Hubungan agama dan negara : kajian wacana atas pro kontra pasal 12 UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional - USD Repository

  HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO KONTRA PASAL 12 UU NO. 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL TESIS Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir

  Studi Pascasarjana Program Magister Ilmu Religi Budaya Minat Khusus Ilmu Religi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

  Pembimbing Utama: Dr. G. Budi Subanar, SJ

  Pembimbing Kedua: Dr. St. Sunardi

  Oleh: Wakhit Hasim

  NIM: 02 6322 013 MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

  2009

  vi PERSEMBAHAN

  Karya sederhana ini kusembahkan untuk istriku…

KATA PENGANTAR

  Pada mulanya saya terlibat dengan beberapa rapat untuk merespon RUU Sisdiknas pada semester awal tahun 2003. Pada waktu itu banyak sekali pihak yang merespon RU Sisdiknas dari berbagai kalangan baik kalangan pakar pendidikan maupun masyarakat umum. Isu yang paling hangat dan mengemuka diantara isu-isu lainnya yang mengiringi pembahasan RUU Sisdiknas itu adalah isu penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah-sekolah baik swasta maupun negeri.

  Ada kecemasan yang menjalar pada khalayak ramai dengan munculnya isu ini. Kecemasan itu bermula dari banyak arah dan banyak pihak. Pemerintah pengusul draft RUU Sisdiknas mencemaskan adanya generasi yang hilang. Alasannya adalah adanya perubahan pola perilaku di khalayak sejak munculnya reformasi. Kebebasan berekspresi yang dimungkinkan oleh reformasi dianggap kebablasan. Maka kata ‘reformasi kebablasan’ sering terdengar dalam percakapan umum. Jika hal ini tidak dikendalikan, pemerintah cemas jika generasi setelah reformasi akan menjadi generasi yang tidak jelas arah tujuannya, generasi yang hilang.

  Berbeda dengan pemerintah, kelompok-kelompok masyarakat juga memiliki kecemasan berbeda-beda. Isu penyelenggaraan pendidikan agama yang diatur langsung oleh pemerintah menyadarkan banyak pihak akan kemungkinan pemerintah intervensi ke dalam lembaga- lembaga pendidikan. Sebagian yang lain cemas jika pendidikan agama diatur oleh pemerintah, maka ruang privat dari agama-agama akan terancam. Sebagian yang lain cemas jika pendidikan dibiarkan, maka akan banyak anak-anak yang mendapatkan pendidikan dari agama yang berbeda akan terpengaruh dengan agama tersebut, yang biasanya diselenggarakan oleh lembaga pendidikan keagamaan tertentu. Mereka mengharap pemerintah mengatur itu supaya merasa aman dari pengaruh pendidikan agama lain. Pendek kata ada yang pro dan ada yang kontra, dan masing-masing memiliki pendukung cukup banyak di berbagai daerah di Indonesia.

  Pengalaman terlibat rapat-rapat mengkritisi draft RUU Sisdiknas pada tahun 2003 tersebut membuat saya bertanya-tanya, apakah RUU Sisdiknas ini merupakan jawaban dari kecemasan mereka, ataukah justru menambah kecemasan mereka? Sebetulnya bagaimana pengaturan pendidikan agama dalam sebuah negara yang plural seperti di Indonesia ini supaya dapat mendukung pertumbuhan kehidupan bersama yang baik? Namun setelah berdiskusi dengan

  

vii kawan-kawan, bahkan dengan beberapa dosen di IRB, termasuk pak Nardi, saya justru lebih tertarik dengan fenomena bagaimana masyarakat membicarakan hal ini dalam respon-respon mereka? Apakah pembicaraan mereka memberikan dampak pembahasan yang lebih mendalam terhadap isu utama pendidikan agama di Indonesia? Apakah komunikasi yang dilandasi rasa cemas dari berbagai pihak ini akan mengantarkan pada hasil wacana yang sehat? Apakah para pengambil kebijakan pada akhirnya mempertimbangkan wacana publik baik dan pro dan kontra ini secara serius?

  Pertanyaan-pertanyaan ini yang membawa saya belajar teori wacana yang saya merasa sulit, tapi tertarik. Tesis ini adalah latihan saya untuk belajar teori wacana, dan mencoba menerapkan sesederhana munkin dalam mengkaji fenomena pro kontra UU Sisdiknas tahun 2003.

  Saya berterima kasih untuk semua pihak yang mendorong saya berani menyelesaikan studi ini dengan berbagai rasa cemas yang mendera, terutama untuk Romo Banar dan pak Nardi yang membimbing saya dengan sabar. Terima kasih.

  

viii

  

ABSTRAK

  Perumusan dan pembahasan RUU Sisdiknas sejak tahun 2001 hingga pengesahannya menjadi UU Sisdiknas no. 20 tahun 2003 diwarnai oleh pro dan kontra dari berbagai pihak di masyarakat. Wacana pro dan kontra muncul dari berbagai saluran baik media massa, gerakan masyarakat terutama dari rapat-rapat Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah. Wacana- wacana ini berjalin berkelindan dan memberikan pengaruh satu dengan yang lain yang mendorong secara cukup kuat terhadap respon masyarakat, baik yang pro maupun yang kontra terhadap UU Sisdiknas, baik melalui dialog, seminar, workshop, dan yang paling banyak dipresentasikan oleh media adalah demonstrasi di berbagai kota.

  Selain wacana-wacana dari berbagai saluran dan tatanan wacana, ada beberapa peristiwa baik kewacanaan maupun non kewacanaan yang melatari dan pada kahirnya mempengaruhi terhadap munculnya gejolak pro dan kontra. Pertama, perganitan rejim totaliter oleh rejim demokrasi sejak tahun 1998, kedua, perubahan tatanan hukum ketatanegaraan dengan adanya amandemen UUD 45 pertama hingga keempat, ketiga, konflik sosial politik yang terus bergejolak di berbagai daerah, keempat, lemahnya penegakan hukum dan kelima, kebijakan yang pro privatisasi.

