Efek hegemonik beasiswa fulbright di kaji ulang : studi kasus beasiswa fulbright bagi tiga doktor ilmu sosial Indonesia 1970-1990 - USD Repository

EFEK HEGEMONIK BEASISWA FULBRIGHT, DIKAJI ULANG STUDI KASUS BEASISWA FULBRIGHT BAGI TIGA DOKTOR

  ILMU SOSIAL INDONESIA TAHUN 1970-1990 TESIS Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta NIM: 066322010 RETNO AGUSTIN MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2010

STUDI KASUS BEASISWA FULBRIGHT BAGI TIGA DOKTOR

  

i

EFEK HEGEMONIK BEASISWA

FULBRIGHT, DIKAJI ULANG

  

TESIS

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum)

di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya,

  

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

NIM: 066322010

  

RETNO AGUSTIN

MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2010

  

MOTTO

Dalam dunia intelektual, pikiran saya serasa terjebak dalam belantara tanpa

jalan keluar, dari sanalah saya belajar berfikir dan menemukan jalan keluar.

  

Tesis adalah teror, ketika tak segera diselesaikan, maka ia berubah menjadi

mimpi buruk yang menghantui siang dan malam.

  

PERSEMBAHAN

Untuk Alfa dan Beta saya.

  Kado pensiun Bapakku Triyatno, laki-laki tertabah itu. Bagi Ibuku Priyastuti. Menjawab pertanyaannya “Kenapa sekolah terus?” Semoga menjadi peta jalan bagi adekku: Aris Kurniawan dan Aditia Tri Fujji Rahmawan.

  Untuk Momo, anak kucing tersayang. Terimakasih telah menemani 3 tahun proses pencarian intelektual melalui penulisan tesis ini. Damai disurga ya nak.

  Kepada teman-teman yang mengkontribusikan semangat, waktu dan budi baik bagi penyelesaian tesis ini. Mereka adalah kawan yang menjadi contoh dari tindakan, yang tak pernah mencela kebodohan dan menghakimi kesalahan saya, yang mengawani disaat gemilang maupun kalah: Johanes Arus, Mas Wid dan Kang Ali, Abang Ode, Vicky Djalong, Vicky Wijaya dan keluarga, Anne Vira, Mbak Ilma, Ariel Elfata, Rinto, Mbak Melati, Monica Laksono, Pandu dan Wikan, Mbak Iim, Bang Hasbi dan Bang Hendri, Bu Nahiyah dan Mbak Renny, Kang Sulz, Mbak Nehi, Kang Wahyu Basyir, Non Irma, Mbak Anna. Teman- teman baru: Nanda-Risa-Iyum-Oki-Nanda. Terimakasih.

  Untuk organisasi yang saya cintai Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi serta seluruh perempuan akar rumput juga pengurus nasional yang tulus mendukung saya: Mbak Dian dan Mbak Damai. Serta kawan-kawan di Aekretariat Nasional.

  Bagi keempat intelektual publik yang bersedia saya wawancarai: Pak Arief Budiman, Ibu Melani Budianta, Pak Amien Rais dan Pak Aristides Katoppo. Keramahan, kerendahatian beliau-beliau dalam membantu penelitian mengajarkan pada saya bahwa hal yang paling luar biasa dari intelektual publik adalah sikap personal dan praksis keseharian yang tidak congkak. Untuk adik-adik intelektualku di Sintesa Fisipol UGM.

KATA PENGANTAR

  Tesis ini bermula dari hasrat saya mempertanyakan alasan yang mendorong beratus anak muda menjejali ruang seminar sosialisasi beasiswa pendidikan asing, juga berlomba memenuhi prasyarat teknis-administratif beragam beasiswa. Dalam sebuah percakapan dengan Pak Budiawan, beliau menunjukkan sebuah artikel David Ransom mengenai strategi penciptaan elite intelektual Indonesia pada masa akhir demokrasi terpimpin melalui beasiswa Ford

  

Foundation . Sebuah catatan sejarah yang menarik tentang intelektual. Kelompok

  ini selalu menarik dalam setiap tahapan sejarah, sebagai kelas menengah intelektual kerap dituduh sebagai aktor oportunis penuh kepentingan sekaligus dalam diri mereka disandangkan harapan besar perubahan sosial. Ketertarikan saya juga dipicu keinginan memeriksa diri saya sendiri berikut hasrat menjadi “scholar”. Begitu mula si(n)tesis ini.

  Awalnya tak ada kehendak menjadikan karya ini sebagai uji coba intelektual. Saya menginginkan karya yang gemilang namun pada saat yang sama saya merasa merunduk tak mampu. Sebagai sebuah minat ilmu bagi mahasiswa pascasarjana mungkin pilihan tema tesis ini kurang strategis dan rasional, karena saya tidak memperhitungkan lama waktu yang dibutuhkan untuk penelitian dan penulisan. Ada banyak minat dan latar belakang pribasi yang bisa dibaca dengan kajian budaya dan tentu saja bisa dikelola dengan lebih cepat, misal tentang migrasi, kajian feminist yang saya tekuni wacana maupun realitas empiriknya sekian tahun ini. Sedangkan dalam tesis ini saya digerakkan oleh gairah untuk menakhlukan sesuatu di luar diri saya, sesuatu yang nampak tak teraih dan menjatuhkan, membuat gelisah-kalah dan kehendak untuk bangkit melawan. Bagi saya, tesis ini subversi.

