2001 Kumpulan Kliping KKR

(1)

kliping

ELSAM

KLIPING WACANA REKONSILIASI 2001

==========================================================================

Kompas, Senin, 22 Jan 2001 Halaman: 6 Penulis: son; p04 Ukuran: 2780

Forum Rektor Indonesia: Rekonsiliasi Konflik Mendesak Dilakukan

Semarang, Kompas Forum Rektor Indonesia (FRI) menilai rekonsiliasi konflik, untuk memperbaharui komitmen baik di lapisan atas maupun lapisan bawah sudah mendesak dilaksanakan, demi kepentingan bangsa dan negara. Ini harus segera dilakukan, supaya proses demokrasi di Indonesia tidak menjadi messy democracy (demokrasi yang kotor dan penuh carut marut). Demikian petikan Refleksi Akhir Tahun 2000 FRI yang diserahkan Ketua FRI Prof Ir Eko Budihardjo MSc kepada Presiden Abdurrahman Wahid, Jumat (19/1) pada Acara Diskusi "Tindak Lanjut Quo Vadis Reformasi Indonesia" di Wisma Perdamaian Semarang. Refleksi tersebut merupakan hasil Seminar Nasional "Quo Vadis Reformasi Indonesia" yang dilaksanakan FRI bekerja sama Lembaga Legislatif Mahasiswa Indonesia (LLMI) akhir tahun 2000. Forum Rektor juga mengimbau semua pihak untuk mengedepankan kedewasaan, kearifan dan kebijaksanaan (wisdom) dengan hati nurani, dalam setiap pengambilan keputusan dan tindakan. Selain itu, sikap yang beradab, santun dan manusiawi perlu dibudayakan, dengan kesadaran yang tinggi atas kemajemukan. "Para tokoh puncak kekuasaan agar mampu membatasi dan menahan diri dalam melontarkan pernyataan, dengan pemilihan yang jelas antara public dengan private domain sesuai dengan kewenangan masing-masing," ujar Eko. Setiap pihak hendaknya menyadari, memahami dan mengemban tugas masing-masing berdasarkan aturan hukum (rule of law) yang berlaku, dan bukan hukum penguasa (law of the ruler). Ini penting untuk menghindari pertarungan kekuasaan dan perseteruan yang tidak perlu terjadi, hanya karena dilanggarnya batas kewenangan. "Pembenahan sistem hukum dan penegakan supremasi hukum, supaya diprioritaskan, termasuk penegakkan wibawa aparat hukum," katanya. FRI juga meminta agar upaya untuk mencegah disintegrasi bangsa supaya dilakukan dengan konstisten dan berkesinambungan, melalui pendekatan budaya dan kemanusiaan. Menyangkut otonomi daerah, FRI menilai perlu ada kejelasan aturan mengenai pelaksanaan otonomi daerah, terutama sosialisasi kepada pihak masyarakat dan pihak terkait, untuk menghindari penafsiran sempit yang bisa membawa benih perpecahan antar daerah. Pada bagian akhir, FRI juga mengharapkan kampus sebagai sumber kekuatan moral dan intelektual, serta pusat budaya, agar lebih gencar berkiprah. "Jangan hanya sekadar berkutat seputar teori, gagasan dan ide, tetapi harus ikut berkarya dan memperbaiki keadaan bangsa dan negara," ujar Eko. Warga kampus hendaknya ikut berperan aktif dalam pembentukkan good governance dan clean government, yang diharapkan rakyat Indonesia. (son/p04)


(2)

kliping

ELSAM

KOMPAS - Rabu, 24 Jan 2001 Halaman: 4 Penulis: Musakabe, Herman Ukuran: 8310

2001, Tahun Rekonsiliasi atau Disintegrasi?

Oleh Herman Musakabe

BANYAK perkiraan dan ramalan tentang apa yang akan terjadi di tahun 2001 sebagai awal abad ke-21. Bangsa Indonesia memasuki tahun 2001 dengan penuh kecemasan karena krisis multidimensi-ekonomi, politik, hukum, kepercayaan dan moral-masih melanda, ditambah bahaya disintegrasi bangsa yang terjadi di Aceh dan Irian Jaya. Selain itu, tidak boleh diabaikan, perubahan yang terjadi dari abad ke-20 sebagai gambaran masa lalu, ke abad ke-21 sebagai masa depan umat manusia yang akan mempengaruhi ketahanan organisasi, baik organisasi bisnis maupun pemerintahan dan negara. Dalam bidang kepemimpinan akan terjadi perubahan, dari kepemimpinan dari atas (leadership from the top) menjadi kepemimpinan semua pihak (leadership from everybody). Dari kebiasaan menunggu perintah dan "mohon petunjuk" pada masa lalu, para pemimpin dituntut memiliki keberanian dan mengambil keputusan sesuai wewenang dan tanggung jawabnya. Pelaksanaan otonomi daerah yang dimulai awal 2001 merupakan ujian bagi para pemimpin di daerah yang pada masa lalu sangat didominasi pemerintah pusat. Dalam bidang kondisi sosial, kita menghadapi perubahan dari stabilitas dan kondisi mudah diramalkan (stability, predictability) menjadi perubahan tidak menentu (discontinous change) serta dari kebutuhan atas kepastian (need for certainty) menjadi toleransi terhadap ketidakpastian (tolerance of ambignity). Peristiwa kerusuhan di Maluku dan Maluku Utara, tuntutan Aceh dan Papua (Irian Jaya) untuk merdeka, ketegangan politik antara Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan DPR, serta rangkaian peledakkan bom yang terjadi di tahun 2000 merupakan peringatan, hal serupa bisa terjadi lagi pada tahun 2001 ini. Dalam bidang usaha/bisnis kita menghadapi perubahan dari kemandirian usaha (corporate independence) menjadi interdependensi usaha (corporate interdependence) serta persaingan untuk merebut pasar hari ini (competing for today's market) menjadi menciptakan pasar masa depan (creating tommorow market). Kalau dunia usaha tidak

mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi, maka dunia usaha kita akan makin terpuruk ditambah pengaruh negatif instabilitas politik dan keamanan. Terlepas dari semua perubahan yang akan terjadi, faktor yang paling mengkhawatirkan adalah ketegangan hubungan antara eksekutif dan legislatif, atau lebih khusus lagi ketegangan politik antara Presiden Gus Dur dengan DPR yang akhir-akhir ini telah menjurus kepada perseteruan politik. Apakah tahun 2001 akan menjadi tahun rekonsiliasi atau disintegrasi? Rekonsiliasi atau disintegrasi? Perbedaan pendapat antara eksekutif dan legislatif yang seharusnya merupakan hal biasa dalam alam demokrasi, ternyata tidak dapat diselesaikan dengan baik dan telah berkembang menjadi ketegangan politik yang menjurus pada perseteruan. Masing-masing pihak, baik Presiden Abdurrahman Wahid maupun para anggota DPR yang berseberangan pendapat, memiliki argumentasi yang melandasi pendapatnya. Selama tahun 2000 masyarakat dapat mengikuti beberapa peristiwa politik yang tidak dapat diselesaikan dengan tuntas dan menyebabkan hubungan antara Presiden dan DPR makin tidak harmonis. Ketidakpuasan DPR dimulai sejak penjelasan Presiden tentang

pembubaran Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, disusul kasus Buloggate dan Bruneigate, pemberhentian dua menteri Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi, gagasan pencabutan Ketetapan (Tap) MPRS Nomor XXV/MPRS/ 1966, kasus buron Tommy Soeharto dan penolakan Presiden terhadap dua calon Ketua Mahkamah Agung yang diajukan DPR. Sebaliknya Presiden menganggap, krisis politik telah berakhir dan menuding segelintir anggota DPR berniat menjatuhkannya dengan empat kelompok ekstrem. Melalui Ketua DPR Akbar Tandjung, Presiden mendesak DPR untuk meminta maaf atas perlakuan anggotanya kepadanya pada rapat konsultasi yang lalu. Desakan itu disusul ancaman Presiden untuk menghentikan rapat konsultasi dengan DPR. Perseteruan politik antara Presiden dan DPR berimbas pada lapisan bawah dengan pengerahan massa pendukung dan demo kontra Presiden yang bisa memperuncing situasi ke arah konflik massa lebih luas. Sementara itu kasus peledakan bom pada malam Natal lalu di beberapa kota dan penemuan granat di rel kereta api, mengingatkan kita, terorisme dan sabotase telah menjadi modus operandi baru untuk menciptakan instabilitas di Indonesia. Selain itu otonomi daerah yang mulai diberlakukan awal tahun 2001, merupakan suatu taruhan bagi kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid di tengah saling tuding apakah pemerintah pusat atau daerah belum siap melaksanakan otonomi


(3)

kliping

ELSAM

daerah. Apabila otonomi daerah gagal, misalnya, terjadi kekacauan atau stagnasi dalam pemerintahan di daerah, maka hal itu bisa menjadi beban baru bagi Presiden karena dianggap gagal melaksanakan Tap MPR No IV/1999 dan setiap daerah akan membuat peraturan daerahnya sendiri-sendiri yang kemungkinan akan menimbulkan konflik baru di daerah dan situasi chaos yang meluas. Solusi Solusi untuk mengatasi agar situasi tidak memburuk adalah dengan mengadakan rekonsiliasi yaitu upaya perdamaian dan perukunan kembali antara Presiden, DPR, dan elite politik. Namun, rekonsiliasi ini akan menghadapi hambatan terus karena beberapa faktor. Pertama, institusi atau lembaga mana yang bisa menjadi mediator untuk

terlaksananya rekonsiliasi itu? MPR sebagai lembaga tertinggi negara memiliki hambatan psikologis, karena Ketua MPR Amien Rais selama ini sering berseberangan pendapat dengan Presiden dan anggota DPR juga anggota MPR sehingga tidak dalam posisi netral. Mahkamah Agung (MA) yang seharusnya bisa menjadi mediator dengan mengeluarkan fatwa hukum dalam mengatasi sengketa pendapat, sampai saat ini belum memiliki Ketua. Lembaga lain seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan DPA atau pribadi seperti Prof Nurcholis Madjid merupakan alternatif mediator rekonsiliasi asal diberi kesempatan dan diterima kedua pihak. Masalahnya, siapa yang harus memulai atau berinisiatif untuk rekonsiliasi ini? Kedua, untuk mengadakan suatu rekonsiliasi yang efektif, kedua pihak-eksekutif maupun legislatif-harus dapat

meninggalkan (untuk sementara) prinsip yang berbeda untuk suatu kepentingan yang lebih besar, yaitu menghindari perpecahan atau disintegrasi bangsa. Bila masing-masing pihak tetap berpegang pada prinsip kebenaran pendapatnya, maka rekonsiliasi tidak akan menghasilkan apa-apa. Apabila rekonsiliasi gagal, maka kemungkinan dapat terjadi dua skenario, yaitu DPR mengajukan untuk menggelar Sidang Istimewa (SI) kepada MPR atau terjadi pengerahan massa pro dan kontra Presiden yang akan saling berbenturan secara fisik. Kinerja pemerintahan yang buruk, kasus Buloggate dan Bruneigate atau kemungkinan otonomi daerah yang gagal, dapat dijadikan alasan DPR bahwa Presiden melanggar Tap MPR atau UUD.

Sedangkan kemungkinan Presiden mundur atas kemauan sendiri sudah ditepis Gus Dur dengan pernyataan akan bertahan sampai tahun 2004. Bentrok fisik antara kelompok pro dan kontra Presiden Gus Dur, dengan atau tanpa SI MPR, akan memberi peluang bagi pihak ketiga yang menggunakan aksi teror dan sabotase untuk mencapai tujuannya yaitu disintegrasi bangsa dan skenario politik yang lebih besar. Apabila disintegrasi bangsa terjadi, maka pada suatu waktu anak cucu kita akan bercerita, "Dulu pernah ada suatu bangsa besar bernama Indonesia dan Negara Republik Indonesia yang luas wilayahnya dari Sabang sampai Merauke dan dari Sangir Talaud sampai pulau Rote. Tetapi, kini ia sudah pecah berkeping-keping menjadi negara-negara kecil yang hidup enggan mati tak mau. Pecahnya bangsa dan negara besar itu adalah karena gagal dalam menjalankan demokrasi dan reformasi. Para pemimpinnya tidak ada yang mau mengalah dan lebih mementingkan egoisme dan egosentrisme pribadi dan golongan daripada kepentingan nasional yang lebih luas". Semoga cerita rekaan itu tidak menjadi kenyataan. * Herman Musakabe, Mayor Jenderal Purnawirawan, Gubernur Nusa Tenggara Timur 1993-1998.


