pro dan kontra MOSI 7.docx

FEBRIANTY GUNAWAN
MOSI 7
KEWAJIBAN PELAKSANAAN PUTUSAN IPT 1965 OLEH INDONESIA
PRO
POIN1 INDONESIA ADALAH NEGARA YANG MELINDUNGI HAM

Pemikiran tentang pemajuan, penghormatan, dan perlindungan hak-hak asasi manusia telah
dimiliki bangsa Indonesia sejak dahulu. Hal ini dapat kita buktikan dengan telah dirumuskannya
ketentuan tentang penghormatan hak asasi manusia dalam Pembukaan UUD 1945 alinea I–IV
yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
1) Alinea I yang berbunyi: ” . . . kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa . . .”. Alinea ini
menunjukkan pengakuan hak asasi manusia berupa hak kebebasan atau hak kemerdekaan dari
segala bentuk penjajahan atau penindasan dari bangsa lain.
2) Alinea II yang berbunyi: ”. . . mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
kemerdekaan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur”. Alinea ini
menunjukkan adanya pengakuan atas hak asasi di bidang politik berupa kedaulatan dan
ekonomi.
3)
Alinea III yang berbunyi: ”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan
didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas . . .”. Alinea ini
menunjukkanadanya pengakuan bahwa kemerdekaan itu berkat anugerah Tuhan Yang Maha

Esa.
4) Alinea IV yang berbunyi: ”. . . melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia . . .”. Alinea ini merumuskan dasar filsafat
negara (Pancasila) yang maknanya mengandung pengakuan akan hak-hak asasi yang bersifat
universal. (PEMBICARA 1)
Di dalam pasal-pasal UUD 1945 sebelum amendemen juga sudah dimuat
tentang jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dalam berbagai bidang .
setelah diamandemen 4x pun di dalam UUNDRI 1945 tetap memuat jaminan
terhadap hak-hak asasi manusia dalam berbagai bidang. Salah satunya
mengenai tanggung jawab negara yang terdapat di dalam PASAL 28I AYAT 4
UUDNRI 1945 yang mengatakan bahwa
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah

FEBRIANTY GUNAWAN
Tanggung jawab negara merupakan suatu prinsip fundamental dalam hukum
internasional yang bersumber dari doktrin kedaulatan dan persamaan hak
antar negara. Tanggung jawab negara timbul apabila ada pelanggaran atas
suatu kewajiban internasional untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat

sesuatu, baik kewajiban tersebut berdasarkan suatu perjanjian internasional
maupun hukum kebiasaan internasional. Kewajiban negara dalam
memberikan perlindungan, pemajuan serta penghormatan terhadap HAM,
yang menjadi menjadi perhatian seluruh dunia dewasa ini, merupakan
konsep dunia modern setelah Perang Dunia Kedua. Seperti yang dikatakan
oleh F. Sungeng Istanto yang mengartikan tanggung jawab negara sebagai
suatu kewajiban memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas
suatu hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan pemulihan atas
kerugian yang mungkin ditimbulkannya.
Dasar perlindungan hukum atas HAM di Indonesia terdapat dalam
Pembukaan Undang–Undang Dasar 1945 alinea IV, Bab XA Undang-Undang
Dasar 1945 (Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J)
Putusan IPT 1965 adalah mengenai kasus pelanggaran HAM berat yang
terjadi di Indonesia pada tahun 1965 yang dimana dari penelitian yang ada
menyebutkan ratusan ribu orang menjadi korban pada 1965-1969.
Pelanggaran HAM berat yang terjadi pada tahun itu antara lain pembunuhan,
pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara
paksa serta perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain
secara sewenang-wenang. Lalu kewajiban yang diinginkan dari putusan IPT
1965 adalah Indonesia

a. meminta maaf kepada semua korban, penyintas, dan keluarga mereka
untuk peran negara dalam semua kejahatan terhadap kemanusiaan,
atau kejahatan lain yang terjadi di Indonesia terkait dengan peristiwa
1965 dan sesudahnya
b. penyidikan dan mengadili semua pelanggaran terhadap kemanusiaan.
c. pemerintah agar melakukan rehabilitasi untuk korban dan penyintas
serta menghentikan pengejaran (persekusi) yang masih dilakukan oleh
pihak berwajib, atau menghilangkan pembatasan-pembatasan bagi
para korban dan penyintas, sehingga mereka dapat menikmati
sepenuhnya hak asasi manusia seperti yang dijamin oleh hukum
Indonesia dan internasional.
Dari hal ini dapat kita lihat bahwa pelanggaran HAM Berat memang telah
terjadi di Indonesia pada tahun 1965-1969. Indonesia sebagai negara yang
dimana merupakan salah satu anggota PBB yang melindungi hak-hak asasi