  Perubahan sosial yang diakibatkan oleh hubungan antar wacana dan pengaruh peristiwa non kewacanaan lain diperlihatkan oleh gejolan pro dan kontra UU Sisdiknas yang hingga tahun 2003 terus berproses dan berkembang. Tatatan-tatanan wacana antara lain wacana pendidikan, wacana manajemen pendidikan, wacana ekonomi (biaya) pendidikan, wacana sosial budaya kebebasan berekspresi, wacana politik demokrasi dan reformasi menjadi wacana-wacana yang muncul pada permulaan pro dan kontra. Wacana-wacana ini berjalin berkelindan dan memunculkan wacana baru mengenai wilayah privat dan publik, kewenangan negara terhadap agama dan peran agama terhadap kehidupan berbangsa. Keseluruhan wacana ini mendapatkan respon, namun yang terutama mendominasi gerakan pro dan kontra adalah isu hubungan agama dan Negara.

  Wacana yang dikembangkan belum sampai pada tataran kritis publik atas konsep privat dan publik terkait dengan penyelenggaraan pendidikan agama, namun memunculkan potensi

  

ix partisipasi publik terhadap kebijakan negara, terutama dalam hal pendidikan agama, yang menggembirakan. Potensi resistensi atas dominasi wacana negara juga ditunjukkan atas adanya wacana kontra terhadap UU Sisdiknas. Hal-hal tersebut memberikan kemungkinan atas tumbuhnya kesadaran baru dan perubahan sosial. Namun demikian, terdapat fenomena penting dari wacana pro dan kontra ini yaitu kecemasan dan kepanikan moral. Hubungan antar wacana kurang berjalan dengan memadai, berjalan dengan reaktif dan emosional, tidak terlihat titik temu acuan moralitas yang dibahas dengan pertimbangan yang mendalam dan berorientasi ke depan, agen-agen yang terlibat memberikan respon atas yang lain dengan saling mencurigai. Media masa yang memberikan saluran wacana, terutama berita, juga menjadi bagian dari agen kecemasan publik atas penyelenggaraan pendidikan agama.

  

x

  

DAFTAR ISI

  Hal HALAMAN JUDUL ------------------------------------------------------------------------------ i HALAMAN PERSETUJUAN ------------------------------------------------------------------- ii HALAMAN PENGESAHAN ------------------------------------------------------------------- iii HALAMAN PERNYATAAN ------------------------------------------------------------------- iv MOTTO --------------------------------------------------------------------------------------------- v PERSEMBAHAN --------------------------------------------------------------------------------- vi KATA PENGANTAR --------------------------------------------------------------------------- vii ABSTRAK ---------------------------------------------------------------------------------------- ix DAFTAR ISI ---------------------------------------------------------------------------------------xi

  BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang --------------------------------------------------------------------------- 1 B. Perumusan Masalah Penelitian --------------------------------------------------------

  6 C. Tujuan Penelitian ------------------------------------------------------------------------

  7 D. Kegunaan Penelitian --------------------------------------------------------------------

  8 E. Metodologi Penelitian ------------------------------------------------------------------

  8 F. Kerangka Analisis ------------------------------------------------------------------------ 8

  G. Kajian Pustaka --------------------------------------------------------------------------- 18

  H. Sistematika Pembahasan --------------------------------------------------------------- 22

  BAB II KRISIS MULTI DIMENSIONAL DAN SOLUSI NEGARA A. Konteks Sosial Politik Era Reformasi ------------------------------------------------ 24 B. Wacana Negara Menjawab Tantangan Krisis --------------------------------------- 28 C. Respon Masyarakat --------------------------------------------------------------------- 31 D. Kesimpulan ------------------------------------------------------------------------------ 32

  BAB III PASAL 12 UU SISDIKNAS DAN WACANA HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA A. Hubungan Agama dan Negara Belum Selesai -------------------------------------

  33 B. Model Hubungan Agama dan Negara ----------------------------------------------

  40 C. Kesimpulan ----------------------------------------------------------------------------- 42

  BAB IV AGAMA DALAM KEHIDUPAN PRIVAT DAN PUBLIK A. Kehidupan Privat ----------------------------------------------------------------------- 43 B. Kehidupan Publik ---------------------------------------------------------------------- 47 C. Agama dan Politik --------------------------------------------------------------------- 51 D. Respon Masyarakat dan Kerentanan Agama dalam Politik ---------------------- 54 E. Kesimpulan ----------------------------------------------------------------------------- 63 BAB V PERAN AGAMA DALAM MEMBENTUK MORAL BANGSA A. Agama dan Pendidikan Moral -------------------------------------------------------

  64 B. Peran Masyarakat dan Negara-------------------------------------------------------

  66 C. Demokrasi, Moralitas Bangsa dan Pendidikan Agama --------------------------

  67 D. Wacana Pendidikan Agama dan Kepanikan Moral-------------------------------

  69 E. Kesimpulan ---------------------------------------------------------------------------

  71 Bab VI

  KESIMPULAN DAN PENUTUP

  A. Kesimpulan -------------------------------------------------------------------------- 72

  B. Penutup ------------------------------------------------------------------------------ 73

BAB I PENDAHULUAN HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA KAJIAN WACANA ATAS PRO KONTRA PASAL 12 UU NO. 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL A. Pengantar Pro dan kontra mengiringi pengesahan UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (untuk selanjutnya disebut UU Sisdiknas) menjadi wacana politik

  hukum yang panas pada semester pertama tahun 2003 terutama menjelang disahkan

  1 yang rencananya akan dilakukan pada Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2003.

  Pro kontra ini terutama mengenai pasal-pasal khusus tentang masalah pendidikan agama.

  Pasal 12 ayat (1) bagian a. menyebutkan bahwa “setiap peserta didik pada setiap

  

satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama

  2

yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”. Pada bagian penjelasan

  disebutkan bahwa “pendidik dan atau guru agama yang seagama dengan peserta

  

didik difasilitasi dan atau disediakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah

  3 sesuai kebutuhan satuan pendidikan”.

  Pasal 12 ayat (1) diatas berhubungan dengan pasal 30 tentang penyelenggaraan pendidikan keagamaan. Pasal 30 ayat (1) menyebutkan bahwa “pendidikan keagamaan

  

diselenggarakan oleh pemerintah dan atau kelompok masyarakat dari pemeluk

agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan”, dan ayat (5) yang

  menyebutkan bahwa “ketentuan mengenai pendidikan keagamaan diatur lebih lanjut

  4 dengan Peraturan Pemerintah”.