(4)

kliping

ELSAM

KOMPAS - Senin, 29 Jan 2001 Halaman: 7 Penulis: - Ukuran: 1934

PETINGGI INDONESIA TERLALU PEMAAF BAGI PELANGGAR

HAM

Semarang, Antara Rektor Universitas Diponego-ro (Undip) Prof Ir Eko Budihardjo MSc menilai, dalam menghadapi kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) selama ini petinggi Indonesia sering mengambil sikap melupakan dan memaafkan (forget and forgive). Dengan sikap seperti itu, katanya ketika memberi sambutan wisuda mahasiswa Undip di Semarang hari Sabtu (27/1), maka tidak ada pengadilan bagi pelanggar HAM dan bahkan dilupakan begitu saja. Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) itu berpendapat, seharusnya pemerintah merintis jalan bagi upaya penyelesaian pelanggaran HAM dengan pendekatan "tidak melupakan" dan "tidak memaafkan" terlebih dahulu. Dengan sikap tersebut berarti pemerintah mengambil jalan mengadili para pelanggar HAM, langkah berikut adalah tidak pernah melupakan tetapi memaafkan. "Jadi, pelanggar HAM tetap diadili namun bisa diberi ampun," katanya. Langkah lain yang ditawarkan Eko, pemerintah bisa melupakan tetapi tidak pernah memaafkan pelanggar HAM. Hal ini sama saja pelanggar HAM tidak pernah diadili tetapi mereka dikutuk untuk selamanya. Namun, mestinya para pelanggar HAM, yang berat atau ringan ancaman hukumannya, tersebut diadili lebih dahulu setelah itu baru dimaafkan. Menurut Eko, langkah penyelesaian bagi pelanggar HAM tersebut bisa ditempuh sebagai salah satu tahap rekonsiliasi nasional. Dalam kaitan ini FRI berjanji akan mengampanyekan gagasan tersebut. "Berbagai persoalan yang sekarang muncul, saya kira muaranya adalah perasaan ketidakadilan yang pernah dialami sebagian masyarakat di masa lalu," katanya. Ia menyebutkan kasus pelanggaran HAM di Aceh, peristiwa Tanjung Priok, Maluku, dan pelanggaran HAM lain yang merupakan kejadian yang tidak bisa dilupakan begitu saja dan tidak bisa pula pelakunya dibiarkan tanpa proses peradilan. *


(5)

kliping

ELSAM

KOMPAS - Selasa, 13 Feb 2001 Halaman: 6 Penulis: bur Ukuran: 2177

Sjamsuddin Haris: Perlu Rekonsiliasi

Jakarta, Kompas Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sjamsuddin Haris berpendapat, masyarakat dan elite politik sudah terjebak pada lingkaran setan masalah yang memang tidak pernah disepakati sejak awal, yaitu tidak punya agenda reformasi yang jelas. Oleh karena itu, diperlukan upaya rekonsiliasi untuk membahas apakah akan dibuat garis yang tegas antara masa lalu dan masa depan atau tidak. "Yang punya agenda itu mahasiswa. Di sisi lain segenap elite politik kita tidak pernah benar-benar sepakat apakah agenda yang disodorkan mahasiswa menjadi acuan atau tidak. Ini penting sebab ada hubungannya dengan di mana posisi Partai Golkar di situ. Sebab kalau tidak, selamanya tidak jelas," katanya. Sjamsuddin mengatakan sebetulnya sekarang tidak jelas siapa yang punya referensi moral untuk melanjutkan reformasi. Padahal itu bisa diklasifikasi. Namun, dilemanya adalah bahwa elite politik yang bukan berasal dari Partai Golkar juga terjebak menjadikan reformasi sebagai momentum sirkulasi

kesempatan untuk berkuasa. "Dengan demikian, siapa pun apakah dari PAN, PKB, PDI-P, atau partai yang bukan Golkar lain, terjebak pada oportunisme politik, seperti yang dulu dilakukan Golkar. Akibatnya lama-kelamaan mereka tidak memiliki hak moral untuk mengklaim kelompoknya sebagai kelompok yang reformis," katanya. Dalam hubungan dengan kasus yang menyangkut Presiden, kata dia, sebetulnya paling pokok adalah semacam klarifikasi, pada level apa atau sejauh mana tingkat keterlibatan Presiden dalam kasus dana Yayasan Bina Sejahtera Badan Urusan Logistik (Yanatera Bulog) dan kasus dana bantuan Sultan Brunei. "Kalau beliau menganggap tidak bersalah, mungkin juga butuh penjelasan, tidak bersalahnya di mana," ujarnya. Meski demikian, Sjamsuddin melihat masih ada jalan keluar untuk mengatasi campur aduknya masalah ini. Caranya dengan mewujudkan apa yang tertunda selama ini yaitu upaya rekonsiliasi. Dalam konteks rekonsiliasi itu dibicarakan apakah memang mesti dibuat garis yang tegas antara masa lalu dan masa depan. (bur)


(6)

kliping

ELSAM

KOMPAS - Minggu, 18 Feb 2001 Halaman: 11 Penulis: p27 Ukuran: 3956

Mahfud Tawarkan Dua Tahap Rekonsiliasi di Tingkat Elite

Yogyakarta, Kompas - Masyarakat dan elite politik perlu melakukan dua tahap rekonsiliasi untuk membenahi negara secara bersama-sama. Masyarakat hendaknya tidak hanya menyelesaikan masalah dengan risiko hitam atau putih, turun atau terusnya Presiden Abdurrahman Wahid. Demikian Menteri Pertahanan Mahfud MD kepada wartawan di Yogyakarta, Sabtu (17/2). Pendapat Mahfud ini terkait dengan sejumlah pemberitaan tentang situasi Indonesia yang sampai kini diliputi suasana pro dan kontra Presiden Abdurrahman Wahid. Menurut Mahfud, situasi itu sudah sangat serius. Artinya, kelompok yang kontra atau anti Presiden sudah sangat kuat. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan yang muncul setiap hari. "Sebab risikonya, kalau Gus Dur turun, saya kira akan menjadi masalah besar juga melihat reaksi yang muncul dari pendukung Gus Dur. Begitu pula sebaliknya, jika Gus Dur terus. Semua ini sama-sama berat masalahnya," kata Mahfud. Rekonsiliasi dan kompromi Karena itulah, kata Mahfud, diperlukan rekonsiliasi dengan pola kompromi. Sebab, akan sangat berat bagi bangsa ini kalau hanya memilih salah satu, terus maju atau mundur. "Rekonsiliasi pola kompromi itu adalah dengan redistribusi kekuasaan. Caranya adalah dengan dikocok ulang, diberikan kepada kekuatan-kekuatan politik yang bisa menjamin stabilitas," jelasnya. Ia mengatakan, paling tidak semua ini terletak di tangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Golongan Karya (Golkar) yang menguasai parlemen sebesar 62 persen. Kemudian, kalau mau Fraksi Reformasi dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjadi partai oposisi sekalian. Jadi jelas, format politik itu ada penguasa, koalisi penguasa, dan oposisi. Bahkan kalau perlu, lanjutnya, dalam rangka rekonsiliasi itu PAN dan PPP masuk dalam kabinet. "Kalau kedua partai ini maunya oposisi, selalu membuat garis keras, ya tidak apa-apa. Itu bagus untuk pembangunan politik. Hal ini mungkin bisa menyelamatkan muka kedua-duanya," katanya. "Saya melihat pada para elite inilah kuncinya. Kalau misalnya Pak Amien Rais, Gus Dur, Mbak Mega, dan Akbar Tandjung ketemu, saya sangat yakin (kelompok) di bawah akan selesai. Oleh sebab itu, perlu rekonsiliasi di antara mereka," tegasnya. Rekonsiliasi tahap kedua, jelas Mahfud, adalah rekonsiliasi antara pemerintah dengan Orde Baru. Menurut Mahfud, dari sudut politik maupun sudut teknis hukum, bangsa ini tidak mungkin menyelesaikan kasus-kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) Orde Baru. Ia mengajak masyarakat melihat dari sudut politiknya. Pelaku KKN zaman Orde Baru, sampai sekarang ini jaringannya masih banyak di tubuh pemerintah. Paling banyak di aparat-aparat penegak hukum, sehingga mereka selalu saja menemukan cara untuk menyembunyikan, bagaimana cara untuk menghambat pejabat Orde Baru itu ke pengadilan. Akibatnya, lanjut Mahfud, selalu saja dikatakan alasan formal bahwa kasus-kasus tersebut belum cukup bukti. "Sekarang hal ini menjadi masalah besar, karena Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi itu bisa menyelamatkan pelaku-pelaku KKN zaman Orde Baru," jelasnya. Menurut Mahfud, undang-undang ini memang memuat ancaman yang berat bagi pelaku KKN. Bahkan, katanya, lebih berat dari Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971. Tetapi di UU itu disebutkan bahwa dengan berlakunya UU Nomor 31 Tahun 1999, maka UU Nomor 3 Tahun 1971 menjadi tidak berlaku lagi. "Akibatnya, mereka yang melakukan KKN selama Orde Baru sebelum tahun 1999 itu tidak ada hukumnya. Karena UU Nomor 3 Tahun 1971 itu sudah dihapus," katanya. Oleh sebab itu, proses pembentukan komisi rekonsiliasi dan kebenaran sebagaimana dicantumkan di dalam Undang-Undang Pengadilan HAM perlu segera direalisasikan. (p27)


(7)

kliping

ELSAM

KOMPAS - Selasa, 20 Feb 2001 Halaman: 7 Penulis: ryi Ukuran: 3810

Pilihan Terbaik: Rekonsiliasi untuk Atasi Kemelut Bangsa

Jakarta, Kompas Di tengah carut-marut kondisi bangsa Indonesia yang serba krisis dan kritis, tidak ada pilihan yang lebih baik selain kita berupaya bersama menggalang energi untuk melakukan rekonsiliasi dan mempertegas kembali komitmen bersama yakni mempertahankan bangsa dan negara. Para pemimpin nasional harus segera duduk bersama untuk berunding, memikirkan bersama-sama pula tentang hal-hal mana saja yang secara feasible bisa dilakukan. Pandangan itu disampaikan tokoh pers Jakob Oetama di depan anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang mencari masukan untuk masalah "Upaya Menyelamatkan Bangsa dan Negara" di Kantor DPA Jakarta, Senin (19/2) kemarin. Selain Jakob juga memberikan masukan mantan Menko Ekuin Kwik Kian Gie, anggota DPR Ade Komarudin dan Alvin Lie, serta ahli bedah saraf RSUD Dr Soetomo, Surabaya, Prof Dr Umar Kasan. "Apakah itu akan meniru proses rekonsiliasi model Afrika Selatan atau lainnya, itulah yang harus kita pikirkan. Yang pasti, di antara mereka itu harus ada terlebih dahulu saling pengertian disertai penegasan kembali atas komitmen bersama untuk tetap mempertahankan negara dan bangsa Indonesia ini," ungkap Jakob Oetama. Desakan itu dikemukakan, demikian Jakob, karena sekarang ini negara Indonesia-kalau bisa diibaratkan sebuah rumah bagi bangsa Indonesia-tengah dilanda kebakaran hebat. "Marilah pertama-tama kita segera bertindak yakni memadamkan bersama-sama rumah bangsa kita yang tengah terbakar ini," ungkap Jakob menje-laskan raison d'etre (alasan adanya) pemikiran tentang pentingnya para pemimpin nasional itu untuk mau duduk bersama mencari solusi damai serta memperbarui komitmen bersama yakni membangun kembali keindonesiaan kita. Rekonsiliasi, menurut Jakob, harus tetap dilakukan sesuai dengan guidance yang sebagai ke-rangka bersama telah kita setujui bersama. "Apakah itu dilakukan berdasarkan asas penegakan hukum, demi terciptanya keadilan sosial, terselenggara-nya praktik perekonomian sosial demi keadilan bersama, pengakuan atas fakta pluralisme, dan tentunya juga demi tetap tegaknya persatuan bangsa dan negara kita," tambahnya. Sementara mantan Menko Ekuin Kwik Kian Gie berpendapat, ide soal

rekonsiliasi itu perlu dikumandangkan lagi. Namun, kalau harus mengikuti gaya rekonsiliasi model Afrika Selatan dengan prinsip forgive and forget-nya (mengampuni para pelaku kejahatan dan melupakan sejarah hitam masa lalu) itu, demikian argumen Kwik, apakah kita bisa meyakinkan masyarakat bahwa hal itu bisa diterima. "Yakni, rekonsiliasi dengan se-jumlah kompromi?" tanya Kwik. Perekat nasional Situasi carut-marut bangsa dan negara Indoesia saat ini, kata Ade Komarudin, karena seka-rang ini bangsa kita tidak punya konsensus baru yang sebagai perekat nasional bisa menyatukan visi dan persepsi semua elemen masyarakat. Reformasi pun ternyata juga belum sampai mengarah ke situ. Faktor perekat bangsa itu kini bisa saja berupa prinsip menghormati HAM, penegakan supremasi hukum dan keadilan sosial, serta ideologi pembangunan (governmentalism). Menyinggung kinerja Presiden Abdurrahmah Wahid, Ade berpendapat Presiden tidak sungguh-sungguh menjalankan agenda reformasi secara benar. Terbitnya memorandum DPR semakin menjadi jelas Presiden sebenarnya telah kehilangan legitimasi politik. Melihat kondisi riil politik multipartai sekarang ini, tidak ada jalan lain kecuali dibentuk pemerintahan baru dengan kabinet yang sifatnya quasi- presidensiil. Sementara anggota DPR Alvin Lie dari Fraksi Reformasi berpendapat, demi baiknya bangsa dan negara ini sudah selayaknya bila Presiden Abdurrahman Wahid segera mengundurkan diri. (ryi)