FEBRIANTY GUNAWAN
manusia sudah seharusnya melakukan kewajiban-kewajiban hasil dari sidang
IPT 1965 yang dimana merupakan tanggung jawab dari negara Indonesia
yang merupakan negara salah satu pencetus perlindungan hak asasi
manusia hal ini didukung oleh PASAL 281 AYAT 4 UUDNRI 1945 yang telah

katakan isinya sebelumnya lalu juga dapat dilihat dari Pasal 28D AYAT 1
UUNDRI 1945 yang mengatakan bahwa;
(1)Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum.
Apabila negara Indonesia tidak melaksanakan kewajiban dari putusan IPT
1965 hanya akan menimbulkan gejolak ketidak percayaan masyarakat
terhadap pemerintahan apalagi Presiden baru, Joko Widodo, (sejak 20
Oktober 2014) berjanji selama kampanye pemilihannya untuk menangani
pelanggaran HAM masa lalu, termasuk yang terkait dengan 1965. Apabila hal
ini terlalu dikesampingkan maka pada akhirnya pemerntah tidak dapat
memenuhi tanggung jawab negara untuk menjamin perlindungan HAM
terhadap warga negaranya dan kepercayaan masyarakat terhadap negara
akan semakin berkurang.
POIN 2 ADANYA PENGADILAN HAM DI INDONESIA
Di Indonesia terdapat pengadilan yang menangani permasalahan
pelanggaran HAM Berat dengan adanya Putusan IPT 1965 ini sudah
seharusnya Indonesia melakukan kewajibannya melalui pengadilan HAM
tersebut apalagi di dalam Perturan perundang-undangan tentang Pengadilan
HAM di Indonesia sendiri juga telah mengatakan di dalam pasal 43 ayat (1)

UU No. 26 Tahun 2000 bahwa;
“Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum
diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan
HAM ad hoc”
Lalu di dalam penjelasan pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia juga menegaskan bahwa:
“Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat
dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang
digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.”
Pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 1965-1969 merupakan kejahatan
tergolong masuk kedalam kemanusiaan oleh karenanya seharusnya

FEBRIANTY GUNAWAN
Indonesia dapat melakukan keputusan IPT 1965 yang salah satunya meminta
Indonesia untuk mengungkap para pelaku pelanggaran HAM Berat yang
terjadi pada tahun 1965 karena itu merupakan salah satu penegakkan HAM
di Indonesia.
POIN 3 DAMPAK BAGI INDONESIA APABILA MEMENUHI KEWAJIBAN DARI IPT 1965
Seperti yang harus kita ketahui, tujuan dibentuknya IPT 1965 itu sendiri adalah untuk mendesak
penyelesaian secara hukum dan berkeadilan oleh negara atas kasus-kasus pelanggaran HAM

