BAB II KAJIAN TEORI A. Pembelajaran Matematika - PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN MAKE A MATCH TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DAN KEAKTIFAN SISWA PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI KELAS VIII SMP NEGERI 2 GODEAN - UMBY repository

KAJIAN TEORI A.

   Pembelajaran Matematika

  Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 37 Ayat 1 menyakatan bahwa kurikulum pendidikan dasar sampai menengah wajib memuat: pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal. Undang-undang tersebut menegaskan bahwa matematika merupakan salah satu mata pelajaran wajib yang harus diajarkan sejak jenjang pendidikan dasar sampai menengah. Suatu mata pelajaran yang diharapkan mampu mempunyai kegunaan dalam kehidupan sehari-hari bagi yang mempelajarinya.

1. Belajar

  Perubahan seseorang yang awalnya tidak tahu menjadi tahu merupakan hasil dari proses belajar. Perubahan yang didapat adalah kemampuan yang baru dan ditempuh dalam jangka waktu yang lama serta terjadi karena ada usaha dari dalam diri tiap individu. Menurut Sudjana (1996: 5), perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti berubah pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, keterampilan, kecakapan, kebiasaan, serta perubahan aspek-aspek lain yang ada pada individu yang belajar. Oleh karena itu, belajar merupakan unsur yang sangat penting dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. definisi belajar. Cronbach mendefinisikan “Learning is shown by a change in

  behavior as a result of experience”. Artinya Belajar itu adalah perubahan

  perilaku sebagai hasil dari pengalaman. Harold Spears memberikan batasan

  “Learning is to observe, to read, to imitate, to try something themselves, to listen, to follow direction”. Artinya Belajar adalah mengamati, membaca,

  meniru, mencoba sesuatu, mendengar dan mengikuti arah tertentu. Geoch mengatakan

  “Learning is change in performence as a result of practice”.

  Artinya Belajar adalah perubahan prestasi sebagai hasil latihan.

  Menurut Klein (1996: 2),

  “Learning can be defined as an experiential process resulting in a relatively permanent change in behavior that cannot be explained by temporary states, maturation, or innate respons tendencies”.

  Artinya bahwa belajar dapat didefinisikan sebagai proses pengalaman yang mengakibatkan perubahan yang relatif permanen dalam perilaku.

  Berdasarkan definisi-definisi sebelumnya dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku yang merupakan bagian penting dari pendidikan sebagai hasil dari latihan yang menghasilkan suatu perubahan yang relatif menetap, baik perubahan pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan sikap.

2. Pembelajaran

  Perubahan yang terjadi dalam belajar adalah perubahan yang disebabkan oleh proses pembelajaran. Menurut Jihad (2008: 11), pembelajaran merupakan suatu proses yang terdiri dari kombinasi dua aspek, yaitu belajar tertuju apa yang harus dilakukan oleh guru sebagai pemberi pelajaran. Jadi, dalam pembelajaran bukan hanya guru yang memegang peranan penting tetapi siswa juga memegang peranan penting dalam proses pembelajaran agar tujuan pembelajaran tercapai.

  Suprijono (2009: 13) mengatakan bahwa pembelajaran berdasarkan makna leksikal berarti proses, cara, perbuatan mempelajari. Menurut Horsley (1990: 59) ada empat tahap yang umumnya dialami seseorang saat proses pembelajaran berlangsung, yaitu: (1) tahap apersepsi, tahap ini berguna untuk mengungkapkan konsep awal siswa dan digunakan untuk membangkitkan motivasi belajar siswa; (2) tahap eksplorasi, tahap ini berguna untuk mediasi pengungkapan ide-ide atau pengetahuan dalam diri siswa; (3) tahap diskusi dan penjelasan konsep, pada tahap ini siswa diupayakan untuk bekerjasama dengan teman-temannya, berusaha menjelaskan pemahamannya kepada orang lain, bahkan menghargai penemuan temannya; (4) tahap pengembangan dan aplikasi konsep, tahap ini adalah tahap untuk mengukur sejauh mana pemahaman siswa terhadap suatu konsep dengan menyelesaikan permasalahan.

  Berdasarkan definisi-definisi sebelumnya dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah serangkaian kegiatan belajar yang dirancang oleh guru melalui model pembelajaran agar dalam proses pembelajaran siswa berperan aktif secara mental maupun fisik sehingga kemampuan dan keterampilan siswa terasah dan tujuan pembelajaran tercapai dengan baik.

   Pembelajaran Matematika

  Menurut Suherman (2003: 18) istilah matematika menurut berbagai bahasa antara lain Mathematics (bahasa Inggris), Mathematik (bahasa Jerman), Mathematique (bahasa Prancis), Matematiceski (bahasa Rusia), atau

  Mathematik (bahasa Belanda). Istilah matematika tersebut berasal dari bahasa

  Yunani yaitu Mathematike yang berarti relating to learning. Kata

  Mathematike mempunyai akar kata mathema yang berarti pengetahuan atau

  ilmu. Kata ini berhubungan erat dengan sebuah kata mathanein yang mengandung arti belajar (berpikir).