  Dalam dua tahun penulisannya, saya merasa seperti seorang pelarian, menjadi asylum. Dan pelarian itu disempurnakan dengan identitas saya yang plural: sebagai mahasiswa, aktivis ormas dan pekerja LSM. Kesemua peran tersebut menuntut saya untuk cermat membagi waktu, perhatian dan ketekunan. Sayang saya tak sepenuhnya begitu, bahkan jauh dari itu. Saya memang mencintai aktivitas saya sebagai aktivis gerakan sekaligus pekerja lsm, namun dalam tahun terakhir penyusunan tesis ini kadang saya merasa ruang aktivisme saya menyerupai tempat persembunyian, merasa aman sekaligus tercekam pada saat bersamaan. Ketika saya merasa tidak sanggup lagi menahan detakan jantung dan nafas memberat setiap kali sedang bekerja dan teringat kuliah yang terabaikan.

  Pada lima bulan terakhir saya menemukan keberanian untuk berjarak dari semua aktivisme untuk kemudian bersembunyi di gua kecil saya, membaca dan menulis, itu saja.

  Sebuah pembelajaran kehidupan yang sangat besar empat tahun kuliah yang diawali dengan modal kenekadan. Yang saya inginkan adalah sekolah yang tinggi, soal biaya studi ketika itu saya yakin akan saya temukan pemecahannya sambil menjalani. Namun ternyata dampaknya tidak ringan. Dan itu juga buah ketidakberhitungan saya dalam waktu yang berdekatan membuat beberapa komitmen besar dan berjangka panjang: menjadi pengurus ormas perempuan di tingkat propinsi, kuliah dan juga ikatan kerja. Bisa jadi saya serakah dalam hidup, tapi ketika itu saya merasa modal saya hanyalah idealisme dan kenekadan. Hingga saya bukan hanya menambal sulam hidup, namun harus akrobat dan kerap kelelahan menawar hidup. Tidak mampu lagi saya bekerja untuk dapat kuliah dan untuk dapat bekerja harus membolos kuliah. Di awal tahun ini dua komitmen lainnya saya pungkaskan karena tesis ini ternyata tak bisa disanding mendua atau men-tiga.

  Saya sepenuhnya menyadari bahwa kelemahan karya ini adalah dampak empat tahun yang penuh penyambilan-penyambilan. Dalam karya yang tak sempurna ini terdapat dedikasi saya pada intelektulitas, juga penyambilan yang memberi kebanggaan kecil untuk berani menenun huruf demi huruf tesis ini. Sebelum merampungkan tesis ini saya telah menghabiskan 3 buah buku, dan kesemuanya hasil penelitian. Sebuah blessing in disguise yang membawa pada penghayatan bahwa dalam penulisan karya ilmiah, sikap rendah hati tak bisa berdiri sendiri, selalu butuh kebanggaan yang membuat kita tegak berdiri menghadapi gelombang intelektual yang tak jarang keras menghempas.

  Terimakasih yang tiada terkira untuk Bapak Budiawan, guru saya yang terbaik dengan segenap kesabaran, ketelatenan dan kecerdasan intelektual. Saya mohon maaf yang sebesarnya pada Pak Nardi, teriring terimakasih yang dalam karena menerima saya sebagai mahasiswa bimbingan. Setelah beberapa kali berdialog, saya menemukan keluarbiasaan intelektual tersaji melalui cara-cara yang ramah dan sederhana, tak se ‘angker’ yang saya sangka. Romo Banar, ketua jurusan yang dengan segenap kebijaksanaannya membuka peluang kehidupan lebih baik bagi saya dengan mengijinkan saya mempertanggungjawabkan tesis ini di detik-detik terakhir studi. Saya ingat betul, keberadaan saya di IRB diawali dengan budi baik dan kebijaksanaan Romo Banar memberi saya keringanan pembayaran uang kuliah pada semester awal. Terimakasih Romo. Untuk Romo Bask dan Pak George, dari interaksi non akademik dan buku-buku kedua guru saya tersebut, saya belajar bahwa gagasan kritis serta subversif harus dihidupi secara emansipatoris dengan menimbang konteks ruang dan waktu. Mbak Katrin yang sederhana dan baik hati, keringanannya menjadi teman bicara merupakan katub yang meringankan beban pikiran dan kegelisahan intelektual. Apresiasi yang tak kalah banyaknya bagi Mbak Devi, keseluruhan kepribadian baik dan hangat, sapaannya membuat mahasiswa pembolos seperti saya berani untuk menjejakkan kaki ke kampus. Dan tak lupa peran-peran baik sahabat saya di kampus dalam membantu terselesaikannya tesis ini: Mas Tri Subagya, Monica Laksono, Anastasia Melati, Risma Sinaga, Anastasia Yunita.

  Selama menyelesaikan tesis ini saya dibayangi ketakutan gagal. Takut untuk gagal adalah kegagalan saya untuk mengawali menenun catatan akhir. Gagal ialah kehampiran yang membuat saya kisut, membayangkan saya menambah daftar aktivis yang tak mampu/memilih tidak menyelesaikan studi- nya. Dengan demikian saya juga takut berada tapi tidak mengada, tanpa jejak, tanpa bekas. Berlalu begitu saja. Tapi eksistensi manusia bukan dibentuk dalam sepenggal waktu, ada kalanya dari kegagalan dia bisa belajar menjadi lebih kuat. Tesis saya ini mungkin bukan apa-apa, mungkin hanya jadi besi tua dan bukan cemerlang mutiara. Namun bagi saya punya makna besar sebagai penutup agar umur saya tidak busuk dalam ketakutan. Tesis ini adalah komitmen yang lambat, namun sebagaimana janji dengan segala catatannya, dia telah terpenuhi sebagai bentuk pertanggungjawaban pada mula.