  Pro dan Kontra ini mencuat sejak dikeluarkannya RUU versi pemerintah pada tanggal 20 dan 28 April 2003 yang dipersiapkan sebagai tanggapan atas RUU Sisdiknas yang telah diusulkan oleh DPR setahun sebelumnya, yakni tanggal 27 Mei 2002. 1 Pemerintah dalam mengeluarkan RUU ini tidak menyandingkannya dengan usulan 2 Kompas, 2 Mei 2003

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional, Pustaka

3 Widyatama, tt., tt., hal. 12 4 Ibid., hal.55 Ibid., hal. 21 dan 22

  aslinya dari DPR dan mempublikasikannya secara terpisah. Oleh karena itu masyarakat tergerak hati dengan reaksi secara lebih substansial, kemudian secara tak terduga menimbulkan reaksi dari sebagian masyarakat lain secara kontinyu melibatkan isu yang

  

5

menyentuh sentimen masyarakat akan agama .

  Masalah-masalah yang diperdebatkan pada pasal-pasal mengenai pendidikan agama dalam UU Sisdiknas terkait dengan dua hal. Pertama, apakah pendidikan agama

  

merupakan wilayah negara untuk mengaturnya, ataukah merupakan wilayah

otonomi orang tua peserta didik dan lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan.

  Masalah kedua yang menjadi perdebatan mengiringi disahkannya UU Sisdiknas adalah apakah pendidikan agama merupakan solusi bagi krisis moral bangsa.

  a. Masalah pertama: Kelompok pendukung UU Sisdiknas tidak secara eksplisit menekankan apakah pendidikan agama merupakan wilayah publik atau privat, namun mereka menekankan bahwa pasal ini merupakan pengakuan negara atas berbagai macam agama yang ada di

  

Indonesia sekaligus jaminan masing-masing peserta didik untuk mendapatkan

pendidikan agama sesuai dengan keyakinannya

  . Menurut kelompok ini negara telah mengakui “pluralitas” agama dan hak peserta didik untuk mendapatkan pendidikan agama yang dianutnya . Pengakuan peran negara atas pluralitas agama dan dukungan kelompok ini terhadap pengesahan UU Sisdiknas dapat diartikan bahwa mereka menyetujui pendidikan agama merupakan wilayah negara, atau setidak-tidaknya tidak menolak ide bahwa pendidikan agama merupakan tanggungjawab negara. Kita dapat bertanya seberapa besar negara diberi wewenang menjalankan pendidikan agama . Apakah negara diserahi sepenuhnya pendidikan agama ini ataukah sebagian saja? Jika sebagian saja, dapat pula ditanyakan dalam hal apa negara diserahi wewenang untuk menyelenggarakan agama?

  Menjawab masalah ini pemerintah menegaskan telah disediakan sekitar 70.000 tenaga pengajar agama yang siap diberikan pada satuan pendidikan yang membutuhkan. Hal ini disampaikan oleh Hamzah Haz, ketika itu adalah wakil presiden RI, dengan 5 memberikan tanggapan bahwa perdebatan pendidikan agama seiring dengan pengesahan

  Kompas, 2 Mei 2003 UU Sisdiknas hanya masalah teknis pengadaan guru. Alasannya, sebagian satuan pendidikan yang berlatar belakang agama dipandang kesulitan dalam pengadaan guru agama yang bukan dari kalangan agama penyelenggara satuan pendidikan.

  Pernyataan pemerintah di atas perlu dikaji lebih jauh . Benarkah perdebatan yang melibatkan gelombang masyarakat selama lebih kurang satu semester pada awal tahun 2003 ini sekedar masalah teknis, yaitu pengadaan guru agama? Penulis berasumsi ada masalah yang lebih mendasar mengenai ketidakjelasan wilayah privat dan publik dalam pendidikan agama . Batasan peran publik pemerintah dalam pendidikan agama belum dibicarakan secara terbuka dengan keterlibatan masyarakat secara luas. Karena dialog

  6

  persoalan wilayah publik-privat agama ini belum begitu jelas , kelompok-kelompok keagamaan menyikapi dengan menggunakan anggapan mereka masing-masing. Seiring dengan nuansa dialog yang belum terbuka bagi banyak kalangan, respon kelompok- kelompok agama cukup berhadap-hadapan antara kelompok masyarakat yang setuju pengesahan RUU Sisdiknas -yang mayoritas merupakan kelompok muslim- dan kelompok yang menolaknya yang kebanyakan berasal dari kelomok non muslim,

  7 terutama dari kalangan Katolik dan Kristen .

  Sebaliknya, kelompok penolak UU Sisdiknas berargumentasi bahwa pasal-pasal tersebut merupakan bentuk pembatasan terhadap hak masyarakat untuk mengatur

  urusannya sendiri

  . Agama merupakan masalah privat, merupakan urusan lembaga pendidikan dan orang tua. Melalui pasal ini kebebasan untuk memilih pendidikan agama tidak diakui, dan oleh karena itu merupakan bentuk intervensi negara atas pendidikan agama. Argumen kelompok ini berkaitan dengan masalah privat dan publik lembaga pendidikan agama. Jika pendidikan merupakan masalah privat, apakah lembaga 6 keagamaan penyelenggara pendidikan agama juga bisa disebut privat? Hal ini membawa

  Usaha dialog antar agama di Indonesia sudah cukup banyak, bahkan telah melibatkan organisasi-

organisasi besar seperti Muhammadiah dan NU. Namun demikian masyarakat umum masih sangat mudah terpengaruh dengan masalah ketegangan hubungan antar agama, terutama karena media memberitakan sentimen-sentimen ini, di mana banyak dari kalangan Kristen yang menolak dan banyak kalangan Islam

yang setuju atas pengesahan UU Sisdiknas. Beberapa kalangan sampat mensinyalir adanya muatan politik

atas pengesahan UU Sisdiknas ini sebagai agenda lebih lanjut dari pemberlakukan kembali Piagam Jakarta

yang sudah tidak berhasil diperjuangkan pada forum sebelumnya dalam pembahasan amandemen Undang- 7 Undang Dasar. Lihat. Harian Kompas, Jumat 2 Mei 2003

Beberapa kalangan yang menolak atau mendukung UU Sisdiknas dalam isu pendidikan agama sebetulnya

tidak saja dari kalangan Islam dan Non Islam, namun juga kelompok pluralis baik Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan beberapa kalangan berasal dari NGO/LSM. Kalangan Islam cenderung setuju dengan pengesahan, kalangan non Islam dan pluralis cenderung menolak dengan alasan masing -masing. kita kepada pertanyaan lebih mendasar, apa yang disebut wilayah privat? Apa pula yang disebut wilayah publik? Dimana batas-batas keduanya, khususnya dalam masalah penyelenggaraan pendidikan agama?