  Menurut Abdurrahman (2003: 252) matematika adalah suatu cara yang dilakukan untuk menemukan jawaban, menggunakan informasi, menggunakan pengetahuan tentang bentuk dan ukuran, serta menggunakan pengetahuan tentang menghitung dan memikirkan dalam diri manusia itu sendiri dalam melihat dan menggunakan hubungan-hubungan. Sedangkan seorang matematikawan Peirce (American Journal of Mathematics, 1881: 97) menyebutkan matematika sebagai ilmu yang menggambarkan simpulan- simpulan yang penting.

  Menurut Cornelius (Abdurrahman, 1999: 253) ada 5 alasan perlunya belajar matematika merupakan: a.

  Sarana berfikir yang jelas dan logis.

  b.

  Sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari.

  c.

  Sarana mengenal pola-pola hubungan dan generalisasi pengalaman.

  d.

  Sarana untuk mengembangkan kreatifitas.

  Sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya.

  Lebih lanjut, Suherman (2003: 58) mengemukakan tujuan pembelajaran matematika adalah memberikan penekanan pada penataan nalar dan pembentukan sikap siswa. Selain itu, pembelajaran matematika juga dapat melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik suatu kesimpulan secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efektif, dan efesien serta memberikan penekanan pada keterampilan dalam penerapan matematika didalam kehidupan sehari-hari maupun dalam mempelajari ilmu pengetahuan lainnya. Pembelajaran matematika pada dasarnya adalah memberikan kemampuan belajar mandiri sehingga mampu meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya.

  Pada pembelajaran matematika prinsip belajar menurut Sardiman (2010: 95) adalah berbuat, berbuat untuk mengubah tingkah laku, jadi melakukan kegiatan. Berbuat salah satunya menemukan sendiri berbagai pengetahuan yang diperlukannya. Penemuan kembali adalah menemukan suatu cara penyelesian secara informal dalam pembelajaran matematika di kelas.

  Walaupun penemuan tersebut sederhana dan bukan hal yang baru bagi orang yang telah mengetahuinya.

  Oleh karena itu, pada proses pembelajaran matematika seorang guru sebaiknya memperhatikan kemampuan yang dimiliki oleh siswa serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan pendapatnya dan mengembangkan kemampuan yang dimilikinya. Dalam proses pembelajaran matematika guru sebaiknya memilih suatu model pembelajaran dianggap sulit dengan cara memilih suatu model pembelajaran yang dapat membuat siswa merasa senang belajar matematika dan membuat siswa aktif dalam proses pembelajaran.

  Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa matematika adalah ilmu pengetahuan eksak dan ilmu tentang logika mengenai bentuk, besaran, susunan dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya dan suatu cara untuk menemukan jawaban dengan menggunakan pengetahuan menghitung. Pembelajaran matematika adalah proses interaksi antara siswa dan guru, antara siswa dan siswa, juga antara siswa dan bahan ajar yang melibatkan pola pikir dan memberikan peluang kepada siswa untuk berusaha dan mencari pengalaman tentang matematika. Dengan demikian pembelajaran matematika yang bermutu adalah jika proses belajar yang dialami siswa dan proses mengajar yang dialami oleh guru berjalan efektif.

  Dari pengertian tersebut pembelajaran matematika meliputi guru, siswa, proses pembelajaran, dan materi matematika di sekolah.

B. Model Pembelajaran Make A Match

  Model pembelajaran Make A Match diupayakan menjadi model pembelajaran yang tepat digunakan dalam proses pembelajaran, karena dikemas dalam bentuk model pembelajaran yang menyenangkan sehingga para guru diharapkan mencoba untuk menerapkan model pembelajaran Make A Match ini dalam proses pembelajaran. Model pembelajaran Make A Match artinya model pembelajaran mencari/membuat pasangan. Setiap siswa mendapat sebuah kartu kartu yang ia pegang.

  Teori yang melandasi model pembelajaran Make A Match adalah Teori Vygotski dan Teori Behaviorisme.

1. Teori Vygotski

  Slavin (2000: 46) menegaskan bahwa vygotski sangat menekankan pentingnya peranan lingkungan kebudayaan dan interaksi sosial dalam perkembangan sifat-sifat dan tipe-tipe manusia. Vygotski (Ormrod, 1995: 178) menyatakan bahwa,

  children’s cognitive depelopment is promoted and enchanced through their interaction with more advanced and capable individuals. Maknanya adalah bahwa siswa sebaiknya belajar melalui interaksi

  dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Interaksi ini memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa.