(8)

kliping

ELSAM

KOMPAS - Sabtu, 24 Feb 2001 Halaman: 8 Penulis: gun Ukuran: 1837

Menko Polsoskam: Rekonsiliasi Harus Diawali Para Elite Politik

Jakarta, Kompas Menko Politik Sosial dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono, mengatakan

rekonsiliasi nasional harus diawali dan diprakarsai para elite politik. Rekonsiliasi nasional, yang merupakan salah satu amanat MPR, sekarang tinggal dibicarakan secara baik-baik dengan mengajak semua elemen masyarakat. Yudhoyono mengatakan hal itu menjawab pertanyaan pers setelah sidang kabinet di Bina Graha Jakarta, Kamis (22/2). Menurut Menko Polsoskam, upaya untuk melakukan rekonsiliasi nasional harus diletakkan dalam kerangka dan konteks yang benar. "Jangan parsial, situasional dan jangan bersifat ad hoc (sementara)," katanya. Persoalan ini, lanjut Yudhoyono, sudah pernah disampaikan dalam sebuah sidang kabinet beberapa waktu lalu karena hal ini merupakan amanah MPR yang mempunyai kerangka waktu sampai tahun 2004. Untuk itu harus lebih dimatangkan lebih lanjut. Perlunya mengajak semua elemen masyarakat dalam membicarakan rekonsiliasi nasional, kata Menko Polsoskam, untuk membahas tentang model rekonsiliasi seperti apa yang diinginkan dan dengan tahapan seperti apa. "Kira-kira bagaimana proses atau kerangka waktu yang hendak kita tempuh untuk itu," tambahnya. Dijelaskan oleh Menko Polsoskam, banyak orang mengatakan model rekonsiliasi nasional itu bisa mengikuti model seperti di Afrika Selatan, Kamboja atau seperti reunifikasi Jerman Barat dan Jerman Timur. "Bagaimana

pascakonflik pihak-pihak yang berseberangan atau berhadapan melaksanakan rekonsiliasi nasional. Itu sangat diperlancar apabila di antara elite sendiri sudah membangun suatu komitmen dan kesadaran dan apalagi konsensus atas desain, kerangka dan model rekonsiliasi itu," kata Menko Polsoskam. (gun)


(9)

kliping

ELSAM

KOMPAS - Senin, 26 Feb 2001 Halaman: 19 Penulis: sig; ans Ukuran: 4281

Menko Polsoskam: Proses Rekonsiliasi Tak Boleh Dicampuri Pihak

Luar

Kuta, Kompas Proses rekonsiliasi antara warga Timor Timur (Timtim) harus terus dibahas dan dikembangkan antara mereka sendiri, terutama antara pro-integrasi Uni Timor Aswain (Untas) dan

prokemerdekaan CNRT yang kini menguasai Timor Leste. "Hanya Untas dan CNRT yang berhak berbicara mengenai jalannya rekonsiliasi, mau apa, bagaimana tahapannya, perkara apa yang disetujui, apa yang perlu dikonsensuskan. Tidak boleh ada pihak luar yang mencampuri, entah itu Indonesia, Australia, Portugal, bahkan PBB yang diwakili UNTAET (Pemerintahan Transisi Perserikatan Bangsa- Bangsa di Timtim-Red), karena mereka yang mengetahui masa depan Timor Timur," ungkap Menteri Koordinator Politik, Sosial dan Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono seusai perundingan tertutup dengan Untas di Kuta, Sabtu (24/2). Proses rekonsiliasi, lanjutnya, dapat dikatakan sebagai proses politik ke arah masa depan dalam konteks nation building dan state building. Pemerintah Indonesia akan mendorong dan memberikan fasilitas bagi berlangsungnya proses rekonsiliasi. Pertemuan tahap kedua antara Untas dan CNRT (Dewan Pertahanan Nasional Rakyat Timtim) akan dilakukan April mendatang. Indonesia berharap tempat itu kondusif sehingga pelaksanaan pertemuan dapat berlangsung tanpa tekanan dan jaminan keamanan yang baik. "Sampai sekarang masih belum dapat dipastikan tempat pertemuan itu, jika dilakukan di Indonesia, kita akan jamin keamanan untuk seluruh peserta. Kalaupun di luar Indonesia, misalnya di Timor Timor, hal yang sama harus dapat dilakukan untuk anggota Untas," katanya.

Menyinggung soal pemulangan pengungsi Timtim di Nusa Tenggara Timur (NTT), Pemerintah Indonesia tidak akan bersikap hitam putih, tetapi akan menghormati hak asasi pengungsi. "Jika dalam pendataan ulang pengungsi memilih tetap tinggal di Indonesia, pemerintah siap melakukan pemukiman kembali secara manusiawi dan jaminan sosial yang lebih baik," katanya. Namun, dalam kesempatan terpisah mantan Gubernur Timtim Jose Abilio Soares di Kuta, Bali, menyatakan pesimis rekonsiliasi dapat terwujud. Menurut dia, perundingan rekonsiliasi April mendatang sulit mendapatkan hasil yang baik karena masih banyak pihak yang melakukan tekanan. "Rekonsiliasi seharusnya dilakukan sebelum proses penentuan pendapat dilaksanakan karena tidak semua masyarakat Timtim setuju penentuan pendapat yang

mempertajam perang saudara," katanya. Dikatakan, terwujudnya rekonsiliasi yang kini tengah diupayakan Pemerintah Indonesia akan sulit tercapai mengingat masyarakat Timtim sudah mengalami trauma

berkepanjangan dalam setiap proses penyelesaian konflik yang senantiasa diwarnai pertumpahan darah. Siap mendampingi Dari Kupang dilaporkan, dukungan tokoh pengungsi atau mantan komandan milisi Timtim terhadap tim bersama Pemerintah RI, UNTAET dan pihak lainnya dalam upaya pemulangan pengungsi, tidak hanya sebatas pernyataan. Mereka juga siap aktif melibatkan diri turun ke kamp bersama tim tersebut. "Kehadiran tim bersama menangani pemulangan pengungsi sudah ditunggu dan malah diperjuangkan sejak lama. Kalau dilibatkan, kami siap membantu sepenuhnya bahkan siap terlibat aktif hingga tempat penampungan guna meyakinkan pengungsi," tegas Cancio Lopez de Carvalho SH, di Kupang, Sabtu lalu. Pernyataan senada dilontarkan Nemecio Lopez, juga mantan komandan milisi asal eks Kabupaten Ainaro (Timtim). "Saya optimis upaya pemulangan pengungsi akan mencapai hasil maksimal jika ditangani tim bersama seperti itu," tuturnya. Untuk meyakinkan dukungannya, Carvalho menantang tim bersama itu mendatangi dulu sejumlah tempat penampungan yang menjadi basis dukungan tokoh pengungsi ini. Pengungsi dimaksud tersebar di sekitar Kota Atambua dan Betun di Kabupaten Belu, kabupaten yang berbatasan langsung dengan wilayah bagian barat Timtim. "Kalau diajak, saya siap mendampingi tim bersama itu," kata Carvalho. Mantan komandan milisi ini sejak tahun lalu sering membantu wartawan asing yang melakukan peliputan hingga tempat penampungan yang 'kurang bersahabat'. (sig/ans)


(10)

kliping

ELSAM

KOMPAS - Jumat, 09 Mar 2001 Halaman: 1 Penulis: tra Ukuran: 6304

Islah Kasus priok Bisa Jadi Model Penyelesaian

Jakarta, Kompas Islah (perdamaian) yang dilakukan korban Tragedi Tanjung Priok dengan mantan Panglima Daerah Militer (Kodam) Jaya Jenderal (Purn) Try Sutrisno, dan aparat lainnya, dapat menjadi model penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu, sepanjang dilakukan secara tulus dan tak ada paksaan. Akan tetapi, islah itu harus dikukuhkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan disertai dengan pengungkapan kebenaran. Tanpa pengakuan dari KKR, islah tidak memiliki efek publik dan kekuatan yuridis untuk menghentikan proses hukum yang dilakukan kejaksaan. Demikian dikemukakan Ketua Yayasan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Abdul Hakim Garuda Nusantara kepada Kompas hari Kamis (8/3). "Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM juga mengakui kemungkinan menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu tidak melalui pengadilan, tetapi lewat KKR. Namun, sampai sekarang kita belum mempunyai UU KKR," jelasnya. Sementara Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Hendardi menandaskan, islah yang dilakukan keluarga korban Tragedi Tanjung Priok tak meniadakan hak publik untuk menuntut pengungkapan kasus itu melalui pengadilan. "Korban atau keluarganya bisa saja memaafkan dan berdamai dengan pelaku pelanggaran HAM. Tetapi, hak kolektif masyarakat untuk memperoleh kebenaran dari kasus itu tidak bisa diabaikan begitu saja," tandasnya. Senada, staf ahli Institute for Democracy and Human Rights The Habibie Center Rudi M Rizki LLM mempertanyakan, apakah islah yang dilakukan Try Sutrisno serta korban Tragedi Tanjung Priok itu sudah disetujui seluruh korban dan keluarganya. Jika belum, korban atau keluarganya yang keberatan tetap bisa menuntut keadilan melalui Pengadilan HAM. Apalagi, islah bukan penyelesaian pelanggaran HAM yang diakui hukum positif maupun hukum internasional. Bahkan, islah bisa dilihat sebagai upaya menghidupkan lagi impunity. "Dengan islah itu kan, tertuduh tak perlu diadili. Padahal, sesuai dengan hukum internasional, pelaku pelanggaran HAM harus diselidiki dan diadili. Pelanggaran HAM adalah tanggung jawab pribadi. Karena itu, hati-hati dengan islah. Kalau islah itu dalam kerangka KKR, ya, tidak soal. Tetapi, ini harus diatur lebih dahulu," tandas pengajar Hukum Internasional dan HAM pada Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung tersebut. Efek publik Abdul Hakim menuturkan, Pasal 47 UU Pengadilan HAM memungkinkan

penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di masa lalu melalui KKR. Akan tetapi, KKR belum terbentuk. Draf RUU KKR pun saat ini belum selesai dan rencananya baru akan diserahkan kepada DPR bulan depan. Dalam draf RUU KKR, penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui islah memang

dimungkinkan. "Draf RUU KKR antara lain menyebutkan, dalam hal antara pelaku dan korban pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu telah saling memaafkan dan melakukan perdamaian, maka KKR wajib memberikan rekomendasi pemberian amnesti kepada pelaku. Pernyataan perdamaian itu wajib dituangkan dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani kedua belah pihak dan diketahui Ketua Komisi," papar Wakil Ketua Tim Penyusun Draf RUU KKR tersebut. Diungkapkan Abdul Hakim, karena islah antara Try Sutrisno dan korban Tragedi Tanjung Priok belum diketahui KKR-sebab komisi itu belum terbentuk-maka hal itu tidak mempunyai kekuatan yuridis maupun efek publik. Jika sudah ada KKR, dapat saja

direkomendasikan pelaku pelanggaran HAM mendapatkan amnesti dan tidak perlu diadili. Akan tetapi, karena belum ada KKR, jaksa tetap harus melanjutkan penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku Tragedi Tanjung Priok. "Islah itu sekarang masih dalam situasi yang rawan. Kejaksaan masih bisa menuntut dan korban Tragedi Tanjung Priok lain pun tetap terbuka peluangnya menuntut keadilan. Dalam draf RUU KKR, islah atau perdamaian itu wajib dilaporkan. Kalau memang KKR melihat tak ada paksaan dan tulus, islah tersebut dapat diterima dan pelakunya direkomendasikan untuk diampuni. Korban dan keluarganya juga dapat kompensasi dari negara," papar Abdul Hakim. Diingatkan Abdul Hakim, islah yang dapat diterima KKR adalah yang disertai dengan pengungkapan kebenaran. Artinya, harus ada pengungkapan siapa yang jadi pelaku dan penanggung jawab pelanggaran HAM tersebut. Tanpa pengungkapan kebenaran, KKR tidak mungkin menerima islah tersebut, sehingga proses hukumnya tetap harus

dilanjutkan. Hak publik Terkait dengan pelanggaran HAM di masa lalu, Hendardi mengakui, ada tiga hak yang harus diberikan oleh negara. Ketiganya adalah hak masyarakat untuk mengetahui perkara itu (right to