  Alhamdulillahirobil’alamin, menutup hari-hari penuh kegentingan ini. Sembah sujud saya bagi dia penguasa roh dan semesta alam. Kelemahan adalah milik saya, selesainya studi saya adalah karena Ia yang digdaya mengawani jiwa saya. Semoga saya adalah bagian orang yang selamat. Wallohua’alam bishowab.(ra)

  

ABSTRAK

  Tesis ini memahami pembentukan intelektual publik dan hegemoni beasiswa Fulbright di Indonesia dapat dilakukan melalui beberapa jalan yakni: pertama, melacak sejarah beasiswa pendidikan dari Amerika untuk intelektual Indonesia dalam konteks perang dingin; kedua, melacak pengalaman pribadi intelektual sebelum memperoleh beasiswa; ketiga, melihat pengalaman baik akademik maupun pengalaman keseharian selama besekolah di Amerika; dan keempat, melihat peran-peran intelektualisme publik yang mereka mainkan setelah kembali ke Indonesia.

  Penelitian ini ingin menilik kesadaran kritis intelektual atas proses hegemoni yang dijalani melalui pemberian beasiswa. Untuk menilai kekritisan tersebut dapat dilakukan dengan melihat gagasan, sikap dan tindakan mereka untuk mengembangkan hegemoni tandingan selama masa “Orde Baru”. Intelektual publik merupakan kategori yang dapat membantu melihat pengaruh serta perlawanan yang mereka bawa dalam wacana publik, karena intelektual publik memiliki perpaduan karakter akademik dan citra intelektual sebagai aktivis kritis. Ketiga intelektual publik yang dipilih sebagai subyek tesis ini memiliki latar belakang akademisi sekaligus aktivis. Kampus, gerakan dan media merupakan medan perlawanan ideologis. Arief Budiman memiliki kekuatan dalam mengembangkan tradisi hegemoni tandingan tersebut dalam ranah akademik serta media. Namun berbeda dengan kedua intelektual publik lainnya yakni Amien Rais dan Melani Budianta yang mencapai puncak ketokohan intelektualitas publik dalam masa Reformasi, sebelum tumbangnya Suharto, Arief Budiman harus meninggalkan Indonesia setelah konflik berkepanjangan di Universitas. Melani Budianta besar dengan membawa dan terlibat dalam wacana gerakan sosial baru yang dikembangkan gerakan perempuan dalam masa reformasi. Sedangkan Amien Rais yang memiliki kedekatan dengan ranah kekuasaan dan dunia politik mengalami masa berjaya sebagai intelektual publik dengan membawa wacana “anti Amerika” dan “suksesi” kepemimpinan nasional. Walaupun tesis ini membatasi kajiannya hingga masa reformasi yang ditandai tumbangnya Suharto, namun dalam rentang dua dekade semenjak keberangkatan bersekolah hingga masa reformasi telah dapat dilihat corak pembentukan intelektual dan upaya mereka membangun hegemoni tandingan. Dengan demikian intelektual adalah kategori diskursif dimana peran-peran mereka akan terus berkembang dan mengkerut seiring keberanian, momentum dan dinamika wacana yang mereka bawa. Intelektual bukanlah kategori yang mudah dihegemoni, selama dalam dirinya melekat sikap kritis dan tindakan yang emansipatoris.

  Kata kunci: intelektual publik, hegemoni tandingan, beasiswa Fulbright.

  

Abstract

  This thesis aims at understanding the making of public intellectual and hegemony of Fulbright Scholarship in Indonesia. It is conducted in several ways: First, tracking the history of education scholarship from the U.S. for Indonesian intellectuals in the context of the cold war. Second, tracking personal experiences of the intellectuals before gaining the scholarship. Third, observing experiences both academic and personal during the study in the U.S. Fourth, observing roles of public intellectualism they have managed after going back to Indonesia. This research also aims to have a deep look at critical awareness of intellectuals on hegemony process through the granting of scholarship. To evaluate their being critical, it is conducted by observing their ideas, attitudes, actions to develop counter-hegemony during ‘New Order’. Public intellectuals constitute a category which helps to see the influence and resentment which they bring in public discourse. It is due to the combination of academic characters and intellectual image as critical activists which attach to public intellectuals. Three public intellectuals chosen as thesis subjects have specific background on academic and activist. Campus, movement, and media constitute areas of ideology struggles. Arief Budiman is a public intellectual who has strength in developing a tradition of counter-hegemony in academic and media fields. When Amien Rais and Melanie Budianta achieved the peak of reformation figures, Arief Budiman before the falling of Soeharto, had left because of the lengthy conflicts in a university. Melanie Budianta has been known as a prominent figure who is deeply involved in the discourse of new social movements through the developing of woman movements during reformation period. Different from Melani Budianta, Amien Rais is close to power and politics areas. He had achieved the peak as a public intellectual who brought discourses of ‘Anti-America’ and ‘Suksesi’ of national leadership. Although this thesis limit its analysis up to reformation era which is marked by the falling of Soeharto, within only two decades since leaving for school to reformation era, it can be clearly seen the pattern of shaping intellectuals and their efforts to build counter-hegemony. Therefore, intellectual is a discourse category in which their roles will raise and reduce as long as there are courage, moments, and the dynamics which they bring. Intellectual is not an easy category to be controlled or dominated as long as they have critical attitudes and emancipatory actions.