  Bruner (Arends, 1997: 165), mengatakan bahwa panduan yang diberikan oleh orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu disebut scaffolding.

  Mengutip dari Ormrod (1995: 368),

  Scaffolding support mechanism, provided by a more competent individual, that helps a leraner successfully perform a task within his or her ZPD (zone of proximal development) .

  Kutipan tersebut dapat dimaknai bahwa sacffolding adalah pemberian bantuan (tuntutan) yang dapat mendukung siswa lebih kompeten dalam usahanya menyelesaikan tugas di daerah jangkauan kognitifnya. Scaffolding ini dapat berupa penyederhanaan tugas, memberikan petunjuk kecil mengenai apa yang menunjukkan kepada siswa apa saja yang telah dilakukannya dengan baik, dan pemberitahuan kekeliruan yang dilakukan siswa dalam langkah pengerjaan tugas. Maka dapat dikatakan bahwa scaffolding merupakan bagian dari kegiatan pembelajaran kooperatif.

2. Teori Behaviorisme

  Menurut teori behaviorisme belajar adalah perubahan tingkah laku, seseorang dianggap belajar sesuatu bila ada menunjukkan perubahan tingkah laku. Belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon.

  Teori behaviorisme menyatakan bahwa dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan oleh guru sedangkan respon berupa reaksi siswa terhadap apa yang diberikan guru. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

  Hartley & Davies (Toeti, 1992: 23) menyatakan bahwa prinsip-prinsip teori behaviorisme yang banyak dipakai di dunia pendidikan adalah: a.

  Proses belajar dapat berhasil dengan baik apabila si pelajar ikut berpartisipasi secara aktif didalamnya.

  b.

  Materi pelajaran dibentuk dalam bentuk unit-unit kecil dan diatur berdasarkan urutan yang logis sehingga si pelajar mudah mempelajarinya.

  Tiap-tiap respon perlu diberi umpan balik secara langsung sehingga si pelajar dapat mengetahui apakah respon yang diberikan telah benar atau belum.

  d.

  Setiap kali si pelajar memberikan respon yang benar maka ia perlu diberikan penguatan. Penguatan positif ternyata memberikan pengaruh yang lebih baik dari pada penguatan negatif. Model belajar mengajar mencari pasangan (Make A Match) ini pada tahun 1994 dikembangkan oleh seorang pakar pendidikan yaitu Lorna Curran. Menurut

  Rusman (2011: 223), salah satu keunggulannya adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan.

  Aturan main pada model pembelajaran Make A Match yaitu siswa diminta untuk mencari pasangan kartu yang merupakan jawaban atau soal sebelum batas waktunya, dan siswa yang dapat menemukan terlebih dahulu pasangannya atau dapat mencocokkan kartunya akan diberi poin. Menurut Suyatno (Komalasari, 2010: 85-86), langkah-langkah model pembelajaran Make A Match yaitu: 1)

  Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok untuk sesi review, sebaliknya satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban. 2) Setiap siswa mendapat satu buah kartu. 3) Tiap siswa memikirkan jawaban atau soal dari kartu yang dipegang. 4)

  Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya.

  Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin.

  6) Setelah satu babak kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya.

  7) Kesimpulan. 8) Penutup.

C. Model Pembelajaran Konvensional

  Model pembelajaran konvensional adalah model pembelajaran yang biasa digunakan guru dalam mengajar dan paling banyak digunakan guru dalam proses pembelajaran. Hadi (2005: 11-12) mengemukakan beberapa hal yang menjadi ciri praktik pendidikan di Indonesia selama ini adalah pembelajaran berpusat pada guru. Guru menyampaikan materi pelajaran, siswa mendengarkan dan mencatat materi yang disampaikan guru.

  Menurut Sanjaya (2006: 259) pada pembelajaran konvensional siswa ditempatkan sebagai objek belajar yang berperan sebagai penerima informasi secara pasif. Model pembelajaran konvensional menuntut guru yang lebih aktif dari pada siswa sehingga proses pembelajaran hanya berjalan satu arah. Seperti yang dikemukakan Djafar, Zahara (2001: 86) bahwa pembelajaran konvensional dilakukan dengan satu arah.

  Lebih lanjut, model pembelajaran konvensional sering disebut sebagai model pembelajaran tradisional. Armstrong (2009: 56) menjelaskan bahwa

  “In

the traditional classroom, the teacher lectures while standing at the front of the

classroom, writes on the blackboard, ask students questions about the assigned

  

reading or handouts, and waits while students finish their written work”.

  Maknanya bahwa dalam ruang kelas dengan pembelajaran tradisional, guru berdiri di depan kelas sambil menulis di papan tulis, mengajukan pertanyaan tentang bacaan yang ditugaskan atau yang ada dalam handout, dan menunggu siswa menyelesaikan apa yang mereka tulis.

