Parasit pada Sapi Trematoda

  atau sapi Eropa, Bos indicus atau zebu, dan Bos primigenius atau ourochs yang merupakan leluhur sapi domestik. Kini, keluarga sapi tersebut dijadikan satu spesies, yakni Bos primigenius. Sementara itu, Bos p. taurus dan Bos p. indicus dijadikan subspesies. Berikut ini adalah klasifikasi ternak sapi : o

  Kerajaan : Animalia o

  Filum : Chordata o

  Kelas : Mamalia o

  Subkelas : Eutheria o

  Ordo : Artiodactyla o

  Famili : Bovidae o

  Subfamili : Bovinae o

  Genus : Bos o

  Spesies : B. primigenius o

  Subspesies : B. p. taurus, B. p. indicus, B. p. javanicus

  (Setiadi, 2012)

  

Parasit

  Parasit adalah organisme yang eksistensinya tergantung adanya organisme lain yang dikenal sebagai induk semang atau hospes. Organisme yang hidup sebagai parasit seperti cacing telah dikenal beratus-ratus tahun yang lalu oleh nenek moyang kita. Hewan-hewan parasit telah dikenal dan dibicarakan semenjak zamannya Aristoteles (384-322 SM) dan Hipocrates (460-377 SM) di Yunani. Ilmu parasit sendiri berkembang setelah manusia menyadari pentingnya ilmu parasit dalam bidang biologi. Redi (1626-1698), sebagai bapak parasitologi, adalah seorang Itali yang pertama kali mendiskripsi secara detail Fasciola

  

hepatica . Setelah ditemukan alat pembesar oleh Leeuwenhock (1632-1723) dari

Belanda, hewan-hewan parasit bersel satu banyak ditemukan (Sumartono, 2010).

  

Parasit pada Sapi

Trematoda

  Trematoda disebut juga cacing daun, trematoda adalah subfilum dari filum

  

Platyhelmintes dan tidak memiliki rongga tubuh serta semua organ dalam jaringan

  parenkimnya berbeda. Parasit jenis ini juga memiliki tubuh pipih dorsoventral dan tidak berligmen, serta mempunyai 2 alat penghisap, dimana satu alat penghisapnya mengelilingi mulut dan yang lainnya berada di dekat pertengahan tubuh atau pada ujung posterior. Sebagian besar trematoda adalah hemafrodit yang berarti memiliki kelamin ganda, yaitu kelamin jantan dan betina (Levine, 1990).

  Fasciola sp. Fasciola hepatica (Gambar 1) terdapat di dalam empedu

  domba, sapi, kambing, kelinci, manusia, dan hampir semua mamalia lainnya di seluruh dunia. Parasit dewasa berbentuk daun, mencapai panjang 5 cm dan lebar 1,5 cm. Mereka mempunyai “bahu” yang nyata tetapi di belakang kerucut. Telurnya agak kekuningan, mencapai 150 x 90 mikron, dan mempunyai operkulum (Levine, 1990).

  (a) (b)

  Gambar 1. (a) Telur cacing Fasciola sp. (Thienpont,1986), (b) Cacing Fasciola Hepatica (Vickers, 2011).

  Siklus hidup parasit ini sangat komplek, pendek dan cepat penularannya.

  

Fasciola sp. mengalami mata rantai siklus perkembangan atau stadium dalam

  siklus hidupnya sampai ke saluran empedu. Daur hidup cacing hati dimulai dari telur yang dikeluarkan dari uterus cacing masuk ke saluran empedu, kantung empedu, atau saluran hati dari induk semang. Telur terbawa ke dalam usus dan meninggalkan tubuh bersama tinja. Dalam sehari, Fasciola hepatica dapat memproduksi rata-rata 1331 butir telur pada domba dan 2628 butir telur pada sapi (Dixon, 1964).