(11)

kliping

ELSAM

know), hak untuk mendapatkan keadilan dari korban dan masyarakat (right to justice), serta hak mendapatkan perbaikan hidup dan ganti rugi dari korban dan keluarganya. Artinya, pengungkapan kebenaran dalam kasus pelanggaran HAM berat bukan sekadar hak individu, namun juga menjadi hak publik. "Korban dan keluarganya bisa saja memaafkan dan berdamai dengan pelaku pelanggaran HAM di masa lalu. Tetapi itu tidak bisa menghapus hak publik untuk mengetahui peristiwa itu melalui pengadilan. Jangan dilihat tuntutan publik itu sebagai upaya balas dendam, tetapi lebih pada pengungkapan sejarah sehingga tragedi itu tidak terulang lagi di masa mendatang dan menimpa orang lain," paparnya. Islah pun, lanjut Hendardi, tak bisa menghentikan proses hukum. "Proses hukum terhadap pelanggaran HAM bukan hak individu, tetapi juga menyangkut hak publik. Tidak betul juga islah berada di atas hukum. Justru yang betul adalah hak publik di atas hak individu," urainya lagi. Hendardi pun mengutarakan, islah dapat menjadi preseden buruk bagi penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu bila tanpa pengungkapan kebenaran melalui pengadilan. Sebab, pelaku pelanggaran HAM tidak perlu dihukum asalkan dapat membayar. Bagi kepentingan masa depan bangsa, hal itu kurang menguntungkan pula karena mendorong melupakan kasus tersebut. Ini membuka peluang kasus serupa terjadi lagi di kemudian hari dengan korban yang lain. (tra)


(12)

kliping

ELSAM

KOMPAS - Jumat, 09 Mar 2001 Halaman: 4 Penulis: - Ukuran: 6008

Tajuk: Pesan Moral dari Islah Try Sutrisno dan Korban Kasus

Tanjung Priok

MANTAN Panglima Kodam Jaya Jenderal (Purn) Try Sutrisno bersama pejabat lainnya, yang bertugas saat terjadinya kasus Tanjung Priok pada tanggal 12 September 1984, sepakat berdamai (islah) dengan korban dan keluarga korban Priok. Islah muncul dari lubuk hati paling dalam, atas dasar keikhlasan dan kesadaran kedua pihak tanpa paksaan dari pihak mana pun. Kita mencatat peristiwa itu sebagai peristiwa bersejarah. Peristiwanya terjadi 15 tahun lebih. Korban manusia tidak hanya mereka yang terbantai di tempat kejadian, tetapi juga mereka yang kemudian diadili dan dihukum, dan mereka yang menderita cacat seumur hidup. Sempat tenggelam seolah-olah tak bakal diungkit sampai rezim Orde Baru tumbang, kasus itu muncul kembali. Ia muncul bersamaan terangkatnya berbagai persoalan yang sebelumnya dibiarkan "hilang". Konteks soalnya berkaitan dengan represi kekuasaan dan pelanggaran HAM yang banyak terjadi pada 30 tahun lebih pemerintahan Orde Baru. PERNYATAAN Safwan Sulaeman, salah seorang korban,

menyentuh hati kita. Memberikan sambutan dalam peristiwa penandatanganan, ia menyatakan tidak ingin masa kelam yang mengakibatkan penderitaan lahir dan batin diungkit-ungkit kembali. Apalagi, katanya, bila hal itu hanya digunakan sebagai komoditas politik. Peristiwa Rabu itu lebih bermakna dengan kehadiran cendekiawan Nurcholish Madjid. Sosok cendekiawan itu menyiratkan sinar kedamaian yang menyejukkan. Apalagi dia memberi makna mendalam di tataran wacana agama, bahwa islah itu perintah agama. Kita kutip di antaranya, "...pada prinsipnya islah itu jalan tengah antara menegakkan hukum dan mengungkapkan kasih sayang." PEMERINTAHAN Abdurrahman Wahid (sekarang sedang dikritik habis-habisan dan konon tak bisa diperhitungkan lagi), membawa serta warisan buruk pemerintahan sebelumnya. Keburukan itu terbawa serta (carry over) dalam pemerintahan transisi. Satu dari sisa itu adalah akibat pertikaian masa lalu, yang terjadi entah karena perbedaan visi, perebutan kekuasaan maupun represi penguasa. Kasus Tanjung Priok adalah satu di antaranya, menyisakan persoalan bagaimana harus diselesaikan secara baik dalam arti diterima semua pihak. PERDAMAIAN, rekonsiliasi, islah memang pilihan terbaik. Dalam keadaan semua persoalan terbawa serta, kita semua saling curiga. Tidak ada platform yang sama. Padahal untuk memulai sesuatu diperlukan kesamaan dasar yang sama. Diperlukan titik berangkat yang sama. Untuk itu perlu ada perdamaian menyangkut berbagai persoalan krusial, di antara mereka yang bertikai, di antara mereka yang menjadi korban represi kekuasaan. Berdamai dengan sesama adalah perintah agama. Perintah itu pun amat manusiawi. Damai di bumi, bukan hanya kosa kata agama, tetapi juga harapan terdalam setiap makhluk. Pernyataan Cak Nur, mengingatkan makna luhur perdamaian. Islah adalah jalan tengah sekaligus pilihan hidup kemanusiaan. Keberadaan manusia tidak sekadar "eksis" tetapi juga "ko-eksis" (eksis bersama). MARILAH pemikiran di atas kita terapkan dalam real politik kehidupan aktual. Secara hukum kesalahan tidak selesai dengan islah dan saling meminta maaf. Pernyataan bersalah-mungkin juga pernyataan merasa saling bersalah-menuntut silih. Dalam konteks hukum, silih adalah hukuman yang harus ditanggung. Dalam konteks itu islah seolah-olah bertentangan dengan penegakan hukum. Demi keadilan dan penegakan hukum, proses peradilan harus diselenggarakan. Menyangkut kasus Tanjung Priok, upaya penegakan hukum dicoba dilakukan. Prosesnya dimulai dari gugatan para korban dengan menempatkannya sebagai kasus pelanggaran HAM. Kalau proses itu jalan terus, sesuai prosedur hukum, akan terbuka siapakah yang bertanggung jawab dan siapakah yang akan menanggung silih? Apa yang dilakukan Komnas HAM dalam Kasus Priok adalah upaya membuka kasus ke publik. Dan itu sudah dilakukan, secara terbuka-meskipun dalam versi aparat dan versi korban masing-masing-tergambar apa yang terjadi dan bagaimana duduknya perkara. Akan tetapi, lagi-lagi dalam konteks semua persoalan rezim kemarin terbawa serta, terbuka maksud untuk menyelesaikannya dalam konteks kepentingan praktis, yang dibenarkan secara agama maupun cara hidup bersama sesama makhluk.

Bagaimana caranya? Masih mencoba mengadopsi tuntutan prosedur hukum dan kemungkinan terbaik, kita perlu menengok apa yang dilakukan Afrika Selatan. Pemerintahan Mandela menyelesaikan rekonsiliasi dengan membawanya ke meja hukum, membukanya secara publik, kemudian memberikan pengampunan.


(13)

kliping

ELSAM

Jalan secara hukum ditempuh, selanjutnya dilakukan penyelesaian secara politik. CARA penyelesaian Kasus Priok, apakah bisa diperlakukan untuk kasus-kasus lain yang serupa? Harus dilihat kasus per kasus. Untuk kasus-kasus besar (cause celebre) yang kaitannya kompleks dan berdampak luas, islah mungkin cara yang baik. Tetapi untuk kasus-kasus kecil dan sederhana, semacam kasus-kasus korupsi yang sekarang gencar ditangani Jaksa Agung, islah justru menafikan prinsip keadilan. Untuk kasus-kasus KKN, proses peradilan harus dilakukan. Pesan moral yang disampaikan islah Kasus Priok ialah, dalam keadaan pemerintahan transisi seperti sekarang, banyak kasus bisa diselesaikan lewat jalan tengah. Yakni, antara proses peradilan hukum dan proses rekonsiliasi. Tujuannya, persoalan-persoalan yang terbawa serta dari pemerintahan sebelumnya tidak menjadi beban soal tambahan yang memperumit keadaan. Sebaliknya jangan sampai kita terjebak segera memberlakukan islah dengan pertimbangan belas kasihan. Sebab setiap perbuatan haruslah dipertanggungjawabkan. Apalagi kalau perbuatan itu merusak sendi-sendi kehidupan warga-bangsa-negara yang menjunjung tinggi asas hukum.


(14)

kliping

ELSAM

KOMPAS - Senin, 12 Mar 2001 Halaman: 4 Penulis: - Ukuran: 7171

Tajuk: Agar Rekonsiliasi Berhasil, Apa Saja Syarat-syaratnya?

PERTEMUAN Presiden dan Wakil Presiden sambil sarapan di kediaman Wapres Megawati Soekarnoputri menghasilkan kesepakatan positif. Yakni perlunya rekonsiliasi nasional "untuk memungkinkan bangsa ini menghadapi berbagai persoalan besar". Sejak semula kita menyarankan semangat dan pendekatan itu. Maka kita sambut baik kesepakatan itu. Lagi pula, jika dalam sistem parlementer, pemerintah ini sudah jatuh. Kerusuhan etnis di Kalimantan Tengah memberikan pukulan telak. Pengaruhnya segera ke ekonomi, semakin kedodorannya pemerintahan, semakin terancamnya disintegrasi bangsa dan negara, semakin merosotnya kepercayaan internasional. Karena hal-hal itu semua, pemerintah dalam sosoknya sekarang, semakin tidak mampu menyelenggarakan pemerintahan, apalagi pemerintahan untuk menangani gejolak dan huru-hara pergolakan bangsa dan negara. TIDAK ada jalan lain kecuali jalan rekonsiliasi. Melanjutkan persiasatan polarisasi seperti yang akhir-akhir ini dicoba dengan setiap kali memprovokasi munculnya polarisasi-polarisasi baru, kecuali antiperadaban demokrasi juga hanya akan mempercepat kehancuran bangsa dan negara. REKONSILIASI memerlukan sejumlah persyaratan. Salah satu persyaratan itu sikap tahu diri. Sikap tahu diri inilah yang amat miskin. Mau benar sendiri, mau menang sendiri, nekat. Sikap tahu diri, berarti melihat kelemahan dan kekurangan diri, di samping melihat kelebihannya. Karena mengakui kekurangan dan kelemahannya, lantas mau bekerja sama. Sejak bekerja sama ditinggalkan, kondisi semakin terpuruk hampir dalam segala bidang. Keadaan selama satu setengah tahun tidak

bertambah baik, justru bertambah buruk. Semula orang masih mencoba membela, itulah ongkos yang harus dibayar dari transisi otokrasi ke demokrasi. Kini semakin terdengar suara yang menggugat, penderitaan rakyat seperti yang didemonstrasikan di Kalteng itu ongkos atau korban, cost atau victims. Bukan hanya otokrasi yang menjadi tirani, demokrasi liar juga bisa menjadi tirani, mungkin bukan untuk elite, tetapi pasti untuk rakyat banyak. SYARAT lain untuk rekonsiliasi ialah pemahaman yang sama perihal kondisi masyarakat, bangsa, dan negara. Pemahaman itu dibuat mudah oleh berlakunya masa transisi. Masa transisi berarti masa cair, mengalir, belum jadi. Yang belum jadi atau yang masih cair dan mengalir itu di antaranya ialah pola, pengendapan, konsolidasi, serta sosok baru yang kita dambakan bersama. Transisi itu pada kita, Indonesia, oleh karena berbagai faktor, menurut kenyataannya disertai munculnya berbagai aspirasi, tuntutan, pergolakan, gerak dinamika, dan eksplosi ke banyak arah. Terngiang lagi ungkapan Bung Karno: many revolutions in one generation. Ingin kita terjemahkan secara aktual menjadi, perubahan serba serentak dalam masa yang padat. Biarpun berlaku sistem demokrasi hasil pemilihan umum, seharusnya yang dihadapi bersama membuat masa transisi dijalani secara selamat, sehingga tercapai konsolidasi. Ditanamkan dan dimasyarakatkan visi, prinsip, nilai, peradaban politik baru, sehingga sistem dan budaya demokrasi lebih mantap. Ternyata, kebajikan dan kenegarawanan itu tidak ada. Yang segera tampak dan terasa, kembali lekatnya kekuasaan dan karena itu semangat dan arah untuk konsolidasi kekuasaan. Sejak itulah, keadaan semakin amburadul. Mau tidak mau akan bisa kembali lagi ungkapan power tends to corrupt. Agar rekonsiliasi lancar, salah kaprah itu harus dikoreksi. Semua kekuatan politik dan para eksponen serta pemimpinnya, Presiden dan Wapres, agar membuka hati untuk rekonsiliasi dengan menegaskan: masa transisi sekarang ini, harus kita hadapi bersama. Tunda dulu persaingan politik partisan yang wajar dan lazim dalam demokrasi. Tunda dulu pasang kuda-kuda untuk konsolidasi serta melestarikan kekuasaan masing-masing. REKONSILIASI berarti mencari titik temu baru. Masa lalu menjadi perhatian dan diminta pertanggungjawabannya. Tidak berlaku impunity, tetapi juga jangan membiarkan vendetta, rancune, dendam dan balas-membalas. Bagaimana keluar dari beban dan tanggung jawab masa lampau sebagai pengalaman dan pelajaran membangun masa depan. Harus ada rasa keadilan dan

pertanggungjawaban. Tetapi juga jiwa besar, visi, dan terutama ketulusan kenegarawanan. Omong kosong visi besar, jika tidak disertai jiwa besar dan kenegarawanan, jika tidak diterjemahkan menjadi arah dan kebijakan yang fungsional. Syarat ini krusial untuk bangsa kita, di antaranya, karena telah terkejar oleh perkembangan dan pergolakan baru. Juga dikejar oleh dihidup-hidupkannya dendam lama terutama untuk alat perpolitikan. Bukankah gejala itu yang akhir-akhir ini marak, tindakan hukum bernuansa balas-membalas, bahkan bernuansa black mail politik, pemerasan politik. Jangan salah paham. Asas dan proses