  Berdasarkan uraian sebelumnya, maka model pembelajaran konvensional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pembelajaran yang utamanya adalah menghafal, pembelajaran berpusat kepada guru dan menjadikan siswa sebagai objek penerima materi yang pasif, dan yang dilihat adalah benar atau tidaknya jawaban dari soal yang diberikan guru. Sehingga, dalam pembelajaran konvensional dapat dikatakan bahwa guru adalah tokoh utama dalam pembelajaran.

D. Kemampuan Komunikasi Matematis

  Komunikasi melalui interaksi sosial memiliki peranan penting dalam membina pengetahuan matematika siswa. Oleh karena itu, guru hendaknya mewujudkan komunikasi yang berbentuk interaksi sosial di kalangan siswa dengan siswa, siswa dengan guru dalam proses pembelajaran matematika.

  Menurut Sardiman (2016: 7-8) mengartikan bahwa istilah komunikasi yang berasal dari perkataan „communicare‟ berarti „berpartisipasi‟, „memberitahukan‟, „menjadi milik bersama‟. Secara konseptual arti komunikasi itu adalah menyebarkan berita, pengetahuan, pikiran-pikiran, dan nilai-nilai dengan maksud mengunggah partisipasi, mempermudah untuk memberitahukan kepada teman dan selanjutnya akan mencapai tujuan mengenai suatu pokok permasalahan yang komunikasi erat kaitannya dengan interaksi yaitu: ...interaksi berkaitan dengan istilah komunikasi atau hubungan. Dalam proses komunikasi, dikenal dengan adanya unsur komunikan dan komunikator. Hubungan komunikator dengan komunikasi biasanya karena menginteraksikan sesuatu, dikenal dengan pesan. Kemudian untuk menyampaikannya perlu adanya media atau saluran. Jadi unsur-unsur yang terlibat dalam komunikasi adalah komunikator, komunikan, pesan dan media.

  Interaksi antara siswa dengan guru dan teman sebayanya dapat diibaratkan “denyut nadi” dalam proses pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut, interaksi sosial di antara siswa dengan guru, siswa dengan bahan ajar, siswa dengan siswa, secara individu atau kelompok merupakan salah satu proses komunikasi yang harus diwujudkan dalam proses pembelajaran matematika.

  Berdasarkan pengertian-pengertian komunikasi sebelumnya, ada beberapa faktor dalam komunikasi antara lain pemberi informasi, penerima informasi, dan pesan atau informasi itu sendiri. Komunikasi merupakan suatu sarana untuk mengungkapkan gagasan, pendapat, atau penemuannya pada orang lain saat berinteraksi. Maka, komunikasi adalah proses penyampaian sebuah informasi antara dua orang atau lebih, baik penyampaian secara lisan dan tulisan.

  Baroody (Ansari, 2012: 13) mengungkapkan bahwa komunikasi adalah kemampuan siswa yang dapat diukur melalui aspek-aspek:

1. Representasi (Representing)

  Representasi adalah bentuk baru sebagai hasil translasi dari suatu masalah atau ide; translasi suatu diagram atau model fisik kedalam simbol kata-kata. Mendengar (Listening) Mendengarkan merupakan hal penting ketika diskusi. Begitu juga dalam kemampuan komunikasi, mendengar merupakan hal penting untuk dapat terjadi komunikasi yang baik.

  3. Membaca (Reading) Membaca adalah aktivitas membaca aktif untuk mencari jawaban dari pertanyaan yang telah disusun. Membaca aktif artinya membaca yang difokuskan pada paragraf yang dianggap mempunyai jawaban yang tepat dengan pertanyaannya.

  4. Diskusi (Discussing) Mendiskusikan suatu gagasan atau ide merupakan hal yang baik bagi siswa untuk menjauhi perselisihan. Diskusi juga dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis.

  5. Menulis (Writing) Menulis merupakan aktivitas yang dilakukan secara sadar untuk mengungkapkan apa yang dipikirkan. Menulis merupakan proses tahapan berpikir keras dan kemudian dituangkan kedalam kertas. Dalam komunikasi, menulis sangat diperlukan untuk merangkum pelajaran yang telah terlaksana dan dituangkan dalam bahasa sendiri agar lebih mudah dipahami.

  Sementara, Skemp (1971: 68) menempatkan komunikasi sebagai fungsi pertama dari simbol matematika dan secara khusus dapat digunakan untuk mengaitkannya dengan fungsi-fungsi simbol yang lain. Simbol dalam matematika juga dapat mempermudah siswa untuk mengerti dan memahami keabstrakan komunikasi pula, ide siswa dapat diketahui oleh guru maupun siswa yang lainnya.