  Key words: public intellectuals, counter-hegemony, Fulbright scholarship

  

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... iii HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................... iv HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ........................... v MOTTO .............................................................................................................. vi PERSEMBAHAN ............................................................................................... vii KATA PENGANTAR ...................................................................................... viii ABSTRAK .......................................................................................................... xii ABSTRACT……………………………………………………………………xiii DAFTAR ISI ...................................................................................................... xiv

  BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...................................................................................... 1 B. Rumusan dan Batasan Masalah ............................................................ 5 C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian ....................................................... 6 D. Tinjauan Pustaka ................................................................................... 7 E. Kerangka Konseptual ........................................................................... 11

  1. Intelektual dan Intelektual Publik .................................................. 11

  2. Hegemoni ....................................................................................... 15

  F. Metode Penelitian ................................................................................ 18

  G. Sistematika Penulisan .......................................................................... 20

  BAB II BEASISWA DARI AM ERIKA, INTELEKTUAL DAN FORMASI NEGARA OTORITARIAN A. Beasiswa: Sebuah Senjata Hegemonik Perang Dingin? ......................... 25

  1. Yayasan Sebagai Alat Hegemoni .................................................. 27

  2. Ilmu Sosial Indonesia dalam Pengaruh Yayasan Ford .................. 31

  3. Fulbright dan Intelektual Ilmu Sosial Indonesia ............................ 34

  B. Pembangunan Nasional Sebagai “Area pertempuran Ideologi” ............. 37

  C. Intelektual Publik dan Pembangunanisme .............................................. 41

  BAB III INTELEKTUAL INDONESIA DI TANAH ASING ..................................... 49 A. “Fulbrighter” ........................................................................................... 53

  1. Beasiswa Fulbright sebagai Bunker bagi Intelektual Aktivis .......... 53

  2. Beasiswa Fulbright dan Proyek Ilmu Sosial bagi Akademisi .......... 59

  B. Belajar Amerika ...................................................................................... 65

  1. Tradisi Intelektual Kampus .............................................................. 65

  2. Miskin di Tanah Asing ..................................................................... 73

  3. Aktivisme “Fulbrighter”................................................................... 80

  C. Catatan Penutup ...................................................................................... 86

  BAB IV JEJAK PERLAWANAN INTELEKTUAL PUBLIK ................................... 90 A. Keberhasilan dan Kegagalan Pelembagaan Wacana ........................ 93 B. Intelektual Publik dan Perjuangan Demokratik Baru ...................... 115

BAB V KESIMPULAN ................................................................................... 128

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 136 LAMPIRAN

  1. Transkrip Wawancara 1 (Melani Budianta) ........................................... 141

  2. Transkrip Wawancara 2 (Piet Hendrarjo) .............................................. 152

  3. Transkrip Wawancara 3 (Aristides Katoppo) ........................................ 163

  4. Transkrip Wawancara 4 (Arief Budiman) ............................................. 171

  5. Transkrip Wawancara 5 (Amien Rais)................................................... 184

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang That miracle took a decade to perform, and it came outside the maneuvers of

  

diplomacy, the play of party politics, even the invasion of American troops. Those

methods, in Indonesia and elsewhere, had failed. The miracle came instead

through the hallowed halls of academe, guided by the noble hand of philanthropy.

  (David Ransom)

  Perang dingin membawa sebuah narasi baru bahwa kekuatan terbesar untuk memenangkan peperangan jangka panjang tidaklah berada di ujung laras senjata, maupun bom atom melainkan dari sebuah kekuatan akademik berbungkus filantropi. David Ransom dalam artikelnya Ford Country: Building an Elite for

  

Indonesia memberi penjelasan sejarah bagaimana intelektual Orde Baru

  diproduksi oleh kepentingan ideologi politik agen-agen dana bantuan (filantropi)

  

  internasional, yaitu Ford Foundation dan Rockefeller Foundation. Filantropi menjadi alat manifestasi perang dingin antara blok “barat” dan “timur” dalam berebut pengaruh. Amerika Serikat berkepentingan besar untuk mengganjal laju komunisme dan paham ekonominya di Indonesia. Sehingga kemunculan sejumlah 1 intelektual alumnus

  

Pada dekade 1950-1960 keduanya membidik para mahasiswa cerdas Indonesia untuk

disekolahkan ke University of California, Berkeley. Besarnya peran agen dana bantuan

internasional dalam pembentukan elite intelektual di Indonesia dimulai dari masa-masa akhir

“era pemerintahan Sukarno”, yang juga turut berperan dalam kejatuhan orde lama. Dalam masa

awal Orde Baru, Amerika Serikat dan negara-negara Eropa “barat” mempunyai relasi yang

sangat dekat dengan Indonesia. Selain melakukan intervensi pada pembangunan Indonesia

melalui penawaran hutang, bantuan teknis, negara-negara ini juga menawarkan beasiswa kepada sejumlah birokrat, akademisi maupun mahasiswa cerdas untuk bersekolah di negerinya. pendidikan Amerika Serikat yang membawa paradigma ekonomi pasar bebas dalam kebijakan pembangunan Indonesia dicurigai sebagai aliansi Amerika

   Serikat di Indonesia (Ransom, 1974:95).

  Keberhasilan filantropi akademik sebagai strategi perebutan pengaruh blok besar dunia mendorong lahirnya skema-skema filantropi akademik lain paska perang dunia II. Selain beasiswaYayasan Ford yang diberikan oleh yayasan pembangunan swasta Amerika, Pemerintah Amerika Serikat juga menawarkan skema beasiswa Fulbright. Beasiswa ini diprakarsai oleh senator J. William Fullbright tahun 1946 sebagai sebuah strategi membangun pengertian antara

   Amerika dengan bangsa-bangsa lain paska perang dunia II.

  Selagi Senator J. William Fulbright membangun mimpinya atas sebuah dunia yang lebih baik, potret “Mafia Berkeley” sebagai produk “Amerikanisasi” intelektual Indonesia pada periode awal Orde Baru terus terpajang di etalase pembangunan Indonesia. Intelektual yang berprofesi sebagai akademisi maupun jurnalis menjadi sasaran dari beasiswa Fulbright. Meski tidak melegenda seperti pendahulunya, beberapa alumnus Fulbright (Fulbrighter) yang umumnya berasal

1 Dikemudian hari, teknokrat hasil pendidikan Amerika tersebut oleh Majalah Rolling Stones

  2 dijuluki sebagai “Berkeley Mafia” atau Mafia Berkeley.