(15)

kliping

ELSAM

hukum harus ditegakkan terhadap siapa pun yang bersalah, tetapi agar kredibel dan berdampak positif, bersihkan dari nuansa perpolitikan. REKONSILIASI untuk apa? Untuk menyelamatkan rezim atau untuk menyelamatkan bangsa dan negara? Untuk menyelamatkan bangsa dan negara. Dan tentu saja disertai kearifan. Kearifan itu di antaranya mengamanatkan agar dipilih jalan dan cara yang paling kecil ongkos sosialnya. Setiap kali, kita diingatkan oleh semacam hukum besi politik. Dalam politik, amat jarang pilihan adalah antara yang baik dan yang buruk. Kebanyakan bahkan hampir merupakan regularitasnya pilihan adalah, antara yang buruk dan yang kurang buruk. Minus malum. Jika prinsip itu diterapkan pada kondisi riil Indonesia dewasa ini, pilihan minus malum bisa menjadi kombinasi pilihan yang bijak, riil, fisibel, dan efektif antara regularitas konstitusional dengan kelemahan figur-figur dan tuntutan rekonsiliasi serta efektivitas pemerintahan. SIAPA peserta dalam proses dan forum rekonsiliasi itu? Semua komponen strategis dan komponen riil bangsa. Lagipula mereka semua, kita semua, telah memberikan komitmen kita terhadap reformasi. Hanya pengertian reformasi itu sendiri yang karena sejak semula tidak memiliki kristalisasi visi, arah, dan semangat yang membangkitkan motivasi, inspirasi, sosialisasi serta program bertahap tetapi konsisten, akhirnya cair bahkan akhirnya dijadikan lahan perpecahan, persaingan, dan permusuhan. Lewat rekonsiliasi, agar dihimpun kembali jajaran dan forum yang berantakan itu. Berantakan kekuatannya, berantakan pula visi, arah, program, langkah serta kebersamaannya. SEMENTARA itu, sekali lagi, setiap hari perikehidupan nyata dalam segala bidang mengingatkan dan mendesak, kita berkejaran dengan waktu dan permasalahan. Apa pula syarat terpenting rekonsiliasi? Kesediaan dan keikhlasan para pemimpin termasuk Presiden dan Wakil Presiden untuk berkorban. Rujukan dan nilai tertinggi bukan pribadi dan kelompoknya, tetapi sebesar-besarnya keselamatan dan kesejahteraan seluruh rakyat, bangsa, dan negara.


(16)

kliping

ELSAM

KOMPAS - Senin, 12 Mar 2001 Halaman: 19 Penulis: Hudijono, anwar Ukuran: 5392

MENUJU REKONSILIASI NU

TAK pelak lagi pertemuan Presiden Abdurrahman Wahid dengan KH

Alawy Muhammad, Sabtu (10/3) di Pondok Pesantren Attaroqi Sampang (Madura) yang diasuh KH Alawy membawa harapan sangat besar. Walau hanya berlangsung sekitar 10 menit, pertemuan diharapkan berimplikasi besar berupa islah kedua tokoh itu. Sekaligus merupakan titik awal untuk proses rekonsiliasi di tubuh Nahdlatul Ulama (NU). Kedua tokoh ini berada pada rekahan polarisasi dengan nganga yang lebar. Bermula pada Muktamar NU Situbondo tahun 1984 di mana NU menyatakan kembali ke Khittah 1926. Berarti NU tidak berpolitik dan menjadi tidak lagi merupakan bagian Partai Persatuan Pembangunan (PPP). NU menjaga jarak yang sama dengan seluruh organisasi politik. NU kembali menjadi gerakan kultural. Pendukung gagasan ini disebut faksi "NU Khittah" dengan tokohnya KH Abdurrahman Wahid. Di sisi lain, masih banyak tokoh NU yang menginginkan agar NU tidak meninggalkan gelanggang politik. Rumah politik NU adalah PPP. Tanpa ketegasan sikap politik, NU hanya akan menjadi kekuatan oportunistik yang dipinang saat pemilu, yaitu untuk mendongkrak perolehan suara. Tidak ikut proses strategis dalam penentuan arah pergerakan bangsa. NU berada di posisi marginal. Pandangan demikian kemudian disebut faksi "NU Politik", di mana KH Alawy merupakan salah satu tokohnya. Dari polarisasi ini muncul sempalan faksi ketiga yaitu "Khittah Plus" yang merupakan gagasan KH Yusuf Hasyim, H Mahbub Djunaidi, dan KH As'ad Syamsul Arifin. Faksi ini mencoba mencari jalan kompromi di mana NU kembali ke khittah 1926, tetapi tetap berpolitik. Bahkan suatu saat NU harus kembali menjadi partai politik seperti tahun 1952 setelah NU keluar dari Masyumi. Dalam perkembangannya, polarisasi semakin

mengutub pada NU Khittah dan NU Politik. Pada pemilu tahun 1997 Abdurrahman Wahid terlibat intensif dalam aksi penggembosan terhadap PPP dengan terbungkus jargon NU kembali ke Khittah 1926 dan menjadi gerakan kultural. KH Alawy yang mengorbit namanya sejak kasus Nipah tahun 1993, melawan aksi Abdurrahman Wahid ini. Ia tidak percaya gerakan Abdurrahman itu murni kultural karena dalam melakukan aksinya runtang-runtung bersama Ketua DPP Golkar Ny Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut. Sasaran sebenarnya jelas yaitu untuk menggembosi PPP dan menggelembungkan Golkar. Keduanya lalu terlibat polemik yang kusut dan tajam. *** MENJELANG Pemilu 1999, NU menfasilitasi kelahiran Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan sebagai deklaratornya Abdurrahman Wahid. Para pengurus teras PBNU menyatakan, PKB sebagai wadah politik satu-satunya warga NU. KH Alawy menolak bergabung ke PKB. Bahkan menuding pendirian PKB itu merupakan langkah yang salah karena sebenarnya rumah politik warga NU itu PPP. Sebab PPP merupakan fusi beberapa partai Islam antara lain NU, Parmusi, PSII, Perti pada tahun 1974. Warna polarisasi NU bergeser dari NU Khittah dengan NU Politik menjadi "NU Anak Emas" dengan "NU Anak Tiri". PKB adalah anak emas itu, sedang partai warga NU di luar PKB seperti PPP, Partai Kebangkitan Umat (PKU), Partai Nahdaltul Ummat (PNU) dan Partai Sunni merupakan anak tiri. PKB benar-benar merajelela di Jawa Timur, tempat konsentrasi warga NU paling besar atau sekitar 12-15 juta jiwa dari total penduduk Jatim sekitar 32 juta jiwa. Hanya PPP Sampang dengan simbolnya KH Alawy yang melakukan perlawanan paling gigih, seperti ketika melakukan perlawanan terhadap Golkarisasi di Pemilu 1997. Hasilnya lumayan. Kalau di daerah lain PPP luluh-lantak, di Sam-pang PPP masih mengantungi 12 kursi DPRD, sedang PKB 18 kursi. Pada tahap ini kubu Abdurrahman Wahid unggul dengan skor 1-0. Pertempuran tidak selesai di situ. Pada Juli tahun 2000 dilakukan pemilihan Bupati Sampang periode 2000-2005. Dengan dipelopori politisi kawakan kader Alawy seperti Hasan Asy'ari, PPP berhasil mengegolkan jagonya, Komisaris Besar Polisi Fadhilah Budiono dengan mengalahkan jago PKB dengan sekor selisih satu suara. Pertempuran dilanjutkan. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden menolak pelantikan Fadhilah Budiono dengan alasan menunggu penyelesain proses hukum Fadhilah dalam kasus penggelapan beras bantuan. Kubu Alawy menentang karena proses pemilihan bupati adalah proses politik, sedang kasus beras adalah proses hukum. Massa pendukung Fadhilah melakukan aksi pelumpuhan pasar dan terminal, serta penarikan retribusi pasar. Muncul harapan besar pertemuan Abdurrahman Wahid dengan Alawy segera dapat menyelesaikan kasus bupati ini, yang kondisinya seperti bisul yang sudah siap meletus. Apalagi dalam pertemuan itu diikuti Fadhilah Budiono. Janganlah kesengsaraan puluhan ribu


(17)

kliping

ELSAM

warga Sampang yang tertimpa kasus Sampit dan Palangkaraya, akan ditambah dengan benturan massal di Sampang. Lebih dari itu, pertemuan ini diharapkan merupakan titik awal proses rekonsiliasi NU. Tantangan besar NU pasca Abdurrahman Wahid adalah konsolidasi jam'iyah dengan melakukan rekonsilisasi berbagai faksi yang berada pada bongkahan-bongkahan dengan nga-nga rekahan yang lebar, seperti NU Jawa dengan luar Jawa, NU Anak Emas dengan NU Anak Tiri, NU Pasca-Khittah dengan NU yang tetap setia di Khittah. (Anwar Hudijono)


(18)

kliping

ELSAM

KOMPAS - Senin, 12 Mar 2001 Halaman: 41 Penulis: Hartiningsih, Maria Ukuran: 12686 Foto: 1

MENATAP KECACATAN BANGSA MELALUI KENYATAAN

HIDUP KORBAN SIAPAKAH

Korban? Lebih satu juta orang saat ini tersebar di tempat-tempat pengungsian,lebih 70 persen di antaranya adalah perempuan, anak-anak, dan orangtua. Mereka adalah penduduk suatu wilayah tertentu yang dipaksa oleh satu situasi tertentu untuk keluar dari kampung halamannya, meninggalkan segala sesuatu yang menyangga kehidupan mereka selama ini. SEBAGIAN besar dari mereka hanya bisa lari dengan membawa apa yang melekat di badan. Seluruh rencana yang pernah dibuat untuk masa depan mereka beserta anak-anaknya hancur lebur dalam sekejap. Hidup keseharian di pengungsian adalah perwujudan dari penderitaan dan kesengsaraan, termasuk hilangnya rasa aman dalam arti luas. Mereka mengalami kembali menjadi korban, dan dengan sendirinya dehumanisasi karena konsep pemberian bantuan selama ini hanya didasarkan bahwa korban adalah manusia tidak berdaya dan hanya membutuhkan belas kasihan; oleh karena itu mereka tidak berhak menuntut sesuatu yang lebih baik. Mereka harus cukup puas dengan pemberian bantuan dua atau tiga bungkus mi instan per minggu dengan beras dua kilogram untuk tiap keluarga dan harus merelakan anak-anak menderita kekurangan gizi, atau meninggal oleh berbagai penyakit tanpa mampu melakukan upaya yang berarti agar peristiwa itu tak perlu terjadi. Namun, penderitaan yang tak kalah mematikan secara psikologis adalah perasaan tidak dimanusiakan itu. Harus diakui, berbagai jenis kekerasan selalu bersifat bias jender. Seperti dikemukakan Ketua Komnas

Perempuan Prof Dr Saparinah Sadli dalam orasi bertema "Penetapan Tahun 2001 sebagai Tahun Penegakan Hak-hak Korban dan Keterlibatan Media massa" menyambut Hari Perempuan Internasional (International Women's Day) di Jakarta, pekan lalu, para perempuan pengungsi harus menghadapi kenyataan akan banyaknya pihak yang siap memanfaatkan situasi serba kacau itu untuk menjadikan mereka obyek eksploitasi seksual. "Sementara mereka yang menjadi korban, justru mengalami stigmatisasi dan pengucilan oleh komunitasnya sendiri karena dianggap 'ternoda' dan bertanggung jawab atas serangan seksual yang dialaminya," tambah Wakil Ketua Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Kamala Chandrakirana, yang dihubungi sebelum acara itu. Menurut Kamala, sampai saat ini tidak ada kebijakan nasional yang komprehensif dalam penanganan pengungsi berdasarkan

perspektif keberdayaan pengungsi. "Padahal mereka adalah warganegara yang memiliki aspirasi dan hak untuk menentukan masa depannya," ujarnya. "Termasuk hak untuk berperan aktif dalam segenap proses rekonsiliasi dan rekonstruksi di komunitasnya sendiri," tambah Prof Saparinah. *** SIAPAKAH Korban? Mereka yang menjadi korban penyiksaan dan mereka yang anggota keluarganya "dihilangkan" atau tewas oleh kekerasan negara harus berjuang sendiri karena masyarakat menganggap korban adalah pemberontak yang harus bertanggung jawab sendiri atas kemalangan yang mereka alami. Ny Sumarsih, ibu dari Wawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya yang meninggal dalam peristiwa Semanggi I, November 1998, mengalaminya berulang kali. Di lingkungan kerjanya, hanya beberapa hari setelah peristiwa tragis itu terjadi, ia mendengar bisik-bisik yang menyalahkan anaknya dan mempertanyakan kemampuannya sebagai orangtua. Ia dianggap tidak mengawasi apa yang dilakukan anak-nya. "Anak saya adalah anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan yang meninggal saat menolong temannya yang terluka. Selama hidupnya, Wawan banyak bekerja untuk hal-hal yang bersifat kemanusiaan. Ia memang amat peka terhadap ketidakadilan dan menginginkan perubahan. Mengapa kami harus mengawasinya? Bukankah ia sudah dewasa dan tahu apa yang ia lakukan, karena kami memang mendidiknya agar peka terhadap penderitaan orang lain," ujar Ny Sumarsih, dalam beberapa kali pertemuan. Dukungan masyarakat bagi para korban dan keluarganya masih bersifat sporadik, sementara pemerintah masih tidak menanggapi urgensi penanganan tuntas kasus-kasus seperti ini. "Itu bisa dilihat dari penanganan kasus-kasus seperti Trisakti, Semanggi I dan II, dan kasus-kasus lain sebelumnya," ujar Kamala, seraya menambahkan, persoalan orang hilang pun tak jelas penanganannya sampai saat ini. Menurut Prof Saparinah, para korban pelanggaran hak-hak asasi manusia di daerah-daerah yang mengalami konflik bersenjata berkepanjangan, seperti Aceh, mengeluh lelah dan frustrasi karena dibawa ke mana-mana untuk melakukan testimoni