  Dengan pembacaan berbeda dengan kelompok masyarakat pendukung UU Sisdiknas, kelompok penolak justru menilai UU Sisdiknas tidak mengakui pluralitas keyakinan dan agama yang sangat beragam di Nusantara sebab sejauh ini pemerintah hanya mengakui agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha sebagai agama yang resmi sah di Indonesia. Pendapat ini disampaikan oleh sebagian masyarakat Jawa Timur yang berunjuk rasa menolak pengesahan RUU Sisdiknas mengiringi akan disahkannya RUU tersebut pada tanggal 2 Mei 2003. Selain agama yang tidak diakui pemerintah, mereka juga mengatakan bahwa kelompok kepercayaan juga menghadapi masalah

  8 serupa, tidak diakui oleh UU Sisidiknas No. 20 tahun 2003.

  Selain dua kelompok pendukung dan penolak UU Sisdiknas di atas, ada pendapat yang mencoba memberi jalan tengah. Pengakuan negara atas agama diperlukan di Indonesia agar tidak terjadi pemisahan tegas antara agama dan negara. Pemisahan tegas antara agama dan negara membawa ironi mengenai pengakuan negara atas agama secara tidak tuntas. Di satu sisi agama diakui haknya untuk berkembang dalam ruang privat warga negara, di sisi lain belum tentu negara memberi pengakuan warga negara untuk mempraktikkan pendirian agamanya di ruang publik, seperti pelarangan penggunaan simbol agama di ruang publik, di pemerintah, di sekolah yang belum lama ini terjadi di negara Perancis. Cita-cita kebaikan yang tidak dapat dicapai oleh negara diharapkan dapat dicapai dalam agama, namun pada saat yang sama agama tidak diberikan ruang untuk mencapai cita-cita kebaikan hidup itu pada ruang publik. Kendatipun pengakuan Negara terhadap agama diperlukan, tetapi pengakuan ini tidak boleh diartikan sebagai intervensi berlebihan dari negara ke wilayah agama. Jika intervensi ini terjadi akan ada kecenderungan agama pihak yang berkuasa mendominasi aturan yang dalam sejarah telah banyak menumpahkan darah masyarakat dan ulama. UU Sisdiknas memiliki

  9 kecenderungan intervensi negara terhadap agama.

  8 9 Kompas, Jumat 2 Mei 2003 Sindhunata, Antara Negara dan Agama, Basis, Nomor 06-07, Tahun ke-52, Juli-Agustus 2003, hal. 3 b. Masalah kedua: Masalah kedua yang menjadi perdebatan mengiringi disahkannya UU Sisdiknas adalah apakah pendidikan agama merupakan solusi bagi krisis moral bangsa?

  Pandangan masyarakat pendukung UU Sisdiknas terwakili oleh pernyataan resmi dari pemerintah baik DPR maupun Depdiknas yang menjelaskan bahwa latar belakang perumusan RUU Sisdiknas adalah untuk menjawab tiga masalah utama bangsa Indonesia,

  pertama

  , mengatasi krisis moneter, ekonomi dan berkembangnya krisis multi dimensional yang berujung pada krisis moral bangsa. Kedua, kecenderungan globalisasi yang tidak dapat dielakkan, dan ketiga kecenderungan demokratisasi yang sudah dimulai pada 22 Mei 1989 ketika rejim Suharto Tumbang. Pembahasan tesis ini ditempatkan pada masalah pertama. Point pertama menjelaskan anggapan bahwa UU Sisdiknas, terutama

  10 pendidikan agama, merupakan kunci bagi penyelesaian krisis moral bangsa.

  Tidak diragukan lagi bahwa agama berkepentingan dengan moral. Jika ada moralitas seseorang bermasalah, masih banyak masyarakat mempercayai hal itu berkaitan dengan kurangnya pendidikan agama. Dengan keyakinan ini terdapat asumsi dalam kelompok yang setuju dengan pengesahan UU Sisdiknas bahwa moralitas bangsa juga dapat diselesaikan dengan pendidikan agama. Bahkan terjadinya masalah moral ini berujung pada pendidikan agama yang selama ini tidak benar. Namun kita dapat bertanya sampai dimana kekuatan agama dalam menjamin moralitas bangsa menjadi baik? Apakah krisis multidimensional yang dialami oleh bangsa Indonesia ini hanya diakibatkan oleh pendidikan agama yang tidak beres? Ataukah ada penyebab lain misalnya kebijakan yang diskriminatif, pemerintahan yang penuh korupsi, kolusi dan nepotisme? Apakah pendidikan agama berkaitan dengan moralitas pemerintahan ataukah modus dan cara pemerintahan yang justru memberikan peluang buruknya kinerja pemerintah yang menyebabkan masyarakat tidak puas dan terjadi krisis? Penulis beranggapan diperlukan kajian kembali mengenai perumusan masalah moral bangsa dan peran pendidikan agama dalam menyelesaikan masalah moral bangsa.

10 Bdk. Darmaningtyas, Politisasi Pendidikan Agama di Sekolah , Basis, Nomor 06-07, Tahun ke-52, Juli-

  Agustus 2003, hal. 18

  Bagi kelompok masyarakat yang menolak, berpendapat bahwa keyakinan krisis bangsa dipersempit ke dalam krisis moral dan terutama krisis pendidikan agama yang akan diselesaikan melalui UU Sisdiknas ini merupakan penyederhanaan masalah yang jauh lebih besar. Masalah-masalah utama yang dihadapi bangsa Indonesia misalnya

  11 korupsi, kolusi dan nepotisme Orde Baru yang masih berlanjut hingga saat ini.