  

Skema beasiswa ini memfasilitasi mahasiswa dari negara lain untuk belajar di universitas-

universitas di Amerika Program ini memberikan beasiswa dalam jumlah yang besar, hingga saat

ini partisipan dari program ini telah mencapai 279,500 participants. Mereka dipilih melalui

kualifikasi akademik dan potensi kepemimpinan. Program ini memang secara khusus diarahkan

agar intelektual (berbasis kampus dan pemerintahan) yang berpotensi dari negara lain mendapat

kesempatan untuk mempertukarkan ide dan solusi dalam mengatasi sejumlah permasalahan Lebih jauh buka website dari kalangan akademisi kampus memiliki peran penting sebagai arsitek kebijakan

   politik dalam dan luar negeri Indonesia pada masa Orde Baru.

  Berhasilnya filantropi akademik Amerika disokong oleh Orde Baru yang memberlakukan sistem politik tertutup dan sarat kolusi-nepotisme. Ideologi dan preferensi politik menjadi media saring untuk bisa mendapat akses sebagai elite intelektual, elite militer maupun elite di pemerintahan. Beasiswa sebagai jalan mendapat status intelektual pun didesain dengan skema tertutup dan untuk kalangan terbatas. Ideologi dan preferensi politik di hadapan rezim Orde Baru juga menjadi media saring untuk mengecap pendidikan gratis. Implikasinya, kalangan yang mendapat kesempatan bersekolah gratis di luar negeri pun sangat terbatas, yakni militer, birokrat dan akademisi.

4 Pada periode 1970, ditengah menguatnya gerakan perlawanan massa, diam-

  diam akses langsung ke pemberi beasiswa maupun universitas di luar negeri mulai

  

  diterobos oleh sejumlah aktifis gerakan sosial dan politik. Misalnya, Arief Budiman yang mendapat beasiswa Fulbright untuk bersekolah di Harvard serta Aristides Katoppo yang mendapatkan beasiswa sekolah jurnalistik di Universitas Stanford. Masuknya para aktivis gerakan sosial politik ke dalam skema beasiswa 3 Fulbright, untuk tidak menyebut merubah peta namun memberi warna lain

  

Salah satu alumnus Fulbright yang memiliki peran penting dalam pembuatan kebijakan politik

dalam dan luar negeri adalah Juwono Sudarsono. Hingga pada era sesudah Suharto, peran-

perannya masih menonjol karena dalam beberapa kepala negara sesudah Suharto Ia masih

4 dipercaya sebagai Menteri.

  

Pada awal tahun 1970 kritik dan perlawanan dari gerakan massa terhadap Orde Baru menguat.

  

Sejumlah demonstrasi menolak pendirian TMII sebagai megaproyek Orde Baru, demonstrasi

5 tersebut berbuah penangkapan sejumah aktivis sosial politik.

  

Perkembangan cepat teknologi informasi pada akhir abad 20 mendemokratisasi proses dan akses,

semisal milis beasiswa, penyediakan kanal informasi beasiswa. Selain itu akses langsung kepada

agen-agen dana bantuan internasional melalui situs jaringan juga membuka ruang kontestasi seluas-luasnya baik dari kalangan pemerintahan, akademisi, politisi maupun Ornop. terhadap pandangan beasiswa Fulbright sebagai beasiswa bagi elite maupun calon elite intelektual.

  Penelitian ini berangkat dari pembelajaran atas peristiwa sejarah bahwa pemberian beasiswa punya kepentingan ideologi politiknya sendiri yang kerap

  

  menentukan sejarah perjalanan suatu bangsa. Peristiwa sejarah itu bahkan telah menjadi common sense di kalangan awam bahwa setiap pemberi beasiswa pasti punya kepentingan atas setiap sen mata uang yang dikeluarkannya. Di mana kepercayaan terhadap common sense yang direproduksi dalam cerita-cerita keseharian kerap menjadi dalih untuk tidak secara kritis melihat fenomena yang lebih dalam. Studi ini berangkat dari kajian Ransom yang mempertegas common bahwa beasiswa adalah alat untuk menciptakan aliansi negara-negara

  sense

  “barat” di Negara dunia ketiga. Dalam common sense tersebut terkandung pemaknaan Intelektual sebagai agen ideologi “barat”. Meskipun demikian, studi ini bermaksud bergerak melampaui common sense tersebut tanpa terjebak pada obsesi untuk membuktikan apakah beasiswa resmi dari Pemerintah Amerika Serikat yakni beasiswa Fulbright maupun beasiswa dari yayasan pembangunan swasta Amerika hegemonik ataupun dalam kadar tertentu hegemonik. Penelitian ini ditujukan untuk melihat kecenderungan intelektual untuk bergerak di luar arus

6 L ihat A. Sudiarja dalam BASIS, nomor 07-08, tahun ke 51, juli-agustus 2002, halaman 5. Pada

  

waktu itu pemerintah kolonial Belanda mencanangkan apa yang disebut sebagai politik etis van

Deventer untuk mendirikan sekolah-sekolah bagi penduduk pribumi. Di satu pihak, politik ini

bermaksud membalas budi kepada kaum pribumi yang telah banyak mendatangkan keuntungan

bagi Belanda, dari lain pihak pendidikan ini diperlukan juga oleh pemerintah kolonial untuk

menutupi kebutuhan tenaga yang baik dan kompeten untuk perusahaan-perusahaan mereka di

Indonesia, maupun untuk mengisi kekurangan jabatan-jabatan “pangreh praja” yang

berpendidikan. Dengan kata lain, disamping maksud baik untuk balas budi, masih juga terselip

kepentingan untuk diri mereka sendiri.

  

utama ataupun mensubversi kemapanan sejarah besar tentang persekutuan

intelektual dan kekuasaan ataupun persekutuan Orde Baru dan Amerika Serikat.