(19)

kliping

ELSAM

mengenai pengalaman traumatisnya di depan publik tanpa adanya perbaikan atas kesakitan dan nasib yang mereka alami. Seperti dikemukakan Judith Herman MD, dalam bukunya Trauma and Recovery, The aftermath of violence-from domestic abuse to political terror (1992), testimoni merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari serangkaian proses penyembuhan melalui mekanisme yang jelas, baik secara medis psikologis maupun secara hukum untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan. "Sayangnya kapasitas untuk memberikan pelayanan dan advokasi yang lebih profesional, belum ada," ujar Kamala. Para aktivis bahkan masih terjebak pada retorika besar dari kerangka kerja teori yang bersifat makro, namun tidak masuk ke dalam nilai-nilai personal dan etika menyangkut pengalaman sangat personal dalam diri seseorang. Akibatnya, seperti ditandaskan Saparinah, niat baik para aktivis untuk mengadvokasikan masalah HAM sering tidak terlepas dari kecenderungan yang-secara tidak sengaja-mengakibatkan korban menjadi korban kembali karena harus mengalami kesengsaraan baru yang membuat timbunan beban penderitaannya teronggok dan membusuk tanpa penyelesaian. Padahal, kalau mau jujur, proses rekonsiliasi yang

sebenarnya menyangkut pergulatan psikologis yang bersifat amat personal; bukan sekadar persoalan ganti rugi yang bersifat material. Ini dikemukakan Dr Nani Nurachman-Sutojo, putri almarhum Mayjen (Purnawirawan) Sutojo, korban peristiwa G30S tahun 1965. Nani, psikolog, ibu dua anak, membutuhkan waktu sangat panjang dalam prosesnya menjadi survivor: berdamai dengan diri sendiri disertai tanggung jawab moral (baca: kehendak politik) untuk tidak menurunkan rasa benci dan dendam kepada anak-anaknya, kemudian juga kepada masyarakat luas. Ia pun membutuhkan waktu panjang untuk sampai pada kesimpulan bahwa pencarian nilai moral suatu tragedi merupakan kecenderungan universal; dan dari renungan terhadap trauma tragedi itulah harkat kemanusiaan yang sesungguhnya lebih mungkin untuk diangkat dan dirumuskan. Baru pada tahun 2000, Nani mengungkapkan proses di dalam dirinya kepada publik yang terbatas, sebelum kemudian melakukan rekonsiliasi "ke luar diri". *** SIAPAKAH Korban? Mengutip Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan

Kekuasaan (Resolusi Sidang Umum PBB Nomor 40/43 tanggal 29 November 1985, korban adalah orang-orang yang secara pribadi atau kolektif telah menderita kerugian, termasuk luka fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perusakan besar atas hak-hak dasarnya, melalui tindakan atau kelalaian yang bertentangan dengan hukum pidana yang berlaku di negara-negara anggota termasuk hukum yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. Seseorang dapat dianggap korban berdasarkan

Deklarasi ini tanpa menghiraukan pelaku kejahatannya dikenali, ditahan, diajukan atau dihukum, dan tanpa menghiraukan hubungan kekeluargaan antara pelaku kejahatan dan korban. Istilah "korban" juga termasuk keluarga dekat; atau tanggungan korban langsung, orang-orang yang telah menderita kerugian karena membantu korban atau mencegah jatuhnya korban. Ketentuan ini berlaku bagi semua tanpa perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, umur, bahasa, agama, kekayaan, status kelahiran atau keluarga, asal-usul etnis atau so-sial, dan ketidakmampuan. Hak korban mencakup hak atas kebenaran, keadilan, perlindungan dan dukungan, hak korban atas pemulihan (restitusi, rehabilitasi, dan kompensasi) serta hak korban untuk berperan aktif dalam rekonsiliasi dan rekonstruksi sosial. "Kita telah memasuki tahun ketiga dari apa yang disebut sebagai 'masa reformasi', tetapi masih belum ada tanda-tanda pemihakan yang tegas terhadap kebutuhan dan kepentingan korban pelanggaran HAM dan penyalahgunaan kekuasaan, termasuk

perempuan," tegas Saparinah. Memang selama ini sudah ada langkah-langkah yang berkaitan dengan hak korban. UU Pengadilan HAM telah disahkan November 2000, RUU Perlindungan Saksi dan Korban, RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsi- liasi, serta Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi. "Sayangnya segala upaya ini berjalan secara terkotak-kotak dan tidak konsisten, sehingga malah membingungkan korban daripada memberikan mereka kepastian tentang nasibnya," ujar Prof Saparinah, yang secara implisit menyatakan saratnya kepentingan politik dan tidak ada kerangka kerja besar yang mengatur mekanisme di "bengkel- bengkel" masyarakat untuk menjadi satu bagian yang utuh, berorientasi pada satu hal: hak korban. "Diskusi pada tahun-tahun terakhir ini tentang rekonsiliasi tanpa proses pengungkapan kebenaran justru menyalahi hak korban," tegas Prof Saparinah, "Tidak dapat dipungkiri bahwa ada saja pihak-pihak yang berkepentingan agar pelanggaran HAM di masa lalu tidak diutak-atik." Di sinilah kontroversi itu. Pendekatan proses rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran akan menyulitkan penyelesaian tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM baru maupun lama, karena pada


(20)

kliping

ELSAM

kenyataannya korban malah dijadikan alat politik oportunistik. Sedangkan pihak organisasi nonpemerintah yakin, rekonsiliasi hanya mungkin dicapai dengan pengungkapan kebenaran, kemudian pemaafan,

pemulihan, rekonsiliasi dan perdamaian; di samping proses hukum untuk menghentikan impunity yang telah lama berlangsung tanpa gugatan. Proses seperti ini juga terjadi di Afrika Selatan. *** DALAM hal ini, apa kepentingan perempuan sebagai agent of change? "Kami berpendapat, penegakan hak korban sudah menjadi urgensi tersendiri dan tidak bisa ditawar lagi bagi bangsa ini," tandas Prof Saparinah. Ia mengajak media bekerja bersama menyosialisasikan upaya-upaya penegakan hak korban, termasuk perdamaian. Ini berarti ada segmen perempuan yang merupakan lebih 50 persen pembaca dan pemirsa tidak puas lagi terhadap penyajian berita di media massa yang selama ini bias jender, ras, kelas sosial, dan praktik-praktik jurnalisme yang tidak mendukung perdamaian dalam pemberitaan masalah konflik. "Di tengah

keberingasan konflik, tetap ada cerita tentang perjuangan menolak dominasi wacana kekerasan, tentang persaudaraan yang melintasi batas-batas permusuhan, dan pasti ada orang-orang yang terus bersusah payah mencari peluang-peluang damai sekecil apa pun," ujar Prof Saparinah. "Singkat kata, di tengah cerita tentang pembantaian, ada saja pilihan untuk memuat berita yang tidak menjebak kita ke dalam lingkaran kekerasan, untuk membuat analisis-analisis yang membongkar akar permasalahan, serta membuka jalan menuju perdamaian. Pilihan berada di tangan kita sendiri," sambungnya. Ia mengingatkan, masa transisi merupakan pertaruhan. Masa ini merupakan titik kritis dalam sejarah bangsa. Tanpa pemihakan pada para korban kesewenangan masa lalu dan masa kini, pintu kepada masyarakat adil dan demokratis akan cepat tertutup kembali "Kita baru benar-benar bisa menatap kecacatan bangsa kita melalui kenyataan hidup yang harus dialami para korban," kata Prof Saparinah. "Kita baru bisa melahirkan institusi-institusi yang demokratis dan adil jika pemulihan para korban dan komunitasnya dijadikan tolok ukur." Dengan mencermati bagaimana selama ini media massa menampilkan korban, menurut Prof Saparinah,

sesungguhnya fungsi dan tanggung jawab media sebagai agen perubahan telah gagal dipenuhi. Benarkah demikian? (Maria Hartiningsih) Teksfoto: Associated Press/daniel cooney KASUS SAMPIT - Pengungsi Madura berdesakan di atas truk untuk dievakuasi dari wilayah konflik di Sampit. Saat ini lebih dari satu juta orang tersebar di tempat-tempat pengungsian, 70 persen di antaranya adalah perempuan, anak-anak, dan orangtua. Sampai saat ini, para pengungsi belum diperhatikan hak-haknya dan justru mengalami reviktimisasi


(21)

kliping

ELSAM

KOMPAS - Jumat, 16 Mar 2001 Halaman: 4 Penulis: Wahid, A Yani Ukuran: 9091

ISLAH, RESOLUSI KONFLIK UNTUK REKONSILIASI

Oleh A Yani Wahid

BARU-baru ini mantan Panglima Kodam Jaya Try Sutrisno dan para korban peristiwa Tanjung Priok dengan didampingi tokoh-tokoh bijak antara lain Nurcholish Madjid menggelar konferensi pers tentang tercapainya persetujuan menempuh pilihan untuk islah (perdamaian). Kesepakatan ini menarik karena hal yang sama pernah ditempuh bagi penyelesaian kasus Lampung tahun 1987 antara para mantan narapidana kasus Lampung dengan mantan Komandan Korem Garuda Hitam, AM Hendropriyono. Terlepas dari pro-kontra atas pilihan islah bagi penyelesaian kasus-kasus masa lalu, adalah mendesak bagi bangsa ini untuk sebanyak mungkin menemukan alternatif-alternatif yang dapat memperkaya wacana dan model

rekonsiliasi. Sebagaimana dimaklumi, kebutuhan rekonsiliasi nasional telah diserukan banyak kalangan atas dasar makin beratnya beban politik, sosial dan ekonomi yang telah menuju ke titik hampir tak tertahankan, terlebih dengan makin beratnya pertikaian sosial yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Banyak kalangan telah berusaha mengadopsi model rekonsiliasi yang dilakukan oleh Nelson Mandela di Afrika Selatan. Dalam model rekonsiliasi Nelson Mandela, dibentuk lembaga Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang diberi wewenang untuk pengusutan dan menentukan klarifikasi terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh penguasa semasa politik apartheid. Para pihak yang diduga terlibat digiring untuk melakukan "pertobatan" di depan komisi itu dan selanjutnya komisi merekomendasikan penyelesaian dua tingkat yaitu pengadilan dan atau pemaafan. Mereka yang dianggap "berdosa besar" dilimpahkan ke pengadilan dan lainnya diberi pemaafan. Model ini cocok di Afrika Selatan yang memang tidak asing dengan kultur "pengaduan dosa". Selain itu juga tepat karena adanya faktor Nelson Mandela yang muncul sebagai pemimpin yang punya legitimasi moral dan historis dalam perjuangan antikebijakan politik apartheid oleh pemerintahan sebelumnya. Mandela sendiri adalah master dari korban itu sendiri. Oleh karena itu, model "rekonsiliasi Afrika Selatan" sangat tidak mungkin untuk begitu saja diterapkan di Indonesia. Pertama, kemenangan reformasi di Indonesia tidak untuk menghapus politik apartheid seperti di Afrika Selatan. Kedua, kemenangan reformasi di Indonesia tidak melahirkan kepemimpinan yang kuat dan punya legitimasi moral sebagai master pihak korban. Ketiga, budaya masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim tidak mengenal "pengakuan dosa" di depan seseorang ataupun sesuatu lembaga. Oleh karena itu masih perlu dicari alternatif-alternatif lain sebagai model rekonsiliasi. Dalam kaitan ini, maka tindakan penyelesaian dengan cara ishlah dapat kita letakkan sebagai salah sat model untuk resolusi konflik yang sedang mendera bangsa sekarang ini. Perluasan pendekatan humaniter Dalam situasi transisi "dari