  Paramphistomum sp. Cacing Paramphistomum sp. (Gambar 2)

  mempunyai panjang sekitar 10-12 mm dan lebar 2-4 mm. Cacing ini berotot dan bertubuh tebal, menyerupai bentuk kerucut, dengan satu penghisap mengelilingi mulut dan yang lainnya pada ujung posterior tubuh (Levine, 1990)

  (a) (b) Gambar 2. (a) Telur cacing Paramphistomum (Thienpont, 1986), (b) Cacing Paramphistomum (Jyoti, 2014).

  Parasit ini tumbuh pada siput sederhana yang hidup di air tawar. Di dalam tubuh siput, seperti halnya pada Fasciola, Paramphistomum juga mengalami daur dalam bentuk sporokista, redia, dan cercaria. Cercaria dalam kista yang menempel pada daun akan termakan ternak, dan tumbuh di duodenum sebagai cacing muda, dan setelah dewasa selanjutnya migrasi ke abomasum dan retikulum. Seluruh daur hidup diselesaikan dalam waktu 6 minggu sampai 4 bulan (Subronto, 2001).

  Nematoda

  Cacing Nematoda saluran pencernaan yang paling banyak menimbulkan gangguan produksi adalah cacing Haemonchus contortus, Trichostrongylus sp. dan Oesophagostomum colombianum. Cacing ini dibagi dalam tiga kelompok, yaitu kelompok Strongyles (Haemonchus sp., Cooperia sp., Oesophagostomum sp., Trichostrongylus sp., Bunostomum sp.), kelompok Strongyloides dan kelompok cacing lainnya seperti Trichuris sp., Capilaris sp., Ascaris sp. dan

  Moniezia sp. (Kosasih, 2003).

  Strongyloides. Cacing ini disebut juga cacing benang (Gambar 3). Bentuk

  parasitik panjangnya 2-9 mm dan yang dapat ditemukan hanyalah cacing betina yang bersifat partenogenetik. Mereka mempunyai esophagus sangat panjang dan berbentuk hampir silindris, vulva pada bagian pertengahan tubuh posterior, ekor pendek berbentuk kerucut, uterus amfidelf (dengan cabang ke depan maupun ke belakang), dan telur telah berembrio (Levine, 1990).

  Siklus hidup cacing betina parasitik menghasilkan telur berembrio atau larva yang keluar bersama tinja. Larva stadium pertama rabditiform dan makan mikroorganisme dalam tinja. Mereka menyilih menjadi larva stadium kedua, juga rabditiform, yang juga makan mikroorganisme dalam tinja. Larva ini menyilih menjadi larva stadium ketiga dalam 2 tipe. Beberapa larva stadium ketiga mempunyai esophagus silindris. Mereka menginfeksi induk semang vertebrata dengan menembus kulit atau tertelan. Apabila mereka telah memasuki kulit, mereka pergi ke kapiler dan terbawa oleh darah ke paru-paru, kemudian mereka merusak dinding kapiler, masuk kedalam saluran udara, dan berimigrasi ke trakea dan turun ke esophagus menuju usus halus, mereka menyilih mejadi larva stadium ke empat dan menjadi dewasa (Levine, 1990).

  Oesophagostomum. Oesophagostomum sering disebut cacing benjol pada

  ternak (Gambar 8). Mulutnya mengarah ke depan dan dikelilingi oleh kerah mulut yang mempunyai papila-papila dan dibatasi oleh cincin cekung di sebelah posterior. Kapsula bukal dangkal berbentuk cincin dan terdapat lanset pada corong esophageal. Spikulumnya sama besar dan vulva cacing betina parasit ini terletak sedikit anterior anus (Levine, 1990).

  (a) (b)

  Gambar 3. (a) Telur cacing Oesophagostomum (Thienpont, 1986), (b) Cacing Oesophagostomum sp. (Agustina, 2013).

