangkan pengaruh dan menjalankan programnya sampai ke tingkat desa dan ke
bawahnya melalui berbagai sarana birokrasi dan struktur pemerintahan.
Sekarang, massa mengambang secara tidak disadari justru diciptakan oleh parpol
sendiri. Dari aspek pendidikan politik dan kepentingan partai, tentu saja kenyataan
demikian tidak menguntungkan. Boleh jadi, massa mengambang model baru ini muncul
kembali karena putusnya komunikasi dan tidak ada program kerja parpol yang
melibatkan massa.
Berdasarkan kondisi seperti itu, maka ada baiknya jika partai politik kembali
memainkan fungsinya secara terencana dan berkelanjutan untuk membangun massa
partisipatif. Agenda seperti ini sekaligus menjadi manifestasi parpol sebagai media
komunikasi politik dan sarana sosialisasi politik. Melalui kedua fungsi tersebut, agregasi

dan artikulasi kepentingan bersama serta pembentukan sikap dan orientasi politik yang
matang dapat terwujud dalam massa partisipatif.
Status sebagai massa partisipatif jauh berbeda dengan yang namanya massa
mengambang. Keuntungan dari pembentukan massa partisipatif ini akan timbal balik
antara kepentingan parpol dan kepentingan massa. Lewat massa partisipatif, partai akan
bisa menjalankan komunikasi secara dialogis, karena massa akan selalu ikut terlibat
dalam agenda dan program kerja partai serta berfungsi juga untuk mengawasi jalannya
partai

politik

dalam

mekanisme

kontrol

yang

demokratis


dan

dapat

dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, hubungan dan kesan yang terbangun bukan

4

lagi berdasarkan emosi dan fanatisme buta, tetapi berpatokan pada akal sehat dan
kritisisme.
Bagi massa keuntungan serupa bisa diraih pula. Sebagai massa partisipatif, maka
sikap

dan artikulasi politiknya bisa disalurkan secara sehat dan dewasa. Massa

kemudian akan merasa diperlakukan secara manusiawi sebagai warga politik yang
berdaulat dan

dapat diandalkan. Dengan pembentukan massa partisipatif, maka


pendidikan politik untuk memberdayakan massa akan berlangsung dengan sendirinya.
Seperti itulah, dari massa mengambang ke massa partisipatif.[]

*Asep Purnama Bahtiar, Mahasiswa S2 Sosiologi UGM; Dosen FAI UMY.
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 16 2002