  Meminjam pandangan Hadiz dan Dhakidae (2005: 3), dalam relasi kuasa

dalam kondisi tertentu selalu menghasilkan perlawanan. Penelitian ini

dimaksudkan untuk mendokumentasikan catatan-catatan kecil perlawanan

  7

tersebut. Dari penggalan-penggalan pengalaman intelektual, diharapkan

tergambar peta yang lebih utuh di mana selalu ada celah bagi lahirnya pejalan

kaki yang keluar dari “jalan utama” melalui sebuah resistensi sejarah ataupun

dengan mengembangkan hegemoni tandingan. Lebih khusus penelitian ini

bermaksud melihat lagi bagaimana beasiswa dari Fulbright melatarbelakangi

terbentuknya kesadaran ideologis sejumlah intelektual yang menjadi “anak

haram” sistem pendidikan “barat”, seperti pengalaman beberapa Intelektual

Publik di Indonesia yang merupakan alumnus beasiswa Fulbright. Salah satunya

adalah Arief Budiman yang sekembalinya ke Indonesia justru mengembangkan

ide-ide sosialisme yang berlawanan dengan ide liberalisme ekonomi yang

berkembang di Amerika Serikat.

A. Rumusan dan Batasan Masalah

  

Berangkat dari pertanyaan topik mengenai kesadaran ideologis intelektual

alumnus Fulbright, maka diturunkan sejumlah pertanyaan penelitian sebagai

7 berikut.

  Relasi kuasa daam bentuk dominasi dan hegemoni dalam istilah Marxian merupakan tesa yang akan berhadapan dengan antitesa berupa perlawanan dan kontra hegemoni menuju pembentukan relasi sosial baru.

  

5

  1. Bagaimana para alumnus penerima beasiswa memahami kepentingan ideologi dari Program Fulbright? Apakah mereka memahami Program Fulbright semata-mata sebagai kepanjangan tangan kebijakan luar negeri pemerintah AS ataukah lebih dari itu? Apa yang membentuk pemahaman semacam itu? Mengapa pemahaman tersebut bisa terbentuk?

  2. Bagaimana gerak para penerima beasiswa yang berasal dari lokus yang sama maupun berbeda setelah mereka kembali ke tanah air? Apakah mereka terserap semata-mata ke dalam birokrasi pemerintahan dan menjadi apparatus ideologis rezim Orde Baru? Ataukah mereka justru bergerak dalam ranah non pemerintahan? Lalu apakah alasan yang mendasari pilihan tersebut? 3. Bagaimana wacana yang dibangun dan dikontestasikan oleh alumnus penerima beasiswa Program Fulbright? Apakah mereka membangun wacana-wacana besar yang diusung Amerika seperti neoliberalisme, demokrasi liberal atau malah sebaliknya? Mengapa memilih mengembangkan wacana-wacana tertentu?

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian

  Penelitian ini mengkaji relasi antara pembentukan intelektual dengan program beasiswa. Tujuan penelitian ini selain untuk menunjukkan keragaman ideologis dan lokus para intelektual alumnus penerima beasiswa Fulbright yang berujung pada perbedaan kesadaran ideologis, juga ingin melihat posisi diri mereka sebagai intelektual. Ditengah harapan yang sangat tinggi terhadap peran dan kontribusi kaum intelektual dalam pembangunan bangsa, penelitian ini ingin menengok kembali integritas moral kaum intelektual melalui usaha melihat lebih dalam sebuah filantropi akademik. Diharapkan penelitian ini mampu menunjukkan posisi intelektual dalam konteks dunia mutakhir -yang antara lain ditandai dengan semakin kuatnya peran masyarakat madani, baik dalam skala lokal maupun internasional- sehingga dimungkinkan melihat peran yang mereka mainkan dan kontribusi yang mereka berikan dengan lebih jernih.

D. Tinjauan Pustaka

  Kajian yang mengaitkan pembentukan intelektual dengan program beasiswa masih jarang dilakukan meskipun kajian mengenai intelektual telah banyak ditulis oleh sarjana Indonesia maupun asing. Pada umumnya kajian mengenai intelektual hanya dihubungkan dengan peran-perannya dalam pembangunan. Salah satunya adalah Selo Soemardjan (dalam jurnal Prisma, 1976), kaum intelektual sebagai bagian dari golongan pribumi yang mendapat pendidikan “barat” diharapkan untuk memainkan peran demokrasi dalam masyarakat yang berubah. Sayangnya, intelektual hanya dilihat sebagai produk pendidikan formal sekuler, dalam hubungannya dengan kapasitas untuk berfikir secara rasional. Syed Hussein Alatas (1988) melihat kaum intelektual bukan hanya produk universitas namun juga merupakan produk media massa, rumah tangga dan masyarakat. Kapasitas berfikir rasional menurutnya lebih menentukan kadar intelektualitas dibandingkan gelar kesarjanaan. Kajian yang dilakukan Daniel Dhakidae (2003) lebih luas dibanding Selo Soemardjan serta Syed Hussein Alatas. Dia bukan hanya mengupas intelektual sebagai produk jadi lembaga pendidikan, namun juga fokus untuk mengupas wacana yang diproduksi kaum intelektual. Bagaimana intelektual memproduksi wacana dilihat sebagai bentuk pergulatan dengan kekuasaan, modal dan kebudayaan. Menurutnya, terdapat hubungan resiprokal antara intelektualitas dan kekuasaan. Hasilnya adalah dua wajah kekuasaan yang destruktif dan produktif.