  Selain itu, Cheach (Sukoco, 2013: 15) mengungkapkan bahwa pentingnya komunikasi dalam pembelajaran matematika yaitu:

  Communication is an essential part of the mathematical classroom. Students may use verbal language to communicate their thoughts, extend thinking, and understand mathematical concepts. They may also use written language to explain, reason, and process their thinking of mathematical ideas.

  Artinya bahwa siswa dapat menggunakan bahasa secara lisan untuk mengkomunikasikan idenya, memperluas pemikiran, dan memahami konsep- konsep matematika. Selain itu, siswa juga dapat menggunakan bahasa secara tertulis untuk menjelaskan, memberi alasan, dan menunjukkan proses berpikir mengenai ide-idenya secara matematis.

  Kilpatrick, Swafford, & Findell (2001: 130) mengatakan bahwa siswa harus mampu membenarkan dan menjelaskan ide-ide untuk membuat penalarannya jelas, mengasah kemampuan bernalar, dan meningkatkan pemahaman konsepnya. Jika diperhatikan, kata

  “membenarkan dan menjelaskan” lebih mengarah kepada kemampuan komunikasi matematis siswa. Kemampuan komunikasi matematis merupakan salah satu bagian dari percakapan yang harus dimiliki siswa dalam mempelajari matematika.

  Lee (2006: 69) juga mengatakan bahwa siswa yang mengkomunikasikan ide-idenya saat belajar menyebabkan siswa tersebut mampu menggunakan dan mengontrol konsep-konsep matematika dengan keyakinan yang lebih dari yang mereka lakukan sebelumnya. Keyakinan itulah yang selalu terkait dengan menunjukkan keaktifannya saat pembelajaran. Mengutip pendapat Lee (2006: 69),

  Teachers can accomplish this in several ways: by changing the ways in which pupils interact with the work and each other: by giving them more challenging problems to solve: and by asking them to express their mathematical ideas in writting...

  Pendapat diatas mengatakan bahwa untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematis yang dapat dilakukan oleh guru adalah mengubah cara siswa berinteraksi dengan pekerjaannya dan siswa yang lain, memberikan siswa lebih banyak masalah yang menantang untuk dipecahkan, dan meminta siswa untuk mengekspresikan ide-idenya secara tertulis.

  Proses pembelajaran matematika harus melibatkan komunikasi matematis tertulis agar siswa dapat mengasah kemampuannya dalam menyelesaikan masalah matematika. Melihat begitu pentingnya komunikasi matematis dalam pembelajaran matematika, tidak hanya memahami konsep dan bernalar, tetapi kemampuan komunikasi perlu menjadi perhatian karena dengan kemampuan komunikasi matematis siswa dapat membantu siswa dalam memecahkan permasalahan matematika yang dihadapinya. Pada penelitian ini difokuskan pada kemampuan komunikasi matematis tertulis.

  Adapun indikator kemampuan komunikasi matematis menurut NCTM (2000: 60) adalah sebagai berikut: a.

  Mampu mengorganisasikan dan mengkonsolidasikan pemikiran matematis melalui komunikasi.

  b.

  Mampu mengkomunikasikan pemikiran matematis secara koheren dan jelas kepada siswa lain, guru, dan orang lain.

  Mampu menganalisis dan mengevaluasi pemikiran matematis dan strategi- strategi siswa lain.

  d.

  Mampu menggunakan bahasa matematis untuk mengekspresikan ide-ide matematis secara tepat.

  Vermont Departement of Education (Sukoco, 2013: 21) menjabarkan dua

  indikator penting dari komunikasi matematis. Pertama, menggunakan bahasa matematika dan representasinya untuk mengkomunikasikan penyelesaian suatu masalah. Kedua, komunikasi yang efektif dapat dilihat dari bagaimana suatu masalah dapat diselesaikan dan penalaran yang digunakan.

  Menurut Ontario Ministry of Education (2005: 21), komunikasi matematis mencakup tiga indikator: 1)

  Mengekspresikan dan mengorganisasikan ide-ide dan berpikir secara matematis (kejelasan ekspresi, organisasi logis), menggunakan bahasa lisan, visual, dan bentuk tulis (misalnya gambar, grafik, hitungan, bentuk aljabar: materi-materi dalam bentuk konkret).

  2) Komunikasi untuk audiensi yang berbeda (misalnya siswa lain, guru) dan tujuan (mengumpulkan data, membenarkan penyelesaian, dan mengungkapkan pendapat secara matematis) secara lisan, visual, dan tertulis.

  3) Menggunakan konvensi, kosakata, dan istilah dari matematika (misalkan istilah, simbol) secara lisan, visual, dan tertulis.