  Sapi dapat terinfeksi dengan menelan latva stadium ketiga ketika makan rumput. Larva masuk kedalam dinding usus halus dan usus besar, di tempat itu mereka menyilih menjadi larva stadium keempat dalam 5-7 hari, kembali ke lumen usus 7-14 hari sesudah infeksi, dan menyilih menjadi stadium dewasa didalam usus besar 17-22 hari sesudah infeksi. Telur terdapat pada tinja 32-42 hari sesudah infeksi (Levine, 1990).

  Cestoda

  Cestoda disebut juga cacing pita, mereka tidak mempunyai rongga badan dan semua organ-organ tersimpan didalam jaringan parenkim. Semua cacing pita ini bersifat parasit. Tubuhnya biasanya panjang, pipih seperti pita, dan biasanya terdiri dari 3 daerah. Kepala (skoles atau alat berpegangan), leher pendek, dan diikuti badan atau strobila (Levine, 1990).

  Coccidia

  Coccidia adalah protista dari sub-filum Apicomplexa yang uniseluler, melengkung, membentuk spora parasit pada hewan. Tiga belas spesies Eiimeria yang parasit pada sapi yaitu: E. alabamensis, E. auburnensis, E. bovis, E.

  

brasiliensis , E. bukidnonensis, E. canadensis, E. cylindrica, E. ellipsoidalis, E.

  

illinoisensis , E. pellita, E. supspherica, E. wyomingensis, E. zuernii (1). Tiga belas

  spesies Eiimeria umumnya diterima sebagai parasit pada sapi. Eiimeria merupakan spesies yang sangat spesifik dalam menginfeksi inangnya dalam bentuk ookista. Ookista bersporulasi ke dalam usus hewan mulai dari beberapa hari sampai beberapa minggu, tergantung pada kelembaban temperatur spesies, dan faktor lingkungan lainnya. Ookista sangat tahan dan bisa bertahan di bawah kondisi yang menguntungkan pada suhu minus 400

  ⁰C untuk waktu yang lama yang dapat bertahan sepanjang musim dingin. Eiimeria bovis berukuran lebar 17- 23 μm, panjang 23-34 μm, berbentuk ovoid dan tidak simetris, berwarna coklat/kuning, mempunyai 2 dinding sel, tidak punya microphyle, oosit tidak polar, terdapat 2 gumpalan sporozoit, dan panjang x lebar sekitar 5-8 x 13-18 (Ahmad, 2008).

  

Letak Geografis

Kabupaten Kulonprogo. Geografis Kabupaten Kulonprogo terletak

  diantara 7 ⁰ 45’ - 7⁰ 55’ LS dan 110⁰ 1’ - 110⁰ 16’ BT. Luas wilayah Kabupaten

  Kulonprogo mencapai ±20.068 hektar. Kondisi iklim sebagian besar beriklim basah. Bulan basah rata-rata tahunan selama 10 tahun terakhir 6

  • – 8 dan bulan kering < 2, mempunyai curah hujan 2000 – 3000 mm/tahun dengan pola ganda (Anonim, 2016c).

  Kabupaten Sleman. Geografis Kabupaten Sleman terbentang mulai 110

  ⁰ 15’ 13” sampai dengan 110⁰ 33’ 00” Bujur Timut dan 7⁰ 34’ 51” sampai dengan

  7 ⁰ 47’ 03” Lintang Selatan. Luas wilayah Kabupaten Sleman adalah 57.482 ha atau 574,82 km² atau sekitar 18% dari luas wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang seluas 3,185,80 km² (Anonim , 2016a)

  Kabupaten Gunungkidul. Geografis Kabupaten Gunungkidul terletak

  antara 7 ⁰ 46’ - 8⁰ 12’ Lintang Selatan dan 110⁰ 21’ - 110⁰ 50’ Bujur Timur. Luas wilayahnya mencapai 1.485,36 km², atau 46,63% dari seluruh wilayah daratan

  Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kabupaten Gunungkidul memiliki curah hujan rata-rata sebesar 2145 mm/tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata 115 hari per tahun. Bulan basah 4 sampai 6 bulan, sedangkan bulan kering berkisar antara 4 sampai bulan. Musim hujan dimulai pada bulan Oktober

  • – November dan berakhir pada bulan Mei – Juni setiap tahunnya. Puncak curah hujan dicapai pada bulan Desember – Febuari (Anonim, 2015).