  Dhakidae merunut politik etis yang dijalankan oleh Belanda pada awal abad 20 merupakan contoh keberhasilan mengawinkan kekuasaan dengan terbentuknya intelektual yang berlatar belakang “barat” di Indonesia. Dengan seluruh paradoks politik etis dan politik asosiasi, usaha para pelopor Boedi Oetomo untuk mengangkat dan mendapatkan eksistensi dalam diskursus etis berupa peningkatan peran Boemiputra tidak pernah lebih besar dari keuntungan yang diperoleh Belanda dengan tersedianya tenaga kerja administratur dari golongan pribumi yang terampil berbahasa Belanda.

  Pelacakan Dhakidae mengenai politik etis sebagai akar historis kemunculan intelektual Indonesia, dilihat sebagai miskonsepsi oleh Yudi latif (2005). Latif melihat introduksi pendidikan “barat” sebenarnya telah berakar pada kebijakan liberal Belanda pada paruh akhir abad 19. Menurutnya, miskonsepsi ini merupakan ketidak tepatan pembacaan genealogi secara umum. Selain itu, ketika berbicara mengenai Orde Baru, Dhakidae juga tidak menyentuh mengenai karakteristik dan perkembangan pendidikan sebagai basis kultural kehadiran intelektual pada periode tersebut. Terlepas dari kritik atas keterbatasan Dhakidae dalam melihat proses transmisi dan transformasi dari ingatan dan tradisi kolektif intelektual antar generasi, Dhakidae secara sangat sadar melihat pentingnya struktur praktik diskursif sebagai sebuah faktor konstruktif dalam gerak perkembangan maupun konstruksi intelektual.

  Sebagaimana Dhakidae, Latif juga melihat bagaimana struktur praktik diskursif penting dalam pembentukan intelektual. Struktur praktik diskursif ini diletakkan dalam latar politik dan periode historis tertentu, bagaimana intelektual bereaksi atasnya serta posisi struktural intelektual sebagai determinan yang mempengaruhi ekspresi dan strategi intelektual. Dengan menggunakan pendekatan yang begitu kaya, Latif secara khusus ingin memotret gerak perkembangan intelektual (inteligensia) khususnya inteligensia muslim. System pendidikan “barat” yang menjadi basis inteligensia muslim dikaji secara ekonomi- politik dengan perspektif poskolonial sehingga dapat dilihat bahwa dalam wacana yang dikembangkan oleh inteligensa muslim tersisa ingatan hierarki pengetahuan dan kekuasaan yang bersifat kolonial. Studi yang dikembangkan Latif cenderung melihat “barat” sebagai sesuatu yang general. Sehingga kepentingan ideologi politik yang beragam tidak mampu disajikan secara mendalam

  David Ransom (1975), sependek pengetahuan saya merupakan penulis yang secara khusus mengaitkan intelektual, kekuasaan dengan kajian ekonomi politik dalam pemberian beasiswa. Dia melacak peran sejumlah elite intelektual pada masa awal Orde Baru yang merupakan alumnus universitas di Amerika Serikat.

  Mereka adalah para ekonom yang bersekolah dengan menggunakan beasiswa dari Yayasan Ford. Ransom membaca beasiswa semata-mata sebagai sebuah upaya sistematis untuk mendesakkan kepentingan ekonomi politik internasional terhadap negara berkembang. Sehingga para alumnus beasiswa dipandang sebagai pelaksana strategi pembangunan di Indonesia yang telah ditentukan oleh konspirasi internasional. Kajian Ransom bias cara pandang peneliti “barat” yang cenderung melihat supremasi kepentingan “barat” sebagai determinan. Ia menempatkan elite intelektual di Indonesia sekadar sebagai produk pasif dari pendidikan yang sarat kepentingan “barat”. Ransom abai pada bagaimana intelektual penerima beasiswa tersebut berproses dengan ilmu pengetahuan serta bagaimana mereka mereproduksi wacana serta kebudayaan Amerika sebagai entitas yang tidak tunggal. Ransom sangat baik dalam mengekplorasi ideologi ekonomi politik dalam pemberian beasiswa, namun dia lemah dalam melihat kemungkinan hegemoni tandingan terhadap setiap hegemoni yang sekuat apapun.

  Terdapat satu kajian yang memaparkan pengaruh Amerika terhadap intelektual Indonesia yang ditulis oleh Nasir Tamara (1998). Nasir Tamara memang tidak secara khusus mengulas tentang motif ideologi dalam beasiswa Fulbright, melainkan dia mengulas tentang kepentingan Amerika yang terbungkus dalam bahasa diplomasi dan filantropi. Kajian tersebut memberi konteks historis relasi Indonesia-Amerika yang timpang, Indonesia sebagai Negara mutlak dibawah penguasaan hegemoni Amerika bahkan semenjak Indonesia menyusun kemerdekaannya. Menariknya Nasir Tamara tak luput mencuplikkan narasi segelintir mahasiswa Indonesia di Amerika yang kelak menjadi elite intelektual maupun intelektual publik terkemuka di Indonesia.

  Kajian saya ini pada hakikatnya tidak berbicara secara langsung mengenai peran dan kontribusi intelektual dalam pembangunan. Pembicaraan mengenai peran dan kontribusi intelektual memang masih relevan, namun bila tak berhati- hati hanya akan tergiring untuk mengekor sejumlah kajian lama yang cenderung melekatkan intelektual dengan kewajiban-kewajiban dalam pembangunan. Kajian yang membahas mengenai pengaruh beasiswa dari Amerika dengan terbentuknya Intelektual Indonesia juga masih terbatas pada tulisan David Ransom yang mengambil konteks perang dingin dan tulisan Nasir Tamara yang dalam hemat saya masih perlu dilengkapi dengan sejarah subtil intelektual di Indonesia dalam relasinya dengan ideologi besar Amerika serta relasinya dengan rezim Orde Baru untuk menjelaskan pengaruh beasiswa pendidikan sebagai alat hegemoni Amerika terhadap pembentukan karakter moral intelektual.