  Berdasarkan uraian sebelumnya, kemampuan komunikasi matematis yang akan diteliti hanya pada aspek tertulis. Adapun indikator yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis No Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis

  1 Kemampuan menyelesaikan masalah matematika dengan tahap-tahap yang terstruktur serta penggunaan istilah dan simbol matematika dalam penyelesaian masalah matematika dengan tepat.

  2 Kemampuan mengintepretasikan ide-ide matematis secara tertulis.

  3 Kemampuan memberikan penjelasan atau alasan yang logis sesuai dengan solusi, konsep, dan penalaran yang digunakan.

E. Keaktifan Siswa Keaktifan siswa merupakan unsur yang penting dalam proses pembelajaran.

  Seperti yang dikemukakan Nasution (2010: 86) bahwa keaktifan belajar merupakan asas yang terpenting dalam proses belajar mengajar. Dimyati & Mudjiono (2010: 45) menjelaskan bahwa dalam proses belajar, siswa selalu menampakkan keaktifan. Keaktifan mulai dari aktivitas fisik yang mudah diamati sampai aktivitas psikis yang sulit untuk diamati.

  Lebih lanjut, Rousseau (Sardiman, 2016: 96-97) memberikan penjelasan bahwa segala pengetahuan harus diperoleh dari pengamatan sendiri, pengalaman sendiri, penyelidikan sendiri, dengan bekerja sendiri, dengan fasilitas yang diciptakan sendiri, baik secara rohani maupun teknis. Senada dengan yang ditegaskan Nasution (2010: 88) bahwa dalam pendidikan anak-anak sendirilah yang harus aktif. Hal ini menunjukkan bahwa dalam belajar perlu adanya aktivitas, dan setiap orang harus belajar aktif sendiri. Tanpa adanya aktivitas proses belajar tidak akan terjadi. Klesse (2004: 1) mengemukakan bahwa:

  areas, usually conducted during student time rather than on school time, student led, opportunities for student to learn through feedback and evaluation, centered in the purpose of education and a process in which the final product in sometimes not as educationally important as the pocess of achieving it and the learning outcomes for each participant.

  Maknanya adalah bahwa pendidikan adalah aktivitas siswa yang muncul secara alami, hal tersebut dikarenakan kesungguhan dan ketertarikan siswa terjadi selama waktu belajar jika dibandingkan dengan aktivitas lain yang dilakukan disekolah, kemudian timbal balik dari belajar tersebut adalah evaluasi yang dapat mengukur kemampuan siswa dan memberikan kesempatan bagi siswa untuk terus meningkatkan hasil belajar, walaupun demikian, aktivitas siswa dapat dilihat saat proses pembelajaran berlangsung, sedangkan hasil akhir terkadang tidak dipentingkan.

  Berdasarkan pengertian-pengertian sebelumnya, maka keaktifan siswa dalam belajar merupakan segala aktivitas yang bersifat fisik dan psikis dalam proses pembelajaran. Paul

  B. Diendrich (Sardiman, 2016: 101) mengklasifikasikan aktivitas siswa dalam belajar menjadi beberapa jenis sebagai berikut: 1.

  Visual activities, seperti membaca, memperhatikan gambar demonstrasi, melakukan percobaan.

  2. Oral activities, seperti menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi, interupsi.

  3. Listening activities, seperti mendengarkan: uraian, percakapan, diskusi, musik, pidato.

  4. Writing activities, seperti menulis cerita, karangan, laporan, angket, menyalin.

  Drawing activities, seperti menggambar grafik, menggambar peta, diagram.

  6. Motor activities, seperti melakukan percobaan, membuat konstruksi, model mereparasi, bermain, berkebun, beternak.

  7. Mental activities, seperti menanggapi, mengingat, memecahkan soal, menganalisis, menemukan hubungan-hubungan, mengambil keputusan.

  8. Emotional activities, seperti menaruh minat, merasa bosan, gembira, semangat, bergairah, berani, tenang, gugup.

  Salah satu penilaian dalam proses pembelajaran adalah dengan melihat sejauh mana siswa aktif dalam mengikuti proses pembelajaran. Sudjana (2013: 61) menyatakan keaktifan siswa dapat dilihat dalam hal: a.

  Turut serta dalam melaksanakan tugas belajarnya.

  b.

  Terlibat dalam pemecahan masalah.

  c.

  Bertanya kepada siswa yang lain atau guru apabila tidak memahami persoalan yang dihadapinya.

  d.

  Berusaha mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah.

  e.

  Melaksanakan diskusi kelompok.

  f.

  Menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil yang diperolehnya.

  g.

  Melatih diri dalam memecahkan soal atau masalah yang sejenis.

  h.

  Kesempatan menggunakan atau menerapkan apa yang diperolehnya dalam menyelesaikan tugas atau persoalan yang dihadapinya.