  Kabupaten Bantul. Secara geografis Kabupaten Bantul terletak antara

  07 ⁰ 44’ 04” - 08⁰ 00’ 27” Lintang Selatan da 110⁰ 12’ 34” - 110⁰ 31’ 08” Bujur Timur. Luas wilayahnya 506,85 km² dengan topografi sebagai dataran rendah 40% dan 60% daerah perbukitan yang kurang subur (Anonim, 2016d).

  Iklim

  Dilihat dari letak geografisnya wilayah DIY ini beriklim tropis dengan keadaan cuaca panas dan lembab. Keadaan cuaca yang panas dan lembab dapat mempengaruhi status kesehatan hewan. Variasi perubahan cuaca akan mempengaruhi fluktuasi tingkat prevalensi penyakit yang dalam kondisi tertentu dapat mencapai titik intensitas yang tinggi. Bila suhu dan kelembaban sangat tinggi, prevalensi penyakit dapat berkembang dan meningkat salah satunya adalah infeksi parasit (Winarso, 2012)

  

Umur

  Untuk beberapa parasit seperti Toxocara lebih banyak menginfeksi sapi jantan dibanding sapi betina, karena pada sapi betina yang terinfeksi larva kedua (L2) tidak berkembang menjadi L3 tetapi akan mengalami dormansi dan tetap tinggal di dalam jaringan. Larva ketiga akan berkembang pada saat sapi betina bunting dan pada masa menjelang partus, akan terjadi transplacental infection atau transmamary infection pada janin. Cacing memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi bagi pedet berumur 15 sampai 50 hari. Apabila infeksi di lapangan tidak ditanggulangi, prevalensi bisa mencapai 100% pada pedet dan bisa berlanjut menjadi kematian bila kondisi nutrisi buruk (Stark-Buzetti, 2006).

  Pencegahan dan Pemberantasan Parasit

  Tindakan yang paling efektif dalam usaha pencegahan dan pemberantasan parasit adalah dengan jalan memotong atau mengganggu daur hidup parasit.

  Program pencegahan parasitisme perlu dilakukan dan tidak perlu menunggu terjadinya parasitisme klinis, hingga perubahan pada hospes yang sifatnya ireversibel maupun kerugian ekonomi yang besar dapat dihindari. Untuk mengendalikan parasitisme yang sifatnya subklinis diperlukan pemeriksaan rutin terhadap adanya parasit gastrointestinal. Usaha-usaha yang banyak dianjurkan untuk menghindari dan mengatasi parasitisme adalah sebagai berikut (1) sanitasi harus ditujukan untuk menyingkirkan dan mematikan stadium-stadium parasit dengan tindakan kebersihan baik disertai atau tanpa obat-obatan antiseptika, (2) perbaikan manajemen perkandangan, (3) perbaikan kualitas pakan, dan (4) pengobatan (Subronto dan Tjahajati, 2001)

  Untuk pengobatan pada sapi yang telah terinfeksi dapat dilakukan dengan obat cacing berspektrum luas seperti levamisol, piperazine, albendazole, dan panacur. Pengobatan pertama dilakukan 3 minggu setelah datangnya musim hujan, kemudian diulangi dengan selang waktu 6 minggu sampai permulaan musim kemarau. Dapat pula diberi obat Valbazen yang dicampur dengan air minuman. Pemberian obat ini dilakukan setiap 4-5 kali bulan sekali. Pada kasus infeksi trematoda, obat yang direkomendasikan seperti clorsulon (Taylor, 2010).