E. Kerangka Konseptual

1. Intelektual dan Intelektual Publik

  Perspektif Marxis mengenai intelektual terkait dengan kesadaran seseorang terhadap eksistensi materialnya. Berbeda dengan pandangan pemikir non Marxist yang mempunyai gagasan bahwa intelektual adalah makhuk “suci”, sebab mereka tidak memiliki kepentingan praktis maupun kepentingan material. Hingga Julien Benda berbicara mengenai penghianatan kaum intelektual di awal abad 20 saat para intelektual bercampur dengan politik. Senada dengan Karl Manheim yang menyatakan bahwa intelektual sebagai kelompok sosial yang mengambang bebas ataupun kelas yang tak memiliki kelas. Pemikir non Marxis berpendapat bahwa keinginan besar intelektual untuk mengabdi pada kebenaran, dan hal tersebut memang tepat untuk pendeta yang secara tradisional memainkan peran sebagai intelektual (Budiman, 1978: 615-624).

  Memahami intelektual sulit dipisahkan dengan pemahaman tentang kelas berkuasa serta pemimpin. Rumusan ini datang dari Antonio Gramsci, seorang Marxis pendiri partai Komunis Italia. Kepemimpinan yang dimunculkan berbentuk “kepemimpinan intelektual dan moral”, sebuah tangapan atas gaya kepemimpinan yang sarat pengabaian aspek intelektual dan moral (Sunardi, 2004:22). Ide Antonio Gramsci mengenai intelektual berasal dari perspektif Marxist. Konsepnya mengenai intelektual organik merupakan usaha yang luar biasa untuk menjembatani strategi dasar marxisme antara ide ultra demokratik mengenai emansipasi proletariat dan garda depan. Intelektual tradisional adalah seseorang yang cakap menggali visi yang lebih luas dari keteraturan sosial yang mana dapat membentuk dasar ambisi hegemoni (Desai,1994: 2-3).

  Antonio Gramsci sebagaimana dikutip dalam Simon (1999: 141) menolak pandangan tradisional dan vulgar terhadap intelektual yang hanya terdiri dari ahli sastra, filosof dan seniman. Bagi Antonio Gramsci intelektual bukan dicirikan oleh aktifitas berfikir yang secara instrinksik dimiliki oleh semua orang, namun dicirikan melalui peran yang mereka lakukan.. Aktifitas berfikir instrinsik sebagai parameter untuk mendefiniskan intelektual tidak lagi memadai. Karena parameter yang sangat abstrak tersebut hanya menunjuk pada semua orang sebagai intelektual namun tidak semua orang mempunyai fungsi intelektual.

  Selain menekankan pada struktur dan fungsi sosial tertentu, Antonio Gramsci juga menekankan pentingnya kesadaran kelas. Dengan membuat perbedaan antara intelektual ‘organik’ dan ‘tradisional’, Gramsci menekankan bahwa intelektual bukanlah kelas sosial tersendiri melainkan setiap kelas mempunyai intelektualnya sendiri. Menurut penilaiannya intelektual tradisional mewakili kelanjutan sejarah dan cenderung menempatkan mereka di garis depan sebagai kelas berkuasa, otonom dan independent. Yudi latif (2005) menambahkan, Gramsci melihat sikap kritis intelektual tradisional terhadap status quo pun pada dasarnya akan berujung pada pembiaran sistem nilai yang dominan menentukan kerangka perdebatan mereka. Sementara intelektual organik menunjuk pada fungsi sebagai perumus dan artikulator ideologi dan kepentingan kelas, terutama dikaitkan dengan kepentingan kelas yang sedang tumbuh. Intelektual memainkan peran yang penting dalam pembangkitan, pengorganisasian, dan persebaran ideologi hegemonik (Desai, 1994: 14).

  Sedangkan menurut Moufee (via Hong Wong, 2002: 22-24), seorang Intelektual harus secara aktif mempromosikan ideologi tertentu yang membawa cara pandang dunia kalangan awam menuju konformitas dengan aspirasi dari kelas dominan. Kelompok berkuasa harus terlibat usaha untuk membangun hegemoni atau untuk memenangkan legitimasi atas diri mereka di hadapan masyarakat madani. Konfrontasi ideologis melibatkan disartikulasi dan reartikulasi dari elemen ideologis yang terberi dengan jalan mentarungkan prinsip-prinsip hegemonik.

  Penjelasan yang merangkum diskusi tentang pengertian intelektual dan lebih sesuai untuk menjelaskan intelektual di Indonesia diberikan oleh Ariel Heryanto.

  Menurutnya, istilah intelektual kerap dicampuradukkan dengan kelas menengah. Penjelasan mengenai intelektual bergerak di antara mitos popular tentang kelas menengah sebagai sosok-sosok baik, pejuang kebenaran dan demokrasi, dan di sisi yang lain kajian akademis (terutama pandangan sarjana asing) tentang kelas menengah Indonesia sebagai sosok yang oportunis, pendukung rezim dan egois.

  Pandangan yang kedua memiliki sejumlah kelemahan karena hanya menggunakan kategori ekonomi namun mengabaikan kelas menengah yang disusun dari kategori-kategori yang lebih politis seperti: aktivis gerakan mahasiswa, dosen serta intelektual publik yang dari segi jumlah memang tidak besar (Heryanto, 2004: 52-54). Saya sependapat dengan argumen, Heryanto yang meletakkan kategori “intelektual” maupun “kelas menengah” sebagai kategori yang lebih baik dimengerti sebagai konsep-konsep yang diskursif ideologis dan mitis, ketimbang sebagai dekripsi yang murni empiris dari sejumlah individu yang secara biologis ada dengan nama, profesi, pola-pola konsumsi atau afiliasi kelembagaan yang spesifik (Heryanto, 2004: 55-56).