  Sedangkan menurut Yamin (2007: 85) indikator keaktifan belajar siswa antara lain: Membaca materi pelajaran sebelum proses belajar mengajar berlangsung. 2) Mengajukan suatu pertanyaan ketika ada materi yang belum dipahami. 3) Mengemukakan pendapat pada saat proses belajar mengajar. 4) Mendengarkan penyajian materi pelajaran. 5) Aktif dalam diskusi. 6) Membuat rangkuman atau catatan materi yang disampaikan oleh guru.

  Berdasarkan penjelasan sebelumnya, keaktifan siswa dalam belajar merupakan segala aktivitas yang bersifat fisik ataupun nonfisik dalam proses pembelajaran yang dapat dilihat dari banyak hal. Adapun aspek keaktifan siswa yang akan diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 2.2 Aspek dan Indikator Keaktifan Siswa

  Aspek Indikator Visual activities

  1. Memperhatikan penjelasan guru

  2. Mengamati kegiatan presentasi

  Oral activities

  3. Bertanya kepada guru maupun teman mengenai materi lingkaran yang belum dipahami 4. Menjawab pertanyaan yang diberikan guru.

  5. Mengemukakan pendapat saat proses pembelajaran.

  6. Diskusi kelompok.

  7. Mendengarkan sajian presentasi dari

  Listening activities kelompok lain. Writing activities 8. Mencatat materi yang disampaikan guru. Mental activties 9. Mengerjakan soal yang diberikan guru. Emotional activities 10. Percaya diri dalam kegiatan pembelajaran.

   Kajian Peneitian yang Relevan

  Adapun beberapa penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan Make A

  Match adalah sebagai berikut: 1.

  Hasil penelitian Riyana Hari Rahayu (2014) yang berjudul “Peningkatan Keaktifan dan Kemampuan Komunikasi Belajar Matematika Siswa Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match

  ”. Dilihat dari indikator keaktifan siswa: (1) siswa mampu mengerjakan tugas dari kondisi awal 19,23% meningkat menjadi 84,61%; (2) siswa mampu menyelesaikan soal latihan dari kondisi awal 26,92% meningkat menjadi 73,07%; (3) siswa mampu bekerjasama dalam kelompok menunjukkan peningkatan dari kondisi awal 11,53% meningkat menjadi 76,92%. Dilihat dari indikator kemampuan komunikasi belajar: (1) siswa mampu menjawab pertanyaan dari kondisi awal 19,23% meningkat menjadi 88,46%; (2) siswa mampu mengajukan pertanyaan dari kondisi awal 38,46% meningkat menjadi 80,76%; (3) siswa mampu mengemukakan ide matematika secara tertulis menunjukkan peningkatan dari kondisi awal 26,92% meningkat menjadi 73,07%. Dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Make A Match dapat meningkatkan keaktifan dan kemampuan komunikasi belajar matematika pada siswa kelas VIIIG SMP Negeri 3 Ngadirojo tahun ajaran 2014/2015.

2. Hasil penelitian Novianti (2017) yang berjudul “Penerapan Model

  Pembelajaran Make A Match Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Dengan Menggunakan Geoboard Pada Materi Bangun Datar Di Kelas

  VII SMP Negeri 2 Bireuen”. Hasil penelitian dengan menggunakan uji t d dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran Make A Match terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa dengan menggunakan

  Geoboard pada materi bangun datar lebih baik dari pada model pembelajaran konvensional.

  3. Hasil penelitian Ari Mulyani (2013) yang berjudul “Peningkatan Keaktifan dan Prestasi Belajar Siswa menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match

  ”. Hasil penelitian ini adalah bahwa menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match dalam proses pembelajaran dapat meningkatkan keaktifan siswa dan prestasi belajar siswa. Sebelum dilakukan penelitian keaktifan siswa hanya mencapai 39% (kategori kurang). Pada siklus I keaktifan siswa mencapai 50% (kategori cukup) dan pada siklus II keaktifan meningkat mencapai 60% (kategori aktif). Sedangkan untuk prestasi belajar siswa sebelum menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Make A

  Match hanya mencapai 47,39% (kategori kurang). Pada siklus I mencapai

  67,22% (kategori cukup) dan pada siklus II meningkat 79,44% (kategori tinggi).

G. Kerangka Berfikir

  Penggunaan model pembelajaran yang tidak bervariatif dalam pembelajaran matematika membuat siswa merasa bosan dan enggan belajar matematika sehingga siswa kurang antusias mengikuti pembelajaran matematika, kurang aktif selama mengikuti pembelajaran matematika, sehingga prestasi belajar matematika cenderung rendah. Keaktifan siswa merupakan salah satu hal yang penting dalam seluruhnya atau setidak-tidaknya sebagian besar siswa terlibat aktif baik fisik, mental, maupun sosial dalam proses pembelajaran.