  Baik bagi kelompok yang setuju maupun yang tidak setuju pengesahan UU Sisdiknas, kiranya ada pertanyaan yang sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia yang sampai saat ini masih sangat relevan karena masyarakat Indonesia sangat yakin dengan peran agama dalam kehidupan sosial. Pertanyaan ini berujung pada keprihatinan bersama bangsa Indonesia untuk penataan masyarakat yang lebih baik, adil dan damai, yaitu seberapa jauh pendidikan agama dapat mendorong perbaikan moral bangsa? Masalah ini ini membutuhkan refleksi mendalam mengenai pengalaman pendidikan agama sejauh dilakukan dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia dan bagaimana kita memposisikan agama dan pendidikannya untuk Indonesia kedepan dalam rangka mendukung kehidupan berbangsa dan bernegara yang beradab.

  Masalah yang lebih mendalam disampaikan oleh kalangan pakar dan sebagian masyarakat yang kontra pengesahan UU Sisdiknas yaitu ketidakjelasan visi dari pendidikan nasional. Hal ini tercermin dalam, sebagaimana disampaikan oleh Prof Dr. HAR Tilaar, rumusan tujuan sistem pendidikan nasional (pasal 3) yang panjang dan sulit

  12

  dijabarkan dalam pasal operasional. UU Sisdiknas juga kehilangan ruh pendidikan, menurut Ki Supriyoko, seperti kejujuran, cinta kasih, pengorbanan selayaknya kasih

  13

  sayang orang tua kepada anaknya. Menurut Ketua Umum Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) Prof Dr Lily R Rilantono UU Sisdiknas tidak mempunyai konsep mengenai PADU atau pendidikan dini usia, tidak memungkinkan mencerap nilai-nilai

  14 modern. 11 B. Perumusan Masalah 12 Ibid , hal. 19-20. 13 Kompas, 1 April 2003 14 Kompas, 11 April 2003 Kompas, 17 Maret 2003 Masalah pendidikan agama merupakan yang menjadi isu utama yang diangkat oleh gelombang protes atas pengesahan UU Sisdiknas diantara isu-isu lain seperti isu ancaman disintegrasi bangsa, isu pluralisme agama, isu hubungan antar umat beragama dan lain-lain. Penulis ingin merefleksikan masalah pendidikan agama ini yang tercermin dari gelombang protes masyarakat mengiringi pengesahah UU Sisdiknas untuk mendalami wacana hubungan antara agama dan negara di Indonesia. Wacana hubungan agama dan negara penulis kaji melalui pembahasan terhadap pertanyaan-pertanyaan inti sebagai berikut.

  Pertama

  , bagaimana negara menjawab krisis multi dimensional dan krisis moral bangsa melalui pengundangan UU Sisdiknas? Pertanyaan ini diajukan untuk memberikan konteks bagi pasal 12 UU Sisdiknas dari sisi latar belakang dirumuskannya UU Sisdiknas dan proses pembahasan serta struktur internal UU Sisdiknas.

  Kedua

  , bagaimana kedudukan Pasal 12 dalam Wacana Hubungan Agama dan Negara? Melalui pertanyaan ini diajukan konteks bahwa pembahasan mengenai hubungan agama dan negara belum selesai. Pembahasan ini akan ditelusuri melalui beberapa kajian mengenai kebijakan agama di Indonesia dari waktu ke waktu dan konteks teologis yang melatari pro dan kontra UU Sisdiknas.

  Ketiga

  , sejauh mana negara dapat mengurusi masalah agama? Melalui pertanyaan ini akan diajukan pembahasan mengenai ruang publik dan privat, agama dalam wilayah publik dan privat serta hubungan agama dengan politik/negara dan bagaimana pro kontra UU Sisdiknas dalam memproduksi wacana tersebut.

  Keempat

  , sejauh mana agama membentuk moral bangsa? Pertanyaan ini akan mengeksplorasi peran spesifik agama dalam pendidikan moral bangsa meliputi kajian masalah-masalah agama dan latar belakang masalah moralitas di Indonesia dan wacana pendidikan agama yang diproduksi oleh pro dan kontra UU Sisdiknas.

C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dirancang untuk tujuan-tujuan sebagai berikut.

  Pertama

  , memperoleh gambaran wacana pemerintah dalam menjawab masalah krisis multidimensional yang berujung pada masalah moralitas bangsa melalui UU Sisdiknas.

  Kedua

  , memperoleh gambaran proses wacana hubungan agama dan negara hingga munculnya pro kontra UU Sisdiknas, khususnya dari sisi pasal 13 UU Sisdiknas.

  Ketiga

  , memperoleh gambaran wacana wilayah negara dalam mengatur agama melalui perspektif privat dan publik yang terbangun dalam pro kontra UU Sisdiknas.

  Keempat

  , memperoleh gambaran peran agama dalam membangun moral bangsa melalui perspektif peran privat-publik agama.

  D. Kegunaan penelitian Hasil dari penelitian ini saya harapkan dapat memberikan hal-hal sebagai berikut.

  Pertama, menyumbangkan wacana perbedaan pendapat keagamaan dalam konteks negara bangsa dari segi wilayah publik dan privat. Kedua, pengembangan dialog antara agama dalam kaitannya dengan keterlibatan agama dalam politik. Ketiga, pengembangan kebijakan yang memperhitungkan peran agama dan negara dalam pengembangan kehidupan publik secara adil.

  E. Metodologi Penelitian E.1. Sumber Data

  Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan mengambil data dari sumber data sebagai pemberitaan media masa dan rekaman proses rapat pembahasan UU Sisdiknas di DPR. Pemberitaan media masa seputar pro kontra UU Sisdiknas diambil dari tahun 2002 hingga semester pertama tahun 2003. Rekaman proses rapat-rapat DPR dalam pembahasan UU Sisdiknas mulai dari usulan inisiatif hingga pembahasan di sidang paripurna. Sumber data diperoleh dari: 1) koran harian dan majalah, baik cetak maupun elektronik dan 2) gedung sekretariat DPR-MPR bagian pusat data.

  E.2. Kerangka Analisis

  Kerangka analisis thesis ini memakai pendekatan analisis wacana, terutama teori

  15

  wacana kritis dari Fairclough , dan analisis sosial lain seperti analisis politik mengenai hubungan masalah privat dan public dan analisis kepanikan moral.