seputar pembantaian 1965 dan dampaknya yang selama ini terabaikan melalui pengadilan
formal. IPT tidak dimaksud, dan tidak bertugas, menjadi pengganti (substitute) dari negara
untuk menggelar pengadilan formal, menjatuhkan sanksi hukum, dan menjamin ganti-rugi dan
reparasi bagi para korban dan penyintas.
Namun IPT dijadikan sebagai sarana tekanan moral dan kepentingan warga negara yang
mengalami pelanggaran HAM berat kepada negara yang tidak memberikan perhatian terhadap
pelanggaran HAM berat tersebut. IPT mendorong masyarakat, yaitu warga, partai politik,
organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, para korban dan penyintas, dan
masyarakat internasional, negara-negara luar, lembaga PBB dan organisasi lain agar mendesak
negara melakukan tugas peradilan formal, yaitu melakukan penelitian seksama, memeriksa
kasus-kasus dan kesaksian korban dan penyintas, serta menyelesaikan kasus kasus tersebut
secara hukum.
Dengan Indonesia memenuhi kewajiban IPT 1965 maka dapat menjadi sumber legitimasi bagi
negara Indonesia untuk membuktikan diri sebagai negara yang mampu memenuhi
pertanggungjawaban dan menjadi bagian dari komunitas internasional yang dihormati karena
ketanggapannya dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu, dan dengan
melakukan kewajiban hasil dari tribunal ini merupakan cara yang terbaik untuk menyelesaikan
permasalahan pelanggaran HAM berat yang telah terjadi di Indonesia secara adil, dan untuk
korban sendiri adalah dapat digunakan sebagai pemulihan secara rehabilitasi,reparasi dan
restitusi lalu juga dapat menyurutkan stigmatisasi terhadap para korban dan keluarganya

sebagai pihak yang memiliki kaitan, secara langsung maupun tidak langsung, dengan PKI.
Menyurutnya stigmatisasi tersebut diharapkan akan berujung pada pulihnya kedudukan hukum
para korban dan keluarganya di hadapan hukum.
Seperti yang dikatakan oleh Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Dianto Bachriadi
yang setuju bila sidang rakyat ini perlu dilakukan meskipun hasilnya tidak mempunyai kekuatan
hukum.
"Karena Yang sudah diraih oleh IPT ini adalah satu upaya untuk mengungkapkan kebenaran dan
ada ruang untuk para korban dan juga saksi-saksi yang lain untuk menyampaikan apa yang

FEBRIANTY GUNAWAN
mereka ketahui, apa yang mereka rasakan, apa yang mereka alami, apa yang mereka derita, apa
yang mampu mereka analisis dari peristiwa 65 itu.

KONTRA
POIN 1 ADANYA PENGADILAN HAM DI INDONESIA
Di Indonesia telah terdapat pengadilan HAM sendiri yang telah diatur di dalam UU
NOMOR 26 TAHUN 2000. Di dalam Undang-Undangan tersebut juga telah dijelaskan
mengenai prosedur pelanggaran HAM yang terjadi sebelum adanya undang-undang ini
yang terdapat didalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM (“UU Pengadilan HAM”):


FEBRIANTY GUNAWAN
“Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya
Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc”
Dengan adanya pengadilan HAM di Indonesia, maka sudah sepantasnya Indonesia
tidak perlu lagi memenuhi hasil dari putusan dari IPT 1965, sama seperti yang
dikatakan oleh Luhut Panjaitan bahwa Indonesia mempunyai sistem hukum sendiri
untuk dapat menangani permasalahan pelanggaran HAM yang terjadi, dan itu terbukti
dengan adanya Pengadilan HAM di Indonesia. Putusan IPT sendiri juga dilaksanakan
tidak sesuai dengan hukum yang ada di Indonesia. Hukum Indonesia pada dasarnya
menganut sistem non-retroaktif dan ini tercantum di dalam pasal 1 ayat (1) KUHP:
“Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana
dalam undang-undang, yang ada terdahulu daripada perbuatan itu”
Adanya pengecualian terhadap terhadap asas non-retroaktif itu hanya digunakan
menyangkut mengenai HAM itu sendiri, dengan tujuan untuk memberikan perlindungan
HAM kepada masyarakat Indonesia. Apabila Indonesia melaksanakan Keputusan IPT
1965, hal ini akan menimbulkan masalah baru lainnya sebab hukum yang digunakan
adalah hal yang berbeda. Dengan adanya asas non-retroaktif itu sendiri maka
seseorang juga dapat menuntut untuk tidak dihukum dengan undang-undang yang
berlaku surut yang merupakan hak asasi mereka juga dan itu terdapat di dalam Pasal