  Dalam pembelajaran matematika, semua siswa yang telibat aktif dalam pembelajaran dapat menumbuh kembangkan potensi yang dimilikinya dan juga dapat mengasah kemampuan komunikasi dalam pembelajaran matematika. Namun, pada kenyataannya berdasarkan hasil observasi diketahui bahwa sebagian besar siswa tidak telibat aktif selama proses pembelajaran matematika berlangsung. Siswa takut bertanya pada guru jika ada materi yang tidak dipahami, dan siswa juga tidak aktif menjawab pertanyaan guru sehingga guru harus menunjuk salah satu siswa untuk menjawab.

  Dalam pembelajaran matematika guru harus mampu menciptakan suasana yang nyaman dalam belajar, yang melibatkan seluruh aktivitas siswa dalam belajar tanpa ada perbedaan status. Guru hendaknya dapat memilih salah satu model pembelajaran yang menarik dan menyenangkan serta melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran. Keterlibatan siswa dalam belajar dapat mengasah kemampuan komunikasi matematis sehingga siswa dapat menyelesaikan masalah matematika dengan baik.

  Model pembelajaran Make A Match merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran matematika di sekolah. Model pembelajaran Make A Match merupakan cara untuk memperoleh partisipasi siswa melalui tulisan. Model pembelajaran Make A Match (mencari pasangan) melibatkan siswa untuk berperan aktif dan kemampuan komunikasi tertulis. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan diterapkan model pembelajaran

  

Make A Match yang diasumsikan dapat memberikan pengaruh positif terhadap

  kemampuan komunikasi matematis dan keaktifan siswa. Dengan demikian kerangka pikir penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.

  Kemampuan komunikasi dan keaktifan siswa belum maksimal

  Pretest Pretest

  Model Model pembelajaran pembelajaran

  Make A konvensional Match Posttest Posttest

  Model pembelajaran Make A Match lebih baik/unggul terhadap kemampuan komunikasi matematis dan keaktifan siswa.

Gambar 2.1 Kerangka Berfikir Penelitian

   Hipotesis

  Hipotesis utama dalam penelitian ini adalah “Model pembelajaran Make A

  

Match berpengaruh terhadap kemampuan komunikasi matematis dan keaktifan

  siswa.” Lebih rinci, hipotesis tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Model pembelajaran Make A Match efektif baik terhadap kemampuan komunikasi matematis maupun keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika.

  2. Model pembelajaran Make A Match lebih baik/unggul ditinjau baik dari kemampuan komunikasi matematis maupun keaktifan siswa dibandingkan model pembelajaran konvensional.

Dokumen yang terkait

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN MAKE A MATCH TERHADAP HASIL BELAJAR IPS TERPADU SISWA SMP NEGERI 1 KASUI KELAS VIII SEMESTER GANJIL TAHUN AJARAN 2013/2014

0 24 76

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN PENEMUAN TERBIMBING TERHADAP KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA KELAS VIII SMP N 2 RAMBAH HILIR

0 30 6

PENERAPAN MODEL MAKE A MATCH PADA PEMBELAJARAN FISIKA KELAS X SMA NEGERI 2 KOTA LUBUKLINGGAU

0 0 16

BAB II LANDASAN TEORI - PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN AIR DENGAN SETTING MODEL TGT TERHADAP MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 2 SUMBERGEMPOL TULUNGAGUNG - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 0 44

BAB II LANDASAN TEORI A. Deskripsi Teori 1. Model Pembelajaran a. Definisi Model Pembelajaran - PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN MEANS-ENDS ANALYSIS (MEA) TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA KELAS VIII MATERI PRISMA DAN LIMAS DI SMP NEGERI 2 SUMBERGEMPOL

1 1 38

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCH TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA KELAS X SMA NEGERI 2 SUNGAI RAYA ARTIKEL PENELITIAN

0 0 10

UPAYA MENINGKATKAN KEAKTIFAN DAN HASIL BELAJAR IPA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN MAKE A MATCH PADA SISWA KELAS IV SD NEGERI TLOGO SEMESTER II TAHUN 2014 2015

0 0 16

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN QUANTUM LEARNING UNTUK MEMFASILITASI KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 2 BALONGBENDO PADA MATERI VOLUME KUBUS DAN BALOK - Repository Universitas Islam Majapahit

0 0 20

EKSPERIMENTASI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TEKNIK MAKE A MATCH PADA MATERI BANGUN RUANG SISI DATAR DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR MATEMATIKA PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 2 MOJOLABAN TAHUN AJARAN 2016/2017 - UNS Institutional Repository

0 1 22

PENINGKATAN AKTIVITAS PEMBELAJARAN DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA PESERTA DIDIK MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCH KELAS IXc SMP NEGERI 2 BONTONOMPO SELATAN KABUPATEN GOWA

0 1 122