  Analisis ini Wacana merupakan salah satu dari pendekatan konstruksionisme sosial yang kesemuanya memiliki titik temu dalam hal beberapa premis utama dan asumsi mengenai bahasa dan subeknya.

  Premis-Premis Utama

  Premis-premis utama yang diyakini oleh pendekatan konstruksionime sosial antara lain pertama, pengetahuan kita dan representasi akan dunia ini merupakan produk wacana. Pengetahuan kita akan realitas dengan mengkategorikan berbagai hal dalam bentuk pengertian-pengertian tidak benar-benar merupakan refleksi atas realitas itu sendiri, melainkan produk dari cara kita memberi makna terhadapnya. Kedua, cara kita memahami dunia dan memandang dunia bersifat khusus dan mungkin, artinya pandangan dunia dan identitas kita bisa berbeda dan berubah sepanjang waktu, sebab kita adalah manusia kultural dan historis. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan kaum

  fundasionalis

  yang meyakini adanya pengetauan kokoh yang didasarkan atas metateori yang lebih penting dari tindakan manusia yang bersifat kontekstual. Pandangan ini juga bertentangan dengan pandangan kaum esensialis yang meyakini bahwa masyarakat memiliki esensi dan sifat yang tetap dan otentik. Ketiga, cara kita memahami dunia diciptakan dan dipertahankan oleh proses sosial, yakni melalui interaksi sosial tempat kita membentuk kebenaran bersama dan menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Keempat, cara pandang kita terhadap dunia bahwa pengetahuan dan kebenaran merupakan konstruksi sosial membawa konsekuensi-konsekuensi sosial berbeda dan

  16 tidak mengenal bentuk tindakan sosial yang alami.

  Premis-premis faham konstruksionisme sosial di atas tidak dapat diartikan bahwa seluruh identitas sosial selalu berubah dan tidak ajek sehingga tidak dapat dikenali. 15 Meskipun premis dasar mengatakan bahwa pada prinsipnya pengetahuan dan identitas

  

Penjelasan kerangka analisis ini didasarkan pada buku “Analisis Wacana; Teori dan Metode” karangan

Marianne W. Jorgensen dan Louis J. Philips, diterjemahkan oleh Imam Suyitno, Lilik Suyitno dan Suwarna 16 (Pustaka Pelajar: 2007) Ibid , hal. 8-10. adalah bersifat mungkin, namun pengetahuan dan identitas sosial tersebut relatif tidak fleksibel dalam situasi-situasi khusus dan bahwa bidang sosial termasuk bidang yang

  17 lebih teratur dan terikat pada aturan.

  Asumsi Kebahasaan dalam Analisis Wacana

  Pendekatan-pendekatan analisis wacana memiliki titik temu dalam pandangan mengenai bahasa dan konsekuensinya terhadap wacana seperti berikut. Pertama, analisis wacana mengambil pijakan dari pernyataan filsafat strukturalisme dan post strukturalisme dalam bahasa. Akses kita terhadap realitas, berdasarkan pijakan filsafat ini, selalu melalui bahasa. Melalui bahasa kita membuat representasi atas realitas, namun hal itu bukan merupakan refleksi realitas murni, namun ada keterlibatan subyektif kita dalam merepresentasikannya, sehingga kita juga memberikan kontribusi terhadap konstruksi realitas itu. Obyek-obyek fisik dengan bagitu mendapatkan makna melalui wacana, walaupun hal itu bukan berarti bahwa yang ada hanyalah representasi tanpa objek-objek riil. Representasi dan objek riil ada, namun melalui wacanalah keduanya diproduksi

  18 menjadi makna.

  Bahasa dalam hal ini tidak dipahami sebagai alat mengkomunikasikan keadaan mental utama, perilaku atau fakta-fakta. Bahasa lebih merupakan alat untuk menggerakkan, menyusun dunia sosial itu sendiri. Bahasa menata hubungan-hubungan dan identitas-dentitas sosial, yakni perubahan-perubahan yang terjadi pada wacana merupakan alat untuk mengubah dunia sosial. Perjuangan yang terjadi pada wacana pada hakikatnya adalah perjuangan untuk mengubah dan membentuk realitas sosial.

  Keyakinan kebahasaan ini didasarkan pada asumsi bahwa bahasa sebagai suatu system tidak memiliki hubungan instrinsik dengan realita yang dirujukknya. Antara bahasa dan maknanya terjadi dengan kebetulan melalui kesepakatan-kesepakatan. Makna bahasa tidak ditentukan oleh kata, bunyi, atau benda rujukan dari makna itu.

  Asumsi kebahasaan ini diambil dari teori Ferdinan de Saussure yang menyatakan bahwa tanda (sign) terdiri dari dua sisi, bentuk (significant) dan isi (signifie), dan bahwa 17 hubungan keduanya bersifat arbitrer. Makna kata-kata hanyalah produk kesepakatan, 18 Ibid, hal. 11.

  Ibid, hal. 16 bukan secara hakiki ada dengan sendirinya. Kata “anjing” tidak berhubungan dengan rujukan makna secara hakiki, tetapi karena diberikan oleh masyarakat untuk menandai

  19 bahwa bunyi kata “anjing” merujuk pada hewan berkaki empat yang bisa menyalak.

  Saussure mengembangkan penelitian terhadap bahasa dan kebudayaan, dan mengkategorikan struktur tanda di atas sebagai masalah pokok bahasa. Dia mengkategorikan ada dua tataran bahasa, yaitu langue dan parole. Langue merupakan struktur bahasa, yakni jaringan-jaringan tanda-tanda yang member makna, dan sifatnya tetap tak bisa diganti-ganti. Sedangkan parole merupakan penerapan bahasa dalam situasi kongkrit tertentu oleh pewicara. Parole selalu mengacu kepada langue sebagai struktur acuan, sebab parole sangat rentan berubah-ubah sesuai situasi subyek dan sejarah. Dengan dasar ini, Saussure mengusulkan langue sebagai perhatian utama analisis bahasa untuk menghasilkan makna. Makna tentulah harus dihasilkan dari struktur yang tetap yang menjadi pijakan bagi pengertian yang jelas dan memungkinkan adanya

  20 komunikasi.