28I Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”
Oleh karena itu, dibandingkan menimbulkan permasalahan hak asasi lainnya maka
akan lebih baik apabila Pengadilan HAM Indonesia sendiri yang menangani
permasalahan pelanggaran HAM yang terjadi di negara Indonesi terutama yang terjadi
pada tahun 1965, karena Indonesia merupakan negara hukum yang mempunyai sistem
peraturan hukum sendiri, dan seharusnya negara lain juga menghormati hal tersebut
dan tidak seharusnya mendesak Indonesia untuk melaksanakan Putusan IPT 1965
tersebut.
POIN 2 IPT 1965 MERUPAKAN PERADILAN YANG TIDAK SAH DAN TIDAK PUNYA
KEKUATAN HUKUM
Di dalam permasalahan Internasional, terdapat mahkamah internasional yang
digunakan sebagai tempat penyelesaian sengketa internasional dalam bidang apapun
yang dalam hal ini di dalam website resmi dari united charter telah mengatakan bahwa
MAHKAMAH INTERNASIONAL adalah lembaga tertinggi yang digunakan untuk
penyelesaian sengketa negara-negara anggota PBB. Di dalam mahkamah internasional
untuk melakukan suatu peradilan harus di dasarkan pada 5 aturan yaitu;

a. Piagam PBB tahun 1945,

FEBRIANTY GUNAWAN
b. Statuta Mahkamah Internasional tahun 1945,
c. Aturan Mahkamah (Rules of the Court) tahun 1970,
d. Panduan Praktik (Practice Directions) I – IX, dan
e. Resolusi tentang Praktik Yudisial Internal Mahkamah (Resolution Concerning the
Internal Judicial Practice of the Court)
IPT 1965 dilaksanakan bukan berdasarkan 5 hal aturan tersebut, peradilan tersebut
sesuai yang kami dapatkan dari websiten http://www.tribunal1965.org/ hanya peradilan
yang dibentuk oleh kelompok-kelompok masyarakat dan bersifat internasional untuk
membahas kasus-kasus pelanggaran HAM berat dan dampaknya. Mekanisme ini
berada di luar negara dan lembaga formal seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB). Kekuatannya berasal dari suara para korban dan masyarakat sipil, nasional dan
internasional. Dengan adanya penjelasan ini sudah jelas bahwa IPT 1965 bukanlah
persidangan yang di atur di dalam piagam PBB yang dimana Piagam PBB merupakan
dasar hukum dari perlindungan terhadap HAM di dunia. Selain hal itu permasalahan
lain yang dibawa penyelesainnya ke dalam tribunal ini, seperti;
a. Tokyo’s People Tribunal: The Women’s International War Crimes Tribunal for the
Trial of Japan’s Military Sexual Slavery, Japan (TPT) yang dibentuk tahun 2000

b. Russell Tribunal on Palestine (RtoP) yang dibentuk tahun 2009
Juga hasil dari keputusan tersebut tidak pernah dilakukan oleh negara jepang maupun
negara Israel yang juga terbukti telah terjadi pelanggaran ham berat sebab putusan dari
tribunal ini tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak di dasarkan pada piagam pbb
yang dimana seharusnya untuk membentuk suatu peradilan internasional harus
dibawahin oleh piagam PBB itu sendiri.
POIN 3 KASUS 1965 SUDAH TERLALU LAMA PARA PELAKU PELANGGARAN
HAM YANG TERJADI PADA SAAT ITU SUDAH BANYAK YANG MENINGGAL
Pelanggaran HAM Berat yang terjadi pada tahun 1965 apabila kita mengungkitnya baru
pada tahun ini maka hal tersebut sudah sangat ketinggalan zaman, karena kejadian
tersebut sudah 51 tahun yang lalu. Apabila memang ingin dilakukan pemeriksaan
kenapa baru pada tahun 2015 IPT 1965 dijalankan? Sebab seperti yang dikatakan oleh
Guru besar emeritus bidang hukum internasional, Ko Swan Sik yang mengatakan
sukar membawa kasus tersebut karena Sudah pada mati (orang) yang (mau) diadili.
Yang PKI ada (yang) dibunuh, yang jenderal juga ada (yang) dibunuh. Jadi sekarang
siapa yang mau diadili?" dan karenanya untuk dibawa ke peradilan formal akan
terhambat karena kendala terdakwa dan pembuktian yang sudah mulai hilang karena
kejadian tersebut sudah terlalu lamaterjadi.