reformasi ke konsolidasi demokrasi," bangsa ini sekaligus dibebani kenyataan belum tuntasnya pengusutan berbagai tragedi humaniter masa lalu, terutama yang terkait dengan kekerasan TNI dalam menumpas perlawanan politik sebagian masyarakat terhadap rezim Orde Baru. Iklim politik terbuka yang dihasilkan oleh reformasi, telah mendorong lahirnya banyak LSM yang memilik fokus pada pengusutan peristiwa masa lalu atas nama penegakan HAM yang memang sedang menjadi trend internasional. DPR/MPR juga tak kalah semangat untuk mengikuti trend internasional itu untuk melahirkan sejumlah ketetapan

perundang-undangan yang mendukung dilakukannya pengadilan HAM. Akan tetapi, sejauh ini belum satu pun perkara masa lalu yang mampu dituntaskan melalui proses pengadilan. Dengan demikian klarifikasi yang diharapkan melalui proses pengadilan mungkin tidak akan pernah tercapai. Apalagi pengadilan kita bukanlah lembaga politik yang bisa mengklarifikasi persoalan-persoalan konflik politik yang timbul di masa lalu maupun di masa sekarang. Andaikata pengadilan HAM dapat digelar juga sangat sulit diharapkan untuk dapat mencapai tingkat rekonsiliasi yang merekatkan kembali perdamaian, bahkan bisa menjadi wahana baru bagi tumbuhnya dendam dan permusuhan. Keprihatinan terhadap persoalan kemanusiaan sudah seharusnya menjadi perhatian kita semua. Yang kita perlukan adalah model pendekatan humaniter yang tidak menjebak kita pada simplikasi penyelesaian melalui pengadilan. Pendekatan humaniter harus mewakili sesuatu yang signifikan dalam proses penyembuhan luka kemanusiaan. Banyak sekali contoh, bahwa penyelesaian melalui ruang pengadilan justru menimbulkan kezaliman baru yang diabsahkan, tanpa kita pernah mampu meluruskannya kembali. Banyak liku-liku hukum yang tersesat dan menyesatkan


(22)

kliping

ELSAM

sehingga tidak selalu yang lahir dari ruang pengadilan adalah keadilan yang dicari. Sangat banyak kasus di pengadilan yang dapat diatur-atur dan berakhir dengan tanda tanya. Penyembuhan luka kemanusiaan yang dituju akhirnya terdampar dalam ketidakjelasan. Salah satu unsur penting dalam pendekatan humaniter adalah kebutuhan adanya klarifikasi persoalan. Terhadap kebutuhan ini, klarifikasi perlu ditransformasikan untuk menambah kapasitas masyarakat mengembangkan memori kolektif terhadap sejarah masa lalunya. Klarifikasi harus diletakkan sebagai "peristiwa sejarah" yang kemudian akan dapat menentukan

kelangsungan hidup tradisi kemajemukan Indonesia sebagai bangsa. Untuk itu akan lebih bermanfaat secara nasional apabila klarifikasi yang dilakukan dapat mengarah terhadap sebab-sebab yang

menimbulkan tragedi pelanggaran HAM itu. Peran TNI masa lalu yang berlebihan sudah disadari secara internal dalam tubuh TNI sendiri. Peran TNI bukan bersifat perorangan, melainkan sangat terkait dengan kebijakan politik nasional-betapa pun tidak populernya kebijakan itu. Sederet kebijakan yang memicu konflik seperti kebijakan NKK/BKK yang bersentuhan dengan masyarakat kampus, kebijakan P4 dan asas tunggal Pancasila yang bersentuhan dengan masyarakat Islam dan lain sebagainya yang menimbulkan banyak tragedi pelanggaran HAM adalah kebijakan politik yang memakan korban. Sebab-sebab inilah yang harus diklarifikasi sebagai kecelakaan kebijakan negara dan diletakkan dalam konteks sejarah masa lalu bangsa. Dengan demikian langkah klarifikasi tidak perlu menimbulkan kontoversi baru yang memperbesar konflik, khususnya antara negara dan masyarakat. Pilihan Islah Dalam konteks ini "pilihan islah" oleh para korban peristiwa Tanjung Priok, Lampung, dan lainnya dapat kita letakkan sebagai model pendekatan humaniter yang hakikatnya merupakan warisan religius untuk resolusi konflik dalam tragedi kemanusiaan. Ia memiliki landasan filosofis dan teologis yang mengarah kepada pemulihan harkat dan martabat semua pihak yang terlibat, mengganti suasana konflik dengan perdamaian (asas silaturahmi), menghapus hujat-menghujat dengan pemaafan, menghentikan tuntut menuntut dan salah menyalahkan (asas saling memaafkan dan memohon ampunan kepada Tuhan). Klarifikasi yang diinginkan tidak melalui meja pengadilan, melainkan melalui meja perdamaian dan perundingan (asas musyawarah). Pilihan ini akan lebih jelas arahnya karena bertumpu pada nilai-nilai serta semangat untuk mereformasi peraturan serta kebijakan politik yang mengabaikan harkat dan martabat kemanusiaan. Yang lebih penting dari itu adalah para pihak yang terlibat secara bersama-sama. Kembali pada semangat silaturahmi dan pemaafan untuk saling mengobati dan mengembangkan keteladanan dalam kesabaran dan berkasih sayang (tawashau bis-shabri wa tawashau bil-marhamah). Pemaafan adalah kata kunci dalam model rekonsiliasi mana pun. Bila seseorang telah memaafkan, bisa dikatakan ia telah melakukan rekonsiliasi individual. Ia menyangkut pengalaman yang sangat personal, yang menyentuh kemanusiaan korban dan kemampuan untuk berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri dan orang lain. Korban mengalami suatu pengalaman spiritual pada saat memohonkan pengampunan bagi mereka yang telah menghancurkan hidupnya. Memaafkan memang bukan melupakan, dalam arti tidak mengingat sama sekali, akan tetapi mengingat masa lalu dengan cara yang baru. Ingatan mengenai sesuatu yang paling pahit, yang pernah dialami dalam hidup, segera ditransformasikan ke ruang keteladanan dan keluhuran kemanusiaan. Dengan demikian korban dan para pelaku yang menyatakan maaf, bersama-sama mengalami pergumulan eksistensial yang menyembuhkan: "sama-sama tidak membiarkan ingatan akan kejadian masa lalu menguasai hidupnya masa kini". Akhirnya, pilihan islah oleh para korban kejadian masa lalu, harus kita hormati sebagaimana

penghormatan yang diberikan oleh tokoh sekaliber Nurcholish Madjid yang melihat mereka sebagai orang-orang sederhana yang menyejukkan dan berjiwa besar. * A Yani Wahid, mantan narapidana politik kasus Imran/Woyla.


(23)

kliping

ELSAM

KOMPAS - Jumat, 16 Mar 2001 Halaman: 4 Penulis: Arinanto, Satya Ukuran: 6555

Islah dalam Perspektif Keadilan Transisional

Oleh Satya Arinanto

PADA beberapa dekade terakhir, masyarakat di berbagai penjuru dunia-dari Amerika Latin, Eropa Timur, bekas Uni Soviet, hingga ke Afrika-telah menggulingkan kediktatoran militer dan rezim totaliter, dan menggantinya dengan rezim yang bebas dan demokratis. Pada era dewasa ini, ketika muncul gerakan-gerakan politik besar-besaran dari pemerintahan yang non liberal, muncul satu permasalahan utama: bagaimanakah masyarakat memperlakukan kejahatan-kejahatan yang terjadi pada masa yang lalu? Pertanyaan yang semacam ini juga muncul di Indonesia, terutama berkaitan dengan adanya harapan terhadap rezim Presiden Abdurrahman Wahid yang terbentuk pada akhir tahun 1999 untuk menuntaskan berbagai masalah pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu. Pada awalnya tampak ada semacam political and legal will dari pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid untuk menuntaskan masalah itu, di antaranya melalui penyelesaian Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) dan penyiapan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Berkaitan dengan hal tersebut, pada proses pembentukan UU No 26/2000 tersebut, di Indonesia-sebagaimana juga terjadi di berbagai belahan dunia lainnya-timbul suatu wacana tentang politik hukum HAM yang akan diterapkan apakah akan menerapkan penghukuman (punishment), ataukah pembebasan dari hukuman (impunity), terlepas dari apakah memang ada suatu kewajiban untuk melakukan penghukuman dalam suatu proses transisi yang demokratis. Berkaitan dengan hal ini, patut untuk dicatat bahwa semenjak awal tahun 1980-an, di dunia internasional telah berkembang suatu perdebatan mengenai implikasi dari keadilan transisional. *** MENURUT Ruti G Teitel, guru besar perbandingan hukum pada New York Law School, Amerika Serikat (AS), yang akhir tahun lalu menerbitkan kumpulan tulisannya dalam buku Transitional Justice, permasalahan "keadilan transisional" tersebut terkait dengan masalah perlakuan terhadap masa lalu suatu negara terhadap masa depannya, yang memunculkan beberapa hal sebagai berikut: (1) Bagaimana pemahaman masyarakat terhadap komitmen suatu rezim baru mengenai aturan-aturan hukum yang dilakukannya?; (2) Tindakan-tindakan hukum apakah yang memiliki

signifikansi transformasi?; (3) Apakah-jika ada kaitan antara pertanggungjawaban suatu negara terhadap masa lalunya yang represif dan prospeknya untuk membentuk suatu tata pemerintahan yang liberal?; dan (4) Hukum-hukum apakah yang potensial untuk memberikan arah dalam liberalisasi? Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, diskursus tentang keadilan transisional dibentuk oleh dalil-dalil normatif bahwa berbagai respon hukum harus dievaluasi dengan dasar prospek mereka terhadap demokrasi. Dalam kaitan ini, kita dapat mempertanyakan bagaimana persepsi (masyarakat) Indonesia sendiri terhadap keadilan transisional. *** SEBAGAIMANA diberitakan media massa, pada hari Rabu (7/3) terjadi suatu kesepakatan untuk berdamai (islah) antara mantan Panglima Kodam Jaya Jenderal (Purn) Try Sutrisno yang didampingi para pejabat keamanan lainnya yang bertugas saat kasus Tanjung Priok meletus 1 September 1984 dengan pihak keluarga korban kasus Priok. Media massa pun kemudian juga memberitakan pro dan kontra di sekitar masalah tersebut (Kompas, 8-9/3/2001). Menurut cacatan penulis, kasus Priok merupakan salah satu kasus pelanggar berat HAM masa lalu yang harus dituntaskan penyelesaiannya oleh rezim Presiden Abdurrahman Wahid. Dan adanya kasus-kasus tersebut sekaligus membuat Indonesia harus segera merumuskan konsep atau model keadilan transisionalnya. Salah satu keputusan piagam islah yang

ditandatangani di hadapan notaris tersebut menyatakan bahwa keputusan islah tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun dan pihak mana pun, karena ia muncul dari lubuk hati paling dalam, atas dasar keikhlasan dan kesadaran dua pihak tanpa paksaan dari pihak mana pun. Benarkah demikian? Bersamaan dengan terjadinya islah tersebut, memang sempat muncul "isu" mengenai kemungkinan adanya "sesuatu latar belakang" yang mendorong terjadinya kesepakatan tersebut. Pada saat ini KKR memang belum terbentuk di negara kita. Walaupun secara institusional belum terbentuk, namun berdasarkan pengalaman

pelaksanaan rekonsiliasi di Afrika Selatan, misalnya, proses perdamaian tersebut paling tidak mengandung unsur-unsur sebagai berikut: Confess your crimes, apply for amnesty and you will go free. If you don't come forward, you will be prosecuted (The new York Times, 8 November 1998). Berdasarkan


(1)

kliping

ELSAM

Rekom endasi C:

Kom isi harus m em ut uskan unt uk m enyelenggarakan perist iw a dengar pendapat dalam sej um lah perist iw a, sepert i:

· Pem bant aian t ahun 1965- 1966

· Pem bant aian di Tanj ung Priok pada 1984

· Pelanggaran khusus perist iw a- perist iw a di Aceh dalam t ahun- t ahun t erakhir

ini

· Pem erkosaan m assal t ahun 1998 Rekom endasi D:

Kom isi I ndonesia dapat m enyelenggar akan sebuah j angkauan dengar pendapat t em at ik, sepert i dalam kej ahat an seksual dan kej ahat ah t erhadap perem puan yang m em ungkinkan perem puan unt uk bersaksi t ent ang pelanggarannya dan difokuskan kepada kekerasan perorangan dan pelanggaran- pelanggran sist em ik dan bersifat m assal. Dengar pendapat t em at ik lainnya m ungkin difokuskan unt uk siksaan oleh aparat keam anan, konflik ant ar agam a, at au dam pak dari rem besan korupsi di m asa lalu.