  Pemaknaan yang dihasilkan oleh struktur yang tetap model Saussure, darimana istilah strukturalisme berasal, beroperasi pada beberapa gagasan bahwa: 1) tanda-tanda mendapatkan makna bukan melalui hubungannya dengan realitas melainkan dari hubungan intrernal dalam jaringan tanda-tanda, 2) jaringan tanda-tanda sebagai system pemaknaan merupakan struktur yang stabil. Perumpamaan jaringan tanda-tanda dengan struktur yang stabil dan tetap untuk menghasilkan makna adalah seperti jaring ikan, dimana setiap tanda memiliki tempatnya sendiri pada masing-masing mata jaring. Posisi mata jaring itu akan tetap pada tempatnya kendatipun kita menebarkannya, demikian pun tanda-tanda untuk menghasilkan makna. Tempat tanda-tanda sudah tetap tak berubah meskipun ditebarkan untuk menjaring makna, atau meskipun pemaknaan dilakukan dengan berbagai cara.

  Teori wacana mengambil gagasan jaringan tanda-tanda untuk menghasilkan makna, namun tidak menyetujui pada gagasan bahwa bahasa merupakan struktur yang tetap. Bahasa bukanlah struktur stabil, tak bisa berubah dan menyeluruh. Tanda masih 19 dapat memperoleh makna tidak perbedaannya dengan tanda lain, namun tanda yang 20 Ibid., hal. 17-18.

  Ibid, hal. 19 berbeda dengan tanda lain itu masih bisa berubah makna sesuai dengan konteks penggunaan tanda itu sendiri. Misalnya kata “bekerja” pada satu saat merupakan kebalikan dari kata “santai”, namun dalam konteks lain bisa berlawanan dengan kata “pasivitas”. Kata-kata, sebagai tanda dalam jaringannya dengan kata lain, oleh karenanya tidak memiliki makna yang tetap. Perumpamaannya tidak sesederhana “jaring ikan” namun lebih menyerupai hubungan “antar jaring (internet)”, yang sewaktu-waktu bisa berubah, terputus, tersambung dengan jaring lain yang menghasilkan makna yang terus bisa diubah dan dikembangkan. Analisis wacana mengambil ide ini dari aliran

  21 posstrukturalisme dalam bahasa.

  Analisis Wacana dan Kekuasaan

  Analisis wacana kritis bertujuan untuk mengungkap hubungan sosial yang timpang dan tidak adil agar dapat terlibat dalam advokasi perubahan sosial. Oleh karna itu analisis wacana tidak dapat disebut netral nilai, sebab ada keberpihakan terhadap entitas masyarakat yang dilemahkan dan dipinggirkan. Analisis dibangun dalam rangka mengungkapkan bekerjanya huungan kekuasaan dalam praktik sosial kemasyarakatan. Untuk itu analisis wacana berkempentingan terhadap analisis kekuasaan dan ideologi.

  Analisis wacana kritis mengambil ide kekuasaan dari Foucault. Mitcheal Foucault mengenalkan analisis kekuasaan dengan dua teori mengenai arkeologi dan genealogi. Kajian arekeologi diambil karena adanya kaidah pemaknaan yang berlaku bahwa terdapat kaidah yang menentukan mana kalimat yang diterima, mana kalimat yang benar dan mana yang salah dalam epos sejarah tertentu. Wacana, bagi Foucault, merupakan sekelompok pernyataan milik formasi kewacanaan yang sama, terdiri dari sejumlah kecil pernyataan tempat ditetapkannya sekelompok kondisi eksistensi, bersifat historis, memiliki batas, pembagian, transformasi, mode khusus temporalitasnya sendiri. Pengetahuan yang dihasilkan dari wacana merupakan produk wacana. Kebenaran ditentukan oleh rejim pengetahuan yang dari waktu ke waktu dapat berubah. Wacana, dalam hal ini dimengerti sebagai sederet pernyataan yang relatif terikat pada kaidah

  22 21 sehingga menentukan batas-batas pada apa yang memberikan makna. 22 Ibid, hal. 20-21 Ibid, hal. 24-25 Kekuasaan/pengetahuan dikembangkan oleh Foucault dalam kerja genealogisnya. Kekuasaan tidak dipahami sebagai suatu miliki istimewa dari agen tertentu baik individu, Negara atau struktur lainnya, namun kekuasaan tersebar dalam praktik-praktik sosial yang berbeda. Kekuasaan tidak dipahami sebagai kekuatan yang bersifat menindas, namun bersifat produktif; kekuasaan menyusu dan menghasilkan wacana, pengetahuan, benda-benda dan subyeksitifitas pada setiap agen yang terlibat, tersebar. Misalnya, wacana tindak kejahatan, melahirkan berbagai bidang yang memiliki lembaga sendiri, misalnya penjara, agen misalnya penjahat, praktik tertentu misalnya pemasyarakatan.

  Kekuasaan terikat dengan pengetahuan, satu sama lain saling mengandaikan, misalnya

  23 kejahatan selalu mengandaikan adanya ilmu tentang kejahatan atau kriminologi.

  Kekuasaan memiliki kaitan erat dengan pengetahuan yang dilahirkan oleh proses wacana. Wacana memproduksi subyek pengetahuan dan obyek yang diketahui. Dunia pengetahuan, termasuk subyek dan obyeknya, dalam proses tertentu tersusun oleh wacana. Karena pengetahuan merupakan produk wacana yang bersifat historis, maka kebenaran yang dihasilkan juga kebenaran historis. Tidak ada kebenaran mutlak, namun selalu ada kebenaran, atau efek kebenaran, yang dihasilkan oleh wacana. Kebebaran bagi Foucault, merupakan prosedur untuk produksi, pengaturan dan difusi kalimat, dan

  24 kebenaran dihasilkan oleh system kekuasaan.

  Analisis Wacana dan Ideologi

  Analisis wacana kirits mengambil gagasan ideology dari Foucault yang dikembangkan dari gurunya, Louis Althusser. Ideologi selalu terkait dengan ide mengenai subyek dan gagasan imaginer bersama. Bagi Althusser, ideology merupakan system representasi yang menyamarkan hubungan-hubungan kita yang sesungguhnya satu sama lain dalam masyarakat dengan cara membangun hubungan-hubungan imajiner antar orang-orang dan antar mereka sendiri dan formasi sosial. Hubungan yang dapat dikatakan bukan hubungan semestinya ini mengendalikan semua aspek hubungan sosial. Seseorang dibentuk dan menempati posisi sosial dalam proses bahasa yang wajar, namun 23 tanpa sadar dia telah menjadi subyek ideology karena memerankan diri dalam hubungan- 24 Ibid, hal 26 Ibid hall 27.

  hubungan sosial dimana ideology bekerja. Proses ini dinamakan interpelasi, yakni proses bahasa yang dialami dalam membentuk suatu posisi sosial individu atau seseorang yan dengan demikian dia menjadi subyek ideology. Misalnya cara hidup modern mengenai kesehatan, membuat seseorang menyesuaikan diri untuk merawat kesehatan mereka masing-masing dengan cara mengikuti berbagai prosedur yang disediakan oleh masyarakat modern. Ideology modernitas mengajak orang sebagai subyek pelaku ide-ide modernitas tanpa dapat dielak oleh individu tersebut dan dengan sendirinya menjadi subyek ideology.

  Dengan pengertian ini, Althusser menempatkan subjek yang lemah di hadapan ideology. Keyakinan subyek tidak terpusat pada Althusser ini diambil oleh Foucault. Subyek diciptakan dalam wacana, bukan menentukan wacana. Wacana bukan penuturan

  25 subyek mandiri, namun subyek dibentuk oleh dan dalam wacana.

  Posisi subyek yang lemah tanpa pilihan di hadapan ideology ini mendapatkan kritik yang tajam pada tahun 1970-an. Pertama, dalam kajian sosial, komunikasi dan analisis wacana telah lahir konsensus bahwa tesis ideology dominan telah meremehkan kemampuan manusia dalam memberikan perlawanan terhadap ideologi. Subyek dan agensi sebetulnya memiliki kemampuan untuk memberikan perlawanan terhadap ideologi.

  Kedua

  , pandangan Althusser yang menyatakan bahwa semua wacana dikendalikan oleh sat ideologi yang utuh ditolak. Posisi Foucault telah menggeser ideology Althusser bahwa walaupun individu diciptakan oleh wacana, namun pluralitas wacana bisa saling bersaing satu dengan yang lain dengan beroperasinya kekuasaan secara menyebar dan kreatif. Analisi wacana kritis menekankan bahwa subyek tidak terinterpelasi hanya dalam satu posisi subyek, sebab wacana-wacana yang berbeda bisa dikatakan member subyek posisi berbeda bahkan bertentangan satu dengan yang lain. Analisis wacana kritis menekankan bahwa orangmenggunakan wacana sebagai sumberdaya yang mereka gunakan dalam menciptakan konstelasi-konsteleasi baru kata- katan, kalimat-kalimat, yang tidak pernah diucapkan sebelumnya. Hasilnya aka nada wacana silangan baru, dan dengan demikian perubahan sosial dimungkinkan. Subjek 25 menjadi agen perubahan sosial. Bagi fairclough tindakan-tindakan kreatif individu secara Ibid, hal 29-30. komulatif menciptakan tatanan-tatanan wacama yang terstruktur. Dalam penelitian hal ini penting dalam rangka untuk melacak praktik-praktik kewacanaan yang dinamis, tempat para penggguna bahasa bertindak sebagai produsen dan produk kewacanaan dalam perubahan sosial.

  Ketiga

  , konsep ideologi, termasuk konsep Althusser, menyiratkan dapat dicapainya kebenaran mutlak. Hal itu disebabkan keutuhan kerangka ideologi, dan tak adanya kemungkinan individu untuk keluar dari ideologi. Hal ini dikritik menyebabkan distorsi hubungan sosial yagn riil dan juga mendistorsi upaya untuk keluar dari ideologi. Foucault menolak ideology, karena baginya kebenaran, subyek, dan hubungan antar subyek dikonstruk oleh wacana secara historis. Teori wacana Laclau dan Moffe mengadobsi pendapat Foucault ini sementara teori wacana kritis Fairclough masih mempertahankan konsep ideologi untuk member ruang adanya wacana ideologis dan non ideologis, dan untuk memberi ruang bahwa perjuangan keluar dari ideologi itu

  26 mungkin.

  Praktik Wacana

  Bagi analisis wacana kritis, termasuk analisis wacana Fairclough, fungsi wacana atau praktik kewacanaan merupakan praktik sosial yang membentuk dunia sosial. Praktik sosial mengisyaratkan tindakan itu bersifat kongkrit dimana indifidu dan konteks bersifat terikat, namun juga bersifat tindakan ini terlembagakan dan terkat sosial, dan oleh karena itu muncul regularitas. Fairclough lalu membedakan antara praktis sosial berupa konsep wacana meliputi teks, pembicaraan dan system semiologis lainnya, dengan praktik sosial lainnya yang non kewacanaan.Tiap jenis praktik sosial, baik praktik wacana maupun praoktin non wacana, saling berhubungan secara dialektis untuk membentuk fakta sosial

  27 dengan piranti logika masing-masing.

  26 27 Ibid, hal 32-35 Ibid, hal. 36.

  28 Prosedur Analisis Wacana Kritis Fairclough

  Analisis wacana kritis Fairclough mengacu pada yang disebut Tiga Dimensi Fairclough. Tiga dimensi itu merupakan fokus dari analisis wacana kritis, meliputi Teks, Praktik Kewacanaan dan Praktik Sosial. Teks meluputi semua fungsi pencitraan, tuturan atau gabungan dari semuanya yang diperiksa melalui cirri-ciri kebahasaan. Praktik Kewacanaan meliputi proses bagaimana teks itu diproduksi dan dikonsumsi oleh subyek wacana dan Praktik sosial meliputi praktik kewacanaan dan non kewacanaan, yang keduanya berkontribusi terhadap dunia ini.

  Produksi Teks

TEKS

PRAKTIK KEWACANAAN

Konsumsi teks

PRAKTIK SOSIAL

  Beberapa konsep turunan menjadi penting untuk menunjang operasi analisis tiga dimensi meliptui: 1) wacana, 2) fungsi wacana, 3) peristiwa komunikaatif dan tatanan wacana, 4) jenis wacana dan aliran wacana, 5) intertekstualitas.

  Wacana dimaknai sebagai a) penggunaan bahasa sebagai praktik sosial, b) jenis 28 bahasa yang digunakan pada bidang sosial khusus misalnya dalam bidan politik,