3 . Rise t da n I n ve st iga si

Tuj uan:

* Klar ifikasi sej arah berkenaan dengan insiden- insiden besar Pelanggaran HAM

* Penguj ian sist em at ik pelanggaran HAM unt uk m em prom osikan pem baharuan kelem bagaan

* Tanggung j aw ab para pelaku kej ahat an

Ke pu t u sa n - k e pu t u sa n Ku n ci da n Ta n t a n ga n - t a n t a n ga n n ya

Fungsi invest igasi dan riset adalah m enj adi t ulang punggung kerj a Kom isi Kebenaran. Di m ana sebuah Kom isi diber ikan kew enangan invest igat ive yang kuat , sepert i hak subpoena, m encari dan m enyit a, sebagaim ana dikonsepkan di I ndonesia, m aka st af- st af Kom isi dapat dibagi- bagi m enj adi unit r iset dan unit invest igasi yang t erpisah, m asing- m asing difokuskan dalam sebuah t ingkat an infor m asi at au fungsi dalam Kom isi- yang sat u lebih m enyediakan lat ar belakang inform asi, m engandalkan sum ber sekunder unt uk m endukung dan m em andu kerj a- ker j a Kom isi, sem ent ara yang lainnya m enggunakan w ew enang Kom isi unt uk invest igasi perist iw a- perist iw a khusus.


(2)

kliping

ELSAM

j elas pent ing bagi unit invest igasi dan bagian riset unt uk berkoordinasi dalam akt ivit as- akt ivit asnya dan pert ukaran inform asi secara t erat ur. Rekom endasi 1- I nvest igasi:

Sebuah Kom isi I ndonesia akan m enj adi t erbant u dengan adanya unit invest igasi. Unit invest igasi bert anggung j aw ab unt uk pem anggilan t ert ulis unt uk m enghadap sidang pengadilan, m enanyai saksi- saksi, m enem ukan asum si- asum si dasar dan m em int a pengadaan dokum en dan fakt a- fakt a. I ni adalah peran dari Unit invest igasi unt uk

m engum pulkan dan m enganalisa sebanyak- banyaknya inform asi unt uk m engident ifikasi lem baga- lem baga, dan m ungkin orang- orang, yang harus bert anggung j aw ab at as pelanggaran HAM. Anggot a- anggot a unit invest igasi dapat j uga m em bant u dalam m engum pulkan bukt i-bukt i yang m enguat kan sebagai inform asi kunci sebelum Kom isi m enyusun penem uan- penem uan secar a lebih um um .

Rekom endasi 2- Riset :

Direkom endasikan agar Kom isi Kebenaran m em bent uk sebuah depart em en riset . Pent ingnya depart em en riset unt uk fungsi riset dalam sebuah Kom it e Kebenaran t idak perlu dit ekankan lagi. Jika sebuah Kom isi akan m em buat keput usan- keput usan

m enginform asikan t ent ang dim ana m engum pulkan pengaduan/ pernyat aan, dengar pendapat m acam apa yang akan diadakan, dan perist iw a- perist iw a dan bent uk- bent uk pelangggaran apa yang akan dij adikan fokus, it u m est ilah dikerj akan dengan kapabilit as riset yang t angguh. Para periset dapat m enyediakan bahan- bahan pendukunga yang sangat pent ing unt uk pengorganisasian dengar pendapat ,

m enyediakan infor m asi pent ing yang kont est ual ket ika bekerj a dalam sebuah w ilayah t ert ent u at au bert em u kelom pok- kelom pok korban. Para periset dapat m em buat paper- paper t aklim at ( briefing papers) berkait an dengan dengar pendapat unt uk m em ungkinkannya

t erfokusnya pert anyaan- pert anyaan dan m em bant u dalam proses penyusunan t em uan- t em uan yang akurat . Sebuah survey yang seksam a dari riset sekunder yang relevan berkenaan dengan pelanggaran- pelanggaran HAM sangat pent ing unt uk

m em perhit ungkan validit as dan represent ivit as dari dat a prim er yang t elah dikum pulkan oleh Kom isi. Depart em en Riset dapat j uga

m enyediakan infor m asi kunci pendukung unt uk laporan akhir Kom isi.


(3)

kliping

ELSAM

An ggot a Kom isi

Perlu diam bil keput usan yang t epat peran apakah yang seharusnya dim ainkan oleh par a anggot a Kom isi. Dalam beberapa kasus, anggot a-anggot a Kom isi dapat bekerj a hanya paruh w akt u dan t elah

m encurahkan t enaganya unt uk m em enuhi prior it as ut am a Kom isi, secara lebih luas m engam at i pelaksanaannya, dan m engaw asi

penulisan laporan akhir. Para anggot a Kom isi yang yang m em ainkan peran ini bert indak bagai Dew an ( board) dalam sebuah perusahaan: m ereka m em ainkan sebuah peran yang kelihat annya besar dan m elaksanakan w ew enang akhir, t et api t idak t er lalu berperan dalam fungsi Kom isi secar a kesehar ian. Manfaat besar dari skenario ini adalah bahw a it u kej elasan dan penggam baran yang m asuk akal

ant ara proses pem buat an keput usan dan fungsi- fungsi eksekut if dalam Kom isi. Kerugiannya adalah bahw a para anggot a Kom isi yang bekerj a paruh w akt u adalah t idak t ersedia unt uk t erlibat dalam proses dengar pendapat ket ika m ereka diper lukan. Jika sebuah Kom isi m erencanakan unt uk m engadakan dengar pendapat , m aka perlu bagi Kom isi unt uk bekerj a penuh w akt u.

Re k om e n d a si:

Sebuah solusi yang m ungkin bisa m enggabungkan m anfaat kedua skenario dan m engurangi m udlarat yang m engikut inya adalah: Para anggot a Kom isi yang bekerj a full t im e m em ungkinkan m ereka unt uk m enyelenggarakan dengar pendapat , t et api m ereka m em bat asi diri m ereka sendiri unt uk m em ainkan peran hanya pada perum usan policy dan m em bant u j alannya organisasi. Para anggot a Kom isi akan hadir dalam dengar pendapat , m endengar kesaksian dan m erum uskan penem uan m ereka, t et api t idak m em ainkan peran dalam m enj alankan kerj a sehari- hari m asalah- m asalah Kom isi. Skenario ini m eruj uk pada kont eks I ndonesia sebab t am paknya Kom isi akan m enginginkan unt uk m enginvest asikan t enaga dan sum berdaya yang signifikan dalam dengar pendapat . Sebuah hasil yang opt im al akan t ercipt a oleh t ersedianya para anggot a Kom isi bekerj a fullt im e dalam dengar pendapat yang berkait an dengan m asalah- m asalah dan dengan adanya m anaj em en Kom isi unt uk berkonsent rasi dalam m enj alankan organisasi.

Ket ika para anggot a Kom isi t elah bekerj a full t im e, m ereka um um m nya akan m em enent ukan w ilayah t anggung j awab dan m em ainkan sebuah peran sent ral dalam m em baw akan kerj a- kerj a harian Kom isi. Para anggot a Kom isi ini bert indak sepert i Dew an dalam sebuah perusahaan sekaligus eksekut if t ingkat at asnya: m enj alankan t anggung j aw ab ut am a dalam m asalah policy sebaiknya m em bant u


(4)

kliping

ELSAM

unt uk m eng- im plem ent asikan policy t ersebut . Kelem ahan skenario ini barangkali adalah bahw a dalam anggot a- anggot a Kom isi yang t erlibat dalam m enj alankan organisasi bisa t er j adi konflik diant ara angggot a Kom isi dan st af senior. Seper t i dit ulis di at as, besarnya m anfaat it u adalah bahw a para anggot a Kom isi akan bersedia unt uk m em im pin dengar pendapat .

PERLI N D UN GAN SAKSI

Dengan pert im bangan sensit ivit as inform asi, Kom isi Kebenaran

m ungkin dapat m em pert im bangkan unt uk m enyediakan perlindungan dan keam anan unt uk saksi- saksi kunci yang m em berikan inform asi kr it is. Par a korban dan para pelaku kej ahat an hanya dapat dirangkul unt uk bekerj asam a dengan Kom isi dan m em berikan infor m asi kunci j ika Kom isi dapat m enj am in keam anan m ereka. Sum ber daya dan kom pleksit as m em buat sebuah program perlindungan saksi sangat diperlukan. Bagaim anapun, banyak Kom isi di m asa lam pau t elah m encoba unt uk m enyediakan keam anan dengan m enerapkan t ingkat kerasahasiaan yang ket at unt uk kesaksian, berdasarkan perm int aan. Jika sum berdaya dan kondisinya m engij inkan, sebuah Kom isi

Kebenaran dapat m engadakan fungsi per lindungan saksinya sendiri, at au dikait kan dengan program yang sudah ada yang dij alankan oleh pihak yang berw enang.

Rekom endasi:

Mem pert im bangkan kebut uhan sum berdaya, it u m ungkin t idak bisa unt uk sebuah Kom isi Kebenaran di I ndonesia unt uk m em buat sebuah program perlindungan saksi yang independen. Sebagai gant inya, seluruh bent uk konfendensialit as dan keam anan seharusnya

dipert im bangkan sehingga bekas para pelanggar kej ahat an, korban-korban yang ket akut an, dan yang lainnya akan sepenuhnya yakin ket ika m em berikan inform asi kepada Kom isi.

M AN AJEM EN I N FORM ASI

Kom isi Kebenaran harus siap dengan sangat banyak m acam j um lah inform asi dari ribuan sum ber yang m ungkin, dengan sebuah t ingkat akurasi yang j auh dari relevan dengan kebut uhan. Banyak

Kom isi Kebenaran t elah m engalokasikan sum ber- sum ber yang subst ansial unt uk m engurus perangkat keras kom put er dan


(5)

kliping

ELSAM

m engem bangkann perangkat lunak dem i sebuah sist em inform asi m anaj em en ( SI M) , khususnya dim ana ribuan kesaksian dikum pulkan dari para korban dan saksi- saksi. Kr edibilit as t em uan- t em uan sebuah kom isi secara subst ansial dapat m eningkat at au berkurang oleh

kualit as sist em inform asi m anaj em ennya.

Rekom endasi:

Mengingat ini m erupakan sebuah w ilayah kerj a yang kom pleks, sekarang ada sebuah lem baga pent ing badan penget ahuan int ernasional yang ahli dalam bagaim ana m encari j alan t erbaik

m engum pulkan, m erekam , dan m enganalisa sej um lah besar infor m asi yang berkait an dengan kej ahat an HAM. Kom isi Kebenaran I ndonesia disarankan unt uk berkonsult asi dengan dengan ahli- ahli dalam

bidangnya m engingat dalam kebut uhan akan sist em inform asi ini. Kam i akan dengan senang hat i m eruj ukkan Kom isi, at au m ereka yang m em bant u m endirikan Kom isi, pada ahli- ahli yang t elah bekerj a

dengan Kom isi Kebenaran pada m asa lam pau unt uk kasus- kasus ini.

I SU- I SU REGI ON AL

Di negara sebesar dan sekom pleks I ndonesia, pem ikiran yang hat i- hat i akan sangat diperlukan dalam bagaim ana sebuah Kom isi Nasional dapat m erespon dengan baik berbagai isu yang ada di negara ini. Beberapa Kom isi Kebenaran yang lalu, m em buka kant or- kant or w ilayah, at au m engirim kan st af m ereka ke w ilayah t ert ent u unt uk j angka w akt u singkat unt uk m engum pulkan kesaksian. Sem akin besar dan sem akin lom pleks sebuah negara, m odel yang kurang

t ersent ralisasi akan sem akin pent ing. Bagaim anapun, sangat

berbahaya j ika m em bent uk berbagai Kom isi yang t idak berhubungan dengan pusat sepert i Badan Nasional; karena dapat m engurangi bobot dari rekom endasi suat u Kom isi t ert ent u, sekaligus kehilangan

kesem pat an unt uk m em usat kan perhat ian nasional at as m asing-m asing isu regional. Akan lebih efekt if j ika dibent uk sebuah koasing-m isi, dengan sub- kom it e yang m em fokuskan dir i pada w ilayah t ert ent u. Re k om e n d a si:

Aceh, Papua, m aluku, Tim or Lest e, dan w ilayah lainnya sam a

m em erlukan perhat ian yang focus dari Kom isi Kebenaran I ndonesia. Akan berguna unt uk m enyelenggarakan kelom pok- kelom pok kerj a di dalam Kom isi Nasional unt uk m engkonsent rasikan perhat ian pada t iap- t iap w ilayah t ersebut , dan j uga w ilayah lainnya yang dianggap


(6)

kliping

ELSAM

perlu ( bisa j uga ada kelom pok kerj a yang secar a spesifik m em bahas t em a keseluruhan dari isu yang ada) . St rukt ur ini m em ungkinkan saling berbagi infor m asi ant ara kelom pok- kelom pok kerj a regional, sehingga pola nasional yang ada dit iap- t iap w ilayah bisa disat ukan. Set iap kelom pok kerj a, at au sub- kom it e, harus m elibat kan part isipasi dari anggot a Kom isi, dan j uga barangkali Anggot a sub- kom it e dit unj uk dari m asing- m asing w ilayah. Kom isi j uga harus didukung dengan

adanya kant or- kant or w ilayah di lokasi- lokasi t er sebut paling t idak selam a m asa kerj a m ereka.